BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA A. Perumusan Tindak Pidana Pencucian Uang Menurut UU No. 15 Tahun 2002 jo UU No. 25 Tahun 2003 - Perjanjian Ekstradisi Dalam Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA A. Perumusan Tindak Pidana Pencucian Uang Menurut UU No. 15 Tahun 2002 jo UU No. 25 Tahun 2003

  1. Transaksi Keuangan yang Mencurigakan Transaksi adalah salah satu unsur pokok money laundering, sedangkan unsur pokok lainnya adalah harta kekayaan dan perbuatan melanggar hukum.

  Transaksi menurut Pasal 1 butir 6 Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No.

  25 Tahun 2003 adalah: “Seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, termasuk kegiatan pentransferan dan atau pemindahbukuan dan yang dilakukan oleh penyedia jasa keuangan”.

33 Transaksi menurut kamus, persetujuan tukar menukar antara dua pihak.

  Dari uraian di atas maka transaksi adalah suatu kejadian atau kegiatan, namun uraian di atas menguraikan kejadian tersebut pada saat zaman modern sekarang yang dinamakan suatu transaksi.

  Awal mula adanya suatu transaksi adalah merupakan pertukaran kebutuhan hidup antar manusia yang lainnya disebut barter, barter terjadi ribuan tahun lalu di mana satu barang langsung ditukarkan dengan barang lain, yang makin lama berkembang. Salah satu alat tukarnya menjadi uang. Ide tentang uang 33 R.A. Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Difa Publisher, Jakarta, 1998, hal. 827. berasal dari ribuan tahun lalu sebelum adanya kertas atau alat cetak, yaitu beberapa objek benda dapat diberi nilai dan digunakan dalam sistem perdagangan kemudian nilai tersebut dibuat dalam bentuk uang saat ini sedangkan pada zaman dulu uang dapat berupa benda bukan kertas seperti sekarang yang dinyatakan dalam ukurannya, misalnya pada zaman Romawi memakai garam, kemudian memakai koin tembaga, perak, emas yang dibentuk seperti kapal namun mempunyai ukuran nilai yang berbeda kemudian saat ini digunakan dari kertas

   yang mempunyai nilai.

  Pada tahun 1967 seorang perompak lautan bernama Henry Every, dalam karirnya merompak setengah dunia lautan telah dijelajahi, pada perompakan terakhirnya Henry Every merompak kapal Portugis bernama Gung-i-Suwaie, mereka merompak kekayaan berupa berlian senilai £325.000 poundsterling atau dalam kurs sekarang setara Rp5.671.250.000 (

  ₤1=Rp17.450) kemudian Henry Every dan anak buahnya memutuskan untuk membagi harta hasil rampokannya dan meninggalkan dunia perampokan kelautan selama-lamanya. Henry Every akhirnya menetap di sebuah kota kecil Devanshire di Bideford sebuah tempat dengan tradisi kelautannya yang kuat. Henry mengalihkan kekayaannya pada

   perdagangan Bideford, Henry hidup dalam kemiskinan bertahun-tahun.

  Pada saat Henry mengalihkan kekayaannya pada perdagangan Bideford adalah juga merupakan semacam perompak di daratan yang sama ahlinya dengan Henry saat merompak di laut, dengan adanya transaksi tersebut maka para pedagang adalah juga merupakan pelaku pencucian uang yang ahli dalam 34 Garnasih Yenti, Kriminalisasi Pencucian Uang, Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hal 54. 35 Ibid.

  transaksi maka pencucian uang telah ada dengan suatu transaksi sejak tahun 1697. Dalam kenyataan tersebut terdapat suatu pertukaran yaitu barang dengan uang, metode-metode tersebut adalah pertukaran atau sistem transaksi, apabila sistem transaksi tersebut memakai uang tunai maka disebut sistem transaksi tunai, kemudian berkembang melalui catatan-catatan, cek, surat jual beli, akta, pembukuan, menggunakan bank, institusi keuangan, lembaga keuangan, hasilnya adalah sistem transaksi usaha atau transaksi finansial (keuangan) yang lebih aman, memberikan catatan terperinci dan permanen secara luas digunakan dalam usaha

   di manapun.

  Transaksi yang mencurigakan atau suspicious transaction, merupakan suatu indikasi cara-cara dasar adanya kegiatan pencucian uang, satu situasi transaksi mencurigakan mungkin tidak mencukupi untuk menunjukkan bahwa pencucian uang telah terjadi. Suatu kombinasi dari situasi-situasi transaksi mencurigakan tersebut dapat menjadi indikasi adanya transaksi mencurigakan

   yang merupakan pencucian uang.

  Transaksi keuangan mencurigakan menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, pada Pasal 1 butir 7 adalah: a)

  Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan.

  b) Transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan wajib dilakukan oleh penyedia jasa keuangan sesuai dengan ketentuan undang- 36 undang ini atau

  Garnasih Yenti , Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagai Fenomena Baru di Indonesia dan Permasalahannya , Makalah Seminar Sosialisasi, Medan, 2004, hal. 27. 37 TB. Irman, Op.cit, hal. 64.

  c) Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga dari hasil tindak pidana.

  2. Sanksi Tindak Pidana Pencucian Uang Sanksi tindak pidana pencucian uang diatur dalam Bab II Undang-Undang

  Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam Pasal 3 diterangkan bahwa, (1) Setiap orang yang dengan sengaja: a. menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan ke

  Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain; b. mentransfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan ke

  Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain; c. membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain; d. menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri atau atas nama pihak lain; e. menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; f. membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; g. menukarkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; h. menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan asal-usul Harta

  Kekayaan yang diketahuinya atau patuit diduganya merupakan hasil tindak pidana. Dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

  (2) Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Dalam Pasal 5 dikatakan bahwa, (1) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana denda 1/3 (satu per tiga)

  (2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhadap korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau pembubaran korporasi yang diikuti dengan likuidasi. Dalam Pasal 6 dikatakan bahwa, (1) Setiap orang yang menerima atau menguasai: a. penempatan; b. pentransferan; c. pembayaran; d. hibah; e. sumbangan; f. penitipan; g. penukaran;

  Harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas tahun) dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi Penyedia

  Jasa Keuangan yang melaksanakan kewajiban pelaporan transaksi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. Ketentuan dalam Pasal 6 ayat 2 mengatakan bahwa tidak berlaku bagi PJK yang wajib menyediakan laporan kepada PPATK untuk: a)

  Transaksi Keuangan Mencurigakan;

  b) Transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilainya yang setara, baik dilakukan dalam sekali transaksi maupun beberapa transaksi.

  Begitu juga dalam Pasal 7 dikatakan bahwa bagi setiap Warga Negara Indonesia dan/atau korporasi Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3.

  3. Subyek dan Hasil Tindak Pidana di Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang Subyek tindak pidana pencucian uang yaitu orang/manusia dan korporasi.

  Dijelaskan bahwa sebagai orang perseorangan atau korporasi, sehingga tanggung jawab hukum pada umumnya yang biasanya berada pada seseorang akan bertambah luas menjadi korporasi, apabila kita lihat kepada tangung jawab perorangan telah dilewati dengan melengkapinya dengan ketentuan di luar KUHP.

  Sedangkan korporasi seperti tertera dalam Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Apabila tindak pidana dilakukan oleh pengurus atas nama korporasi maka penjatuhan pidana dilakukan terhadap pengurus dan/atau kuasa pengurus maupun terhadap korporasi. Pertanggungjawaban pidana bagi pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi, dengan demikian korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh pengurus mengatasnamakan korporasi, apabila perbuatan tersebut dilakukan melalui kegiatan yang tidak termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.

  Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana yaitu: korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang asuransi, narkotika, psikotropika, perdagangan manusia, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan atau tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut

   hukum Indonesia.

  Rumusan delik dalam hukum pidana menunjukkan apa yang harus dibuktikan, delik atau unsur-unsur yang harus dibuktikan adalah unsur-unsur, delik tertulis yang berarti persyaratan tertulis untuk dapat dipidana semua unsur- unsur harus dituduhkan dan dibuktikan. Hasil tindak pidana adalah unsur yang harus dibuktikan, sedangkan ketentuan umum adalah memuat penjelasan- penjelasan resmi atau tertulis di dalam undang-undang tentang istilah atau kata- kata yang dipakai, apabila kata-kata ini terdapat dalam ketentuan pidana maka kata-kata inilah yang merupakan delik atau unsur-unsur pidana, sehingga semua kata-kata yang terdapat dalam ketentuan pidana merupakan unsur-unsur atau delik yang harus dibuktikan dan dituduhkan, untuk melihat suatu ketentuan pidana

  

  biasanya terdapat ancaman pidana. Karena itu dalam setiap undang-undang terdapat bagian-bagian, biasanya yang paling depan adalah ketentuan umum, kemudian bagian-bagian lain yang berupa isi dari undang-undang yang kemudian

  oleh erman

Rajagukguk, diakses pada tanggal 3 Agustus 2010. 39 TB. Irman, Op.cit, hal. 21.

  diakhiri dengan ketentuan penutup, sebelum ketentuan penutup ada undang- undang yang memuat ketentuan pidana, namun ada juga yang tidak memuat ketentuan pidana. Apabila memuat ketentuan pidana ini maka ketentuan pidana inilah yang harus dibuktikan, tetapi ada juga yang tidak ditulis dengan jelas ketentuan pidana sehingga tidak mencantumkan kata ketentuan pidana. Tetapi akan dapat dilihat apakah unsur-unsur tersebut merupakan ketentuan pidana atau unsur-unsur yang harus dibuktikan atau bukan yaitu bila di akhir dari kata-kata memuat ancaman hukuman atau ancaman pidana maka itulah unsur-unsur yang harus dibuktikan. Hasil tindak pidana dalam uraian di atas terletak dalam ketentuan umum yang berisi penjelasan asal muasal hasil tindak pidana tersebut, dalam uraian tersebut dijelaskan hasil pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, penyuapan dan lain-lain di dalam pembuktian nantinya hasil tindak pidana akan merupakan unsur-unsur delik yang harus dibuktikan, karena hasil tindak pidana nantinya akan berada pada pasal yang memuat ancaman hukuman, sehingga tindak pidana darimana hasil pidana itu diperoleh (tindak pidana asal atau semula), tidak tercantum dalam unsur-unsur delik pada pasal- pasal yang memuat ancaman pidana sehingga tindak pidana asal (predicate crime)

  

  tidak perlu dibuktikan. Tindak pidana asal (predicate crime) bukanlah tindak pidana pencucian uang jadi masing-masing tindak pidana berdiri sendiri terpisah dan tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri. Walaupun demikian tindak pidana asal (predicate crime) harus benar-benar ada, 40 Ibid, hal 22. maka barulah ada tindak pidana pencucian uang. Di sinilah kekhususan dari undang-undang tindak pidana pencucian uang karena pada pasal dalam bab ketentuan umum inilah dimulainya adanya salah satu unsur pokok pidana pencucian uang yaitu hasil tindak pidana berupa harta kekayaan.

  

B. Perbuatan Pidana Lain yang Termasuk Dalam Tindak Pidana

Pencucian Uang

  Perbuatan pidana ini tertera dalam Bab III Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam Pasal 8 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dikatakan, “Penyedia Jasa Keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

  Dalam Pasal 9 dikatakan, “Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara dengan itu yang dibawa ke dalam atau ke luar wilayah Negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)”. Dalam Pasal 10 dikatakan, “PPATK, penyidik, saksi, penuntut umum, hakim, atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana pencucian uang yang sedang diperiksa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dan Pasal 41 (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun. Yang dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) ialah bahwa PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim wajib merahasiakan identitas pelapor. Yang dimaksud dalam Pasal 41 (1) yaitu bahwa saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan dalam sidang pengadilan dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor.

  Dalam Pasal 10A dikatakan, (1) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang memperoleh dokumen dan/atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-Undang ini, wajib merahasiakan dokumen dan/atau keterangan tersebut kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini. (2) Sumber keterangan dan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan wajib dirahasiakan dalam persidangan pengadilan. (3) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga karena kelalaiannya melanggar ketentuan pada ayat (1) dan

  (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun. (4) Jika pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan sengaja, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

  Yang dimaksud dengan sumber keterangan dalam ayat (2) diuraikan dalam Penjelasan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu, “Yang dimaksud dengan ‘sumber keterangan’ dalam ketentuan ini adalah Penyedia Jasa Keuangan yang menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada PPATK. Kewajiban untuk merahasiakan sumber keterangan dan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan di persidangan pengadilan dimaksudkan untuk mendorong Penyedia Jasa Keuangan melaksanakan kewajiban penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan”.

C. Proses Pencucian Uang

  1. Tahap Penempatan (Placement) Tahap ini merupakan tahap pertama, yaitu pemilik uang tersebut mendepositokan uang haram tersebut ke dalam sistem keuangan (financial

  

system ). Karena uang itu sudah masuk ke dalam sistem keuangan perbankan,

berarti uang itu juga telah masuk ke dalam sistem keuangan yang bersangkutan.

  Oleh karena uang yang telah ditempatkan di suatu bank itu selanjutnya dapat lagi dipindahkan ke bank lain baik di negara tersebut maupun di negara lain, uang tersebut bukan saja telah masuk ke dalam sistem keuangan negara yang bersangkutan, melainkan juga telah masuk ke dalam sistem keuangan global atau internasional. Jadi, placement adalah upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana ke dalam sistem keuangan. Bentuk kegiatan ini

  

  antara lain:

  a) Menempatkan dana pada bank. Kadang-kadang kegiatan ini diikuti dengan pengajuan kredit/pembiayaan.

  b) Menyetorkan uang pada bank atau perusahaan jasa keuangan lain sebagai pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail.

c) Menyelundupkan uang tunai dari suatu negara ke negara lain.

  d) Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah atau terkait dengan usaha yang sah berupa kredit/pembiayaan sehingga mengubah kas menjadi kredit/pembiayaan.

  e) Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan pribadi atau membelikan hadiah yang nilainya mahal sebagai penghargaan/hadiah kepada pihak lain yang pembayarannya dilakukan 41 melalui bank atau perusahaan jasa keuangan lain.

  Munir Fuady, Hukum Perbankan di Indonesia, Seri Buku Ketiga. Bandung: PT Citra Asitya Bakti, 1999, hal. 80. Dengan “placement” dimaksudkan “the physical disposal of cash proceeds

  

derived from illegal activity ” yang berarti penjualan fisik tunai berproses

  diperoleh dari aktivitas yang tidak sah. Dengan perkataan lain, fase pertama dari proses pencucian uang haram ini ialah memindahkan uang haram dari sumber di mana uang itu diperoleh untuk menghindarkan jejaknya. Atau secara lebih

   sederhana agar sumber uang tersebut tidak diketahui oleh pihak penegak hukum.

  2. Tahap Pelapisan (Layering)

  Layering adalah memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya, yaitu

  tindak pidananya melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk

  

  menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana. Dalam kegiatan ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lain melalui serangkaian transaksi yang kompleks dan didesain untuk menyamarkan dan menghilangkan jejak sumber dana tersebut.

a) Transfer dana dari suatu bank ke bank lain dan/atau antar wilayah/ negara.

  b) Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi yang sah.

  c) Memindahkan uang tunai lintas batas negara, baik melalui jaringan 42 kegiatan usaha yang sah maupun shell company.

  R.A. Senja, Kamus Lengkap Bahasa Inggris-Indonesia, Difa Publisher, Jakarta, 1998, hal. 827 43 Munir Fuady. Hukum Perbankan Modern, PT Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2003, hal.

  35. 44 45 NHC Siahaan, Money Laundering, Pustaka sinar Harapan, 2003, Jakarta, hal. 14.

  Adran Sutedi, Op.cit, hal. 25. Jadi dengan layering, pekerjaan dari pihak pencuci uang (launderer) belum berakhir dengan ditempatkannya uang tersebut ke dalam sistem keuangan dengan melakukan placement, seperti diterangkan di atas. Jumlah uang haram yang sangat besar yang ditempatkan di suatu bank, tetapi tidak dapat dijelaskan asal-usulnya itu akan sangat menarik perhatian otoritas moneter negara yang bersangkutan, yang pada gilirannya akan menarik perhatian para penegak hukum.

  Oleh karena itu, setelah dilakukan placement maka uang tersebut perlu dipindahkan lagi dari suatu bank ke bank yang lain dan dari negara yang satu ke negara yang lain sampai beberapa kali, yang sering pelaksanaannya dilakukan dengan cara memecah-mecah jumlahnya sehingga dengan pemecahan dan pemindahan beberapa kali itu asal-usul uang tersebut tidak mungkin lagi dapat dilacak oleh otoritas moneter atau oleh orang penegak hukum.

  Sering kali nasabah penyimpan dana yang tercatat di bank justru bukan pemilik yang sesungguhnya dari uang tersebut. Nasabah penyimpan dana itu mungkin sudah merupakan lapis yang kesekian apabila diurut dari sejak pangkalnya yaitu pemilik yang sesungguhnya dari uang yang ditempatkan itu.

  Dari urutan mereka yang dilalui oleh pemilik yang sesungguhnya dari uang itu sampai pada lapis yang terakhir yaitu nasabah penyimpan dana yang secara resmi tercatat di bank tersebut maka pemakaian lapisan-lapisan yang demikian itu dapat pula disebut layering.

  Dengan layering dimaksudkan proses pemisahan gelap berasal dari sumber mereka dengan menciptakan lapisan yang kompleks dari transaksi keuangan dirancang untuk menyembunyikan jejak audit dan menyediakan keadaan tanpa nama. Hubungan antara placement dan layering adalah jelas. Setiap prosedur

  

placement yang berarti mengubah lokasi fisik atau sifat haram dari uang itu adalah

  juga salah satu bentuk layering. Strategi layering pada umumnya meliputi, antara lain, dengan mengubah uang tunai menjadi aset fisik seperti kendaraan bermotor, barang-barang perhiasan dari emas atau batu-batu permata yang mahal, atau real estate, atau instrumen keuangan seperti money orders, cashiers cheques or

  

securities and multiple electronic transfers of funds to so called ‘bank secrecy

   havens’ , such as Switzweland or the Cayman Islands”.

  3. Tahap Penggabungan (Integration) Integration adalah upaya menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah baik dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam bentuk kekayaan materiil atau keuangan dipergunakan untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana. Dalam melakukan pencucian uang, pelaku tidak terlalu mempertimbangkan hasil yang akan diperoleh dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan karena tujuan utamanya adalah untuk menyamarkan atau menghilangkan asal-usul uang sehingga hasil akhirnya dapat dinikmati atau digunakan secara aman. Ketiga kegiatan tersebut di atas dapat terjadi secara terpisah atau simultan, namun umumnya dilakukan secara tumpang tindih. Modus operandi pencucian uang dari waktu ke waktu semakin kompleks dengan menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup rumit. Hal itu terjadi baik pada tahap placement, layering maupun integration sehingga penanganannya pun menjadi semakin sulit dan membutuhkan peningkatan kemampuan (capacity building) secara sistematis dan 46 Ibid, hal. 28. berkesinambungan. Pemilihan modus operandi pencucian uang bergantung dari kebutuhan pelaku tindak pidana.

  Jadi, dalam integration, begitu uang tersebut telah dapat diupayakan proses pencuciannya berhasil melalui cara layering, maka tahap selanjutnya adalah menggunakan uang yang telah menjadi halal (clean money) yang digunakan untuk kegiatan bisnis atau kegiatan operasi kejahatan dari penjahat atau organisasi kejahatan yang mengendalikan uang tersebut. Dengan integration dimaksudkan ketetapan hak kekuasaan nyata untuk dengan jahatnya memperoleh kekayaan. Jika proses lapisan telah berhasil menggantikan, rencana pengintegrasian menempatkan yang dicuci berproses kembali ke dalam kegiatan ekonomi yang sedemikian sehingga kembalinya sistem keuangan menjadi bisnis normal. Dengan perkataan lain, si penjahat harus mengintegrasikan dana dengan cara legitimasi ke dalam proses ekonomi yang normal. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyampaikan laporan palsu yang mengangkut pinjaman uang juga melalui pendapatan dan faktur korporasi atau lebih sederhananya melalui suatu perpindahan elektronik menyangkut dana dari suatu rahasia bank tempat berlindung kembali ke negeri asal uang.

  Ke semua perbuatan dalam proses pencucian uang haram ini memungkinkan para raja uang haram ini menggunakan dana yang begitu besar itu dalam rangka mempertahankan ruang lingkup kejahatan mereka atau untuk terus berproses dalam dunia kejahatan yang terutama menyangkut narkotik. Untuk menghadapi cara-cara yang digunakan oleh para penjahat ini dengan para pembantu mereka melalui berbagai transaksi yang tidak jelas dalam rangka menghalalkan uang mereka dalam jumlah yang besar, maka ada tiga permasalahan yang harus ditangani jika ingin menggagalkan praktik kotor pencucian uang haram. Yang pertama ialah kerahasiaan bank, kerahasiaan financial secara pribadi dan efisiensi transaksi. Beberapa instrumen internasional yang erat kaitannya dengan pengaturan mengenai money laundering adalah:

  a. United Nation Convention Against Illicit Traffic in Narcotic drugs and Psychotropic Substances (December 20, 1988);

  b. Council of Europe Convention on Laundering, Search, Seizure and Confiscation of the Proceeds from Crime (No. 8, 1990); dan

  c. European Communities Directive, Council Directive on Prevention of the Use of the Financial System for the Purpose of Money Laundering

   (June 10,1991).

   Proses pencucian uang menurut Anwar Nasution , ada empat faktor yang

  dilakukan dalam proses pencucian uang. Pertama, baik merahasiakan siapa pemilik yang sebenarnya maupun sumber uang hasil kejahatan itu. Kedua, mengubah bentuknya sehingga mudah dibawa kemana-mana. Ketiga, merahasiakan proses pencucian uang itu sehingga menyulitkan pelacakannya oleh petugas hukum. Keempat, mudah diawasi oleh pemilik kekayaan yang sebenarnya.

  ertama, disebut

  sebagai “immersion” atau “membenamkan” uang haram sehingga tidak tampak 47 48 Ibid, hal. 30 Anwar Nasution, Sistem Keuangan dan Proses Money Laundering, dalam Jurnal

  Hukum Bisnis, Volume 3, tahun 1998, hal.12-13. 49 Ibid.

  dari permukaan. Dalam proses ini, uang hasil kejahatan ditempatkan dan dikonsolidasikan dalam bentuk dan tempat yang sulit oleh sistem pengawasan petugas hukum. Karena menggunakan sistem pembayaran yang sah, proses “pembenaman” uang yang sah dilakukan melaui rekening Koran, wesel pos (postal orders) traveler’s check, surat berharga atas unjuk, ataupun instrumen keuangan lainnya yang mudah dikonversi ke dalam bentuk uang tunai dan tabungan pada sistem perbankan. Instrumen lain yang sering digunakan menutupi pemilik ataupun sumber uang haram adalah penggunaan transaksi kegiatan yang memang sulit dilacak dan dipajaki. Kesukaran itu mungkin bersumber dari sifat transaksi daripada kegiatan tersebut yang tidak memerlukan identitas baik pembeli maupun penjual komoditi yang diperjualbelikan. Berapa besarnya volume ataupun nilai transaksi sulit ditaksir karena transaksi bersifat “cash and carry” ataupun karena tidak ada standar yang baku. Pelacakan semakin sulit dilakukan jika transaksi lebih banyak menggunakan uang tunai. Kegiatan transaksi uang secara tunai tersebut, antara lain, seperti perdagangan eceran. Termasuk di dalamnya seperti restoran, bar dan klab malam, persewaan alat-alat hiburan ataupun perjudian, serta pelacuran yang dilegalisasi. Perdagangan batu mulia serta permata, barang antik, uang ataupun perangko tua yang tidak memiliki standar harga yang baku juga termasuk dalam kelompok ini. Jika sistem perbankan tidak dapat dipercaya, masyarakat kembali pada sistem tradisional. Erosi kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan terjadi karena kegoncangan sistem politik sosial ataupun karena adanya sistem devisa yang dikontrol ketat oleh pemerintah. Dalam sistem tradisional itu baik uang maupun barang berharga dijual atau diagunkan oleh pemiliknya kepada pemegang emas ataupun valuta asing di suatu tempat ataupun di suatu negara. Pada gilirannya pedagang tersebut memberikan surat bukti penyimpanan baik uang maupun barang berharga itu. Surat bukti tersebut dapat diuangkan kembali oleh pemegangnya pada jaringan yang dimiliki oleh pedagang emas dan valuta asing yang mengeluarkan surat berharga itu di tempat lain di mancanegara. Biaya transaksi yang dipungut oleh jaringan pedagang seperti itu lebih mahal daripada biaya yang dipungut oleh sistem perbankan. Sistem seperti ini disebut “uang terbang.” Pada tahap kedua, uang haram yang telah dibenamkan di bawah “permukaan air” tersebut diberi sabun dan diacak. Proses penyabunan dan pengacakan dilakukan baik dengan memanfaatkan Undang-Undang Kerahasiaan Bank maupun celah-celah peluang hukum, sistem politik yang “busuk”, kelemahan administrasi serta sistem pembayaran ataupun sistem perbankan yang ada di berbagai negara. Dengan demikian, peranan para ahli hukum serta

   pengacara, konsultan dan akuntan sangat menonjol dalam proses tersebut.

  Di samping itu, uang haram dipindah-pindahkan dari satu rekening ke rekening lain, baik di dalam negeri maupun melalui transaksi antarnegara. Tujuan transaksi tersebut adalah untuk semakin menutup identitas pemilik yang sebenarnya ataupun sumber uang haram tersebut. Untuk melayani transaksi semacam itu, pemilik uang haram membentuk prasarana jaringan transaksi 50 Ibid, hal. 14. internasional yang sangat kompleks. Prasarana dapat berupa perusahaan gadungan yang sengaja dibentuk dan beroperasi di mancanegara, apakah dimiliki sendiri oleh pemilik uang haram ataupun cukup dapat dikontrol olehnya. Prasarana tersebut termasuk jaringan pedagang emas dan valuta asing pada sistem “uang terbang”. Transaksi juga dapat dilakukan melalui rekening perwalian (trust), baik milik pengacara, akuntan, maupun klien pemilik uang haram.

  Tahap ketiga, proses pencucian uang haram disebut sebagai proses “pengeringan” atau repatriasi dan integrasi. Pada tahap ini uang haram telah “dicuci” bersih dimasukkan kembali ke dalam sirkulasi dalam bentuk yang menurut aturan hukum, telah berubah menjadi legal dan sudah membayar

   kewajiban pajak.

  Pada tahap keempat, tiap tahap proses pencucian uang dan besar kecilnya jaringan prasarana yang diperlukan untuk mendukung bergantung pada volume uang haram yang akan di-”putihkan”. Sebagai contoh, uang haram jumlah besar hasil kejahatan kelompok gangster Al Capone, diputihkan oleh Meyer Lansky, baik melalui perjudian legal. Untuk keperluan tersebut, kelompok Al Capone mengembangkan pusat perjudian, pelacuran, serta bisnis hiburan di Las Vegas dan Nevada, dua negara bagian yang melegalisasi bisnis seperti itu. Dalam sekejap mata, Meyer Lansky membuat Havana (pada masa pemerintahan Presiden Fugencio Batista) menjadi pusat perjudian, hiburan dan “offshore banking” adalah untuk menjadi pelabuhan tempat transit uang haram. setelah Cuba jatuh ke tangan

51 Ibid.

  rezim komunis di bawah Presiden Fidel Castro, Meyer Lansky pindah ke Bahama

   yang dikembangkannya sebagai pusat perjudian dan hiburan.

  Pada awalnya negara tempat penyimpanan uang haram adalah Swiss, Luxembourg, Lichtenstein, Hongkong dan Singapura. Daftar ini semakin bertambah dengan masuknya Panama, Antile Belanda dan Cayman Islands yang sekarang nyatanya paling disukai oleh bank-bank, baik swasta maupun BUMN. Selain menawarkan bebas pajak, negara-negara miskin tidak memiliki infrastuktur yang memadai untuk mengawasi bank ataupun transaksi keuangan masyarakat

   sehingga merupakan tempat yang sangat ideal bagi kegiatan pemutihan uang.

  52 53 Ibid, hal. 15.

  TB. Irman, Op.cit, hal 42.

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Tentang Penentuan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Dalam UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

2 66 142

Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Dilakukan Oleh Korporasi Menurut UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

2 82 117

Perjanjian Ekstradisi Dalam Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang

1 79 83

Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Menerima Gratifikasi Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

5 67 133

Penerapan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang Hasil Tindak Pidana Narkotika ( Studi Putusan No. 847/Pid.B/2013/PN.MDN)

2 58 104

BAB II TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA A. Sejarah dan Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang 1. Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang - Tinjauan Yuridis Terhadap Penyitaan Aset Yang Tidak Terkait Tindak P

0 0 25

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG - Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Dilakukan Oleh Korporasi Menurut UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

0 0 35

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Dilakukan Oleh Korporasi Menurut UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

0 0 15

BAB II HUBUNGAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG A. Keterkaitan Tindak Pidana Korupsi dengan Tindak Pidana - Penggunaan Instrumen Anti Pencucian Uang Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi

0 0 30

BAB I PENDAHULUAN - Perjanjian Ekstradisi Dalam Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang

0 0 22