Penerapan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang Hasil Tindak Pidana Narkotika ( Studi Putusan No. 847/Pid.B/2013/PN.MDN)

(1)

PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG HASIL TINDAK PIDANA NARKOTIKA

( STUDI PUTUSAN NOMOR. 847/PID.B/2013/PN.MDN) SKRIPSI

O l e h

ROYANTI 110200290

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG HASIL TINDAK PIDANA NARKOTIKA

( STUDI PUTUSAN NOMOR. 847/PID.B/2013/PN.MDN)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

O l e h : ROYANTI

110200290

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. H. M. Hamdan, SH. MH NIP. 19570326198601001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Nurmalawaty, S.H.,M.Hum Rafiqoh Lubis, S.H.,M.Hum NIP. 196209071988112001 NIP. 197407252002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan karuniaNya Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi ini adalah merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul skripsi adalah “Penerapan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang Hasil Tindak Pidana Narkotika ( Studi Putusan No. 847/Pid.B/2013/PN.MDN).

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tak luput dari kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua Penulis E. Tampubolon dan N br Situmorang, yang dengan sepenuh hati memberikan dukungan yang begitu besar bagi Penulis baik itu dukungan Materil maupun moril yang begitu berharga bagi Penulis.

Selain itu, melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH. MH. DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. OK Saidin SH. M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. M. Hamdan, SH. MH., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Nurmalawaty, SH. M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I Penulis yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing, memberi masukan dan mengarahkan Penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.

7. Ibu Rafiqoh Lubis, SH. M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan masukan kepada penulis dengan begitu sabar hingga terselesaikannya skripsi ini. 8. Bapak Hemat Tarigan, SH. M.Hum., selaku Dosen Wali yang telah

membimbing penulis selama masa perkuliahan.

9. Abang-abang, Kakak dan Eda-edaku yang sangat kusayangi dan selalu memberikan dukungannya kepada penulis selama masa perkuliahan hingga terselesaikannya skripsi ini.

10.Susanti Nababan, SH selaku PKK ku di kelompok kecil, terima kasih telah menjadi kakak terbaik ku selama di medan, terima kasih juga atas seluruh dukungannya dan untuk segala nasehat selama ini yang begitu berharga bagi Penulis.

11.Elora dan Janet, terima kasih untuk teman-teman kelompok kecilku Roulinta Y Sinaga, Sri Nita Tarigan, Sabrina A Gultom, Gracia W Manurung dan Aprini R Tarigan, Holy A Kembaren, Kristina Simbolon, Sarah N Siagian terima kasih selama ini telah menjadi teman berbagi suka dan duka baik dalam kelompok kecil maupun diluar kelompok kecil.


(5)

12.Sisca Siregar dan Nadia Siregar, terima kasih untuk segala dukungannya bagi Penulis dan terima kasih juga selama ini telah menjadi teman terbaik bagi Penulis baik dalam suka dan duka.

13.UKM KMK USU, terima kasih telah menjadi sarana bagi Penulis untuk semakin bertumbuh lagi dalam hal Rohani serta membantu Penulis untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi setiap harinya.

14.PERMAHI, terima kasih buat seluruh rekan-rekan permahi yang telah mendukung penulis selama penyelesaian skripsi ini dan terima kasih juga karena telah menjadi wadah pembelajaran bagi Penulis baik pembelajaran dalam bidang hukum, pembentukan karakter serta memberikan sebuah keluarga baru bagi Penulis melalui organisasi ini.

15.Teman-teman stambuk 2011 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan seluruh teman-teman Penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Medan, Juli 2015 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI………..…iv

ABSTRAKSI………vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………...………....1

B. Perumusan Masalah………...…...5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………...……...5

D. Keaslian Penulisan…….………..………..……....6

E. Tinjauan Kepustakaan..………....7

1. Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana….….….7 2. Perkembangan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia………..……...12

3. Narkotika dan Tindak Pidana Narkotika..………..26

F. Metode Penelitian………..………...…………..…..33

G. Sistematika Penulisan………...……....35

BAB II KETENTUAN HUKUM PIDANA MENGENAI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM MENJERAT PELAKU TINDAK PIDANA UNTUK UPAYA MENGURANGI PELAKU TINDAK PIDANA. A. Modus Dalam Pencucian Uang …...…………..………..37

B. Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Ketentuan Pencucian Uang Sebagai Upaya Menjerat Pelaku Tindak


(7)

Pidana………...44

C. Ketentuan Hukum Pidana Mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam Menjerat Pelaku Tindak Pidana Untuk Upaya Mengurangi Pelaku Tindak Pidana …...…48

BAB III KAITAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA. A. Ruang Lingkup Tindak Pidana Pencucian Uang ...55

B. Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang Hasil Tindak ………57

C. Kaitan Tindak Pidana Pencucian Uang Dengan Tindak Pidana……….…. 59

BAB IV PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG HASIL TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI PUTUSAN NOMOR. 847/PID.B/2013/PN.MDN). A. Kasus ...………..66

1. Kronologis Kasus66 2. Dakwaan……….69

3. Fakta Hukum………..70

4. Tuntutan……….85

5. Putusan………...88

B. Analisa Kasus………...91


(8)

A. Kesimpulan………..………..…..98

B. Saran………...…101


(9)

Abstraksi

Royanti 1

Nurmalawaty, SH., M.Hum ** Rafiqoh Lubis, SH., M.Hum ***

Secara umum Pencucian uang adalah suatu cara atau proses untuk mengubah uang “haram” yang sebenarnya dihasilkan dari sumber illegal sehingga menjadi uang yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah atau halal dengan cara mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk atau menukarkan dengan mata uang atau surat berharga yang dilakukan melalui tahap Placement (Penempatan Uang), Layering (Pelapisan Uang), Integration (Penyatuan Uang).

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang yang berkaitan dengan Tindak Pidana Narkotika sebagai tindak pidana asalnya, hal ini tertuang dalam Putusan Pengadilan sebagai jalan penyelesaian Tindak Pidana Pencucian Uang atas hasil Tindak Pidana Narkotika tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah penelitian normatif.

Pemerintah Republik Indonesia mengkriminalisasikan pencucian uang (Money laundering) ini pada tahun 2002 dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Penanganan tindak pidana pencucian uang atas dasar UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003, meskipun sudah menunjukkan arah yang positif, tetapi dirasa masih belum optimal, hal inilah yang kemudian memicu dibentuknya UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Tindak pidana pencucian uang mengenal nomenklatur sebagai tindak pidana lanjutan (predicate crime), atau dengan istilah kejahatan asal. Tindak Pidana Narkotika sendiri adalah salah satu dari kejahatan asal yang terdapat dalam Tindak Pidana Pencucian Uang, hal ini diatur dengan jelas dalam Pasal 2 angka (1) huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Berdasarkan analisis penulis penerapan Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang diamati melalui kasus yang masuk ke PN Medan yang dalam putusannya hakim menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sebesar Rp. 50.000.000,- sudahlah tepat, hanya saja perintah pidana penjara tidak usah dijalani tersebut yang menurut penulis kurang tepat karena alasan untuk tidak menjalani pidana penjara tersebut tidaklah logis.

1

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Pidana

**

Dosen PembimbingI, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***

Dosen PembimbingII, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(10)

Abstraksi

Royanti 1

Nurmalawaty, SH., M.Hum ** Rafiqoh Lubis, SH., M.Hum ***

Secara umum Pencucian uang adalah suatu cara atau proses untuk mengubah uang “haram” yang sebenarnya dihasilkan dari sumber illegal sehingga menjadi uang yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah atau halal dengan cara mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk atau menukarkan dengan mata uang atau surat berharga yang dilakukan melalui tahap Placement (Penempatan Uang), Layering (Pelapisan Uang), Integration (Penyatuan Uang).

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang yang berkaitan dengan Tindak Pidana Narkotika sebagai tindak pidana asalnya, hal ini tertuang dalam Putusan Pengadilan sebagai jalan penyelesaian Tindak Pidana Pencucian Uang atas hasil Tindak Pidana Narkotika tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah penelitian normatif.

Pemerintah Republik Indonesia mengkriminalisasikan pencucian uang (Money laundering) ini pada tahun 2002 dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Penanganan tindak pidana pencucian uang atas dasar UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003, meskipun sudah menunjukkan arah yang positif, tetapi dirasa masih belum optimal, hal inilah yang kemudian memicu dibentuknya UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Tindak pidana pencucian uang mengenal nomenklatur sebagai tindak pidana lanjutan (predicate crime), atau dengan istilah kejahatan asal. Tindak Pidana Narkotika sendiri adalah salah satu dari kejahatan asal yang terdapat dalam Tindak Pidana Pencucian Uang, hal ini diatur dengan jelas dalam Pasal 2 angka (1) huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Berdasarkan analisis penulis penerapan Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang diamati melalui kasus yang masuk ke PN Medan yang dalam putusannya hakim menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sebesar Rp. 50.000.000,- sudahlah tepat, hanya saja perintah pidana penjara tidak usah dijalani tersebut yang menurut penulis kurang tepat karena alasan untuk tidak menjalani pidana penjara tersebut tidaklah logis.

1

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Pidana

**

Dosen PembimbingI, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***

Dosen PembimbingII, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kejahatan pencucian uang ( money laundring ) belakangan ini makin mendapat perhatian khusus dari berbagai kalangan, yang bukan saja dalam skala nasional, tetapi juga meregional dan mengglobal melalui kerja sama antar negara-negara. Gerakan ini terpicu oleh kenyataan di mana kini semakin maraknya kejahatan money laundering dari waktu ke waktu, sementara kebanyakan negara belum menetapkan sistem hukumnya untuk memerangi atau menetapkannya sebagai kejahatan yang harus diberantas. Sebegitu besarnya dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap perekonomian suatu negara, sehingga negara -negara di dunia dan organisasi internasional merasa tergugah dan termotivasi untuk menarik perhatian yang lebih serius terhadap pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang. Hal ini didorong karena kejahatan money laundering mempengaruhi sistem perekonomian khususnya menimbulkan dampak negatif baik secara langsung maupun tidak langsung.

Menurut Guy Stessen terdapat tiga alasan mengapa pencucian uang menjadi bentuk kejahatan yang harus diperangi dan dinyatakan sebagai tindak pidana. Per tama , pencucian uang memberi dampak negatif pada sistem keuangan dan ekonomi yang dapat mengganggu stabilitas perekonomian dunia. Kedua , atas dampaknya yang begitu besar bagi perekonomian dunia maka penetapan pencucian uang sebagai tindak pidana merupakan usaha untuk menghentikan aliran dana hasil kejahatan asal. Hal ini akan memudahkan bagi aparat penegak hukum untuk menyita hasil tindak pidana yang seringkali sulit terjamah hukum. Dengan demikian orientasi pemberantasan pencucian uang beralih dari menindak


(12)

pelakunya kearah menyita hasil tindak pidana. Melakukan kriminalisasi terhadap pencucian uang dapat menjadi landasan bagi aparat penegak hukum untuk memidanakan pihak ketiga yang dinilai menghambat upaya penegakan hukum. Ketiga, dengan dinyatakannya pencucian uang sebagai tindak pidana maka melahirkan sistem pelaporan transaksi dalam jumlah tertentu yang menghasilkan berbagai transaksi mencurigakan. Tujuannya agar aparat penegak hukum mampu menyelidiki kasus pidana sampai menjurus kepada tokoh-tokoh dibelakangnya.

Dinamika atau perubahan ekonomi yang akselerasif berimplikasi pula pada sistem sosial, serta sesuai dengan sendirinya memasuki wilayah hukum. Dengan demikian hukum sebagai salah satu subsistem sosial, tidak bisa lepas dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, termasuk didalamnya perubahan ekonomi. Globalisasi hukum, mengharuskan Indonesia untuk segera melahirkan ketentuan perundang-undangan yang menjadi tuntutan internasional, salah satu kebutuhan mendasar tersebut adalah Undang-Undang Pencucian Uang. Tindak pidana pencucian uang sebagaimana terdapat dalam penjelasan umum menerangkan bahwa berbagai kejahatan, baik yang dilakukan oleh orang perorangan maupun oleh korporasi dalam batas wilayah suatu Negara maupun yang dilakukan melintasi batas wilayah Negara lain makin meningkat.

Kejahatan tersebut antara lain berupa tindak pidana korupsi, penyuapan (bribery), penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, perbankan, perdagangan gelap, narkotika dan psikotropika, perdagangan budak, wanita dan anak, perdagangan senjata dan berbagai kejahatan kerah putih (white collar crime). Kejahatan-kejahatan tersebut telah melibatkan atau menghasilkan harta kekayaan yang sangat besar jumlahnya. Harta kekayaan yang berasal dari berbagai kejahatan atau tindak pidana tersebut, pada umumnya tidak


(13)

langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatan, karena apabila langsung digunakan akan mudah dilacak oleh penegak hukum mengenai sumber diperolehnya harta kekayaan tersebut. Biasanya para pelaku kejahatan terlebih dahulu mengupayakan agar harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut masuk ke dalam sistem keuangan (Financial System). Dengan cara demikian asal usul harta kekayaan tersebut diharapkan tidak dapat dilacak oleh para penegak hukum. Upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dikenal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dikenal sebagai pencucian uang (money laundering).2

Sabagaimana kejahatan-kejahatan yang disebut diatas, kejahatan peredaran gelap narkoba memang sejak lama diyakini memiliki kaitan erat dengan proses pencucian uang. Sejarah perkembangan tipologi pencucian uang menunjukkan bahwa perdagangan obat bius merupakan sumber yang paling dominan dan kejahatan asal (predicate crime) yang utama yang melahirkan kejahatan pencucian uang. Organized crime selalu menggunakan metode pencucian uang ini untuk menyembunyikan, menyamarkan atau mengaburkan hasil bisnis haram itu agar nampak seolah-olah merupakan hasil dari kegiatan yang sah. Selanjutnya, uang hasil jual beli narkoba yang telah dicuci itu digunakan lagi untuk melakukan kejahatan serupa atau mengembangkan kejahatan-kejahatan baru.

Sejarah mencatat pula bahwa kelahiran rezim hukum internasional yang memerangi kejahatan pencucian uang dimulai pada saat masyarakat internasional merasa frustrasi dengan upaya memberantas kejahatan perdagangan gelap narkoba. Pada saat itu, rezim anti pencucian uang dianggap sebagai paradigma

2

Pathorang Halim, Penegakan Hukum terhadap Pencucian Uang di Era Globalisasi, Total Media, Yogyakarta, 20013, hlm. 9


(14)

baru dalam memberantas kejahatan yang tidak lagi difokuskan pada upaya menangkap pelakunya, melainkan lebih diarahkan pada penyitaan dan perampasan harta kekayaan yang dihasilkan. Logika dari memfokuskan pada hasil kejahatannya adalah bahwa motivasi pelaku kejahatan akan menjadi hilang apabila pelaku dihalang-halangi untuk menikmati hasil kejahatannya. Melihat korelasi yang erat antara kejahatan peredaran gelap narkoba sebagai predicate crime dan kejahatan pencucian uang sebagai derivative-nya, maka sangat jelas bahwa keberhasilan perang melawan kejahatan peredaran gelap narkoba di suatu negara sangat ditentukan oleh efektivitas rezim anti pencucian uang di negara itu.

Meski tindak pidana narkotika dan tindak pidana pencucian memiliki keterkaitan, meski demikian ada yang hanya terjerat kasus narkotika saja atau tindak pidana pencucian uang saja. Sebernya apa itu tindak pidana narkotika dan tindak pidana pencucian uang tersebut, lalu bagaimana peraturan yang ada di Indonesia tentang tindak pidana pencucian uang jika dikaitkan dengan tindak pidana narkotika, dan bagaimana penanganan terhadap tersangka kasus tersebut, itulah yang akan dibahas dalam skripsi ini.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana ketentuan hukum pidana mengenai tindak pidana pencucian uang dalam menjerat para pelaku tindak pidana ?

2. Bagaimana kaitan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana narkotika ?


(15)

3. Bagaimana penerapan ketentuan pidana terhadap tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana narkotika (Studi Putusan Nomor. 847/Pid.B/2013/PN.Mdn) ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Dalam penulisan ini, ada beberapa hal yang menjadi tujuan guna menjawab permasalahan yang ada dalam skripsi ini, adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bagaimana peran Pencucuian Uang dalam memberikan dampak untuk mengurangi Tindak Pidana Narkotika.

2. Untuk mengetahui kaitan antara Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Tindak Pidana Narkotika.

3. Untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum pidana dalam kasus Tindak Pidana Pencucian Uang hasil Tindak Pidana Narkotika.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:

a. Secara Teoritis

Guna mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan hukum pidana, khususnya mengenai tindak pidana pencucian uang.

b. Secara Praktis


(16)

2. Dengan adanya penelitian ini maka penulis dapat memberikan gambaran tentang tindak pidana pencucian uang dari hasi tindak pidana narkotika. 3. Agar masyarakat mengetahui bagaimana penerapan hukum di Indonesia

terhadap kasus pencucian uang.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini disusun berdasarkan literatur yang diperoleh dari perpustakaan dan dari media massa baik media cetak maupun elektronik. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari penelusuran studi literatur dan bahan-bahan kepustakaan lainnya, belum terdapat judul yang sama dengan skripsi yang diangkat pada judul skripsi ini.

Judul-judul yang ada tentang pencucian uang tidak ada yang menyentuh materi pokok dalam bahasan skripsi ini yaitu tentang “Penerapan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang hasil Tindak Pidana Narkotika ( Studi Putusan Nomor. 847/Pid.B/2013/PN.Mdn).” oleh sebab itu judul pada skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

a. Tindak Pidana

Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan “strafbaarfeit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu


(17)

perbuatan pidana, atau tindak pidana5. Para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dari istilah itu, tetapi belum ada keseragaman pendapat saat itu.6

Istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemaha dari istilah strafbaar feit adalah sebagai berikut:7

1. Tindak pidana, dapat dikatakan istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, Seperti dalam undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Peristiwa pidana, Pembentuk UU pernah menggunakan istilah peristiwa hukum, yaitu dalam Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 pasal 14 ayat 1 yang berbunyi “ Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan sesuatu peristiwa pidana berhak dianggap tak bersalah, sampai dibuktikan kesalahan saja dalam suatu siding pengadilan, menurut aturan-aturan hukum yang berlaku, dan ia dalam siding itu diberikan segala dijamin yang telah ditentukan dan yang perlu untuk pembelaan”.

Istilah tindak pidana menunjukan pengertian gerak-gerik tingkah laku dan gerak-gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut juga seseorang untuk tidsk berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak pidana.

5

Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 90

6

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal 67.

7


(18)

b. Unsur-unsur Tindak Pidana

Dalam kita menjabarkan sesuatu rumusan delik kedalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkan sesuatu tindakan manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang terlarang oleh Undang-undang. Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif.

Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:8 1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolusatau Culpa);

2. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP; 5. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana

menurut Pasal 308 KUHP.

8


(19)

Unsur-unsur objektif dari sutau tindak pidana itu adalah:9 a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelicjkheid;

b. Kualitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;

c. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Seorang ahli hukum yaitu Simons merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:

a. Diancam dengan pidana oleh hukum; b. Bertentangan dengan hukum;

c. Dilakukan oleh orang yang bersalah;

d. Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.

Satochid juga mengemukakan pendapat, menurutnya unsure-unsur delik atau tindak pidana ada dua golongan, yaitu unsur obyektif dan unsur subyektif.10 a. Unsur-unsur yang obyektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar diri

manusia, yaitu yang berupa:

1. Suatu tindak tanduk atau tingkah laku; 2. Suatu akibat tertentu;

3. Keadaan.

Semua unsur obyektif di atas harus dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.

b. Unsur-unsur subjektif yang berupa:

9

Ibid

10


(20)

penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit”.3

Perkataan “feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “dapat dihukum”, hingga secara harafiah perkataan “strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”. Yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.

Menurut Vos tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan diberi pidana. Jadi, suatu kelakuan manusia yang pada umumnya dilarang dan diancam dengan pidana.4

Menurut Van Hamel tindak pidana dirumuskan sebagai delik adalah perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang melawan hukum yang patut dipidana dan dilakukan sebagai kesalahan. Sebagai tindak pidana suatu pelanggaran terhadap kaidah hukum yang berlaku di masyarakat, dimana pelaku mempunyai kesalahan untuk dapat dimintai pertanggungjawaban sehingga dapat dikenal pemidanaan.

Kepustakaan tentang hukum Pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang menggunakan istilah peristiwa pidana, atau

3

Drs.P A.F.Lamintang, Dasar-dasar hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal 181.

4

Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus Diluar KUHP, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2014, hal 112.


(21)

1. Dapat dipertanggung jawabkan, yaitu adanya hukuman atau ancaman pidana;

2. Adanya kesalahan.

2. Perkembangan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia. a. Pencucian Uang

Meskipun tindak pidana pencucian uang telah berkembang sedemikian rupa, namun sampai saat ini tidak ada atau belum ada suatu definisi yang universal dan komprehensif mengenai apa yang dimaksud dengan pencucian uang atau money laundering ini.

Prof. Dr. utan Remy Sjahdeini menggaris bawahi, dewasa ini istilah money laundering sudah lazim digunakan untuk menggambarkan usaha-usaha yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum untuk melegalisasi uang “kotor” yang diperoleh dari hasil tindak pidana.11

Selain istilah tersebut diatas, ada beberapa definisi lain dari pencucian uang yang penulis himpun dari beberapa sumber. Namun, hakikatnya mengandung unsur-unsur pokok berupa tindakan yang sengaja dilakukan, berkaitan dengan kekayaan, dan kekayaan tersebut berasal dari kejahatan. Beberapa definisi tersebut ialah sebagai berikut:

1. Menurut Sarah N. Welling (1992) “ Pencucian Uang adalah proses dimana seseorang menyembunyikan keberadaan sumber (pendapatan) illegal atau aplikasi pendapatan illegal dan kemudian menyamarkan sumber (pendapatan) tersebut agar terlihat seperti sesuai dengan aturan atau hukum yang berlaku”.

11


(22)

2. Menurut David Fraser (1992) “ Pencucian Uang kurang lebih adalah proses dimana uang “kotor” (hasil dari tindak pidana) dicuci menjadi bersih atau uang kotor yang dibersihkan melalui suatu sumber hukum dan perusahaan yang legal sehingga ‘”para penjahat” dapat dengan aman menikmati hasil jerih payah tindak pidana mereka”.

3. Menurut Made. M. I Pastika “ Pencucian uang ialah cara dimana seseorang mengubah uang “haram” yang dimilikinya menjadi uang “bersih” yang bisa ditelusuri kembali kepada mereka, dan tidak bisa dihubungkan dengan kejahatan manapun.

4. Menurut Anwar Nasution “ Pencucian uang adalah suatu cara atau proses untuk mengubah uang “haram” yang sebenarnya dihasilkan dari sumber illegal sehingga menjadi uang yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah atau halal.

5. Menurut UU RI No. 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang: tindakan pencucian uang dapat berupa tindakan orang yang sengaja melakukan percobaan bantuan atau permufakatan jahat untuk:12

a. Menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana kedalam penyedia jasa keuangan, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

b. Mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan lain, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

12


(23)

c. Membayar atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri atau atas nama pihak lain;

d. Menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil dari tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

e. Menitipkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

f. Membawa keluar negeri harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

g. Menukarkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya; atau

h. Menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.

Selain dari definisi-definisi tersebut diatas, tindakan-tindakan dibawah ini juga merupakan praktik pencucian uang, yaitu:13

1. Perubahan atau transfer kekayaan dengan maksud menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul kekayaan, demikian pula dengan maksud membantu seseorang agar dapat menghindar dari konsekuensi tindakannya;

2. Penyembunyian atau pengaburan sumber, lokasi, penarikan, pemindahan hak-hak yang berhubungan dengan kekayaan atau kepemilikan dari suatu kekayaan;

13


(24)

3. Akuisisi, pemilikan atau penggunaan kekayaan yang diketahui dari kejahatan dan keikutsertaan dalam kejahatan;

4. Keikut sertaan, kerjasama atau persekongkolan, percobaan untuk melakukan atau membantu, mempermudah dan menyuruh melakukan kejahatan tersebut.

Mengacu pada sejumlah definisi tindak pidana pencucian uang diatas maka terlihat jelas, walaupun terdapat persamaan tentang unsur adanya uang hasil dari tindak pidana, unsur-unsur lainnya dari tindak pidana pencucian uang memiliki perbedaan.

Dengan demikian secara umum, tindak pidana pencucian uang bisa di definisikan secara ragam pula. Misalnya, tindak pidana pencucian uang sebagai proses dimana seseorang menutup-nutupi keberadaan uang illegal, ataupun aplikasi illegal dari uang, ataupun menutup-nutupi pendapatan agar pendapatan tersebut terlihat bersih atau sah menurut hukum dan tidak melanggar hukum.

b. Perkembangan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia

Tindak pidana pencucian uang (money laundering) sebagai salah satu jenis kejahatan kerah putih (white collar crime) sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 1867. Namun istilah money laundering baru muncul ketika Al Capone, salah satu mafia besar di Amerika Serikat, pada tahun 1920-an, memulai bisnis Laundromats (tempat cuci otomatis). Bisnis ini dipilih karena menggunakan uang tunai yang mempercepat proses pencucian uang agar uang yang mereka peroleh dari hasil pemerasan, pelacuran, perjudian, dan penyelundupan minuman keras terlihat sebagai uang yang halal. Sebelum tahun 1986, tindakan pencucian uang bukan merupakan kejahatan. Pada tahun 1980-an, jutaan uang hasil tindak kejahatan


(25)

masuk dalam bisnis legal dan usaha-usaha ekonomi lain. Pemerintah Amerika Serikat mulai mengkualifikasikan pencucian uang ini sebagai suatu tindak pidana dengan mengeluarkan Money Laundering Central Act. (1986), yang kemudian diikuti dengan The Annunzio Wylie Act.dan Money Laundering Suppression Act. (1994).

Sedangkan pemerintah Republik Indonesia baru mengkriminalisasikan pencucian uang (Money laundering) ini pada tahun 2002 dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dikeluarkannya UU No. 15 tahun 2002 ini oleh pemerintah Indonesia pada dasarnya tidak terlepas dari desakan dan ancaman sanksi yang dijatuhkan oleh masyarakat internasional. Saat itu dunia menyoroti beberapa kelemahan pada negara Indonesia untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, yakni tidak adanya undang-undang yang menetapkan money laundering sebagai tindak pidana.

Sejak tanggal 17 April 2002 telah mulai berlaku Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 30).

Untuk mengetahui latar belakang pemikiran, maksud dan tujuan penyusunan undang-undang tersebut demikian pula untuk mengetahui latar belakang maksud dan tujuan dijadikannya perbuatan yang berupa pencucian uang sebagai tindak pidana dapat diketahui dari penjelasan umum Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 yang mengemukakan sebagai berikut:

“Berbagai kejahatan baik yang dilakukan oleh orang perseorangan ma upun oleh korpora si da la m ba ta s wila ya h sua tu Nega ra ma upun ya ng dila kukan melinta si ba ta s-ba ta s wila ya h sua tu Nega ra la in makin meningka t. Ka ja ha ta n tersebut a nta ra la in berupa tinda k pidana korupsi, kenyua pan


(26)

(bribery, penyelundupa n ba ra ng, penyelundupan tenaga kerja , penyelundupan imigra n, perba nkan, perda gangan gela p na rkotika da n psikotropika , perdaga nga n buda k, wa nita da n a na k, perda ga nga n senja ta gela p, penculika n, terorisme, pencurian, penggela pa n, penipuan dan berba ga i keja ha tan kera h putih. Keja ha ta n-keja ha ta n tersebut tela h meliba tka n a ta u mengha silka n ha rta keka ya a n yang sa nga t besa r jumla hnya ).

Ba gi orga nisa si keja ha ta n, ha r ta kekaya an sebaga i ha sil keja ha ta n seba ga i iba ra t da ra h da la m sa tu tubuh, da la m pengertian a pabila a lira n ha rta keka ya a n mela lui sistem perbankan interna siona l ya ng dila kukan diputuska n, ma ka orga nisa si keja ha tan tersebut la ma kela ma an a ka n menja di lema h , berkurang a ktivita snya , bahkan menja di ma ti. Oleh ka rena itu, ha rta keka ya an merupa ka n bagia n ya ng sanga t penting ba gi sua tu orga nisa si keja ha ta n. Untuk itu, terda pa t sua tu doronga n ba gi organisa si keja ha ta n mela kuka n pencucia n ua ng aga r a sa l usul ha rta keka ya a n ya ng sanga t dibutuhkan tersebut sulit a ta u tidak dapat dilacak oleh penegak hukum.”

Secara khusus apa sebab sampai dibentuknya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tersebut adalah dikarenakan pada tanggal 22 Juni 2001, Financial Action Ta sk Force on Money Laundering (FATF)14 telah memasukkan Indonesia pada daftar Non Cooperative Countries and Territories (NCCT’s), karena di Indonesia:

a. Tidak adanya ketentuan yang menempatkan money laundering sebagai tindak pidana;

b. Tidak adanya ketentuan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer-KYC) untuk lembaga non bank;

c. Rendahnya kapasitas dalam penanganan kejahatan pencucian uang;

14

FATF adalah sebuah badan antar pemerintah (inter governmental body) yang didirikan oleh Negara-negara maju yang tergabung dalam G.7 di Paris pada bulan Juli 1985. Semula tugas dari FATF adalah memberantas pencucian uang (money laundering) tetapi dalam perkembangannya juga memberantas pendanaan terorisme (terrorist financing). FATF telah mengeluarkan rekomendasi tentang pencucian uang yang dikenal dengan nama THE 40 FATF RECOMMENDATIONS yang kemudian setelah peristiwa tanggal 11 september 2001, dikeluarkan lagi 8 (delapan) rekomendasi untuk memberantas terorisme dan 1 (satu) rekomendasi untuk khusus tentang Cash Courier, Rekomendasi tersebut bukan merupakan produk hukum yang mengikat, tetapi merupakan mandat atau kewajiban bagi setiap Negara apabila ingin dipandang sebagai Negara yang memenuhi standar internasional oleh masyarakat dunia. Indonesia belum menjadi anggota FATF, tetapi anggota dari Asia Pacifik Group on Money Laundering (APG). APG menjadi anggota FATF.


(27)

d. Kurangnya kerja sama internasional dalam penanganan kejahatan pencucian uang.15

Dimasukkannya suatu Negara ke dalam daftar NCCT’s adalah merupakan dasar bagi FATF untuk meminta kepada para anggotanya yang terdiri atas Negara-negara besar di dunia untuk melakukan counter-measures terhadap Negara tersebut dan menetapkan set date, yaitu tanggal mulai diberikannya sanksi kepada Negara tersebut.16

Apabila suatu Negara terkena counter-measures dari Negara-negara anggota FATF, maka Negara tersebut akan terisolir, antara lain tidak dapat melakukan transaksi dagang dan transaksi keuangan dengan pengusaha-pengusaha lembaga-lembaga keuangan dari Negara-negara yang melakukan counter-mea sures tersebut.

Negara yang masih memerlukan bantuan pinjaman dari luar negeri akan dapat pula mengalami kesulitan untuk memperoleh dana bantuan dan pinjaman dari Negara-negara yang melakukan counter-measures tersebut.

Negara tersebut juga akan mengalami kesulitan untuk memperoleh bantuan dan pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Wor ld Ba nk, IMF, dan ADB.17

Atas dasar alasan khusus seperti tersebut, maka dibentuklah UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Ternyata oleh FATF, UU No. 15 Tahun 2002 tersebut dinilai masih belum memenuhi standard Internasional,sehingga masih perlu diadakan perubahan.

15

Yunus Husein, Negeri Sang Pencuci Uang, Pustaka Juanda Tiga Lima, Jakarta, Cetakan ke-1, 2008, hal 89.

16

Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Pustaka Utama Grafitri, Jakarta, 2004, hal 94.

17


(28)

Perubahan terhadap UU No. 15 Tahun 2002 dilakukan dengan UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Meskipun terhadap UU No. 15 Tahun 2002 telah dilakukan perubahan untuk disesuaikan dengan standard internasional, FATF tidak serta merta mengeluarkan Indonesia dari daftar NCCT’s, karena FATF masih akan melihat bagaimana implementasinya dari UU No. 15 Tahun 2002 setelah dilakukan perubahan.18

Baru pada tanggal 11 Februari 2005 Indonesia dikeluarkan dari daftar NCCT’s, namun FATF tetap meminta Indonesia untuk melanjutkan pembangunan rezim anti pencucian uang dan akan dilakukan monitoring selama 1 (satu) tahun terhadap upaya-upaya yang dilakukan dalam memenuhi 40 + 9 rekomendasi dengan memfokuskan pada 6 (enam) hal sebagai berikut:

1. Mendorong agar small banks (seperti BPR dan bank-bank umum berskala kecil lainnya) menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan; 2. Meningkatkan capacity building, terutama kepada para penegak hukum yang

melakukan penanganan perkara tindak pidana pencucian uang;

3. Meningkatkan pelaksanaan penanganan kasus tindak pidana pencucian uang dengan tepat waktu;

4. Melaksanakan pemeriksaan terhadap PJK dan mengenakan sanksi secara tegas;

5. Mengundangkan RUU tentang Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Asssista nce) serta melaksanakan kerjasama internasional di bidang penegakan hukum;

18


(29)

6. Memenuhi komitmen untuk mendukung operasional (penyediaan anggaran, gedung perkantoran, sistem penggajian dan kewenangan pengangkatan pegawai tetap.

Selanjutnya dalam Second Plenary Meeting FATF on Money Laundering di Cape Town, Afrika Selatan tanggal 13-17 Februari 2006 telah ditetapkan antara lain bahwa status Indonesia tidak lagi dalam monitoring FATF.

Penanganan tindak pidana pencucian uang atas dasar UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 (untuk selanjutnya disingkat: UU No. 15 Tahun 2002 jo. UU No. 25 Tahun 2003), meskipun sudah menunjukkan arah yang positif, tetapi dirasa masih belum optimal karena perundang-undangan yang ada ternyata masih memberikan ruang tumbuhnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah hukum, kurang tepatnya pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya pergeseran beban pembuktian, keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan Pelapor dan jenis laporannya, serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana undang-undang ini.19

Sejak tanggal 22 Oktober 1020 UU No. 15 Tahun 2002 jo. UU No. 25 Tahun 2003 tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara RI Tahun 2010 Nomor 122 yang mulai berlaku pula sejak tanggal 22 Oktober 2010.

UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ini dibentuk sebagai respon dari pemerintah dan badan legislative terhadap perkembangan TPPU di Indonesia. Hal ini dikarenakan UU

19


(30)

TPPU dan Perubahan UU TPPU belum mampu menjawab setiap tantangan dan kemungkinan-kemungkinan praktik pencucian uang yang terjadi di masyarakat.

UU PPTPPU ini mengandung kebijakan hukum penanggulangan kebijakan pencucian uang. Kebijakan hukum tersebut dinyatakan sebagai berikut:

1. Kebijakan hukum melaui redefinisi, penambahan, dan perubahan pengertian hal yang terkait dengan TPPU, meliputi

a. Pengertian hal-hal lain yang tidak diubah dari UU TPPU dan perubahan UU TPPU dalam UU PPTPPU ini yaitu pengertian:

- Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.

- Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

- Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas atau benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:

- Tulisan, suara, atau gambar - Peta

- Huruf, tanda, angka, symbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahami.

- Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disingkat PPATK adalah lembaga independen yang


(31)

dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.

b. Redefinisi pengertian

1. Pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana dalam UU PPTPPU.

Perbuatan yang dimaksud sebagai tindak pidana dalam undang-undang ini akan dijelaskan pada poin selanjutnya.

2. Transaksi adalah seluruh kegiatan yangmenimbulkan hak dan/ atau kewajiban atau menyebabkan tibulnya hubungan hukum antar dua pihak atau lebih.

3. Transaksi keuangan dalah transaksi untuk melakukan atau menerima penempatan, penyetoran, penarikan, pemindah bukuan, pentrasferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang.

4. Transaksi keuangan mencurigakan adalah:

a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan.

b. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.

c. Transaksi yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.


(32)

d. Transaksi yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang di duga berasal dari hasil tindak pidana.

UU PPTPPU ini menambahkan suatu poin baru dalam definisi TKM yaitu poin ke-4 yang menyebabkan semakin luasnya transaksi yang dapat dicurigai sebagai TKM. Selain itu hal ini juga mengindikasikan bahwa PPATK memiliki kewenangan untuk meminta informasi, data, maupun dokumen terhadap suatu transaksi yang diduga sebagai upaya pencucian uang.

5. Transaksi Keuangan Tunai adalah transaksi Keuangan yang dilakuakn dengan menggunakan uang kertas dan/atau uang logam.

6. Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung.

Tim pemerintah dan komisi II Dewan Perwakilan Rakyat berdebat pada saat merumuskan pasal 2 ini. Perdebatan itu disebabkan adanya keberatan berkenaan dengan rumusan pasal 2 tersebut yaitu:20

(1) Seyogianya tidak dicantumkan daftar kejahatan-kejahatan yang menghasilkan Harta Kekayaan yang menjadi objek pencucian uang (daftar predica te crimes, yaitu kejahatan-kejahatan yang menghasilkan objek pencucian uang). Dengan adanya pencantuman daftar kejahatan tersebut, dikhawatrkan ada kejahatan yang terlupakan yang sangat potensial untuk menghasilkna harta kekayaan sebagai objek pencucian uang, namu tidak termuat dalam rumusan tersebut sehingga tidak dapat dipidana. Misalnya saja tidak tercantum “perjudian” dalam pasal 2 undang-undang tersebut, sedangkan menurut pasal 303 KUHP, perjudian merupakan tindak pidana. Tidak dicantumkannya perjudian sebenarnya disebabnkan karena ada pendapat yang mengatakan bahwa tidak semua oerjudian adalah tindak pidana tetapi da perjudian yang diselenggarakan dengan izin pemerintah. (2) Pada masa yang akan datang ada kemungkinan akan terjadi

kejahatan-kejahatan baru yang sebelumnya belum dikenal di masyarakat.

20


(33)

(3) Pada masa yang akan datang, tidak mustahil ada perbuatan-perbuatan yang menghasilkna uang dan merugikan pihak lain atau masyarakat akan dikriminalisasi melalui peraturan pernndang-undangan, namun saat ini perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana.

(4) Seharusnya jumlah harta Kekayaan tidak hanya dibatasi pada julmah Rp 500.000.000.00 atau lebih, namu juga untuk semua hasil tindak pidana yang “dicuci”ndengan slah satu perbuatan yang disebutkan dalam pasal 3 ayat (1).

Kritikan tersebut juga dilanjutkan dengan kritik dari FATF sebagai lembaga inrernasional yang memerangi tindak pidana pencucian uang sehingga tindak pidana asal tersebut ditambah dengan tindak pidana.

3. Narkotika dan Tindak Pidana Narkotika. a. Narkotika

Definisi narkotika secara umum adalah sejenis zat yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang menggunakannya, yaitu dengan cara memasukkan ke dalam tubuh. Istilah narkotika yang dipergunakan disini bukanlah “na rcotics” pada “fa rma cologie” (farmasi), melainkan sama artinya dengan “drug” yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh pemakai, yaitu:

a. Mempengaruhi kesadaran.

b. Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia. c. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa :

1. Penenang;

2. Perangsang (bukan rangsangan seks);

3. Menimbulkan halusinasi (pemakainya tidak mampu membedakan antara khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat). Soedarto menyatakan bahwa perkataan narkotika berasal dari perkataan Yunani “Na rke”yang berarti terbius sehingga tidak merasa apa-apa. Hilangnya


(34)

rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.21

Dalam Undang-undang No.35 Tahun 2009 ini juga menjelaskan apa yang dimaksud prekusor narkotika , adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana terlampir dalam UU No. 35 Tahun 2009.

Narkotika yang terkenal di Indonesia sekarang ini berasal dari kata “Narkoties”, yang sama artinya dengan kata narcosis yang berarti membius.

Sifat zat tersebut terutama berpengaruh pada otak sehingga menimbulkan perubahan pada perilaku, perasaan, pikiran, persepsi, kesadaran, halusinasi, disamping dapat digunakan untuk pembiusan.

Jenis-jenis narkotika yang perlu diketahui dalam kehidupan sehari-hari: 1. Ca ndu a tau disebut juga opium

Berasal dari sejenis tumbuh-tumbuhan yang dinamakan Papaver Somniferum, nama lain dari candu selain opium adalah madat. Bagian yang dapat dipergunakan dari tanaman ini adalah getahnya yang diambil dari buahnya, narkotika jenis candu atau opium termasuk jenis depressants yang mempunyai pengaruh hypnotics dan tranglizers. Depresants, yaitu merangsang system saraf parasimpatis, dalam dunia kedokteran dipakai sebagai pembunuh rasa sakit yang kuat.

Candu ini terbagi dalam dua jenis, yaitu candu mentah dan candu matang. Untuk candu mentah dapat ditemukan dalam kulit buah, daun, dan bagian-bagian lainnya yang terbawa sewaktu pengumpulan getah yang mongering pada kulit buah, bentuk candu mentah berupa adonan yang membeku seperti aspal lunak,

21


(35)

berwarna coklat kehitam-hitaman dan sedikit lengket. Sedangkan candu masak merupakan hasil olahan dari candu mentah.

Ada dua macam masakan candu, yaitu: 1. Candu masakan dingin (cingko); 2. Candu masakan hangat (jicingko).

Apabila jicingko dan cingko dicampur maka dapat menjadi candu masak yang memiliki kadar morphin tinggi.

2. Morphine

Adalah zat utama yang berkhasiat narkotika yang terdapat pada candu mentah, diperoleh dengan jalan mengolah secara kimia. Morphine termasuk jenis narkotika yang membahayakan dan memiliki daya eskalasi yang relative cepat, dimana seseorang pecandu untuk memperoleh rangsangan yang diingini selalu memerlukan penambahan dosis yang lambat laun membahayakan jiwa.

Menurut Pharmatologic Principles of Medical Practice by John C. Kranz dan Jeleff Carr, bahwa sebagai obat morphine berguna untuk hal berikut:

1. Menawarkan (menghilangkan) sakit nyeri, hanya cukup dengan 10 gram. 2. Menolak penyakit mejan (diare).

3. Batuk kering yang tidak mempan codeine. 4. Dipakai sebelum diadakan pembedahan.

5. Dipakai dalam pembedahan dimana banyak mengeluarkan darah, karena tekanan darah berkurang.

6. Sebagai obat tidur bila rasa sakit menghalang-halangi kemampuan untuk tidur, bila obat bius yang lebih lembut tidak mampu membuat rasa kantuk (tidur).


(36)

Tetapi bila pemakaian morphine disalah gunakan maka akan selalu menimbulkan ketagihan phisis bagi si pemakai.

3. Heroin

Berasal dari tumbuhan Papaver Somniferum, tanaman ini juga menghasilkan codeine, morpine dan opium. Heroin disebut juga dengan sebutan putau, zat ini sangat berbahaya bila dikonsumsi kelebihan dosis, bisa mati seketika.

4. Coca ine

Berasal dari tumbuh-tumbuhan yang disebut erythroxylon coca , serbuk cocaine berwarna putih, rasanya pahit dan lama-lama serbuk tadi menjadi basah. Ciri-ciri cocaine antara lain adalah:

a. Termasuk tanaman perdu atau belukar;

b. Di Indonesia tumbuh di daerah Malang atau Besuki Jawa Timur; c. Tumbuh sangat tinggi kira-kira 2 (dua) meter;

d. Tidak berduri, tidak betangkai, berhelai daun satu, tumbuh satu -satu pada cabang atau tangkai;

e. Buahnya berbentuk lonjong berwarna kuning-merah atau merah saja apabila sudah dimasak.

5. Ga nja

Berasal dari bunga dan daun-daun sejenis tumbuhan rumput bernama ca nna bis sa tiva .

Ganja terbagi atas dua jenis:

1. Ganja jenis jantan, dimana jenis seperti ini kurang bermanfaat, yang diambil hanya seratnya saja untuk pembuatan tali.

2. Ganja jenis betina, jenis ini dapat berbunga dan berbuah, biasanya digunakan untuk pembuatan rokok ganja.


(37)

Selain dikenal beberapa jenis ganja, terdapat pula beberapa variasi tentang ganja, yaitu:

a. Minyak ganja;

b. Dammar atau getah ganja yang disebut dengan hashis yang diperoleh dengan melalui proses penyulingan;

c. Budha stick atau thai stick. 6. Na rkotika sintetis a ta u bua ta n

Adalah sejenis narkotika yang dihasilkan dengan melalui proses kimia secara farmakologi yang sering disebut dengan istilah Napza, yaitu kependekan dari Narkotika Alkohol Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya.

Napza tergolong zat psikoaktif, yaitu zat yang terutama berpengaruh pada otak sehingga menimbulkan perubahan pada perilaku, perasaan, pikiran, persepsi, dan kesadaran.

Narkotika sinthetis ini dibagi menjadi 3 (tiga) bagian sesuai menurut reaksi terhadap pemakainya.

a . Depressa nts

Depressa nts atau depresif, yaitu mempunyai efek mengurangi kegiatan dari susunan syaraf pusat, sehingga dipakai untuk menenangkan syaraf seseorang atau mempermudah orang untuk tidur.

b. Stimula nts

Yaitu merangsang system syaraf simpatis dan berefek kebalikan dengan depressa nts, yaitu menyebabkan peningkatan kesiagaan, frekuensidenyut jantung bertambah/berdebat, merasa lebih tahan bekerja, merasa gembira, sukar tidur, dan tidak merasa lapar.


(38)

Zat semacam halusinasi dapat menimbulkan perasaan-perasaan yang tidak nyata yang kemudian meningkat pada halusinasi-halusinasi atau khayalan karena persepsi yang salah, artinya si pemakai tidak dapat membedakan apakah itu nyata atau hanya ilusi saja.

d. Obat adiktif lain

Yaitu minuman yang mengandung alcohol, seperti beer, wine, whisky, vodka, dan lain-lain. Pecandu alkohol cenderung mengalami kurang gizi karena alcohol menghalangi penyerapan sari makanan seperti glukosa, asam amino, asam folat, cacium, magnesium, dan vitamin B12.

Dari uraian jenis-jenis narkotika atau tepatnya naoza di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa narkotika/napza dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) kelompok:

1. Golongan Narkotika (Golongan I);seperti opium, morphine, heroin, dan lain-lain.

2. Golongan Psikotropika (Golongan II); seperti ganja, ectacy, shabu-shabu, hashis, dan lain-lain.

3. Golongan zat adiktif lain (Golongan III); yaitu minuman yang mengandung alcohol seperti beer, wine, whisky, vodka, dan lain-lain. b. Tindak Pidana Narkotika

Tindak pidana narkotika dapat diartikan dengan suatu perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum narkotika, dalam hal ini adalah Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan ketentuan-ketentuan lain yang termasuk dan atau tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut. Tindak pidana narkotika juga dapat dikatakan adalah penggunaan atau peredaran


(39)

narkotika yang tidak sah (tanpa kewenangan) dan melawan hukum (melanggar UU Narkotika)22. Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain23

a. Penyalahgunaan / melebihi dosis; b. Pengedaran narkotika;

c. Jual beli narkotika.

Dari ketiga tindak pidana narkotik itu adalah merupakan salah satu sebab terjadinya berbagai macam bentuk tindak pidana kejahatan dana pelanggaran, yang secara langsung menimbulkan akibat demoralisasi terhadap masyarakat, generasi muda, dan terutama bagi si pengguna zat berbahaya itu sendiri, seperti:

1. Pembunuhan; 2. Pencurian 3. Penodongan; 4. Penjambretan; 5. Pemerasan; 6. Pemerkosaan; 7. Penipuan;

8. Pelanggaran rambu lalu lintas;

9. Pelecehan terhadap aparat keamanan, dan lain-lain.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang

22

Moh Taufik Makaro, Suhasril, Moh. Zakky A.S., Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hal 45

23


(40)

didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka diadakan juga pemeriksaan mendalam terhadap suatu pemecahan atas segala permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.24

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan metode atau jenis penelitian kepustakaan (library research) yang bersifat yuridis normatif, artinya mengacu kepada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, yurisprudensi serta kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Metode penelitian normatif ini dipilih untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana narkotika.

2. Data dan Sumber Data

Jenis data yang diperoleh adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka. Data sekunder ini mengacu pada 3 bahan: a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat

sehubungan dengan masalah. Bahan hukum primer ini terdiri dari seluruh peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang mengatur masalah tindak pidana pencucian uang menurut undang-undang tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia;

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer. Dalam hal ini, bahan hukum sekunder

24

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986, hal 43.


(41)

yang diperoleh dari buku, jurnal, artikel, dokumen yang diperoleh dari internet, serta hasil-hasil penelitian dan tulisan-tulisan dari kalangan ahli hukum yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini;

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Misalnya, ensiklopedia, kamus hukum dan sebagainya.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah; studi kepustakaan (library research), yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan yakni; buku-buku, pendapat sarjana, artikel dan juga berita yang diperoleh penulis dari internet yang bertujuan untuk memperoleh atau mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori atau bahan-bahan atau doktrin-doktrin yang berkenaan dengan Tindak Pidana Pencucian uang dan Tindak Pidana Narkotika.

4. Analisis Data

Adapun metode anailisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode kualitatif. Analisis kualitatif lebih menekankan kepada kebenaran berdasarkan sumber-sumber hukum serta doktrin yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar memberikan kemudahan bagi pembaca dalam memahami makna dari penulisan


(42)

skripsi ini. Keseluruhan sistematika itu merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan yang satu dengan yang lain yang dapat dilihat sebagai berikut:

BAB I : Dalam bab pertama ini akan diuraikan mengenai latar belakang permasalahan, pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Dalam bab ini akan diuraikan mengenai bagaimana ketentuan hukum pidana mengenai pencucian uang dapat menjerat pelaku tindak pidana agar dapat mengurangi pelaku tindak pidana.

BAB III : Dalam bab ini Penulis akan menguraikan mengenai kaitan antara tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana narkotika serta sanksi terhadap tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana narkotika menurut undang-undang tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

BAB IV : Dalam bab ini penulis akan menguraikan bagaimana penerapan pasal mengenai tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana narkotika yang terdapat dalam undang-undang tentang pencegahan dan pembatasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia dengan mengkaji sebuah putusan yang terkait dengan pembahasan ini.

BAB V : Bab ini adalah penutup dari penulisan penelitian yang menguraikan secara singkat mengenai kesimpulan dari keseluruhan penulisan serta saran yang Penulis anggap perlu untuk disampaikan agar dapat bermanfaat bagi para pembaca dalam memahami topik yang telah dibahas dalam penulisan ini.


(43)

BAB II

KETENTUAN HUKUM PIDANA MENGENAI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM MENJERAT PELAKU TINDAK PIDANA

UNTUK UPAYA MENGURANGI PELAKU TINDAK PIDANA

A. Modus Dalam Pencucian Uang

Secara rinci dan konkrit, modus operasional kejahatan pencucian uang terdapat 13 (tiga belas) modus, yaitu:25

1. Modus secara Loan Back

Yaitu dengan cara meminjam uangnya sendiri. Modus terinci lagi dalam bentu direct loan, yakni dengancara meminjam uang dari perusahaan luar negeri, yakni semacam perusahaan bayangan (immbolen investment company), yang direksi dan pemegang sahamnya ialah ia sendiri. Dalam bentuk back to loan, dimana si pelaku meminjam uang dari cabang bakn asing di negaranya. Peminjam dengan jaminan bank asing secara stand bay letter of credit atau certificate of deposit bahwa uang di dapat atas dasar uang dari kejahatan. Peminjam itu kemudian tidak dikembalikan, sehingga jaminan bank dicairkan. Bentuk lainnya dari modus ini ialah parallel loan, yakni pembiayaan internasional yang memperoleh asset dari luar negeri. Karena ada hambatan restriksi mata uang, maka dicari perusahaan di luar negeri untuk sama-sama mengambil loan dan dana dari loan itu di pertukarkan satu sama lain.

2. Modus Operasi C-Chase

Modus ini cukup rumit karena memiliki sifat lika liku sebagai cara menghapus jejak. Contoh seperti kasus dalam BCCI, dimana kurir-kurir datang ke bank di Florida untuk menyimpan dana sebesar US $ 10.000, supaya lolos dari kewajiban lapor. Kemudian beberapa kali dilakukan transfer, yakni dari New York ke Luxemburg, dari Luxemburg ke cabang bank di Inggris, lalu disana

25


(44)

dikonversi dalam bentuk Certificate of Deposit untuk menjamin loan dalam jumlah yang sama yang diambil oleh orang di Florida. Loan dibuat di Negara karabia yang terkenal dengan tax heaven-nya. Disini loan itu tidak pernah ditagih, namun hanya dengan mencairkan sertifikat deposito itu saja. Dari rekening Drug Dea ler dan disana uang itu di distribusikan menurut keperluan dan bisnis yang serba gelap. Hasil investasi ini dapat tercuci dan aman.

3. Modus transaksi dagang internasional

Modus ini menggunakan sarana dokumen L/C. Karena yang menjadi focus urusan bank, baik bank koresponden maupun opening bank adalah dokumen bank itu sendiri dan tidak mengenai keadaan barang, maka hal ini dapat menjadi sasaran money laundering berupa invoice yang besar terhadap barang-barang yang kecil atau malahan barang itu tidak ada.

4. Modus penyelundupan uang tunai atau sistem bank parallel ke Negara lain. Modus ini menyelundupkan sejumlah uang fisik itu ke luar negeri. Berhubung dengan cara ini terdapat resiko-resiko seperti hilang dirampok atau tertangkap dalam pemeriksaan, dicari modus berupa electronic transfer, yakni mentransfer dari suatu negara ke negara lain tanpa perpindahan fisik uang itu. 5. Modus Akuisisi

Yang dimaksud adalah perusahaan sendiri. Contohnya, seorang pemilik perusahaan di Indonesia yang memiliki perusahaan di Indonesia, yang memiliki perusahaan secara gelap pula di Cayman Island, negara tax heaven. Hasil usaha di Cayman didepositkan atas nama perusahaan yang ada di Indonesia. Kemudian perusahaan yang ada di Cayman membeli saham-saham dari perusahaan yang ada di Indonesia (secara akuisisi). Dengan cara ini pemilik perusahaan di Indonesia memiliki dana sah, karena telah tercuci melalui hasil penjualan saham-sahamnya di perusahaan yangh ada di Indonesia.


(45)

6. Modus Real Estate Corousule

Dengan menjual suatu properti beberapa kali kepada perusahaan di dalam kelompok yang sama. Pelaku money laundering memiliki sejumlah perusahaan (pemegang saham mayoritas) dalam bentuk real estate. Dari satu ke lain perusahaan ke lain grup usaha property melakukan penjualan pada peru sahaan lain di lingkungan perusahaan itu juga dengan pola harga penjualan yang makin meningkat. Sasarannya supaya transaksi ini, hasil uang penjualan menjadi putih, disamping itu pula, pemilik saham minoritas dapat ditarik memodali dalam proses money la undering. Modus yang sama pula dilakukan di dalam pasar modal, yakni pembeli saham itu hanya perusahaan-perusahaan dilingkungannya saja dengan tawaran harga tinggi.

7. Modus Investasi tertentu

Investasi tertentu ini biasanya dalam bisnis transaksi barang lukisan atau antic. Misalnya pelaku membeli barang lukisan dan kemudian menjualnya kepada seseorang yang sebenarnya adalah suruhan si pelaku itu sendiri dengan harga yang mahal. Lukisan dengan harga yang tidak terukur, dapat ditetapkan dengan harga penjualan yang bersifat tinggi dapat dipandang sebagai dana yang sudah sah (tercuci).

8. Modus Over Invoices atau Double Invoice

Modus ini dilakukan dengan mendirikan perusahaan ekspor-impor di negara sendiri, lalu di luar negeri (yang bersifat sistem tax heaven) mendirikan pula perusahaan bayangan (shell company). Perusahaan di negara tax heaven ini mengekspor barang ke Indonesia dan perusahaan yang ada di luar negeri itu membuat invoice pembelian dengan harga tinggi dan bila dibuat 2 invoices, maka disebut double invoices. Supaya perusahaan di Indonesia terus bertahan, maka


(46)

perusahaan yang ada di luar negeri memberikan loan dengan cara loan ini, uang kotor di perusahaan di luar negeri.

9. Modus perdagangan saham

Modus ini pernah terjadi di Belanda . dalam suatu kasus di Bursa Efek Amsterdam, dengan melibatkan perusahaan efek Nusse Brink, dimana beberapa nasabah perusahaan efek ini menjadi pelaku kejahatan pencucian uang. Artinya, Modus Investasi tertentu, Modus over Invoices atau Double Invoice, Modus perdagangan saham, dana dari nasabahnyayang di inverstasi ini bersumber dari uang gelap. Nusse Brink membuat 2 buah rekening bagi nasabah-nasabah tersebut, yang satu utnuk transaksi yang menderita kerugian, dan satunyalain untuk transaksi yang mempunyai keuntungan. Rekening ini diupayakan dibuka di tempat yang sangat terjamin proteksi kerahasiaannya, supaya sulit ditelusuri siapa beneficia l owner dari rekening tersebut.

10.Modus Pizza Connection

Modus ini dilakukan dengan menginvestasikan hasil perdagangan obat bius diinvestasikan untuk mendapat koneksi Pizza, sementara sisi lainnya diinvestasikan di Karabia dan Swiss.

11.Modus La Mina

Kasus yang dipandang sebagai modus dalam money laundering terjadi di Amerika Serikat tahun 1990. Dana yang diperoleh dari perdagangan obat bius diserahkan kepada pedagang grosiran emas dan permata sebagai suatu sindikat. Kemudian emas batangan diekspor dari Uruguay dengan maksud supaya impornya bersifat legal. Uang disimpat dalam desin kotak kemasan emas, kemudian dikirim kepada pegadang perhiasan yang berisndikat mafia obat bius.


(47)

Penjualan dilakukan di Los Angles. Hasil uang tunai dibawa ke bank, dengan maksud supaya seakan-akan berasal dari penjualan emas dan permata dan dikirim ke Bank New York dan dari kota ini dikirim ke bank di Eropa melalui negara Panama. Uang tersebut akhirnya sampai di Kolombia guna didistribusi dalam berupa membayar ongkos-ongkos, untuk investasi perdag:angan obat bius, tetapi sebagian besar untuk investasi jangka panjang.

12.Modus Deposit Taking

Mendirikan perusahaan keuangan seperti Deposit Taking Institutions (DTI) di Canada. DTI ini terkenal dengan sarana pencucian uang seperti cha ra tered banks, trust companie dan credit union. Kasus money laundering yang melibatkan DTI antara lain transfer melalui telex, surat berharga penukaran valuta asing, pembelian obligasi pemerintah dan treasury buills.

13.Modus Identitas Palsu

Dengan cara memanfaatkan lembaga perbankan sebagai mesin pemutih uang, dengan cara mendepositokan secara nama palsu, menggunakan safe deposit box untuk menyembunyikan hasil kejahatan menyediakan fasilitas transfer supaya dengan mudah di transfer ke tempat yang dikehendaki, atau menggunakan electronic fund tra nsfer untuk melunasi kewajiban transaksi gelap. Menyimpan atau mendistribusikan transfer gelap itu.

Selanjutnya perlu diketahui bagaimana para pelaku money laundering melakukan money laundering, sehingga bisa dicapai hasil dari uang legal. Secara metodik dikenal 3 (tiga) metode dalam money laundering, antara lain:

1. Metode Buy and Sell Conversions

Metode ini dilakukan melalui jual barang-barang dan jasa. Sebagai contoh, rea l esta te atau asset lainnya yang dapat dijual kepada co-conspirator yang


(48)

menyetujui untuk membeli atau menjual dengan harga yang lebih tinggi dari pada harga yang sebenarnya dengan tujuan untuk memperoleh fee atau discount. Kelebihan harga dibayar dengan menggunakan uang illegal dan kemudian dicuci melalui transaksi bisnis. Dengan cara ini setiap aset barang atau jasa seolah-olah menjadi hasil legal melaui rekening pribadi atau perusahaan yang ada disuatu bank.26

2. Metode Offshore Conversions

Dengan cara ini uang kotor dikonversi ke suatu wilayah yang merupakan tempat yang sangat menyenangkan bagi penghindaran pajak (tax heaven money la undering centers) untuk kemudian di depositkan di bank yang berada di wilayah tersebut. Di Negara-negara yang termasuk atau berciri tax heaven demikian memang terdapat sistem hukum perpajakan yang tidak ketat, birokrasi bisnis yang cukup mudah untuk memungkinkan adanya rahasia bisnis yang ketat serta pembentukan usaha trust fund. Untuk mendukung kegiatan demikian, para pelakunya memakai jasa-jasa pengacara, akuntan dan konsultan keuangan dan para pengelola dana yang handal untuk memanfaatkan segala celah yang ada di dalam negara ini.27

3. Metode Legitimate Busnises Conversions

Metode ini dilakukan melalui kegiatan bisnis yang sah sebagai cara pengalihan atau pemanfaat dari sesuatu hasil uang kotor. Hasil uang kotor ini kemudian dikonversi secara transfer, cek atau alat pembayaran lain untuk disimpan di rekening bank atau ditransfer kemudian ke rekening bank lainnya.

26

H. Juni Sjafrien Jahja, Melawan Money Laundering, Mengenal, Mencegah & Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang, Visi Media, Jakarta, 2012, hal 10.

27


(49)

Biasanya para pelaku bekerja sama dengan suatu perusahaan yang rekeningnya dapat dipergunakan sebagai “terminal” untuk menampung uang kotor tersebut.

B. Penerapan sistem pembuktian terbalik dalam ketentuan pencucian uang sebagai upaya menjerat pelaku tindak pidana.

UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang menganut pandangan bahwa untuk dimulainya pemeriksaan tindak pidana pencucian uang tidak perlu di buktikan terlebih dahulu tindak pidana asal.

Namun seiring dengan berjalannya waktu, ketentuan UU No. 15 Tahun 2002 dan UU No. 25 Tahun 2003 dirasakan sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan penegakkan hukum, praktik, dan standar Internasional, sehingga kemudian ditetapkan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dalam ketentuan sistem pembalikan beban pembuktian UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam sistem pembalikan beban pembuktian ini beban pembuktian berada ditangan terdakwa atau penasehat hukum terdakwa.

Pasal 77 UU No 8 tahun 2010 menyebutkan bahwa untuk kepentingan pemeriksaan pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Harta kekayaan merupakan salah sau unsur yang lain dari tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5.


(50)

Sebagai Unsur dari tindak pidana Pencucian Uang, unsure harta kekayaan harus disebutkan dalam surat dakwaan dan sebenarnya harus dibuktikan dengan alat bukti yang sah oleh penuntut umum disidang pengadilan. Tetapi dengan adanya Pasal 77 yang menentukan bahwa yang wajib membuktikan unsur harta kekayaan tersebut adalah terdakwa dan bukan Penuntut Umum, maka dikatakan bahwa sistem pembuktian tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 sudah menganut sistem beban pembuktian terbalik.28

Sistem pembalikkan beban pembuktian dalam undang undang sifatnya sangat terbatas, yaitu hanya berlaku pada sidang pengadilan, tidak dalam tahap penyidikan. Selain itu tidak pada semua tindak pidana, hanya pada kejahatan yang bersifat serius (serious crime) yang sulit dalam hal pembuktiannya, misalnya korupsi, penyelundupan, narkotika, psikotropika, atau penggelapan pajak,dan tindak pidana perbankan.

Jika kita bandingkan dengan penerapan pembalikkan beban pembuktian pada tindak pidana korupsi maka pembalikkan beban pembuktian UU No. 8 Tahun 2010 bersifat keharusan bagi terdakwa untuk membuktikaan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari hasil tindak pidana.

Dalam hal pemeriksaan perkara tindak pidana pencucian tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asal (predicate crime), karena tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri. Hal ini diatur dalam ketentuan pasal 69 UU No. 8 Tahun 2010.29

28

R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hal 216.

29Pasal 69, “Untuk dapat dilakukan Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di sidang

Pengadilan terhadap Tindak Pidana Pencucian Unag tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak


(1)

dirinya tidak bersalah. Selain dari upaya penjeratan para pelaku tindak pidana, upaya yang dirasakan perlu untuk dilakukan oleh pemerintah ialah upaya untuk mengurangi para pelaku tindak pidana pencucian uang, hal ini dikarenakan pencucian uang mempunyai dampak yang begitu besar bagi sistem keuangan Negara. Upaya untuk mengurangi pelaku ialah dengan cara menjerat para pelakunya sebanyak mungkin, upaya ini dilakukan pemerintah dengan cara menambahkan ketentuan-ketentuan baru dalam Undang-undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang mana diharapkan dengan ditambahkannya ketentuan-ketentuan baru tersebut membuat ruang gerak para pelaku pencucian uang semakin sempit dan semakin mudah terjerat dalam hukum dengan adanya perluasan ruang lingkup tindak pidana pencucian uang. Hal inilah yang kemudian diharapkan dapat membantu pemerintah dalam menjerat para pelaku tindak pidana pencucian uang dalam upaya mengurangi jumlah pelakunya dimasyarakat.

2. Pencucian uang ialah merupakan suatu tindak pidana luar biasa, hal ini dikarenakan selain dampak dari tindak pidana pencucian uang yang memberikan dampak pada keuangan Negara, tindak pidana pencucian uang juga merupakan tindak pidana yang mempunyai ruang lingkup yang luas dimana tindak pidana asalnya terdiri dari beberapa tindak pidana asal diantaranya Korupsi, Penyuapan, Narkotika, Psikotropika, Penyelundupan tenaga kerja, Penyelundupan migrant, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian, Kepabeanan, Cukai, Perdagangan orang, Perdagangan senjata gelap, Terorisme, Penculikan, Pencurian, Penggelapan, Penipuan, Pemalsuan uang, Perjudian, Prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan dan


(2)

perikanan dan Tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau diluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Sebagaimana disebutkan diatas, tindak pidana pencucian uang mempunyai beberapa tindak pidana asal dimana narkotika ialah salah satu tindak asalnya, hal ini jelas diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang mana dengan diaturnya narkotika sebagai tindak pidana asal dari tindak pidana pencucian uang, maka sanksi yang dikenakan bagi tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana narkotika ialah sanksi sama yang diterapkan juga pada pencucian uang dengan tindak pidana asal lainnya selain narkotika, hal ini dikarenakan dalam Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tidak diatur sanksi secara terkhusus untuk tiap jenis tindak pidana asalmnya.

3. Penerapan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang hasil TindakPidana Narkotika (Studi Putusan Nomor. 847/Pid.B/2013/PN.Mdn). Terdakwa Suriani Sinaga telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah turut serta melakukan tindak pidana: “Pencucian Uang” sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan keempat yang diatur dalam Pasal 5 Jo Pasal 10 Jo Pasal 2 ayat 1 huruf c UU RI No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan oleh karena perbuatannya tersebut maka Hakim menjatuhkan pidana selama 1 (satu) tahun dengan perintah pidana tersebut tidak usah dijalani sampai masa percobaan selama 2 (dua) tahun habis dan membayar denda sebesar Rp 50.000.000.00,- (lima puluh juta rupiah) dan apabila denda tidak dibayar, akan diganti dengan


(3)

pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan. Dari segi penerapan sanksi pidana, penulis merasa sanksi yang diberikan Hakim kurang tepat dimana pidana 1 (satu) tahun tersebut tidak usah dijalani sampai masa percobaan 2 (dua) tahun selesai, disatu sisi memang hakim telah memutus sesuai dengan tuntutan penuntut umum namun hakim dalam menjatuhkan suatu pidana juga haruslah berdasarkan alasan yang logis. Dalam kasus ini, terdakwa Suriani Sinaga telah bersalah melakukan tindak pidana pencucian uang dan ia juga dalam keadaan sehat sehingga mampu untuk menjalani pidana dalam tahanan namun yang terjadi justru Hakim membebaskan terdakwa dari penahanan selama 1 (satu) tahun selama masa percobaan 2 (dua) tahun sebagaimana pidana yang dijatuhkan padanya.

B. Saran

Adapun saran-saran yang dapat penulis kemukakan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Semakin banyaknya pelaku tindak pidana pencucian uang dan semakin pintarnya para pelaku pencucian uang ini dalam melakukan aksinya membuat pemerintah harus lebih berupaya keras lagi dalam menanganinya, upaya tersebut bisa pemerintah lakukan dengan lebih menyempurnakan lagi perangkat peraturan mengenai pencucian uang dan lebih serius mengerahkan aparat penegak hukumnya dalam menjerat para pelaku pencucian uang.

2. Upaya mengurangi tindak pidana pencucian uang juga sebaiknya pemerintah lakukan dengan juga lebih serius menekan laju tindak pidana asalnya seperti contohnya narkotika, dengan semakin sulitnya para pelaku melakukan tindak pidana maka akan berdampak juga pada semakin sedikitnya pelaku tindak pidana pencucian uang.


(4)

3. Dalam penerapan hukum terhadap pelaku pencucian uang penegak hukum sebaiknya lebih mengutamakan keadilan, sehingga dalam penerapan hukumnya nanti yang bersalah akan mendapat hukuman yang sesuai dengan perbuatannya, penerapan hukum yang tepat inilah yang nantinya diharapkan dapat membuat efek jera bagi pelaku tindak pidana pencucian uang serta rasa takut bagi masyarakat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Pathorang Halim, Penegakan Hukum terhadap Pencucian Uang di Era Globa lisa si, Total Media, Yogyakarta, 2013

Drs.P A.F.Lamintang, Dasar-dasar hukum Pidana Indonesia , Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997

Yunus Husein, Negeri Sang Pencuci Uang, Pustaka Juanda Tiga Lima, Jakarta, Cetakan ke-1, 2008

Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus Diluar KUHP, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2014

Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana , Ghalia Indonesia, Jakarta, 1993 Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan

Pembia ya a n Terorisme, Pustaka Utama Grafitri, Jakarta, 2004

Adami Chazawi, Pela jaran Hukum Pidana I, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008

Dr. Aziz Syamsudin, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, 2011

Moh Taufik Makaro, Suhasril, Moh. Zakky A.S., Tindak Pidana Narkotika , Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986

H. Juni Sjafrien Jahja, Melawan Money Laundering, Mengenal, Mencegah & Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang, Visi Media, Jakarta, 2012 R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan

Tinda k Pida na Pencucia n Ua ng, Sinar Grafika, Jakarta, 2014

Elwi Daniel, Korupsi-Konsep, Tindak Pidana, dan pemberantasannya , Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2011

Muhammad Yusuf dkk, Ikhtisar Ketentuan Pencegahan dan Pemberantasan Tinda k Pida na Pencucia n Ua ng, The Indonesia Netherlands Na tional Lega l Reform Progra m(NLRP), Bandung, 2011

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung, PT Citra Adhitya Bakti, 2010

Andi Hamzah, “Hukum Acara Pidana Indonesia”, CV. Sinar Grafika, Jakarta, 2010


(6)

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2009

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Undang-undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

C. Jurnal

Sunarmi dkk, “Tinjauan Yuridis Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang”, 2011

Harry Murti, dalam jurnal ilmiah Beban Pembuktian Terbalik Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Juridis Sosiologis, 2011