MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM 1

BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Islam adalah agama yang rahmatan lil’alamin. Islam merupakan agama yang mencakup
seluruh aspek kehidupan manusia tanpa satupun yang terlewatkan. Cakupan Islam mulai dari
ibadah, muamalah, kebudayaan, ilmu pendidikan, ekonomi, hingga sistem politik. Sistem politik
dalam agama Islam, khususnya dalam ilmu fiqih disebut dengan fiqih siyasah atau ilmu
peerintahan atau ilmu tata Negara. Hal ini menunjukkan bahwa, Islam dengan khususnya
membahas dan mengkaji sistem politik atau pemerintahan.
Definisi konsep politik atau siyasah secara umum berbeda dengan definisinya dalam
Islam. Politik berasal dari bahasa Yunani, yaitu politicos yang berarti dari, untuk, atau yang
berkaitan dengan warga Negara. Politik didefinisikan sebagai proses pembentukan dan
pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan,
khususnya dalam Negara. Adapun sistem politik dalam Islam diartikan sebagai kegiatan ummat
kepada usaha untuk mendukung dan melaksanakan syari’at Allah melalui sistem kenegaraan dan
pemerintahan.
Sistem politik memiliki kedudukan tersendiri dalam Islam. Sistem politik ini sangat
penting dalam menata kehidupan Negara serta masa depan Negara tersebut. Dalam Al-Qur’an
Allah SWT berfirman dalam surah Al Isra ayat 80 yang artinya, “Dan katakanlah: “Ya Tuhanku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah aku secara keluar yang benar,
dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong”.
2. RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah:
a. Apakah pengertian sistem politik dalam Islam?
b. Bagaimanakah kedudukan sistem politik dalam Islam?
c. Apa saja prinsip dasar politik dalam Islam?
d. Apa yang dimaksud dengan khilafah?
e. Bagaimana pandangan Islam terhadap demokrasi?
1

3. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui dan memahami pengertian sistem politik dalam Islam dan seluk beluknya.
2. Mengetahui kedudukan dari sistem politik dalam Islam.
3. Mengetahui prinsip-prinsip dasar politik dalam Islam.
4. Mengetahui dan memahami tentang khilafah.
5. Mengetahui pandangan Islam terhadap demokrasi.

2

BAB II
PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN SISTEM POLITIK DALAM ISLAM
Politik secara bahasa, yaitu dalam bahasa Arab disebut As-Siyasah yang berarti
mengelola, mengatur, memerintah, dan melarang sesuatu. Atau secara definisi berarti
prinsip-prinsip dan seni mengelola persoalan publik (ensiklopedia ilmu politik). Menurut
Yusuf Qardhawi dalam Kamus Al-Kamil, bahwa politik adalah semua yang berhubungan
dengan pemerintahan dan pengelolaan masyarakat madani.
Kata sistem berasal dari bahasa asing (Inggris), yaitu system, artinya perangkat
unsur yang secara teratur saling berkaitan, sehingga membentuk suatu totalitas atau
susunan yang teratur dengan pandangan, teori, dan asas. Sedangkan kata politik pada
mulanya

berasal

dari

Bahasa

Yunani

atau


Latin, Politicos atau politicus, yang

berarti relating to citizen. Keduanya berasal dari kata polis, yang berarti kota. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata politik diartikan sebagai “Segala urusan dan
tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan”. Sedangkan kata
Islam, adalah agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, berpedoman pada kitab
suci Al Qur’an yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah SWT. Dengan demikian,
sistem politik Islam adalah sebuah aturan tentang pemerintahan yang berdasarkan nilainilai Islam.
Islam memang memberikan landasan kehidupan umat manusia secara lengkap,
termasuk di dalamnya kehidupan politik. Tetapi Islam tidak menentukan secara konkrit
bentuk kekuasaan politik seperti apa yang diajarkan dalam Islam. Itulah sebabnya,
kemudian terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam dalam merumuskan sistem
politik Islam.
Kehidupan Rasulullah Muhammad SAW menunjukkan, bahwa beliau memegang
kekuasaan politik di samping kekuasaan agama. Ketika beliau dengan para sahabat hijrah
ke Madinah, kegiatan dan aktivitas yang beliau lakukan dalam kehidupan sehari-hari
untuk menciptakan sistem kehidupan yang stabil dan harmonis serta kondusif adalah
mempersatukan seluruh penduduk Madinah dalam satu sistem sosial politik di bawah
kekuasaan beliau, yang dikenal dengan Perjanjian Madinah. Rasulullah tidak memaksa

3

kaum Yahudi, Nasrani, dan pemeluk agama lainnya untuk memeluk agama Islam, tetapi
beliau menginginkan semua penduduk Madinah menghormati perjanjian yang mereka
sepakati.
Setelah Rasulullah memiliki kekuasaan secara politik di Madinah, beliau juga
menjamin kesepakatan dengan penguasa Mekah agar tidak terjadi perselisihan diantara
kedua kekuasaan tersebut, sekalipun dalam perkembangan selanjutnya penguasa Mekah
mengingkari perjanjian yang ia tandatangani, sehingga memicu peperangan yang cukup
hebat dan dahsyat, seperti perang Badar, perang Uhud, dan lain-lain.
Dalam kamus bahasa Arab modern, kata politik biasanya diterjemahkan dengan
kata siyasah. Kata ini terambil dari akar kata sasa-yasusu, yang biasa diartikan
mengemudi, mengendalikan, mengatur, dan sebagainya. Dari akar kata yang sama,
ditemukan kata sus, yang berarti penuh kuman, kutu atau rusak, sementara dalam Al
Qur’an tidak ditemukan kata yang terbentuk dari akar kata sasa-yasusu, namun ini bukan
berarti bahwa Al Qur’an tidak menguraikan masalah sosial politik.
Banyak ulama ahli AL Qur’an yang menyusun karya ilmiah dalam bidang politik
dengan menggunakan Al Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai rujukan, bahkan Ibnu
Taimiyah (1263-1328) menamai salah satu karya ilmiahnya dengan al-Siyasah alSyar’iyah (politik keagamaan). Uraian Al Qur’an tentang politik secara sepintas dapat
ditemukan pada ayat-ayat yang menjelaskan tentang hukum. Kata ini pada mulanya

berarti “menghalangi atau melarang dalam rangka perbaikan”. Dari akar kata yang sama,
terbentuk kata hikmah, yang pada mulanya berarti kendali. Makna ini sejalan dengan asal
makna

kata sasa-yasusu-sais-siyasah, yang

berarti

mengemudi,

mengendalikan,

pengendali dan cara pengendalian (M. Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, Tafsir
Maudhu’i atas pelbagai persoalan umat, 1997: 417).
Kata siyasah, sebagaimana dikemukakan diatas, diartikan dengan politik, dan juga
sebagaimana terbaca, sama dengan kata hikmat. Di sisi lain, terdapat persamaan makna
antara kata hikmah dan politik. Sementara ulama mengartikan hikmah sebagai
kebijaksanaan, atau kemampuan menangani suatu masalah, sehingga mendatangkan
manfaat atau menghindarkan mudharat. Dengan demikian, sistem politik Islam adalah
suatu konsepsi yang berisikan antara lain ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber

kekuasaan Negara, siapa pelaksana kekuasaan tersebut, apa dasar, dan bagaimana cara
4

untuk menentukan kepada siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu diberikan,
kepada siapa pelaksana kekuasaan itu bertanggung jawab, dan bagaimana bentuk
tanggung jawab berdasarkan nilai-nilai agama Islam (sesuai dengan sumber ajaran Islam,
yaitu Al Qur’an, Hadits dan Ijtihad).
Sistem

politik

dalam

Islam,

sudah

tentu

memiliki


asas-asas

dalam

penyelenggaraannya. Asas-asas itu diantaranya:
a) Hakimiyah Ilahiyyah
Hakimiyyah atau memberikan kuasa pada pengadilan dan kedaulatan
hukum tertinggi dalam sistem politik Islam hanyalah mutlak Allah SWT.
DalamAl-Qur’an telah disebutkan dalam Surah Al-Qassas ayat 70: “Dan
Dialah Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, bagiNyalah segala puji dsi dunia dan di akirat, dan bagi-Nyalah segala penentuan
(hukum) dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. Selain itu dalam
surah Al An’am ayat 57 telah disebutkan bahwa, “Menetapka hukum itu
hanyalah hak Allah”.
Hakimiyyah memiliki pengertian-pengertian, diantaranya:
a. Bahwasanya Allah pemelihara alam semesta yang pada hakikatnya
adalah Tuhan yang menjadi pemelihara manusia, dan tidak ada jalan
lain bagi manusia kecuali tunduk dan patuh kepada sifat IlahiYang
Maha Esa.
b. Bahwasanya hak untuk menghakimi dan mengadili tidak dimiliki oleh

siapapun kecuali Allah.
c. Bahwasanya Allah sajalah yang memiliki hak mengeluarkan hukum,
sebab Dialah satu-satunya pencipta.
d. Bahwasanya Allah saja yang memiliki hak mengeluarkan peraturanperaturan, sebab Dialah satu-satunya Pemilik.
e. Bahwasanya hukum Allah adalah suatu yang benar, sebab hanya Dia
saja yang mengetahui hakikat segala sesuatu dan ditangan-Nyalah
penentuan jalan dan hidayah.

5

Hakimiyyah ilahiyyah membawa arti bahwa teras utama kepada sistem
politik dalam Islam adalah tauhid kepada Allah, dai segi rububiyah maupun
uluhiyah.
b) Risalah
Jalan kehidupan para Rasul diiktiraf oleh Islam sebagai jalan-jalan
hidayah. Jalan kehidupan mereka berlandaskan kepada segala wahyu yang
diturunkan oleh Allah untuk diri mereka sendiri dan juga disampaikan kepada
umat.

Para Rasul sendiri yang menyampaikan hukum-hukum Allah serta


syari’at-syari’at-Nya kepada manusia. Risalah berarti kerasulan beberapa
orang lelaki di kalangan manusia sejak Nabi Adam a.s hingga Nabi
Muhammad SAW., adalah suatu asas yang penting dalam sistem politik Islam.
Melalui landasan risalah inilah maka para Rasul mewakili kekuasaan tertinggi
Allah dalam bidang perundangan dalam kehidupan manusia. Para Rasul
menyampaikan, mentafsir, dan menterjemahkan segala wahyu Allah dengan
ucapan dan perbuatan mereka.
Dalam sistem politik Islam, Allah telah memerintahkan agar manusia
menerima segala perintah dan larangan Rasul Allah. Firman Allah yang
artinya: “Apa yang diperintahkan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa
yang dilarangnya bagikamu, maka tinggalkanlah” (Q.S Al-Hasyr ayat 7).
Dalam surah An Nisa ayat 64: “Dan kami tidak mengutus seorang Rasul
melainkan untuk ditaati dengan seizinAllah”.
c) Khilafah
Khilafah berarti perwakilan. Khilafah merupakan sebutan untuk Negara
yang sistem ketatanegaraannya berlandaskan syari’at Islam. Dengan
pengertian ini, dimaksudkan bahwa kedudukan manusia di atas muka bumi
ialah sebagai wakil Allah. Di atas landasan ini, maka manusia bukanlah
penguasa atau pemilik, tetapi ia hanyalah khalifah atau wakil, dan pemilik

yang sesungguhnya adalah Allah SWT. Allah telah berfirman yang artinya:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku
akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi… (Q.S Al Baqarah ayat 30).
Seorang khalifah akan menjadi khalifah yang benar dan sah selama ia benar6

benar mengikuti hukum-hukum Allah dalam menjalankan tugasnya sebagai
pemimpin. Hal ini juga menuntut agar tugas tersebut dipegang oleh orangorang yang memenuhi syarat.
2. KEDUDUKAN SISTEM POLITIK DALAM ISLAM
Sampai saat ini, umat Islam berbeda pendapat tentang kedudukan politik dalam
syari’at Islam, paling tidak dalam hubungan Islam dan ketatanegaraan. Dalam hal ini,
terdapat tiga pendapat tentang kedudukan politik dalam Islam, yaitu:
a. Pendapat pertama yang berpendirian, bahwa Islam bukanlah semata-mata
agama seperti dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan
antar manusia dan Tuhan. Sebaliknya, Islam adalah agama yang sempurna dan
lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia, termasuk
kehidupan bernegara. Para penganut pendapat ini pada umumnya berpendapat
bahwa:
1) Islam adalah agama yang serba lengkap. Di dalamnya terdapat pula
sistem ketatanegaraan politik. Oleh karenanya, dalam bernegara umat
Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam dan

tidak perlu mengikuti sistem ketatanegaraan barat.
2) Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang harus diteladani adalah
sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW dan oleh
empat khulafa’ur rasyidin.
Tokoh-tokoh utama dari pendapat ini antara lain, Syeikh Hassan Al Banna, Sayyid
Quthb, Syeikh Muhammad Rasyid Ridha, dan Maulana Abul A’la Al Maududi.
b. Pendapat kedua yang berpendirian, bahwa Islam adalah agama dalam
pengertian Barat, yang tidak ada urusannya dengan kenegaraan. Menurut
pendapat ini, Nabi Muhammad SAW hanyalah seorang Rasul biasa, seperti
halnya Rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas mengajak manusia kembali
kepada kehidupan mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti yang luhur,
akhlakul karimah, akhlak yang mulia, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan
untuk mendirikan dan mengepalai satu Negara. Diantara tokoh-tokoh yang
terkemuka dari pendapat ini adalah Ali Abdul Raziq dan Dr. Thaha Husein.
7

c. Pendapat ketiga yang menolak pendapat, bahwa Islam adalah suatu agama
yang serba lengkap, dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan,
tetapi golongan ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam
pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan antar manusia dengan
Penciptanya saja. Penganut pendapat ini berpendirian, bahwa dalam Islam
tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika
bagi kehidupan bernegara. Diantara tokoh-tokoh dari pendapat ketiga ini adlah
Dr. Muhammad Husein Haikal, tokoh yang paling menonjol yang menulis
buku Hayatu Muhammad Fi Manzil Al Wahyi.
3. PRINSIP DASAR POLITIK DALAM ISLAM
a. Musyawarah
Musyawarah merupakan prinsip pertama dasar politik dalam Islam. Musyawarah
merupakan hal yang sangat baik dan penting dalam sistem ketatanegaraan. Dilihat dari
segi manapun, musyawarah memiliki manfaat yang lebih banyak. Dengan
musyawarah, dalam menentukan dan memutuskan kebijakan publik akan jauh lebih
baik, karena dalam musyawarah setiap orang dapat berkumpul dan mengajukan
pendapatnya, tanpa sekalipun menjatuhkan pendapat orang lain. Namun, musyawarah
bias dianggap tidak efektif jika suatu Negara memiliki wilayah yang sangat luas. Jika
suatu Negara sangat luas, lalu Negara tersebut tetap memposisikan musyawarah
sebagai prinsip dasar politiknya, maka akan efektif bila musyawarah dilakukan oleh
perwakilan-perwakilan dari daerah di Negara tersebut.
Musyawarah mempunyai makna mengeluarkan atau mengajukan pendapat. Dalam
menetapkan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan berorganisasi atau
bermasyarakat, paling tidak mempunyai tiga cara:
 Keputusan yang ditetapkan oleh penguasa.
 Keputusan yang ditetapkan oleh pandangan minoritas.
 Keputusan yang ditetapkan oleh pandangan mayoritas.
Asas musyawarah yang paling utama adalah berkenaan dengan pemilihan ketua
Negara dan orang-orang yang akan diembankan tugas dalam pentadbiran ummah.
Asas musyawarh yang kedua adalah mengenai penentuan jalan dan cara pelaksanaan
undang-undang yang telah dimaktubkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Asas
8

musyawarah yang ketiga adalah berkenaan dengan menentukan perkara-perkara baru
yang timbul di kalangan ummah melalui proses ijtihad.
b. Keadilan
Prinsip kedua dalam sistem politik Islam adalah keadilan. Hal ini menyangkut
dengan keadilan sosial yang dijamin oleh sistem sosial dan sistem ekonomi Islam.
Keadilan dalam bidang sosio ekonomi tidak mungkin terlaksana tanpa ada wujud
kuasa politik yang mendukung, melindungi, dan mengembangkannya.
Di dalam pelaksanaannya yang luas, prinsip keadilan yang terkandung dalam
sistem politik Islam meliputi segala jenis hubungan yang berlaku di dalam kehidupan
manusia termasuk keadilan diantara rakyat dan pemerintah, diantara dua pihak yang
bersengketa di hadapan pihak pengadilan, diantara

pasangan suami istri, hingga

diantara ibu bapak dengan anaknya.
Oleh sebab kewajiban berlaku adil dan menjauhi perbuatan zalim adalah
merupakan asas utama dalam sistem sosial Islam, maka menjadi peranan utama sistem
politik Islam untuk memelihara asas tersebut. Pemeliharaan terhadap keadilan
merupakan prinsip nilai-nilai sosial yang utama karena dengannya dapat dikukuhkan
kehidupan manusia yang sejahtera diberbagai aspek.
Pemimpin dan wakil-wakil rakyat yang sangat dibutuhkan bahkan dituntut adalah
yang memiliki sikap adil. Adil dalam memimpin, bersikap, adil dalam mengelola dan
menata Negara, hingga masyarakat yang dipimpin pun dapat merasakan keadilan
tersebut. Hingga masyarakat dapat hidup aman dan sejahtera.
Ada empat makna keadilan, diantaranya:
 Adil dalam arti sama. Artinya tidak membeda-bedakan satu sama lain.
Persamaan yang dimaksud adalah persamaan hak. Ini dilakukan dalam
memutuskan hukum. Sebagaiman dalamAl Qur’an surah An Nisa ayat 58:
“Apabila kamu memutuskan suatu perkara diantara manusia maka hendaklah
engkau memutuskan dengan adil”.
 Adil dalam arti seimbang. Disini keadilan identik dengan kesesuaian. Dalam
hal ini kesesuaan dan keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar
yang besar dan kecilnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya.
9

 Adil dalam arti perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-ak
tersebut kepada pemiliknya.
 Keadilan yang dinisbatkan kepada Allah SWT. Adil disini berarti memelihara
kewajaran atas berlanjutnya eksistensi. Dalam hal ini Allah memiliki hak atas
semuanya yang ada.
Berdasarkan prinsip dasar keadilan ini, akan tercipta sistem pemerintahan Islam
yang ideal, yang mencerminkan keadilan yang meliputi persamaan hak di depan
umum, keseimbangan dalam memanage kekayaan alam, distribusi pembangunan,
keseimbangan antara pemerintah dan rakyat, dan lain-lain.
c. Kebebasan
Prinsip ketiga dalam sistem politik Islam adalah kebebasan. Kebebasan yang
dipelihara oleh sistem politik Islam adalah kebebasan yang berteraskan kepada ma’ruf
dan kebajikan. Kebebasan ini bermakna pemimpin dalam sistem politik Islam tidak
akan mengekang masyarakat yang dipimpin, dengan kata lain tidak bersifat otoriter.
Kebebasan ini tidak termasuk dalam kebebasan dalam hal negatif. Kebebasan tetap
mengarah pada hal-hal baik, bermanfaat, dan positif.
d. Persamaan
Prinsip keempat dalam sistem politik Islam adalah persamaan atau musawah.
Persamaan ini terdiri dari persamaan mendapat dan menuntut hak, persamaan dalam
memikul tanggung jawab, dan persamaan berada dalam pengaturan undang-undang.
Tidak ada perbedaan antara hak warga Negara satu dengan warga Negara lain. Tidak
ada pengistimewaan untuk orang-orang tertentu. Jika asas ini dijalankan dengan baik,
maka tidak ada masyarakat yang merasa dirugikan, atau pemimpin berpihak pada
golongan tertentu.
e. Hak Menghisab Pihak Pemerintah
Prinsip kelima dalam sistem politik Islam adalah hak rakyat untuk menghisab
pihak pemerintah dan mendapat penjelasan terhadap apa saja yang dilakukan oleh
pemerintah untuk negaranya dan masyarakatnya. Prinsip ini berdasarkan kewajiban
pihak pemerintah untuk melakukan musyawarah dalam hal yang berkaitan dengan
urusan dan pentadbiran Negara dan ummah. Rakyat sendiri berkewajiban untuk
10

menegakkan kebenaran dan mengapuskan kemungkaran. Hal ini juga berarti rakyat
dapat mengawasi pemerintah dalam memimpin Negara, baik tidaknya hal hal yang
dilakukan di dalam pemerintahan serta keputusan-keputusan yang dibuat. Prinsip ini
berdasarkan firman Allah SWT yang atinya: “…maka berikanlah keputusan diantara
manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawanafsu, karena ia akan
menyesatkanmu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang yang sesat dari jalan Allah
akan mendapat azab yang berat, karena mereeka malupakan hari perhitungan. (Q.S
Sad ayat 26)
4. KHILAFAH
1. Pengertian dan tujuan khilafah
Menurut bahasa, kata khilafah berasal dari kata khalafa yang berarti
menggantikan. Dapat pula diartikan kekuasaan atau pemerintahan. Sedangkan
menurut istilah, khilafah

adalah negara dengan sistem pemerintahan dan

peraturannya diatur berdasarkan syariat islam. Dengan kata lain, khilafah adalah
sebutan untuk negara yang sistem pemerintahnnya berdasarkan hukum-hukum Islam
dan syari’at Islam.
Dalam sejarah islam, khilafah sudah dimulai sejak zaman Rasulullah saw. Dan
dilanjutan pada masa Khulafaur Rasyidin. Khilafah pada kedua masa itu merupakan
model ideal khilafah yang menjadi rujukan dan contoh bagi penyelenggaraan khilafah
pada masa-masa sesudahnya. Pada masa Rasulullah saw dan Khulafaur Rasyidin,
khilafah diselenggarakan berlandaskan hukum-hukum al-qur’an dan as-sunnah, yang
ditaati dan dijalankan secara konsisten oleh seluruh kaum muslimin.
Secara umum, khilafah mempunyai tiga fungsi, pertama, as sultah at tasyri’iyah
yaitu fungsi legislatif yang memiliki wewenang membuat dan menetapkan hukum,
kedua, as sultah tanfiziyah, yaitu fungsi eksekutif yang wewenangnya adlah
penyelenggaraan negara dan melaksanakan undang-undang, dan ketiga, as sultah
qada’iyah, yaitu fungsi yudikatif yang memiliki wewenang pengamanan atas
pemberlakuan undang-undang dan penyelenggaraan negara.
Dengan demikian, secara yuridis, khilafah merupakan penjelmaan dari peraturan
penrundang-undangan yang bersumber dari al-qur’an dan as-sunnah, yang menjamin
hak dan kewajiban untuk terwujudnya ketertiban dan kepastian hukum dalam
11

kehidupan bernegara. Maka, bagi umat islam, khilafah merupakan hal sangat prinsip,
keberadaannya sangat penting, terutama untuk terjaminnya keamanan dan kebebasan
dalam menjalankan syariat agamanya. Syariat islam dapat dijalankan dengan baik,
hanya pada suatu negara islam. Karena itu, terwujudnya negara islam merupakan
faktor atau sarana utama bagi pelaksanaan syariat islam.
Begitu pentingnya kedudukan khilafah ini bagi umat islam, sehingga para ulama
sepakat bahwa hukum mendirikan khilafah adalah fardu kifayah atas semua umat
islam. Ada beberapa dasar yang digunakan, yaitu sebagai berikut.
a. Ijma’ sahabat. Seperti dijelaskan dalam sejarah islam, para sahabat mendahulukan
permusyawaratan tentang khilafah daripada tentang kepengurusan jenazah
Rasulullah saw. Tema besar dalam perbincangan ketika itu adalah siapa khalifah
pengganti Rasulullah saw. Dalam permusyawaratan itu akhirnya diperoleh kata
sepakat secara aklamasi, Abu Bakar Shiddiq ditetapkan sebagai khalifah, kepala
negara islam yang pertama setelah meninggalnya Rasulullah saw.
b. Sejarah membuktikan bahwa suatu komunitas, baik umat, kabilah ataupun society
membutuhkan adanya kepemimpinan, atau istilah yang setara dengannya seperti
khiafah, imamah, presiden atau raja. Kepemimpinan lahir dari proses kehidupan
bermasyarakat dalam memenuhi hajatnya, baik secara bersama-sama maupun
demi kepentingan individu semata. Terkait dengan umat islam, beberapa bukti
juga menunjukkan bahwa pelaksanaan hukum-hukum islam mengalami hambatan
dan kesulitan, tanpa adanya khilafah.
c. Beberapa ayat al-qur’an dan as-sunnah menunjukkan pentingnya khilafah dan
perintah untuk menaatinya. Sebagaimana firman Allah swt dalam al-qur’an surah
An-Nur ayat 55 sebagai berikut.

“ Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan
yang mengerjakan kebajikan, bahwa dia sungguh akan menjadikan mereka
12

berkuasa di bumi, sebagaimana dia telah menjadikan orang-orang sebelum
mereka berkuasa, dan sungguh, dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama
yang telah dia ridai. Dan dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah
berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) Menyembah-Ku
dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan suatu apapun. Tetap barang siapa
(tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Qs
An-Nur/24 : 55).
Meski demikian, suatu khilafah islamiyah tidak akan tegak dan terwujud tanpa
adanya itikad, usaha, dan perjuangan umat islam secara keseluruhan, termasuk
kepedulian mereka kepada saudara-saudara sesama muslim.
Keberadaan khilafah secara khusus memiliki beberapa tujuan, di antaranya sebagai
berikut.
a. Terwujudnya kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dijiwai
dan dibimbing oleh syariat islam, sehingga melahirkan seni, budaya, bahkan
peradaban yang menjunjung tinggi ajaran islam.
b. Terwujudnya keamanan dan stabilitas politik, dengan dukungan instrumen hukum
yang berwibawa karena hukum dan perundang-undangannya bersumber dari Asy
Syari’, yairu Allah swt. Melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah.
c. Terwujudnya keadilan di segala bidang, yaitu bidang sosial, ekonomi, politik
hukum, termasuk HAM, karena kepemimpinan dipahami sebagai amanah dari
Allah swt yang harus dipikul sebaik-baiknya sesuai dengan petunjuk sang
pemberi amanah.
d. Terwujudnya masyarakat yang taat pada allah swt, rasul-Nya, dan pemimpinnya,
yang tercermin dalam kualitas ibadah dan muamalahnya serta pandai bersyukur,
bukan sebagai masyarakat yang ingkar pada tuhannya, durhaka pada rasul dan
pemimpinnya.
e. Terwujudnya kehidupan masyarakat yang makmur dan sejahtera lahir dan batin.
Sebagaimana disebutkan dalam al-qur’an, yaitu Baldatun tayyibatun warabbun
gafur (negeri makmur, aman, tenteram, serta berada dalam keridaan alah swt).
2. Dasar-dasar khilafah

13

Khilafah

atau

pemerintahan

islam

ditegakkan

melalui

perjuangan

dan

permusyawaratan umat islam dan didasari dengan norma-norma ajaran islam,
yaitu sebagai berikut.
a. Tauhid (mengesakan allah swt), sebagaimana diperintahkan dalam al-qur’an
dan as-sunnah.
b. Keadilan, yaitu sikap proporsional dan tidak zalim terhadap seluruh umat
manusia dalam segala urusan.
c. Kejujuran dan keikhlasan serta bertanggung jawab dalam mengemban dan
menyampaikan amanat rakyat dengan tidak membeda-bedakan bangsa dan
warna kulit (ras).
d. Kedaulatan ditangan rakyat, yang dapat dipahami secara mafhum mukhalafah
dari ayat tentang perintah tat kepada ulil amri.
5. DEMOKRASI DALAM ISLAM
Istilah demokrasi berasal dari Yunani kuno yang diutarakan di Athena kuno pada
abad ke-5 SM. Secara etimologis, demokrasi berasal dari kata demos yang berarti rakyat
dan cratos atau cratein yang berarti pemerintahan atau kekuasaan. Jadi, secara bahasa
demokrasi berarti pemerintahan rakyat atau kekuasaan rakyat. Abraham Lincoln
mendefinisikan demokrasi sebagai pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk
rakyat. Dari sini, dapat dikatakan bahwa demokrasi merupakan suatu sistem politik yang
meletakkan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat.
Banyak kalangan non-muslim yang menilai bahwa terdapat konflik antara Islam
dan demokrasi dan mereka ingin melihat dunia Islam dapat membawa perubahan dan
transformasi menuju demokrasi. Robin Wright, pakar Timur Tengah dan dunia Islam
yang cukup terkenal menulis di Journal of Democracy (1996) bahwa Islam dan budaya
Islam bukanlah penghalang bagi terjadinya modernitas politik.
Banyak orang yang masih berdebat apakah demokrasi sesuai dengan Islam atau
tidak. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa demokrasi merupakan sistem yang
bertentangan dengan Islam. Demokrasi dikatakan bertentangan dengan Islam karena
demokrasi meletakkan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat serta segala keputusannya
tergantung pada rakyat. Sedangkan dalam sistem pemerintahan Islam, kekuasaan tertinggi
ada pada Allah SWT dan segela hukum dan perundang-undangan yang ada hanya
14

bersumber pada Allah SWT dalam artian syari’at dan wahyu dari Allah SWT. Ada juga
yang menyatakan bahwa ada kesesuaian antara demokrasi dengan sistem pemerintahan
Islam. Menurut Sadek J Sulayman, dalam demokrasi terdapat sejumlah prinsip yang
menjadi standar baku. Diantaranya, kebebasan berbicara setiap warga nagara, pelaksanaan
pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali atau
harus diganti, kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan control
minoritas, peranan partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi politik
rakyat, pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, supremasi hukum (semua
harus tunduk kepada hukum), semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh
dibelenggu.
Dalam hal ini, Al Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya Islam
tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk
menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari
pertentangan Baratterhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, Al Maududi
menganggap demokrasi modern (Barat) adalah sesuatu yang bersifat syirik. Menurutnya
Islam menganut paham Teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan seperti
Teokrasi yang ditetapkan di Barat padaabad pertengahan yang telah memberikan
kekuasaan tak terbatas pada pendeta.
Kritikan terhadap demokrasi yang berkembang juga dikatakan oleh intelektual
Pakistan ternama M. Iqbal. Menurutnya, sejalan dengan kemengangan sekulerisme atas
agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika.
Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah
mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja
menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya
menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi
Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan
model demokrasi sebagai tauhid dengan landasan asasi, kepatuhan kepada hukum,
toleransi sesama warga, tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit, serta dilandasi
penafsiran hukum Allah melalui ijtihad.
Menurut Muhammad Imarah, Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan
juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif secara
15

mutlak ada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syuro (Islam) kekuasaan tersebut
merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang
manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang
digariskan Allah serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah.
Jadi Allah berposisi sebaga Al Syari’ (legislator) sementara manusia berposisi sebagai
Faqih (yang memahami sesuai batasan kemampuannya dan menjabarkan hukum-Nya).
Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan
Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Dia membiarkannya.
Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara
dalam Islam, Allah-lah pemegang otoritas tersebut. Allah berfirman, “Ingatlah,
menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah Tuhan semesta alam”
(Q.S Al-A’rafayat 3).
Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan demokrasi Barat.
Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan
mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.
Menurut Yusuf Qardhawi, substansi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bias dilihat
dari beberapah hal, misalnya pertama, dalam demokrasi proses pemilihan melibatkan
banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus
keadaan mereka. Tentu saja mereka tidak boleh mimilih sesuatu yang tidak mereka sukai.
Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam sholat yang tidak
disukai makmum di belakangnya. Ini dapat dianalogikan dengan pemilihan pemimpin.
Tidak akan dipilih seorang pemimpin dalam Islam jika ia tidak berkompeten dalam
memimpin umat.
Kedua, usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan
dengan Islam. Bahkan amar ma’ruf nahi munkar serta memberikan nasihat kepada
pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam. Ketiga, pemilihan umum, seperti dalam
demokrasi juga termasuk pemberian saksi dalam Islam. Karena itu, barang siapa yang
tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak terpilih menjadi
kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia
telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan

16

Keempat, penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak
bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya, dalam sikap Umar yang bergabung dalam
syuro. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah
seorang diantara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara,
yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Contoh lain adalah pendapat jumhur ulama
dan masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini tidak bertentangan
dengan syariat Islam yang ada.
Kelima, kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas
pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.
Kebebasan per ada dalam Islam, namun tetap harus mematuhi kode etik pers sehingga
tidak ada pihak yang akan dirugikan nantinya. Kebebasan berpendapat juga ada. Namun,
kebebasan berpendapat harus digunakan untuk menyampaikan pendapat dengan baik,
sopan, dan logis tanpa menghina atau menjatuhkan pihak-pihak tertentu. Dalam Islam,
terdapat beberapa prinsip demokrasi, diantaranya:
a. Syuro, merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang
secara eksplisit ditegaskan dalam Al-Qur’an. Dalam praktik kehidupan umat
Islam, lembaga yangpaling dikenal sebagai pelaksana syuro adalah ahlul halli
wal ‘aqdi pada zaman Khulafaur Rasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim
formatur yang bertugas untuk memilih kepala Negara atau khalifah.
b. Al ‘adalah atau keadilan, artinya dalam menegakkan hokum termasuk
rekrutmen berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan
bijaksana. Tidak boleh kolusi dan nepotis.
c. Al musawah yakni kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih
tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa
tidak dapat memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter atau
ekploitatif. Kesejajaran ini penting dalam pemerintahan demi menghindari dari
hegemoni penguasa atas rakyat.
d. Al amanah atau sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang
kepada orang lain. Oleh sebab itu, kepercayaan atau amanah tersebut harus
dijaga dengan baik.

17

e. Al masuliyyah atau tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa,
kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yang harus diwaspadai, bukan
nikmat yang harus disyukuri. Maka rasa tanggung jawab bagi seorang
pemimpin haruslah dipenuhi.
f. Al hurriyyah atau kebebasan, yang artinya bahwa setiap orang, setiap warga
masyarakat diberikan hak dan kebebasan. Sepanjang hal itu dilakukan dengan
cara yang bijak dan sesuai dengan akhlaqul karimah dan dalam rangka amar
ma’ruf nahi munkar, maka tidak ada alasan bagi pemimpin untuk
mencegahnya.

BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah ini dapat disimpulkan bahwa:
18

a. Sistem politik dalam Islam didefinisikan sebagai suatu konsepsi yang berisikan antara
lain ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan Negara, siapa pelaksana
kekuasaan tersebut, apa dasar, dan bagaimana cara untuk menentukan kepada siapa
kewenangan melaksanakan kekuasaan itu diberikan, kepada siapa pelaksana
kekuasaan itu bertanggung jawab, dan bagaimana bentuk tanggung jawab berdasarkan
nilai-nilai agama Islam.
b. Kedudukan sistem politik dalam Islam terbagi menjadi tiga pandangan, diantaranya:
 Pendapat pertama yang berpendirian, bahwa Islam bukanlah semata-mata
agama seperti dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan
antar manusia dan Tuhan. Sebaliknya, Islam adalah agama yang sempurna dan
lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia, termasuk
kehidupan bernegara.
 Pendapat kedua yang berpendirian, bahwa Islam adalah agama dalam
pengertian Barat, yang tidak ada urusannya dengan kenegaraan.
 Pendapat ketiga yang menolak pendapat, bahwa Islam adalah suatu agama
yang serba lengkap, dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan,
tetapi golongan ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam
pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan antar manusia dengan
Penciptanya saja. Penganut pendapat ini berpendirian, bahwa dalam Islam
tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika
bagi kehidupan bernegara.
c. Prinsip dasar politik dalam Islam diantaranya, musyawarah, keadilan, persamaan,
kebebasan, dan hak menghisab pihak pemerintah.
d. Khilafah adalah sebutan untuk negara yang sistem pemerintahannya berdasarkan
hukum-hukum Islam dan syari’at Islam. Secara umum, khilafah mempunyai tiga
fungsi, pertama, as sultah at tasyri’iyah yaitu fungsi legislatif yang memiliki
wewenang membuat dan menetapkan hukum, kedua, as sultah tanfiziyah, yaitu fungsi
eksekutif yang wewenangnya adlah penyelenggaraan negara dan melaksanakan
undang-undang, dan ketiga, as sultah qada’iyah, yaitu fungsi yudikatif yang memiliki
wewenang pengamanan atas pemberlakuan undang-undang dan penyelenggaraan
negara.
19

e. Demokrasi dalam Islam, tidak sepenuhnya sejalan dan tidak sepenuhnya bertentangan.
Ada aspek-aspek dalam demokrasi yang sejalan dengan sistem pemerintahan dalam
Islam, seperti pemilihan pemimpin yang melibatkan orang banyak. Hal yang sangat
kontras dari demokrasi dengan sistem pemerintahan dalam Islam yang membuat
demokrasi tak sejalan dengan Islam adalah letak kekuasaan tertinggi dan sumber
pengambilan hukum. Demokrasi terletak dan bersumber pada rakyat sedangkan sistem
pemerintahan Islam, terletak dan bersumber pada Allah.

DAFTAR PUSTAKA
http://syahruddinalga.blogspot.co.id/2011/10/pengertian-sistem-politik-Islam.html
http://sumbbu.com/2016/03/demokrasi-dalam-perspektif-Islam.html
20

http://bagiilmublogspot.blogspot.co.id/2012/06/sistem-politik-dalam-Islam.html
http://syahruddinalga.blogspot.co.id/2011/10/kedudukan-sitem-politik-dalam-Islam.html
http://mtaufiknt.wordpress.com/2013/03/23/demokrasi-dalam-pandangan-islam.html

21