Peran OMS dalam Pembangunan Perdamaian A

  

  

  Abstract Civil Society Organizations (CSOs) play an active role for peacebuilding in Aceh. Various initiatives were carried out during the conflict and post-disaster periods, including raising the capacity and providing support to various institutions. During the conflict period their activities have focused on community empowerment, monitoring of human rights abuses, and doing peace advocacy. During the rehabilitation and reconstruction period of tsunami, the activities also include a humanitarian and justice programs. During these periods, Aceh CSO activists have increased their skills and networks. These are achieved directly and indirectly through interactions with various international organizations present in Aceh. Through these experiences and capacity gained, the Aceh CSO’s have a strategic role in peacebuilding in the province. This explores the internal changes and the CSOs in Aceh with the support of external organizations. The issues being explored are related to the internal governance of the institutions, their independence, and capacity of available human resources. While the deepening of external support is related to policies, networks, and the response to many issues in Aceh society. According to Lili Hasanuddin (2009), CSOs with diverse backgrounds, approaches and ways of working have to work together to overcome the various problems faced by the people of Aceh after the disaster. In regards to peace building, Lederach (1997) stated that the three levels of leadership have an important role in peacebuilding. These are the top leadership, middle-range leadership, and grassroots level leadership. At the middle and grassroots leadership especially the CSOs the has a strategic role. This paper is based on a study of documents and interview with selected CSO boards in Aceh and academics. The aims to gather various information related to the response of Aceh CSOs to changes that have taken place in peacebuilding in the province.

  Key words: Role, CSO, Peacebuilding, Aceh

  1 Dosen pada Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Teuku Umar

(UTU) Meulaboh – Aceh Barat dan sekarang sebagai Mahasiswa S3 pada Research and Education for

Peace Universiti Sains Malaysia (REPUSM), Universiti Sains Malaysia, yang dibimbing oleh Professor

2 Kamarulzaman Askandar.

  

Professor Kamarulzaman Askandar adalah Guru Besar dalam Ilmu Politik pada School of Sains Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) berperan aktif untuk membangun perdamaian di Aceh. Berbagai upaya yang dilakukan selama konflik dan periode paska bencana, termasuk meningkatkan kapasitas dan memberikan dukungan kepada berbagai institusi. Selama periode konflik, kegiatan OMS berfokus pada pemberdayaan masyarakat, pemantauan pelanggaran hak asasi manusia, dan melakukan advokasi untuk perdamaian. Selama masa rehabilitasi dan rekonstruksi tsunami, kegiatan yang dilakukan juga termasuk program kemanusiaan dan keadilan. Selama periode ini, sejumlah aktivis OMS di Aceh mengalami peningkatan keterampilan dan jaringan mereka. Hal ini dicapai secara langsung maupun tidak langsung melalui interaksi dengan berbagai organisasi internasional yang hadir di Aceh. Melalui pengalaman dan kapasitas yang diperoleh, OMS di Aceh memiliki peran strategis dalam pembangunan perdamaian di Aceh. Artikel ini membahas perubahan secara internal OMS di Aceh dengan dukungan organisasi eksternal. Isu-isu yang dieksplorasi terkait dengan tata kelola internal lembaga, independensi, dan kapasitas sumber daya manusia yang tersedia. Sementara pendalaman dukungan eksternal terkait dengan kebijakan, jaringan, dan respon terhadap isu-isu yang berkembang dalam masyarakat. Menurut Lili Hasanuddin (2009), bahwa OMS dengan berbagai latar belakang, pendekatan dan cara kerja telah bekerja sama untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat Aceh paska bencana. Dalam hal pembangunan perdamaian, Lederach (1997) menyatakan bahwa tiga tingkat kepemimpinan memiliki peran penting dalam pembangunan perdamaian. Terdiri dari kepemimpinan tingkat atas, kepemimpinan pada tingkat menengah, dan kepemimpinan pada akar rumput. Pada kepemimpinan menengah dan akar rumput, khususnya OMS, memiliki peran strategis. Tulisan ini didasarkan pada studi dokumen dan wawancara dengan sejumlah pengurus OMS di Aceh dan akademisi. Upaya ini bertujuan untuk mengumpulkan berbagai informasi terkait dengan respon yang harus dilakukan OMS di Aceh terhadap berbagai perubahan yang terjadi dalam pembangunan perdamaian di provinsi Aceh.

  Kata kunci: Peran, OMS, Pembangunan perdamaian, Aceh. proses-proses yang terjadi disekitarnya, termasuk melaksanakan usaha-usaha perdamaian di Aceh. Pembangunan perdamaian bermula dari komunitas hingga ragam program yang dijalankan oleh OMS, seperti; pemberdayaan ekonomi masyarakat, penyebaran maklumat dan peningkatan kapasitas masyarakat dampingan. Upaya-upaya tersebut dijalankan secara sembunyi maupun terbuka.

  Ada dua isu penting yang menjadi agenda kerja OMS, pertama berkenaan dengan kemanusiaan pada masa penetapan Daerah Operasi Militer (DOM). Pada masa konflik, OMS banyak terlibat dalam isu penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan menggulirkan isu perdamaian serta terlibat dalam proses-proses perdamaian. Sedangkan kedua, berkenaan dengan isu perdamaian (keadilan) paska DOM dan paska tsunami dan MoU

3 Helsinki (Otto Syamsuddin Ishak, 2009) .

  Sejak tahun 1998, OMS di Aceh melakukan usaha-usaha untuk mendukung pembangunan perdamaian. Kenyataan ini ditandai dengan berlangsungnya aktivitas yang dilakukan oleh peneliti, mahasiswa maupun berbagai lembaga lainnya melalui diskusi, seminar, workshop, bahkan pendampingan komunitas serta advokasi kebijakan. Mengenai advokasi kebijakan diwujudkan dalam bentuk penolakan terhadap penetapan status darurat militer di Aceh.

  Pada masa kritis setelah gempa dan tsunami, OMS Aceh ikut serta dalam membantu situasi yang terjadi seperti penanganan pengungsi serta agenda lainnya. Aktivitas utama OMS Aceh berkenaan dengan penanganan pengungsi dan pemenuhan hak-hak korban. Hal ini berdampak pada peningkatan keahlian (aktivis menjadi profesional) serta peningkatan kemampuan dalam pengelolaan dana dan jaringan, baik

  

3 Lihat Otto Syamsuddin Ishak (2009) dalam OMS Aceh sebagai Kekuatan Strategis, makalah

  disampaikan dalam Konferensi OMS; Tindakan Strategis Paska Pemulihan ke Arah Pembangunan dan merupakan generasi yang transformatif. Generasi baru tersebut terdiri dari kalangan terdidik baik di dunia pendidikan maupun organisasi masyarakat, yang mempunyai

  

  integritas moral, kritis, beradab dan berpandangan visione Dari berbagai konsep tentang perdamaian, termasuk pendekatan dalam peacebuilding, baik liberal maupun

  human security, tetap menempatkan OMS sebagai aktor yang penting dan strategis.

  “Terutama, keterlibatan masyarakat sipil merupakan sebuah faktor paling penting dalam menentukan apakah inisiatif pembangunan perdamaian pasca konflik akan sukses atau

  

  2. Permasalahan dan Tantangan Dalam pandangan sosiologis, perubahan terus berlangsung di Aceh, dari masa yang tertutup menuju proses keterbukaan dalam segala lini kehidupan. Demikian pula dengan masyarakat yang selalu bergerak, berkembang, dan berubah, terutama dalam mewujudkan situasi yang diharapkan oleh masyarakat. Mengacu J. Dwi Narwoko –

7 Bagong Suyanto (2004) yaitu :

  “masyarakat, boleh jadi memang tidak pernah “diam”. Masyarakat selalu bergerak, berkembang, dan berubah. Dinamika masyarakat ini terjadi bisa faktor internal yang inheren melekat dalam “diri” masyarakat itu sendiri, dan bisa juga karena faktor lingkungan eksternal”.

  Berdasarkan seluruh proses dan pengalaman OMS Aceh, menjadi dasar untuk mengetahui apasaja langkah-langkah strategis yang telah dipersiapkan OMS guna merespon pembangunan perdamaian di Aceh. Selanjutnya, penting pula untuk mengetahui bagaimana OMS Aceh melakukan penggalangan sumberdaya yang dapat menunjang keberlanjutan kerja-kerjanya di dalam masyarakat.

  5 Lihat Pelajaran dari Aceh: Masyarakat Sipil Mendemokratiskan Daerah (2009), Yappika, Jakarta. 6 Hal 7.

  

Lihat Sutoro Eko dan Afrizal Tjoetra (2012): Membangun Perdamaian Aceh; Pelajaran dan Sumbangan Organisasi Masyarakat Sipil melalui TERAPAN, ADF. Hal. 35. serta Kabupaten/kota pada April 2012 lalu, menjadi bagian penting untuk memastikan peran yang dapat dilakukan OMS di Aceh. Proses politik tersebut dapat menjadi peluang sekaligus tantangan bagi OMS di Aceh. Menjadi peluang, mengingat potensi mendorong perdamaian akan lebih mulus, proses pengambilan kebijakan publik akan lebih mudah, serta potensi kolaborasi OMS dengan parapihak kian terbuka. Di sisi lain, sangat mungkin menjadi tantangan mengingat pengalaman yang dimiliki dalam mengelola tata pemerintahan dan pemenuhan aspirasi politik kepentingan jangka pendek.

  Tantangan lainnya berkenaan dengan pembangunan perdamaian itu sendiri. Perdamaian Aceh tentu belum tuntas meskipun berbagai kemajuan bersamaan dengan demokratisasi dan pembangunan terus berlangsung. Secara horizontal Aceh memang tidak menyajikan konflik terbuka antar agama maupun antar etnis dan antar subetnik, tetapi pemilahan masyarakat (devided society) berdasarkan garis afiliasi politik terasa

  

  kua Suasana psikologis dan wacana mengenai orang GAM dan orang biasa masih sangat terasa, sehingga hal ini menimbulkan jarak sosial dan menjadi kendala sosio-

  psikologis bagi upaya reintegrasi, kerjasama dan kohesi sosial (Sutoro Eko dan Afrizal Tjoetra, 2012).

  Selain itu, menurut Direktur Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Syiah Kuala, Saifuddin Bantasyam (2012), tantangan perdamaian Aceh

  

  sebagai beri Salah satu hal terpenting ialah Aceh merupakan daerah bekas konflik. Ada dua tantangan di sini; memastikan bahwa konflik tidak lagi berulang, memastikan konsolidasi pascakonflik berlangsung dengan lancar, dan memastikan bahwa pemerintah baru yang terpilih mampu mengakomodasi berbagai tantangan dengan cara-cara yang demokratis. Di daerah bekas konflik, tantangan itu antara berupa terlalu tingginya harapan orang terhadap demokrasi, penegakan hukum dan keadilan, dan pertumbuhan ekonomi. Tantangan lainnya adalah adanya kelompok yang bersikap sangat apatis terhadap apa pun yang dilakukan oleh pemerintah.

  Keduanya sama berbahayanya, khususnya ketika pemerintah tidak tahu cara yang 8 terbaik dalam menghadapi tantangan tersebut.

  Sutoro Eko dan Afrizal Tjoetra (2012): Membangun Perdamaian Aceh; Pelajaran dan Sumbangan

  Untuk memastikan situasi damai terus berkelanjutan, maka berbagai pihak yang sebelumnya terlibat aktif mendorong perdamaian harus pula ikut aktif membangun perdamaian (peace building). Mengingat, kondisi damai saat ini bukan tidak mungkin kembali berputar pada situasi konflik.

  3. Masyarakat Sipil dan Organisasi Masyarakat Sipil untuk Keberlanjutan Perdamaian

  3.1. Masyarakat Sipil dan Organisasi Masyarakat Sipil Istilah masyarakat sipil sebetulnya telah diperdebatkan sejak abad 17. Pada masa itu konsep masyarakat sipil perlahan-lahan bertaut dengan gagasan tentang asal-usul negara atau masyarakat politik sebagai hasil kontrak sosial sebagaimana dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679), Jhon Locke (1632-1794), dan Jean Jacques Rousseau

  

   Rousseau, Locke, dan Hobbes mengidentikkan masyarakat sipil sama- sebangun dengan negara dan masyarakat politik (Culla, 2006 hal. 53). Namun pada abad 18-19, istilah masyarakat sipil hanya mengacu pada bagian sipil masyarakat, dan yang terpisah dari pasar dan negara. Gagasan ini dikembangkan diantaranya oleh Thomas Paine dan Immanuel Kant. Pemikir dan aktivis liberal seperti Thomas Paine (1737-1809) menganggap perlu adanya pemisahan tegas antara domain masyarakat sipil dan domain negara. Lalu, gagasan tersebut juga dikembangkan oleh Immanuel Kant (1724-1804) (Culla, 2006, hal. 46-47).

  Istilah masyarakat sipil yang luas memiliki dua arti dasar. Pertama, masyarakat sipil yang mengacu pada istilah beradab, yang bermakna masyarakat yang baik. Kedua, masyarakat sipil didefinisikan sebagai warga yang saling berasosiasi dalam berbagai tujuan dengan berlandaskan pada kebaikan maupun keburukan, kekerasan maupun non-

  

10 Lihat Adi Suryadi Culla ((2006) dalam Rekonstruksi Civil Society : Wacana dan Aksi Ornop di

  Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES. Hal. 44

  

  mengakomodasikan berbagai bentuk organisasi yang tumbuh di tengah masyarakat secara mandiri dan terbebas dari intervensi negara maupun kelompok pengusaha dinyatakan oleh CIVICU

  

   Walau definisi yang disampaikan berorientasi pada masyarakat sipil namun dapat diketahui gambaran tentang OMS, yaitu : “sebuah arena, yang berbeda dari negara dan pasar, di mana anggota masyarakat berkelompok dan berinteraksi satu dengan yang lain untuk mendefinisikan, menyatakan, dan mendorong nilai-nilai, hak-hak dan kepentingan-kepentingan mereka

  

  Menurut Iwan Gardono Sujatmiko (2001) setidaknya ada 3 (tiga) kutipan yang menunjukkan tentang civil society, yakni pertama civil society I yang lebih menekankan aspek horizontal dan merupakan konsep budaya. Kedua, konsep civil society II lebih menekankan aspek vertikal dan lebih menekankan aspek politik, dan ketiga, adalah cakupan antara civil society I dan civil society II, yakni civil society III. Mengutip Afan Gaffar, civil society III adala

  

   “Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa civil society merupakan suatu space atau ruang yang terletak antara negara di satu pihak, dan masyarakat di pihak lain, seperti yang dikatakan oleh Michael Walker (1995), dan dalam ruang tersebut terdapat asosiasi warga masyarakat yang bersifat sukarela hubungannya dikembangkan atas dasar toleransi dan saling menghargai satu sama lainnya

  

  (garis bawah oleh Iwan Gardono Sujatmiko) Selain itu, Adi Suryadi Culla (2006) menyatakan bahwa konsep masyarakat sipil hakikatnya merupakan konsep tentang masyarakat yang mandiri atau otonom. Sehingga dapat “membatasi” diri dari intervensi pemerintahan dan negara dalam realitas yang 12 Lihat Afrizal Tjoetra dan Ferry Yunifer (2009) dalam Investasi untuk Perubahan di Aceh, IMPACT.

  Berikutnya dinyatakan bahawa OMS bukanlah sebuah istilah yang hanya diperuntukkan bagi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) semata, tetapi juga mencakup pertubuhan-pertubuhan keagamaan, pertubuhan rakyat, kelompok sosial, pertubuhan perempuan, pertubuhan kepemudaan, kelompok tani, pertubuhan buruh, pertubuhan profesi, dan lain-lain, termasuk LSM di dalamnya. 13 CIVICUS merupakan sebuah organisasi nirlaba tingkat internasional yang keanggotaannya terdiri dari kumpulan Organisasi Masyarakat Sivil (OMS) dan individu yang menekuni perkembangan masyarakat sipil di berbagai Negara, sekaligus melakukan advokasi untuk penguatan masyarakat sivil. Lihat Abdi Suryaningati dalam op.cit, 2003, hal. 14. 14 Lihat Abdi Suryaningati dalam op.cit, 2003, hal. 15.

  15 Iwan Gardono Sujatmiko (2001) dalam Wacana Civil Society, Jurnal Labsosio FISIP-Universitas Indonesia, Jakarta. Hal. 37-42.

  Sejumlah karakteristik penting yang menjadi rujukan mengacu pada ciri-ciri utama, yakni otonomi politik berhadapan dengan negara, di samping aspek keswadayaan (self

   supporting), dan keswasembadaaan (self generating Acuan konseptual masyarakat

  

  sipidapat dilihat sebagai berikut : Gambar 1:

  Acuan Konseptual Masyarakat Sipil

ACUAN KONSEPTUAL MASYARAKAT SIPIL (CIVIL SOCIETY)

  Lembaga Eksekutif (Pemerintah) Birokrasi Militer Polisi STATE

  Intelijen

POLITICAL SOCIETY

  Regulasi Lembaga Legislatif Regulasi BUMN Partai Politik Pasar, Ornop/ LSM/NGO Pasar Modal

CIVIL SOCIETY

  Ormas

Organisasi Buruh

ECONOMIC SOCIETY

  Gerakan Sosial Organisai Profesi Perusahaan

  Merujuk pada pandangan ahli di atas, dapat dipahami bahwa keberadaan OMS di Aceh bukanlah sesuatu yang baru. Pembentukan dan pengembangannya mengacu pada perkembangan OMS di Indonesia. Di Aceh, embrio OMS sudah ada sebelum tahun 1970-

   17 a dengan adanya organisasi keagamaan dan Dayah (pesantren) yang menangani Larry Diamond, “Rethinking Civil Society: Toward Democratic Consolidation”, dalam Journal of Democracy, Juli 1994, hal. 5; Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1997), hal. 3; Muhammad AS Hikam, “The State, Grassroots Politics and Civil Society: A Study of Sosial Movements Under Indonesia’s New Order (1989-1994)” (Disertasi, 18 University of Hawaii, Mei 1995), hal. 28, dalam Investasi untuk Perubahan di Aceh, hal. 44.

  Lihat Adi Suryadi Culla (2009) dalam Pengembangan Masyarakat Sipil dalam Konteks Hubungan Negara dan Masyarakat,” disampaikan pada Konferensi Organisasi Masyarakat Sipil: Tindakan Strategis Paska Pemulihan ke Arah Pembangunan Berkelanjutan Aceh,” Banda Aceh, 22 -23 Maret . Bagan ini juga dapat dilihat pada Adi Suryadi Culla (2006) dalam Rekonstruksi Civil Society: Wacana 19 dan Aksi Ornop di Indonesia. Hal. 72 Lihat Lili Hasanuddin (2009). Gambaran yang lebih detil mengenai hal ini dapat dilihat, antara lain, dalam Tabrani Yunis, Kelahiran dan Perkembangan LSM di Aceh, makalah yang disampaikan da rakyat.

  Perkembangan OMS non-keagamaan mulai muncul di Aceh pada periode 80an, yang diinisiasi oleh kalangan kampus. Kelahiran Organisasi non Pemerintah (Ornop— merupakan bagian dari OMS) di Aceh didorong oleh idealisme atau cita-cita untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di pedesaan yang miskin dan marginal. Aktivitas OMS pada saat itu berupa pemberdayaan rakyat miskin melalui kegiatan-kegiatan yang sifatnya masih sangat karitatif, seperti halnya kegiatan peningkatan pendapatan, pendidikan ketrampilan dan kegiatan-kegiatan yang sifatnya menjawab persoalan kemiskinan. Namun, ketika aktivitas pembangunan telah membawa dampak negatif terhadap kehidupan rakyat dan kerusakan lingkungan hidup, kasus-kasus lingkungan yang dihadapi masyarakat mulai disuarakan, meskipun tidak senyaring di daerah-daerah lain, mengingat situasi Aceh yang masih dilanda konflik.

  Situasi konflik yang terjadi, dalam derajat tertentu, memberikan tekanan terhadap OMS di Aceh. Namun, kiprah OMS tetap berlangsung, bahkan terlibat secara aktif dalam proses-proses perdamaian, seperti upaya penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang disuarakan Forum LSM Aceh, Koalisi NGO HAM Aceh dan bahkan Kelompok Kerja Transformasi Gender (KKTG) Aceh. Beberapa kegiatan kerjasama antara OMS dengan mahasiswa terjadi dalam bentuk advokasi pencabutan DOM. Serta, upaya-upaya dalam hal sosialisasi MoU Helsinki pada publik, sebagaimana yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh serta jaringannya.

  Selain itu, kegiatan advokasi Rancangan Undang-undang Pemerintahan Aceh

  

  (RUUPA) yang ditunjukkan oleh Jaringan Demokrasi Aceh (JDA Pengalaman advokasi ini juga menunjukkan bagaimana OMS di Aceh berhasil membangun sinergi

20 Jaringan Demokrasi Aceh (JDA) terdiri dari beberapa lembaga di Aceh serta beberapa lembaga di

  

  3.2. Tipologi OMS di Aceh Sejak tahun 1970-an, berbagai LSM pembangunan yang bergerak di bidang pelayanan sosial dan ekonomi telah hadir di Aceh. Selanjutnya, sebagai bentuk respon terhadap perkembangan pembangunan, terutama industrialisasi, pada 1980-an muncul banyak LSM yang bergerak dalam isu-isu pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup (Lili Hasanuddin, 2009).

  Selanjutnya, pada 1990-an, di Indonesia muncul gerakan-gerakan LSM yang bergerak dalam advokasi HAM dan demokrasi dengan berbagai tuntutan seperti dipulihkannya hak-hak sipil dan politik rakyat, menentang pelanggaran HAM yang dilakukan negara serta menuntut demokratisasi politik (Lili Hasanuddin, 2009). Proses ini juga berlangsung di Aceh mengingat dalam kurun waktu 1989-1998 berbagai peristiwa pelanggaran HAM berlangsung di Aceh dan mulai dikampanyekan, setidaknya oleh aktivis yang tergabung dalam Koalisi NGO HAM Aceh.

  Terkait dengan penggalangan dana publik, maka dapat diperoleh perbedaan sikap OMS. Temuan yang diperoleh menunjukkan adanya perbedaan sikap dan pandangan antara LSM tipe developmentalistik dan tipe advokasi. LSM developmentalis berpendapat bahwa mereka bersedia dan terbuka dalam menggunakan dana publik untuk kegiatannya, bahkan dana pemerintah sekalipun tidak dipersoalkan. Sebaliknya, LSM advokasi atau transformatif cenderung lebih memilih untuk membangun kemitraan dengan mengandalkan donor yang bersumber dari lembaga-lembaga non-pemerintah,

  

21 Lihat Lili Hasanuddin (2009) dalam Investasi untuk Perubahan di Aceh, IMPACT, Banda Aceh. Hal.

  12.

  

  dilaksanakan oleh lemba Pembagiannya terdiri dari; shortime recovery, peace-

  related activities, democracy and justice, human right, education, empowerment of women, corruption and good governance, economic livelihood and income generating, ulama and media.

  Mengikuti penggolongan NGO yang disampaikan Billah (2000), maka sebagian besar NGO di Aceh dari tahun 1980 hingga akhir 1990-an itu dapat digolongkan sebagai NGO yang bersifat developmentalist, yang mana NGO ini cenderung kompromi dengan pemerintah dan bahkan mendukung program-program yang dilaksanakan pemerintah. Hanya sebahagian kecil NGO yang dapat digolongkan sebagai NGO reformist atau

  

  

  Mengacu pada Kamarulzaman dan Lukman (2002), diketahui bahwa OMS Aceh terdiri dari : Garis pertama, terdiri dari kumpulan masyarakat sipil yang bekerja di dalam wilayah Aceh. Garis kedua, terdiri dari kumpulan warga Aceh yang berada di luar Aceh, serta garis penyokong, yang berisikan kumpulan masyarakat sipil bukan Aceh yang menumpukan perhatian dalam pembangunan perdamaian dan transformasi konflik di Aceh.

  Realitas dan fenomena OMS di Indonesia (termasuk Aceh) menunjukkan bahwa sangat sulit untuk membuat suatu generalisasi yang mencakup seluruh keragaman daerah- daerah di Indonesia. OMS di setiap daerah berkembang menurut pola yang spesifik.

   23 Secara umum, berikut kesimpulan yang dapat diketa Kamarulzaman Askandar (2007), “Building Peace: Reflection from Southeast Asis, SEACSN 24 Publication. Hal. 193-194.

  Lihat Lukman (2007) dalam Peranan Masyarakat Sivil dalam Transformasi Konflik Aceh, University 25 Sains Malaysia (USM)-Malaysia. Hal. 118.

  Lihat Lukman (2002) mengutip proposal yang tidak dipublikasikan “Conflict Transformation in Aceh: Strengthening Civil Society as an Agenda for Peace”, oleh Kamarulzaman Askandar and Lukman Age, Research and Education for Peace, Universiti Sains Malaysia-Malaysia. lokal (budaya masyarakat dan budaya politik), karakter OMS (SDM dan

  manajemen, finansial, model gerakan, jaringan), dan dinamika ekonomi politik

  lokal dan nasional. Fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa ciri-ciri khusus daerah seharusnya menjadi perhatian dalam perencanaan pengembangan masyarakat sipil.

  b. OMS merupakan potensi penting bagi proses konsolidasi demokrasi di Indonesia.

  Terdapat banyak LSM di tingkat lokal yang telah memiliki kapasitas yang memadai dan mampu memberi pengaruh positif dalam mengelola hubungan negara dan masyarakat sipil. LSM-LSM ini kemudian menjadi patron (secara tidak langsung) bagi pertumbuhan LSM-LSM baru, dimana kemampuan dalam manajemen organisasi, pengelolaan pendanaan, dan kapasiti jaringan dengan lembaga-lembaga di peringkat nasional maupun internasional yang dimiliki dapat menjadi pendorong pertumbuhan OMS yang sehat di tingkat lokal. Dengan demikian, jika mengacu pada pendapat di atas, dapat dinyatakan bahwa tipologi OMS Aceh dapat dikategorikan pada 3 (tiga) bagian utama yakni karitatif, developmentalis, serta transformatif sesuai dengan isu dan wilayah kerjanya.

  3.3. Posisi OMS di Aceh Pasca Konflik Pasca penandatanganan MoU Helsinki dan bencana tsunami, OMS di Aceh lebih fokus kepada isu kemanusiaan dan perdamaian. Aktivitas utamanya terlibat dalam proses-proses rehabilitasi dan rekonstruksi serta reintegrasi. Keterlibatan OMS dalam isu ini, telah membawa keuntungan berupa peningkatan keahlian serta peningkatan kemampuan dalam pengelolaan dana dan jaringan nasional dan internasional.

  Selain itu, peranan OMS yang cukup menonjol dalam hal mengurangi faktor pemicu konflik baru. Upaya-upaya yang dilakukan melalui dialog dalam isu-isu yang dipandang sensitive, misalnya isu kebijakan pembangunan, penanganan korban konflik serta ekonomi rakyat menjadi sebuah proses penting untuk mendukung usaha perdamaian.

  Menurut Otto Syamsuddin Ishak (2009), OMS di Aceh perlu melakukan refleksi guna mengorientasikan dirinya ke masa depan. Tentunya, dengan mempertimbangkan pengalaman semasa DOM dan pasca DOM (OMS sebagai kekuatan politik yang strategis), pengalaman periode pembangunan dan perdamaian (OMS sebagai sumberdaya manusia) dan sistem demokrasi yang telah berubah (OMS sebagai sumberdaya manusia).

  Berdasar uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa perkembangan OMS Aceh memiliki dinamika khusus. Jika mengacu pada konflik yang terjadi maka dapat dipastikan OMS Aceh mengalami tekanan yang kuat untuk dapat berkembang. Apalagi jika dikaitkan dengan bencana tsunami dan gempa, beberapa aktivis OMS Aceh menjadi korbannya. Secara ringkas, penulis ingin menyampaikan tiga hal yang membuat OMS Aceh berperan aktif dalam mendukung terwujudnya perdamaian termasuk pembangunan perdamaian pasca konflik, yaitu :

  Pertama: ragam upaya OMS Aceh pada masa konflik dan semasa bencana tsunami,

  berkembang sesuai dinamikanya walau mendapat tekanan oleh kebijakan yang tidak ramah selama Orde Baru dan situasi konflik di Aceh. Hal ini diyakini memiliki perbedaan dinamika dengan OMS wilayah lainnya. Bahkan terdapat berbagai penggolongan OMS Aceh sesuai dengan upaya dan konstribusinya. Penggolongan OMS Aceh dimaksud untuk memastikan konstribusi yang saling mendukung antar OMS di Aceh. Sehingga berbagai upaya yang dilakukan tidak saling meniadakan antara satu organisasi dengan yang lainnya, baik yang dipandang developmentalis mahupun transformatif.

  Kedua: OMS berbeda dengan negara dan swasta. Perbedaan ini mempermudah upaya

  yang dilakukan untuk mendukung perdamaian di Aceh. Namun demikian, OMS memiliki hubungan yang erat dengan penentu kebijakan dan swasta tanpa menanggalkan ciri utamanya, yakni otonomi politik berhadapan dengan negara dan swasta (autonomy

  

  Hubungan yang efektif menghasilkan pelbagai kebijakan untuk pembangunan perdamaian, misalnya dalam pembentukan UU tentang Pemerintahan Aceh. Bahkan,

  

  interaksi ini masih bertahan hingga pembentukan beberapa Qanun laisebagai peraturan turunan dari UU Pemerintahan Aceh. Perkara ini juga berproses selama penanganan pasca bencana, seperti dihuraikan di atas. Sehingga bila aktivis OMS Aceh tidak berkelanjutan mengupayakan posisinya akan memberi dampak terhadap peranannya pada masa yang akan datang.

  Hakikatnya, walau berbeda dalam tiga organ, namun parapihak dimaksud dapat saling memperkuat dalam proses perubahan. Keberpihakan OMS hanya pada kebijakan atau proses pembangunan yang mendukung kepentingan masyarakat. Sehingga independensi aktivis OMS menjadi keharusan pada masa pembangunan perdamaian, dengan tetap membangun hubungan positif antara negara dan pasar.

  Ketiga : proses peacebuilding di Aceh memerlukan keterlibatan banyak pihak dengan

  ragam fungsinya. Mengacu pada Lederach (1997), dapat dipastikan bahwa ketiga tingkatan aktor memiliki peranan penting dalam pembangunan perdamaian (Lukman, 2007).

  Bauran ketiga perkara di atas membuat peranan OMS Aceh dalam pembangunan perdamaian dapat berkelanjutan. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh semasa konflik dan bencana tsunami dapat menjadi pembelajaran sehingga peran yang 27 dilaksanakan sesuai dengan perubahan keadaan, baik internal maupun lingkungan

  Larry Diamond (1994), “Rethinking Civil Society: Toward Democratic Consolidation”, dalam Journal of Democracy, Hal. 5; Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1997), hal. 3; Muhammad AS Hikam, “The State, Grassroots Politics and Civil Society: A Study of Sosial Movements Under Indonesia’s New Order (1989-1994)” (Disertasi, University of Hawaii, Mei 1995), hal. 28, dalam Investasi untuk Perubahan di Aceh, IMPACT, Banda Aceh. Hal. 44. negara, utamanya dalam hal jaminan partisipasi masyarakat serta pada proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan. Selain itu, dipastikan pula dukungan dari pasar terhadap upaya-upaya yang tengah dan akan dilaksanakan OMS Aceh. Termasuk berkonstribusi dalam pendanaannya melalui Corporate Sosial Responsibility (CSR).

  Sekiranya konstribusi OMS Aceh ini berkurang, maka dikhawatirkan proses pembangunan perdamaian dalam masyarakat mengalami hambatan. Terutama dalam hal menyuarakan berbagai isu dan kasus-kasus yang terjadi, seperti dalam bidang ekonomi, pemenuhan HAM, sosial, pelayanan dasar dan demokratisasi di Aceh. Oleh karenanya pengalaman-pengalaman positif dapat diteruskan, baik di Aceh ataupun sebagai pembelajaran bagi kawasan konflik lainnya.

  3.4. Organisasi Masyarakat Sipil dan Pembangunan Perdamaian Aktor merupakan komponen penting dalam perdamaian, demokratisasi dan pembangunan, termasuk dalam jalur, tahap dan agenda pembangunan perdamaian. Jika jajaran elite mempunyai posisi dan peran penting dalam level makro, OMS bisa masuk ke semua ranah, ke empat kuadran (aktor dan jalur serta makro dan mikro). Setiap literatur perdamaian, termasuk pendekatan dalam peacebuilding, baik liberal maupun human

  

  Merujuk pada Lederach (1997), dapat dipastikan bahwa 3 peringkat kepimpinan—

  top ledearship, middle-range leadership, serta grassroot leadership, memiliki peran

  penting dalam pembangunan perdamaian. Namun secara khusus Lederach menekankan

  

29 Lihat Sutoro Eko dan Afrizal Tjoetra (2009) dalam Membangun Perdamaian Aceh; Pelajaran dan

  Sumbangan Organisasi Masyarakat Sipil melalui TERAPAN, ADF. Hal. 35

  Aktor dan Pendekatannya dalam Pembangunan Perdamaian

  

  Selain itu, Kusnanto Anggoro (2009) menyatakan bahwa : Di daerah-daerah paska konflik, pemerintah nasional maupun provinsi dihadapkan pada sejumlah tugas penting untuk merajut kembali kesatuan sosial.

  Namun pemerintah yang terbentuk kerap dihadapkan pada sejumlah tantangan serius, mulai dari divided government yang kerap menjadi biang inefektifitas penyelenggaraan pemerintahan, sampai dengan reformasi sektor keamanan yang membuka persoalan baru, khususnya koordinasi lintas-instansi yang tidak mudah diwujudkan baik karena tidak adanya otoritas politik maupun karena tidak adanya aturan main yang disepakati bersama. Di lain pihak, masyarakat kerap kali masih tenggelam dalam persoalan lama. Memori kolektif tentang konflik tidak dengan

  

31 Lihat Jhon Paul Lederach (1997) dalam Building Peace: Sustainable Reconciliation in Divided Societies.

  dalam keadaan tertentu menciptakan ruang baru yang tidak digarap oleh negara dan tidak dapat dibangun sendiri oleh masyarakat umum. Mereka yang tergabung dalam human

  rights group dan civic organization dapat memainkan peran untuk memelihara

  kesejajaran antara theory and practices of democracy. Mereka yang lebih peduli pada pembangunan berkelanjutan bisa memainkan peranan penting untuk memantau seluk beluk rencana pembangunan. Asosiasi-asosiasi profesi dapat menyumbangkan kompetensinya masing-masing untuk membantu negara dan memberdayakan masyarakat. Sektor privat dapat memainkan peranan penting untuk memperkuat ekonomi rakyat. Elit strategis, khususnya yang tidak berafiliasi dengan partai politik, dapat memberi gagasan ke atas institusi-institusi negara atau menjadi perantara antara negara dan masyarakat.

  Perdamaian Aceh yang tengah berlangsung merupakan satu cerita keberhasilan dalam resolusi konflik atau perdamaian di Indonesia dan dunia internasional. Perdamaian Aceh, menghasilkan Nobel Perdamaian bagi fasilitatornya yaitu Marti Ahtisaari. Terjadi ”win-win solution” antara Republik Indonesia yang semula dengan option Otonomi Khusus, dan GAM dengan opsi Merdeka, akhirnya menjadi ”self goverment” yang

  

  Selanjutnya, Ichsan Malik (2009) juga menyampaikan bahwa meskipun pendekatan dari atas sangat siginifikan untuk penyelesaian konflik di Aceh, namun kontribusi dari kelompok masyarakat sipil bukan bermakna tidak ada bagi upaya terwujudnya perdamaian Aceh. ACSTF (Acehnese Civil Society Task Force), adalah salah sebuah dari OMS Aceh, yang sejak awal pendiriannya pada tanggal 8 Oktober 2001, sudah gencar membuat kampanye bahwa penyelesaian konflik kekerasan di Aceh harus dilakukan dengan cara dialog. Mereka secara berkesinambungan membuat persidangan antar negara. Bermula daripada ”Brotherly Dialog among Acehnese for a Just Peace in Aceh" di Washington DC, 5 hingga 8 Oktober 2001. Persidangan tersebut diadakan oleh International Forum For Aceh (IFA) dan Global peace Centre of American University. Kemudian berbagai pertemuan dialog Aceh damai terus dilakukan oleh ACSTF di tingkat Aceh dalam membangun perdamaian seperti uraian di atas, tentunya tidak harus berhenti setelah penandatanganan kesepahaman damai dilaksanakan. Setidaknya, menurut Ikrar Nusa Bhakti (2009) pada tataran yang konkret masyarakat sipil di daerah konflik harus:

  pertama, semakin membuka diri satu dengan lain. Inklusifisme jauh lebih baik dan positif

  bagi kerjasama dan perdamaian. Keterbukaan akan menimbulkan saling pengertian, dari saling pengertian akan terbuka ruang bagi kerjasama, dan dari kerjasama itu akan terbuka pintu perdamaian. Kedua, pemimpin kelompok masyarakat sipil sepatutnya dapat menyebarkan virus perdamaian dan menutup rapat peluang bagi informasi negatif yang

  

  OMS sendiri, menurut studi yang ada juga mengandung berbagai keterbatasan. Studi

35 World Bank (2006) telah memberikan ringkasan kelebihan, keterbatasan dan tantangan

  OMS dalam pembangunan perdamaian seperti di bawah ini :

  

Tabel : 1

Ringkasan kekuatan, kelemahan dan tantangan OMS

Better information on reality on the ground Can work where government can not (areas) Can speak to parties government can not reach Can work on social change issues government often can not

  Strengths CSOs are better grounded, particularly community-based organizations who enjoy trust and legitimacy Can inform and monitor policies (the view from below) CSOs operate more flexibly and adapt better to the context Limited organizational capacity, internal governance, funding Often a local focus (particularly community-based organizations) Weak networking and coordination mechanisms among CSOs Limitations/ Questionable constituency base and legitimacy of NGOs Weaknesses Often tense relations with, disregard and mistrust from government Capacity to act in situations of violent conflict equally hampered NGOs may weaken the state, by substituting service delivery for too long periods 34 Challenges Sheer diversity of CSOs, hence different motivations,

Lihat Ikrar Nusa Bhakti (2009) dalam Demokrasi dan Keamanan (Perdamaian), Propatria Institute.

  capacities, contributions Effectiveness of CSO peacebuilding initiatives difficult to measure Tension between having constituency ties (leading partisanship) and impartiality and neutrality Key conditions for peace are often out of reach for CSOs

  Sumber: World Bank, 2006.

  Menurut laporan World Bank (2006) yang dikutip Sutoro Eko (2012), yang dapat dikategorikan sebagai organisasi civil society dalam peacebuilding antara lain: NGO, khususnya yang secara langsung mendukung proses perdamaian atau capacity

  • building
  • • Organisasi Hak Asasi Manusia, kelompok advokasi keadilan sosial, dan jaringan

  perdamaian Organisasi yang memiliki kepentingan khusus, seperti kelompok keagamaan,

   perempuan, kepemudaan, dan asosiasi profesional

  • Organisasi komunitas, seperti asosiasi petani, dan pemimpin tradisional
  • • Organisasi yang bergerak di bidang pendidikan atau informasi, seperti media

    independen, asosiasi wartawan, lembaga-lembaga riset dan think-tanks.

  3.5. Peran dan Fungsi OMS untuk Pembangunan Perdamaian Aceh Merujuk Sutoro Eko (2012), dengan cara pandang fungsional, OMS memainkan beragam peran dalam pembangunan perdamaian. Sejumlah literatur (Béatrice Pouligny,

  2005; World Bank, 2006; Thania Paffenholz Christoph Spurk, 2006; Catherine Barnes, 2006; Thania Paffenholz, 2009; ProPatria, 2009) pada umumnya menyampaikan tujuh fungsi OMS sebagai berikut:

  Pertama, fungsi proteksi, yang mencakup berbagai aktivitas seperti: melindungi kehidupan, kebebasan dan harta benda masyarakat dari aktor-aktor negara dan non- fungsi proteksi ini juga dijalankan oleh aktor-aktor lainnya, khususnya oleh negara yang justru kerapkali menjadi aktor utama yang paling bertanggungjawab dalam menjalankan fungsi proteksi. Keikutsertaan NGO dalam menjalankan fungsi proteksi ini tidak boleh menjadi faktor yang justru memperumit konflik akibat ketumpangtindihan dengan aktor- aktor lainnya yang menjalankan fungsi yang sama.

  Kedua, fungsi monitoring/peringatan dini, yang mencakup kegiatan mendeteksi berbagai persoalan yang dapat melahirkan kembali konflik. Fungsi monitoring ini umumnya dimaksudkan untuk meningkatkan responsibilitas pihak-pihak terkait dalam menjalankan butir-butir kesepakatan damai, sekaligus untuk mengawasi agar tidak terjadi pelanggaran yang dapat mengundang kembalinya konflik.

  Ketiga, fungsi advokasi dan atau komunikasi publik, yakni artikulasi kepentingan khusus, utamanya kepentingan kelompok terpinggirkan (marginal), mengangkat isu-isu yang relevan kedalam perdebatan publik, membuka saluran komunikasi, meningkatkan kesadaran warga, dan mendorong debat publik, dan keterlibatan secara aktif dalam proses perdamaian yang resmi.

  Keempat, sosialisasi, yang mencakup kegiatan untuk mendorong praktik-praktik demokratis dan terbangunnya nilai-nilai perdamaian dalam masyarakat, termasuk sikap toleransi, saling percaya, dan penyelesaian konflik tanpa kekerasan. Aktivitas sosialisasi pada umumnya cenderung mengadopsi pendekatan resolusi konflik, dengan kegiatan- kegiatan seperti fasilitasi dialog, prakarsa rekonsiliasi, pendidikan perdamaian, program pertukaran, serta pelatihan-pelatihan resolusi konflik dan peningkatan kapasitas (capacity

  building).

  Kelima, fungsi merekatkan kohesi sosial, berupa memperkuat ikatan kekerabatan antar masyarakat dan membangun modal sosial dalam masyarakat. NGO dapat menjalankan fungsi ini melalui serangkaian kegiatan yang mendorong terjadinya dan antara masyarakat dan negara. Dalam konteks peacebuilding, fungsi ini dapat dilaksanakan tidak hanya antara negara dan warga, tetapi juga diantara pihak-pihak yang bertikai, dalam sebuah kelompok, dan pada semua level masyarakat. Aktivitas yang sering dilakukan oleh NGO dalam menjalankan fungsi ini prakarsa fasilitasi formal dan informal diantara pihak-pihak yang bertikai, maupun antara masyarakat dengan aktor- aktor lainnya seperti lembaga donor, lembaga yang bergerak di bidang development. Fungsi ini dapat dijalankan oleh NGO lokal dengan bekerjasama dengan NGO internasional.

  Ketujuh, fungsi pelayanan, yakni memberikan pelayanan kepada masyarakat, yang dapat berfungsi sebagai entry points bagi peacebuilding. Di negara atau wilayah pasca konflik, kemampuan negara untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat akan berkurang, dan NGO dapat menjadi aktor yang membantu memberikan layanan kepada masyarakat. Pendidikan darurat dan pelayanan kesehatan merupakan dua contoh kegiatan yang kerap dilakukan oleh NGO dalam menjalankan fungsi pelayanan ini kepada masyarakat.

  Selanjutnya, Sutoro Eko (2012) menyatakan bahwa ke tujuh fungsi itu bersifat standar dan generik. Berdasar hasil riset Thania Paffenholz (2009) di beberapa negara dalam proses peacemaking dan proses peacekeeping, atau dalam tahap transisi menuju transformasi, menunjukkan perbedaan level fungsi OMS di tengah tahapan konflik (perang, konflik bersenjata, jendela kesempatan untuk perundingan perdamaian dan pasca konflik) secara berbeda. Pertama, dalam tahap perang, fungsi fasilitasi memiliki derajat relevansi dan level aktivitas yang sama-sama tinggi, bahkan tertinggi. Sosialisasi dan kohesivitas sosial menempati posisi relevansi dan level aktivitas yang sama-sama rendah. Sementara pelayanan memiliki relevansi tinggi tetapi menempati level aktivitas yang rendah. Kedua, gambaran serupa pada relevansi dan level aktivitas juga terjadi dalam tahap konflik bersenjata. dan kohesi sosial menempati level aktivitas yang tinggi tetapi tetap berada pada relevansi yang rendah. Berbeda dengan fungsi advokasi dan fasilitasi yang menempati relevansi dan level aktivitas yang sama-sama tinggi. Fungsi pelayanan mempunyai relevansi tinggi tetapi tetap menempati level aktivitas yang rendah. Dalam masyarakat pascakonflik, sosialisasi dan kohesi sosial menempati posisi relevansi dan level aktivitas yang sama- sama tinggi. Pelayanan masuk ke level aktivitas berskala medium dan tetap menempati relevansi yang tinggi. Meujuk Thania Paffenholz, diketahui bahwa fungsi advokasi OMS menempati urutan teratas, kemudian diikuti fasilitasi, proteksi, monitoring, pelayanan,

  

  Secara umum, Thania Paffenholz (2009) mengambil kesimpulan bahwa fungsi advokasi OMS menempati urutan teratas, kemudian diikuti fasilitasi, proteksi,

  

  Selanjutnya, Lili Hasanuddin (2009) menyatakan bahwa OMS Aceh penting untuk membangun orientasinya sehingga dapat menentukan peran-perannya ke depan. Salah satu orientasi yang dapat dibangun adalah bagaimana mendorong terwujudnya tata pemerintahan Aceh yang demokratis. Untuk itu, maka setidaknya ada lima peran yang selayaknya dimainkan oleh OMS di Aceh, yaitu :

  Pertama, hal-hal yang berkaitan dengan penyempurnaan perangkat kebijakan yang mengarah pada tatakelola pemerintahan Aceh yang demokratis. Kedua, mendorong pelaksanaan kebijakan yang sudah ada sesuai dengan semangat yang terkandung di dalamnya. Dalam banyak kasus, dokumen kebijakan saja tidak cukup menjadi cerminan dari pemerintahan yang demokratis. Ketiga, mendorong tercipta sistem pemerintahan yang bersih melalui upaya-upaya pemantauan dan pengungkapan kasus-kasus korupsi, pelanggaran HAM serta pelanggaran-pelanggaran lainnya. Perhatian atas isu ini sekaligus untuk mendorong pemenuhan hak-hak dasar masyarakat yang harus dipenuhi oleh pemerintah.

  Keempat, hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan penyadaran publik untuk menjaga perdamaian dan menghindari mencuatnya kembali konflik, termasuk konflik horizontal yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal membangun perdamaian dan pencegahan konflik, OMS di Aceh sudah memiliki pengalaman panjang dan bahkan berperan aktif dalam mendorong lahirnya perdamaian di Aceh.

  Kelima, hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat dengan berupaya membuka akses yang lebih besar kepada kalangan masyarakat Aceh, utamanya korban tsunami dan korban konflik, atas sumberdaya ekonomi untuk kehidupan mereka. Dalam konteks ini, OMS dapat menjadi pendamping bagi masyarakat dalam membuka akses yang tersedia.