Analisis Post Kolonialisme dalam Studi H

ANALISIS POST-KOLONIALISME DALAM STUDI HUBUNGAN
INTERNASIONAL (STUDI KASUS KONFLIK SABAH)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Disiplin ilmu Hubungan Internasional terus mengalami perkembangan
dalam isu maupun aktor didalamnya. Tidak terkecuali pendekatan serta konsep
yang semakin menyentuh bidang-bidang diluar hubungan perpolitikan antarnegara. Wacana-wacana yang terbangun kini tidak hanya membahas tentang
perilaku negara secara konvensional namun telah melibatkan kebiasaan-kebiasaan
aktor diluar negara. Hal ini kemudian tidak hanya menjadi pembahasan mengenai
kebijakan yang diambil demi kepentingan suatu negara namun juga menyinggung
metodologi pengambilan kebijakan yang terkadang melibatkan pertimbanganpertimbangan aktor selain negara.
Pola pengambilan kebijakan yang tergambarkan, telah memperlihatkan
peran-peran individu dan kelompok diluar entitas negara. Kepentingan aktor
selain negara ini telah menjadi penentu berkembangnya wacana serta isu
hubungan internasional antar-negara. Negara yang dahulunya terlihat berperan
penuh untuk segala kebijakan, kini harus lebih mengindahkan peran-peran aktor
lain yang menjadi penentu terpenuhnya kepentingan masing-masing entitas. Hal
ini dapat terlihat pada berbagai macam konflik yang disebabkan oleh tidak
terpenuhinya kepentingan-kepentingan kelompok di luar entitas negara. Tidak
terpenuhinya kepentingan kelompok-kelompok etnis dan kelompok diluar entitas
negara modern banyak mewarnai konflik yang terjadi pasca perang dingin.


1

Ketidakpuasan serta tidak terakomodasinya hak dan kepentingan banyak kalangan
dalam suatu negara sedikit banyak menimbulkan konflik internal dalam negara
maupun konflik antar-negara.
Konflik yang terjadi dewasa ini yang lebih melibatkan kelompok etnis atau
kelompok kepentingan dalam suatu negara lebih dikenal sebagai konflik
kontemporer dalam Hubungan Internasional. Hal ini terjadi karena pada awalnya
para penstudi Hubungan Internasional mengenal konflik tradisional sebagai
konflik yang terjadi antar negara yang berdaulat. Hugh Miall, Oliver Ramsbotham
dan Tom Woodhouse menggunakan konsep “contemporary conflict” untuk
mengacu secara spesifik konflik-konflik yang terjadi setelah Perang Dingin
berakhir.1
Konflik yang lebih banyak melibatkan peran kelompok internal dalam
suatu negara ketimbang antar negara yang berdaulat ini, pada awalnya tidak
terlalu menjadi fokus disiplin Hubungan Internasional. Hal ini disebabkan karena
disiplin Hubungan Internasional agak lama mengabaikan pengembangan teori
untuk menjelaskan konflik internal karena terpaku pada tipe konflik tradisional
yang menghadapkan suatu negara berdaulat dengan negara berdaulat lainnya. 2 Hal

ini kemudian menyempitkan pandangan para penstudi Hubungan Internasional
dalam memandang konflik internal sebagai isu hubungan internasional.
Pemikiran mengenai konflik kontemporer ini kemudian dapat diluruskan
oleh Kalevi Holsti. Seperti yang diakui Kalevi Holsti, perang pada akhir abad 20

1

Hugh Miall, Oliver dan Tom Woodhouse. 1991. Contemporary Conflict Resolution, London.
Polity Press, hal. 66, dalam Yulius P. Hermawan. 2007. Transformasi dalam Studi Hubungan
Internasional: Aktor, Isu dan Metodologi, Yogyakarta. Graha Ilmu, hal. 76-77.
2
Ibid., hal.87

2

bukan menyangkut kebijakan luar negeri, keamanan, status atau kehormatan
negara, tetapi tentang

masalah kenegaraan (statehood), kepemerintahan


(governance), serta peran dan status bangsa dan komunitas dalam negara. 3 Hal ini
kemudian semakin memperjelas peran aktor non negara khususnya dalam isu
konflik disiplin Hubungan Internasional. Tidak hanya pada konflik internal, peran
aktor non-negara pun juga mempengaruhi konflik antar negara dan tidak jarang
menjadi penyebab utama pecahnya konflik.
Konflik kontemporer yang terjadi pasca perang dingin ini, terjadi di
berbagai bagian dunia. Namun negara-negara selatan atau negara yang sedang
berkembang lebih banyak menghadapi masalah ini. Selama pasca perang dingin
salah satu kawasan yang sering mengalami konflik kontemporer adalah kawasan
Asia Tenggara. Dalam sejarahanya kawasan ini telah banyak mengalami konflikkonflik internal maupun eksternal di lingkup kawasan maupun terhadap negara
lain. Misalnya pada kasus konflik ketika Vietnam menginvasi Kamboja pada
tahun 1978 demi menggulingkan rejim Pol Pot. Pada konflik ini, Vietnam yang
ingin menanamkan pemerintahan Heng Samrin yang pro-Vietnam mereka
menggunakan aktor-aktor dari dalam Kamboja sendiri sebagai instrumennya
seperti Heng Semrin, Chea Sim dan Hun Sen, lalu kemudian membentuk
Republik Rakyat Kamboja (RRK). Para tokoh RRK seperti Heng Semrin, Chea
Sim dan Hun Sen sebenarnya adalah mantan komandan Khmer Merah di kawasan
Timur Kamboja.4 Setelah menentang Pol Pot dan pemerintahannya, mereka

3


Kalevi Holsti. 1996. The State, War and the State of War, Cambridge. Cambridge University
Press, hal 20-21, dalam Yulius P. Hermawan, op.cit., hal 87
4
Bambang Cipto. 2007. Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong Terhadap
Dinamika, Kondisi Riil dan Masa Depan, Yogyakarta. Pustaka Pelajar, hal. 46

3

melarikan diri ke Vietnam. Setelah melarikan diri, di sanalah para tokoh
pemberontak ini dilatih dan dipersiapkan Vietnam untuk keudian merebut dan
menduduki Kamboja dengan dukungan pasukan Vietnam. 5 Pada kasus ini dapat
disimpulkan bahwa aktor non-negara memgang peran penting bahkan dalam
kasus konflik eksternal suatu negara.
Masih di kawasan Asia Tenggara, selain Kamboja, konflik wilayah antara
Filipina dan Malaysia menjadi fokus kawasan ini khususnya oleh organisasi
regional ASEAN. Sampai dengan abad ke-21 Filipina masih mengklaim Sabah,
salah satu negara bagian Malaysia, sebagai wilayahnya karena alasan-alasan
historis.6 Berdasarkan aspek historis ini, Filipina terus mempertahankan klaim atas
Sabah sejak 1969 setelah Kerajaan Sulu menyerahkan kekuasaan dan kedaulatan

terhadap Sabah. Presiden Aroyyo pada tahun 2002 bahkan membentuk komisi
untuk mengkaji kembali klaim Filipina selama ini. 7 Namun pertikaian terbuka
antara Filipina dan Malaysia tidak pernah terjadi. Hal ini disebabkan klaim
Filipina tidak didukung oleh kekuatan militer yang cukup.
Klaim wilayah Sabah kemudian kembali menjadi permasalahan ketika
Kesultanan Sulu ingin mengembalikan wilayah historis yang dimilikinya.
Wilayah historis Kesultanan Sulu yang mencakup setengah Kepulauan Mindanao
dan membentang hingga ke Sabah ingin direbut kembali demi mewujudkan
daerah otonomi bagi etnis mayoritas di Sulu yaitu Tausug. Hal ini kemudian

5

Stephen J. Morris. 1999. Why Vietnam Invaded Cambodia: Political Culture and the Causes of
War, Stanford, California. Stanford University Press, hal. 220, dalam Ibid., hal. 47
6
Ibid., hal. 201
7
Ibid., hal. 201

4


diikuti dengan penyusupan ratusan utusan Kesultanan Sulu yang dilengkapi
dengan senjata, sehingga mengundang konflik dengan pihak polisi Malaysia.
Ketidak-jelasan

kepemilikan

wilayah

Sabah

dan

konflik

yang

mengikutinya sebenarnya tidak dapat serta merta dihubungkan dengan hubungan
politik yang berkembang sekarang ini. Aspek historis saat terbentuknya Federasi
Malaysia sebenarnya menjadi kunci masalah wilayah ini. Kebijakan masa kolonial

yang diterapkan negara-negara koloni seperti Spanyol, Inggris dan Amerika
Serikat, tidak dapat dipisahkan dari masalah yang telah menjadi konflik yang
berkepanjangan antar negara dan entitas non-negara ini.
Dengan melihat sejarah yang berkembang di kawasan Asia Tenggara yang
mayoritas adalah negara jajahan, kebijakan masa kolonial masih dengan jelas
mempengaruhi kondisi negara-negara di kawasan ini. Salah satu pendekatan yang
digunakan dalam menganalisa fenomena historis yang memberikan pengaruh
hingga sekarang ini adalah pendekatan poskolonial. Seiring dengan kemerdekaan
bangsa-bangsa, kolonialisme dipercaya tidak pernah berhenti.8 Banyaknya
masalah yang tidak terselesaikan hingga proses dekolonisasi tentu menjadi hal
yang mempengaruhi negera-negara bekas koloni. Proses penjajahan yang lama
dengan mudah akan terinternalisasi sehingga membentuk suatu hubungan yang
tidak terputus antara negara yang menjajah dan dijajah. Keterhubungan ini
kemudian akan menjadi benang merah yang menjelaskan proses eskalasi
fenomena secara historis.

8

Asrudin; Mirza Jaka Suryana dkk. 2009. Refleksi Teori Hubungan Internasional (Dari
Tradisonal ke Kontemporer), Yogyakarta. Graha Ilmu, hal. 365


5

Hal ini seharusnya dapat menjadi acuan dalam pembahasan konflik yang
melanda Sabah selama beberapa dekade hingga saat ini. Usaha klaim yang
dilakukan serta penentuan status Sabah sendiri masih menjadi pertanyaan besar
tanpa melihat bagaimana aspek historis fenomena ini, serta pihak-pihak yang
mempengaruhi selain pihak yang bertikai. Analisa melalui pendekatan
poskolonialisme adalah pola yang cukup tepat untuk membedah masalah ini.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Konflik yang melanda Sabah dapat dianalisa dengan berbagai perspektif
dan pendekatan. Konflik yang sebab dan proses eskalasinya masih menjadi
perdebatan pihak-pihak yang bertikai ini belum menemukan jalan untuk sampai
pada proses penyelesaian konflik. Hasil negosiasi yang bisa mengakomodasi
kepentingan kedua belah pihak belum bisa terpenuhi. Untuk mampu membedah
sebab serta pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, maka dibutuhkan pendekatan
poskolonialisme dan melihat urgensitas pengaruh masa kolonial terhadap konflik
ini.
Melihat hal tersebut, penulis mencoba merumuskan pertanyaan penelitian
guna mengurangi kesalahan dalam pelaksanaan penelitian dan menganalisis

masalah nantinya, yakni sebagai berikut :
1. Apa yang menyebabkan terjadinya konflik di Sabah?
2. Bagaimana pengaruh masa kolonial dalam konflik yang terjadi di
Sabah?
3. Bagaimana pengaruh negara-negara bekas penjajah dalam konflik
Sabah?

6

4. Bagaimana bentuk ketergantungan negara pasca kolonial terhadap
negara-negara penjajah dalam konflik Sabah?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini sesuai dengan batasan dan perumusan masalah, yaitu:
1. Untuk mengetahui bagaiamana penyebab konflik Sabah secara
keseluruhan selama beberapa dekade.
2. Untuk mengetahui pengaruh masa kolonial dan sistem yang
berlangsung pada masa itu dalam pengaruhnya terhadap konflik Sabah.
3. Untuk mengetahui peran dan pengaruh negara-negara penjajah yang
terlibat dalam proses eskalasi konflik Sabah.

4. Untuk mengetahui bentuk ketergantungan negara-negara pasca
kolonial terhadap negara penjajah yang terkait dalam konflik Sabah.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dan
menjadi

bahan

kajian

bagi

pengembangan

studi

Hubungan

Internasional di masa mendatang, khususnya bagi pemerhati masalah
konflik internasional dan yang tertarik menganalisis konflik Sabah

2. Sebagai

referensi

tambahan

bagi

pemerhati

pengkaji

konsep

poskolonialisme.

D. Kerangka Konseptual

7

Konflik sudah menjadi kodrat dan telah ada sejak kehadiran manusia di
muka bumi dikarenakan banyaknya perbedaan yang dimiliki oleh setiap manusia,
menyebabkan terjadinya perbedaan paham dimana perbedaan paham itu sendiri
merupakan konflik kepentingan antar individu. Konflik sendiri memiliki berbagai
definisi menurt para ahli. Menurut Dahrendorf konflik adalah sebuah keadaan
yang terjadi akibat adanya tekanan yang mengelilingi keputusan dalam beberapa
pilihan, yang kadang dimanifestasi melalui konfrontasi antar pihak. 9 Sedangkan
menurut Azar, bahwa konflik merupakan perbedaan dalam opini, pertentangan,
dan argumen yang terjadi dalam sebuah hubungan manusia, dalam organisasi,
komunikasi, ataupun dalam tingkatan internasional.10
Perbedaan merupakan hal yang mendasari konflik apapun yang ada.
Konflik merupakan perbedaan dalam hal sosio-kultural, politik, ataupun ideologi
sehingga membuat seseorang atau kelompok melakukan perlawanan dimana salah
satu bentuknya adalah melalui kekerasan.11 Untuk menghindari konflik yang
berkepanjangan yang merugikan pihak-pihak yang berkonflik, maka dibutuhkan
upaya resolusi konflik. Resolusi konflik adalah upaya untuk menyelesaikan dan
mengakhiri konflik yang berlangsung dengan tercapai atau tidaknya kepentingan
pihak yang terlibat.
Dalam setiap resolusi konflik, Ho-Won Jeong mengatakan bahwa tahap
pertama yang dibutuhkan adalah pemahaman akan konflik apa yang ingin
diselesaikan. Tahap pertama ini terdiri atas 4 bagian secara umum, yakni parties,
9

Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse dan Hugh Miall. 2011. Contemporary Conflict
Resolution, Cambridge. Polity Press, hal. 19
10
Ho-Won Jeong. 2008. Understanding Conflict and Conflict Analysis, London. Sage
Publications, hal.6
11

Oliver Ramsbotham, et.al. op.cit., hal.10.

8

goals, issues dan interests.12 Parties (aktor-aktor yang terlibat) merupakan hal
pertama yang perlu diketahui. Pengetahuan untuk mengetahui individu dan
kelompok yang memiliki posisi kuat dalam dinamika konflik yang terjadi. Usaha
dibutuhkan dalam menganalisa siapa saja pelaku dari konflik, dan kemungkinan
korban akibat konflik tersebut itu siapa. Aktor-aktor yang menjadi pelaku dari
konflik tentunya memiliki sebuah struktur yang telebih dahulu perlu dipahami,
sebab adanya aktor yang hanya menjalankan perintah, dan adanya aktor yang
memerintahkan sebuah tindakan secara langsung kepada anggota kelompok.
Beberapa contoh dari aktor-aktor yang dimaksud adalah individu, kelompok, dan
institusi yang memiliki peranan yang signifikan terhadap outcome sebuah konflik
nantinya. Tidak hanya berhenti disitu, karena dalam konflik yang melibatkan
aktor-aktor tersebut, terdapat beberapa aktor yang tidak terlibat langsung dalam
konflik, namun memiliki dampak langsung maupun tidak langsung terhadap
keberlangsungan sebuah konflik. Beberapa aliansi dari aktor-aktor, ataupun
pemerhati, memiliki kontribusi yang tidak jarang sangat signifikan dalam
penyediaan sumber daya aktor-aktor yang terlibat, sehingga secara tidak langsung
berdampak terhadap outcome dari sebuah konflik.
Goals (target) adalah hal kedua yang perlu dipahami dalam tahap pertama
menganalisa sebuah konflik. Target dalam hal ini, dapat didefinisikan sebagai
sebuah kondisi masa depan yang masing-masing aktor ingin capai. Target bisa
dalam bentuk wilayah, politik, ekonomi, dan banyak target lainnya. Terkadang
formulasi target yang diaspirasikan oleh sebuah aktor tidak dapat tergolong
sebagai hal yang rasional. Dalam banyak kasus, target yang ingin dicapai oleh
12

Ho-Won Jeong, op.cit. hal. 21

9

sebuah aktor bersifat dinamis, dan sangat bergantung terhadap sumber daya yang
dimiliki oleh aktor tersebut. Sering terjadi, sebuah aktor yang awalnya memiliki
target yang sangat masif, namun pada akhirnya menyerah terhadap target yang
tergolong sangat minim akibat sumber daya yang mungkin saja telah habis.
Persediaan sumber daya dalam beberapa kasus menjadi motif utama mengapa
adanya dinamika dalam penentuan target sebuah aktor.
Issues (persoalan) merupakan beberapa bagian pertentangan yang dialami
oleh aktor-aktor yang terlibat langsung dengan konflik. Konsiderasi terjadinya
konflik akibat perbedaan-perbedaan yang ada, sehingga perbedaan itulah yang
sering dianggap sebagai persoalan utama terjadinya konflik. Persoalan biasanya
merupakan persoalan ekonomi, aspirasi sosial, individu, atau kelompok. Kesulitan
dalam setiap mekanisme penyelesaian sebuah konflik banyak terletak pada
persoalan ini, sebab sebuah penyelesaian pada akhirnya akan menguntungkan satu
pihak, namun akan merugikan pihak lainnya. Penyelesaian konflik akan tetapi
sangat bergantung terhadap apa saja yang menjadi persoalan diantara kedua pihak,
agar dapat menentukan persoalan inti dan persoalan turunan yang seharusnya
bukan merupakan prioritas dalam penyelesaian konflik tersebut.
Terakhir yang perlu diketahui sebagai tahap pertama resolusi konflik
adalah interests (kepentingan). Kepentingan ini menjadi alasan utama sebuah
aktor atau kelompok akan melakukan konflik dari awal, dan merupakan dasar
tercapainya sebuah penyelesaian konflik yang mampu disetujui oleh kedua pihak.
Kepentingan ini dapat didefinisikan sebagai apa saja yang menjadi hal yang ingin
dicapai oleh aktor-aktor yang terlibat dalam konflik. Kerumitan dalam resolusi

10

konflik muncul pada saat penentuan aktor A mendapat apa saja, dan aktor B serta
aktor-aktor lainnya mendapatkan apa. Keadaan ini menjadi latar belakang utama
mengapa terjadi perselisihan, sehingga aktor-aktor yang terlibat konflik akan
menegosiasikan untuk mendapatkan keuntungan yang paling banyak dibanding
aktor lainnya. Deadlock pun biasanya tidak dapat dihindari dalam proses fasilitasi
kepentingan-kepentingan aktor yang terlibat. Kepentingan ini dapat disimpulkan
sebagai bagian yang penting dalam merumuskan sebuah resolusi konflik, yang
tingkat kesuksesannya bergantung pada fasilitasi kepentingan aktor-aktor yang
terlibat.
Konsep tentang pengaruh sangat penting untuk melihat bagaimana polapola negara atau entitas yang lebih dominan mampu mempengaruhi sehingga
dapat menguasai kondisi yang terbangun. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, pengaruh memiliki definisi yaitu daya yang ada atau timbul dari suatu
(benda/orang) yang ikut membentuk watak, perilaku, kepercayaan yang mana
daya ini umumnya besar sekali.13 Selain itu menurut Frankel, power atau kekuatan
yang beraspek pada paksaan disebut pengaruh, jadi dalam hal ini pengaruh adalah
power.14 Dikarenakan power ada dalam suatu hubungan maka pengaruh pun
terlihat di dalam suatu hubungan antar dua atau lebih aktor.
Poskolonialisme lahir dari dampak-dampak kolonialisme yang masih
terasa hingga sekarang, baik dalam pola pikir, formasi kultural maupun sistem
yang berjalan dalam suatu entitas. Untuk membuka wacana mengenai teori
poskolonial, kita harus terlebih dahulu melihat sejarah Eropa beserta klaim-klaim
13

Tim Depdiknas. 1986. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.
R. Soeprapto. 1997. Hubungan Internasional: Sistem, Interaksi dan Perilaku. Jakarta. PT. Raja
Grafindo Persada, hal.135
14

11

yang dimilikinya.15 Klaim-klaim yang ada memperlihatkan bangsa Eropa
menganggap adalah bangsa yang paling beradab dibanding bangsa lainnya.
Berkaitan dengan ilmu pengetahuan, bangsa Eropa menganggap diri sebagai
superior di antara segenap bangsa-bangsa lain yang inferior.16
Berangkat dari hal ini, gagasan tentang ilmu universal pun lahir. Ide
tentang ilmu universal adalah ilmu yang mereka miliki dan harus mereka
tanamkan pada bangsa lainnya, menjadikan mereka cenderung menginternalisasi
nilai dan pengetahuan mereka pada bangsa yang menjadi daerah jajahannya. Hal
ini yang kemudian membuat pola hubungan yang tidak terputus antar negara yang
menjajah dan terjajah. Sehingga pola pikir, format kultural dan sistem yang
dipakai akan sulit untuk dihilangkan oleh negara yang terjajah.
Senada yang diungkapakan oleh Wolf, poskolonialisme merupakan
lanjutan dari sikap Euro-centric dari ilmu sosial jauh lebih konvensional di mana
disebut sebagai munculnya wilayah baru yang disebut “people without history”. 17
Hal ini semakin memperlihatkan tidak dianggapnya pola pikir dan kebudayaan
bangsa yang inferior sehingga menanamkan ilmu konvensional mereka adalah
jalan hidup yang lebih baik. Sehingga dominasi setelah jaman kolonial masih
tetap terlaksana baik dalam pola pikir, budaya dalam hal ini bahasa dan cara
hidup, maupun sistem politik dan ekonomi.
Konsep Orientalisme yang dikemukakan oleh Edward W. Said, dikatakan
sebagai subkajian teori Hubungan Internasional Kritis. Perlawanan psikologis atas

15

Asrudin, et.al, op.cit., hal. 365
Ibid, hal.365
17
Rita Abrahamsen. Postcolonialism dalam Martin Griffiths. 2007. International Relations
Theory for the Twenty-First Century, New York. Routledge, hal. 113.
16

12

kolonialisme diawali dengan kemunculan penjajah itu sendiri. Dalam konteks ini,
kolonialisme terlihat dalam relasi tuan-budak. Hubungan tuan-budak didasarkan
pada gagasan mengenai sang lain (the Other). Tujuan kolonialisme tidak lain
adalah untuk menegaskan dominasi dan superioritas atas sang Lain. Namun,
seperti para moralis lainnya, para penjajah meyakinkan diri bahwa apa yang
mereka lakukan didasarkan pada landasan moral yang tinggi, dimana : (1) yang
dijajah memang sangat membutuhkan pendidikan dan rehabilitasi; (2) kebudayaan
yang terjajah tidak sesuai standar penjajah, dan merupakan tugas moral penjajah
untuk memolesnya; (3) Negara terjajah tidak mampu mengatur dan menjalankan
negaranya secara benar, dan dengan begitu membutuhkan kebijaksanaan dan
keahlian dari para penjajah; (4) Negara terjajah memeluk keyakinan agama yang
tidak sesuai dan bertentangan dengan para penjajah, dan sebagai konsekuensi,
merupakan tugas yang diberikan Tuhan kepada penjajah untukmembawa orangorang tersebut ke jalan yang benar; dan (5) orang-orang terjajah menciptakan
ancaman berbahaya pada diri mereka sendiri dan kepada dunia beradab jika
dibiarkan sendiri, dan oleh karena itu adalah kepentingan dari dunia beradab
untuk membawa orang-orang ini di bawah kendali.
Dalam bagian selanjutnya Said juga membedakan antara imperialisme dan
kolonialisme. Menurut Said, imperialisme merujuk pada praktik, teori

dan

tingkah laku sebuah pusat dominasi metropolis memerintah sebuah wilayah yang
jauh. Imperialisme tidak berakhir dan secara tiba-tiba menjadi ‘masa lampau’,
seiring gerakan dekolonisasi imperium-imperium klasik. Warisan hubungan masih
mengikat negeri-negeri seperti Malaysia kepada Inggris dan Aljazair kepada

13

Perancis. Mereka yang dulunya terjajah kini banyak bermukim di negeri bekas
penjajah mereka. Kenyataan dislokasi ini menunjukkan bahwa kolonialisme tidak
serta merta terputus saat suatu Negara menyatakan kemerdekaannya.
Kolonialisme, yang merupakan konsekuensi imperialisme, merujuk pada
pendudukan di wilayah yang jauh. Konsep “sang Lain” menjadi kunci kekuasaan
colonial, sebagaimana para penjajah selalu menempatkan diri sebagai pihak yang
ingin mengangkat derajat kaum terjajah yang inferior, namun dalam kenyataan hal
ini tidak pernah terjadi. Kaum terjajah malah semakin terpuruk dalam belenggu
imperialisme dan kolonialisme.
Konsep lain mengenai analisa postkolonialisme yaitu kelompok sosial
subaltern yang disebutkan oleh Gayatri Chakravorty Spivak, merujuk pada
kelompok-kelompok marjinal dan kelas-kelas bawah yang dibuat tanpa agensi
(kebebasan) disebabkan oleh status sosial mereka. Pandangan ini melihat
postkolonial menuliskan kembali, memilih dan mempraktikkan secara ironis dalildalil dominasi politik neo-kolonial, eksploitasi ekonomi dan penghapusan budaya.
Kolonialisme, dalam bentuknya tentu saja sangat heterogen. Dominasi dan
subordinasi adalah sebuah hubungan yang tidak hanya terjadi antarnegara atau
antaretnis, tetapi terjadi pula dalam sebuah Negara atau dalam suatu etnis tertentu.
Titik berat studi ini merujuk pada bagaimana kelompok-kelompok non-elit
(subaltern) dapat menjadi agen perubahan sosial politik.

E. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian

14

Tipe penelitian yang digunakan oleh penulis adalah tipe deskriptif-analitik,
yaitu penelitian yang menggunakan pola penggambaran keadaan fakta empiris
disertai argumen yang relevan. Kemudian, hasil uraian tersebut dilanjutkan
dengan analisis untuk menarik kesimpulan yang bersifat analitik. Tipe penelitin
deskriptif-analitik dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai fenomena
yang terjadi dan relevan dengan masalah yang diteliti. Metode deskriptif
digunakan untuk menggambarkan fakta-fakta konflik yang sedang berlangsung di
Sabah dan pola yang terjadi pada masa dan pasca kolonial.
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam teknik pengumpulan data, penulis menelaah sejumlah literatur yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti berupa buku, jurnal, dokumen, artikel
dalam berbagai media, baik internet maupun surat kabar harian. Adapun bahanbahan tersebut diperoleh dari beberapa tempat yang akan dan telah penulis
kunjungi, yaitu:
a. Perpustakaan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik LIPI di Jakarta.
b. Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin
c. Center for Strategies and International Studies (CSIS) di Jakarta
d. Perpustakaan Fisip Unhas
e. Perpustakaan Himahi Fisip Unhas
f. Perpustakaan Kedai Buku Jenny

3. Jenis Data

15

Jenis data yang penulis gunakan adalah data sekunder. Data sekunder
merupakan data yang diperoleh melalui studi literatur seperti buku, jurnal, artikel,
majalah, handbook, situs internet, institut dan lembaga terkait. Adapun, data yang
dibutuhkan ialah data yang berkaitan langsung dengan penelitian penulis tentang
konflik Sabah.

16

DAFTAR PUSTAKA
Hermawan, Yulius P. 2007. Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional:
Aktor, Isu dan Metodologi, Yogyakarta. Graha Ilmu
Cipto Bambang. 2007. Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong
Terhadap Dinamika, Kondisi Riil dan Masa Depan, Yogyakarta. Pustaka
Pelajar
Asrudin, Mirza Jaka Suryana dkk. 2009. Refleksi Teori Hubungan Internasional
(Dari Tradisonal ke Kontemporer), Yogyakarta. Graha Ilmu
Ramsbotham, Oliver, Tom Woodhouse dan Hugh Miall. 2011. Contemporary
Conflict Resolution, Cambridge. Polity Press
Jeong. Ho-Won, 2008. Understanding Conflict and Conflict Analysis, London.
Sage Publications
Tim Depdiknas. 1986. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.
R. Soeprapto. 1997. Hubungan Internasional: Sistem, Interaksi dan Perilaku.
Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada
Griffiths, Martin. 2007. International Relations Theory for the Twenty-First
Century, New York. Routledge
Koran :
“Kesabaran Malaysia Habis : para penyusup belum ditemukan”, Koran Kompas
edisi Rabu, 6 Maret 2013
“Kesultanan Sulu : Liku-liku Sejarah klaim Sabah”, Koran Kompas edisi Rabu, 6
Maret 2013
“Pintu Negosiasi Tertutu” , Koran Kompas edisi Minggu 3 Maret 2013
“Krisis Sabah : Tentara Ditambah, Warga Mengungsi” Koran Kompas edisi
Selasa, 5 Maret 2013

17

18