ARCHIVE FOR THE KUMPULAN MAKALAH PENDIDI

ARCHIVE FOR THE ‘KUMPULAN
MAKALAH PENDIDIKAN’ CATEGORY
KONSEP DASAR PROFESIONALISME
Posted: April 13, 2011 in Kumpulan Makalah Pendidikan

0
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah usaha sadar yang dengan sengaja dirancangkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya pendidikan, guru merupakan komponen sumber daya manusia yang
harus dibina dan dikembangkan terus-menerus. Pembentukan profesi guru dilaksanakan melalui program pendidikan
pra-jabatan maupun program dalam jabatan. Guru adalah salah satu contoh dari sekian jenis profesi, Profesi adalah
pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Seseorang yang
memiliki suatu profesi tertentu, disebut profesional. Walaupun begitu, istilah profesional juga digunakan untuk suatu
aktivitas yang menerima bayaran, sebagai lawan kata dari amatir. Menjadi profesional dalam suatu profesi adalah
tuntutan yang akhirnya mampu meningkatkan kualitas keprofesian yang kita miliki.
B. Tujuan
– Untuk mengetahui lebih jauh tentang profesi
– Untuk mengetahui criteria pekerjaan sebagai profesi
– Mengetahui lebih jauh tentang konsep dasar profesionalisme

C. Rumusan Masalah
– Apakah profesi itu?
– Apa saja Kriteria pekerjaan sebagai profesi?
– Bagaimana konsep dasar profesionalisme itu?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Profesi
Profesi adalah pekerjaan, namun tidak semua pekerjaan adalah profesi. Profesi mempunyai karakteristik sendiri yang
membedakannya dari pekerjaan lainnya. Daftar karakterstik ini tidak memuat semua karakteristik yang pernah
diterapkan pada profesi, juga tidak semua ciri ini berlaku dalam setiap profesi:

1. Keterampilan yang berdasar pada pengetahuan teoretis: Profesional diasumsikan mempunyai pengetahuan teoretis
yang ekstensif dan memiliki keterampilan yang berdasar pada pengetahuan tersebut dan bisa diterapkan dalam
praktek.
2. Asosiasi profesional: Profesi biasanya memiliki badan yang diorganisasi oleh para anggotanya, yang dimaksudkan
untuk meningkatkan status para anggotanya. Organisasi profesi tersebut biasanya memiliki persyaratan khusus untuk
menjadi anggotanya.
3. Pendidikan yang ekstensif: Profesi yang prestisius biasanya memerlukan pendidikan yang lama dalam jenjang
pendidikan tinggi.

4. Ujian kompetensi: Sebelum memasuki organisasi profesional, biasanya ada persyaratan untuk lulus dari suatu tes
yang menguji terutama pengetahuan teoretis.
5. Pelatihan institutional: Selain ujian, juga biasanya dipersyaratkan untuk mengikuti pelatihan istitusional dimana
calon profesional mendapatkan pengalaman praktis sebelum menjadi anggota penuh organisasi. Peningkatan
keterampilan melalui pengembangan profesional juga dipersyaratkan.
6. Lisensi: Profesi menetapkan syarat pendaftaran dan proses sertifkasi sehingga hanya mereka yang memiliki lisensi
bisa dianggap bisa dipercaya.
7. Otonomi kerja: Profesional cenderung mengendalikan kerja dan pengetahuan teoretis mereka agar terhindar adanya
intervensi dari luar.
8. Kode etik: Organisasi profesi biasanya memiliki kode etik bagi para anggotanya dan prosedur pendisiplinan bagi
mereka yang melanggar aturan.
9. Mengatur diri: Organisasi profesi harus bisa mengatur organisasinya sendiri tanpa campur tangan pemerintah.
Profesional diatur oleh mereka yang lebih senior, praktisi yang dihormati, atau mereka yang berkualifkasi paling
tinggi.
10. Layanan publik dan altruisme: Diperolehnya penghasilan dari kerja profesinya dapat dipertahankan selama
berkaitan dengan kebutuhan publik, seperti layanan dokter berkontribusi terhadap kesehatan masyarakat.
11. Status dan imbalan yang tinggi: Profesi yang paling sukses akan meraih status yang tinggi, prestise, dan imbalan
yang layak bagi para anggotanya. Hal tersebut bisa dianggap sebagai pengakuan terhadap layanan yang mereka
berikan bagi masyarakat.
Istilah profesi telah dimengerti oleh banyak orang bahwa suatu hal yang berkaitan dengan bidang yang sangat

dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian, sehingga banyak orang yang bekerja tetap sesuai. Tetapi dengan keahlian
saja yang diperoleh dari pendidikan kejuruan, juga belum cukup disebut profesi. Tetapi perlu penguasaan teori
sistematis yang mendasari praktek pelaksanaan, dan hubungan antara teori dan penerapan dalam praktek. Kita tidak
hanya mengenal istilah profesi untuk bidang-bidang pekerjaan seperti kedokteran, guru, militer, pengacara, dan

semacamnya, tetapi meluas sampai mencakup pula bidang seperti manajer, wartawan, pelukis, penyanyi, artis,
sekretaris dan sebagainya. Sejalan dengan itu, menurut DE GEORGE, timbul kebingungan mengenai pengertian profesi
itu sendiri, sehubungan dengan istilah profesi dan profesional. Kebingungan ini timbul karena banyak orang yang
profesional tidak atau belum tentu termasuk dalam pengertian profesi. Berikut pengertian profesi dan profesional
menurut DE GEORGE : PROFESI, adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah
hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian. PROFESIONAL, adalah orang yang mempunyai profesi atau pekerjaan
purna waktu dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan suatu keahlian yang tinggi. Atau seorang profesional
adalah seseorang yang hidup dengan mempraktekkan suatu keahlian tertentu atau dengan terlibat dalam suatu
kegiatan tertentu yang menurut keahlian, sementara orang lain melakukan hal yang sama sebagai sekedar hobi, untuk
senang-senang, atau untuk mengisi waktu luang.
Yang harus kita ingat dan fahami betul bahwa “PEKERJAAN / PROFESI” dan “PROFESIONAL” terdapat beberapa
perbedaan : PROFESI :
– Mengandalkan suatu keterampilan atau keahlian khusus.
– Dilaksanakan sebagai suatu pekerjaan atau kegiatan utama (purna waktu).
– Dilaksanakan sebagai sumber utama nafkah hidup.

– Dilaksanakan dengan keterlibatan pribadi yang mendalam.

B. Pengertian Profesionalisme
Dalam Kamus Besar Indonesia, profesionalisme mempunyai makna; mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang
merupakan ciri suatu profesi atau yang profesional. Profesionalisme merupakan sikap dari seorang profesional. Artinya
sebuah term yang menjelaskan bahwa setiap pekerjaan hendaklah dikerjakan oleh seseorang yang mempunyai
keahlian dalam bidangnya atau profesinya. Menurut Supriadi, penggunaan istilah profesionalisme menunjuk pada
derajat penampilan seseorang sebagai profesional atau penampilan suatu pekerjaan sebagai suatu profesi, ada yang
profesionalismenya tinggi, sedang dan rendah. Profesionalisme juga mengacu kepada sikap dan komitmen anggota
profesi untuk bekerja berdasarkan standar yang tinggi dan kode etik profesinya.
Konsep profsionalisme, seperti dalam penelitian yang dikembangkan oleh Hall, kata tersebut banyak digunakan
peneliti untuk melihat bagaimana para profesional memandang profesinya, yang tercermin dari sikap dan perilaku
mereka. Konsep profesionalisme dalam penelitian Sumardi dijelaskan bahwa ia memiliki lima muatan atau prinsip,
yaitu: Pertama, afliasi komunitas (community aflition) yaitu menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk di
dalamnya organisasi formal atau kelompok-kelompok kolega informal sumber ide utama pekerjaan. Melalui ikatan
profesi ini para profesional membangun kesadaran profesi.
Kedua, kebutuhan untuk mandiri (autonomy demand) merupakan suatu pendangan bahwa seseorang yang profesional

harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain (pemerintah, klien, mereka yang bukan
anggota profesi). Setiap adanya campur tangan (intervensi) yang datang dari luar, dianggap sebagai hambatan

terhadap kemandirian secara profesional. Banyak yang menginginkan pekerjaan yang memberikan hak-hak istimewa
untuk membuat keputusan dan bekerja tanpa diawasi secara ketat. Rasa kemandirian dapat berasal dari kebebasan
melakukan apa yang terbaik menurut yang bersangkutan dalam situasi khusus. Ketiga, keyakinan terhadap peraturan
sendiri/profesi (belief self regulation) dimaksud bahwa yang paling berwenang dalam menilai pekerjaan profesional
adalah rekan sesama profesi, bukan “orang luar” yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan
mereka.
Keempat, dedikasi pada profesi (dedication) dicerminkan dari dedikasi profesional dengan menggunakan pengetahuan
dan kecakapan yang dimiliki. Keteguhan tetap untuk melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik dipandang
berkurang. Sikap ini merupakan ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan. Pekerjaan didefnisikan
sebagai tujuan. Totalitas ini sudah menjadi komitmen pribadi, sehingga kompensasi utama yang diharapkan dari
pekerjaan adalah kepuasan ruhani dan setelah itu baru materi, dan yang kelima, kewajiban sosial (social obligation)
merupakan pandangan tentang pentingnya profesi serta manfaat yang diperoleh baik oleh masyarakat maupun
profesional karena adanya pekerjaan tersebut.
Kelima pengertian di atas merupakan kreteria yang digunakan untuk mengukur derajat sikap profesional seseorang.
Berdasarkan defenisi tersebut maka profesionalisme adalah konsepsi yang mengacu pada sikap seseorang atau
bahkan bisa kelompok, yang berhasil memenuhi unsur-unsur tersebut secara sempurna.
PROFESIONAL :
– Orang yang tahu akan keahlian dan keterampilannya.
– Meluangkan seluruh waktunya untuk pekerjaan atau kegiatannya itu.
– Hidup dari situ.

– Bangga akan pekerjaannya.
CIRI-CIRI PROFESI
Secara umum ada beberapa ciri atau sifat yang selalu melekat pada profesi, yaitu :
1. Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan keterampilan ini dimiliki berkat pendidikan, pelatihan dan
pengalaman yang bertahun-tahun.
2. Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya setiap pelaku profesi mendasarkan
kegiatannya pada kode etik profesi.
3. Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi harus meletakkan kepentingan pribadi di
bawah kepentingan masyarakat.
4. Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan selalu berkaitan dengan kepentingan

masyarakat, dimana nilai-nilai kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup dan sebagainya,
maka untuk menjalankan suatu profesi harus terlebih dahulu ada izin khusus.
5. Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi. Dengan melihat ciri-ciri umum profesi di atas, kita
dapat menyimpulkan bahwa kaum profesional adalah orang-orang yang memiliki tolak ukur perilaku yang berada di
atas ratarata. Di satu pihak ada tuntutan dan tantangan yang sangat berat, tetapi di lain pihak ada suatu kejelasan
mengenai pola perilaku yang baik dalam rangka kepentingan masyarakat. Seandainya semua bidang kehidupan dan
bidang kegiatan menerapkan suatu estándar profesional yang tinggi, bisa diharapkan akan tercipta suatu kualitas
masyarakat yang semakin baik.


C. Kriteria Pekerjaan menjadi sebuah profesi

Dalam rangka memahami lebih lanjut tentang profesi perlu diketahui adanya sepuluh macam kriteria yang
diungkapkan oleh Horton Bakkington dan Robers Patterson dalam studi tentang jabatan profesi mengungkap sepuluh
kriteria:
1. Profesi harus memenuhi kebutuhan masyarakat dan menggunakan prinsip keilmuan yang dapat diterima
masyarakat.
2. Profesi harus menuntut suatu latihan profesional yang memadai dan membudaya.
3. Profesi menuntut suatu lembaga yang sistematis dan terspesialisasi.
4. Profesi harus memberikan keterangan tentang ketrampilan yang dibutuhkan di mana masyarakat umum tidak
memilikinya.
5. Profesi harus sudah mengembangkan hasil dari pengalaman yang sudah teruji.
6. Profesi harus merupakan tipe pekerjaan yang bermanfaat.
7. Profesi harus sudah memerlukan pelatihan kebijaksanaan dan penampilan tugas.
8. Profesi harus mempunyai kesadaran ikatan kelompok sebagai kekuatan yang mampu mendorong dan membina
anggotanya.
9. Profesi harus dijadikan batu loncatan mencari pekerjaan lain.
10. Profesi harus mengakui kewajibannya dalam masyarakat dengan meminta anggotanya memenuhi kode etik yang
diterima dan dibangunnya.


Dari kriteria-kriteria yang ditetapkan tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu pekerjan dapat dikatakan pekerjaan
profesi apabila memenuhi ciri-ciri:
a. Memenuhi spesialisasi dengan latar belakang teori yang luas (pengetahuan dan keahlian).

b. Merupakan karir yang dibina secara organisatoris (keterkaitan dalam organisasi profesi, memiliki kode etik dan
pengabdian masyrakat).
c. Diakui masyarakat sebagai suatu pekerjaan yang mempunyai status profesional (memperoleh dukungan
masyarakat, perlindungan hukum dan mempunyai persyaratan kerja dan jaminan hidup yang layak).

Sesuai dengan pengertian profesi dan ciri-ciri yang diungkapkan di atas, maka pekerjaan guru adalah tugas
keprofesian, mengingat hal-hal sebagai berikut:
1. Diperlukan persyaratan akademis dan adanya kode etik.
2. Semakin dituntut adanya kualifkasi agar tahu tentang permasalahan perkembangan anak (Shaleh, 2005:278-280).
Abudin Nata menambahkan tiga kriteria suatu pekerjaan profesional:
a. Mengandung unsur pengabdian
Setiap profesi dikembangkan untuk memberikan pelayanan tertentu kepada masyarakat. Setiap orang yang mengaku
menjadi pengembang dari suatu profesi tertentu harus benar-benar yakin bahwa dirinya memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang memadai untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat tersebut.
b. Mengandung unsur idealisme
Setiap profesi bukanlah sekedar mata pencari atau bidang pekerjaan yang mendatangkan materi saja melainkan

dalam profesi itu tercakup pengertian pengabdian pada sesuatu yang luhur dan idealis, seperti mengabdi untuk
tegaknya keadilan, kebenaran meringankan beban penderitaan sesama manusia.
c. Mengandung unsur pengembangan
Setiap bidang profesi mempunyai kewajiban untuk menyempurnakan prosedur kerja yang mendasari pengabdiannya
secara terus-menerus. Secara teknis profesi tidak boleh berhenti atau mandek. Kalau kemandekan teknik ini terjadi
profesi itu dianggap sedang mengalami proses kelayuan atau sudah mati. Dengan demikian, profesipun manjadi
punah dari kehidupan masyarakat (Nata, 2001:139).

Menurut Mukhtar Lutf ada delapan kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu pekerjaan agar dapat disebut sebagai
profesi yaitu:
1. Panggilan hidup yang sepenuh waktu.
2. Pengetahuan dan kecakapan atau keahlian .
3. Kebakuan yang universal.
4. Pengabdian
5. Kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif
6. Otonomi

7. Kode etik
8. Klien.
Wolmer dan Mills dalam Sardiman mengatakan pekerjaan itu dikatakan sebagai profesi apabila memenuhi kriteria

sebagai berikut:
1. Memiliki spesialisasi dengan latar belakang yang luas.
2. Merupakan karir yang dibina secara organisatoris.
3. Diakui masyarakat sebagai pekerjaan yang mempunyai status profesional. ( Sardiman, 2007:164).

Rahman Nata wijaya mengemukakan beberapa kriteria sebagai ciri suatu profesi:
1. Ada standar kerja yang baku dan jelas.
2. Ada lembaga pendidikan khusus yang menghasilkan pelakunya dengan program pendidikan yang baik.
3. Ada organisasi yang memadai pelakunya untuk mempertahankan dan memperjuangkan eksistensi dan
kesejahteraannya.
4. Ada etika dan kode etik yang mengatur prilaku para pelakunya dalam memperlakukan kliennya.
5. Ada sistem imbalan terhadap jasa layanannya yang adil dan baku .
6. Ada pengakuan masyarakat (profesional penguasa dan awam) terhadap pekerjaan itu sebagai suatu profesi.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Profesi, adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang

mengandalkan suatu keahlian. Profesional, adalah orang yang mempunyai profesi atau pekerjaan purna waktu dan
hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan suatu keahlian yang tinggi. Atau seorang profesional adalah seseorang
yang hidup dengan mempraktekkan suatu keahlian tertentu atau dengan terlibat dalam suatu kegiatan tertentu yang
menurut keahlian, sementara orang lain melakukan hal yang sama sebagai sekedar hobi, untuk senang-senang, atau
untuk mengisi waktu luang.
Konsep dasar profesionalisme adalah kunci dalam suatu profesi, karena hal inilah yang mendasari seseorang untuk
bisa menjadi profesional dalam menjalankan profesi yang dimiliki.
Guru adalah salah satu dari profesi, dewasa ini memiliki profesi haruslah mampu menjadi profesional. Karena tuntutan
perkembangan dan hal ini sejalan dengan dinamisasi sistem pendidikan. Menjadi seorang guru harus profesional

karena nantinya guru’lah yang akan melahirkan generasi profesionalisme melalui profesinya itu.

DAFTAR PUSTAKA

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), Edisi III,
hal. 897.

Sjafri Sairin, Membangun Profesionalisme Muhammadiyah, (Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Tenaga Profesi
[LPTP], 2003), hal 37.

Sumardi, Pengaruh Pengalaman Terhadap Profesionalisme Serta Pengaruh Profesionalisme Terhadap Kinerja dan
Kepuasan Kerja, Tesis, Undip, 2001.

http://ahmadefendy.blogspot.com/2010/02/kriteria-profesional.html
http://rizal.blog.undip.ac.id/fles/2009/07/dipakai_siskom_etika-profesi.pdf

perkembangan perilaku dan kepribadian seseorang
Posted: Maret 22, 2011 in Kumpulan Makalah Pendidikan

0
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar belakang
Setiap organisme, baik manusia maupun hewan, pasti mengalami peristiwa perkembangan selama hidupnya.
Perkembangan ini meliputi seluruh bagian dengan keadaan yang dimiliki oleh organisasi tersebut, baik yang bersifat
konkret maupun yang bersifat abstrak. Jadi, arti peristiwa perkembangan itu khususnya perkembangan manusia tidak
hanya tertuju pada aspek psikologis saja, tetapi juga aspek biologis. Karena setiap aspek perkembangan individu, baik
fsik, emosi, inteligensi maupun sosial, satu sama lain saling mempengaruhi. Terdapat hubungan atau korelasi yang
positif diantara aspek tersebut. Apabila seorang anak dalam pertumbuhan fsiknya mengalami gangguan (sering sakitsakitan), maka dia akan mengalami kemandegan dalam perkembangan aspek lainnya, seperti kecerdasannya kurang
berkembang dan mengalami kelabilan emosional.
b. Masalah
Bagaimana perkembangan perilaku dan kepribadian seseorang?

c. Tujuan
– Mengetahui tentang proses, tahapan, dan karakteristik perkembangan aspek fsik dan perilaku motorik
– Mengetahui proses, tahapan, dan karakteristik perkembangan aspek bahasa dan perilaku kognitif
– Mengetahui perkembangan aspek sosial
– Mengetahui aspek moral dan kepribadian

BAB II
PEMBAHASAN
1. Perkembangan Fisik dan Perilaku Psikomotorik
a. Perkembangan fsik
Fisik atau tubuh manusia merupakan sistem organ yang kompleks dan sangat mengagumkan. Semua organ ini
terbentuk pada periode pranatal (dalam kandungan). Berkaitan dengan perkembangan fsik ini Kuhlen dan Thompson
(Hurlock, 1956) mengemukakan bahwa perkembangan fsik individu meliputi empat aspek, yaitu (1) Sistem syaraf,
yang sangat mempengaruhi perkembangan kecerdasan dan emosi; (2) Otot-otot, yang mempengaruhi perkembangan
kekuatan dan kemampuan motorik; (3) Kelenjar Endokrin, yang menyebabkan munculnya pola-pola tingkah laku baru,
seperti pada usia remaja berkembang perasaan senang untuk aktif dalam suatu kegiatan, yang sebagian anggotanya
terdiri atas lawan jenis; dan (4) Struktur Fisik/Tubuh, yang meliputi tinggi, berat, dan proporsi.
Awal dari perkembangan pribadi seseorang asasnya bersifat biologis. Dalam taraf-taraf perkembangan selanjutnya,
normlitas dari konstitusi, struktur dan kondisi talian dengan masalah Body-Image, self-concept, self-esteem dan rasa
harga dirinya. Perkembangannya fsik ini mencakup aspek-aspek sebagai berikut:
1. Perkembangan anatomis
Perkembangan anatomis ditunjukkan dengan adanya perubahan kuantitatif pada struktur tulang belulang. Indeks
tinggi dan berat badan, proporsi tinggi kepala dengan tinggi garis keajegan badan badan secara keseluruhan.
2. Perkembangan fsiologi
Perkembangan fsiologis ditandai dengan adanya perubahan-perubahan secara kuantitatif, kualitatif dan fungsional
dari sistem-sistem kerja hayati seperti konstraksi otot, peredaran darah dan pernafasan, persyaratan, sekresi kelenjcar
dan pencernaan.
Aspek fsiologi yang sangat penting bagi kehidupan manusia adalah otak (brain). Otak dapat dikatakan sebagai pusat
atau sentral perkembangan dan fungsi kemanusiaan. Otak ini terdiri atas 100 miliar sel syaraf (neuron), dan setiap sel
syaraf tersebut, rata-rata memiliki sekitar 3000 koneksi (hubungan) dengan sel-sel syaraf yang lainnya. Neuron ini
terdiri dari inti sel (nucleus) dan sel body yang berfungsi sebagai penyalur aktivitas dari sel syaraf yang satu ke sel
yang lainnya.

b. Perkembangan perilaku psikomotorik
Loree (1970 : 75) menyatakan bahwa ada dua macam perilaku psikomotorik utama yang bersifat universal harus di
kuasai oleh setiap individu pada masa bayi atau awal masa kanak-kanaknya ialah berjalan (walking) dan memegang
benda (prehension). Kedua jenis keterampilan psikomotorik ini merupakan basis bagi perkembangan keterampilan
yang lebih kompleks seperti yang kita kenal dengan sebutan bermain (playing) dan bekerja (working).
Dua prinsip perkembangan utama yang tampak dalam semua bentuk perilaku psikomotorik ialah (1) bahwa
perkembangan itu berlangsung dan yang sederhana kepada yang kompleks, dan (2) dan yang kasar dan global (gross
bodily movements) kepada yang halus dan spesifk tetapi terkoordinasikan (fnely coordinated movements).
(1) Berjalan dan Memegang Benda
Keterampilan berjalan diawali dengan gerakan-gerakan psikomotor dasar (locomotion) yang harus dikuasainya selama
tahun pertama dari kehidupannya. Perkembangan psikomotorik dasar itu berlangsung secara sekuensial, sebagai
berikut: (1) keterampilan bergulir (roil over) dan telentang menjadi telungkup (5 : 8 bulan), (2) gerak duduk (sit up)
yang bebas (8,3 bulan), (3) berdiri bebas (9,0 bulan) berjalan dengan bebas (13,8 bulan) (Lorre, 1970: 75).
(2) Bermain dan Bekerja
Mulai usia 4-5 tahun bermain konstruksi yang fantastik itu dapat beralih kepada berbagai bentuk gerakan bermain
yang ritmis dan dinamis, tetapi belum terikat dengan aturan-aturan tertentu yang ketat.
(3) Proses Perkembangan Motorik
Di samping faktor-faktor hereditas, faktor-faktor lingkungan alamiah, sosial, kultural, nutrisi dan gizi serta kesempatan
dan latihan merupakan hal-hal yang sangat berpengaruh terhadap proses dan produk perkembangan fsik? dan
perilaku psikomotorik.
2. Perkembangan Bahasa dan Perilaku Kognitis
a. Perkembangan Bahasa
Bahasa merupakan kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dalam pengertian ini tercakup semua cara
untuk berkomunikasi, dimana pikiran dan perasaan dinyatakan dalam bentuk lambang atau simbol untuk
mengungkapkan sesuatu pengertian, seperti dengan menggunakan lisan, tulisan, isyarat, bilangan, lukisan, dan mimik
muka.
Dalam berbahasa, anak dituntut untuk menuntaskan atau menguasai empat tugas pokok yang satu sama lainnya
saling berkaitan. Apabila anak berhasil menuntaskan tugas yang satu, maka berarti juga ia dapat menuntaskan tugastugas yang lainnya. Keempat tugas itu adalah sebagai berikut:
1. Pemahaman, yaitu kemampuan memahami makna ucapan orang lain. Bayi memahami bahasa orang lain, bukan
memahami kata-kata yang diucapkannya, tetapi dengan memahami kegiatan /gerakan atau gesturenya (bahasa
tubuhnya).

2. Pengembangan Perbendaharaan kata-kata anak berkembang dimulai secara lambat pada usia dua tahun pertama,
kemudian mengalami tempo yang cepat pada usia pra-sekolah dan terus meningkat setelah anak masuk sekolah.
3. Penyusunan Kata-kata menjadt kalimat, kemampuan menyusun kata-kata menjadi kalimat pada umumnya
berkembang sebelum usia dua tahun. Bentuk kalimat pertama adalah kalimat tunggal (kalimat satu kata) dengan
disertai: “gesture” untuk melengkapi cara benpikirnya.
4. Ucapan. Kemampuan kata-kata merupakan hasil belajar melalui imitasi (peniruan) terhadap suara-suara yang
didengar anak dan orang lain (terutama orangtuanya). Pada usia bayi, antara 11-18 bulan, pada umumnya mereka
belum dapat berbicara atau mengucapkan kata-kata secara jelas, sehingga sering tidak dimengerti maksudnya.
Kejelasan ucapan itu baru tercapai pada usia sekitar tiga tahun. Hasil studi tentang suara dan kombinasi suara
menunjukkan bahwa anak mengalami kemudahan dan kesulitan dalam huruf-huruf tertentu.
Ada dua tipe perkembangan bahasa anak, yaitu sebagai berikut.
1. Eqocentric Speech
2. Socialized Speech, yang terjadi ketika berlangsung kontak antara anak dengan temannya atau dengan
lingkungannya. Perkembangan ini dibagi ke dalam lima bentuk: (a) adapted information, di sini terjadi saling tukar
gagasan atau adanya tujuan bersama yang dicari, (b) critism, yang menyangkut penilaian anak terhadap ucapan atau
tingkah laku orang lain, (c) command (perintah), request (permintaan) dan threat (ancaman), (d) questions
(pertanyaan), dan (e) answers (jawaban).
Berbicara monolog (egocentric speech) berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berpikir anak yang pada
umumnya di lakukan oleh anak berusia 2-3 tahun; sementara yang “sociaized speech” mengembangkan kemampuan
penyesuaian sosial (social adjustment).
b. Perkembangan Bahasa dan Perilaku Kognitif
Istilah “cognitive” berasal dari kata cognition yang padanannya knowing, berarti mengetahui. Dalam arti yang luas,
cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan (Neisser, 1976). Dalam perkembangan
selanjutnya, istilah kognitif menjadi populer sebagai salah satu domain atau wilayah/ranah psikologis manusia yang
meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi,
pemecahan masalah, kesengajaan, dan keyakinan. Ranah kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan
dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa (Chaplin, 1972).
Terdapat hubungan yang amat erat antara perkembangan bahasa dan perilaku kognitif. Taraf-taraf penguasaan
keterampilan berbahasa dipengaruhi, bahkan bergantung pada tingkat-tingkat kematangan dalam kemampuan
intelektual. Sebaliknya, bahasa merupakan sarana dan alat yang strategis bagi 1ajunya perkembangan perilaku
kognitif.
Perkembangan fungsi-fungsi dan perilaku kognitif itu menurut Loree.(1970:77), dapat dideskripsikan dengan dua cara

dua ialah secara kualitatif dan secara kuantitatif.
(1) Perkembangan Fungsi-Fungsi Kognitif secara Kuantitatif perkembangan fungsi-fungsi kognitif secara kuantitatif
dapat dikembangkan berdasarkan basil laporan berbagai studi pengukuran dengan menggunakan tes inteligensi
sebagai alat ukurnya, yang dilakukan secara longitudinal terhadap sekelompok subjek dan sampai ke tingkatan usia
tertentu (3-5 tahun sampai usia 30-35 tahun, misalnya) secara test-retest yang alat ukurnya disusun secara sekuensial
(Standford Revision Binet Test). Dengan menggunakan hasil pengukuran tes yang rnencakup General Information and
Verbal Analogies, Jones and Conrad (Loree, 1970:78) telah mengembangkan sebuah kurva perkembangan inteligensi,
yang dapat ditafsirkan antara lain sebagai berikut.
(a) Laju perkembangan inteligensi berlangsung sangat pesat sampai ,masa remaja awal, setelah itu kepesatan nya
berangsur menurun.
(b) Puncak perkembangan pada umumnya dicapai di penghujung masa remaja akhir (sekitar usia dua puluhan);
perubahan-perubahan yang amat tipis sampai usia 50 tahun, setelah itu terjadi plateau (mapan) sampai usia 60 tahun,
untuk selanjutnya berangsur menurun (deklinasi).
(c) Terdapat variasi dalam saatnya dan laju kecepatan deklinasi menurut jenis-jenis kecakapan khusus tertentu.
(2) Perkembangan Perilaku Kognitif secara Kualitatif
Piaget membagi proses perkembangan fungsi dan peri itu ke dalam empat tahapan utama yang secara kualitatif
setiap tahapan menunjukkan karakteristik yang berbeda-beda.
(a) Sensorimotor period (0,0 – 2,0). Periode ini ditandai penggunaan sensorimotorik (dalam pengamatan penginderaan)
yang intensif terhadap dunia sekitar. Prestasi intelektual yang dicapai dalam periode ini ialah perkembangan bahasa,
hubungan tentang obyek kontrol skema, kerangka berpikir, pembentukan pengertian, pengenalan hubungan sebabakibat. Perilaku kognitif tampak antara lain:
(1) menyadari dirinya berbeda dan benda-bef sekitarnya;
(2) sensitive terhadap rangsangan suara dan cahaya;
(3) mencoba bertahan pada pengalaman-pengalaman yang menarik;
(4) mendefnisikan objek/benda dengan manipulasinya;
(5) mulai memahami ketetapan makna suatu objek meskipun lokasi dan posisinya berubah.
(b) Preoperational. period (2,0 – 7,0). Periode ini terbagi ke dalam dua tahapan ialah preconceptual (2,0-4,0) dan
intuitive (4,0 – 7,0). Periode preconceptual ditandai dengan cara berpikir yang bersifat transduktif (menarik konklusi
tentang sesuatu yang khusus; sapi disebut juga kerbau). Periode intuitif ditandai oleh dominasi pengamatan yang
bersifat egocentric (belum memahami cara orang lain memandang objek yang sama), seperti searah (selancar).
Perilaku kognitif yang tampak antara lain:
(1) self-centered dalam memandang dunianya;

(2) dapat mengklasifkasikan objek-objek atas dasar satu ciri tertentu yang memiliki ciri yang sama, mungkin pula
memiliki perbedaan dalam hal yang lainnya;
(3) dapat melakukan koleksi benda-benda berdasarkan suatu ciri atau kriteria tertentu;
(4) dapat menyusun benda-benda, tetapi belum dapat menarik inferensi dan dua benda yang tidak her sentuhan
meskipun terdapat dalam susunan yang sama.
(c) Concrete erational (7,0 – 11 or 12,0)
Tiga kemampuan dan kecakapan yang baru yang menandai periode ini, ialah: rnengklasifkasikan angka-angka atau
bilangan. Dalam periode mi anak mulai pula mengkonservasi pengetahuan tertentu. Perilaku kognitif yang tampak
pada periode ini ialah kemampuannya dalam proses berpikir untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika meskipun
masih terikat dengan objek-objek yang bersifat konkret.
(d) Formal operational period (11,0 or 12,0 – 14,0 or 15,0)
Periode ini ditandai dengan kernampuan untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal yang tidak terikat lagi
oleh objek-objek yang bersifat konkrit. Pen laku kognitif yang tampak pada kita antara lain:
(1) kemampuan berpikir hipotetis-deduktif (hypothetico-deductive thinking);
(2) kemampuan mengembangkan suatu kemungkinan berdasarkan dua atau lebih kemungkinan yang ada (a
combinational analysis);
(3) kemampuan mengembangkan suatu proporsi atau dasar proporsi-proporsi yang diketahui (proportional thinking);
(4) kemampuan menarik generalisasi dan inferensasi dan berbagai kategori objek yang beragam.
Tokoh lain yang melakukan studi terhadap masalah ini secara mendalam ialah Jerome Bruner (1966) ia membagi
proses perkembangan perilaku kognitif ke dalam tiga periode ialah:
(1) enactive stage, merupakan suatu masa ketika individu berusaha memahami lingkungannya. tahap mi mirip dengan
sensorimotor period dan Piaget;
(2) iconic stage, yang mendekati kepada preoperational period dan Piaget; dan
(3) symbolic stage, yang juga mendekati ciri-ciri formal operational peniode dan Piaget.
Dari telaahan kita terhadap perkembangan bahasa dan perilaku serta fungsi-fungsi kognitif itu, jelaslah mempunyai
implikasi yang sangat penting bagi pengernbangan sistem dan praktik pendidikan seperti yang disarankan oleh Gage
& Berliner (1975:375-378), antara lain para pendidik seyogianya mampu untuk melaksanakan hal-hal berikut:
(1) intellectual empathy;
(2) using concrete objects;
(3) using inductive approach;
(4) sequencing instruction;
(5) taking amount of ft of new experience;

(6) applying student self-regulation principles;
(7) developing cognitive values of interaction.
3. Perkembangan Perilaku Sosial, Moralitas dan Keagamaan
a. Perkembangan Perilaku sosial
Secara potensial (ftriah) manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial (zoon politicon), kata Plato.
Namun, untuk mewujudkan potensi tersebut ia harus berada dalam interaksi dengan lingkungan manusia-manusia lain
(ingat kisah Singh Zingh di India dan Itard di Perancis, bayi yang disusui dan dibesarkan binatang tidak dapat dididik
kembali untuk menjadi manusia biasa).
1) Proses sosialisasi dan perkembangan sosial
Secepat individu menyadari bahwa di luar dirinya itu ada orang lain, maka mulailah pula menyadari bahwa ia harus
belajar apa yang seyogianya ia perbuat seperti yang diharapkan orang lain. Proses belajar untuk menjadi makhluk
sosial ini disebut sosialisasi.
Loree (1970:86) dengan menyitir pendapat English & English (1958) menjelaskan lebih lanjut bahwa sosialisasi itu
merupakan suatu proses di mana individu (terutama anak) melatih kepekaan dirinya terhadap rangsangan-rangsangan
sosial terutama tekanan-tekanan dan tuntutan kehidupan (kelornpoknya); belajar bergaul dengan dan bertingkah laku
seperti orang lain, bertingkah laku di dalam lingkungan sosio-kulturalnya.
2) Kecenderungan Pola Orientasi Sosial
Branson (Loree, 1970:87-89) mengidentifkasi berdasarkan hasil studi longitudinalnya terhadap anak usia 5-16 tahun
bahwa ada tiga pola kecenderungan sosial pada anak, ialah (1) withdrawal-expansive, (2) reactivity-placidity dan
passivity-dominance. Kalau seseorang telah memperhatikan orientasinya pada salah satu pola tersebut, maka
cenderung diikutinya sampai dewasa.
b. Perkembangan Moralitas
1. Perkembangan Moral
Istilah moral berasal dari kata Latin “mos” (Moris), yang berarti adat istiadat peraturan/nilai-nilai atau tatacara
kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau
prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral itu, seperti (a) seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara
ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, dan (b) larangan mencuri, berzina,
membunuh, meminum minuman keras dan berjudi. Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku tersebut
sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tingi kelompok sosialnya.
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral
Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungan Anak memperoleh nilai-nilai moral dan
lingkungannya dan orangtuanya. Dia belajar untuk mengenal nilai-nilai sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Dalam

mengembangkan moral anak, peranan orangtua sangatlah penting, terutama pada waktu anak masih kecil.
3. Proses Perkembangan Moral
Perkembangan moral anak dapat berlangsung melalui beberapa cara, sebagai berikut.
1. Pendidikan langsung, yaitu melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku yang benar dan salah, atau baik
dan buruk oleh orangtua, guru atau orang dewasa lainnya. Di samping itu, yang paling penting dalam pendidikan
moral mi, adalah keteladanan dan orangtua, guru atau orang dewasa lainnya dalam melakukan nilai-nilai moral
2. Identifkasi, yaitu dengan cara mengidentifkasi atau meniru penampilan atau tingkah laku moral seseorang yang
menjadi idolanya (seperti orangtua, guru, kiai, artis atau orang dewasa lainnya).
3. Proses coba-coba (trial & error), yaitu dengan cara mengembangkan tingkah laku moral secara coba-coba. Tingkah
laku yang mendatangkan pujian atau penghargaan akan terus .di kembangkan, sementara tingkah laku yang
mendatangkan hukuman atau celaan akan dihentikannya.
c. Perkembangan Penghayatan Keagamaan
Sejalan perkembangan kesadaran moralitas, perkembangan penghayatan keagarnaan, yang erat hubungannya
dengan perkembangan intelektual di samping emosional dan volisional (konatif, mengalami perkembangan. Para ahli
umumnya (Zakiah Daradjat, Starbuch, William James) sependapat bahwa pada garis besarnya per kembangan
penghayatan keagamaan itu dapat dibagi dalam tiga tahapan yang secara kualitatif menunjukkan karakteristik yang
berbeda.
4. Perkembangan Perilaku Afektif, Konatif dan Kepribadian
a. Perkembangan Fungsi-Fungsi Konatif dan Hubungannya dengan Pembentukan
Fungsi konatif atau motivasi itu merupakan faktor penggerak perilaku manusia yang bersumber terutama pada
kebutuhan-kebutuhan dasarnya (basic needs). Jenis-jenis kebutuhan manusia itu berkembang mulai dari sifat yang
alami (misalnya, kebutuhan dasar biologis) sampai kepada yang bersifat dipelajari sebagai pengalaman interaksi
dengan lingkungannya.
Di dalam kenyataan yang berkembang itu bukanlah jenis motif atau kebutuhan, melainkan beberapa sifatnya,
misalnya objek dan caranya, itensitasnya, dan sebagainya.
b. Perkembangan Emosional dan Perilaku Afektif
Emosi itu dapat didefnisikan sebagai suatu suasana yang kompleks ( a complex feeling state) dan getaran jiwa (a strid
up state) yang menyertai atau muncul sebelum /sesudah terjadinya perilaku.
Aspek emosional dari suatu perilaku, pada umumnya, selalu melibatkan tiga variabel, yaitu rangsangan yang
menimbulkan emosi (the stimulus variable), perubahan-perubahan fsiologis, yang terjadi bila mengalami emosi (the
organismic variable), dan pola sambutan ekspresi atau terjadinya pengalaman emosional itu (the response variable).
Emosi sebagai suatu peristiwa psikologis mengandung ciri-ciri sebagai berikut:

1. Lebih bersifat subjektif daripada peristiwa psikologis lainnya, seperti pengamatan dan berpikir.
2. Bersifat fuktuatif (tidak tetap)
3. Banyak bersangkut paut dengan peristiwa pengenalan panca indera.
Emosi dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu emosi sensoris dan emosi kejiwaan (psikis).
a. Emosi sensoris, yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dan luar terhadap tubuh, seperti: rasa dingin, manis,
sakit, lelah, kenyang, dan lapar.
b. Emosi psikis, di antaranya adalah:
1) Perasaan Intelektual, yaitu yang mempunyai sangkut paut dengan ruang lingkup kebenaran.
2) Perasaan Sosial, yaitu perasaan yang menyangkut hubungan dengan orang lain, baik bersifat perorangan maupun
kelompok.
3) Perasaan Susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai-nilai balk dan buruk atau etika moral.
4) Perasaan Keindahan (estetis), yaitu perasaan yang berkaitan erat dengan keindahan dan sesuatu, baik bersifat
kebendaan maupun kerohanian.
5) Perasaan Ketuhanan. Salah satu kelebihan manusia sebagai makhluk Tuhan, dianugerahi ftrah (kemampuan atau
perasaan) untuk mengenal Tuhannya. Perkembangan Kepribadian?
c. Perkembangan Kepribadian
1. Pengertian Kepribadian
Kepribadian dapat juga diartikan sebagai “kualitas perilaku individu yang tamj alamrnelakukan penyesuaian dirinya
terhadap ling \kungan secara unik” Keunikan penyesuaian tersebut sangat berkaitan dengan aspek-aspek kepribadian
itu sendiri, yaitu meliputi hal-hal berikut.
1) Karakter, yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika pen laku, konsisten atau teguh tidaknya dalam
memegang pendirian atau pendapat.
2) Temperamen, yaitu disposisi reaktif seseorang, atau cepat/lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan
yang datang dari lingkungan
3) Sikap terhadap objek (orang, benda, peristiwa, norma dan sebagainya) yang bersifat positif, negatif atau ambivalen
(ragu-ragu).
4) Stabilitas emosi, yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dan lingkungan. Seperti: mudah
tidaknya tersinggung marah, sedih atau putus asa.
5) ResponsibilitaS (tanggung jawab), kesiapan untuk menerima risiko dan tindakan atau perbuatan yang dilakukan.
Seperti: mau menerima risiko secara wajar, cuci tangan, atau melarikan diri risiko yang dihadapi.
6) Sosiabilitas, yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Disposisi ini seperti tampak
dalam sifat pribadi yang tertutup atau terbuka; dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.

Konsep Pembelajaran
Posted: Januari 13, 2011 in Kumpulan Makalah Pendidikan

0
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyelenggaraan pembelajaran merupakan salah satu tugas utama guru, dimana pembelajaran dapat diartikan
sebagai kegiatan yang ditujukan untuk membelajarkan siswa. Untuk dapat membelajarkan siswa, salah satu cara yang
dapat ditempuh oleh guru ialah dengan menerapkan pendekatan CBSA. Pendekatan ini merupakan merupakan
pendekatan pembelajaran yang tersurat dan tersirat dalam kurikulum yang berlaku.
CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) menuntut keterlibatan mental siswa terhadap bahan yang dipelajari. CBSA menuntut
keterlibatan mental yang tinggi sehingga terjadi proses-proses mental yang berhubungan dengan aspek-aspek
kognitif, afektif dan psikomolorik. Melalui proses kognitif pembelajaran akan memiliki penguasaan konsep dan prinsip.
Akan tetapi dengan CBSA para pembelajar dapat melatih diri menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepada
mereka. Tidak untuk dikerjakan di rumah tetapi dikerjakan dikelas secara bersama-sama

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka disusun rumusan masalah sebagai berikut :
“Bagaimanakah CBSA konsep pembelajaran?”

C. Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dan Manfaat dari makalah yang kami sajikan berikut ini yaitu :
-) mengetahui bagaimana konsep pembelajaran
-) mengetahui kebaikan dan kelemah satu Sistem CBSA

PEMBAHASAN

A. Pengertian Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)
Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) adalah suatu pendekatan dalam pembelajaran yang menitik beratkan pada keaktifan
siswa, yang merupakan inti dari kegiatan belajar. Keaktifan belajar terjadi dan terdapat pada semua perbuatan belajar,
tetapi kadarnya yang berbeda tergantung pada jenis kegiatanya, materi yang dipelajari dan tujuan yang hendak
dicapai. Kegiatan tersebut diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti : mendengarkan, berdiskusi, membuat sesuatu,
menulis laporan, memecahkan masalah, menyusun rencana, dan lain lain.

Pendekatan CBSA dinilai sebagai suatu system belajar mengajar yang menekankan keaktifan siswa secara fsik,
mental, intelektual, dan emosional guna memperoleh hasil belajar yang berupa perpaduan antara mata kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Setiap kegiatan menuntut siswa untuk terlibat secara langsung dan menuntut keterlibatan
intelektual – emocional siswa melalui proses asimilasi, dan akomodasi kognitif untuk mengembangkan kemampuan
untuk mengembangkan pengetahuan, tindakan, serta pengalaman langsung dalam rangka membentuk ketrampilan
(motorik, kognitif, dan sosial), penghayatan serta internalisasi nilai – nilai dalam pembentukan sikap (Raka Joni, 1980,
hal. 2)
Pendekatan sistem pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses
pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat dalamnya
mewadahi, menginspirasi, menguatkan dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan tertentu. Dilihat dari
pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach)
2. Pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach)

Dari pendekatan pembelajaran yang telah ditetapkan selanjutnya diturunkan ke dalam strategi pembelajaran dan
Logan (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) mengemukakan empat unsur strategi dari setiap usaha, yaitu:
1. Mengidentifkasi dan menetapkan spesifkasi dan kualifkasi hasil (out put) dan sasaran (target) yang harus
mempertimbangkan aspirasi dan selera masyarakat yang memerlukannya
2. Mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan utama (basic way) yang paling efektif untuk mencapai tujuan
3. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah (steps) yang akan ditempuh sejak titik awal sampai
mencapai sasaran
4. Mempertimbangkan dan menetapkan tolok ukur (criteria) dan patokan ukuran (standard) untuk mengetahui/menilai
taraf keberhasilan (achievement) usaha
Pendekatan CBSA dinilai sebagai suatu sistem belajar mengajar yang menekankan keaktifan siswa secara fsik, mental,
intelektual dan emocional guna memperoleh hasil belajar yang berupa perpaduan antara matra kognitif, motorik,
afektif, dan psikomotorik. ( A.Yasin, 1984, hal 24)

B. Rasional CBSA dalam pembelajaran
Siswa didik dipandang dari dua sisi yang berkaitan, yakni sebagai obyek pembelajaran dan sebagai subyek yang
belajar. Siswa sebagai subyek dipandang sebagai manusia yang potencial sedang berkembangn, memiliki keinginan –
keinginan, harapan, dan tujuan hidup, aspirasi dan motivasi dan berbagai kemungkinan potensi lainnya. Siswa sebagai
subyek dipandang sebagai yang memiliki potensi yang perlu dibina, diarahkan dan dikembangkan melalui proses

pembelajaran. Karena itu proses pembelajaran harus dilaksanakan berdasarkan prinsip – prinsip manusiawi
(humanistik), misalnya melalui suasana kekeluargaan, keterbukaan dan bergairah serta bervariasi sesuai dengan
keadaan perkembangan siswa bersangkutan.
Penerapan dan pendayagunaan konsep CBSA dalam pembelajaran merupakan kebutuhan dan sekaligus sebagai
keharusan dalam kaitannya dengan uapaya merealisasikan Sistem Pendidikan Nasional untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional, yang pada giliranya berimplikasi terhadap system pembelajaran.
Cara belajar siswa aktif tersebut dapat berlangsung dengan efektif, bila guru melaksanakan peran dan fungsinya
secara aktif dan kreatif, mendorong dan membantu serta berupaya mempengaruhi siswa untuk mencapai tujuan
pembelajaran dan belajar yang telah ditentukan.
Peranan guru bukan sebagai orang yang menuangkan materi pelajaran kepada siswa, melainkan bertindak sebagai
pembantu dan pelayanan bagi siswa.
Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan oleh guru ialah;
1. menyiapkan lembar kerja,
2. menyusun tugas bersama siswa,
3. memberikan informasi tentang kegiatan yang diulakukan,
4. memberikan bantuan dan pelayanan apabila siswa mendapat kesulitan,
5. menyampaikan pertanyaan yang bersifat asuhan,
6. membantu mengarahkan rumusan kesimpulan umum,
7. memberikan bantuan dan pelayanan khusus kepada siswa yang lamban,
8. menyalurkan bakat dan minat siswa,
9. mengamati sikap aktiftas siswa.
Kegiatan-kegiatan tersebut menunjukkan, bahwa pembelajaran berdasarkan pendekatan CBSA tidak diartikan guru
menjadi pasif, melainkan tetap harus aktif namun tidak bersikap mendominisi siswa menghambat perkembangan
potensinya. Guru bertindak sebagai guru inquiry, dan fasilitator.

C. Kadar CBSA
Kadar CBSA ditandai oleh semakin banyaknya dan bervariasinya keaktifan dan keterlibatan siswa dalam proses belajar
mengajar.

D. Kebaikan dan kelemahan CBSA

Kebaikan CBSA
Kebaikan-kebaikan CBSA, yang dikemikakan oleh T. Raka Joni bahwa,
1. Ditunjukan melalui keberanian memberikan urung pendapat tanpa secara eksklusif diminta.
2. Keterlibatan mental di dalam kegiatan-kegiatan belajar yang telah berlangsung yang ditunjukan dengan
peningkatan diri kepada tugas.
3. Belajar dengan pengalaman langsung indicator dari CBSA.
4. kekayaan bentuk dan variasi alat kegiatan belajar mengajar.
5. Kualitas interaksi antar siswa.

Kelemahan CBSA
Beberapa kelemahan dari CBSA menurut Oemar Hamalik;
1. Tidak menjamin dalam melaksanakan keputusan.
2. Diskusi tak dapat diramalkan.
3. Memasyarakatkan agar siswa memiliki keterampilan berdiskusi yang diperlukan secara aktif.
4. Membentuk pengaturan fsik dan jadwal yang luwes.
5. Dapat menjadi palsu jika pemimpin mengalami kesulitan mempertemukan berbagai pendapat.
6. Dapat didominasi oleh seseorang atau sejumlah siswa sehingga dia menolak pendapat peserta lain.

E. Rambu-Rambu Penyelenggaraan CBSA
Hakikat CBSA adalah keterlibatan intelektual-emosional siswa secara optimal dalam proses pembelajaran; dan setiap
proses dapat menemukan kadar CBSA dari suatu proses pembelajaran, maka perlu mengenal terlebih dahulu ramburambu penyelenggara CBSA . yang dimaksud dengan rambu-rambu CBSA adalah gejala-gejala yang tampak pada
perilaku siswa dan guru baik dalam program maupun dalam proses pembelajaran.
Rambu-rambu yang dimaksud adalah :
(1) Kuantitas dan kualitas pengalaman yang membelajarkan
(2) Prakarsa dan keberanian siswa dalam mewujudkan minat, keinginan, dan dorongan-dorongan yang ada pada
dirinya
(3) Keberanian dan keinginan siswa untuk ikut serta dalam proses pembelajaran
(4) Usaha dan kreativitas siswa dalam proses pembelajaran
(5) Keingintahuan yang ada pada diri siswa
(6) Rasa lapang dan bebas yang ada pada diri siswa

(7) Kuantitas dan kualitas usaha yang dilakukan guru dalam membina dan mendorong keaktifan siswa
(8) Kualitas guru sebagai inovator dan fasilitator

F. Evaluasi Belajar Dan Pembelajaran
Pengartian, kedudukan, dan syarat-syarat umum evaluasi
a. Pengertian Penilaian
Penilaian adalah suatu upaya untuk mengetahui berapa banyak hal-hal telah dimilik oleh siswa dari hal-hal yang telah
diajarkan oleh guru. Pengertian ini menunjukan bahwa pengukuran bersifat kuantitatif.
b. Kedudukan Evaluasi dalam Proses Pendidikan
Menurut Schwartz dkk, penilaian adalah suatu program untuk memberikan pendapat dan penentuan arti atau kaidah
suatu pengalaman. Pengalaman adalah pengalaman yang diperoleh berkat proses pendidikan. Proses tersebut tampak
pada perubahan tingkah laku atau pola kepribadian siswa
c. Syarat-syarat Umum Evaluasi
Penilaian yang akan dilaksanakan harus memenuhi persyaratan atau criteria sebagai berikut :
1. Memiliki validitas
2. Mempunyai reliabilitas
3. Objektivitas
4. Efsiensi
5. Kegunaan/kepraktisan
Evaluasi Hasil Belajar
Evaluasi hasil belajar adalah keseluruhan kegiatan pengukuran, pengolahan, penafsiran, dan pertimbangan untuk
membuat keputusan tentang tingkat hasil belajar yang dicapai oleh siswa setelah melakukan kegiatan belajar dalam
upaya mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi pembelajaran adalah evaluasi terhadap proses belajar mengajar diarahkan pada komponen-komponen
system pembelajaran.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan makalah ini kami dapat menarik kesimpulan bahwa dalam pembelajaran ditemukan adanya dua
pelaku, guru berinteraksi dengan siswa, yang keduanya mencapai tujuan pembelajaran atau sasaran belajar yang

serupa. Kadar CBSA dalam interaksi tersebut berbeda-beda. Pembelajaran ber-CBSA baik berciri (i) pembelajaran
berpusat pada siswa, (ii) guru bertindak sebagai pembimbing pengalaman belajar, (iii) orientasi tujuan pada
perkembangan kemampuan siswa secara utuh dan seimbang, (iv) pengelolaan pembelajaran menekankan pada
kreativitas siswa, dan (v) optimalisasi kadar CBSA tersebut dapat diprogramkan dalam desain instruksional (persiapan
mengajar) guru. Pembelajaran ber-CBSA merupakan wujud kegiatan atau unjuk kerja guru. Hampir dapat dikatakan
bahwa guru profesional diduga berkemampuan mengelola pembelajaran berkadar CBSA tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Hamalik, Oemar. 1994. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta : Bumi Aksara
Dimyati, M