Papain pada Tanaman Pepaya Carica papaya
PAPAIN PADA TANAMAN PEPAYA (Carica papaya L)
MENGGANGGU SISTEM INTEGUMEN SERANGGA
Merujuk pada sistem bercocok tanam di masa lalu, dimana para
petani hanya mengandalkan keseimbangan alami dalam mengusahakan
sistem pertaniannya. Kekurangan-kekurangan dalam sarana produksi
termasuk benih, pupuk dan pestisida tidak menjadi masalah karena
mereka mengembalikan semuanya pada proses alami yang berkembang
di alam. Hasilnya pun tidak pernah berkurang, bahkan melimpah dan
merata di setiap tempat. Konsep pertanian tersebut dikenal dengan
Low External Input Agriculture (LEIA). Konsep pertanian modern
mengarahkan pada peningkatan produksi dengan penggunaan input
tinggi yang dikenal dengan istilah High External Input Technology
(HEIT) yang diawali dengan penemuan varietas unggul yang responsif
dengan pupuk tetapi peka terhadap serangan hama dan penyakit
sehingga memaksakan penggunaan pestisida sintetik yang berlebihan
yang
berdampak
pada
kerusakan
lingkungan
dan
melemahnya
banyak
memberikan
keseimbangan alami.
Pestisida
merupakan
bahan
yang
telah
manfaat untuk keberlangsungan dunia produksi pertanian. Banyaknya
Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) yang dapat menurunkan hasil
panen, dapat diminimalisir dengan pestisida. Sehingga kehilangan hasil
akibat OPT tidak terlalu besar. Selain bidang pertanian, pestisida juga
memberikan banyak manfaat untuk membantu masalah yang timbul
akibat adanya organisme pengganggu di tingkat rumah tangga. Sisi
lainnya, penggunaan pestisida secara berlebihan justru mengakibatkan
efek negatif bagi lingkungan dan keseimbangan alam. Salah satu
penyebab terjadinya dampak negatif pestisida terhadap lingkungan
adalah adanya residu pestisida di dalam tanah sehingga dapat meracuni
organisme non-target, terbawa sampai ke sumber-sumber air dan
meracuni lingkungan sekitar. Residu pestisida pada tanaman dapat
terbawa melalui mata rantai makanan, sehingga dapat meracuni
konsumen, baik hewan maupun manusia. Petani selama ini tergantung
pada penggunaan pestisida kimia untuk mengendalikan hama dan
penyakit tanaman. Selain yang harganya mahal, pestisida kimia juga
banyak memiliki dampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan
manusia. Dampak negatif dari penggunaan pestisida kimia adalah
resistensi hama, resurjensi, penumpukan residu bahan kimia pada hasil
panen, terbunuhnya musuh alami, pencemaran lingkungan oleh residu
bahan kimia dan kecelakaan bagi pengguna.
Low
External
Input
Agricultural
Sustainability
(LEIAS)
mengarahkan pada pengelolaan pertanian secara berkelanjutan dengan
mengedepankan keseimbangan alam dan kelestarian lingkungan. Isu
pelestarian lingkungan kini begitu kuat mempengaruhi berbagai aspek
kehidupan, sehingga segala usaha atau tindakan yang berkaitan dengan
pembangunan perlu memasukkan unsur pelestarian lingkungan di
dalamnya. Berkaitan dengan itu, teknologi pertanian yang banyak
menimbulkan efek negatif terhadap keseimbangan ekosistem perlu
ditinjau kembali untuk dicarikan jalan keluar atau penggantinya.
Pertanian organik, Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dan Biopestisida
merupakan cara alternatif menuju pertanian berwawasan lingkungan.
Pestisida merupakan bahan pencemar paling potensial dalam budidaya
tanaman.
Oleh
karena
itu
peranannya
perlu
digantikan
dengan
teknologi lain yang berwawasan lingkungan seperti pestisida nabati.
Sistem
integumen
adalah
sistem
organ
yang
membedakan,
memisahkan, melindungi, dan menginformasikan hewan terhadap
lingkungan sekitarnya. Sistem ini seringkali merupakan bagian sistem
organ yang terbesar yang mencakup kulit, rambut, bulu, sisik, kuku,
kelenjar keringat dan produknya (keringat atau lendir). Kata ini berasal
dari bahasa Latin integumentum yang berarti penutup. Integumen
merupakan suatu system yang sangat bervariasi; padanya terdapat
sejumlah
organ
ataupun
struktur
tertentu
dengan
fungsi
yang bermacam-macam. Sistem integumen dapat dianggap terdiri dari
kulit yang sebenarnya dan derivat-derivatnya.
Pestisida nabati adalah ramuan alami pembasmi hama yang bahanbahan aktifnya berasal dari alam seperti ekstrak tanaman tertentu yang
2
sudah diketahui efek positifnya dalam membasmi hama tertentu.
Pestisida nabati mulai diminati oleh petani, mengingat semakin
tingginya harga pestisida kimiawi. Selain itu, gerakan go-organic yang
terus digaungkan menarik minat petani, praktisi dan akademisi
pertanian untuk menemukan berbagai ramuan alami yang efektif
mengusir hama.
Pestisida nabati adalah solusi terbaik untuk membasmi hama
secara mudah dan murah. Selain karena harganya murah, pestisida
alami juga aman bagi keselamatan lingkungan (ekosistem). Ramuan
pestisida nabati bisa dibuat sendiri oleh petani dengan teknologi yang
sangat sederhana. Sangat memungkinkan untuk dikerjakan secara
perorangan, kelompok ataupun dalam skala usaha tertentu. Cukup
tingginya
dampak
negatif
dari
mendorong berbagai usaha untuk
penggunaan
pestisida
kimiawi,
menekuni pemberdayaan atau
pemanfaatan pestisida alami sebagai alternatif pengganti pestisida
kimiawi. Dalam aplikasi pestisida nabati dapat memanfaatkan musuh
alami hama yang dimiliki oleh berbagai bahan alami yang tersedia.
Beberapa teknik yang umum digunakan untuk mengolah pestisida
nabati diantaranya dengan teknik merendam, mengekstrak dan ataupun
merebus bagian tertentu dari tanaman yang memiliki efek mengusir
hama.
Salah satunya adalah ekstrak daun pepaya. Dari berbagai aspek
ekonomis, kemudahan, serta rendahnya bahaya keracunan dan residu
pestisida yang menjadikan daun pepaya sebagai teknologi sederhana
alternatif untuk digunakan sebagai pestisida. Tanaman Pepaya (Carica
papaya L.), adalah tumbuhan yang berasal dari Meksiko bagian selatan
dan bagian utara dari Amerika Selatan dan kini menyebar luas dan
banyak ditanam di seluruh daerah tropis untuk diambil buahnya. C.
papaya adalah satu-satunya jenis dalam genus Carica. Carica papaya
mengandung berbagai macam zat antara lain papayotin, kautsyuk,
karpain, karposit dan enzim aktif papain.
Papain terdapat pada seluruh bagian Carica papaya. Hal inilah
yang membuat setiap bagian dari tumbuhan pepaya memiliki khasiat.
3
Bahkan, getah pepaya yang terdapat di seluruh bagian tanaman, mulai
dari buah, daun, batang, sampai akarnya. Dengan adanya enzim papain
pada daun Carica papaya menjadikannya efektif untuk mengendalikan
ulat dan hama penghisap. Hal ini dikarenakan enzim papain juga pada
getah secara alami membuat Organisme Penggaggu Tanaman (OPT)
menjauh.
Daun Pepaya
Populasi tanaman pepaya (Carica papaya) di Indonesia cukup
tinggi, pembudidayaan tanaman ini juga sangat mudah karena tidak
membutuhkan banyak air untuk hidup. Daun pepaya mengandung zat
aktif enzim papain, alkaloid dan glikosid sehingga efektif untuk
mengendalikan ulat dan hama penghisap (Maggy T. Suhartono,.
“Protease”. ITB Press, Bandung, 1992).
Gambar 1. Daun Carica papaya L.
4
Papain
Papain adalah enzim hidrolase sistem protease yang ada pada
getah tanaman papaya, baik di daun, batang maupun buahnya. Getah
pepaya mengandung sedikitnya tiga jenis enzim yaitu papain (10%),
khimopapain (45%), dan lisozim (20%).
Gambar 2. Struktur Enzim Papain
Papain sebagai Racun Kontak
Racun kontak adalah insektisida yang masuk ke dalam tubuh
serangga melalui kulit, celah/lubang alami pada tubuh. Senyawa papain
merupakan
racun
kontak
dimana
serangga
akan
mati
apabila
bersinggungan langsung (kontak) dengan senyawa papain dalam bagian
tanaman pepaya. Senyawa papain merupakan racun kontak yang masuk
ke dalam tubuh serangga melalui lubang-lubang alami dari tubuh
serangga yang bisa memecah protein, lipid dan kitin yang terkandung
dalam tubuh serangga. Sebagai senyawa utama sklerotisasi, protein
sangat diperlukan dalam proses pembentukan kulit. Sehingga dengan
rusaknya protein dalam tubuh serangga, maka akan menghambat
proses sklerotisasi pada serangga sehingga serangga akan mengalami
penghambatan dalam perkembangan integumennya dimana proses
pergantian kulit tidak akan sempurna.
Senyawa papain sebagai racun kontak akan sangat efektif jika
bersentuhan (kontak) langsung dengan serangga khususnya pada stadia
larva. Ini disebabkan karena, lapisan epikutikula pada stadia larva
5
masih lemah dan lunak sehingga memudahkan senyawa papain untuk
melakukan penetrasi untuk memecah protein dalam tubuh serangga.
Struktur protein dan enzim pada kutikula berpartisipasi dalam
proses tanning
hidroksilasi
yang disebut sklerotisasi. Proses ini
tirosin
menjadi
dihidroksifenilalanin
didekarboksilasi
menjadi
dopamine
dengan
dekarboksilase.
Dopamin
kembali
diasetilasi
asetildopamin. Melalui system fenolase
melibatkan
(DOPA)
perantara
yang
dopa-
membentuk
N-
N-asetildopamin dioksidasi
menjadi o-Quinon yang bereaksi dengan kelompok amino
di dalam
protein kutikula.
Peranan hormon dalam metamorfosis meliputi proses pengelupasan
kulit larva dan pembentukan pupa pada serangga holometabola dan
pengelupasan kulit nimfa pada serangga hemimetabola. Hormon yang
berperan dalam metamorfosis terdiri dari atas tiga macam yaitu,
hormon otak, hormon molting (ekdison), dan hormon juvenil (Spratt,
1971). Hormon otak disebut juga ecdysiotropin, disimpan didalam
corpora cardiace, sedangkan hormon molting (Ekdison) dihasilkan oleh
kelenjar protoraks, yaitu suatu segmen pada tubuh serangga yang
mempunyai pasangan kaki terdepan dari ketiga pasangan kaki terdepan
serangga, oleh karena itu maka hormon ini juga dinamakan hormon
protoracic gland atau disingkat menjadi PGH, hormon juvenil (JH)
dihasilkan oleh corpora allata, yaitu sepasang kelenjar endokrin yang
terletak di dekat otak (Spratt, 1971, Saunders, 1980, Balinsky, 1981).
Kemungkinan hormon otak mengandung kolesterol yaitu suatu senyawa
steroid, atau juga berupa protein yang merupakan rangkaian senyawa
polipeptida (Lukman, 1991).
Proses ganti kulit serangga (molting)
Pada
proses
pertumbuhan
serangga
kutikula
akan
berhenti
membesar karena dibatasi oleh berakhirnya pengerasan kutikula yaitu
melalui proses sklerotisasi. Dengan demikian kutikula yang mengeras
tersebut perlu dilepaskan dan digantikan dengan yang baru. Proses
pelepasan
kulit
ini
disebut
dengan
ekdisis.
Proses
ganti
6
kulit sebenarnya terdiri dari proses apolisis dan proses ekdisis yang
berakhir dengan terbentuknya instar pasca ekdisis (Gambar 3).
Gambar 3. Proses Pertumbuhan Serangga
Proses apolisis melibatkan terjadinya pemisahan lapisan epidermis
dari
kutikula secara bertahap mulai dari bagian anterior menuju
posterior. Proses ini dimediasi oleh molekul 20-hidroksi ekdison. Proses
ini terjadi mulai saat instar melepaskan kutikula pada stadium pharate.
Saat lepas dari
kutikula epidermis mulai melakukan pembelahan
mitosis, sehingga permukaan
epidermis menjadi luas yang akan
menjadi cetakan kutikula yang lebih meluas/besar.
Proses ekdisis adalah kejadian pelepasan kutikula tua (eksuvia)
yang
sebenarnya
dan
dimediasi
oleh
hormon
eksklosi.
Proses
pergantian kulit terdiri dari beberapa tahap sebagai berikut :
1.
Awal apolisis sepanjang anteroposterior secara bertahap.
Proses apolisis ini dimulai segera setelah terjadinya pengerasan
kutikula.
Pada
periode
aktif
makan
setelah
terjadinya ekdisis,
kerapatan sel menurun, kutikula di atas sel epidermis meregang dan
sel epidermis menjadi bentuk squamose (pipih).
2.
Pembelahan mitosis sel-sel epidermis (terjadi pertambahan sel
dan pelipatan permukaan lapisan epidermis).
7
Pembelahan
mitosis
mulai
terjadi,
jumlah sel
bertambah
dan
meningkat tajam serta diikuti dengan bentuk sel menjadi kolumner.
Karena sel bentuknya berubah, mengakibatkan terjadinya tegangan
permukaan epidermis sehingga sel epidermis mulai terpisah dari
kutikula.
Mitosis epidermal
ini
mendahului
selesainya
apolisis.
Pemisahan kutikula diatasnya epidermis ini disebut proses apolisis.
Ruang apolisis yang dibentuk antara epidermis dan kutikula disebut
rongga eksuvial atau rongga subkutikuler.
3.
Sekresi Cairan Molting
Droplet tersebut diduga prekursor enzim moulting yang masih tidak
aktif. Pada beberapa spesies enzim moulting disekresikan ke dalam
ruang eksuvial setelah selesai proses apolisis. Enzim ini ada yang
disekresikan dalam bentuk granule dan pada beberapa Lepidoptera
dikeluarkan dalam bentuk gel.
Ruang apolisis berangsur angsur
menjadi besar karena adanya akumulasi enzim atau cairan moulting.
Enzim pencerna kutikula ini terdiri dari enzim khitinase, protease
menyerupai tripsin dan aminopeptidase. Enzim ini masih tetap belum
aktif sebelum selesainya pembentukan lapisan luar epikutikula dari
kutikula baru.
4.
5.
6.
Formasi epikutikula luar pharate pada permukaan epidermis
yang telah mengalami apolisis dan crenulat, yang akan menghasilkan
patokan pola permukaan kutikula pharate.
Sekresi epikutikula saat serangga dalam keadaan pharate.
Aktivasi enzim cairan molting, terjadi proses lisis endokutikula
dan terjadi penyerapan (resorpsi) endokutikula lama.
Aktivasi enzim dihubungkan dengan terjadinya transport potassium
ke dalam ruang eksuvial disertai dengan aliran air. Cairan ini disebut
cairan moulting dan mengandung komposisi ion sebagai buffer enzim
yang mengatur pH selama pencernaan kutikula. Enzim tersebut akan
mencerna seluruh lapisan kutikula yang tidak tersklerotisasi tetapi
tidak
ada
pengaruhnya
terhadap
otot-otot
atau
syaraf
yang
8
berhubungan dengan kutikula lama. Produk kutikula yang tercerna
ini diabsorbsi melalui mulut atau anus dan mungkin juga secara
langsung melalui integumen itu sendiri.
7.
Deposisi calon eksokutikula pharate
Deposisi kutikula baru berangsur-angsur bertambah seiring dengan
pencernaan dan penyerapan kembali kutikula lama. Keadaan ini
dapat mengkonservasi 90% kutikula lama.
8.
Ekdisis
Saat cairan molting dan hasil cernaannya diresorbsi, kutikula lama
makin
menipis
dan
lama
kelamaan
habis
dan
meninggalkan
epikutikula dan eksokutikula lama yang terpisah dari prokutikula
baru. Rongga apolisis jelas terpisah dan serangga mulai melakukan
aktivitas ekdisis. Ekdisi diawali dengan pecahnya garis ekdisis yang
dapat
dilakukan dengan berbagai cara. Pada Schistocerca atau
serangga lainnya,
terjadi peningkatan volume darah. Persiapan
ekdisis diawali dengan menelan udara atau air, kemudian ditelan ke
dalam usus sehingga tekanan hemolimf meningkat. Darah dipompa
ke bagian toraks atau kepala dan memecahkan bagian integumen
yang tipis atau lemah. Ekdisis biasanya dimulai dari kepala atau
toraks dahulu kemudian diikuti oleh abdomen dan embelannya.
9.
Ekspansi kutikula baru
Setelah selesai ekdisis, instar baru akan mengawali aktivitas makan
dan mulai mengawali siklus apolisis dikuti ekdisis. Kutikula baru
yang masih lentur akan mengembang sejalan dengan pertumbuhan
dan perbesaran
tubuhnya. Ekspansi kutikula akan diikuti proses
9
tanning dan akan terhenti hingga kutikula mengeras dan segera
akan melakukan moulting berikutnya.
10.
Permulaan tanning
Enzim fenol oksidase terlibat dalam proses tanning kutikula. Enzim
ini pada awalnya berada di dalam hemolimf dalam bentuk proenzim
tidak aktif, kemudian diaktivasi oleh enzim yang berasal dari ekstrak
kutikula. Ada tiga jenis enzim profenol oksidase. Dua enzim yang
mengoksidasi L-dopa yaitu dopa oksidase dan satu enzim yang
mengoksidasi dihidroksifenilalanin
(dopa) maupun tirosin (tirosin
adalah substrat awal dalam tanifikasi). Struktur protein dan enzim
pada kutikula berpartisipasi dalam proses tanning
sklerotisasi. Proses ini
dihidroksifenilalanin
yang disebut
melibatkan hidroksilasi tirosin menjadi
(DOPA)
yang
didekarboksilasi
menjadi
dopamine dengan perantara dopa-dekarboksilase. Dopamin kembali
diasetilasi membentuk N-asetildopamin. Melalui system fenolase Nasetildopamin dioksidasi menjadi o-Quinon yang bereaksi dengan
kelompok amino di dalam protein kutikula.
11.
Sekresi endokutikula
12.
Sekresi lilin
13.
Lanjutan deposisi dan tanifikasi endokutikula
14.
Formasi membran apolisis untuk molting berikutnya.
10
Gambar 4. Proses Pergantian Kulit
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qodar, F. 2008. Pengaruh Air Perasan Daun Pepaya (Carica
papaya L.) Terhadap Hama Tanaman Bayam Cabut
(Amaranthus
tricolor).
https://www.scribd.com/doc/40658178/Pestisida-Nabati-dariPerasan-Daun-Pepaya. diakses pada 22 September 2014.
11
Lukman, 2009. Peran Hormon Dalam Metamorfosis Serangga.
http://www.onlinejournal.unja.ac.id/index.php/biospecies/article/view/692. Diakses
pada 01 Oktober 2014.
Prijono, D. 2007. Modul Praktikum Toksikologi Insektisida
Pengujian Toksisitas Insektisida. Departemen Proteksi
Tanaman.
IPB.
Bogor.
https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&
ved=0CCYQFjAB&url=https%3A%2F
%2Fikma10fkmua.files.wordpress.com%2F2013%2F05%2F5b-isiproposal-daunpepaya.docx&ei=WvZOVNXbF9Dk8AX3xoCwDQ&usg=AFQjCNEI
UQScyAGR4cYQVjc0jB5fcg0R6A&sig2=ZGx_nvzz4lHWl7asuQ1gU
g&bvm=bv.77880786,d.dGc. Diakses pada 22 September 2014.
Syamsuddin, 2008. Mengenal hormon ganti kulit pada serangga
(ecdysone
hormone).
http://www.pertaniansehat.or.id/cetak.php?id=91. Diakses pada
tanggal 22 Oktober 2014.
12
MENGGANGGU SISTEM INTEGUMEN SERANGGA
Merujuk pada sistem bercocok tanam di masa lalu, dimana para
petani hanya mengandalkan keseimbangan alami dalam mengusahakan
sistem pertaniannya. Kekurangan-kekurangan dalam sarana produksi
termasuk benih, pupuk dan pestisida tidak menjadi masalah karena
mereka mengembalikan semuanya pada proses alami yang berkembang
di alam. Hasilnya pun tidak pernah berkurang, bahkan melimpah dan
merata di setiap tempat. Konsep pertanian tersebut dikenal dengan
Low External Input Agriculture (LEIA). Konsep pertanian modern
mengarahkan pada peningkatan produksi dengan penggunaan input
tinggi yang dikenal dengan istilah High External Input Technology
(HEIT) yang diawali dengan penemuan varietas unggul yang responsif
dengan pupuk tetapi peka terhadap serangan hama dan penyakit
sehingga memaksakan penggunaan pestisida sintetik yang berlebihan
yang
berdampak
pada
kerusakan
lingkungan
dan
melemahnya
banyak
memberikan
keseimbangan alami.
Pestisida
merupakan
bahan
yang
telah
manfaat untuk keberlangsungan dunia produksi pertanian. Banyaknya
Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) yang dapat menurunkan hasil
panen, dapat diminimalisir dengan pestisida. Sehingga kehilangan hasil
akibat OPT tidak terlalu besar. Selain bidang pertanian, pestisida juga
memberikan banyak manfaat untuk membantu masalah yang timbul
akibat adanya organisme pengganggu di tingkat rumah tangga. Sisi
lainnya, penggunaan pestisida secara berlebihan justru mengakibatkan
efek negatif bagi lingkungan dan keseimbangan alam. Salah satu
penyebab terjadinya dampak negatif pestisida terhadap lingkungan
adalah adanya residu pestisida di dalam tanah sehingga dapat meracuni
organisme non-target, terbawa sampai ke sumber-sumber air dan
meracuni lingkungan sekitar. Residu pestisida pada tanaman dapat
terbawa melalui mata rantai makanan, sehingga dapat meracuni
konsumen, baik hewan maupun manusia. Petani selama ini tergantung
pada penggunaan pestisida kimia untuk mengendalikan hama dan
penyakit tanaman. Selain yang harganya mahal, pestisida kimia juga
banyak memiliki dampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan
manusia. Dampak negatif dari penggunaan pestisida kimia adalah
resistensi hama, resurjensi, penumpukan residu bahan kimia pada hasil
panen, terbunuhnya musuh alami, pencemaran lingkungan oleh residu
bahan kimia dan kecelakaan bagi pengguna.
Low
External
Input
Agricultural
Sustainability
(LEIAS)
mengarahkan pada pengelolaan pertanian secara berkelanjutan dengan
mengedepankan keseimbangan alam dan kelestarian lingkungan. Isu
pelestarian lingkungan kini begitu kuat mempengaruhi berbagai aspek
kehidupan, sehingga segala usaha atau tindakan yang berkaitan dengan
pembangunan perlu memasukkan unsur pelestarian lingkungan di
dalamnya. Berkaitan dengan itu, teknologi pertanian yang banyak
menimbulkan efek negatif terhadap keseimbangan ekosistem perlu
ditinjau kembali untuk dicarikan jalan keluar atau penggantinya.
Pertanian organik, Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dan Biopestisida
merupakan cara alternatif menuju pertanian berwawasan lingkungan.
Pestisida merupakan bahan pencemar paling potensial dalam budidaya
tanaman.
Oleh
karena
itu
peranannya
perlu
digantikan
dengan
teknologi lain yang berwawasan lingkungan seperti pestisida nabati.
Sistem
integumen
adalah
sistem
organ
yang
membedakan,
memisahkan, melindungi, dan menginformasikan hewan terhadap
lingkungan sekitarnya. Sistem ini seringkali merupakan bagian sistem
organ yang terbesar yang mencakup kulit, rambut, bulu, sisik, kuku,
kelenjar keringat dan produknya (keringat atau lendir). Kata ini berasal
dari bahasa Latin integumentum yang berarti penutup. Integumen
merupakan suatu system yang sangat bervariasi; padanya terdapat
sejumlah
organ
ataupun
struktur
tertentu
dengan
fungsi
yang bermacam-macam. Sistem integumen dapat dianggap terdiri dari
kulit yang sebenarnya dan derivat-derivatnya.
Pestisida nabati adalah ramuan alami pembasmi hama yang bahanbahan aktifnya berasal dari alam seperti ekstrak tanaman tertentu yang
2
sudah diketahui efek positifnya dalam membasmi hama tertentu.
Pestisida nabati mulai diminati oleh petani, mengingat semakin
tingginya harga pestisida kimiawi. Selain itu, gerakan go-organic yang
terus digaungkan menarik minat petani, praktisi dan akademisi
pertanian untuk menemukan berbagai ramuan alami yang efektif
mengusir hama.
Pestisida nabati adalah solusi terbaik untuk membasmi hama
secara mudah dan murah. Selain karena harganya murah, pestisida
alami juga aman bagi keselamatan lingkungan (ekosistem). Ramuan
pestisida nabati bisa dibuat sendiri oleh petani dengan teknologi yang
sangat sederhana. Sangat memungkinkan untuk dikerjakan secara
perorangan, kelompok ataupun dalam skala usaha tertentu. Cukup
tingginya
dampak
negatif
dari
mendorong berbagai usaha untuk
penggunaan
pestisida
kimiawi,
menekuni pemberdayaan atau
pemanfaatan pestisida alami sebagai alternatif pengganti pestisida
kimiawi. Dalam aplikasi pestisida nabati dapat memanfaatkan musuh
alami hama yang dimiliki oleh berbagai bahan alami yang tersedia.
Beberapa teknik yang umum digunakan untuk mengolah pestisida
nabati diantaranya dengan teknik merendam, mengekstrak dan ataupun
merebus bagian tertentu dari tanaman yang memiliki efek mengusir
hama.
Salah satunya adalah ekstrak daun pepaya. Dari berbagai aspek
ekonomis, kemudahan, serta rendahnya bahaya keracunan dan residu
pestisida yang menjadikan daun pepaya sebagai teknologi sederhana
alternatif untuk digunakan sebagai pestisida. Tanaman Pepaya (Carica
papaya L.), adalah tumbuhan yang berasal dari Meksiko bagian selatan
dan bagian utara dari Amerika Selatan dan kini menyebar luas dan
banyak ditanam di seluruh daerah tropis untuk diambil buahnya. C.
papaya adalah satu-satunya jenis dalam genus Carica. Carica papaya
mengandung berbagai macam zat antara lain papayotin, kautsyuk,
karpain, karposit dan enzim aktif papain.
Papain terdapat pada seluruh bagian Carica papaya. Hal inilah
yang membuat setiap bagian dari tumbuhan pepaya memiliki khasiat.
3
Bahkan, getah pepaya yang terdapat di seluruh bagian tanaman, mulai
dari buah, daun, batang, sampai akarnya. Dengan adanya enzim papain
pada daun Carica papaya menjadikannya efektif untuk mengendalikan
ulat dan hama penghisap. Hal ini dikarenakan enzim papain juga pada
getah secara alami membuat Organisme Penggaggu Tanaman (OPT)
menjauh.
Daun Pepaya
Populasi tanaman pepaya (Carica papaya) di Indonesia cukup
tinggi, pembudidayaan tanaman ini juga sangat mudah karena tidak
membutuhkan banyak air untuk hidup. Daun pepaya mengandung zat
aktif enzim papain, alkaloid dan glikosid sehingga efektif untuk
mengendalikan ulat dan hama penghisap (Maggy T. Suhartono,.
“Protease”. ITB Press, Bandung, 1992).
Gambar 1. Daun Carica papaya L.
4
Papain
Papain adalah enzim hidrolase sistem protease yang ada pada
getah tanaman papaya, baik di daun, batang maupun buahnya. Getah
pepaya mengandung sedikitnya tiga jenis enzim yaitu papain (10%),
khimopapain (45%), dan lisozim (20%).
Gambar 2. Struktur Enzim Papain
Papain sebagai Racun Kontak
Racun kontak adalah insektisida yang masuk ke dalam tubuh
serangga melalui kulit, celah/lubang alami pada tubuh. Senyawa papain
merupakan
racun
kontak
dimana
serangga
akan
mati
apabila
bersinggungan langsung (kontak) dengan senyawa papain dalam bagian
tanaman pepaya. Senyawa papain merupakan racun kontak yang masuk
ke dalam tubuh serangga melalui lubang-lubang alami dari tubuh
serangga yang bisa memecah protein, lipid dan kitin yang terkandung
dalam tubuh serangga. Sebagai senyawa utama sklerotisasi, protein
sangat diperlukan dalam proses pembentukan kulit. Sehingga dengan
rusaknya protein dalam tubuh serangga, maka akan menghambat
proses sklerotisasi pada serangga sehingga serangga akan mengalami
penghambatan dalam perkembangan integumennya dimana proses
pergantian kulit tidak akan sempurna.
Senyawa papain sebagai racun kontak akan sangat efektif jika
bersentuhan (kontak) langsung dengan serangga khususnya pada stadia
larva. Ini disebabkan karena, lapisan epikutikula pada stadia larva
5
masih lemah dan lunak sehingga memudahkan senyawa papain untuk
melakukan penetrasi untuk memecah protein dalam tubuh serangga.
Struktur protein dan enzim pada kutikula berpartisipasi dalam
proses tanning
hidroksilasi
yang disebut sklerotisasi. Proses ini
tirosin
menjadi
dihidroksifenilalanin
didekarboksilasi
menjadi
dopamine
dengan
dekarboksilase.
Dopamin
kembali
diasetilasi
asetildopamin. Melalui system fenolase
melibatkan
(DOPA)
perantara
yang
dopa-
membentuk
N-
N-asetildopamin dioksidasi
menjadi o-Quinon yang bereaksi dengan kelompok amino
di dalam
protein kutikula.
Peranan hormon dalam metamorfosis meliputi proses pengelupasan
kulit larva dan pembentukan pupa pada serangga holometabola dan
pengelupasan kulit nimfa pada serangga hemimetabola. Hormon yang
berperan dalam metamorfosis terdiri dari atas tiga macam yaitu,
hormon otak, hormon molting (ekdison), dan hormon juvenil (Spratt,
1971). Hormon otak disebut juga ecdysiotropin, disimpan didalam
corpora cardiace, sedangkan hormon molting (Ekdison) dihasilkan oleh
kelenjar protoraks, yaitu suatu segmen pada tubuh serangga yang
mempunyai pasangan kaki terdepan dari ketiga pasangan kaki terdepan
serangga, oleh karena itu maka hormon ini juga dinamakan hormon
protoracic gland atau disingkat menjadi PGH, hormon juvenil (JH)
dihasilkan oleh corpora allata, yaitu sepasang kelenjar endokrin yang
terletak di dekat otak (Spratt, 1971, Saunders, 1980, Balinsky, 1981).
Kemungkinan hormon otak mengandung kolesterol yaitu suatu senyawa
steroid, atau juga berupa protein yang merupakan rangkaian senyawa
polipeptida (Lukman, 1991).
Proses ganti kulit serangga (molting)
Pada
proses
pertumbuhan
serangga
kutikula
akan
berhenti
membesar karena dibatasi oleh berakhirnya pengerasan kutikula yaitu
melalui proses sklerotisasi. Dengan demikian kutikula yang mengeras
tersebut perlu dilepaskan dan digantikan dengan yang baru. Proses
pelepasan
kulit
ini
disebut
dengan
ekdisis.
Proses
ganti
6
kulit sebenarnya terdiri dari proses apolisis dan proses ekdisis yang
berakhir dengan terbentuknya instar pasca ekdisis (Gambar 3).
Gambar 3. Proses Pertumbuhan Serangga
Proses apolisis melibatkan terjadinya pemisahan lapisan epidermis
dari
kutikula secara bertahap mulai dari bagian anterior menuju
posterior. Proses ini dimediasi oleh molekul 20-hidroksi ekdison. Proses
ini terjadi mulai saat instar melepaskan kutikula pada stadium pharate.
Saat lepas dari
kutikula epidermis mulai melakukan pembelahan
mitosis, sehingga permukaan
epidermis menjadi luas yang akan
menjadi cetakan kutikula yang lebih meluas/besar.
Proses ekdisis adalah kejadian pelepasan kutikula tua (eksuvia)
yang
sebenarnya
dan
dimediasi
oleh
hormon
eksklosi.
Proses
pergantian kulit terdiri dari beberapa tahap sebagai berikut :
1.
Awal apolisis sepanjang anteroposterior secara bertahap.
Proses apolisis ini dimulai segera setelah terjadinya pengerasan
kutikula.
Pada
periode
aktif
makan
setelah
terjadinya ekdisis,
kerapatan sel menurun, kutikula di atas sel epidermis meregang dan
sel epidermis menjadi bentuk squamose (pipih).
2.
Pembelahan mitosis sel-sel epidermis (terjadi pertambahan sel
dan pelipatan permukaan lapisan epidermis).
7
Pembelahan
mitosis
mulai
terjadi,
jumlah sel
bertambah
dan
meningkat tajam serta diikuti dengan bentuk sel menjadi kolumner.
Karena sel bentuknya berubah, mengakibatkan terjadinya tegangan
permukaan epidermis sehingga sel epidermis mulai terpisah dari
kutikula.
Mitosis epidermal
ini
mendahului
selesainya
apolisis.
Pemisahan kutikula diatasnya epidermis ini disebut proses apolisis.
Ruang apolisis yang dibentuk antara epidermis dan kutikula disebut
rongga eksuvial atau rongga subkutikuler.
3.
Sekresi Cairan Molting
Droplet tersebut diduga prekursor enzim moulting yang masih tidak
aktif. Pada beberapa spesies enzim moulting disekresikan ke dalam
ruang eksuvial setelah selesai proses apolisis. Enzim ini ada yang
disekresikan dalam bentuk granule dan pada beberapa Lepidoptera
dikeluarkan dalam bentuk gel.
Ruang apolisis berangsur angsur
menjadi besar karena adanya akumulasi enzim atau cairan moulting.
Enzim pencerna kutikula ini terdiri dari enzim khitinase, protease
menyerupai tripsin dan aminopeptidase. Enzim ini masih tetap belum
aktif sebelum selesainya pembentukan lapisan luar epikutikula dari
kutikula baru.
4.
5.
6.
Formasi epikutikula luar pharate pada permukaan epidermis
yang telah mengalami apolisis dan crenulat, yang akan menghasilkan
patokan pola permukaan kutikula pharate.
Sekresi epikutikula saat serangga dalam keadaan pharate.
Aktivasi enzim cairan molting, terjadi proses lisis endokutikula
dan terjadi penyerapan (resorpsi) endokutikula lama.
Aktivasi enzim dihubungkan dengan terjadinya transport potassium
ke dalam ruang eksuvial disertai dengan aliran air. Cairan ini disebut
cairan moulting dan mengandung komposisi ion sebagai buffer enzim
yang mengatur pH selama pencernaan kutikula. Enzim tersebut akan
mencerna seluruh lapisan kutikula yang tidak tersklerotisasi tetapi
tidak
ada
pengaruhnya
terhadap
otot-otot
atau
syaraf
yang
8
berhubungan dengan kutikula lama. Produk kutikula yang tercerna
ini diabsorbsi melalui mulut atau anus dan mungkin juga secara
langsung melalui integumen itu sendiri.
7.
Deposisi calon eksokutikula pharate
Deposisi kutikula baru berangsur-angsur bertambah seiring dengan
pencernaan dan penyerapan kembali kutikula lama. Keadaan ini
dapat mengkonservasi 90% kutikula lama.
8.
Ekdisis
Saat cairan molting dan hasil cernaannya diresorbsi, kutikula lama
makin
menipis
dan
lama
kelamaan
habis
dan
meninggalkan
epikutikula dan eksokutikula lama yang terpisah dari prokutikula
baru. Rongga apolisis jelas terpisah dan serangga mulai melakukan
aktivitas ekdisis. Ekdisi diawali dengan pecahnya garis ekdisis yang
dapat
dilakukan dengan berbagai cara. Pada Schistocerca atau
serangga lainnya,
terjadi peningkatan volume darah. Persiapan
ekdisis diawali dengan menelan udara atau air, kemudian ditelan ke
dalam usus sehingga tekanan hemolimf meningkat. Darah dipompa
ke bagian toraks atau kepala dan memecahkan bagian integumen
yang tipis atau lemah. Ekdisis biasanya dimulai dari kepala atau
toraks dahulu kemudian diikuti oleh abdomen dan embelannya.
9.
Ekspansi kutikula baru
Setelah selesai ekdisis, instar baru akan mengawali aktivitas makan
dan mulai mengawali siklus apolisis dikuti ekdisis. Kutikula baru
yang masih lentur akan mengembang sejalan dengan pertumbuhan
dan perbesaran
tubuhnya. Ekspansi kutikula akan diikuti proses
9
tanning dan akan terhenti hingga kutikula mengeras dan segera
akan melakukan moulting berikutnya.
10.
Permulaan tanning
Enzim fenol oksidase terlibat dalam proses tanning kutikula. Enzim
ini pada awalnya berada di dalam hemolimf dalam bentuk proenzim
tidak aktif, kemudian diaktivasi oleh enzim yang berasal dari ekstrak
kutikula. Ada tiga jenis enzim profenol oksidase. Dua enzim yang
mengoksidasi L-dopa yaitu dopa oksidase dan satu enzim yang
mengoksidasi dihidroksifenilalanin
(dopa) maupun tirosin (tirosin
adalah substrat awal dalam tanifikasi). Struktur protein dan enzim
pada kutikula berpartisipasi dalam proses tanning
sklerotisasi. Proses ini
dihidroksifenilalanin
yang disebut
melibatkan hidroksilasi tirosin menjadi
(DOPA)
yang
didekarboksilasi
menjadi
dopamine dengan perantara dopa-dekarboksilase. Dopamin kembali
diasetilasi membentuk N-asetildopamin. Melalui system fenolase Nasetildopamin dioksidasi menjadi o-Quinon yang bereaksi dengan
kelompok amino di dalam protein kutikula.
11.
Sekresi endokutikula
12.
Sekresi lilin
13.
Lanjutan deposisi dan tanifikasi endokutikula
14.
Formasi membran apolisis untuk molting berikutnya.
10
Gambar 4. Proses Pergantian Kulit
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qodar, F. 2008. Pengaruh Air Perasan Daun Pepaya (Carica
papaya L.) Terhadap Hama Tanaman Bayam Cabut
(Amaranthus
tricolor).
https://www.scribd.com/doc/40658178/Pestisida-Nabati-dariPerasan-Daun-Pepaya. diakses pada 22 September 2014.
11
Lukman, 2009. Peran Hormon Dalam Metamorfosis Serangga.
http://www.onlinejournal.unja.ac.id/index.php/biospecies/article/view/692. Diakses
pada 01 Oktober 2014.
Prijono, D. 2007. Modul Praktikum Toksikologi Insektisida
Pengujian Toksisitas Insektisida. Departemen Proteksi
Tanaman.
IPB.
Bogor.
https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&
ved=0CCYQFjAB&url=https%3A%2F
%2Fikma10fkmua.files.wordpress.com%2F2013%2F05%2F5b-isiproposal-daunpepaya.docx&ei=WvZOVNXbF9Dk8AX3xoCwDQ&usg=AFQjCNEI
UQScyAGR4cYQVjc0jB5fcg0R6A&sig2=ZGx_nvzz4lHWl7asuQ1gU
g&bvm=bv.77880786,d.dGc. Diakses pada 22 September 2014.
Syamsuddin, 2008. Mengenal hormon ganti kulit pada serangga
(ecdysone
hormone).
http://www.pertaniansehat.or.id/cetak.php?id=91. Diakses pada
tanggal 22 Oktober 2014.
12