Contoh Percakapan Bahasa Inggris di Term

Contoh Percakapan Bahasa Inggris di Terminal Bus

Contoh percakapan bahasa inggris di terminal
berikut ini menggambarkan suasana sebuah
terminal yang dialami Budi ketika memesan tiket.
Setelah memesan tiket, Dalam conversation
bahasa inggris di terminal tersebut Budi didatangi
seseorang yang tidak dikenal mengajak ngobrol
dan menawari minuman gratis. Untungnya Eko
yang baru saja membeli makan ringan datang dan
segera mengajak Budi temannya pergi.
Eko menanyakan minuman yang dibawa Budi
apakah membeli atau pemberian. Ternyata
minuman itu pemberian orang tak dikenal dan
dikhawatikan mengandung sesuatu yang
berbahaya untuk menipu budi.
Contoh – Contoh Percakapan Bahasa Inggris di
Terminal Bus Situation at Bus Station
*BS = Bus Station Security Staf
Budi : Excuse me, Sir.
BS : Yes. May I help you?

Budi : Yes, Sir. I want to go to Sukabumi, yet I’m not
sure which bus I should take.
BS : Well, if you want to go to Sukabumi from this

station, you then need to take Bumi Putera bus. It
goes in route of Jakarta – Sukabumi.
Budi : Where can we buy the tickets, Sir?
BS : You can go there [pointing out at some place],
that’s the place to buy tickets. Then you choose
the right ticket counter and get into the line
according to the bus you are going to take.
Budi : Alright. Thank you for the help, Sir.
BS : Yes. Be careful on your trip.
Budi : Thank you, Sir.

[At the ticket counter]
TCC= Ticket Counter Clerk
Budi : Excuse me. Is this the right bus ticket to
Sukabumi?
TCC : Yes. How many tickets do you want?

Budi : Two, please.
TCC : Is it business or executive class?
Budi : Business class, please.
TCC : The price is Rp. 100,000 for two tickets. You
can take the bus tomorrow. Please, come earlier
before the bus leave. Thank you.
Budi : Thank you.
[The next day at the station]
Eko : Oh no, I think we are going to run out of
snacks. I’m going to buy some, you want to come
with me?

Budi : Um… No, I’ll wait here to keep our
belongings.
Eko : Alright.

Stranger: [suddenly an unknown man sits besides
Budi] Hello, where are you going, Kid?
Budi : Um… we are going to Sukabumi, Sir.
Stranger: We? You’re here with someone?

Budi : Yes. I’m going with my friend.
Stranger: Where is your friend?
Budi : He’s buying some snacks.
Stranger: It’s so hot today, huh?
Budi : Yeah, it’s really hot today.
Stranger: You are going to Sukabumi for what?
Vacation?
Budi : Oh, no, we’re going to home.
Stranger: Oh, I see. So, what have you been doing
in Jakarta all along, by the way?
Budi : I and my friend were working in Jakarta. Now
we are not working here anymore and we decided
to come back to Sukabumi.
Stranger: I see. Ugh, this weather really makes me
thirsty. Hey, I bought some drinks. Here’s for you.
You must have been thirsty waiting for your friends.
Budi : Thank you for the drink, Sir. [Budi was about
to drink, suddenly…]
Eko : Budi! The bus has arrived. Let’s get on it. I’ve


bought the snacks as well.
Budi : Ha? Alright, I’m coming! Good bye, Sir.
[leaving the stranger]

Eko : You bought that drink?
Budi : No, a man gave it to me.
Eko : Huh! Throw it of! Did you drink it? That drink
could be dangerous!
Budi : Oh, my God! [Throwing the drink of] I didn’t
realize it. I was too thirsty. Thank you, Buddy.
You’re saving my life.
Eko : It’s a public place. There are a lot of hidden
crimes in here. We need to stay aware.
Budi : Right! Thanks again, I don’t know what
would have happened to me if you didn’t come at
the right time.
Glossaries Contoh – Contoh Percakapan Bahasa
Inggris di Terminal Bus
Bus Station Security Staf: Staf Keamanan Terminal
Bus

In route of Jakarta – Sukabumi: dalam rute Jakarta –
Sukabumi
Pointing out at: menunjukkan tangan ke arah
Get into the line: mengantri
Trip: perjalanan

Run out of : kehabisan
Belongings: barang bawaan
Vacation: liburan
All along: selama ini
Weather: cuaca
Bought (VII buy): membeli
You must have been thirsty: kau pasti sudah haus
As well: juga
Throw it of!: buang itu!
Realize: sadar
Hidden crimes: kejahatan tersembunyi
Stay aware: tetap waspada

Rabu, 29 April 2009


KASUS KARAHA BODAS COMPANY L.L.C MELAWAN P.T. PERTAMINA
DAN P.T. PLN

KASUS
KARAHA BODAS COMPANY L.L.C
MELAWAN
P.T. PERTAMINA DAN P.T. PLN
A. Para Pihak dalam Sengketa
1. Penggugat:
Karaha Bodas Company L.L.C (KBC)
Adalah suatu perseroan terbatas yang didirikan dan bergerak berdasarkan hukum
Kepulauan Cayman yang berkedudukan di Gedung Plaza Aminta Suite 901, Jl. T.B.
Simatupang, Kav. 10, Jakarta 12310, Indonesia.
2. Tergugat
a. Tergugat 1
Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (P.T. Pertamina)

P.T. Pertamina adalah suatu perusahaan yang didirikan berdasarkan UndangUndang No. 8 Tahun 1971 Tentang Pertamina dan dimiliki oleh Pemerintah Republik
Indonesia.

b. Tergugat 2
P.T. Perusahaan Listrik Negara (P.T. PLN)
P.T. PLN adalah suatu perusahaan negara yang tunduk pada Undang-Undang No. 12
Tahun 1998 Tentang…adalah perusahaan yang mengusahakan penyediaan listrik kepada
masyarakat umum di Indonesia.
B. Latar Belakang Sengketa
Pada tanggal 28 November 1994, disepakati dua kontrak sebagai bagian dari Proyek Karaha.
Kedua kontrak tersebut adalah:

1) Kontrak Operasi Bersama (Joint Operation Contract/ “JOC”)
Kontrak ini menetapkan bahwa Pertamina bertanggung jawab untuk mengelola
pengoperasian geothermal di dalam proyek karaha tersebut dan KBC berperan sebagai
kontraktor. KBC diwajibkan untuk mengembangkan energy gheotermal di daerah proyek
dan membangun, memiliki dan mengoperasikan tenaga listrik.
2) Kontrak Penjualan Energi (Energy Sales Contract/ “ESC”)
Berdasarkan kontrak ini PLN setuju untuk membeli tenaga listrik dari Pertamina
yang diproduksi, dipasok, dan disediakan oleh pembangkit tenaga listrik yang dibangun
oleh KBC. Sebagai kontarktor bagi Pertamina berdasarkan JOC, KBC, atas nama
Pertamina dan berdasarkan ESC, berhak untuk memasok dan menjual tenaga listrik
berkapasitas sampai 400 Mw kepada PLN dari Proyek Karaha.


Pada Tahun 1997 timbul krisis moneter dan menimpa Indonesia. International
Monetary Fund (IMF) meminta kepada pemerintah Republik Indonesia untuk meninjau
kembali proyek-proyek pembangunan. Selain itu harus diteliti lebih lanjut, apakah
pembayaran proyek dengan valuta asing US dollar masih dapat dipertahankan.
Pada tanggal 20 September 1997 Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan
Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1997. Berdasarkan Kepres tersebut sebanyak 75 proyek
ditunda termasuk Proyek Karaha. Selanjutnya pada tanggal 1 November 1997 dikeluarkan
Keputusan Presiden No. 47 Tahun 1997 yang berisi perintah agar beberapa proyek yang
tertunda termasuk Proyek Karaha dilanjutkan kembali. Pada tanggal 10 Januari 1998,
Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1998 dikeluarkan. Keputusan ini membatalkan kepres
sebelumnya dan mengkomfirmasi penundaan Proyek Karaha.
Pertaminan telah menyetujui untuk membantu KC dalam usaha melanjutkan kembali
proyek ini, akan tetapi ternyata dua minggu setelah diajukan permohonan oleh Pertamina,
pihak KBC telah menyatakan berlakunya klausula “ force majeure” dan telah menghentikan
pelaksanaan kontrak yang bersangkutan. Pada tanggal 30 April 1998, KBC telah
memberitahukan kepada Pertamina dan PLN bahwa mereka akan mengajukan suatu klaim
kepada arbitrase berdasarkan JOC dan ESC.
C. Jalannya Sengketa
KBC mengajukan klaim kepada arbitrase Jenewa Swiss sebagaimana yang disepakati

oleh para pihak mengenai forum yang dipilih para pihak untuk menyelesaukan sengketa
dalam JOC. Pendirian KBC sebagai penggugat adahaf sebagai berikut:

- KBC menuduh bahwa tergugat melanggar kewajiban mereka membayar menurut JOC dan
ESC dengan cara antara lain mencegah KBC untuk menyelesaiakan pembangunan unitunit pembangkit listrik tenaga secara keseluruhan dengan kapsitas 400 Mw.
- KBC menyatakan tergugat berdasarkan JOC dan ESC telah menyetujui menanggung risiko
tindakan pemerintah dan oleh sebab itu Kepres No. 30 Tahun 1997 dan Kepres No. 5
Tahun 1998 bukan merupakan alasan untuk tidak memenuhi kontrak.
Adapun KBC menuntut ganti rugi akibat pelanggaran kontrak yaitu kerugian yang termnasuk
dalam pembayaran atas kerugian sebesar US$ 96.000.000 kemudian kompensasi akibat kehilangan
keuntungan sebesar US$ 512.500.000, selanjutnya sebagai alternative ganti rugi untuk keuntungan
diperhitungkan jumlah pembayaran yang harus diterima adalah US$ 437.000.000. Secara alternatif
diminta pembatalan kontrak dan kerugian secara alternative dan pelaksanaan secara khusus.
Pengadilan Arbitrase Jenewa pada tanggal 18 Desember 2000 membuat putusan agar
Pertamina dan PLN membayar ganti rugi kepada KBC skurang lebih sebesar US$ 270.000.000 yang
terdiri ganti rugi atas hilangnya kesempatan mendapatkan keuntungan (opportunity lost) sebesar US$
111.100.000 dan bunga 4% sejak tahun 2001 sebesar US$ 150.000.000. KBC mengajukan
permohonan untuk melaksanakan putusan arbitrase di pengadilan beberapa negara di mana asetaset Pertamina berada, kecuali di Indonesia yaitu:

- Pada tanggal 21 Februari 2001, KBC meminta U.S District Court for The Southern District

Court of Texas untuk melaksanakan putusan arbitrase Jenewa;
- KBC mengajukan permohonan agar semua aset anak perusahaan Pertamina yang berada di
Singapura disita termasuk Petral;
- Pada tanggal 30 Januari 2004, KBC meminta Pengadilan New York untuk menahan aset Pertamina
dan Pemerintah Republik Indonesia yang besarnya hingga 1, 044 miliar dollar USA. Adapun

permintaan tersebut ditolak dan hakim menetapkan agar Bank of America dan Bank of New York
melepaskan kembali dana sebesar US$ 350.000.000 kepada Pemerintah RI sedangkan yang tetap
ditahan adalah dana 15 rekening adjucated account di Bank of America sebesar US$ 296.000.000
untuk jaminan.
Upaya hukum yang dilakukan oleh Petrtamina adalah:

- Mengajukan penolakan terhadap keputusan Pengadilan Arbitrase Jenewa;
- Mengajukan penolakan pelaksanaan Putusan Pengadilan Arbitrase Jenewa di pengadilanpengadilan di negara mana KBC mengajukan permobonan pelaksanaan putusan Pengadilan
Arbitrase Swiss;
- Mengajukan pembatalan putusan Pengadilan Arbitrase Jenewa kepada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, Indonesia.
Pada tanggal 27 Agustus 2007, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memenangkan
gugatan Pertamina. Putusan tersebut memerintahkan kepada tergugat atau siapapun yang dapat hak
daripadanya untuk tidak melakukan tindakan apapun termasuk pelaksanaan putusan pengadilan

arbitrase yang ditetapkan di Jenewa Swiss tanggal 18 Dsesmber 2000. Adapun putusan Pengadilan
Arbitrase Jenewa, Swiss dnyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
http://hukum-faizinlaw.blogspot.com/2009/04/kasus-karaha-bodas-company-llc-melawan.html 10:30 24
november 2013

Contoh Legal Opinion Kasus Wanprestasi

Surabaya, 10 Juli 2012

Perihal : Legal Opinion

Kepada Yang terhormat
PT.Xeon
Di- Jakarta Selatan

Dengan hormat,

Merujuk pada pertemuan kami tanggal 07 Juli 2012 dengan pihak manajemen CV.Zero,
kami menyampaikan Legal Opinion Sebagai berikut :

Kasus Posisi
Bahwa pihak CV.Zero masih memiliki kewajiban kepada PT. Xeon sejumlah :


Hutang pokok sebesar Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah)



Denda keterlambatan sebesar Rp. 100.000.000,- (Seratus juta rupiah)

Total hutang pokok dan denda keterlambatan sebesar Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta
rupiah)

Bahwa dalam pertemuan tanggal 07 Juli 2012 tersebut, manajemen CV.Zero menyatakan
bahwa pihak CV.Zero beritikad untuk membayar kewajiban kepada pihak PT Xeon, dan
menawarkan restrukturisasi utang sebagai pilihan penyelesaian pembayaran kewajiban
kepada pihak PT. Xeon karena pihak CV.Zero masih merasa kesulitan dalam melakukan
pembayaran dengan dalil masih belum bisa pulih dari dampak kerugian yang ditimbulkan
oleh kebakaran salah satu gudang CV.Zero.

Bentuk Restrukturisasi yang rencananya akan ditawarkan oleh pihak CV.Zero adalah
Reschedulling dan Hair Cut

Isu Hukum

1. apakah restrukturisasi utang itu
2. apakah dapat diselesaikan dengan gugatan wanprestasi
3. apakah dapat diselesaikan dengan mengajukan permohonan pailit
4. apakah CV dapat digugat wanprestasi
5. apakah CV dapat dimohonkan pailit

Analisa
Dengan melihat fakta-fakta hukum diatas maka bentuk penyelesaian permasalahan yang
dapat diambil adalah :

1. Penyelesaian secara non litigasi

2. penyelesaian litigasi

Penyelesaian secara non litigasi
Penyelesaian non litigasi adalah penyelesaian di luar persidangan. Dalam hal ini
termasuk upaya mediasi dan negosiasi. Penawaran tentang restrukturisasi utang
merupakan salah satu pilihan penyelesaian yang dapat dinegosisasikan oleh kedua
belah pihak. Berdasarkan keterangan dari pihak CV.Zero, opsi restrukturisasi utang yang
ditawarkan adalah Reschedulling dan Hair Cut ;

Reschedulling
Reschedulling adalah upaya untuk memperpanjang jangka waktu dalam pengembalian
hutang atau penjadwalan kembali terhadap hutang debitur pada pihak kreditur. Dan ini
biasanya dengan cara memberikan tambahan waktu lagi kepada debitur di dalam
melakukan pelunasan hutangnya.

HairCut
Hair Cut merupakan potongan atau pengurangan atas pembayaran bunga dan hutang
yang dilakukan oleh pihak debitur, Pihak kreditur menyetujui restrukturisasi hutang
debitur dengan metode hair cut karena untuk mengantisipasi kerugian yang lebih besar
jika pihak debitur tidak dapat membayar hutangnya yang terlampau besar tersebut,
misalnya hutang debitur tersebut tidak dapat lagi terbayar semuanya, jika hal ini sampai
terjadi maka pihak kreditur akan mengalami kerugian yang cukup membawa pengaruh
dalam dunia usahanya. Sedangkan jika dilihat dari pihak debitur, debitur sangat senang
karena kewajibannya dapat berkurang sehingga beban yang harus dikeluarkan
perusahaan pun dapat ditekan.

Penyelesaian secara litigasi
Penyelesaian secara litigasi adalah penyelesaian sengketa melalui lembaga
peradilan. Dalam kasus ini ada 2 pilihan yang dapat diambil yaitu : Gugatan Wanprestasi
dan Permohonan Pailit.

Gugatan Wanprestasi

Wanprestasi secara umum adalah suatu keadaan dikarenakan kelalaian atau
kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi (kewajiban) seperti yang telah
ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa (force majeur).

Untuk lebih jelasnya dinyatakan dalam pasal 1239 KUHPerdata :

“Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, apabila
siberutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam
kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga”

Pelanggaran

hak-hak

kontraktual,

berdasarkan

pasal

1239

KUHPerdata

menimbulkan kewajiban ganti rugi, selanjutnya terkait dengan hal tersebut Pasal 1243
KUHPerdata menyatakan :

“Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah
mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya,
tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat
diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya.”

Debitur dinyatakan lalai apabila : (i) tidak memenuhi prestasi (kewajiban), (ii)
terlambat berprestasi (melakukan kewajiban), (iii) berprestasi tidak sebagaimana
mestinya. Dalam hal ini wanprestasi baru ada pernyataan lalai dari pihak kreditur kepada
debitur, hal ini dibutuhkan untuk menentukan tenggang waktu (yang wajar) kepada
debitur untuk memenuhi kewajibannya dengan sanksi tanggung gugat atas kerugian
yang dialami kreditor.

Adakalanya dalam keadaan tertentu untuk membuktikan adanya wanprestasi
debitur tidak diperlukan lagi pernyataan lalai, ialah :

1. untuk pemenuhan prestasi berlaku tenggang waktu yang fatal (fatale termijn) ;
2. debitur menolak pemenuhan ;
3. debitur mangakui kelalainnya ;
4. pemenuhan prestasi tidak mungkin (di luar overmacht) ;
5. pemenuhan tidak lagi berarti (zinloos) ; dan
6. debitur melakukan prestasi tidak sebagaimana mestinya.

Dengan adanya wanprestasi, pihak kreditur yang dirugikan sebagai akibat kegagalan
pelaksanaan kontrak oleh pihak debitur mempunyai hak gugat dalam upaya menegakkan
hak-hak kontraktualnya. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal 1267
KUHPerdata yang menyatakan bahwa :

“Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih : memaksa pihak lain
memenuhi kontrak, jika hal itu masih dapat dialkukan, atau menuntut pembatalan
persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga ;

Hak kreditur tersebut dapat secara mandiri diajukan maupun dikombinasikan dengan
gugatan lain, meliputi :

1. Pemenuhan (nakoming) ; atau
2. Ganti Rugi (vervangende vergoeding; schadeloosstelling) ; atau
3. pembubaran, pemutusan atau pembatalan (ontbinding), atau
4. pemenuhan ditambah ganti rugi pelengkap (nakoming en anvullend vergoeding) ;
atau

5. Pembubaran ditambah ganti rugi pelengkap (ontbinding en an vullend
vergoeding)

Pemenuhan (nakoming) merupakan prestasi (kewajiban) primer sebagaimana
yang diharapkan dan disepakati para pihak pada saat penutupan kontrak. Gugatan
pemenuhan prestasi dimaksud telah tiba waktunya untuk dilaksanakan ;

Ganti rugi merupakan upaya untuk memulihkan kerugian yang prestasinya
bersifat subsidair. Artinya, apabila pemenuhan prestasi tidak lagi dimungkinkan atau
sudah tidak diharapkan lagi maka ganti rugi merupakan alternative yang dapat dipilih
oleh kreditur. sesuai dengan ketentuan pasal 1243 KUHPerdata, ganti rugi meliputi :
Biaya (kosten), rugi (scahden), dan bunga (interessen). , maka unsure kerugian dalam hal
ini terdiri dari dua unsur, yaitu (i) kerugian nyata diderita (damnum emergens), meliputi
biaya dan rugi; dan (ii) keuntungan yang tidak diperoleh (lucrum cessans), berupa bunga
Ganti rugi di sini meliputi ganti rugi pengganti (vergande vergoeding) dang anti
rugi pelengkap (aanvullend vergoeding). Ganti pengganti (vergande vergoeding),
merupakan gantirugi yang diakibatkan oleh tidak adanya prestasi yang seharusnya
menjadi hak kreditor, meliputi seluruh kerugian yang diderita sebagai akibat wanprestasi
debitur. Sedangkan ganti rugi sebagai akibat terlambat atau tidak dipenuhinya prestasi
debitur sebagaimana mestinya atau karena adanya pemutusan kontrak.
Dalam hal ini pihak CV.Zero telah melakukan wanprestasi dengan tidak melakukan
kewajiban (prestasi) melampaui batas waktu yang telah ditentukan, maka sesuai dengan
ketentuan dalam KUHPerdata maka pihak PT.Xeon berhak untuk dapat mengajukan
upaya hukum Gugatan Wanprestasi ;

Gugatan Kepailitan
Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitor dapat
dilihat pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang berbunyi bahwa debitor yang
mempunyai dua atau lebh kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang
telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan baik
atas permohonannya sendiri atau maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.

Syarat-syarat permohonan pailit sebagaimana telah ditentukan Pasal 2 ayat (1) dapat
dijelaskan sebagai berikut:

1. Syarat adanya dua kreditor atau lebih (concursus creditorium)
Adanya persyaratan concursus creditorium adalah sebagai bentuk konsekuensi
berlakunya ketentuan Pasal 1131 Burgerlijk Wetboek dimana rasio kepailitan adalah
jatuhnya sita umum atas semua harta benda debitor untuk kemudian setelah dilakukan
rapat verifikasi utang-piutang tidak tercapai perdamaian atau accoord, dilakukan proses
likuidasi atas seluruh harta benda debitor untuk kemudian dibagi-bagikan hasil
perolehannya kepada semua kreditor sesuai urutan tingkat kreditor yang telah diatur
oleh undang-undang. Jika debitor hanya memiliki satu kreditor, maka eksistensi UndangUndang Kepailitan kehilangan raison d’etre-nya. Bila debitor hanya memiliki satu
kreditor, maka seluruh harta kekayaan debitor otomatis menjadi jaminan atas pelunasan
utang debitor tersebut dan tidak diperlukan pembagian secara pari passu pro rata parte,
dan terhadap debitor tidak dapat dituntut pailit karena hanya mempunyai satu kreditor.
Undang-undang Kepailitan tidak mengatur secara tegas mengenai pembuktian
bahwa debitor mempunyai dua kreditor atau lebih, namun oleh karena di dalam hukum
kepailitan berlaku pula hukum acara perdata, maka Pasal 116 HIR berlaku dalam hal ini.
Pasal 116 HIR atau Pasal 1865 Burgerlijk Wetboek menegaskan bahwa beban wajib bukti
(burden of proof) dipakai oleh pemohon atau penggugat untuk membuktikan diri (posita)
gugatannya, maka sesuai dengan prinsip pembebanan wajib bukti di atas, maka
pemohon pernyataan pailit harus dapat membuktikan bahwa debitor mempunyai dua
atau lebih kreditor sebagaimana telah dipersyaratkan oleh undang-undang kepailitan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka telah didapat pengertian “kreditor”
sebagaimana terdapat di dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Berkaitan
dengan ada tidaknya pelepasan hak agunan kreditor separatis terhadap pengajuan
permohonan pailit, terhadap kreditor telah diatur secara jelas di dalam Pasal 138 undangundang yang sama.

Berdasarkan Undang-Undang Kepailitan yang baru ini, maka kreditor separatis
dan kreditor preferen dapat tampil sebagai kreditor konkuren tanpa harus melepaskan
hak-hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas piutangnya, tetapi
dengan catatan bahwa kreditor separatis dan kreditor

2. Syarat harus adanya utang
Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, terdapat perubahan pengertian tentang utang. Utang
diartikan sebagai kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang
dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun
yang akan timbul karena perjanjian atau undang-undang, dan yang wajib dipenuhi oleh
debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat
pemenuhannya dari harta kekayaan debitor. Berdasarkan pengertian utang di atas,
permohonan pernyataan pailit dikabulkan apabila “debitor mempunyai dua atau lebih
kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya
sendiri maupun atas permintaan satu atau lebih kreditornya”.

3. Syarat adanya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan syarat untuk dinyatakan pailit
melalui putusan pengadilan, yaitu :
1. terdapat minimal 2 (dua) orang kreditor
2. debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih.

Syarat yang ada pada poin ketiga di atas, menunjukkan bahwa adanya utang yang
telah jatuh waktu dan dapat ditagih menunjukkan bahwa kreditor sudah mempunyai hak
untuk menuntut debitor untuk memenuhi prestasinya. Hak ini menunjukkan adanya
utang yang harus lahir dari perikatan sempurna yaitu adanya schuld dan haftung. Schuld
yang dimaksud disini adalah kewajiban setiap debitor untuk menyerahkan prestasi
kepada kreditor, dan karena itu debitor mempunyai kewajiban untuk membayar utang.
Sedangkan haftung adalah bentuk kewajiban debitor yang lain yaitu debitor berkewajiban
untuk membiarkan harta kekayaannya diambil oleh kreditor sebanyak utang debitor guna
pelunasan utang tadi, apabila debitor tidak memenuhi kewajibannya membayar utang
tersebut.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, menentukan pengertian utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu baik
karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana
diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang
maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase. Implementasi
Penjelasan Pasal 2 ayat (1)Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang lebih banyak terjadi ketika debitor tidak
memenuhi kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu sebagaimana yang
telah diperjanjikan.

4.Syarat pemohon pailit
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1), (2), (3), (4), (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban. Pembayaran Utang menunjukkan
bahwa pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit bagi seorang debitor
adalah :
a) Debitor yang bersangkutan
b) Kreditor atau para kreditor
c) Kejaksaan untuk kepentingan umum
d) Bank Indonesia apabila debitornya adalah bank

e) Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) apabila debitornya adalah perusahaan efek,
bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian
f) Menteri Keuangan apabila debitornya adalah perusahaan asuransi,
perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau badan usaha milik negara yang
bergerak di bidang kepentingan publik.

Ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 ditambahkan
Menteri Keuangan sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit berkaitan
dengan kegiatan perasuransian dan kewenangan BAPEPAM di dalam mengajukan
permohonan pailit juga menjadi lebih luas karena tidak hanya semata-mata perusahaan
efek saja, melainkan jugalembaga-lembaga lain yang terlibat di dalam kegiatan pasar
modal. Beberapa pihak di atas yang dapat mengajukan permohonan pailit, pihak yang
paling umum mengajukan permohonan pailit adalah pihak debitor dan kreditor.
Pengajuan permohonan pailit yang dilakukan oleh debitor disebut dengan
voluntary petition. Voluntary petition adalah permohonanpernyataan pailit yang diajukan
oleh debitor, yang tidak mensyaratkan berapa besar jumlah utang yang dimilikinya.
Sebaliknya pengajuan permohonan pailit yang dilakukan oleh pihak kreditor disebut
dengan involuntary petition. Involuntary petition adalah pengajuan permohonan
pernyataan pailit yang dilakukan kreditor apabila debitor memiliki utang yang jumlah nilai
utangnya dan bentuk utangnya telah ditentukan di dalam perjanjian. Ketentuan bahwa
debitor adalah salah satu pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit terhadap
dirinya sendiri adalah ketentuan yang dianut di banyak negara. Namun ketentuan ini
memberi

kesempatan

bagi

debitor

nakal

untuk

melakukan

rekayasa

demi

kepentingannya. Oleh karenanya sekalipun mungkin saja permohonan pernyataan pailit
terhadap debitor dikabulkan oleh pengadilan, baik yang diajukan oleh debitor sendiri
atau oleh kreditor teman kolusi debitor atau sekongkolnya, namun debitor tidak
seharusnya lepas dari jerat pidana. Sedangkan ketentuan kreditor di dalam mengajukan
permohonan pernyataan pailit mengacu pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004.

Undang-undang ini juga telah mengatur pula kewenangan kreditor separatis dan
kreditor preferen dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak
agunan atas kebendaan yang dimilikinya terhadap harta debitor dan haknya untuk
didahulukan. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang telah menentukan bahwa permohonan pernyataan pailit
dapat dilakukan atas permintaan debitor maupun atas permintaan kreditornya. Namun
ketiga undang-undang kepailitan ini tidak membedakan permohonan pernyataan pailit
terhadap debitor individu atau perusahaan. Padahal tujuan dan manfaat hukum kepailitan
perseorangan dan perusahaan berbeda. Tujuan dan manfaat hukum kepailitan
perseorangan adalah pembagian yang adil harta pailit debitor di antara para kreditornya
dan memberi kesempatan bagi debitor insolven untuk memperoleh fresh start. Di sisi
lain, tujuan dan manfaat hukum kepailitan perusahaan adalah memperbaiki atau
memulihkan

perusahaan

guna

memperoleh

keuntungan

dalam

perdagangan,

memaksimalkan pengembalian tagihan para kreditor, menyusun tagihan kreditor, dan
identifikasi penyebab kegagalan perusahaan serta menerapkan sanksi terhadap
manajemen yang menyebabkan kepailitan.

PERTANGGUNG

JAWABAN

PENGURUS

PERSEKUTUAN

KOMANDITER

COMMANDITAIRE VENNOOTSCHAP (CV) ATAU LIMITED PARTNERSHIP

ATAU
DALAM

GUGATAN PERDATA DAN KOMISARIS

CV belum merupakan badan hukum, karena meskipun dalam CV sudah memenuhi
syarat-syarat materiil suatu badan hukum, tetapi pengesahan dari Pemerintah belum
dipenuhi sebagai syarat formilnya. CV merupakan salah satu bentuk perusahaan yang
bukan badan hukum ang diatur dalam buku pertama, titel ketiga, bagian kedua Pasal 1635 KUHD. Pasal 19 KUHD menegaskan:
”Persekutuan dengan jalan meminjam uang atau disebut juga persekutuan komanditer,
diadakan antara seorang sekutu atau lebih yang bertanggung jawab secara pribadi dan
untuk seluruhnya dengan seorang atau lebih sebagai peminjam uang.”

Berdasarkan ketentuan tersebut, tampak bahwa Persekutuan Komanditer atau
Commanditaire Vennootschap (CV) atau limited partnership, terdapat satu atau beberapa
orang sekutu komanditer. Sekutu komanditer hanya menyerahkan uang, barang atau
tenaga sebagai pemasukan pada CV. Sekutu komanditer yang hanya meminjamkan
modal kepada perusahaan tidak turut campur tangan dalam pengurusan dan penguasaan
dalam persekutuan.
Status hukum seorang sekutu komanditer dapat disamakan dengan seorang yang
meminjamkan atau menanamkan modal pada suatu perusahaan dan diharapkan dari
penanaman modal itu adalah hasil keuntungan dari modal yang dipinjamkan atau
ditanamkan tersebut.
Sekutu komanditer sama sekali tidak ikut terlibat mencampuri pengurusan dan
pengelolaan CV. Seolah-olah sekutu komanditer ini tidak berbeda dengan ”pelepas uang”
(geldschieter,

financial

backer)

yang

diatur

dalam

UU

Pelepas

Uang

(Geldschietersordonantie Staatsblad 1938-523). Sekutu Komanditer hanya bertanggung
jawab sebesar kontribusi yang ia berikan, yaitu sebesar uang yang telah atau harus
dimasukkannya sebagai modal di CV tersebut. Ini sesuai dengan pasal 19 jo pasal 20
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (“KUHD”).

Dapat diliat bahwa pada Persekutuan Komanditer atau CV ini terdiri dari dua
macam sekutu:
1. Sekutu Pengurus atau Sekutu Komplementer (Complementaris) yang bertindak sebagai
pesero pengurus dalam CV. Selain Sekutu Komanditer yang juga ikut memberikan
pemasukan modal, Sekutu Komplementaris sekaligus menjadi pengurus dalam CV;
2. Sekutu Komanditer yang disebut juga dengan sekutu tidak kerja dan statusnya hanya
sebagai pemberi modal atau pemberi pinjaman. Oleh karena Sekutu Komanditer tidak
ikut mengurus CV, dia tidak ikut bertindak ke luar.

Sekutu Kerja/Sekutu Aktif/Sekutu Komplementer adalah sekutu yang memasukkan
modal dalam persekutuan, menjadi pengurus Persekutuan, mengelola usaha secara aktif
yang melibatkan harta pribadi, termasuk membuat perikatan atau hubungan hukum
dengan pihak ketiga. Tanggung jawab sekutu ini sampai pada harta pribadinya (Pasal 18
KUHD).
Sekutu Tidak Kerja/Sekutu Pasif/Sekutu Komanditer (Sleeping Partners/stille
vennoot) adalah sekutu yang wajib menyerahkan uang/benda/tenaga pada persekutuan
sebagai pemasukan dan berhak menerima keuntungan tapi tidak bertugas mengurus
Persekutuan. Sekutu ini hanya sebagai pelepas uang (geldschieter), pemberi uang atau
orang yang mempercayakan uangnya. Tanggung jawab sekutu ini terbatas pada jumlah
pemasukannya dalam persekutuan, sehingga tidak berwenang ikut campur dalam
pengurusan persekutuan. Bila dilanggar maka tanggung jawabnya diperluas yaitu
tanggung jawab pribadi untuk keseluruhan seperti pada sekutu kerja (Pasal 21 KUHD).
Berdasarkan

penjelasan

yang

telah

dijabarkan

seperti

di

atas

maka

pertanggungjawaban tidak hanya sebatas asset yang dimiliki oleh CV tersebut namun
juga termasuk asset dan seluruh harta kekayaan yang dimiliki oleh sekutu aktif/sekutu
komplementer, dalam hal ini adalah direktur dari CV.Zero tersebut. Begitu pula dalam hal
CV dihadapkan pada gugatan pidana/perdata, batasan pertanggung jawaban pengurus
juga berbeda antara sekutu kompelementer dengan sekutu komanditer yaitu sekutu
komanditer tersebut tidak dapat melakukan apa-apa, karena ia tidak diperbolehkan untuk
melakukan pengurusan CV, walaupun ia telah dikuasakan untuk itu (lihat pasal 20 KUHD).
Apabila ternyata ia melakukan perbuatan pengurusan, maka statusnya akan beralih
menjadi sekutu komplementer, dan ia akan bertanggungjawab secara tanggung renteng
atas semua perikatan CV. Artinya, ia bertanggungjawab sampai harta pribadinya atas
semua perikatan CV (Pasal 21 KUHD).

REKOMENDASI HUKUM

Berdasarkan isu hukum di atas maka menurut kami telah terjadi wanpretasi atas klien
kami pihak PT.Xeon oleh CV.Zero dan diwajibkan untuk mengembalikan hutang sebesar :



Hutang pokok sebesar Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah)



Denda keterlambatan sebesar Rp. 100.000.000,- (Seratus juta rupiah)
Total hutang pokok dan denda keterlambatan sebesar Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta
rupiah).

Hal ini berdasarkan pasal 1239 BW yang dinyatakan “Tiap-tiap perikatan untuk berbuat
sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatau, apabila si berutang tidak memenuhi
kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian
biaya, rugi, dan bunga”.

Berdasarkan penjabaran kami tersebut di atas maka kami dapat menyimpulkan bahwa
pihak

PT.

Xeon

dapat

mengajukan

gugatan

wanprestasi

dengan

sekutu

aktif/komplementer CV.Zero sebagai penggugat ke Pengadilan Negeri. Dalam gugatan
wanpresatasi dapat pula dilakukan upaya sita jaminan atas barang milik CV.Zero
(termasuk barang milik sekutu komplementer/aktif) yang

dimohonkan kepada ketua

Pengadilan Negeri, fungsinya adalah untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan
perdata dengan menguangkan atau menjual barang debitur yang disita guna memenuhi
tuntutan penggugat. Dengan diletakkan penyitaan pada suatu barang berarti bahwa
barang itu dibekukan dan tidak dapat dialihkan atau dijual oleh debitur.

Syarat-syarat utama sita jaminan adalah :



Harus ada sangka yang beralasan, bahwa tergugat sebelum putusan dijatuhkan atau
dilaksanakan akan menggelapkan atau menghilangkan barang-barangnya.



Barang yang disita itu berupa kepunyaan yang terkena sita, artinya bukan milik
penggugat.



Permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan yang memeriksa perkara tersebut.



Dapat dilakukan atau diletakkan baik tehadap barang bergerak atau yang tidak bergerak.

Dalam praktek permohonan akan sita jaminan lazimnya dilakukan dalam surat gugat, dan
dalam petitum dimohonkan pernyataan sah dan berharga, atau dengan kata lain
permohonan sita jaminan tersebut diajukan sebelum dijatuhkan putusan. Sedangkan ciriciri sita jaminan adalah sebagai berikut :



Sita jaminan diletakkan atas harta yang disengketakan status kepemilikannya atau
terhadap harta kekayaan tergugat dalam sengketa utang piutang atau juga dalam
sengekta dan tututan ganti rugi.



Obyek sita bisa barang bergerak atau tidak bergerak, bisa berwujud atau tidak berwujud.



Pembatasan sita jaminan bisa hanya barang-barang tertentu atau seluruh harta kekayaan
tergugat.



Tujuan penyitaan untuk menjamin gugatan agar tidak hampa (illusoir)

Dengan diajukannya gugatan wanprestasi setelah diputus dan mempunyai kekuatan
hukum tetap terhadap perkara wanprestasi tersebut maka dapat dilaksanakan sita
eksekusi.

Sita eksekusi adalah sita yang berhubungan dengan masalah pelaksanaan suatu
putusan karena pihak tergugat tidak mau melaksanakan putusan yang telah berkekuatan
hukum tetap tersebut secara sukarela meskipun Pengadilan telah memperingatkan agar
putusan tersebut dilaksanakan secara sukarela sebagaimana mestinya. Sita eksekusi ini
biasa dilakukan terhadap putusan yang mengharuskan penggugat membayar sejumlah
uang, sedangkan tentang tata cara dan syarat-syarat sita eksekusi ini diatur dalam pasal
197 HIR dan 208 RBG.

Sekiranya sudah diletakkan sita jaminan, tidak diperlukan lagi Sita Eksekusi karena sita
jaminan menurut asasnya otomatis beralih menjadi sita eksekusi pada saat perkara yang
bersangkutan mempunyai putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Sita eksekusui terdapat 2 macam, yaitu :

1. Sita Eksekusi Langsung; yakni sita eksekusi yang langsung diletakkan atas barang
bergerak dan barang tidak bergerak milik debitur atau pihak yang kalah.
2. Sita Eksekusi yang Tidak Langsung; adalah sita eksekusi yang berasal dari sita jaminan
yang telah dinyatakan sah dan berharga dan dalam rangka eksekusi otomatis berubah
menjadi sita eksekusi.

Namun terdapat resiko dari diajukannya gugatan Wanprestasi tersebut adalah jika
ada kreditur lain yang mengajukan permohonan pailit atas CV Zero. Pada dasarnya
dengan diucapkannya putusan pailit terhadap debitor, semua tuntutan hukum yang
diajukan terhadapnya yang bertujuan untuk memperoleh pemenuhan kewajiban dari
harta pailit dan perkara yang sedang berjalan menjadi gugur demi hukum. Hal ini di
tegaskan dalam pasal 29 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Jadi dalam hal ini jika mengajukan gugatan
wanprestasi, kemudian ada pihak kreditur lain yang mengajukan permohonan pailit atas
CV Zero , maka gugatan wanprestasi tersebut gugur demi hukum.

Semua perkara perdata dalam lapangan harta kekayaan diambil oleh kurator.
Dalam hal perkara tersebut dilanjutkan oleh kurator, maka kurator dapat mengajukan
pembatalan atas segala perbuatan yang dilakukan oleh debitor sebelum debitor
dinyatakan pailit. Begitu pula dalam masalah eksekusi pengadilan terhadap setiap bagian
dari kekayaan debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan harus dihentikan, kecuali
eksekusi itu sudah sedemikian jauh hingga hari pelelangan sudah ditentukan, dengan
izin hakim pengawas kurator dapat meneruskan pelelangan tersebut.

Selain gugatan wanprestasi, dapat pula pihak PT.X mengajukan permohonan pailit
atas CV. Zero ke Pengadilan Niaga sebagai kreditur karena telah memenuhi persyaratan
dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu :

1. terdapat minimal 2 (dua) orang kreditor,
lebih diperjelas :
Bahwa terdapat putusan Pengadilan Mahkamah Agung Nomor 000/K/Pdt.Sus/20XX yang
diajukan oleh mendudukan pengurus CV. Zero, yaitu Paijo dan Paimin sebagai Termohon
Kasasi / Tergugat, Pemohon kasasi I dan Termohon kasasi II dalam perkara perselisihan
hubungan industrial yang diajukan oleh Nawawi dan Jaini, sebagai Para Penggugat /
Pemohon kasasi I dan Pemohon kasasi II

2. debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang tersebut yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih

lebih diperjelas :
bahwa hutang pokok dan denda keterlambatan sebesar Rp. 400.000.000,- (empat ratus
juta rupiah) CV. Zero kepada PT. Xeon telah lewat waktu.
.
Kelebihan dari diajukannya permohonan pailit untuk kasus ini adalah jangka
waktu prosedur perkara kepailitan lebih cepat daripada prosedur perkara gugatan
perdata di Pengadilan Negeri, perkara kepailitan di tingkat pertama harus diputus oleh
majelis hakim Pengadilan Niaga maksimal 60 hari sejak diajukan permohonan.. jika ada
upaya hukum di tingkat kasasi harus diputus oleh hakim Mahkamah Agung maksimal 60
hari sejak diajukannya permohonan kasasi, jika ada upaya hukum di tingkat peninjauan
kembali maksimal harus diputus oleh hakim Mahkamah Agung maksimal 60 hari sejak
diajukan permohonan peninjauan kembali. Sehingga total jangka waktu prosedur perkara
kepailitan dapat selesai paling lama 180 hari. Berbeda dengan prosedur penyelesaian
perkara perdata di pengadilan Negeri yang secara umum lebih lama.

Resiko jika mengajukan permohonan pailit maka PT.Xeon harus berbagi harta
kekayaan CV.Zero dengan kreditur lain. Apabila hasil lelang dari kekayaan CV.Zero tidak
dapat melunasi

hutang-hutangnya pada para kreditur maka

cara pelunasan hutang

dilakukan berdasarkan pencocokan utang. Dalam pencocokan utang pelunasan dibagi
berdasarkan secara proporsional dan menyediakan hak – hak istimewa bagi kreditor
yang haknya dijamin oleh Hak Tanggungan, fidusia, hipotik, atau hak kebendaan lainnya
yang disebut sebagai kreditor Separatis, hal ini diatur dalam pasal 55 dan 138 UndangUndang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang dan juga bagi kreditor yang berdasarkan undang-undang lain diberikan prioritas
khusus, seperti para pekerja yang gajinya belum dibayar dan juga pemerintah untuk
tagihan pajak. Sedangkan kreditor yang tidak mempunyai hak khusus, atau disebut
kreditor konkuren tidak diprioritaskan, hal ini berdasarkan pada pasal 1131 KUHPerdata.
Dalam kasus ini PT.Xeon termasuk dalam klasifikasi sebagai Kreditur Konkuren,
sehingga tidak mendapat prioritas dalam pelunasan hutang.

Selain dengan upaya litigasi, gugatan wanprestasi atau kepailitan, PT. Xeon dapat
mempertimbangkan penawaran tentang restrukturisasi utang oleh CV. Zero. Opsi
restrukturisasi yang ditawarkan adalah Reschedulling dan Hair Cut. Opsi restrukturisasi
tersebut adalah bentuk itikad pihak CV Zero untuk melunasi hutangnya, sehingga jika
memang dapat dipenuhi oleh pihak CV Zero maka penyelesaian tidak perlu melalui
proses litigasi.

Kesimpulan yang dapat diambil dalam kasus ini adalah PT.Xeon berhak
mengajukan upaya hukum baik secara litigasi maupun non litigasi.

Demikian legal opinion ini dibuat, untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih

Hormat kami,

Mr.X, S.H
http://adriankristyantoadi.blogspot.com/2013/04/contoh-legal-opinion-kasus-wanprestasi.html 10:55S

LATAR BELAKANG
Dalam menyelesaikan kasus Perdata, biasanya terdapat dua jalur yang menjadi penawaran bagi pihak
yang bersengketa jalur litigasi dan non-litigasi. Yang dimaksud dengan Litigasi adalah bentuk penanganan
kasus melalui jalur proses di peradilan baik kasus perdata maupun pidana, sedangkan Non-Litigasi adalah
penyelesaian masalah hukum diluar proses peradilan. Non litigasi ini pada umunya dilakukan pada kasus
perdata saja karena lebih bersifat privat.
Non litigasi mempunyai beberapa bentuk untuk menyelesaikan sengketa yaitu:
1. Negosiasi
2. Mediasi
3. Arbitrase
Ketiga bentuk penyelesaian sengketa dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan atau terjadinya
perbedaan pendapat baik itu antara individu, kelompok maupun antar badan usaha. Penyelesaian
sengketa melalui jalur non litigasi dilakukan untuk menyelesaikan sengketa dengan cara musyawarah
mufakat dan hasil penyelesaian konflik atau sengketa secara kekeluargaan.
BENTUK-BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI JALUR NON LITIGASI
1. Negosiasi
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana antara dua orang atau lebih/para pihak yang
mempunyai hal atau bersengketa saling melakukan kompromi atau tawar menawar terhadap
kepentingan penyelesaian suatu hal atau sengketa untuk mencapai kesepakatan. Dengan cara kompromi
tersebut diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan mengakhiri sengketa tersebut secara baik.
Pihak yang melakukan negosiasi disebut negosiator, sebagai seorang yang dianggap bisa melakukan
negosiasi. Seorang negosiator harus mempunyai keahlian dalam menegosiasi hal yang disengketakan
antara kedua pihak. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menjalankan negosiasi, diantaranya:
1. Memahami tujuan yang ingin dicapai
2. Menguasai materi negosiasi
3. Mengetahui tujuan negosiasi
4. Menguasai keterampilan tehnis negosiasi, didalamnya menyangkut keterampilan komunikasi.
2. Mediasi
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa diluar peradilan yang kurang lebih hampir sama dengan
negosiasi. Bedanya adalah terdapat pihak ketiga yang netral dan berfungsi sebagai penengah atau

memfasilitasi mediasi tersebut yang biasa disebut mediator. Pihak ketiga tersebut hanya boleh
memberikan saran-saran yang bersifat sugestif, karena pada dasarnya yang memutuskan untuk
mengakhiri sengketa adalah para pihak. Pihak ketiga tersebut juga harus netral sehingga dapat
memberikan saran-saran yang objektif dan tidak terkesan memihak salah satu pihak. Mediasi merupakan
prosedur wajib dalam proses pemeriksaan perkara perdata, bahkan dalam arbitrase sekalipun dimana
hakim atau arbiter wajib memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi dan jika mediasi
tersebut gagal barulah pemeriksaan perkara dilanjutkan. Tidak semua orang bisa menjadi mediator
professional karena untuk dapat menjadi mediator dibutuhkan semacam sertifikasi khusus.
3. Arbitrasi
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa
dikatakan sebagai "litigasi swasta" Dimana yang memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim tetapi
seorang arbiter. Untuk dapat menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang harus ada adalah "klausula
arbitrase" di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa akibat perjanjian tersebut, atau
"Perjanjian Arbitrase" dalam hal sengketa tersebut sudah timbul namun tidak ada klausula arbitrase
dalam perjanjian sebelumnya. Klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa para
pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan kewajiban pengadilan
untuk memeriksa perkara tersebut. Jika perkara tersebut tetap diajukan ke Pengadilan maka pengadilan
wajib menolak karena perkara tersebut sudah berada di luar kompetensi pengadilan tersebut akibat
adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase. Beberapa keunggulan arbitrase dibandingkan litigasi
antara lain:
1. Arbitrase relatif lebih terpercaya karena Arbiter dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Arbiter
dipilih oleh para pihak sendiri dan merupakan jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh pejabat peradilan
manapun. Dalam hal para pihak tidak bersepakat dalam menentukan arbiter maka arbiter akan ditunjuk
oleh ketua Pengadilan Negeri. Hal ini berbeda dengan litigasi karena para pihak tidak dapat memilih
hakim yang memeriksa perkara. Calon arbiter yang ditunjuk juga boleh menolak penunjukan tersebut.
2. Arbiter merupakan orang yang ahli di bidangnya sehingga putusan yang dihasilkan akan lebih cermat.
Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
dinyatakan bahwa salah satu syarat untuk menjadi arbiter adalah berpengalaman aktif di bidangnya
selama 15 tahun. Hal ini tentunya berbeda dengan hakim yang mungkin saja tidak menguasai bidang
yang disengketakan sehingga harus belajar bidang tersebut sebelum memeriksa perkara.
3. Kepastian Hukum lebih terjamin karena putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak. Pihak
yang tidak puas dengan putusan arbitrase tidak dapat mengajukan upaya hukum. namun putusan
tersebut dapat dibatalkan jika terjadi hal-hal tertentu seperti dinyatakan palsunya bukti-bukti yang
dipakai dalam pemeriksaan setelah putusan tersebut dijatuhkan atau putusan tersebut dibuat dengan
itikad tidak baik dari arbiter.
Sedangkan kelemahannya antara lain:
1. Biaya yang relatif mahal karena honorarium arbiter juga harus ditanggung para pihak (atau pihak yang
kalah).
2. Putusan Arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
3. Ruang lingkup arbitrase yang terbatas hanya pada sengketa bidang komersial (perdagangan, eksporimpor, pasar modal, dan sebagainya).

Diposkan oleh aulia di 00.31 3 komentar: Label: Teori

Kamis, 14 Januari 2010

Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
Pengertian Sistem Hukum
Secara sederhana. “system” berarti sekelompok bagian-bagian (alat dan sebagainya) yang bekerja
bersama-sama untuk melakukan suatu maksud. Banyak unsure-unsur yang terjalin dalam suatu system.
Hal ini terlihat pada hokum sebagai suatu system. Sudikno Mertokusumo mengibaratkan system hokum
sebagai gambar mozaik, yaitu gambar yang dipotong-potong menjadi bagian-bagian kecil untuk
kemudian dihubungkan kembali, sehingga tampak utuh seperti gambar semula. Masing-masing bagian
tidak berdiri sendiri lepas hubungannya dengan yang lain,tetapi kait-mengait dengan bagian-bagian
lainnya. Tiap bagian tidak mempunyai arti di luar kesatuan itu. Di dalam kesatuan itu tidak dikehendaki
adanya konflik atau kontradiksi. Kalau sampai terjadi konflik, maka akan segera diselesaikan oleh dan di
dalam system itu sendiri.
Berbicara tentang “system hokum” berarti berbicara tentang sesuatu yang berdimensi sangat luas.
Secara mudah system hokum dapat dibedakan menjadi tiga komponen, yakni: (1) struktur hokum, disini
berupa lembaga-lembaga Negara dan pemerintahan. (2) substansi hokum, semua asas dan norma yang
dijadikan acuan oleh masyarakat dan pemerintah, dan (3) budaya hokum, maksudnya adalah kesadaran
hokum dari subjek-subjek hokum suatu komunitas secara keseluruhan.

Part I.......
Diposkan oleh aulia di 01.28 Tidak ada komentar: Label: Teori

Kamis, 02 Juli 2009

PENEGAKAN HUKUM DAN ILLEGAL LOGGING
Pandangan terhadap hukum saat ini adalah yang kuat dia menang dan yang lemah dia kalah.
Dimana ada anggapan bahwa yang miskin masuk penjara, yang kaya bebas kemana – mana.
Contoh konkrit sudah ada didepan mata, seperti pada kasus illegal logging banyak pelaku yang
ditangkap dan diproses rata-rata adalah buruh. Bisa dikatakan supir truk, nahkoda kapal,
tukang pikul kayu dan lainnya yang bukan pelaku utama (cukong).
Perbedaannya tampak ketika seorang pelaku kelas kakap ditangkap dan diproses secara
hukum di pengadilan dengan akhir putusan yang ringan bahkan bebas dari jeratan hukuman.
Seperti kasus Buntia seorang Direktur PT. Rimba Kapuas Lestari yang merupakan otak pelaku
penebangan di Hutan Lindung Bukit Punai Laki Kabupaten Sintang yang tidak terbukti

kesalahannya. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Apa yang menjadi factor supremasi hukum agar
penegakan hukum terhadap kasus illegal logging tidak tebang pilih?
Prinsipnya hukum adalah otoritas tertinggi dan bahwa semua warga Negara – bahkan pejabat
pemerintah – tunduk pada hukum dan berhak atas perlindungan hukum. Tetapi pada dasarnya
yang membawa dan menerapkan hukum itu adalah pihak-pihak yang kuat. Masalah pokok
penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya.
Faktor – faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif dan negatifnya
terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Penegakan hukum sen