makalah tentang perilaku pasar 1

PENDAHULUAN
Di dalam bab sebelumnya kita telah menyelidiki tentang perilaku seorang
muslim dalam konsumsi, produksi, kepemilikan, alokasi harta, transaksi dan
distribusi. Dalam bab ini akan dibahas perilaku pasar atau seorang penjual muslim,
harga pasar, dan monopoli perdagangan. Keputusan perilaku pasar atau produsen
akan berpengaruh besar dalam pengambilan keputusan pembelian barang-barang dan
jasa.
Ketika membicarakan tentang perilaku penjual maka akan terbentuk efisiensi
pasar, artinya akan terjadi harmonisasi pasar. Mereka secara bersama akan bertindak
secara etika (akhlak) yang baik dalam menyusun penawaran produk, dan ikut
bertanggung jawab di dalam persekutuan dengan penawaran dari sisi tiap-tiap pasar
untuk menentukan tingkat harga dan hasil dari masing-masing pasar produk.
PERILAKU PASAR
Menurut Imam Ibnu Taimiyah dalam kitab “Majmu fatawa", perilaku atau etika
yang harus diperhatikan bagi seorang penjual atau merupakan prinsip-prinsip pasar
yang efisien, antara lain:
1. Dilarang Menipu
Segala praktek kecurangan, termasuk penipuan dilarang dalam Islam. Hal ini
sesuai hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan Muslim di mana Rasulullah
SAW pernah melewati sebuah wadah berisi makanan, lantas beliau memasukkan
tangan beliau ke dalamnya, ternyata jari-jari beliau menyentuh sesuatu yang basah.

Kemudian beliau bertanya, “Apakah ini, wahai pemilik makanan? Pemilik
makanan menjawab, “Terkena air hujan, wahai Rasulullah”. Beliau mengatakan,
”Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian atas agar dapat dilihat orang
lain. Barang siapa yang mencurangi kami, maka ia bukan golongan kami”. (H.R.
Muslim).

Praktek kecurangan tersebut antara lain menyembunyikan barang cacat,
mengurangi timbangan, ukuran dan sebagainya. Jika penjual bertindak curang
terhadap timbangannya, ukuran, jenis, dan nilai maka pengaruhnya terhadap
pembeli adalah: daya beli pembeli berkurang dan meningkatkan nilai jual barang
yang dibeli bila ia jual kembali.
2. Akad-Akad Illegal
Termasuk pula kemungkaran yang dilarang Allah dan RasulNya dalam
perilaku pasar ialah akad-akad yang diharamkan. Akad-akad tersebut antara lain:
a. Akad yang mengandung riba, riba dapat berupa riba nasi’ah, riba fadhl
b. Akad yang mengandung perjudian,
c. Jual-beli yang mengandung gharar (dengan tipu daya), misalnya menjual anak
hewan yang masih berada dalam kandungan,
d. Mulamasah, yaitu jual beli zaman jahiliyah yaitu dengan cara meraba-raba
barang dagangan.

e. Munabazah, yaitu jual beli dengan cara melempar barang dagangan dengan
kerikil, di mana kerikil jatuh maka dagangan yang kejatuhan kerikil harus
dibeli.
f. Jual beli najsy, yaitu meninggikan barang dagangan yang dilakukan orang
yang tidak ingin membelinya, menjual air susu yang sengaja belum diperah
(hingga tampak banyak) dan segala macam pemalsuan.
g. Tsuna’niyah atau tsulatsiyyah, jika tujuan semuanya adalah mengambil dirham
dengan dirham yang lebih banyak darinya sampai masa tertentu. Sedangkan
tsuna’niyah ialah apa yang terjadi antara dua hal. Misalnya menggabung antara
utang dan jual beli, sewa menyewa, sebagaimana sabda Nabi SAW: “tidak
halal utang sekaligus jual-beli, tidak boleh ada dua syarat dalam jual beli, tidak
boleh mengambil keuntungan sesuatu yang tidak dijamin, dan tidak boleh
menjual apa yang bukan milikmu” (H.R. Tirmizi). Tsulatsiyyah, misalnya: dua
orang yang mengangkat di antara keduanya “muhalil” (seorang penghalal)
riba,

darinya

“pemakan


riba”

membeli

barang,

kemudian

ia

mengembalikannya kepada pemiliknya dengan mengurangi beberapa rupiah
sebagai imbalan bagi muhalil.

3. Mencegat Barang Sebelum Sampai di Pasar
Produsen dilarang mencegat pedagang di pinggir kota, demi mendapatkan
keuntungan dari ketidaktahuan penjual dari satu kota terhadap harga yang berlaku
di kota lain. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW: "Janganlah kamu cegat (jemput
kafilah sebelum sampai di kota). Barang siapa dicegat lalu dibeli daripadanya
sesuatu, maka apabila yang empunya barang itu datang ke pasar, ia berhak
khiyar (hak menentukan jadi atau batalnya penjualan)” (H.R. Muslim dari Abu

Hurairah).
Bila pencegatan dilakukan masyarakat kota terhadap masyarakat desa akan
menimbulkan kesenjangan pendapatan antara penduduk desa dan kota.
Daya beli masyarakat desa akan berkurang terhadap produksi masyarakat
kota. Akhirnya masyarakat desa akan mengalami perlambatan peningkatan
kesejahteraan ekonomi dibandingkan penduduk kota.
4. Dilarang Menimbun Barang
Penimbun adalah orang yang sengaja membeli bahan makanan yang
dibutuhkan manusia, lalu ia menahannya dan bermaksud untuk mendongkrak
harga jualnya terhadap mereka. Hal semacam ini merupakan bentuk kezhaliman.
Segala bentuk penimbunan dilarang dalam Islam, karena menyebabkan terjadinya
kelangkaan barang di pasar, sehingga harga-harga mengalami kenaikan.
Rasulullah SAW bersabda, “Ia yang menimbun adalah orang yang berdosa” (H.R
Muslim dalam sahihnya). Penimbunan barang adalah halangan terbesar dalam
pengaturan persaingan dalam pasar Islam. Hal tersebut dikarenakan pengaruhnya
terhadap jumlah barang yang tersedia dari barang yang ditimbun, di mana
beberapa pedagang memilih untuk menahan barang dagangannya dan tidak
menjualnya karena menunggu naiknya harga. Perilaku ini mempunyai pengaruh
negatif dalam fluktuasi kemampuan persediaan dan permintaan barang (Al Haritsi,
2008).

Demikian juga kenaikan harga barang yang tak berkaitan secara langsung
dengan barang-barang yang ditimbun, mengakibatkan harga barang lain juga akan

naik. Sehingga tingkat konsumsi masyarakat akan menurun, dan pada gilirannya
akan mengurangi tingkat produksi (Ibnu Oudamah, 1997). Imam Ahmad
meriwayatkan dalam musnadnya dari Umar r.a bahwa beliau pernah keluar ke
masjid, kemudian di tengah jalan beliau melihat bahan makanan yang berserakan
untuk dijemur. “Makanan apa ini?” tanya Umar. “Makanan yang sudah kami
kumpulkan”, jawab mereka. “Semoga Allah memberkahi makanan ini dan juga
pengepulnya”, kata Umar mendoakannya. Kemudian Amirul Mukminin diberitahu
bahwa makanan itu hendak ditimbun. ’’Wahai Amirul Mukminin, ia hendaknya
menimbun bahan makanan tersebut”, tutur salah seorang dari mereka kepada
Umar. ’’Siapa penimbunnya?” tanya Umar kepada mereka. ’’Farukh, seorang
bekas budak Utsman dan si Fulan bekas budak Umar,” jawab mereka. Akhirnya
Umar mengirim utusan untuk menemui dan memangil mereka, untuk menghadap
Umar. ”Apa yang mendorong kalian menimbun bahan makanan umat Islam?”
tanya Umar kepada mereka. Jawab mereka, ’’Wahai Amirul Mukminin, kami
membeli dengan modal kami sendiri kemudian kami jual . Aku pernah mendengar
Rasulullah SAW bersabda, ’’Barang siapa menimbun bahan makanan umat Islam
yang akan menjadikan umat Islam sengsara, maka Allah akan membuatnya

bangkrut atau terserang penyakit kusta”, tutur Umar kepada mereka. ’’Wahai
Amirul Mukminin, saya berjanji kepada Allah dan juga kepada tuan, bahwa kami
tidak akan mengulanginya lagi untuk selamanya”, kata Farukh menyesali
perbuatannya. Sementara bekas budak Umar tidak mau bertobat dari
perbuatannya. ’’Sesungguhnya kami membeli dengan modal kami sendiri, dan
kami akan menjualnya,” tutur bekas budak Umar itu tanpa menyesal. Abu Yahya
(perawi hadits ini) berkata,” Aku melihat bekas budak Umar akhirnya terserang
penyakit kusta.”
5. Monopoli Perdagangan
Monopoli perdagangan adalah penjual membuat komitmen agar yang
menjual bahan makanan atau lainnya hanya kepada orang-orang tertentu yang
sudah dikenal. Barang-barang itu tidak dijual selain kepada mereka, kemudian

mereka menjualnya, seandainya ada orang lain menjualnya, maka dilarang. Ini
bisa merupakan kezhaliman terhadap tugas dan wewenang penjual yang dilarang
dalam Islam.
HARGA KESEIMBANGAN DALAM ISLAM
Masalah harga atau lebih tepatnya harga keseimbangan sangat menentukan
keseimbangan perekonomian, sehingga hal ini pun telah dibahas dalam ekonomika
Islam. Dalam konsep ekonomi Islam, yang paling prinsip adalah harga ditentukan

oleh keseimbangan permintaan dan penawaran. Keseimbangan ini terjadi bila antara
penjual dan pembeli bersikap saling merelakan (ba’ena an-tarodim minkum).
Kerelaan ini ditentukan oleh penjual dan pembeli dalam mempertahankan
kepentingannya atas barang tersebut. Jadi, harga ditentukan oleh kemampuan penjual
untuk menyediakan barang yang ditawarkan kepada pembeli, dan kemampuan
pembeli untuk mendapatkan harga tersebut dari penjual.
Dalam sejarah Islam masalah penentuan harga dibebaskan berdasarkan
persetujuan khalayak masyarakat. Rasulullah SAW sangat menghargai harga yang
terjadi, karena mekanisme pasar yang bebas dan menyuruh masyarakat muslim untuk
mematuhi peraturan ini. Beliau menolak untuk membuat kebijakan penetapan harga
manakala tingkat harga di Madinah pada saat itu tiba-tiba naik. Sepanjang kenaikan
terjadi karena kekuatan permintaan dan penawaran yang murni dan wajar, yang tidak
dipaksa atau tekanan pihak tertentu (tekanan monopolistik dan monopsonistik), maka
tidak ada alasan untuk tidak menghormati harga pasar. Khalifah Umar bin Khattab
juga melarang mematok harga karena
Rasulullah SAW melarang mematok harga. Diriwayatkan oleh Ashhaabus
Sunan, dari Anas r.a„ ia berkata, “Orang-orang bertanya kepada Rasulullah SAW,
wahai Rasulullah SAW, Wahai Rasulullah, harga semakin melambung tinggi, maka
hendaknya Tuan mematok harga untuk kami.” Maka Rasulullah menjawabnya,
"Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Menentukan harga, Yang Menggenggam

dengan tidak memberi, Yang Memberi, Yang mengaruniai rezeki. Sesungguhnya aku
berharap agar Allah yang memberi (patokan), dan bukan salah seorang di antara

kalian yang memintaku agar aku berbuat zalim baik terhadap darah (nyawa)
maupun harta benda”.
Demikian juga penentuan tarif oleh negara juga tidak dibenarkan menurut
pandangan

Islam,

namun pasar harus

dihilangkan

dari berbagai

distorsi

(penyimpangan pasar) seperti monopoli, oligopoli, kartel, konglomerasi dan
sebagainya. Untuk semua kebutuhan, tidak boleh ada penentuan tarif, dan tidak boleh

ada distorsi pasar. Angkutan umum, baik darat, laut dan udara tidak boleh ditetapkan
tarifnya namun tidak boleh ada distorsi pasar. Demikian juga semua barang dan jasa
baik bersifat pokok, maupun sekunder tidak boleh ditentukan tarif dan tidak boleh ada
distorsi pasar. Harga harus tetap merupakan kerelaan kedua belah pihak baik dia
bernilai sama dengan barangnya ataupun kesepakatan itu di bawah nilainya ataupun
berada di atas nilai sebenarnya.
Akan tetapi apabila para pedagang sudah menaikkan harga di atas batas
kewajaran, mereka itu telah berbuat zalim dan sangat membahayakan umat manusia,
maka seorang penguasa (pemerintah) harus campur tangan dalam menangani
persoalan tersebut dengan cara menetapkan harga standar. Dengan maksud untuk
melindungi hak-hak orang lain, mencegah terjadinya penimbunan barang dan
menghindari dari kecurangan para pedagang. Inilah yang pernah dilakukan Umar bin
Khattab.
Abdurrazaq meriwayatkan dalam al-Mushnaf, Ib.nu Hazm dalam al-Muhalla
dan Malik dalam al Muwatha ’bahwa Umar pernah lewat di depan Hathib bin Abi
Baltha’ah yang sedang berada di pasar al Mushalla. Di depan pedagang ini terdapat
dua karung anggur kering. “Bagaimana engkau menjualnya wahai Hathib? tanya
Umar kepada Hathib.” Dua nya seharga satu dirham, jawab Hathib. Maka Umar
berkata, ’’Sungguh telah tiba serombongan unta yang datang dari Thaif dengan
membawa anggur kering. Anda telah mematok harga standar dan mereka

mengikutinya. Kalian (para pedagang) telah membeli dari rumah-rumah penduduk
kami, kalian menghancurkan kami, sementara pasar ini pasar kami, tapi kalian telah
memenggal leher kami, kalian menjualnya semau kalian? Juallah satu sha-nya (empat

mud) dengan harga satu dirham, kalau tidak janganlah berdagang di pasar kami.
Berjalanlah di muka bumi ini dengan mengais barang dagangan sebagaimana
tengkulak (al jaalib) yang tidak punya kios di pasar, kemudian juallah sesuai cara
kalian sendiri”, tutur Umar (Al Haritsi, 2008).
Dalam hal ini Umar bin Khattab selaku pemegang kekuasaan tertinggi ikut
campur tangan dalam menangani masalah harga pasar, dengan menentukan harga
wajar yang tidak merugikan para pedagang dan tidak pula memberatkan para
konsumen. Sedangkan membubungnya harga pada masa peperangan atau pada saat
terjadinya krisis politik disebabkan oleh pasokan barang tersebut di pasaran yang
tidak mencukupi, atau adanya penimbunan barang dan kelangkaan barang tersebut.
Apabila tidak adanya barang tersebut karena penimbunan, maka pemerintah berhak
menahan pelaku penimbunan tersebut. Sedangkan kalau akibat kelangkaan barang,
maka pemerintah diharuskan mengadakan pengadaan barang yang langka tersebut.
Pada masa Umar bin Khattab pernah terjadi masa paceklik yang terjadi hanya di
Hijaz. sebagai akibatnya, bahan makanan sangat langka. Karena itu pula, harga
makanan membumbung tinggi. Untuk mengatasinya, khalifah Umar bin Khatab tidak

mematok harga tertentu untuk makanan, serta mengirim dan mensuplai makanan dari
Mesir dan dari Syam ke Hijaz, sehingga berakhirlah kondisi krisis tersebut.
Para ulama dari mazhab terkenal, yaitu Hambali dan Syafi'i, menyatakan bahwa
pemerintah tidak mempunyai hak untuk menetapkan harga. Ibnu Oudamah AlMaqdisi adalah salah seorang ulama bermazhab Hambali menulis bahwa Imam
(pemimpin pemerintah) tidak memiliki wewenang untuk mengatur harga bagi
penduduk (Abdullah Mustofa al Maraghi, 2001 dalam Sudarsono, 2004). Penduduk
boleh menjual barang-barang mereka dengan harga berapa pun yang mereka sukai.
Ibnu Oudamah beralasan dari hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a. yang
mengatakan: bahwa ada seorang laki-laki datang lalu berkata, "Wahai Rasulullah
SAW tetapkanlah harga ini, maka beliau menjawab: tidak justru biarkanlah saja’’
kemudian beliau didatangi oleh laki-laki yang lain mengatakan, wahai Rasululah

SAW, tetapkanlah harga ini, maka beliau menjawab, "tidak tetapi Allah-lah yang
berhak menurunkan dan menaikkan".
Ibnu Oudamah mengutip hadits di atas dan memberikan dua alasan tidak
diperkenankannya mengatur harga (A.A Islahi, 1997):
1. Rasulullah SAW tidak pernah menetapkan harga, meskipun penduduk
menginginkannya. Bila itu diperbolehkan pasti Rasulullah akan melaksanakannya.
2. Menetapkan harga adalah suatu ketidakadilan (dhalim) yang dilarang. Ini
melibatkan hak milik seseorang di dalamnya. Setiap orang memiliki hak untuk
menjual pada harga berapa pun: asal ia sepakat dengan pembeliannya.
Ibnu Qudamah menganalisis penetapan harga dari pandangan ekonomis, yang
juga mengindikasikan tidak menguntungkan bentuk pengawasan atas barang. Harga
yang

tinggi,

pada

umumnya

bermula

dari

situasi

meningkatnya

permintaan/menurunnya pengawasan. Pengawasan harga hanya akan memperburuk
situasi tersebut. Harga yang rendah akan mendorong permintaan baru atau
meningkatkan permintaan, juga akan mengecilkan hati para importir untuk
mengimpor barang tersebut. Pada saat yang sama akan mendorong produksi dalam
negeri mencari pasar luar negeri/menahan produksinya, sampai pengawasan harga
secara lokal itu dilarang. Akibatnya, akan terjadi kurangnya pengawasan. Tuan rumah
akan dirugikan akibat kebijakan itu dan perlu membendung berbagai usaha untuk
membuat regulasi harga.
Namun demikian, dalam ekonomi Islam terbentuknya harga keseimbangan
pasar (equilibrium price) mempertimbangkan beberapa hal:
1. Bentuk pasar di dalam ekonomi Islam yang ideal adalah pasar persaingan
sempurna
Pasar persaingan sempurna adalah pasar di mana kondisi pasar yang
kompetitif dan terbuka mendorong segala sesuatunya menjadi persaingan sehat
dan adil, suka sama suka (ba’ena an-tarodim minkum), hal ini sesuai dengan
firman Allah SWT dalam surat An Nisaa ayat 29: “Hai orang-orang yang
beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang

batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di
antara kamu".
Semakna dengan suka sama suka adalah sama-sama merelakan keadaan
masing-masing diketahui oleh orang lain, berarti produsen dan konsumen
mengetahui secara langsung kelebihan dan kelemahan dari barang yang ada di
pasar, maka menjadikan semua pihak mendapatkan kepuasan. Bila produsen
menjual produknya secara tidak terbuka maka masyarakat akan merasa kurang
puas, sehingga konsumen akan memilih produsen yang lain.
2. Dilarang Melakukan Ikhtar
Dalam ekonomi Islam, siapa pun boleh berbisnis. Namun demikian, dia
tidak boleh melakukan ikhtar, yaitu mengambil keuntungan di atas keuntungan
normal dengan menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi. Dalam
membahas harga pasar, seorang ulama salaf yaitu Ibnu Taimiyah mencatat
beberapa faktor yang berpengaruh terhadap permintaan dan penawaran terhadap
harga (dalam Islahi, 1997).
a. Keinginan masyarakat (Ar-roghbah) atas suatu jenis barang mempunyai sifat
berbeda-beda.
b. Perubahan jumlah barang tergantung pada jumlah para peminta. Jika jumlah
suatu jenis barang yang diminta masyarakat meningkat, harga akan naik dan
sebaliknya jika jumlah permintaannya menurun.
c. Hal itu juga akan berpengaruh atas menguatnya/melemahnya tingkat
kebutuhan atas barang karena meluasnya jumlah dan ukuran dari kebutuhan.
d. Harga yang berubah-ubah sesuai dengan (kuantitas pelanggan) siapa saja
pertukaran barang itu dilakukan (la-mu’awid).
e. Harga itu dipengaruhi juga oleh bentuk pembayaran (uang) yang digunakan
dalam jual beli, jika yang digunakan umum dipakai (naqd ra'ji), harga akan
lebih rendah ketimbang jika membayar dengan uang yang jarang ada di
peredaran.

f. Disebabkan oleh tujuan dari kontrak adanya (timbal balik) pemilikan oleh
kedua pihak yang melakukan transaksi, jika si pembayar mampu melakukan
pembayaran dan diharapkan mampu memenuhi janjinya, tujuan dari transaksi
itu bisa diwujudkan dengannya.

PENGAWASAN HARGA KESEIMBANGAN
Sebagaimana pembahasan awal, pada dasarnya harga diserahkan kedua belah
pihak antara penjual dan pembeli sebagaimana keterangan di awal. Namun dalam
keadaan tertentu, penentuan harga oleh yang berwenang bisa dijalankan. Penentuan di
sini bermakna pengaturan atau pengawasan (kontrol) harga supaya terjadi
keseimbangan. Sebagaimana yang terjadi pada khalifah Umar yang memiliki
perhatian besar dalam mengikuti perkembangan harga dan mengawasinya. Ketika
datang utusan kepadanya, maka dia bertanya tentang keadaan mereka dan hargaharga pada mereka. Tidak diragukan lagi bahwa tingkat harga dianggap sebagai
indikasi terbesar tingkat mata pencaharian, karena dia mempunyai pengaruh terhadap
nilai mata uang. Bahkan naiknya harga merupakan indikasi terbesar Inflasi, di mana
ketika terjadi inflasi, harga-harga meningkat secara tajam. Hal tersebut menyebabkan
berkurangnya nilai mata uang. Inflasi merupakan penyakit ekonomi yang berbahaya
yang bisa menghalangi langkah pertumbuhan ekonomi atau memberhentikan sama
sekali langkah tersebut (Al Haritsi, 2008).
Pengaturan harga diperlukan bila kondisi pasar tidak menjamin adanya
keuntungan di salah satu pihak, jadi sebatas intervensi oleh pemerintah so!ampat.
Pemerintah harus mengatur harga, misalnya bila ada kenaikan harga baung di atas
batas kemampuan masyarakat, maka pemerintah melakukan pengaturan dengan
operasi pasar. Sedangkan, bila harga terlalu turun sehingga merugikan produsen,
pemerintah meningkatkan pembelian atas produk produsen tersebut dari pasar. Peran
pemerintah tersebut berlaku di saat ada masalah masalah yang ekstrem sehingga
pemerintah perlu memantau kondisi pasar setiap saat guna melihat kemungkinan
diperlukannya pengaturan harga.
Dalam konsep ekonomi Islam, cara pengendalian harga ditentukan oleh
penyebabnya. Bila penyebabnya adalah perubahan pada permintaan dan penawaran,
maka mekanisme pengendalian dilakukan melalui intervensi pasar, sedangkan bila
penyebabnya adalah distorsi terhadap permintaan dan penawaran, maka mekanisme

pengendalian dilakukan melalui penghilangan distorsi termasuk penentuan harga
untuk mengendalikan harga pada keadaan sebelum distorsi. Intervensi pasar menjadi
sangat penting dalam menjamin pengadaan barang kebutuhan pokok. Dalam keadaan
kekurangan barang kebutuhan pokok, pemerintah dapat membuat aturan supaya
pedagang yang menahan barangnya untuk dijual ke pasar.
Bila daya beli masyarakat lemah pemerintah dapat membuat kebijakan supaya
produsen meningkatkan output produksi guna meningkatkan jumlah barang
kebutuhan pokok di pasar. Dalam hal ini pemerintah juga dapat membentuk lembaga
logistik guna menjaga supaya produsen dan konsumen tidak dirugikan oleh naik
turunnya harga. Dalam keadaan nilai uang yang tak berubah, kenaikan
harga/penurunan harga semata-mata ditentukan oleh kekuatan penawaran dan
permintaan. Harga suatu barang dapat saja dinaikkan, namun bila tidak terjangkau
harganya oleh masyarakat, harga barang tersebut akan turun kembali. Intervensi pasar
tidak selalu diartikan pemerintah menambah jumlah ketersediaan barang.
Sedangkan menurut Karim (2001) kebolehan intervensi harga antara lain
karena:
1) intervensi harga menyangkut kepentingan masyarakat,
2) apabila kondisi menyebabkan perlunya intervensi harga, karena jika tidak
dilakukan intervensi harga, penjual menaikkan harga dengan cara
ikhtikar/ghaban faa hisy,
3) pembeli biasanya mewakili masyarakat kelompok masyarakat yang lebih
kecil. Artinya investigasi harga harus dilakukan secara proporsional dengan
melihat kenyataan tersebut.

Rangkuman
Prinsip-prinsip pasar efisien antara lain: 1) tidak menipu, 2) tidak ada akad-akad
ilegal, 3) mencegat barang sebelum sampai di pasar, 4) dilarang menimbun barang, 5)
tidak ada monopoli perdagangan.
Akad-akad yang diharamkan tersebut antara lain: 1) akad yang mengandung
riba, 2) akad yang mengandung perjudian, 3) jual-beli yang mengandung gharar
(dengan tipu daya), 4) mulamasah, 5) munabazah, 6) najsy serta tsuna’niyah atau
tsulatsiyyah.
Dalam konsep ekonomi Islam, yang Peking prinsip adalah harga ditentukan
oleh keseimbangan permintaan dan penawaran.keseimbangan ini terjadi apabila
penjual dan pembeli bersikap saling merelakan (ba’ena an-ttarodim minum).
Kerelaan ini ditentukan oleh penjual dan pembeli dalam mempertahankan
kepentingannya atas barang tersebut. Jadi, harga ditentukan oleh kemampuan penjual
untuk menyediakan barang yang ditawarkan kepada pembeli, dan kemampuan
pembeli untuk mendapatkan harga tersebut dari penjual.
Pada dasarnya harga diserahkan kedua belah pihak antara penjual dan pembeli
sebagaimana keterangan di awal Namun,dalam keadaan tertentu penentuan harga
oleh yang berwenang bisa dijalankan dalam arti sebatas “pengawasan harga”.
Pengaturan harga diperlukan bila kondisi pasar tidak menjamin adanya keuntungan di
salah satu pihak, jadi sebatas intervensi oleh pemerintah setempat.