Konsep Dan Klasifikasi Ilmu Menurut al A

KONSEP DAN KLASIFIKASI ILMU MENURUT AL-‘A>MIRI>

Makalah Tugas Mata Kuliah Tensi Akal Dan Wahyu
Pengampu:
Prof. Dr. Zainun Kamal (Koordinator)
Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara
Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan
Prof. Dr. Amtsal Bachtiar

Oleh:
Ahmad Fadhil
NIM: 10.3.00.1.02.01.0012

Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2011 M./1432 H.
0

Pendahuluan
Al-‘Amiri (w. 381 H./992 M.) adalah filsuf Islam yang penting.
Karyanya al-I‘la>m bi Mana>qib al-Isla>m menahbiskannya sebagai

pelopor dalam kajian perbandingan agama. Karya-karyanya yang lain
yang sampai kepada kita, yang meliputi bidang-bidang metafisika,
akhlak, tasawuf, logika, dan fisika, menempatkan pemikir yang
dijuluki

Filsuf

Nishapur

atau

Filsuf

Khurasan

ini

pada

jajaran


terkemuka di antara para filsuf abad ke-4 Hijriyyah/ke-10 Masehi.1
Dia, seperti para filsuf Islam pendahulunya, al-Kindi dan alFarabi, juga para filsuf Islam setelahnya, Ibnu Sina, Ibnu Rushd, dan
Mulla Sadra menolak pandangan yang menyatakan agama berbeda
secara ekstrim dengan filsafat dan persoalan agama mesti dipisahkan
dari pembahasan filsafat agar tidak “ternodai” dan “tercemari”.
Usaha pemisahan ini dipandangnya tidak tepat karena filsafat
berhubungan erat dengan hakikat dan tujuan akhir kehidupan dan
karena dengan filsafat manusia dapat memberi arti dan menghayati
kehidupan, kebahagian, dan kesempurnaan hakiki.2
Perhatian

utama

al-‘Amiri

adalah

membela


Islam

secara

rasional di hadapan orang-orang yang mengambil sikap filosofis yang
independen dari wahyu, juga di hadapan orang memusuhi filsafat
atas nama tradisi agama. Seperti ajaran al-Kindi yang dianutnya,3
al-‘Amiri berusaha mengharmonisasi filsafat dengan agama dengan

1

Al-Insa>n fi al-Falsafah al-Isla>miyyah Dira>sah Muqa>ranah fi> Fikr
al-‘A>miri>, Mona Ahmad Abu Zayd, Beirut: al-Mu’assasah al-Jami‘iyyah li al-Dirasat
wa al-Nashr wa al-Tawzi‘, cet, I, 1414 H./1994 M., h. 7; Rasa>’il Abi> al-Hasan
al-‘A>miri> wa Shadhara>tuh al-Falsafiyyah Dira>sah wa Nus}u>s}, Sahban
Khalifat, Amman: Manshurat al-Jami‘ah al-Urduniyyah, 1988, h. 5, 20; Kita>b alI‘la>m bi Mana>qib al-Isla>m li Abi> al-Hasan al-‘A>miri> Tahqi>q wa Dira>sah
fi> Muqa>ranah al-Adya>n, Ahmad ‘Abd al-Hamid Ghurab, Riyad: Mu’assasah Dar
al-Asalah li al-Thaqafah wa al-Nashr wa al-I‘lam, cet. I, 1408 H./1988 M., h. 5.
2
Relasi

Agama
Dan
Filsafat,
Muhammad
Adlani,
http://telagahikmah.org/id/index.php?
option=com_content&task=view&id=93&Itemid=44, diakses pada hari Sabtu, 25
Juni 2011.
3
The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, Peter Adamson dan
Richard C. Taylor (ed.), Cambridge: Cambridge University Press, cet. I, 2005, h. 51,
footnote no. 33.
1

menunjukkan bahwa kesimpulan filsafat yang benar tidak mungkin
bertentangan dengan kebenaran yang diajarkan oleh agama Islam.4
Tulisan ini akan membuktikan hal tersebut dengan cara
memaparkan pandangan al-‘Amiri tentang klasifikasi ilmu. Karena
figur al-‘Amiri relatif belum terlalu dikenal, maka di bagian awal
tulisan ini penulis akan memaparkan biografi al-‘Amiri. Selanjutnya

penulis akan memaparkan gagasan al-‘Amiri tentang ilmu dan
terakhir penulis akan memaparkan gagasan al-‘Amiri tentang ilmu
relijius dan ilmu filosofis.
Biograf
Nama, keluarga, dan latar belakang budaya
Nama lengkap al-‘Amiri adalah Abu al-Hasan Muhammad bin
Abu Dharr Yusuf al-‘Amiri al-Naysaburi. Tapi, menurut Mona Abu Zayd,
panggilan al-‘Amiri adalah Abu Muhammad. 5 Al-‘Amiri lahir di kota
Nishapur pada awal abad ke-4 dan menghabiskan hidupnya dengan
kegiatan

keilmuan,

baik

berupa

mengajar,

menulis,


maupun

mengadakan rihlah ilmiah ke kota-kota besar budaya Islam pada
masanya terutama Baghdad, Rayy, dan Bukhara. Periode paling
produktif dalam hidupnya adalah saat dia tinggal di Rayy dan
Bukhara. Dia meninggal di kota kelahirannya pada tanggal 27
Shawwal 381 H./6 Januari 992 M..6
Ayahnya adalah Abu Dharr Muhammad bin Yusuf yang menjadi
menteri bagi Nuh al-Hamid bin Nasr al-Sa‘id bin Ahmad al-Shahid bin
4

‘Al-Amiri Abu’l Hasan Muhammad ibn Yusuf (d. 992), Tom Gaskill,
http://www.muslimphilosophy.com/ip/rep/H041, diakses pada hari Minggu, 19 Juni
2011.
5
Al-Insa>n fi al-Falsafah al-Isla>miyyah Dira>sah Muqa>ranah fi> Fikr
al-‘A>miri>, h. 7.
6
Kita bisa mengetahui biografi al-‘Amiri berkat penuturan al-Shahrastani alMilal wa al-Nihal, Abu Hayyan al-Tawhidi baik di dalam al-Imta>‘ wa al-Mu’a>nasah

maupun al-Muqa>basat, al-Miskawayh di dalam al-Hikmah al-Kha>lidah. Lihat: AlI‘la>m bi Mana>qib al-Isla>m, h. 7. Lihat juga: History of Islamic Philosophy, Henry
Corbin, London dan New York: Paul Kegan Internasional, h. 165-166; Peter S. Groff,
Islamic Philosophy A-Z, Edinburg: Edinburg University Press Ltd, 2007, h. 13-14.
2

Isma‘il bin Ahmad, Penguasa Khurasan dari Dinasti al-Samaniyyin.
Penguasa dari Dinasti al-Samaniyyin terkenal sebagai orang-orang
yang

mencintai

ilmu

dan

diskusi,

menghormati

para


ulama,

mengadakan majlis-majlis diskusi di setiap malam pada bulan
Ramadan

di

mengajukan

mana

para

masalah,

lalu

penguasa
para


memulai

ulama

diskusi

dengan

menjawabnya.

Mereka

cenderung pada mazhab Abu Hanifah dan memilih ulama paling faqih
dan paling wara sebagai rujukan bagi putusan-putusan mereka
sampai-sampai bila ulama itu meninggal maka masyarakat pun
“bertaruh” bahwa “Si B” akan menjadi penggantinya karena Si B
adalah ulama mazhab Hanafi yang paling faqih dan wara.7
Para penguasa Samaniyyin bersikap terbuka terhadap para
penganut ideologi yang berbeda-beda sehingga Khurasan pada masa

mereka menjadi tempat yang kondusif bagi perkembangan ilmu
hadits, fiqih, tafsir, teologi (al-Maturidiyyah dan al-Isma‘iliyyah).
Kondisi ini, juga maraknya diskusi-diskusi ilmiah pada masa itu,
mempengaruhi struktur filosofis al-‘Amiri.8
Khurasan,

tempat

lahir

dan

wafatnya

al-‘Amiri,

menurut

Khalifat, adalah wilayah yang mampu menandingi Irak dalam hal
menghasilkan banyaknya penghapal al-Quran, penafsir, ahli hadith,

ahli fiqih, ahli bahasa, penyair, sasterawan, teolog tentang agama
Kristen, Yahudi, dan Majusi, pembela berbagai aliran teologi Islam
baik yang moderat maupun yang ekstrim sehingga wilayah ini
disebutnya bergejolak dengan gerakan keilmuan dalam berbagai
bidang. Dari wilayah inilah muncul, selain al-‘Amiri, filsuf-filsuf besar
seperti Abu Zayd al-Balkhi, Abu Tammam al-Naysaburi, Abu Sulayman
al-Mantiqi al-Sijistani, Ibnu al-Khammar, al-Badihi, Abu al-Qasim alAntaqi, Miskawayh, Abu al-Farj bin Hindu, Ibnu Sina, dan lain-lain.
Kota-kotanya seperti Bukhara, Samarkand, Nishapur, dan Balkh
adalah pusat-pusat keilmuan.9
7
8
9

Al-I‘la>m bi Mana>qib al-Isla>m, h. 20-21.
Al-I‘la>m bi Mana>qib al-Isla>m, h. 21.
Rasa>’il Abi> al-Hasan al-‘A>miri>, h. 31.
3

Berdasarkan keterangan dari Mona Ahmad Abu Zayd, Al-‘Amiri
bertemu dengan Abu Zayd al-Balkhi di kota Shamsatiyan dan berguru
kepada al-Balkhi dalam ilmu-ilmu rasional sampai al-Balkhi wafat. Lalu
al-‘Amiri pergi ke Bukhara dan selanjutnya ke wilayah al-Shami,
tempat dia belajar Ilmu Kalam kepada Abu Bakar al-Qaffal. Di wilayah
ini, al-‘Amiri berhubungan dengan banyak ulama dan penguasa, serta
memanfaatkan

perpustakaan-perpustakaan

yang

kelak

akan

dimanfaatkan juga oleh Ibnu Sina. Lalu, dia kembali ke Nishapur pada
tahun 343 H..10 Pada tahun 353 H., dia pergi ke Rayy dan tinggal di
sana selama 5 tahun.11
Pada tahun 360 H., al-‘Amiri pergi ke Baghdad untuk pertama
kalinya. Di Baghdad dia dikejutkan dengan sambutan yang tidak
hangat oleh para pemikir dan filsuf Madrasah Filsafat Baghdad
(Madrasah Yahya bin ‘Adi). Dia tinggal di Baghdad selama beberapa
bulan, lalu pergi. Tapi, dia kembali lagi dengan ditemani Dhu alKifayatayn Ibnu al-‘Amid dan menghadiri majlis-majlis diskusi yang
diselenggarakan oleh Ibnu al-‘Amid dan hasil-hasilnya dicatat oleh alTawhidi, Miskawayh, dan al-Sijistani. Setelah Dzu al-Kifayatayn
terbunuh, al-‘Amiri kembali ke Nishapur, dan tinggal di sana setahun
atau lebih. Pada tahun 368 H., dia pergi ke Bukhara dan tinggal di
sana selama beberapa lama. Lalu, dia kembali lagi ke Nishapur dan
tinggal di tanah kelahirannya itu sampai wafat pada tahun 381 H..12
Al-‘Amiri memiliki banyak murid dan teman, seperti Abu alQasim al-katib, Ibnu Maskuyah yang mengutipnya dalam buku
Jawidan Kharad,13 Abu Hayyan al-Tawhidi yang mengutipnya dalam
10

Al-Insa>n fi al-Falsafah al-Isla>miyyah Dira>sah Muqa>ranah fi> Fikr
al-‘A>miri>, h. 7-8.
11
Al-Imta>’ wa al-Mu’a>nasah, jld. I, Abu Hayyan al-Tawhidi, (ed.) Ahmad
Amin dan Ahmad al-Zayn, Kairo: Dar Maktabar al-Hayah li al-Tiba‘ah wa al-Nashr, h.
36.
12
Al-Insa>n fi al-Falsafah al-Isla>miyyah Dira>sah Muqa>ranah fi> Fikr
al-‘A>miri>, h. 7-8.
13
Dia adalah Miskawayh (w. 421 H./1030 M.). Nasr membacanya Muskuyah.
Dia adalah penulis buku Tahdhi>b al-Akhla>q). Lihat: Islamic Philosophy from its
Origin to the Present, Seyyed Hossein Nasr, New York: State University of New York
Press, 2006, h. 139.
4

banyak buku. Ibnu Sina pun mengutip beberapa perkataan al-‘Amiri
dalam Kitab al-Najat dan menginspirasi Afdal al-Din al-Kashani, filsuf
abad ke-7 H./13 M., murid Nasir al-Din al-Tusi. 14 Amin dan al-Zayn di
dalam suntingan mereka atas kitab al-Imta>‘ wa al-Mu‘a>nasah
mengatakan al-‘Amiri dan Ibnu Sina sering mengadakan diskusi dan
buku al-Ajwibah li Su’a>la>t Ibnu Sina ditulisnya untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh al-‘Amiri.15
Corak Pemikiran
Beberapa

orang

yang

sezaman

dengan

al-‘Amiri

menggolongkan al-‘Amiri sebagai orang yang lebih mengutamakan
filsafat daripada syariat dan lebih mengutamakan filsuf daripada nabi
seperti al-Maqdisi, Ikhwan al-Safa, Abu Zayd al-Balkhi, Abu Tammam
al-Naysaburi,

dan

lain-lain.

Mu’a>nasah

pada

diskusi

Di

dalam

malam

kitab

ke-17

al-Imta>‘

al-Tawhidi

wa

al-

mengutip

perdebatan al-Hariri dengan al-Maqdisi. Al-Hariri mengecam al-‘Amiri
akibat pandangannya yang membuat marah sebagian orang. Al-Hariri
berkata:
Pandangan yang sama (mengutamakan filsafat atas
syariah) dilontarkan oleh al-‘Amiri. Akibatnya, dia terusir
dari satu kota ke kota lainnya. Darah dan nyawanya
terancam. Terkadang dia berlindung di istana Ibnu
al-‘Amid, terkadang kepada Panglima Nishapur, dan
terkadang dia menjilat orang awam dengan menulis
buku-buku yang membela Islam. Tapi, meskipun
demikian, dia tetap dituduh atheis, menyatakan
kekadiman alam, serta bercerita tentang hayula, forma,
waktu, dan tempat, serta omong kosong lainnya yang
tidak disebut Allah di dalam kitab-Nya, tidak diajarkan
oleh Rasul-Nya, dan tidak populer di kalangan umatNya.16
Corak filosofis dalam pemikiran al-‘Amiri memang tidak dapat
dipungkiri. Khalifat menggolongkan al-‘Amiri sebagai Neo-Platonis
14

History of Islamic Philosophy, Henry Corbin, London dan New York: Paul
Kegan Internasional, h. 166.
15
Al-Imta>’ wa al-Mu’a>nasah, jld. I, h. 36, footnote no. 1.
16
Al-Imta>’ wa al-Mu’a>nasah, jld. II, h. 15.
5

Muslim, sedangkan Ghurab memasukkannya ke dalam aliran filsafat
al-Kindi karena al-‘Amiri adalah murid filsuf dan ahli geografi terkenal,
yaitu Abu Zayd Ahmad bin Sahl al-Balkhi (w. 322 H./933 M.) dan alBalkhi adalah murid al-Kindi. Al-Balkhi adalah pakar dalam ilmu
Geografi. Pandangan-pandangannya dalam ilmu ini jelas berorientasi
Islami dengan konsep-konsep yang dia gali dari al-Quran. Di antara
murid al-Balkhi dalam ilmu Geografi adalah al-Muqaddas, al-Usturkhi,
dan Ibnu Hawqal yang terkenal sebagai pakar-pakar geografi muslim
pada abad ke-4. Al-‘Amiri, seperti gurunya, mengintegrasikan di
dalam dirinya ilmu-ilmu agama yang berbasis pada wahyu dengan
ilmu-ilmu filosofis yang berbasis pada akal. Dengan kata lain, dia
mengintegrasikan ilmu-ilmu Arab dan Islam dengan ilmu-ilmu dari
peradaban lain, terutama Yunani dan bangsa-bangsa kuno lainnya,
lalu membingkai ilmu-ilmu dari peradaban lain itu dengan perspektif
Islam.17
Nasr mengatakan bahwa saat di Baghdad Abu Sulayman alSijistani al-Mantiqi mengubah iklim filosofis kepada kajian-kajian
tentang logika, di Khurasan al-‘Amiri juga melakukan hal yang kurang
lebih

sama.

Dia

mengembangkan

ajaran-ajaran

al-Farabi

dan

menambahkan bagian tersendiri dari dirinya ke dalam filsafat Islam
dengan berusaha menggabungkan konsep-konsep Iran pra Islam ke
dalam pandangan filsafat politiknya.18 Di dalam al-Muqa>basa>t Abu
Hayyan al-Tawhidi mengatakan bahwa al-‘Amiri menguasai Filsafat
Yunani, bergelut dengan buku-buku Aristoteles, dan telah memberikan
komentar atas beberapa buku tersebut.19
Al-Tawhidi juga memuji al-‘Amiri. Ketika ditanya tentang buku
Inqa>dh al-Bashar min al-Jabr wa al-Ikhtiya>r dia mengatakan, “Aku
sudah melihat buku itu dalam bentuk tulisan tangannya. Aku tidak
membaca buku itu di hadapannya, tapi aku dengar Abu Hatim al-Razi
telah membaca buku itu di hadapannya. Buku itu sangat bagus.
17
18
19

Al-I‘la>m bi Mana>qib al-Isla>m, h. 8.
Islamic Philosophy from its Origin to the Present, h. 110.
Al-Imta>’ wa al-Mu’a>nasah, jld. I, h. 36, footnote no. 1.
6

Metode penulisannya kuat. Tapi, buku itu tidak membebaskan
manusia dari dilema jabr dan qadr karena masalah ini telah menjadi
objek perhatian semua peneliti dan pemikir.” 20
Karya
Berikut ini tabel yang menjelaskan judul, sumber penyebutan, isi, dan
kondisi aktual karya-karya al-‘Amiri.

No Nama buku
1
Al-Amad ‘ala> al-

Isi

Kondisi aktual
Telah disunting dan

Abad (On the

dipublikasikan oleh

Afterlife)

E.K. Rowson dalam A
Muslim Philosopher
on the Soul and Its
Fate: Al-‘Amiri’s
Kitab al-Amad ‘ala
al-Abad, New Haven,
CT: American
Oriental Society,

2

Al-Iba>nah ‘an

Perbandingan

‘Ilal al-Diya>nah

hukum ekonomi dan

1988.
Tidak ditemukan

pidana Islam
dengan hukum
masalah tersebut di
dalam agama3

Al-I‘la>m bi

agama lain.
Perbandingan

Telah dipublikasikan

Mana>qib al-

agama Islam

dengan judul Kita>b

Isla>m (An

dengan agama

al-I‘la>m bi

Exposition on the

Yahudi, Kristen,

Mana>qib al-Isla>m

Merits of Islam)

Majusi, Politheisme,

li Abi> al-Hasan

dan Sabi’ah baik

al-‘A>miri> Tahqi>q

20

Al-Imta>’ wa al-Mu’a>nasah, jld. I, h.222-223.
7

dalam bidang

wa Dira>sah fi>

akidah, ibadah,

Muqa>ranah al-

syariat, politik,

Adya>n, Ahmad

akhlak, sosial,

‘Abd al-Hamid

maupun budaya.

Ghurab, Riyad:
Mu’assasah Dar alAsalah li al-Thaqafah
wa al-Nashr wa alI‘lam, cet. I, 1408
H./1988 M. Bab
pertamanya telah
diterjemahkan ke
dalam bahasa
Inggris oleh F
Rosenthal dalam The
Classical Heritage of
Islam, Berkeley:
University of
California Press,
1973, 63-70. Bab 7
juga diterjemahkan
Rosenthal dalam
State and Religion
According to Abu lHasan al-‘Amiri,
Islamic Quarterly

4

Al-Irsha>d li

Syarat-syarat

Tas}hi>h al-

penafsiran al-Quran

I‘tiqa>d

serta perbandingan
ajaran tentang
kebangkitan dan
8

3:42-52.
Tidak ditemukan

alam akhirat dalam
agama Majusi,
Manicheisme,
Yahudi, dan Nasrani.
5

Al-Nusuk al-‘Aqli>
wa al-Tasawwuf

6

al-Milli>
Al-Itma>m li
Fad}a>’il al-

7

Ana>m
Al-Taqrîr li Awjuh

Aspek-aspek hikmah Telah disunting dan

al-Taqdi>r (The

Tuhan dalam

dipublikasikan oleh

Determination of

penciptaan dan

Sahban Khalifat

the Various

pengaturan alam

dalam bukunya

Aspects of

semesta.

Rasa>’il Abi> al-

Predestination)

Hasan al-‘A>miri>
wa Shadhara>tuh
al-Falsafiyyah
Dira>sah wa
Nus}u>s}, Amman:
Manshurat al-Jami‘ah
al-Urduniyyah, 1988,

8

Inqa>dh al-

Solusi bagi problem

h. 275-341.
Telah disunting dan

Bashar min al-

free will dalam

dipublikasikan oleh

Jabr wa al-Qadr

teologi dengan

Sahban Khalifat

(Deliverance of

menggunakan

dalam bukunya

Mankind from the

prinsip-prinsip

Rasa>’il Abi> al-

Problem of

Aristotelian.

Hasan al-‘A>miri>,

Predestination
9

h. 219-281.

and Free Will)
Al-Fusu>l alRabba>niyyah li

9

al-Maba>hith al10

Nafsa>niyyah
Fus}u>l alTa’addub wa
Fud}u>l al-

11

Ta‘ajjub
Al-Absha>r wa al-

12

Ashja>r
Al-Ifs}a>h wa al-

13

I>d}a>h
Al-‘Ina>yah wa al-

Tauhid dan kritik

Dira>yah

terhadap

Tidak ditemukan.

pandangan
Aristoteles tentang
Tuhan dan Hari
Akhir.
14

Al-Abha>th ‘an

Gambaran tentang

al-Ahda>th

isinya dijelaskan di
dalam Rasa>’il Abi>
al-Hasan
al-‘A>miri>, h. 468.

15
16

Istifta>h al-Naz}r
Al-Abs}a>r wa al-

Ilmu Optik.

Mubs}ar

Telah disunting dan
dipublikasikan oleh
Sahban Khalifat
dalam bukunya
Rasa>’il Abi> alHasan al-‘A>miri>,
h. 383-437.

17

Tahs}i>l al-

18

Sala>mah
Al-Tabs}i>r li

19

Awjuh al-Ta‘bi>r
Masa>’il wa
Rasa>’il al10

20

Waji>zah
Ajwibah alMasa>’il al-

21

Mutafarriqah
Sharh al-Us}u>l

22

al-Mant}iqiyyah
Tafa>sir alMus}annafa>t al-

23

T}abi>‘iyyah
Rasa>’il ila> alUmara>’ wa al-

24

Ru’asa>’
Al-Fus}u>l fi> al-

Akidah Islam

Telah disunting dan

Ma‘a>lim al-

dipublikasikan oleh

Ila>hiyyah

Sahban Khalifat
dalam bukunya
Rasa>’il Abi> alHasan al-‘A>miri>,

25

26

Kita>b al-

Uraian tentang

h. 345-379.
Tidak ditemukan.

Burha>n

hukum-hukum

Rasa>’il Abi> al-

logika

Hasan al-‘A>miri>, h

Sharh Kita>b al-

Komentar terhadap

441.
Telah disunting dan

Maqu>la>t li

bagian al-Maqu>lat

dipublikasikan oleh

Arist}u>

dalam Organon

Sahban Khalifat

karya Aristoteles

dalam bukunya
Rasa>’il Abi> alHasan al-‘A>miri>,
h. 442-467.

11

Selain buku-buku tersebut, Mona Abu Zayd menyebut buku alSa‘a>dah wa al-Is‘a>d sebagai karya al-‘Amiri. Buku ini telah
dipublikasikan oleh Mujtaba Minawi tanpa disunting.21
Pengertian ilmu
Definisi ilmu
Sebagaimana akan terlihat dalam paparan di bagian ini,
al-‘Amiri telah menjelaskan berbagai subjek epistemologi, seperti
kemungkinan manusia memperoleh pengetahuan, karakter dan cara
memperoleh pengetahuan, dan kriteria kebenaran. Lebih dari itu, dia
juga membahas relasi antara pengetahuan atau ilmu dengan
perbuatan dan faidah-faidah berbagai ilmu dalam kajiannya tentang
harmonisasi antara filsafat dengan agama.22
Di dalam buku al-I‘la>m bi Mana>qib al-Isla>m Al-‘Amiri
mendefinisikan

ilmu

sebagai

“Penguasaan

tentang

sesuatu

sebagaimana adanya tanpa kesalahan atau penyimpangan. Ilmu
terbagi dua, relijius (al-milli>) dan filosofis (al-hikmi>). Pemilik ilmu
relijius adalah para nabi yang terpilih, sedangkan pemilik ilmu filosofis
adalah para filsuf yang terlatih. Semua nabi adalah filsuf, tapi tidak
semua filsuf adalah nabi.”23
Berdasarkan

definisi

ini,

al-‘Amiri

memandang

bahwa

pengetahuan yang mencapai level ilmu adalah pengetahuan yang
sempurna dari berbagai aspek, yaitu pengetahuan tentang sebabsebab pertama agar pengetahuan itu bersifat meyakinkan. Al-‘Amiri
menguatkan

pendapatnya

dengan

contoh-contoh.

Misalnya,

seseorang, walaupun menikmati musik, tidak disebut pemusik kecuali
dia mengetahui prinsip-prinsip musik.24

21

Al-Insa>n fi al-Falsafah al-Isla>miyyah Dira>sah Muqa>ranah fi> Fikr
al-‘A>miri>, h. 8.
22
Al-Insa>n fi al-Falsafah al-Isla>miyyah Dira>sah Muqa>ranah fi> Fikr
al-‘A>miri>, h. 67.
23
Al-I‘la>m bi Mana>qib al-Isla>m, h. 80.
24
Al-Insa>n fi al-Falsafah al-Isla>miyyah Dira>sah Muqa>ranah fi> Fikr
al-‘A>miri>, h. 92.
12

Al-‘Amiri meyakini kemampuan manusia untuk memperoleh
ilmu. Kaum Sofis yang menyatakan manusia tidak mungkin mencapai
satu hakikat dia sebut sebagai orang-orang yang mengingkari hakikat
yang ditangkap indera maupun akal. Selain itu, pada masanya, ada
juga sekelompok Ahli Teologi yang bersikap seperti Kaum Sofis.
Mereka adalah orang-orang yang kecewa dengan perdebatan para
teolog dari berbagai aliran dalam masalah-masalah teoritis. Tentang
kelompok yang terakhir ini, di dalam buku al-Amad ‘ala al-Abad,
seperti dikutip Mona Abu Zayd, al-‘Amiri mengatakan, “Ketika mereka
melihat isi dan makna pendapat yang dilontarkan kedua belah pihak
bertentangan satu sama lain, dan mereka tidak memiliki kemampuan
untuk menilai dan membedakan antara pendapat yang sahih dengan
tidak sahih, mereka memutuskan bahwa semuanya salah.”25
Instrumen dan jenis ilmu
Al-‘Amiri mengatakan bahwa

instrumen pengetahuan ada

empat macam, yaitu aksioma akal, eksperimen, wahyu, dan quwwah
sina>‘ah mutaqaddimah.26 Sedangkan cara manusia memperoleh
pengetahuan, menurut al-‘Amiri, ada tiga, yaitu taqlid, persuasi
(iqna>‘), dan demonstrasi (burha>n). Cara yang menjadi subjek
kajian al-‘Amiri adalah yang ketiga, cara memperoleh pengetahuan
yang disebut al-‘Amiri, “Sangat sulit karena validasinya tergantung
pada premis-premis aksiomatis yang benar.”27
Orientasi
empirisme

epistemologis

dengan

al-‘Amiri

rasionalisme.

adalah
Dia

gabungan

menyatakan

antara
bahwa

pengetahuan dapat diperoleh baik dengan akal maupun indera.
Pengetahuan inderawi adalah pengetahuan tentang hal-hal yang
menjadi

objek

indera

(mahsu>sa>t),

sedangkan

pengetahuan

25
Al-Insa>n fi al-Falsafah al-Isla>miyyah Dira>sah Muqa>ranah fi> Fikr
al-‘A>miri>, h. 68.
26
Penulis belum memahami apa yang dimaksud al-‘Amiri dengan instrumen
yang keempat ini.
27
Al-Insa>n fi al-Falsafah al-Isla>miyyah Dira>sah Muqa>ranah fi> Fikr
al-‘A>miri>, h. 69.

13

rasional adalah pengetahuan yang subjeknya adalah genus dan
spesies. Untuk menguatkan pandangan ini, al-‘Amiri mengkritik baik
aliran Empirisme maupun Rasionalisme.28
Klasifkasi ilmu
Dalam perkataan al-‘Amiri tersebut, dia mengklasifikasi ilmu
menjadi dua bagian utama, yaitu ilmu-ilmu rasional (al-‘ulu>m alhikmiyyah) dan ilmu-ilmu relijius (al-‘ulu>m al-milliyyah). Ghurab
mengatakan bahwa meskipun al-‘Amiri mendalami ilmu-ilmu filosofis
sehingga dia dijuluki Filsuf Nishapur, tapi inti pengetahuannya adalah
ilmu-ilmu

Islam

seperti

terlihat

dalam

penjelasannya

tentang

klasifikasi ilmu.29 Pandangan ini diisyaratkan juga oleh Nasr yang
mengatakan bahwa pandangan-pandangan al-‘Amiri yang membela
Islam di dalam karyanya al-I‘lam bi Mana>qib al-Isla>m dapat
dipandang unik di antara literatur-literatur Peripateis. 30
Ilmu filosofis
Al-‘Amiri menyebut ilmu-ilmu filosofis dengan istilah al-‘ulum alhikmiyyah. Yang dia maksud dengan al-‘ulu>m al-hikmiyyah adalah
ilmu-ilmu yang mencakup metafisika, matematika, dan ilmu-ilmu
empiris, seperti aritmetika, geometri, astronomi, mekanika, dan ilmuilmu fisika yang mencakup zoologi, botani, dan minerologi, selain ilmu
kedokteran dan farmakologi.
Al-‘Amiri
mempelajarinya

membela
adalah

ilmu-ilmu
wajib.

ini

dan

Dalam

menyatakan

bahwa

pembelaannya,

dia

menekankan:
1. Wahyu selaras dan tidak bertentangan dengan akal.
2. Islam menyerukan ilmu yang bermanfaat apa pun jenisnya.
3. Kajian terhadap ilmu matematika dan ilmu empiris
menjelaskan

bahwa

penciptaan

28

dan

pengaturan

alam

Al-Insa>n fi al-Falsafah al-Isla>miyyah Dira>sah Muqa>ranah fi> Fikr
al-‘A>miri>, h. 70.
29
Al-I‘la>m bi Mana>qib al-Isla>m, h. 16.
30
Islamic Philosophy from its Origin to the Present, h. 139.
14

semesta tidak berbasis kebetulan, kekacauan, atau kesiasiaan,

tapi

berbasis

keteraturan,

kebijaksanaan,

dan

berdasarkan hukum yang tidak berubah-ubah, sehingga ilmu
ini akan menolong pengkajinya untuk menemukan hikmah
penciptaan berbagai makhluk dan hukum kausalitas yang
mengatur keberadaan, fungsi, dan relasi makhluk-makhluk
itu.
4. Metode ilmu-ilmu ini adalah demonstratif sehingga jiwa kirits
umat Islam akan terlatih dan mereka tidak menerima klaim
tanpa dalil dan pernyataan tanpa bukti, sehingga iman
mereka akan berdasar pada penerimaan dan pemahaman,
dan bukannya taklid buta.
5. Mempelajari ilmu-ilmu ini jelas memberikan manfaat bagi
umat

manusia

secara

umum

dan

umat Islam secara

khusus.31

Ilmu relijius
Al-‘Amiri menyebut ilmu relijius atau ilmu keagamaan dengan
istilah al-‘ulum al-milliyyah. Yang dia maksud dengan al-‘ulu>m almilliyyah adalah ilmu-ilmu agama Islam, yaitu seperti yang dia
sebutkan sendiri, ilmu hadith, ilmu fikih, ilmu kalam, dan ilmu bahasa
dan sastera. Al-‘Amiri juga seorang pakar dalam ilmu-ilmu ini dan dia
membelanya dengan pembelaan yang sangat indah. Pertama, secara
umum, ketika membahas ilmu-ilmu ini secara umum, yakni tentang
dasar-dasarnya, keterikatannya dengan wahyu, dan khidmatnya bagi
agama, al-‘Amiri menegaskan bahwa ilmu-ilmu ini merupakan ilmuilmu

yang

paling

mulia

dan

paling

tinggi

derajatnya.

Dia

keyakinan

dan

mengemukakan tiga alasan:
1. Ilmu-ilmu

ini

dapat

meneguhkan

penghambaan manusia kepada Allah dengan mengenalkan
agama yang benar. Sebab, manusia tidak akan dapat
31

Al-I‘la>m bi Mana>qib al-Isla>m, h. 16-19.
15

menunaikan hak-hak Allah kecuali dengan mengetahui
agama-Nya yang benar.
2. Ilmu-ilmu ini tidak hanya memenuhi kebutuhan individual,
tapi juga kebutuhan masyarakat, bahkan umat manusia,
karena ilmu-ilmu ini bertujuan kebaikan secara universal dan
mengupayakan manfaat yang meliputi seluruh makhluk.
3. Ilmu-ilmu ini lebih utama daripada ilmu-ilmu rasional karena
ilmu-ilmu rasional berbasis akal manusia yang dapat salah
dan sesat, sedangkan ilmu-ilmu ini berbasis pada pondasi
yang meyakinkan dan bersumber pada cahaya wahyu ilahi
yang tidak dapat diragukan dan tidak mungkin terjadi
kesalahan atau kelupaan padanya.
Kemudian, secara khusus, al-‘Amiri memuji ilmu-ilmu agama
satu per satu. Misalnya, tentang ilmu hadith, dia mengatakan:
Tidak dapat diragukan bahwa para ahli hadith-lah orangorang yang paling peduli untuk mengetahui sejarah yang
mendatangkan manfaat dan madarat, yang mengetahui
orang-orang terdahulu dengan nasab, tempat tinggal,
jumlah umur, murid, dan guru mereka. Bahkan,
merekalah para peneliti hadith-hadith agama yang sahih
dan tidak sahih, yang kuat dan lemah. Mereka bersusah
payah pergi dan diam di negeri-negeri yang jauh untuk
mengambil aturan-aturan Rasulullah saw dari orang-orang
yang terpercaya. Mereka bekerja keras mengkritisi cerita
dan menyelami berita sehingga mereka mengetahui
mawquf, marfu‘, musnad, mursal, muttasil, munqati‘,
nasib, mulsiq, mashhur, mudallas. Mereka melindungi
ilmu mereka sehingga jika ada orang yang hendak
membuat hadith palsu, mengubah sebuah sanad,
menyimpangkan sebuah matan, atau menyelundupkan
kepadanya seperti apa yang telah diselundupkan ke
dalam cerita-cerita sastera, maka mereka semua akan
mencecar orang itu dengan penolakan yang sengit.32
Al-‘Amiri juga memuji para teolog Muslim karena mereka telah
menjelaskan akidah Islam, serta membela dan meneguhkannya
dengan dalil-dalil yang jelas dan rasional. Mereka telah melakukan
dakwah dengan hikmah, maw‘izah hasanah, dan muja>dalah bi allati> hiya ahsan. Mengajarkan Islam dengan metode ini tidak kalah
32

Al-I‘la>m bi Mana>qib al-Isla>m, h. 97.
16

pentingnya

daripada

membela

Islam

dengan

senjata.

Bahkan,

al-‘Amiri menegaskan bahwa kebutuhan Islam kepada penegasan dan
penguatan ajaran dengan kata-kata lebih besar daripada kebutuhan
kepada penegasan dengan kekuatan militer. Karena itu, Islam tidak
mengijinkan penggunaan senjata kecuali jika telah menegakkan
dakwah dengan hikmah dan maw‘iz}ah hasanah.33
Kesimpulan
Pandangan

epistemologis

al-‘Amiri

tentang

ilmu

dan

klasifikasinya telah menjadi jembatan pemikiran antara al-Kindi dan
al-Farabi dengan Ibnu Sina dan memberikan dasar-dasar pemikiran
yang kuat untuk harmonisasi akal dengan wahyu yang akan menjadi
ciri khas

mayoritas

filsuf muslim pada

abad-abad berikutnya.

Gagasannya tentang ilmu ini juga mendasari sistem pemikiran
al-‘Amiri

secara

umum

terutama

pada

saat

dia

menguraikan

pandangannya tentang manusia dan pada saat dia mengkomparasi
ajaran Islam dengan ajaran agama-agama lain.

Daftar Pustaka
Abu Zayd, Mona Ahmad, Al-Insa>n fi> al-Falsafah al-Isla>miyyah
Dira>sah Muqa>ranah fi> Fikr al-‘A>miri>, Beirut: alMu’assasah al-Jami‘iyyah li al-Dirasat wa al-Nashr wa al-Tawzi‘,
cet, I, 1414 H./1994 M..
Adamson, Peter, dan Richard C. Taylor (ed.), The Cambridge
Companion to Arabic Philosophy, Cambridge: Cambridge
University Press, cet. I, 2005.
Adlani,
Muhammad,
Relasi
Agama
Dan
http://telagahikmah.org/id/index.php?
option=com_content&task=view&id=93&Itemid=44,
pada hari Sabtu, 25 Juni 2011.

Filsafat,
diakses

Al-‘Amiri, Abu al-Hasan, Kita>b al-I‘la>m bi Mana>qib al-Isla>m li
Abi> al-Hasan al-‘A>miri> Tahqi>q wa Dira>sah fi>
33

Al-I‘la>m bi Mana>qib al-Isla>m, h. 19-21.
17

Muqa>ranah al-Adya>n, Ahmad ‘Abd al-Hamid Ghurab (ed.),
Riyad: Mu’assasah Dar al-Asalah li al-Thaqafah wa al-Nashr wa
al-I‘lam, cet. I, 1408 H./1988 M.
---------, Rasa>’il Abi> al-Hasan al-‘A>miri> wa Shadha>ratuh alFalsafiyyah Dira>sah wa Nus}u>s}, Sahban Khalifat (ed.),
Amman: Manshurat al-Jami‘ah al-Urduniyyah, 1988.
Al-Tawhidi, Abu Hayyan, Al-Imta>’ wa al-Mu’a>nasah, (ed.) Ahmad
Amin dan Ahmad al-Zayn, Kairo: Dar Maktabar al-Hayah li alTiba‘ah wa al-Nashr
Corbin, Henry, History of Islamic Philosophy, London dan New York:
Paul Kegan Internasional
Gaskill, Tom, ‘Al-Amiri Abu’l Hasan Muhammad ibn Yusuf (d. 992),
http://www.muslimphilosophy.com/ip/rep/H041, diakses pada
hari Minggu, 19 Juni 2011.
Groff, Peter S., Islamic Philosophy A-Z, Edinburg: Edinburg University
Press Ltd, 2007.
Nasr, Seyyed Hossein, Islamic Philosophy from its Origin to the
Present, New York: State University of New York Press, 2006.

18