KERJA PRAKTIK ALTERNATIF DISKURSUS PENGE
KERJA PRAKTIK,
ALTERNATIF DISKURSUS
PENGEMBANGAN DIRI;
mewujudkan Generasi Wawas Diri dan Lingkungan, Introduksi Gelap Terang
Perencanaan.
Bahwa dalam kategori usia dewasa pada kategori Elias dalam Philosophical
Foundation of Adult Education, cara belajar dan mendidik mahasiswa akan berbeda
dibanding
saat
dalam
usia
anak-anak.
Dalam
kategori
usia
tersebut,
proses
pembelajaran dan perlakuan pendidik diterapkan mempertimbangkan empat asumsi
pokok yang diajukan Malcolm Knowless sebagai berikut;
(1) Bahwa sesungguhnya seseorang bergerak dari ketergantungan total menuju
pengembangan
diri
independen
seiring
pertumbuhan
dan
perkembangannya.
Mahasiswa dianggap mampu mengidentifikasi dirinya dalam rangka menentukan peran
dan
arahan
pencapaian
peran
relevan.
(2)
Bahwa
kehidupan
adalah
sumber
pembelajaran paling kaya bagi orang dewasa, hingga dalam konteks ini Paulo Freire
mampu mendeskripsikan pembelajaran sebagai proses menghubungkan keadaan
dimana dia berada dengan pengalaman sebelumnya yang kemudian secara sederhana
disebut sebagai proses aksi-refleksi atau dialektis: melakukan dan memaknainya. (3)
Mahasiswa mampu memutuskan apa yang akan dipelajari lebih dari orang lain
mengetahuinya. Mengingat dirinya sebagai orang yang paling memahami peran dan
arahan yang akan diambil, dan itulah instrumen terbaik untuk memilah dan memilih
ilmu
relevan
baginya.
(4)
Pendidikan
dianggap
sebagai
sebuah
proses
untuk
menyiapkan seseorang agar mampu memecahkan permasalahan. Menuju pencapaian
situasi yang lebih baik, sengaja diciptakan, pengalaman kolektif atau kemungkinan
pengembangan dengan pertimbangan kondisi kekinian.
Singkat kata, melalui asumsi-asumsi tersebut muncullah pertanyaan “apakah
tepat diskursus untuk mahasiswa dilakukan hanya melalui ceramah-ceramah dalam
mimbar ruang-ruang kelas?”, lantas jika memang tipologi diskursus yang demikian
dianggap cukup, dari mana kita mendapatkan pembaharuan pengalaman? Akankah
masalah yang dihadirkan pendidik dari mimbar kelas relevan dengan konteks aktual?
Akankah masalah dalam perspektif pendidik menjadi masalah bagi peserta didik? Dan
akankah pengalaman yang dihadirkan pemateri menawarkan peran cukup menarik bagi
peserta didik? Skeptisisme tersebut membawa penulis untuk mencoba tipologi
diskursus berbeda, cukup luas bagi penulis untuk bermanuver sesuai peran yang
diharapkan mampu diambil penulis pasca lulus, menentukan arahan secara mandiri,
memenuhi kebutuhan pengetahuan untuk mencapainya, dan menyelesaikan beberapa
permasalahan dalam berbagai dimensi relevan: Kerja Praktik.
Penggerak kontribusi massif masyarakat rural menyongsong kejayaan bangsa
yang berkeadilan sebagai gerbang menuju negeri madani: baldatun, thayyibatun, wa
rabbun ghofur: menjadi peran yang ingin diambil penulis melalui studinya di
Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota. Untuk mewujudkan fungsi dari peran
tersebut, penulis telah mengidentifikasi fakta bahwa poros pembangunan saat ini
berada di perkotaan dan mewujudkan poros pembangunan baru sebagai pesaing tidak
lebih efisien dan efektif daripada menghubungkan subjek-subjek yang lemah dalam
perspektif
pembangunan
pada
poros
pendorong
utama
dengan
maksud
mendistribusikan kekuatan berlebih pada subjek tersebut. Melalui kontemplasi yang
dijalani, penulis memunculkan hipotesa bahwa jembatan tersebut dapat dibentuk
melalui partisipasi aktif akademisi dan respon perilaku mereka saat pertama kali terjun
sebagai praktisi, kesolidan masyarakat, dan perekonomian masyarakat. Hal tersebut
telah coba diidentifikasi selama penulis aktif kuliah di Surabaya, hanya saja tanpa
adanya pembanding yang setara, subjektifitas informasi dirasa penulis menjadi tinggi.
Semarang, lokasi IKP berada merupakan kota dengan peran serupa Surabaya
dianggap
mampu
menjadi
pembanding
yang
apple
to
apple
dalam
konteks
pengelolaannya. Dengan peran yang sama tentu manajemen pengelolaan beserta
kebutuhan pengelolaan perkotaannya tidak akan berbeda jauh, dengan pembanding
yang demikian praktikan berharap menangkap kesan ruang yang dibentuk oleh Kota
Semarang melalui elemen sosio-kulturalnya yang mengendap dalam seluruh aktifitas
dalam ruang perkotaannya. Sinyalemen yang ditangkap secara spesifik dikerucutkan
oleh praktikan dalam tiga konteks utama; (1) budaya mahasiswa mengingat lokasi
berdekatan dengan Universitas Diponegoro, (2) kegiatan perekonomian masyarakat,
dan
(3)
perilaku
masyarakatnya.
berkendara
sebagai
cerminan
kerjasama
kolektif
komunitas
CV. Duta Citra sendiri dipilih karena menjadi satu-satunya IKP di Kota Semarang
yang pernah dipilih oleh praktikan sebelumnya sehingga sebelum terlibat praktikan
dapat menyusun strategi keterlibatan dengan melakukan konsultasi pada praktikan
periode sebelumnya. Merujuk pada informasi yang diterima praktikan, CV. Duta Citra
merupakan
CV
dengan
budaya
kerja
organik,
pembagian
peran
dan
fungsi,
pengalokasian tenaga, dan aturan fleksibel sesuai kebutuhan dan ketersediaan sumber
dan kondisi saat itu: fakta-fakta tersebut dianggap unik oleh praktikan karena dalam
paradigm praktikan hal tersebut tentu akan menyulitkan jalannya sebuah usaha, namun
fakta bahwa CV. Duta Citra telah ada sejak setidaknya dua dekade lamanya tentu
hipotesis tersebut goyah. Goyahnya dogma penulis dalam konteks ini membuka
pertanyaan baru “akankah konsep pengelolaan ini dapat diimplementasikan di
masyarakat untuk mengoptimalkan produktifitas sekaligus mendorong keterlibatan
mereka
dalam
pembangunan
berkeadilan?”.
Dalam
kondisi
tersebut
muncul
ketertarikan untuk terlibat langsung di dalamnya.
CV. Duta Citra adalah sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang
pengadaan jasa konsultansi yang berkiprah sejak tahun 1989 atas dasar Akte Notaris
Pendirian Perusahaan No. 79 Tanggal 20 September 1989 oleh Notaris Sri Hadini
Soedjoko, SH di Semarang. Namun akte pengesahan tersebut pernah mengalami
perubahan berdasarkan Akte No. 7 Tanggal 8 Pebruari 2007 dan perubahan terakhir
pada Akte Perubahan No. 54 Tanggal 30 April 2012. Selain itu, CV. Duta Citra sebagai
instansi konsultan skala nasional telah bergerak di bidang pelayanan jasa konsultasi
dengan lingkup pekerjaan bidang arsitektur, sipil, tata lingkungan, GIS, serta planning.
Dalam perkembangannya CV. DUTA telah mempunyai pengalaman–pengalaman
dari berbagai daerah baik dari instansi pemerintah maupun swasta. Untuk proyek
pekerjaan yang selama ini dilakukan oleh CV. DUTA mayoritas pengguna jasanya adalah
Pemerintah seperti Badan Perencanaan Daerah, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang,
Dinas Pekerjaan Umum dan Energi Sumberdaya Mineral, maupun instansi lain di
Indonesia yang bergerak dalam kebijakan pembangunan.
Selama menjalani proses kerja praktik di CV Duta Citra, penulis memilih untuk
terlibat
dalam
dua
proyek:
Pengembangan
Sistem
Informasi
Terintegrasi
se-
Banjarnegara dan penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan Klego, Kabupaten
Boyolali. Hal-hal menarik yang ditemui penulis saat mengerjakan proyek-proyek
tersebut adalah:
(1) Rencana eksisting yang telah diloloskan sebagai perda di Kecamatan Klego
mengalokasikan penggunaan lahan untuk kegiatan industri tepat di atas formasi kerek,
formasi dengan karakteristik relatif labil karena didominasi oleh lempung. Menghadapi
fakta ini, penulis mengajukan hipotesa sebagai berikut; (a) rendahnya kapabilitas
elemen pengawas dan pelaksana proyek dalam penguasaan substansi sektoral
perencanaan, dan/atau (b) hilangnya urgensitas dokumen perencanaan spasial sebagai
rujukan kegiatan pembangunan. (2) Fakta bahwa salah satu peserta FGD antara
konsultan dengan SKPD yang difasilitasi oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Boyolali
melontarkan kecurigaannya dengan kalimat “jangan sampai konsultan yang satu ini
hanya menyalin dokumen lama dan mengganti nama lokasinya saja”. Pernyataan
tersebut kemudian diikuti oleh fakta bahwa dalam percakapan pasca FGD beredar isu
“rencana dapat dipesan sesuai keinginan pemberi kerja”. Fenomena yang kemudian
mengikuti adalah paceklik pemasukan CV yang terlepas dari apapun penyebabnya
membawa penulis pada perspektif yang mungkin dapat merangkai serpihan-serpihan
realita dalam satu bingkai:
“Bahwa ketika ilmu seorang perencana diperlakukan layaknya komoditas, saat
itulah benar-salah, tepat-tidak tepat, dan baik-buruk menjadi simpulan atas pertanyaan
“apakah dengan ini ia akan membayar lebih?”.” Dalam paradigma ini, kontrol penuh
berada di pemegang modal. Sederhananya, bahan baku, berupa pengetahuan dan
kemampuan, ada di tangan praktisi namun kontrol harga ada di tangan pemerintah.
Sekarang perkaranya dapatkah pemerintah menghargai kemampuan-kemampuan dan
pengetahuan-pengetahuan yang relevan untuk pembangunan?
Kembali ke topik fakta menarik selama kerja praktik oleh penulis adalah (3)
indikasi perbedaan filosofi kerja antara struktural pusat dengan akar rumputnya.
Ditunjukan dengan fenomena saat mengunjungi Balai Desa Derik yang ternyata tutup
sebelum waktunya. Sedangkan yang terjadi saat penulis mengunjungi Balai Desa Berta
Banjarnegara,
penulis
mendengar
komplain
yang
disampaikan
atas
dasar
ketidaksesuaian barang dalam anggaran dengan realisasinya. Hal tersebut terjadi
karena saat penyusunan anggaran, struktural desa menemukan bata merah sebagai
bahan konstruksi yang dianggap mampu kebutuhan pembangunan dengan biaya yang
ada, namun saat dana cair struktural Desa Berta menemukan bahan baku yang relatif
lebih
baik
dengan
harga
yang
tidak
berbeda jauh. Sehingga pimpinan
desa
memutuskan untuk menggantinya dengan bahan baku tersebut. Menghadapi fenomena
ini tercetus hipotesa (a) belum siapnya struktural rural nasional untuk menjalankan
mekanisme organisasi eksisting, atau (b) mekanisme organisasi yang ada tidak sesuai
dengan
falsafah
kehidupan
yang
telah
melekat
pada
calon
elemen-elemen
strukturalnya.
Fakta-fakta tersebut kemudian dirangkai dalam satu bingkai pembangunan
menjadi secuil gambaran dua elemen krusial dalam pelibatan masyarakat secara massif
dalam pembangunan berkeadilan, bahwa: (1) akademisi dalam ranah praktis (ketika
menerapkan pengetahuannya di lapangan), menjadi terbatasi ruang mannuvernya
karena tuntutan untuk hidup dan menghidupi. Sehingga baik-buruknya implementasi
mereka sekali lagi bisa jadi tidak sepenuhnya tanggung jawab kapabilitas keilmuan
mereka namun turut menjadi tanggung jawab perlakuan pemegang modal kepada
mereka. (2) Fenomena kedua memang menunjukan perilaku seseorang dalam struktural
ketatanegaraan, namun tidak kah itu juga menjadi dampak dari falsafah hidup yang
dianut sebelum seseorang berkecimpung di dalamnya? Perilaku-perilaku yang telah
dibiasakan ternyata malah menjadi ganjalan bagi mekanisme organisasi mereka, dari
fenomena ini penulis mendapat kesimpulan sementara bahwa perlu ada identifikasi
mendalam mengenai karakteristik perilaku sosial masyarakat untuk menentukan
rumusan pelibatan massif di lapangan.
Dan jika ingin dikembalikan pada topik utama artikel ini, penulis merasakan
bahwa kerja praktik mampu memberikan perspektif pengetahuan yang utuh mengenai
bagaimana cara melakukan kegiatan perencanaan sekaligus bagaimana seharusnya
perencanaan dilakukan, atau dalam bahasa yang lebih disukai penulis “disesuaikan”,
dengan kondisi lapangan.
ALTERNATIF DISKURSUS
PENGEMBANGAN DIRI;
mewujudkan Generasi Wawas Diri dan Lingkungan, Introduksi Gelap Terang
Perencanaan.
Bahwa dalam kategori usia dewasa pada kategori Elias dalam Philosophical
Foundation of Adult Education, cara belajar dan mendidik mahasiswa akan berbeda
dibanding
saat
dalam
usia
anak-anak.
Dalam
kategori
usia
tersebut,
proses
pembelajaran dan perlakuan pendidik diterapkan mempertimbangkan empat asumsi
pokok yang diajukan Malcolm Knowless sebagai berikut;
(1) Bahwa sesungguhnya seseorang bergerak dari ketergantungan total menuju
pengembangan
diri
independen
seiring
pertumbuhan
dan
perkembangannya.
Mahasiswa dianggap mampu mengidentifikasi dirinya dalam rangka menentukan peran
dan
arahan
pencapaian
peran
relevan.
(2)
Bahwa
kehidupan
adalah
sumber
pembelajaran paling kaya bagi orang dewasa, hingga dalam konteks ini Paulo Freire
mampu mendeskripsikan pembelajaran sebagai proses menghubungkan keadaan
dimana dia berada dengan pengalaman sebelumnya yang kemudian secara sederhana
disebut sebagai proses aksi-refleksi atau dialektis: melakukan dan memaknainya. (3)
Mahasiswa mampu memutuskan apa yang akan dipelajari lebih dari orang lain
mengetahuinya. Mengingat dirinya sebagai orang yang paling memahami peran dan
arahan yang akan diambil, dan itulah instrumen terbaik untuk memilah dan memilih
ilmu
relevan
baginya.
(4)
Pendidikan
dianggap
sebagai
sebuah
proses
untuk
menyiapkan seseorang agar mampu memecahkan permasalahan. Menuju pencapaian
situasi yang lebih baik, sengaja diciptakan, pengalaman kolektif atau kemungkinan
pengembangan dengan pertimbangan kondisi kekinian.
Singkat kata, melalui asumsi-asumsi tersebut muncullah pertanyaan “apakah
tepat diskursus untuk mahasiswa dilakukan hanya melalui ceramah-ceramah dalam
mimbar ruang-ruang kelas?”, lantas jika memang tipologi diskursus yang demikian
dianggap cukup, dari mana kita mendapatkan pembaharuan pengalaman? Akankah
masalah yang dihadirkan pendidik dari mimbar kelas relevan dengan konteks aktual?
Akankah masalah dalam perspektif pendidik menjadi masalah bagi peserta didik? Dan
akankah pengalaman yang dihadirkan pemateri menawarkan peran cukup menarik bagi
peserta didik? Skeptisisme tersebut membawa penulis untuk mencoba tipologi
diskursus berbeda, cukup luas bagi penulis untuk bermanuver sesuai peran yang
diharapkan mampu diambil penulis pasca lulus, menentukan arahan secara mandiri,
memenuhi kebutuhan pengetahuan untuk mencapainya, dan menyelesaikan beberapa
permasalahan dalam berbagai dimensi relevan: Kerja Praktik.
Penggerak kontribusi massif masyarakat rural menyongsong kejayaan bangsa
yang berkeadilan sebagai gerbang menuju negeri madani: baldatun, thayyibatun, wa
rabbun ghofur: menjadi peran yang ingin diambil penulis melalui studinya di
Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota. Untuk mewujudkan fungsi dari peran
tersebut, penulis telah mengidentifikasi fakta bahwa poros pembangunan saat ini
berada di perkotaan dan mewujudkan poros pembangunan baru sebagai pesaing tidak
lebih efisien dan efektif daripada menghubungkan subjek-subjek yang lemah dalam
perspektif
pembangunan
pada
poros
pendorong
utama
dengan
maksud
mendistribusikan kekuatan berlebih pada subjek tersebut. Melalui kontemplasi yang
dijalani, penulis memunculkan hipotesa bahwa jembatan tersebut dapat dibentuk
melalui partisipasi aktif akademisi dan respon perilaku mereka saat pertama kali terjun
sebagai praktisi, kesolidan masyarakat, dan perekonomian masyarakat. Hal tersebut
telah coba diidentifikasi selama penulis aktif kuliah di Surabaya, hanya saja tanpa
adanya pembanding yang setara, subjektifitas informasi dirasa penulis menjadi tinggi.
Semarang, lokasi IKP berada merupakan kota dengan peran serupa Surabaya
dianggap
mampu
menjadi
pembanding
yang
apple
to
apple
dalam
konteks
pengelolaannya. Dengan peran yang sama tentu manajemen pengelolaan beserta
kebutuhan pengelolaan perkotaannya tidak akan berbeda jauh, dengan pembanding
yang demikian praktikan berharap menangkap kesan ruang yang dibentuk oleh Kota
Semarang melalui elemen sosio-kulturalnya yang mengendap dalam seluruh aktifitas
dalam ruang perkotaannya. Sinyalemen yang ditangkap secara spesifik dikerucutkan
oleh praktikan dalam tiga konteks utama; (1) budaya mahasiswa mengingat lokasi
berdekatan dengan Universitas Diponegoro, (2) kegiatan perekonomian masyarakat,
dan
(3)
perilaku
masyarakatnya.
berkendara
sebagai
cerminan
kerjasama
kolektif
komunitas
CV. Duta Citra sendiri dipilih karena menjadi satu-satunya IKP di Kota Semarang
yang pernah dipilih oleh praktikan sebelumnya sehingga sebelum terlibat praktikan
dapat menyusun strategi keterlibatan dengan melakukan konsultasi pada praktikan
periode sebelumnya. Merujuk pada informasi yang diterima praktikan, CV. Duta Citra
merupakan
CV
dengan
budaya
kerja
organik,
pembagian
peran
dan
fungsi,
pengalokasian tenaga, dan aturan fleksibel sesuai kebutuhan dan ketersediaan sumber
dan kondisi saat itu: fakta-fakta tersebut dianggap unik oleh praktikan karena dalam
paradigm praktikan hal tersebut tentu akan menyulitkan jalannya sebuah usaha, namun
fakta bahwa CV. Duta Citra telah ada sejak setidaknya dua dekade lamanya tentu
hipotesis tersebut goyah. Goyahnya dogma penulis dalam konteks ini membuka
pertanyaan baru “akankah konsep pengelolaan ini dapat diimplementasikan di
masyarakat untuk mengoptimalkan produktifitas sekaligus mendorong keterlibatan
mereka
dalam
pembangunan
berkeadilan?”.
Dalam
kondisi
tersebut
muncul
ketertarikan untuk terlibat langsung di dalamnya.
CV. Duta Citra adalah sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang
pengadaan jasa konsultansi yang berkiprah sejak tahun 1989 atas dasar Akte Notaris
Pendirian Perusahaan No. 79 Tanggal 20 September 1989 oleh Notaris Sri Hadini
Soedjoko, SH di Semarang. Namun akte pengesahan tersebut pernah mengalami
perubahan berdasarkan Akte No. 7 Tanggal 8 Pebruari 2007 dan perubahan terakhir
pada Akte Perubahan No. 54 Tanggal 30 April 2012. Selain itu, CV. Duta Citra sebagai
instansi konsultan skala nasional telah bergerak di bidang pelayanan jasa konsultasi
dengan lingkup pekerjaan bidang arsitektur, sipil, tata lingkungan, GIS, serta planning.
Dalam perkembangannya CV. DUTA telah mempunyai pengalaman–pengalaman
dari berbagai daerah baik dari instansi pemerintah maupun swasta. Untuk proyek
pekerjaan yang selama ini dilakukan oleh CV. DUTA mayoritas pengguna jasanya adalah
Pemerintah seperti Badan Perencanaan Daerah, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang,
Dinas Pekerjaan Umum dan Energi Sumberdaya Mineral, maupun instansi lain di
Indonesia yang bergerak dalam kebijakan pembangunan.
Selama menjalani proses kerja praktik di CV Duta Citra, penulis memilih untuk
terlibat
dalam
dua
proyek:
Pengembangan
Sistem
Informasi
Terintegrasi
se-
Banjarnegara dan penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan Klego, Kabupaten
Boyolali. Hal-hal menarik yang ditemui penulis saat mengerjakan proyek-proyek
tersebut adalah:
(1) Rencana eksisting yang telah diloloskan sebagai perda di Kecamatan Klego
mengalokasikan penggunaan lahan untuk kegiatan industri tepat di atas formasi kerek,
formasi dengan karakteristik relatif labil karena didominasi oleh lempung. Menghadapi
fakta ini, penulis mengajukan hipotesa sebagai berikut; (a) rendahnya kapabilitas
elemen pengawas dan pelaksana proyek dalam penguasaan substansi sektoral
perencanaan, dan/atau (b) hilangnya urgensitas dokumen perencanaan spasial sebagai
rujukan kegiatan pembangunan. (2) Fakta bahwa salah satu peserta FGD antara
konsultan dengan SKPD yang difasilitasi oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Boyolali
melontarkan kecurigaannya dengan kalimat “jangan sampai konsultan yang satu ini
hanya menyalin dokumen lama dan mengganti nama lokasinya saja”. Pernyataan
tersebut kemudian diikuti oleh fakta bahwa dalam percakapan pasca FGD beredar isu
“rencana dapat dipesan sesuai keinginan pemberi kerja”. Fenomena yang kemudian
mengikuti adalah paceklik pemasukan CV yang terlepas dari apapun penyebabnya
membawa penulis pada perspektif yang mungkin dapat merangkai serpihan-serpihan
realita dalam satu bingkai:
“Bahwa ketika ilmu seorang perencana diperlakukan layaknya komoditas, saat
itulah benar-salah, tepat-tidak tepat, dan baik-buruk menjadi simpulan atas pertanyaan
“apakah dengan ini ia akan membayar lebih?”.” Dalam paradigma ini, kontrol penuh
berada di pemegang modal. Sederhananya, bahan baku, berupa pengetahuan dan
kemampuan, ada di tangan praktisi namun kontrol harga ada di tangan pemerintah.
Sekarang perkaranya dapatkah pemerintah menghargai kemampuan-kemampuan dan
pengetahuan-pengetahuan yang relevan untuk pembangunan?
Kembali ke topik fakta menarik selama kerja praktik oleh penulis adalah (3)
indikasi perbedaan filosofi kerja antara struktural pusat dengan akar rumputnya.
Ditunjukan dengan fenomena saat mengunjungi Balai Desa Derik yang ternyata tutup
sebelum waktunya. Sedangkan yang terjadi saat penulis mengunjungi Balai Desa Berta
Banjarnegara,
penulis
mendengar
komplain
yang
disampaikan
atas
dasar
ketidaksesuaian barang dalam anggaran dengan realisasinya. Hal tersebut terjadi
karena saat penyusunan anggaran, struktural desa menemukan bata merah sebagai
bahan konstruksi yang dianggap mampu kebutuhan pembangunan dengan biaya yang
ada, namun saat dana cair struktural Desa Berta menemukan bahan baku yang relatif
lebih
baik
dengan
harga
yang
tidak
berbeda jauh. Sehingga pimpinan
desa
memutuskan untuk menggantinya dengan bahan baku tersebut. Menghadapi fenomena
ini tercetus hipotesa (a) belum siapnya struktural rural nasional untuk menjalankan
mekanisme organisasi eksisting, atau (b) mekanisme organisasi yang ada tidak sesuai
dengan
falsafah
kehidupan
yang
telah
melekat
pada
calon
elemen-elemen
strukturalnya.
Fakta-fakta tersebut kemudian dirangkai dalam satu bingkai pembangunan
menjadi secuil gambaran dua elemen krusial dalam pelibatan masyarakat secara massif
dalam pembangunan berkeadilan, bahwa: (1) akademisi dalam ranah praktis (ketika
menerapkan pengetahuannya di lapangan), menjadi terbatasi ruang mannuvernya
karena tuntutan untuk hidup dan menghidupi. Sehingga baik-buruknya implementasi
mereka sekali lagi bisa jadi tidak sepenuhnya tanggung jawab kapabilitas keilmuan
mereka namun turut menjadi tanggung jawab perlakuan pemegang modal kepada
mereka. (2) Fenomena kedua memang menunjukan perilaku seseorang dalam struktural
ketatanegaraan, namun tidak kah itu juga menjadi dampak dari falsafah hidup yang
dianut sebelum seseorang berkecimpung di dalamnya? Perilaku-perilaku yang telah
dibiasakan ternyata malah menjadi ganjalan bagi mekanisme organisasi mereka, dari
fenomena ini penulis mendapat kesimpulan sementara bahwa perlu ada identifikasi
mendalam mengenai karakteristik perilaku sosial masyarakat untuk menentukan
rumusan pelibatan massif di lapangan.
Dan jika ingin dikembalikan pada topik utama artikel ini, penulis merasakan
bahwa kerja praktik mampu memberikan perspektif pengetahuan yang utuh mengenai
bagaimana cara melakukan kegiatan perencanaan sekaligus bagaimana seharusnya
perencanaan dilakukan, atau dalam bahasa yang lebih disukai penulis “disesuaikan”,
dengan kondisi lapangan.