LAPORAN KERJA PRAKTEK PROSEDUR PENANGANA

LAPORAN KERJA PRAKTEK
PROSEDUR PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
PADA KEJAKSAAN NEGERI BATAM
(Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Kota Batam)

Oleh :
ADI BUYONO
1051052

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI LMU HUKUM
UNIVERSITAS INTERNASIONAL BATAM
2014

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

Yang bertanda tangan di bawah ini, Pembimbing Kerja Praktek di Universitas
Internasional Batam, Program Studi Ilmu Hukum menyatakan bahwa laporan Kerja
Praktek dari :
NPM


: 1051052

Nama

: Adi Buyono

Jurusan

: Ilmu Hukum

Telah diperiksa dan dinyatakan sudah selesai melaksanakan Kerja Praktek pada bulan
Oktober hingga Desember di Kejaksaan Negeri Kota Batam.

Batam,
Universitas Internasional Batam
Jurusan Ilmu Hukum

SURAT KETERANGAN KERJA PRAKTEK

Bersama surat ini, saya, Pofrizal, SH, Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan

Negeri Batam, dengan ini menerangkan bahwa mahasiswa yang disebut dibawah ini:
NPM

: 1051052

Nama

: Adi Buyono

Jurusan

: Ilmu Hukum

Universitas

: Universitas Internasional Batam (UIB)

Telah melakukan Kerja Praktek di Kejaksaan Negari Batam selama 3 (tiga) bulan
yaitu dari bulan 01 September 2013 sampai dengan 31 Desember 2013.


Demikian surat keterangan ini di buat dengan sebenar-benarnya.

Batam, 1 Januari 2014

POFRIZAL, SH.
AJUN JAKSA NIP.198111022002121002.

LEMBAR PENGESAHAN PENYELIA

Yang bertanda tangan di bawah ini, Penyelia Kerja Praktek di Kejaksaan Negeri Kota
Batam menyatakan bahwa laporan Kerja Praktek dari :
NPM

: 1051052

Nama

: Adi Buyono

Jurusan


: Ilmu Hukum

Telah diperiksa dan dinyatakan sudah selesai melaksanakan Kerja Praktek pada bulan
September 2013 hingga Desember 2013 di Kejaksaan Negeri Kota Batam.

Batam,

……………………

LEMBAR PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam Laporan Kerja Praktek ini memang
benar-benar karya sendiri, bukan dari karya tulis orang lain, baik sebagian maupun
keseluruhannya. Pendapat ataupun temuan dari orang lain yang terdapat dalam
Laporan Kerja Praktek ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Batam,
Universitas Internasional Batam
Program Studi Ilmu Hukum


………………………
Adi Buyono
NPM : 1051052

KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa karena atas Rahmat-Nya
kepada penulis selama menjalankan kewajiban menuntut ilmu dan
penyelesaian tugas akhir. Selama melakukan penelitian dan penulisan laporan,
penulis memperoleh bantuan moril dan materiil dari berbagai pihak. Pada
kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih , yang tidak terhingga
terutama kepada kedua orang tua penulis yaitu Ang Jong Lai dan Tjan A Tuan
tercinta yang telah memberikan segala pengorbanannya, doa yang tak hentihentinya, cinta, motivasi, saran dan dukungan baik moril dan materiil dalam
kehidupan penulis, juga saya mengucapkan terima kasih kepada :
1. Lu Sudirman, S.H, M.M., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Internasional Batam.

2. Siti Nur Janah, S.H, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
dukungan, waktu, tenaga, dan pikiran dalam penulisan kerja praktek
ini.

3. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Internasional Batam.
4. Pofrizal, S.H, Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Batam
yang telah banyak memberikan dukungan, dan membagi pengetahuan
kepada penulis dalam penulisan kerja praktek ini

5. Mohtar Arifin, S. Kom, S.H, Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan
Negeri Batam yang telah banyak memberikan dukungan, dan membagi
pengetahuan kepada penulis dalam penulisan kerja praktek ini
6. Triyanto, S.H, Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Batam
yang telah banyak memberikan dukungan, dan membagi pengetahuan
kepada penulis dalam penulisan kerja praktek ini
7. Seluruh anggota Kejaksaan Negeri Batam.
Penulis berharap karya tulis ini dapat memberikan sumbangan bagi
pengembangan ilmu hukum khususnya

mengetahui

Prosedur dalam

penegakan hukum pada kasus pembunuhan yang ditangani oleh Kejaksaan

Negeri Kota Batam dan bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan,
kritik dan saran untuk meningkatkan kualitas ilmiah penelitian ini sangat
penulis harapkan. Semoga Tuhan yang maha kuasa melimpahkan rahmat serta
karunia-Nya kepada kita semuanya. Amin.

Batam, 22 Maret 2014
Penulis,

Adi Buyono

DAFTAR ISI
Halaman

LEMBAR PENGESAHAAN PEMBIMBING..............................................................i
SURAT KETERANGAN KERJA PRAKTEK.............................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN PENYELIA....................................................................iii
LEMBAR PERNYATAAN .........................................................................................iv
KATA PENGANTAR .................................................................................................v
DAFTAR ISI ...............................................................................................................vi

BAB 1 .........................................................................................................................1
1.1

Latar Belakang...........................................................................................1

1.2

Rumusan Masalah......................................................................................4

1.3

Tujuan dan Manfaat Penelitian..................................................................4

BAB II...........................................................................................................................5
2.1

Letak Daerah..............................................................................................5

2.2


Luas Wilayah Hukum Kejaksaan Negeri Batam........................................5

2.3

Visi dan Misi Kejaksaan Negeri Batam.....................................................7

2.4

Tugas dan Wewenang Kejaksaan Negeri Batam........................................7
2.4.1 Bidang Pidana................................................................................8
2.4.2 Bidang Keperdataan dan Tata Usaha Negara.................................9
2.4.3 Bidang Ketertiban dan Ketentraman Umum..................................9

2.5

Doktrin Kejaksaan....................................................................................10

BAB III.......................................................................................................................12
3.1


Pengertian.................................................................................................12
3.1.1 Penanganan..................................................................................12
3.1.2 Tindak Pidana...............................................................................13
3.1.2.1

Pengertian Tindak Pidana............................................13

3.1.2.2

Teori-teori Hukum Pidana...........................................14

3.1.2.3

Unsur-unsur Tindak Pidana.........................................18

3.1.3 Pembunuhan.................................................................................26
3.1.4 Kejaksaan.....................................................................................30
BAB IV.......................................................................................................................35
4.1


Kegiatan Rutin.........................................................................................35

4.2

Hambatan-Hambatan Yang Dihadapi Oleh Jaksa Penuntut Umum Dalam
Menangani Kasus Dugaan Tindak Pidana Pembunuhan..........................43

4.3

Sikap Jaksa Penuntut Umum dalam Menghadapi Hambatan-hambatan. 44

BAB V.........................................................................................................................46
5.1

Penutup.....................................................................................................46

5.2

Keterbatasan.............................................................................................46

5.3

Rekomendasi............................................................................................47

Daftar Pusaka..............................................................................................................48

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Sebagai Negara Hukum, Negara Kesatuan Republik Indonesia mewajibkan

setiap warga negaranya untuk menjunjung tinggi hukum. Namun, manusia
merupakan makhluk yang didasari dengan perilaku egois, sehingga setiap orang lebih
mementingkan kepentingan diri sendiri daripada kepentingan orang lain, sehingga
bukan hal yang baru bagi manusia untuk melakukan kesalahan-kesalahan, baik itu
dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja, sehingga perbuatan itu merugikan
orang lain dan tidak jarang pula melanggar hukum, kesalahan itu dikenal sebagai
perbuatan tindak pidana.
Salah satu tindak pidana yang dilakukan oleh masyarakat adalah tindak pidana
pembunuhan. Pembunuhan adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk
menghilangkan/merampas jiwa orang lain. Selain itu pembunuhan dianggap
perbuatan yang sangat terkutuk dan tidak berperikemanusiaan. Dipandang dari sudut
agama, pembunuhan merupakan suatu perbuatan yang dilarang keras.
Di dalam tindak pidana pembunuhan yang menjadi sasaran si pelaku adalah
jiwa nyawa seseorang yang tidak dapat diganti dengan apapun. Dan perampasan jiwa

nyawa itu sangat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28A yang
menyatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup
dan kehidupannya”
Apabila kita melihat ke dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
dapat diketahui bahwa pembentuk undang-undang bermaksud mengatur ketentuanketentuan pidana tentang kejahatan-kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang
itu dalam Buku ke II Bab ke-XIX KUHP yang terdiri dari tiga belas pasal, yakni dari
Pasal 338 sampai dengan Pasal 350.
Salah satu masalah yang sering muncul di masyarakat adalah tindak pidana
pembunuhan, tindak pidana pembunuhan adalah suatu bentuk kejahatan dalam jiwa
seseorang dimana perbuatan tersebut sangat bertentangan dengan norma-norma yang
ada dalam masyarakat yaitu norma agama dan adat-istiadat, sekaligus bertentangan
dengan norma ketentuan hukum pidana dan melanggar hak asasi manusia yaitu hak
untuk hidup.
Sedemikian banyaknya norma, agama, hukum, adat istiadat, Hak Asasi
Manusia bahkan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia yakni Undangundang Dasar 1945, dengan keras mengharamkan tindak pidana pembunuhan
sehingga tindak pidana pembunuhan harus diadili seadil-adilnya.
Dalam praktek hukum yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Pengadilan Negeri diberi kewenangan untuk mengadili suatu perkara pembunuhan

melalui hakim-hakimnya yang telah disumpah. Sedangkan Kejaksaan Negeri diberi
kewenangan untuk membuktikan perbuatan tindak pidana pembunuhan yang diduga
dilakukan oleh terdakwa.
Dalam membuktikan suatu tindakan pidana yang diduga dilakukan terdakwa,
Kejaksaan Negeri dibantu oleh penyidik-penyidik untuk mengungkapkan fakta-fakta
yang benar-benar terjadi di Tempat Kejadian Perkara. Jaksa Penuntut Umum diberi
tugas untuk mengumpulkan alat-alat bukti dan barang-barang bukti untuk
membuktikan bahwa benar-benar terjadinya kejadian yang sebagaimana dijelaskan
dalam surat dakwaannya kepada hakim.
Dalam menegakkan keadilan, Kejaksaan memegang peran yang sangat
penting dimana para Jaksa Penuntut Umum harus mampu meyakinkan hakim-hakim
pada Pengadilan bahwa benar terjadinya kejadian sebagaimana yang disebutkan
dalam Surat dakwaan dan Terdakwa adalah pelaku atas kejadian tersebut. Oleh karena
itu, Penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “Prosedur Penanganan
Perkara Tindak Pidana Pembunuhan pada Kejaksaan Negeri Batam” dimana Penulis
akan melakukan penelitian mengenai prosedur-prosedur dan upaya-upaya yang
dilakukan Kejaksaan dalam mengungkapkan dugaan tindak pidana pembunuhan.
1.2.

Rumusan Masalah

1. Prosedur-prosedur / Tahapan-tahapan apa saja yang dilalui oleh Kejaksaan
Negeri Batam dalam mengungkapkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan
pada kasus dugaan tindak pidana pembunuhan?
2. Apa saja yang menjadi hambatan-hambatan Kejaksaan Negeri Batam dalam
membuktikan kasus dugaan tindak pidana pembunuhan?
3. Apa saja upaya-upaya yang dilakukan Kejaksaan Negeri Batam dalam
menghadapi hambatan-hambatan dalam membuktikan kasus dugaan pidana
pembunuhan?
1.3

Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Untuk mengetahui tata cara dan tahapan-tahapan yang dilalui oleh Kejaksaan
Negeri Batam dalam mengungkapkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan
pada kasus dugaan tindak pidana pembunuhan.
2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi Kejaksaan Negeri
Batam dalam membuktikan kasus dugaan tindak pidana pembunuhan.
3. Untuk mengetahui upaya-upaya dan solusi-solusi para Jaksa Penuntut Umum
dalam menghadapi hambatan-hambatan dalam membuktikan kasus dugaan
tindak pidana pembunuhan.

BAB II
GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

2.1

Letak Daerah
Kejaksaan Negeri Batam memiliki tugas dan wewenang mencakup seluruh

daerah yang termasuk dalam Kota Batam, salah satu Kota yang berada di Provinsi
Kepulauan Riau. Cakupan Kota Batam terdiri dari 12 (dua belas) Kecamatan antara
lain Kecamatan Batam Kota , Kecamatan Batu Aji, Kecamatan Batu Ampar,
Kecamatan Belakang Padang, Kecamatan Bengkong, Kecamatan Bulang, Kecamatan
Galang, Kecamatan Lubuk Baja, Kecamatan Nongsa, Kecamatan Sagulung,
Kecamatan Sekupang dan Kecamatan Sungai Beduk. Untuk kantor Kejaksaan Negeri
Batam sendiri terletak di Jalan Engku Putri Nomor 2, Kecamatan Batam Kota, tepat
di depan BANK INDONESIA (BI).
2.2. Luas Wilayah Hukum Kejaksaan Negeri Batam
Luas Wilayah Hukum Kejaksaan Negeri Batam adalah 3.990,00 Km² (71.500
Hektar/715 Km2) meliputi 400 buah Pulau, 329 buah di antaranya telah bernama
dengan perincian sebagai berikut :
a. Pulau Batam 415 Km ² ( 41.500 Ha) = 67% x Luas Singapore.

b. Pulau Rempang terletak

2,5 Km di sebelah Tenggara Pulau Batam luas

165,83 Km² (16.583 Ha) = 27 % x luas Singapore.
c. Pulau Galang terletak 350 M di sebelah tenggara Pulau Rempang luas 32
Km² ( 8.000 Ha) = 13 % x Luas Singapore.
d. Pulau Galang Baru terletak 180 M disebelah Selatan Pulau Galang, luas 32
Km² ( 3.200 Ha) = 15 % x Luas Singapore.
2.3

Visi dan Misi Kejaksaan Negeri Batam
Visi Kejaksaan Negeri Batam ialah Mewujudkan Kejaksaan sebagai lembaga

penegak hukum yang melaksanakan tugasnya secara independen dengan menjunjung
tinggi HAM dalam negara hukum berdasarkan Pancasila. Untuk mewujudkan visi
tersebut, maka Kejaksaan Negeri mempunyai misi sebagai berikut:
a. Menyatukan tata pikir, tata laku dan tata kerja dalam penegakan hukum.
b. Optimalisasi pemberantasan KKN dan penuntasan pelanggaran HAM.
c.

Menyesuaikan sistem dan tata laksana pelayanan dan penegakan hukum
dengan mengingat norma keagamaan, kesusilaan, kesopanan dengan
memperhatikan rasa keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat.

2.4 Tugas dan Wewenang Kejaksaan Negeri Batam

Kejaksaan Negeri Batam dalam menjalankan Tugas dan Wewenang yang
diberi oleh Negara sebagaimana tercantum pada Pasal 30 Undang-undang Nomor 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Secara garis besar, Tugas dan
wewenang Kejaksaan dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bidang, yaitu Bidang Pidana,
Bidang Keperdataan dan Tata Usaha Negara, dan Bidang Ketertiban dan Ketentraman
Umum.
2.4.1

Bidang Pidana
Dalam Bidang Pidana, Kejaksaan Negeri Batam sebagaimana tercantum

dalam Pasal 30 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia, memiliki Tugas dan Wewenang sebagai berikut :
a. melakukan penuntutan;
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang- undang;

e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
2.4.2. Bidang Keperdataan dan Tata Usaha Negara
Sedangkan pada Bidang Keperdataan dan Tata Usaha Negara, Kejaksaan
Negeri Batam sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 Undang-undang Nomor 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, memiliki Tugas dan Wewenang
dimana dengan kuasa khusus, Kejaksaan Negeri Batam dapat bertindak baik di dalam
maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
2.4.3 Bidang Ketertiban dan Ketentraman Umum
Selain tugas dan wewenang yang disebut diatas, Kejaksaan Negeri juga dapat
menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat umum,
yaitu sebagai berikut :
a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b. pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. pengawasan peredaran barang cetakan;
d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat
dan negara;

e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

2.5. Doktrin Kejaksaan
Dalam menjalankan tugas dan wewenang, Kejaksaan Negeri Batam memiliki
doktrin yang dikenal dengan “TRI KRAMA ADHYAKSA”, yang dijadikan sebagai
pedoman yang menjiwai setiap warga Kejaksaan Republik Indonesia demi terwujud
dalam sikap mental yang terpuji, yaitu :
SATYA : Setia dan Taat serta Melaksanakan Sepenuhnya Perwujudan Nilainilai Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, serta Peraturan
Perundang-undangan Negara sebagai Warga Negara Kesatuan
Republik Indonesia, sebagai Abdi Negara dan Abdi Masyarakat.
ADHI : Jujur, Berdisiplin dan Bertanggung Jawab
WICAKSANA : Bijaksana dan Berperilaku Terpuji
Tujuan utama dari penyusunan Doktrin-doktrin Kejaksaan ini adalah :
1. Menumbuhkan peningkatan iman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha
Esa dan kesetiaan sepenuhnya kepada Negara dan Pemerintah berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 ;

2. Menyukseskan pelaksanaan rencana dan program Pemerintah sesuai
dengan kehendak rakyat seperti termaktub dalam

Garis-garis Besar

Haluan Negara;
3. Melaksanakan tugas serta kewenangan Kejaksaan dengan penuh tanggung
jawab kedewasaan intelektual, sosial dan emosional, berorientasi kepada
amanah dan tugas;
4. Turut aktif membina tertib kehidupan bernegara dan bermasyarakat dalam
menciptakan suasana tertib hukum dan kepastian hukum yang berintikan
keadilan.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dibahas beberapa pengertian yang terkait dengan masalah
yang diteliti. Selain pengertian, juga dibahas dasar hukum yang digunakan untuk
menjawab permasalahan yang disebutkan di bab sebelumnya.
3.1.

Pengertian
Berdasarkan masalah dalam ”Prosedur Penanganan Perkara Tindak Pidana

Pembunuhan pada Kejaksaan Negeri Batam”, maka pengertian yang perlu dijelaskan
ialah pengertian Penanganan, Tindak Pidana, Pembunuhan, dan Kejaksaan.
3.1.1. Penanganan
Arti Penanganan berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia edisi keempat
adalah proses, cara, perbuatan, menyelesaikan (dalam berbagai-bagai arti seperti
pemberesan, pemecahan). Penanganan sering juga diartikan sebagai tata cara
penyelesaian yang dapat diartikan sebagai tata cara dalam menyelesaikan suatu hal.
Para Penegak Hukum Indonesia dalam menangani setiap penyimpangan
hukum pidana, harus berdasarkan pada Hukum Positif yang berlaku di Indonesia. Hal
ini dikarenakan oleh Hukum Pidana Indonesia yang menganut asas Legalitas,
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP), ”Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan
ketentuan Perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya”.
3.1.2. Tindak Pidana
3.1.2.1 Pengertian Tindak Pidana
Tindak Pidana terdiri dari 2 (dua) kata yaitu kata “tindak” dan “pidana”.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat, kata tindak diartikan
sebagai langkah ataupun perbuatan. Sedangkan kata “pidana” diartikan sebagai
Kejahatan ataupun Kriminal. Berdasarkan penjelasan diatas, Tindak Pidana dapat
diartikan sebagai Perbuatan Kejahatan ataupun Perbuatan Kriminal.
Menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H, mengartikan Tindak Pidana
sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana, dan pelaku
tersebut dapat dikatakan merupakan subjek dari tindakan pidana tersebut. Dalam
membuktikan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro,
S.H, menjelaskan unsur-unsur tindak pidana yang harus ditekankan yakni pada
Subjek Tindak Pidana, Perbuatan dari tindak pidana, Hubungan Sebab-akibat, Sifat
Melawan Hukum, Kesalahan Pelaku, Kesengajaan atau Kelalaian, dan asas
Legalitas.1
Dalam bukunya Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H, yang berjudul Asas-asas
Hukum Pidana di Indonesia, Subjek Tindak Pidana yang dimaksud adalah seorang
1

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, 2003, Hal. 59

manusia. Meskipun suatu Tindakan Pidana dilakukan dengan mengatasnamakan suatu
perusahaan, badan ataupun organisasi-organisasi lainnya, contohnya seperti, suatu
Perseroan Terbatas yang melakukan impor tanpa terlebih dahulu memperoleh Suratsurat Izin dari instansi pemerintah yang berwenang ataupun dikenal sebagai
penyelundupan, Pihak-pihak yang dapat dijatuhkan hukuman pidana tetaplah
manusia, bukan badan tersebut, dalam hal ini adalah orang-orang yang berfungsi
sebagai pengurus dari badan tersebut, contohnya pada suatu Perseroan Terbatas,
dipertanggungjawabkan oleh anggota-anggota direksi yang melakukan putusan
tersebut.2
Sedangkan oleh Prof. Moeljatno, S.H, mengartikan Perbuatan Pidana adalah
Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman
(sangsi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.
Larangan tersebut dimaksudkan pada Perbuatan yang telah dilakukan dan oleh aturan
hukum dianggap sebagai sebuah tindakan Pidana. Sedangkan ancaman (sangsi)
ditujukan kepada orang yang mengakibatkan atau menimbulkan suatu kejadian
tersebut.3
3.1.2.2 Teori-teori Hukum Pidana (Strafrechts-theorien)
Teori-teori Hukum Pidana selalu berasal dari dasar pikiran pada persoalan
“Mengapa suatu kejahatan harus dikenai hukuman pidana”. Teori-teori hukum ini
2

Ibid,.

3

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, 2002, Hal. 54

berhubungan erat dengan pengertian Subjektif strafrecht sebagai hak atau
kewenangan untuk menentukan dan menjatuhkan hukuman pidana. Teori-teori hukum
pidana antara lain :
a. Teori Negativisme
Dalam teori Negativisme, menjelaskan bahwa manusia tidak mempunyai
hak untuk menghukum orang lain, sehingga hak untuk memidanakan
seseorang adalah tidak ada. Hal ini dikarenakan adanya pemikiran bahwa
penjahat tidak boleh dilawan dan musuh tidak boleh di benci. Hal serupa
ini juga ditunjuk oleh seorang guru besar wanita kepada para pengikutnya.
Guru besar tersebut adalah Johannes Huss (1365-1415), seorang
gerejawan di Bohemen (Hussieten), yang mengingkari hak suatu
pemerintah, yang tahu diri sendiri bersalah terhadap tuhan untuk
menghukum orang lain. Menurutnya, hanya tuhan yang berhak untuk
menjatuhkan pidana kepada makhluk-makhluknya.4
b. Teori Absolut atau Mutlak
Dalam pandangan teori Absolut atau Mutlak, setiap kejahatan harus diikuti
dengan hukuman pidana, tidak boleh tidak, dan tidak diperbolehkan tawar
menawar. Teori ini menganggap setiap orang yang telah melakukan
kejahatan wajib dihukum tanpa memedulikan apakah dengan demikian

4

Ibid., Hal. 23

masyarakat akan dirugikan. Teori ini hanya memandang masa lampau,
tidak melihat ke masa depan. Tujuan dari teori absolut atau mutlak adalah
melakukan pembalasan atau dikenal dengan “Vergelding”. Dalam teori
absolut atau mutlak, hal yang dikejar adalah kepuasan hati. Contohnya,
pada kasus pembunuhan, pelaku harus dihukum demi mencapai kepuasan
hati terutama kepuasan hati keluarga korban dan masyarakat.5
c. Teori Relatif atau Nisbi
Pandangan teori Relatif atau Nisbi merupakan teori yang tolak belakang
dari pandangan teori Absolut atau Mutlak. Dalam teori ini, setiap
kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan hukuman pidana. Teori ini
tidak mengharuskan setiap tindakan pidana wajib di hukum, namun,
tindak pidana tersebut akan dihukum apabila ditemukan adanya manfaat
bagi masyarakat maupun bagi pelaku itu sendiri. Tujuan dari teori ini
bersifat preventif, di mana dengan menghukum pelaku kejahatan tersebut,
diharapkan di kemudian hari, tidak terjadi lagi kejahatan yang sama lagi.
Prevensi dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu prevensi khusus dan
prevensi umum. Prevensi khusus bertujuan untuk membuat pelaku
kejahatan takut sehingga tidak lagi melakukan kejahatan, sedangkan pada
Prevensi umum bertujuan untuk membuat masyarakat umum takut

5

Ibid.,

sehingga tidak melakukan kejahatan yang pernah dilakukan oleh pelaku
kejahatan tersebut.6
Teori Relatif atau Nisbi juga bertujuan untuk mengarahkan pelaku
kejahatan kembali ke jalan yang benar. Hal ini bertujuan agar pelaku
kejahatan tersebut dapat kembali menjadi orang yang baik dan tidak akan
melakukan kejahatan lagi. Menurut Zevenbergen, terdapat 3 (tiga) macam
perbaikan terhadap pelaku kejahatan, antara lain :
-

Perbaikan Yuridis, yaitu perbaikan mengenai sikap si pelaku kejahatan
agar dapat menaati Peraturan Perundang-undangan.

-

Perbaikan Intelektual, yaitu perbaikan mengenai tata cara pelaku
kejahatan tersebut berpikir.

-

Perbaikan Moral, yaitu perbaikan mengenai rasa kesusilaan agar
pelaku kejahatan tersebut menjadi orang yang bermoral tinggi7

d. Teori Gabungan (Verenigings-Theorien)
Teori Gabungan (Verenigings-Theorien) merupakan teori campuran dari
teori Absolut atau Mutlak dan teori Relatif atau Nisbi. Teori gabungan
mempunyai unsur “pembalasan” (Vergelding) sebagaimana yang terdapat
pada teori Absolut atau Mutlak dan juga terdapat unsur “prevensi” dan
6

Ibid., Hal. 25

7

Ibid.,

unsur “memperbaiki pelaku kejahatan” sebagaimana yang terdapat pada
teori Relatif atau Nisbi.8
3.1.2.3 Unsur-unsur Tindak Pidana
Para Ahli Hukum berpendapat bahwa dalam setiap perbuatan yang bersifat
melawan hukum tersebut terdiri dari unsur-unsur. Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro
merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut :
a. Subjek Hukum Pidana
Dalam pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang dapat
menjadi subjek dari tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum dari
tindak pidana tersebut. Perumusan ini mudah terlihat pada perumusanperumusan tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), yang menampakkan daya berpikir sebagai syarat dari subjek tindak
pidana itu. Perumusan ini juga dapat terlihat pada wujud hukuman yang
termuat dalam pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
yaitu hukuman penjara, kurungan dan denda. Dalam hal suatu tindak pidana
dilakukan atas nama suatu badan hukum, organisasi dan sebagainya, yang
menjadi subjek hukum pidana dalam suatu tindak pidana adalah oknumoknum dalam badan hukum atau organisasi tersebut yaitu orang-orang yang
berfungsi sebagai pengurus dari badan hukum, misalnya seorang direktur dari

8

Ibid., Hal. 27

suatu perseroan terbatas yang akan mempertanggungjawabkan suatu tindak
pidana yang dilakukan oleh perseroan terbatasnya atas perintah direktur
tersebut.9
b. Perbuatan dari Tindak Pidana
Wujud dari perbuatan tindak pidana dapat dilihat dari perumusan tindak
pidana pada pasal-pasal peraturan pidana. Perumusan ini dalam bahasa
Belanda dinamakan delicts-omshrijving. Misalnya dalam tindak pidana
mencuri, perbuatannya dirumuskan sebagai “mengambil barang”. Ini
merupakan perumusan secara formal, yaitu benar-benar disebutkan wujud
suatu gerakan tertentu dari badan seorang manusia. Sebaliknya, pada
perumusan secara material memuat penyebutan suatu akibat yang disebabkan
oleh perbuatannya, misalnya tindak pidana pembunuhan, membunuh
dirumuskan sebagai “mengakibatkan matinya orang lain”.10
c. Hubungan Sebab – Akibat (Causaal Verband)
Tindak pidana sebagai unsur pokok harus ada suatu akibat tertentu dari
perbuatan si pelaku berupa kerugian atas kepentingan orang lain, menandakan
keharusan ada hubungan sebab – akibat (Causaal Verband) antara perbuatan
pelaku dan kerugian kepentingan tertentu. 11
9

Ibid., Hal. 59

10

Ibid,.

11

Ibid,. Hal. 60

d. Sifat Melawan Hukum (Onrechtmatigedaad)
Onrechmatigedaad juga dinamakan sebagai wederrechtelijkheid. Unsur ini
secara tegas disebutkan dalam perumusan ketentuan hukum pidana
(strafbepaling). Misalnya, dalam pasal 362 KUHP tentang pencurian sering
disebutkan bahwa pencurian ini adalah mengambil barang milik orang lain
dengan maksud memiliki barang itu “secara melawan hukum”. Artinya,
seseorang dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana pencurian harus tidak
memiliki hak atas barang tersebut, sehingga perbuatan pelaku dalam
mengambil barang tersebut adalah sifat melawan hukum.12
e. Kesalahan Pelaku Tindak Pidana
Unsur kesalahan ini berupa 2 (dua) macam yaitu :
-

Kesengajaan (Opzet)
Yang dimaksud dengan kesengajaan (opzet) di sini adalah pelaku dalam
melakukan suatu tindak pidana dilakukan karena memang adanya niat
untuk itu. Kesengajaan (Opzet) dibagi menjadi 3 (tiga) jenis yaitu
kesengajaan yang bersifat tujuan (Opzet Oogmerk), Kesengajaan secara
keinsyafan kepastian (Opzet Bij Zekerheids Bewustzinj), dan Kesengajaan
secara keinsyafan kemungkinan (Opzet Bij Mogelijkheids Bewustzijn).13

12

Ibid,. Hal 61

13

Ibid,. Hal 65



Kesengajaan yang bersifat tujuan (Opzet Oogmerk)
Teori kesengajaan bersifat tujuan (Opzet Oogmerk) dapat artikan
bahwa

pelaku

dalam

melakukan

tindak

pidana

benar-benar

menghendaki mencapai hasil yang diinginkan oleh pelaku, sehingga
perbuatan pelaku tersebut dapat dijadikan pokok alasan untuk diadakan
ancaman hukuman pidana. Contoh dari Kesengajaan yang bersifat
tujuan (Opzet Oogmerk), A menembak B dengan menggunakan
senapan yang mengakibatkan B meninggal dunia, dari kasus ini dapat
terlihat maksud atau tujuan A dalam menembak B adalah untuk
mencapai tujuan A yaitu menghendaki B meninggal dunia, sehingga A
dapat dipersalahkan telah melakukan tindak pidana pembunuhan.14


Kesengajaan secara keinsyafan kepastian (Opzet Bij Zekerheids
Bewustzinj)
Kesengajaan semacam ini ada apabila pelaku dengan perbuatannya
tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik,
tetapi pelaku mengetahui apabila perbuatan tersebut dilakukan, maka
akibat dari perbuatannya akan mengakibatkan perbuatan pidana.
Contoh dari Kesengajaan secara keinsyafan kepastian (Opzet Bij
Zekerheids Bewustzinj), Seorang pemilik kapal dengan sengaja
menggantikan mesin kapalnya dengan mesin yang sudah tidak layak

14

Ibid,.

digunakan dan apabila tetap digunakan, mesin tersebut akan meledak.
Akan tetapi, demi mendapatkan uang asuransi kapal, pemilik kapal
tersebut sengaja menggunakan mesin kapal tersebut untuk berlayar.
Pada saat di tengah laut, kapal tersebut meledak dan mengakibatkan
awak-awak kapal tersebut meninggal dunia. Meskipun perbuatan
pemilik kapal tersebut tidak bertujuan membunuh awak-awak kapal
tersebut, namun oleh karena pemilik kapal mengetahui apabila mesin
tersebut tetap digunakan, maka akan meledak dan mengakibatkan
awak-awak kapal tersebut meninggal dunia, pemilik kapal tersebut
dapat dipersalahkan telah melakukan tindak pidana pembunuhan.15


Kesengajaan

secara

keinsyafan

kemungkinan

(Opzet

Bij

Mogelijkheids Bewustzinj)
Kesengajaan ini diartikan sebagai perbuatan yang sengaja dilakukan
pelaku tanpa disertai bayangan suatu akibat yang pasti, melainkan
hanya bayangan suatu kemungkinan. 16
-

Kelalaian (Culpa)
Culpa dalam bahasa Belanda berarti kesalahan pada umumnya. Namun
dalam ilmu hukum, culpa diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan
oleh pelaku secara tidak sengaja atau karena kurang berhati-hati

15

Ibid,. Hal 67

16

Ibid,. Hal 69

sehingga menimbulkan suatu akibat yang merugikan. Dalam hukum
pidana Indonesia, meskipun menimbulkan akibat yang sama dengan
opzet, perbuatan pidana yang dilakukan secara culpa dihukum lebih
ringan dibandingkan perbuatan yang dilakukan secara sengaja (Opzet).
Misalnya, dalam hal mengakibatkan matinya orang lain, jika perbuatan
tersebut dilakukan dengan sengaja (Opzet), maka berlaku pasal 338
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dengan hukuman
setinggi-tingginya 15 (lima belas) tahun penjara, berbeda dengan hal
mengakibatkan matinya orang lain yang dilakukan karena kelalaian
(culpa), maka berlaku pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) dengan hukuman setinggi-tingginya 5 (lima) tahun penjara.17
f. Tiada Hukuman Tanpa Kesalahan (Genn Straf Zonder Schuld)
Dalam menerapkan pasal-pasal yang terdapat dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP), perbuatan pelaku harus terdapat unsur kesalahan.
Pada sebagian pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP),
dijelaskan dengan tegas bahwa untuk menerapkan pasal tersebut, harus
terpenuhi unsur kesalahan, baik berupa kesengajaan (Opzet) ataupun
Kelalaian (Culpa). Contoh pasal yang menjelaskan unsur kesalahan secara
tegas adalah sebagai berikut :

17

Ibid,. Hal 72

-

Pasal 338 menyatakan “barang siapa dengan sengaja merampas nyawa
orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling
lama lima belas tahun”. Dalam pasal ini, terlihat bahwa untuk
mendakwakan seorang pelaku dengan pasal 338, harus terdapat unsur
kesalahan pada perbuatan pelaku tersebut, yaitu kesalahan berupa
kesengajaan (Opzet).

-

Pasal 359 menyatakan “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya)
menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”. Dalam pasal
359, terlihat bahwa untuk mendakwakan seorang pelaku dengan pasal 359,
harus terdapat unsur kesalahan pada perbuatan pelaku tersebut, yaitu
kesalahan berupa kelalaian (Culpa).

Akan tetapi tidak semua pasal menyatakan secara tegas unsur kesalahan dari
perbuatan tersebut, namun secara tidak langsung tersirat dalam kalimat pasal
tersebut. Contohnya antara lain :
-

Pasal 490 ke-1 menyatakan “Barang siapa menghasut hewan terhadap
orang atau terhadap hewan yang sedang ditunggangi, atau dipasang di
muka kereta atau kendaraan, atau sedang memikul muatan”. Dalam pasal
490 ke-1, terlihat dari kata kerja “menghasut” mengandung unsur
kesengajaan (Opzet).

-

Pasal 490 ke-3 menyatakan “Barang siapa tidak menjaga secukupnya
binatang buas yang ada di bawah penjagaannya, supaya tidak
menimbulkan kerugian”. Dalam pasal 490 ke-3, terlihat dari kata kerja
“tidak menjaga” mengandung unsur kelalaian (Culpa).

g. Unsur-unsur Khusus dari Tindak-tindak Pidana Tertentu.
Sebelumnya, telah dibahas unsur-unsur pidana pada umumnya. Namun, pada
tindakan pidana tertentu, harus memenuhi unsurnya tersendiri. Unsur khusus
tersebut dapat berupa identitas pelaku tersebut, misalnya:
-

Pada Bab XXVII dari buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) tentang kejahatan jabatan, memuat beberapa pasal yang
menyebutkan sebagai unsur khusus bahwa pelaku harus seorang pegawai
negeri.

-

Pada Bab XXIX dari buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) tentang kejahatan pelayaran, memuat beberapa pasal yang
menyebutkan sebagai unsur khusus bahwa pelaku harus sebagai orang
yang mengendarai kapal atau sebagai awak kapal.

-

Pada Pasal 341 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang
melarang membunuh bayi yang baru lahir menyebutkan sebagai unsur
khusus bahwa pelaku harus merupakan ibu dari bayi tersebut.

3.1.3. Pembunuhan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi keempat, Pembunuhan diartikan
sebagai proses, cara, perbuatan membunuh. Sedangkan kata membunuh sendiri,
diartikan oleh Kamus Besar Indonesia Edisi Keempat sebagai menghilangkan
(menghabisi, mencabut) nyawa. Sehingga kata pembunuhan dapat diartikan sebagai
rangkaian tata cara yang dilakukan seseorang untuk menghilangkan nyawa baik
nyawa manusia ataupun nyawa makhluk hidup lainnya.
Pembunuhan, dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), di atur
dalam Bab XIX. Pembunuhan sendiri dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) dikenal juga sebagai Kejahatan Terhadap Nyawa. Dalam pasal 338 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menjelaskan tindakan pembunuhan sebagai
sebuah perbuatan merampas nyawa orang lain yang dilakukan dengan sengaja.
Dilihat dari Pasal 338 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang
menyatakan “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam
pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”, dapat diketahui
bahwa dalam membuktikan suatu tindak pidana pembunuhan harus memenuhi unsurunsur barangsiapa, dengan sengaja, dan merampas nyawa orang lain.
Menurut S.R. Sianturi, S.H, dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP), terdapat 9 Paragraf jenis kejahatan terhadap jiwa, badan dan kesehatan pada
seseorang, yang digolongkan sebagai berikut:

-

Pembunuhan, yaitu pada pasal 338, 339 dan 340

-

Pembunuhan sengaja yang berbentuk khusus, yaitu pada pasal 341 sampai
dengan pasal 345

-

Pengguguran dan pembunuhan kandungan, yaitu pada pasal 346 sampai
dengan 349

-

Penganiayaan, yaitu pada pasal 351 sampai dengan 357

-

Karena salahnya menyebabkan mati atau luka orang lain, yaitu pada pasal
359, 360 dan 361

-

Penyertaan pada penyerangan atau penyertaan pada perkelahian, yaitu
pada pasal 358

-

Menelantarkan orang, yaitu pada pasal 304 sampai dengan 309

-

Duel, yaitu pada pasal 182 sampai dengan 186

-

Perbuatan membahayakan jiwa atau keselamatan seseorang, yaitu pada
pasal 300, 301, 531 dan 538.18

S.R. Sianturi, S.H menjelaskan bahwa pasal 338 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) merupakan tolak ukur untuk seluruh kejahatan yang diatur
pada pasal 339 sampai dengan pasal 349 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
18

S.R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni AHM-PTHAM, Jakarta, 1983,
Hal. 484

(KUHP), yaitu mengenai kejahatan terhadap nyawa. Artinya, dalam pasal 338 sampai
dengan pasal 349 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), harus ternyata ada
orang lain yang terbunuh. Bedanya, dalam pasal 338 sampai dengan pasal 349 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), terdapat hal-hal ataupun keadaan yang
meringankan ataupun memberatkan.19
Pembunuhan yang dimaksud dalam pasal 338 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP), dijelaskan oleh S.R. Siantur, S.H sebagai penghilangan jiwa
seseorang. Unsur-unsur dalam pasal 338 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) yang harus dipenuhi antara lain :
a. Unsur Barangsiapa, yaitu subjek dari tindak pidana Pembunuhan dalam hal ini
adalah pelaku tindak pidana Pembunuhan tersebut. Sehingga, pelaku
pembunuhan tersebut yang kemudian akan dijadikan sebagai terdakwa di
depan persidangan untuk minta pertanggungjawabannya atas perbuatan yang
telah dilakukannya dengan ketentuan tidak ditemukan adanya alasan
pembenar maupun alasan pemaaf yang dapat menghapuskan kesalahan pelaku
pembunuhan tersebut.
b. Unsur dengan sengaja yang juga dikenal dengan kata opzet tidak diartikan
oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kata “sengaja” berarti dimaksudkan, memang diniatkan
begitu, tidak secara kebetulan. Sehingga, dapat diartikan bahwa dengan
19

Ibid., Hal. 485

sengaja yang dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah
perbuatan yang dilakukan oleh pelaku karena memang niatnya pelaku
tersebut, di mana pelaku mengetahui dan menghendaki matinya seseorang
dengan tindakannya itu. Unsur inilah yang membedakan antara pembunuhan
dengan penganiayaan yang mengakibatkan matinya seseorang. Dalam hal
pembunuhan, pelaku benar-benar menghendaki matinya korban, sedangkan
dalam penganiayaan yang mengakibatkan matinya seseorang, pelaku benarbenar tidak menghendaki matinya korban, melainkan hanya supaya korban
merasakan sakit, rusak kesehatan, atau cedera.
c. Unsur Merampas nyawa, merupakan tindakan yang dilarang oleh Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP), tidak menjelaskan secara detail mengenai perbuatan
“merampas nyawa”, sehingga segala cara yang dilakukan pelaku dengan
tujuan menghilangkan nyawa orang lain dapat digolongkan dalam pasal 338
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Contoh perbuatannya dapat
berupa

memukul,

menendang,

menusuk,

menyembelih,

menembak,

menyetrum dengan aliran listrik, menggantung, mencekik, meracun,
menenggelamkan, menjatuhkan dari suatu ketinggian, diikat atau dikurung
dengan tidak diberi makan sampai mati, dan lain sebagainya yang dapat
menghilangkan jiwa seseorang dapat digolongkan sebagai pembunuhan.

d. Unsur orang lain, merupakan objek dari pembunuhan, yaitu orang yang
dibunuh. Dalam hal ini, orang yang dibunuh harus orang lain yang masih
hidup, bukan jenazah, dirinya sendiri, boneka ataupun lainnya yang bukan
orang.20
3.1.4. Kejaksaan
Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga penyelenggara kekuasaan
negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang,
Kejaksaan Republik Indonesia merupakan lembaga yang bergerak atas kekuasaan
negara khususnya di bidang penuntutan.
Kejaksaan secara khusus diatur oleh Undang-undang nomor 16 Tahun 2004
Tentang Kejaksaan. Dalam pasal 2 ayat 1 Undang-undang nomor 16 Tahun 2004
Tentang Kejaksaan, memberikan pengertian dari Kejaksaan dengan menyatakan
“Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut
kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”.
Kejaksaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana
dijelaskan dalam Pasal 4 Undang-undang nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan,
dalam melaksanakan kekuasaannya diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung,
Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri, di mana semuanya merupakan satu

20

Ibid.

kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan, yang masing-masing mempunyai
wilayah kekuasaan yang berbeda, yaitu sebagai berikut :
1. Kejaksaan Agung berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan
daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia.
Kejaksaan Agung dipimpin oleh Jaksa Agung.
2. Kejaksaan Tinggi berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya
meliputi wilayah provinsi. Kejaksaan Tinggi dipimpin oleh Kepala Jaksa
Tinggi.
3. Kejaksaan negeri berkedudukan di ibukota kabupaten/kota yang daerah
hukumnya meliputi daerah kabupaten/kota. Kejaksaan Negeri dipimpin oleh
Kepala Kejaksaan Negeri
Dalam menjalankan tugas-tugas dan wewenang sebagaimana ternyata pada
Undang-undang nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan, Kejaksaan Agung
Republik Indonesia yang dipimpin oleh Jaksa Agung di bantu oleh beberapa Jaksa
Agung Muda antara lain Jaksa Agung Muda Pembinaan, Jaksa Agung Muda Intelijen,
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus,
Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, dan Jaksa Agung Muda
Pengawasan.

Kejaksaan Negara Republik Indonesia memiliki struktur organisasi sebagai
berikut :

Berdasarkan Pasal 30 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia tugas dan wewenang Kejaksaan yaitu:
1. Di Bidang Pidana
a. melakukan penuntutan;
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang- undang;
e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
2. Dai bidang Perdata dan Tata Usaha Negara :
Kejaksaan dengan kuasa khusus, dapat bertindak baik di dalam
maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
3. Di

bidang

ketertiban

dan

ketenteraman

umum

Kejaksaan

turut

menyelenggarakan kegiatan:
a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b. pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. pengawasan peredaran barang cetakan;
d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat
dan negara;
e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;

f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

BAB IV
HASIL LAPORAN KERJA PRAKTEK

4.1.

Kegiatan Rutin
Kegiatan yang dilakukan Penulis dalam melakukan kegiatan kerja praktek di

Kejaksaan Negeri Batam yang dilaksanakan dari tanggal 1 September 2013 sampai
dengan tanggal 31 Desember 2013 adalah mempelajari berkas Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) yang diterima dari pihak penyidik, dan membantu para jaksa
menyiapkan surat dakwaan, surat tuntutan, serta surat-surat lainnya secara bertahap.
Berikut rincian kerja rutin yang dilakukan penulis selama magang di Kejaksaan
Negeri Batam :
TAHAP I
1. Menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)
Dalam tahap ini, Penyidik akan menyerahkan Surat Pemberitahuan
Dimulainya Penyidikan (SPDP) ke kantor Kejaksaan Negeri yaitu ke bagian
Sekretariat. Setelah Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)
tersebut akan diserahkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri kemudian oleh
Kepala Kejaksaan Negeri, akan memberikan perintah untuk di buatkan

Membuat Surat Perintah Penunjukan Jaksa Penuntut Umum untuk Mengikuti
Perkembangan Penyidikan Perkara Tindak Pidana (P-16)
2. Membuat Surat Perintah Penunjukan Jaksa Penuntut Umum untuk Mengikuti
Perkembangan Penyidikan Perkara Tindak Pidana (P-16)
Setelah mendapat perintah dari Kepala Kejaksaan Negeri, penulis melanjutkan
membuat Surat Perintah Penunjukan Jaksa Penuntut Umum untuk Mengikuti
Perkembangan Penyidikan Perkara Tindak Pidana (P-16) yang isinya
menunjuk Jaksa-jaksa yang telah ditentukan Kepala Kejaksaan Negeri untuk
mengikuti perkembangan kasus perkara sebagaimana disebut di Surat
Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Setelah itu, Penulis menunggu kedatangan berkas Berita Acara Pemeriksaan
(BAP)
3. Mempelajari berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
Setelah berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP) serta surat lainnya akan
diserahkan kepada jaksa, pada kasus tertentu, jaksa akan meminta bantu
kepada penulis untuk bantu mempelajari berkas Berita Acara Pemeriksaan
(BAP). Di sini, Penulis mempelajari berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP),
dan menentukan sikap apakah berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP) telah
memenuhi syarat formil dan syarat materiil dengan cara membuat Hasil
Penelitian Berkas Perkara atau yang dikenal dengan nama Checklist.

4. Membuat Hasil Penelitian Berkas Perkara atau Checklist
Setelah membaca berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP), penulis membuat
Hasil Penelitian Berkas Perkara atau Checklist. Dalam tahap ini, penulis
melakukan pengecekan terhadap berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
tersebut, dan apabila menurut penulis berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
telah memenuhi syarat Formil dan syarat materiil, maka penulis akan
membuat “Surat Pemberitahuan bahwa Hasil Penyidikan sudah Lengkap”
yang diberi kode formulir P-21.
Sebaliknya, apabila berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dianggap belum
memenuhi syarat, maka penulis akan membuat “Surat Hasil Penyidikan
Belum Lengkap” yang diberi kode formulir P-18 dan “Surat Pengembalian
Berkas Perkara untuk Dilengkapi” yang diberi kode formulir P-19, yang
kemudian bersama berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP) akan dikirim balik
kepada penyidik untuk kembali dilengkapi penyidik.
5. Membuat Rencana Surat Dakwaan dan Matriks
Pada berkas-berkas yang telah dianggap memenuhi syarat formil dan syarat
materiil, penulis melanjutkan membuat Rencana Surat Dakwaan yang berisi
tentang dakwaan yang akan didakwakan kepada terdakwa dipersidangan dan
Matriks yang berisikan unsur-unsur pasal yang didakwakan beserta
pembuktian setiap unsurnya.

6. Mengajukan Rencana Surat Dakwaan ke Kepala Seksi dan Kepala Kejaksaan
Negeri
Setelah membuat Rencana Surat Dakwaan, Matriks dan Surat P-21, Penulis
selanjutnya menyerahkannya kepada Jaksa yang ditunjuk sesuai P-16 dan
berkas-berkas yang dibuat penulis akan dipelajari oleh Jaksa tersebut. Apabila
Jaksa merasa berkas-berkas yang dibuat Penulis sudah benar, maka berkasberkas tersebut akan diserahkan kepada Kepala Seksi dan Kepala Kejaksaan
Negeri. Oleh karena penulis menulis judul mengenai “Pembunuhan”, maka
penulis ditempatkan di bagian Seksi Tindak Pidana Umum, di mana berkasberkas yang telah dibuat oleh penulis diserahkan kepada Kepala Seksi Pidana
Umum.
TAHAP II
7. Pemeriksaan Tersangka
Dalam tahap ini, Jaksa Penuntut Umum yang ditunjuk untuk mengikuti
perkembangan kasus ini akan melakukan pemeriksaan ulang terhadap
tersangka. Dalam tahap ini, Jaksa Penuntut Umum akan memeriksa ulang
tersangka dan menerima barang bukti dari penyidik. Setelah melakukan
pemeriksaan ulang, Jaksa Penuntut Umum akan membuat Berita Acara
Penerimaan dan Penelitian Tersangka yang diberi kode formulir BA-15 dan
Berita Acara Penerimaan dan Penelitian Benda Sitaan/Barang Bukti yang

diberi kode formulir BA-18. Oleh karena tahap ini bersifat rahasia, maka
penulis tidak dilibatkan dalam tahap ini.
8. Membuat Surat Perpanjangan Penahanan dan Surat Perintah Penunjukan
Jaksa Penuntut Umum untuk Penyelesaian Perkara Tindak Pidana
Setelah melakukan tahap Pemeriksaan Tersangka, penulis akan membuatkan
Surat Perpanjangan Penahanan yang diberikan kode formulir T-7 dan Surat
Perintah Penunjukan Jaksa Penuntut Umum untuk Penyelesaian Perkara
Tindak Pidana yang diberikan kode formulir P-16A
9. Membuat Surat Pelimpahan Perkara kepada Pengadilan Negeri
Dalam Tahap ini, terhadap berkas-berkas yang telah dibuat P-16A dan T-7,
Penulis membuat Surat Pengantar kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk
melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri. Penulis juga membuat Surat
Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Biasa yang diberi kode formulir P-31
untuk Acara Pemeriksaan Biasa, atau Surat Pelimpahan Perkara Acara
Pemeriksaan Singkat yang diberi kode formulir P-32 untuk Acara
Pemeriksaan Singkat.
10. Mengantar Surat Pelimpahan ke Pengadilan Negeri
Setelah membuat Surat Pengantar Pelimpahan Perkara dan P-31 atau P-32,
Penulis menyusun