Proposal tesis (6) id. docx

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Setiap orang merindukan kebahagiaan dalam hidupnya termasuk dalam
kehidupan keluarganya. Tidak ada seorang manusia pun yang memilih hidup dalam
keluarga yang disharmoni oleh karena berbagai sebab. Ketika memutuskan untuk
menikah dan membangun kehidupan pernikahan dan keluarga, kebahagiaan pasti
menjadi tujuan dan harapan utama. Namun dalam realitanya, ternyata ada banyak
tujuan yang melenceng keluar dari yang sesungguhnya serta banyak harapan yang
terpaksa harus pupus. Berbagai penyebab menjadi faktor pendorong kehidupan keluarga
yang disharmoni tadi. Salah satunya adalah perselingkuhan. Berapa banyak keluarga
yang mengalami masalah ini dan yang pada akhirnya dilanda kehancuran bahkan tak
sedikit yang berujung pada perceraian?. Hal ini menandakan bahwa ternyata pernikahan
dan keluarga tidak lagi dilihat sebagai institusi yang sakral dan harus dijaga serta
dipelihara. Pernikahan kehilangan fungsinya yang hakiki justru karena adanya berbagai
praktek menyimpang seperti perselingkuhan tadi. Malah yang lebih parah terkadang
orang melihat perselingkuhan sebagai hal yang biasa dan yang berlaku umum karena itu
bukanlah merupakan sebuah dosa besar jika orang selingkuhan. Pemahamanpemahaman yang seperti ini menjadikan perselingkuhan sebagai pilihan untuk
menikmati hidup meskipun pada akhirnya pilihan ini membawa banyak resiko tidak
hanya kepada korban perselingkuhan tetapi juga kepada pelaku perselingkuhan itu dan
berimbas juga kepada orang lain.
Sebuah keluarga yang mengalami masalah perselingkuhan dan kemudian

terancam hancur karena istri yang tidak lagi sanggup bertahan akhirnya menggugat cerai

suaminya yang selingkuh mengatakan: “ saya tidak tahan lagi menghadapi
perselingkuhan suami saya yang tidak hanya sekali terjadi melainkan berulang-ulang.
Bagi saya menikah itu untuk menikmati firdaus dan bukan mengalami neraka setiap hari.
Lebih baik saya bercerai daripada harus terus hidup seperti ini”. Atau ada juga suami di
keluarga yang lain yang memilih meninggalkan istri dan anak-anaknya dan hidup
bersama perempuan selingkuhannya kerena merasa bahwa bersama selingkuhannya ia
lebih dapat menikamti hidup yang indah. Keadaan ini menggambarkan bahwa ternyata
perselingkuhan sanggup menjadi faktor penghancur dengan skala yang sangat besar bagi
sebuah keluarga. Dalam keluarga Kristen saja banyak yang hancur karena
perselingkuhan. Ironisnya justru kehancuran ini seperti dilanggengkan oleh pernyataanpernyataan yang membenarkan perilaku perselingkuhan terutama dari pihak pelaku. “
saya tidak tahan hidup dengan istri yang cerewet dan hampir tidak berhenti menuntut”
atau “ istri saya jarang merawat diri, setiap saya pulang saya harus melihat istri yang
awut-awutan dan berbau kompor, saya lalu membayangkan dia yang selalu wangi dan
tampak cantik”. Ini mungkin manjadi faktor pemicu terjadinya perselingkuhan tetapi
bukanlah segalanya sebab jika cinta kasih menjadi faktor utama dan dasar yang kokoh
dari keluarga maka sebuah pernikahan tidaklah harus hancur karena kelemahan
pasangan dilihat sebagai acaman dan bukan dikelola secara bersama dengan lebih baik.
Realita banyaknya keluarga yang hancur karena perselingkuhan adalah juga

masalah yang sedang digumuli oleh gereja. Sayangnya banyak keluarga yang dengan
menyesal harus mengakui bahwa selama mengalami masalah, mereka hampir tidak
pernah didampingi. Ataupun kalau pendampingan itu dilakukan justru ketika masalah
sudah sangat parah dan ibarat penyakit kanker sudah memasuki stadium akhir. Banyak

yang masih bisa diselamatkan namun banyak juga yang terpaksa harus berakhir dengan
perceraian. Ironis memang namun lagi-lagi hidup ini memang pilihan. Setiap orang
berhak memilih yang terbaik dalam hidupnya. Misalnya ketika didampingi ada seorang
suami yang istrinya selingkuh kemidian mengatakan bahwa ia lebih memilih diamputasi
kakinya daripada seluruh tubuhnya binasa karena penyakit. Akhirnya perceraian menjadi
pilihan.

Menghadapi realita ini, maka gereja harus memainkan peranan yang sungguh-

sugguh mampu mentransformasi sebuah keluarga. Mulai dari pendampingan yang intens
mengawali dan mempersiapkan umat memasuki sebuah pernikahan dan menjalani
pernikahan selanjutnya. Agar pasangan suami istri sungguh-sungguh mampu menghayati
arti dan makna sebuah keluarga, mampu membangun dan merawat cinta kasih dan
terhindar dari berbagai praktek yang berujung kepada kehancuran bangunan keluarga.
Pendampingan pastoral sebagai tugas gereja adalah cara yang efektif sebab dengan tools

yanmg dimiliki lewat pendampingan pastoral maka fungsi pastoral yang bertujuan untuk
menyembuhkan, menopang, membimbing, mendamaikan, memelihara, membebaskan
dan memberdayakan, dapat menciptakan kondisi yang jauh lebih baik dan meminimalisir
kerusakan yang mungkin saja terjadi. Gereja harus menciptakan sebuah model
pendampingan yang sungguh-sungguh menyentuh dan mampu mentransformasi
kehidupan umat dalam berbagai lini kehidupan serta menyerukan panggilan pertobatan
dan pembaharuan hidup yang sungguh-sungguh sebagaimana yang Tuhan kehendaki
bagi umatNya. Banyak keluarga yang sementara mengalami kesesakan akibat
perselingkuhan maka sudah sepatutnya gereja menjadi alat Tuhan untuk berseru “

Marilah kepadaku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan
kelagaan kepadamu”, melalui pendampingan pastoral yang sungguh dan utuh.
B. PERUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana realita perselingkuhan dan permasalannya bagi keluarga dan gereja?
2. Bagaimana merumuskan dan menciptakan model pendampingan pastoralia
terhadap masalah perselingkuhan?
C. PEMBATASAN MASALAH
1. Memaparkan realita perselingkuhan dan masalahnya bagi keluarga dan gereja.
2. Merumuskan dan menciptakan model pendampingan pastoral terhadap masalah
perselingkuhan.

D. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Memberikan gambaran yang deskriptif sesuai realita masalah perselingkuhan yang
dihadapi serta memaparkan masalahnya secara objektif lewat analisa yang akurat.
2. Memperoleh sebuah model pendampingan pastoral yang dapat digunakan oleh
gereja.
E. MANFAAT PENELITIAN
Peneltian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis bagi pengembangan kajian
teologi pastoral pada Fakultas Teologi dan memberikan kontribusi bagi gereja dalam
menciptakan model pendampingan pastoral terhadap umat terkhusus yang mengalami
masalah-masalah keluarga seperti perselingkuhan,dll.

TINJAUAN PUSTAKA
A.

KERANGKA TEORITIK
Perselingkuhan merupakan suatu fenomena yang cukup kompleks karena sulit

ditentukan batas-batasnya, namun sering kali dirasakan sebagai hal yang real bagi pihak-pihak
yang berkonfrontasi dengannya. Perselingkuhan sering juga diartikan secara berbeda terutama

oleh mereka yang menganut perilaku itu dan menganggapnya sebagai sebuah hal yang lumrah.
Menurut Hunter, dalam kamus Pastoral And Care Counseling, perselingkuhan secara tradisional
diartikan sama dengan perzinahan (Hunter 1990,581). 1 Meskipun sebenarnya perzinahan
memiliki cakupan yang lebih luas, namun keduanya sama-sama merupakan tindakan yang dapat
merusak pernikahan. Menurut Stella Luciana, perselingkuhan memiliki pengertian ketika
seseorang melakukan aktivitas seksual dengan orang lain yang bukan pasanganyaa. Aktivitas
seksual di sini bukan hanya persetubuhan, tetapi berbagai macam kegiatan yang dapat
melibatkan nafsu seseorang2. Perselingkuhan yang dilakukan oleh satu orang bisa berbeda
motif dan caranya dengan orang lain. Ada orang yang melakukan perselingkuhan tunggal artinya
dengan satu orang pasangan selingkuh, namun ada juga yang melakukan perselingkuhan
dengan lebih dari satu orang. Menurut Subotnik dan Haris dalam buku Surviving Infidelity :
Making Decisions, Recovering From The Pain, mengemukakan bahwa perselingkuhan dapat

1 Dikutip oleh Stella.Luciana “pelayanan pastoral Terhadap Warga jemaat Yang Selingkuh” dalam
Pdt.DR.Daniel.Susanto, Kapita Selekta Pelayanan pastoral, editor (GKI Menteng jakarta, 2013)
2 Stella Luciana dalam Pelayanan Pastoral terhadap warga Jemaat yang selingkuh dalam Pdt.DR.Daniel.Susanto,
Kapita Selekta Pelayanan pastoral, editor (GKI Menteng jakarta, 2013)

dikatagorikan ke dalam 4 bentuk yaitu : Serial affairs, Flings ( teman kencan), romantic affairs
(Hubungan romantis), dan Long term affairs (Hubungan jangka panjang)3.

Dari keempat kategori yang dikemukakan di atas, semuanya berpotensi menjadi perilaku
yang dianggap biasa dan menyenangkan bahkan bisa sampai ke tahap lebih parah yaitu
menjadikan perselingkuhan sebagai pilihan untuk mengakhiri komitmen pernikahan. Apalagi jika
terdapat banyak ruang terbuka yang bisa digunakan sebagai jalan masuk untuk
mempertahankan perselingkuhan. Perselingkuhan terjadi bukan hanya karena lemahnya aspek
personal namun juga suatu bentuk kerapuhan individual baik secara moral maupun kerohanian
yang kemudian berdampak pada tindakan yang diambilnya. Dalam sebuah kehidupan
pernikahan, hal ini bisa dikarenakan lemahnya kesediaan untuk membangun dan
mepertahankan komitmen sebagai pasangan suami istri ditambah dengan pengaruh faktor
pendorong lainnya seperti kurangnya kesiapan ketika mulai membangun pernikahan, lemahnya
faktor kasih sebagai dasar utama dalam pernikahan dan ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap
pasangan, dll.
Menghadapi fenomena perselingkuhan yang semakin marak terjadi baik yang nyata
maupun terselubung, yang dilanggengkan maupun yang telah menunjukan akibat fatal, maka
haruslah ada tindakan baik prefentif maupun tindakan mengatasi dan mengentaskan
perselingkuhan. Tentunya hal ini bukanlah sebuah upaya yang mudah. Karena di satu sisi,
perselingkuhan bukanlah satu-satunya masalah yang sementara digumuli oleh gereja dan di sisi
yang lain pun harus diakui bahwa terkadang gereka mengalami miss action dalam menghadapi
masalah ini. Karena itu maka seyogyanya perselingkuhan mendapat tempat yang cukup penting
dalam fokus pelayanan gereja terutama dalam tindakan pendampingan terhadap masalah-


3

masalah keumatan. Dengan tools yang dimiliki oleh gereja, gereja mampu untuk menolong
umat keluar dan mengatasi masalah tanpa menimbulkan masalah baru. Karena itu maka
pemahaman terhadap pendampingan pastoral harus menjadi skill dari seluruh pelayan gereja.
Memahami teologi pastoral sebagai landasan teoritis dalam melakukan tindakan pendampingan
pastoral akan sangat membantu gereja menciptakan model pendampingan yang efektif dan
berkesinambungan.
1. MAKNA TEOLOGI PASTORAL
Pastoral Theology atau Teologi Pastoral adalah salah satu cabang atau bidang ilmu
pengetahuan dan penyelidikan theologis yang mengarahkan perpektif penggembalaan kepada
semua kegiatan dan fungsi gereja dan pendeta dan kemudian menarik kesimpulan-kesimpulan
teologis dari refleksi pada pengamatan-pengamatan ini 4. Ini berarti pertama-tama bahwa
teologi pastoral dihasilkan oleh penyelidikan dari perpektif penggembalaan, kalau
penggembalaan tersebut didefenisikan menurut penjelasan diatas. Kedua, defenisi ini
menegaskan bahwa teologi pastoral adalah sebuah cabang teologi dalam pengertian yang
sebenarnya. Teologi pastoral memiliki otonomi yang sama seperti cabang-cabang teologi
lainnya. Ketiga, teologi pastoral adalah sebuah cabang teologi yang berpusat pada aktivitasnya
atau fungsinya dan bukan cabang teologi yang berpusat pada logika. Keempat, teologi pastoral

bersifat sistematis seperti halnya setiap cabang teologi lainnya namun prinsip disekitar teologi
pastoral disusun bersifat perspektif penggembalaan. Kelima, teologi pastoral memungkinkan
kita untuk menggunakan suatu metode dalam hubungan dengan hal itu, yang konsisten dengan
patokan-patokan dari segala metode teologi kritis.
4.Steward Hiltner Pengantar Untuk Teologi Pastoral dalam Prof.Tjaard.G.Hommes TH.D, E.Gerrit Singgih,Ph.D (Ed),
Teologi Dan Praksis Pastoral :Ontologi Teologi Pastoral (Jakarta:BPK Gunung Mulia, Jokjakarta: Kanisius, 1992),7988.

Selanjutnya menurut Hiltner, jika defenisi teologi pastoral adalah demikian maka ada
beberapa hal yang juga harus diingat yaitu bahwa teologi pastoral bukan hanya sekedar praktik
dari apapun, bukan pula sekedar teologi yang diterapkan, bukan hanya psikologi pastoral atau
sosiologi pastoral dibawah nama yang baru, bukan cuma teori dari segala fungsi dan kegiatan
dari pastor dan gereja melainkan cabang teologi yang berpusat pada aktifitasnya, yang dimulai
dengan pertanyaan-pertanyaan teologis dan diakhiri dengan jawaban-jawaban teologis.
Dengan demikian maka dapat dipahamai bahwa teologi pastoral memiliki peranan yang
sangat penting karena beberapa alasan yaitu : 1)karena sifat teologi pastoral yang khas dan
luasnya kebutuhan penggembalaan di masa kini, 2)karena perkembangan ilmu pengetahuan
baru, alat-alat baru dan dan profesi-profesi baru yang berkaitan dengan tugas pemeliharaan dan
penyembuhan, 3)karena tanpa studi pastoral,kegiatan-kegiatan penggembalaan walaupun
banyak dan berat tidak akan menerangi pemahaman kita tentang iman, 4)karena suasana
psikhologis intelektual yang khas di masa kini, dan 5) dalam kaitannya dengan kebangkitan

teologi dewasa ini.
Pentingnya teologi pastoral juga dikarenakan konteks pelayanan gereja di berbagai
bidang semakin diwarnai kompleksitas persoalan yang sarat dinamika dan karena itu
dibutuhkan pemahaman perspektif teologis yang membantu praktek pastoral gereja dan yang
berangkat dari teori-teori yang pasti. Karena itu, menurut Abineno, Teologi pastoral adalah
teologi tentang pastorat yang adalah bagian dari teologi praktika yang bertujuan untuk
melakukan tugas intermedier menyampikan kasih, anugerah dan keselamatan Allah kepada

manusia lewat relasi antar manusia 5 . ini berarti bahwa antara teori dan aksi harus berjalan
bersama. Antara proses refleksi dan praksis mesti terjadi dialog dan komunikasi.
Menurut Emmanuel Y Lartey, pastoral teologi adalah aksi refleksi yang membawa
bersama aksi dan refleksi dalam dialog dan cara kritik yang saling menguntungkan atau saling
menopang6. Jadi dalam teologi pastoral nampak tindakan kepedulian Allah dan persekutuan
antar manusia. Lewat teologi pastoral, para teolog memberikan perhatian terhadap iman dalam
persekutuan, hasil dari kepedulian yang berangkat dari pengalaman real serta percaya bahwa
lewat cara itu, sesungguhnya itulah cara Allah menunjukan kepedulianNya. Oleh sebab itu, bagi
Imanuel Lartey, teologi pastoral adalah teologi yang sangat kontekstual karena lahir dari konteks
manusia yang sangat alami dan beragam baik sosial, ekonomi, budaya dan pengalamanpengalaman yang nyata. Dalam upaya memahami konteks itu, maka sangat diperlukan analisa
konteks yang mendalam agar suara dari teologi pastoral itu sendiri mampu menjadi suara Allah
di tengah beragam konteks dan perbedaan pengalaman hidup manusia.

II. PELAYANAN PASTORAL
Dari pemikiran secara teologis, perenungan secara kritis dan analisa konteks yang
mendalam lewat teologi pastoral, maka pelayanan pastoral dapat dilakukan. Pelayanan pastoral
adalah salah satu pelayanan gereja yang sangat penting saat dewasa ini manusia menghadapi
beragam persoalan dan masalah-masalah hidup yang amat sangat kompleks. Pelayanan pastoral
terhadap manusia yang hidup ditengah interaksi dengan sesama dan alam ciptaan
membutuhkan sebuah pendekatan pelayanan pastoral yang holistik yang didasarkan pada
5.Ch.Jl.Abineno, Pedoman Praktis Untuk Pelayanan Pastoral”(Jakarta :BPK Gunung Mulia, 1993),16.
6 .Emmanuel Y Lartey Pastoral Theology in an Intercultural World (USA and Canada : The Pilgrim Press, 2006), 14.

pemikiran teologi pastoral yang terbuka dan luas. Selain belajar tentang peran gembala dan
domba (pemahaman tradisional tentang pelayanan pastoral), yang ditafsirkan secara relevan
pada masa kini, pelayanan pastoral holistik dilandasi pemikiran bahwa pelayanan pastoral pada
dasarnya mencerminkan pemeliharaan Allah terhadap ciptaanNya.
Pelayanan pastoral menunjuk pada sikap yang memelihara dan mempedulikan (care and
concern)7. Care dan concern ini dilakukan sesuai fungsi pastoral yang dirumuskan oleh para ahli
pastoral seperti Wiliiam A. Clebbsch dan Charles R. Jaekle yaitu : menyembuhkan (healing),
menopang (sustaining), membimbing (Guiding) dan mendamaikan (reconciling). Howard
Clinebell menambahkan fungsi yang kelima yaitu memelihara (nurturing) 8. Dan Emmaneul Y
Lartey menambahkan dua fungsi lainnya yaitu Liberating (membebaskan) dan Empowering

(Memberdayakan). Untuk melakukan ketujuh fungsi ini, maka dibutuhkan kesediaan untuk
remembering and hearing sebab Allah terus menerus berhubungan dengan manusia dengan
mengingat dan mendengarkan manusia. Menurut Jhon Patton dalam bukunya “Pastoral Care:
An essensial Guide”, pelayanan pastoral harus juga didasarkan pada pengakuan ini yaitu bahwa
Allah menciptakan manusia untuk membangun relasi dengan Allah dan dengan ciptaan lainnya.
Relasi itu akan tetap tercipta dengan baik jika manusia saling bisa mengingat dan mendengar.
Remembering dan hearing ini merupakan salah satu tools untuk membantu pelayanan pastoral
menuju pastoral wisdom dimana saling pengertian menjadi faktor pendorong. Saat pelayanan
pastoral dilakukan di tengah konteks persoalan dan masalah yang beragam, kehadiran
seseorang yang bersedia mengerti, mendengar dan mengingat akan sangat menolong.
7. Pdt.Dr.Daniel.Susanto Pelayanan Pastoral Holistik dalam Sekilas Pelayanan Pastoral Di Indonesia (Jakarta: Majelis
Jemaat GKI Menteng, 2010),28&31-32.
8.ibid, 35

Semua paparan diatas sangat dibutuhkan ketika terjadi persoalan dalam kehidupan umat
di mana gereja dan para pelayan dituntut untuk berperan sebagai pastor dalam melakukan
pelayanan pastoral. Misalnya persoalan dalam kehidupan keluarga atau rumah tangga seperti
perselingkuhan. Berhadapan dengan fenomena yang seperti ini maka gereja harus memainkan
peran. Gereja harus menjawab kasih dan kepedulian Allah memalui tindakan kasih dan
kepedulian terhadap umat. Care dan concern harus menjiwai pelayanan pastoral yang dilakukan
oleh gereja. Pelayanan pastoral gereja haruslah juga care of marriage and family perkawinan
membentuk sebuah keluarga dan keluarga adalah basis pembinaan gereja. Kepedulian terhadap
perkawinan dan keluarga oleh seorang pastor akan sangat membantu dalam menyikapi
berbagai persoalan keluarga.
Terhadap masalah perselingkuhan tadi, harus disiapkan beberapa tahapan pelayanan
yang dibedakan antara terhadap korban perselingkuhan dan pelaku perselingkuhan. Fokus
pelayanan dan pendampingan pastoral terhadap korban dan pelaku juga perlu dibedakan. Bagi
korban perselingkuhan, fokus pendampingan harus lebih diarahkan kepada soal pengampunan,
pembebasan dan pemulihan melalui tahapan:
-

Membangun kepercayaan
Membiarkan konseli (umat) mengungkapkan perasaannya
Menggali masa lalu tetapi menghindari perhatian yang berlebihan terhadap masa
lalu
Merumuskan permasalahan
Membangun kesediaan pengampunan
Re-building kepercayaan diri
Menyusun rencana tindakan/aksi

Kepada pelaku fokusnya harus lebih diarahkan kepada kesadaran dan pertobatan serta
pemulihan9, melalui tahapan :
- Membangun kepercayaan
- Membiarkan konseli mengungkapkan perasaannya
- Menggali motivasi
- Menggali masa lalu tetapi harus menghindari perhatian yang berlebihan terhadap
masa lalu
- Merumuskan masalah
- Penyadaran akan tingkah laku yang salah
- Menyusun rencana tindakan rekonsiliasi
Dalam hal ini ketujuh fungsi pelayanan pastoral harus benar-benar diterapkan. Namun
perlu diingat bahwa terkadang dalam melakukan fungsi-fungsi ini kita sering terjatuh dalam
kecenderungan men-judge orang lain terutama pelaku. Padahal tugas seorang pastor yang
melakukan pelayanan dan pendampingan pastoral adalah membantu umat untuk menyadari
tentang hukuman dari kaca mata firman Tuhan yaitu bahwa hukuman adalah konsekuensi dari
setiap perbuatan manusia dan pengalaman hidup manusia dan itu hak Allah bukan hak pastor.
Dengan cara itu, orang akan dibimbing untuk tidak serta merta merasa dihukum oleh Allah atau
sebaliknya merasa dibiarkan tanpa hukuman sebagai konsekuensi perbuatan melainkan
tertolong untuk melihat dan menyadari dirinya sendiri sesauai apa adanya dia 10. Baik korban
maupun pelaku yang didampingi juga harus dilihat sebagai pribadi utuh yang hidup dalam
konteks serta berinteraksi dengan orang lain dan dalam komunikasi sebagai suami istri yang
sedang disharmoni. Pendekatan pastoral holistik yang transformatif penting dilakukan.
Tujuannya agar setiap aspek dari kehidupan dapat diperhatikan baik aspek fisik, mental, sosial,
budaya, spiritual dan bahkan aspek-aspek lainnya yang saling berhubungan. Dari seluruh aspek

9. Stela Luciana Pelayanan Pastoral Terhadap Warga Jemaat Yang Selingkuh dalam Pdt.Dr.Daniel Susanto Kapita
Selekta Pelayanan Pastoral (Ed) (Jakarta:GKI Menteng,2013),42-46.
10. .John E Hinkle, JR, The Meaning Of Pastoral Care (United State By Meyer- Stone Books, 2014), 84.

itu, aspek spiritual adalah aspek yang sangat penting, mengapa demikian? Karena relasi dengan
Tuhan yang merenggang akan sangat mempengaruhi relasi interpersonal dengan orang lain.
Pelayanan dan pendampingan pastoral harus mendorong seseorang untuk kembali
memperbaiki hubungannya dengan Tuhan, menyadari dirinya sendiri dan memperbaiki relasinya
dengan orang lain. Sebab pendampingan pastoral yang dilakukan oleh gereja berbeda dengan
konseling pada umumnya sekalipun pendampingan itu memerlukan bantuan tools ilmu-ilmu
lain karena sesungguhnya dalam pendampingan pastoral, yang terjadi adalah trialogis bukan
hanya dialogis yaitu relasi antara manusia dengan manusia dan dengan Tuhan. Kesadaran ini
akan membantu setiap pelayanan pastoral yang dilakukan tidak keluar jalur.

III. SUBJEK PELAYANAN PASTORAL
Lalu bagaiman memahami tugas pelayanan pastoral itu sendiri, siapa yang menjadi
subjek dari pelayanan pastoral? Menurut Steward Hiltner, setiap pendeta adalah subjek
pelayanan pastoral. Betapapun luasnya pelayanan dan peran seorang pendeta, setiap pendeta
harus menjadi teolog pastoral, setiap pendeta harus menjadi gembala dalam arti yang
seharusnya. Tugas pastoral seorang pendeta harus dimaknai di dalam Allah sebagai Gembala
Agung yang memberikan banyak teladan penggembalaan. Karena itu pendidikan seorang
pendeta haruslah sangat berkaitan juga dengan pastoral, sebab menjadi spesialis teologi
pastoral juga serta merta menjadi spesialis dalam bidang yang lain yang tentunya sangat
membantu pelayanan yang lebih luas.
Namun apakah hanya pendeta saja pelaku teologi pastoral? Masih menurut Hiltner,
kaum awam juga dapat menjadi pelaku teologi pastoral. Sekalipun mereka tidak memiliki basic

teologi yang kuat, namun mereka adalah orang-orang yang mungkin punya latar belakang untuk
dapat menopang pelayanan pastoral dan karena itu selain inspirasi, bagi mereka harus
ditumbuhkan minat imajinasi untuk melakukan tugas pastoral. Sebab ketika ada kerja sama yang
baik antara pendeta dan awam, maka masalah-masalah yang kompleks dapat tertanggulangi
lewat pelayanan pastoral yang holistik dan efektif.

B.

KERANGKA BERPIKIR
Realita masalah perselingkuhan yang cukup multi dimensional memang tidak

bisa disikapi dengan sederhana sebab individu yang terlibat didalammnya adalah mereka yang
memiliki keterikatan batin sebagai suami istri. Sekalipun dalam kenyataanya relasi keterikatan
itu terganggu karena komitmen yang dilanggar namun paling kurang masih ada keterkaitan yang
dapat dijadikan kekuatan dalam mengatasi masalah. Banyak cara pendampingan gereja yang
dinilai belum sungguh-sungguh menyentuh persoalan umat bukan hanya karena intensitas
pendampingan yang sangat lebar kurvanya, tetapi juga juga karena seringkali kesibukan
pelayanan yang lain menyita waktu seorang pendeta dalam melakukan tugas sebagai pastor.
Bahkan di beberapa kasus yang diamati, ketika sudah sampai pada tahapan krisis barulah
pendampingan dilakukan. Pertanyaannya adalah apakah hal ini dikarenakan kurangnya in-put
data yang berhasil diterima oleh pelayan ataukah karena faktor lain?
Selain itu, terkesan pendampingan lebih banyak diarahkan kepada para korban untuk
memberikan kepada mereka semangat survive dalam hidup padahal rantai perselingkuhan itu
belum

tersentuh

sama

sekali.

Akibatnya

pendampingan

yang

dialakukan

berhasil

menyelamatkan satu korban namun korban-korban lainnya masih berjatuhan. Hal ini menuntut

perubahan perpektif dan paradigma dalam meletakan fokus pendampingan. Sebab yang banyak
terjadi adalah pelaku perselingkuhan tidak dipaksa untuk melihat perilakunya sebagai
perbuatan menyimpang dan dosa. Mereka malah seperti dibiarkan menikmati kesenanangan
dari perilaku itu sebagai sesuatu yang bagi mereka sudan berlaku umum,”kalau orang lain saja
bisa selingkuh, masakan saya tidak bisa?” atau untuk pelaku yang laki-laki sering ada ungkapan “
ah..itu kan pakaian laki-laki”. Akibatnya perselingkuhan menjadi hal wajar yang berkembang
seiring dengan fenomena perkembangan moderen dunia ini.
Hal lain yang penting juga untuk dilihat adalah adanya kecenderungan untuk
membenarkan perilaku perselingkuhan dengan melemparkan kesalahan kepada korban. Dengan
mengemukakan segala kelemahan yang dimiliki dan tidak mampu memenuhi standar ekspektasi
yang terlalu tinggi. Dari kaca mata korban, hal ini sangat tidak adil, sebab tidak ada manusia
yang sempurna dan pernikahan bukanlah sarana dimana orang memaksa orang lain untuk hidup
bersama dan memenuhi segala macam impian dan keinginannya yang tentunya sangat egois.
Salah satu yang tidak dapat dikesampingkan juga adalah persoalan motif dan penyebab
seseorang selingkuh dan ini mesti ditempatkan dalam perpektif melihat dari kaca mata pelaku.
Karena itu memang tidak gampang jikalau pelayan sendiri kurang memiliki skill dalam
menangani masalah ini.
Memang adakalanya, melakukan pendampingan terhadap korban perselingkuhan jauh
lebih mudah ketimbang kepada pelaku perselingkuhan. Hal ini dikarenakan banyak pelaku yang
tidak ingin diusik dan diganggu urusan pribadinya. Tidak jarang terjadi ketika pelayan keluar
selesai pendampingan, korban justru mengalami tekanan yang lebih dasyat dari pelaku. Selain
itu ada juga kecenderungan untuk tidak bersedia mengakui bahwa apa yang sedang dilakukan
adalah sebuah kesalahan. Misalnya ada pelaku yang kemudian mengatakan bahwa “memang

saya selingkuh, tetapi saya tetap pulang ke rumah dan memberikan jatah kepada istri”. Ini
sesungguhnya adalah bentuk arogansi yang tidak bisa ditolelir karena itu memang penting
untuk melihat dari perpektif pelaku juga dan berusaha menolongnya untuk keluar dari belenggu
kesalahan yang dianggap bukan kesalahan. Ini memang tidak bisa menjadi patokan untuk semua
kasus karena setiap masalah memiliki tingkat kerumitan yang berbeda-beda.
Di beberapa jemaat GPM misalnya, ada yang sudah memiliki Tim pastoral jemaat yang
beranggotakan pendeta dan awam gereja yang memiliki kompetensi di biadangnya masingmasing, namun ternyata belum maksimal dalam menjalankan fungsinya dikarenakan kesibukan
dan hal-hal lain. Atau juga fungsi mereka tidak dilihat dalam penghargaan umat karena faktor
menjaga kerahasiaan adalah etika seorang pastor yang harus dijunjung tinggi. Yang lebih ironis
menurut saya adalah pola pendampingan pastoral yang diatur rutin bahkan perkunjungan
rumah tangga menjelang Perjamuan Kudus dikatakan sebagai kunjungan pastoral padahal
muatan pastoralnya hampir tidak ada. Atau pendampingan yang dilakukan bersifat sangat
kasuistik ibarat menunggu seorang penderita diabetes telah berada di meja operasi untuk
diamputasi barulah ditolong. Dengan melihat kepada funfsi-fungsi pastoral di atas, maka pola
pendampingan dan model pendampingan harus mengalami perubahan agar tujuannya pun
dapat dicapai.
Ini tentunya membutuhkan keseriusan gereja untuk peka terhadap persoalan
keumatan yang terkadang hanya disentuh kulit luarnya. Penguatan profil umat sebagai salah
satu pilar pelayanan gereja di Gereja Protestan Maluku misalnya, harus mendapat tendensi
besar. Terkesan bamyak pelayanan yang tidak berhasil karena pelayan lebih mengarahkan
perhatian kepada masalah penguatan kelembagaan. Padahal bagi saya, jika umat kuat dan
merasa dipedulikan maka mereka akan dengan sangat bersuka cita menopang lembaga dan

pelayanan. Perintah Yesus sebagai Sang Gembala Agung dalam Injil Yohanes 10 : “Akulah
Gembala Yang Baik” harus menjadi panggilan semua pelayan gereja sebab itu adalah respons
terhadap perintah Yesus sekaligus bentuk nyata dari pengakuan mengasihi Yesus. Sebagaimana
dalam epilog Yohanes ketika Yesus merespons pernyataan Petrus tentang kasihnya dengan
perintah “Gembalakanlah domba-dombaku”. Bagi saya ini sebuah kebahagiaan jika gereja dapat
melakukannya dengan benar.

METODOLOGI PENELITIAN
A.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian
yang bersifat deskriptif analitik terhadap data yang dipaparkan berupa ungkapan-

ungkapan kata, dokumen tertulis, catatan wawancara, catatan lapangan, dokumen
B.

historis, gambar, video dan sumber data kualitatif lainnya.
JENIS PENELITIAN
Jenis penelitian adalah penelitian lapangan dan peneilitian kepustakaan dengan

C.

pendekatan kualitatif
SUMBER DATA
Data diperoleh dari informan yang menjadi data primer dan berbagai tulisan,

D.
E.

F.

catatan, grafik, gambar, video dll, sebagi data sekunder.
LOKASI PENELITIAN
Penulis melakukan penelitian beberapa jemaat di kota Ambon dan sekitarnya.
TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Data dikumpulkan melalui wawancara dan observasi.Untuk kepentingan itu,
penulis menyaipkan istrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan wawancara.
TEKNIK ANALISA DATA
Data dianalisa dengan pendekatan kualitatif. Seluruh data yang diperoleh diolah
secara kualitatif, kemudian dianalisa dan dilakukan verifikasi ulang agar data yang

G.

digunakan sungguh-sungguh valid.
CARA PENYAJIAN
Tulisan ini disajikan dalam 5 Bab yaitu Bab I PENDAHULUAN, Bab II TINJAUAN PUSTAKA,
Bab III HASIL PENELITIAN DAN ANALISA, Bab IV REFLEKSI TEOLOGIS DAN AKSI PASTORAL
dan Bab V PENUTUP.