Definisi Teori Teori dalam Hubungan Inte

1. TEORI KETERGANTUNGAN / DEPENDENCY THEORY
Menurut Theotonio Dos Santos, Dependensi (ketergantungan) adalah keadaan dimana
kehidupan ekonomi negara–negara tertentu dipengaruhi oleh perkembangan dan ekspansi
dari kehidupan ekonomi negara–negara lain, di mana negara–negara tertentu ini hanya
berperan sebagai penerima akibat saja.Aspek penting dalam kajian sosiologi adalah adanya
pola ketergantungan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya dalam
kehidupan berbangsa di dunia.Teori Dependensi lebih menitik beratkan pada persoalan
keterbelakangan dan pembangunan negara pinggiran.Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa
teori dependensi mewakili "suara negara-negara pinggiran" untuk menantang hegemoni
ekonomi, politik, budaya dan intelektual dari negara maju.
Dos Santos menguraikan ada 3 bentuk ketergantungan:
1). Ketergantungan Kolonial
A. Terjadi penjajahan dari negara pusat ke negara pinggiran.
B. Kegiatan ekonominya adalah ekspor barang-barang yang dibutuhkan negara
pusat.
C. Hubungan penjajah – penduduk sekitar bersifat eksploitatif negara pusat.
D. Negara pusat menanamkan modalnya baik langsung maupun melalui
kerjasama dengan pengusaha lokal.
2). Ketergantungan Teknologis-Industrial
A. Bentuk ketergantungan baru.
B. Kegiatan ekonomi di negara pinggiran tidak lagi berupa ekspor bahan mentah

untuk negara pusat.
C. Perusahaan multinasional mulai menanamkan modalnya di negara pinggiran
dengan tujuan untuk kepentingan negara pinggiran.
3). Ketergantungan Teknologis-Industrial
A. Bentuk ketergantungan baru.
B. Kegiatan ekonomi di negara pinggiran tidak lagi berupa ekspor bahan mentah
untuk negara pusat.
C. Perusahaan multinasional mulai menanamkan modalnya di negara pinggiran
dengan tujuan untuk kepentingan negara pinggiran.
2. TEORI KEPENTINGAN ATAU INTEREST THEORY

Hans J. Morgenthau, teori kepentingan atau interest theory atau self interest
merupakan pilar utama bagi teorinya tentang politik luar negeri dan politik internasional yang
realis. Pendekatan morgenthau ini begitu terkenal sehingga telah menjadi suatu paradigma
dominan dalam studi politik internasional sesudah Perang Dunia II. Pemikiran Morgenthau
didasarkan pada premis bahwa strategi diplomasi harus didasarkan pada kepentingan
nasional, bukan pada alasan-alasan moral, legal dan ideologi yang dianggapnya utopis dan
bahkan berbahaya. Ia menyatakan kepentingan nasional setiap negara adalah mengejar
kekuasaan, yaitu apa saja yang bisa membentuk dan mempertahankan pengendalian suatu
negara atas negara lain. Hubungan kekuasaan atau pengendalian ini bisa diciptakan melalui

teknik-teknik paksaan maupun kerjasama. Demikianlan Morgenthau membangun konsep
abstrak yang artinya tidak mudah di definisikan, yaitu kekuasaan (power) dan kepentingan
(interest), yang dianggapnya sebagai sarana dan sekaligus tujuan dari tindakan politik
internasional. Para pengkritiknya,terutama ilmuan dari aliran saintifik, menuntut definisi
operasional yang jelas yentang konsep-konsep dasar itu. Tetapi Morgenthau tetap bertahan
pada pendapatnya bahwa konsep-konsep abstrak seperti kekuasaan dan kepentingan itu tidak
dapat dan tidak boleh dikuantifikasikan. Menurut Morgenthau, ”Kepentingan nasional adalah
kemampuan minimum negara untuk melindungi, dan mempertahankan identitas fisik, politik,
dan kultur dari gangguan negara lain. Dari tinjauan ini para pemimpin negara menurunkan
kebijakan spesifik terhadap negara lain yang sifatnya kerjasama atau konflik.
3. TEORI SALING KETERGANTUNGAN ATAU INTERDEPENDENSI THEORY
Teori Interdependensi atau saling ketergantungan merupakan sebuah teori yang lahir
dari perspektif liberalis. Dimana saling ketergantungan disebabkan oleh kerjasama yang
saling dilakukan oleh dua negara / lebih. Dalam bukunya, Yanuar Ikbar menjelaskan bahwa
interdependensi merupakan saling ketergantungan yang mempertemukan kekurangan dari
masing-masing negara melalui keunggulan komparatif masyarakat. Pemahaman tersebut
berdasarkan pemikiran dari Robert O. Keohane dan Joseph S. Nye. Penjelasan tersebut bisa
menjadi landasan bagi penelitian mengenai kerjasama bilateral kedua negara. Contohnya
kerjasama bileteral antara Indonesia dan Paraguay dalam bidang ekonomi. Kerjasama
tersebut menyebabkan saling ketergantungan antara kedua negara, dimana kedua negara

saling membutuhkan satu sama lain. Indonesia mengimpor daging sapi dan kacang kedelai
dari Paraguay, dimana kedua komoditas dagang tersebut sangat dibutuhkan oleh Indonesia,
mengingat pasokan komoditas tersebut lebih kecil dari permintaan masyarakat. Sementara
itu, Paraguay membutuhkan produk industri seperti elektronik, otomotif, serta bahan kimia

dari Indonesia. Karena Paraguay merupakan negara agraris yang tidak memproduksi produkproduk tersebut. Selain itu, kerjasama bilateral tersebut memberikan dampak yang positif
bagi peningkatan perekonomian kedua negara. Selain itu, dengan adanya kerjasama tersebut
maka pangsa pasar kedua negara semakin luas.
4. TEORI HUMANITARIAN INTERVESION
Humanitarian intervention atau intervensi kemanusiaan adalah upaya untuk mencegah
atau menghentikan pelanggaran hak asasi manusia dengan kekuatan militer di suatu negara,
baik dengan atau tanpa persetujuan negara itu (negara mengalami internal konflik).Dalam
Blacks Law Dictionary dikatakan bahwa intervensi kemanusiaan diartikan sebagai intervensi
yang dilakukan oleh komunitas internasional untuk mengurangi pelanggaran hak asasi
manusia dalam satu negara, walaupun tindakan tersebut melanggar kedaulatan negara
tersebut.
Penjelasan mengenai intervensi kemanusiaan tersebut memiliki empat elemen, yaitu:
pertama, adanya penggunaan militer sebagai kekuatan pemaksa. Kedua, biasanya intervensi
tersebut dilakukan tanpa persetujuan negara target; ketiga, intervensi dimaksudkan adalah
untuk melindungi warga negara dari negara target; dan terakhir adalah aktor intervensi bisa

negara-negara secara unilateral, kelompok negara ataupun organisasi internasional seperti
PBB.
5. TEORI KONSTRUKTIVISME
Asumsi dasar dari konstruktivisme adalah pertama, setiap tindakan negara didasarkan
pada meanings yang muncul dari hasil interaksinya dengan lingkungan. Konstruktivisme
beranggapan bahwa tindakan yang dilakukan oleh negara akan berpengaruh terhadap bentuk
sistem internasional. Begitupun sebaliknya sistem internasional tersebut juga akan
berpengaruh terhadap perilaku negara. Kedua, pendangan mengenai sistem anarki
internasional. Dalam sistem anarki terdapat interaksi – interaksi antar negara. Kemudian,
dalam interaksi antar negara itu terjadi proses mempengaruhi antar negara sehingga interaksi
antar negara itu memberikan bentuk terhadap sistem internasional. hal ini bertentangan
dengan realisme yang menyatakan bahwa realita hubungan internasional bersifat anarki
dimana anarki tersebut bersifat given. Ketiga, konstruktivisme memfokuskan kajiannya
terhadap persolaan mengenai bagaimana pembentukan ide dan identitas. Kemudian

bagaimana perkembangan ide dan identitas tersebut serta bagaimana ide dan identitas
tersebut membentuk pemahaman negara dan merespon lingkungan sekitarnya (portal-hi.net).
Kaum konstruktivis meyakini bahwa dunia sosial, termasuk hubungan internasional
merupakan hasil konstruksi manusia (Jackson & Sorensen 2009: 307). Dalam perspektif ini,
dunia sosial bukanlah sesuatu yang given. Dunia sosial bukanlah seperti yang diungkapkan

kaum behavioralis dan positivis dimana hukum – hukum dunia sosial tersebut dapat ditemkan
melalui penelitian – penelitian ilmiah serta dapat dijelaskan melalui teori ilmiah. Melainkan
dunia sosial adalah sesuatu yang intersubjektif dimana dunia sosial tersebut memiliki arti
yang sangat penting bagi masyarakat yang membuatnya, hidup di dalamnya serta
memahaminya (Jackson & Sorensen 2009: 307).
6. TEORI NEOLIBERALISME
Awal mula kemunculan perspektif neoliberalisme terjadi pada tahun 1980an yang
diprakarsai oleh Robert Keohane pada tahun 1982 melalui karyanya After Hegemony
(Martin, 2007). Neoliberal melihat distribusi kekuatan internasional sebagai pola faktor
pendorong utama dalam kerjasama internasional. mereka berkonsentrasi pada hubungan
transnasional dan menolak asumsi realisme bahwa negara merupakan satu-satunya aktor yang
penting dalam dunia internasional. Neoliberalisme merupakan sebuah teori dalam hubungan
internasional yang menggambarkan mengenai konsep-konsep mengenai rasionalitas, dan
kontrak, serta memberikan fokus pada peranan institusi dan organisasi dalam politik
internasional (Martin, 2007). Perbedaan mendasar antara neoliberalisme dan perspektif
pendahulunya, liberalisme adalah terletak pada proses kerjasama yang diusungnya. Kerja
sama memang ada dalam liberalisme dan neoliberalisme. Hanya saja, liberalisme berusaha
mencapai perdamaian dunia melalui kerja sama dalam wadah institusi internasional, seperti
LBB dan PBB, sementara neoliberalisme berusaha mencapai perdamaian dunia dengan cara
menjalin relasi dengan aktor lain melalui perdagangan kapitalisme (Martin, 2007).

7. TEORI REALISME
Salah satu perspektif dalam ilmu Hubungan Internasional yang mengalami banyak
perkembangan adalah Realisme. Perspektif realis banyak membahas tentang perang dan
keamanan yang berkaitan dengan militer dan power. Realisme berkembang dan mendasar
pada pemikiran bahwa man is evil. Aktor dalam perspektif realisme adalah negara, sebagai
satu individual yang tidak akan bekerjasama dengan aktor lain tanpa ada maksud tertentu

(self-interested) dan akan selalu berusaha untuk memperkuat dirinya sendiri. Berawal dari
sejarah studi Hubungan Internasional yang muncul antara Perang Dunia I dan II, realisme
hadir sebagai arus utama pendekatan hubungan internasional akibat ketidaksempurnaan
pendekatan idealis. Pandangan-pandangan yang menjadi fundasi aliran ini posisinya
berseberangan dengan pemikiran para penganut idealisme. Adapun pandangan atau asumsi
dasar dari prespektif realisme, antara lain:
(1) memandang secara pesimistis terhadap sifat dasar manusia yang cenderung
berbuat baik. Prespektif ini berkeyakinan bahwa manusia itu bersifat jahat,
berambisi untuk berkuasa, bereperang, dan tidak mau bekerjasama;
(2) bersikap skeptis terhadap kemajuan politik internasional dan politik domestik;
(3) meyakini bahwa hubungan internasional bersifat konfliktual atau berpotensi
menghasilkan konflik. Dan konflik-konflik internasional yang terjadi hanya
bisa diselesaikan dengan jalan perang;

(4) menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional dan eksistensi atau
kelangsungan hidup negara.
Para pemikir realis juga menempatkan keamanan nasional sebagai prioritas atau fokus
utama dalam prespektif realisme. Dalam kacamata realis, keamanan militer dan isu-isu
strategis tergolong kepentingan utama dan mengacu ke dalam kategori high politics.
Sedangkan ekonomi dan isu-isu sosial dilihat oleh kaum realis sebagai hal yang biasa, yang
termasuk ke dalam kategori low politics. Realisme juga memfokuskan analisisnya pada
power dan otonomi dalam interaksi internasional serta tentang tidak adanya keharmonisan
diantara negara-negara, sehingga konsep self-help di sini menjadi penting. Dan kemampuan
yang paling relevan, yaitu kemampuan di bidang militer. Realis tidak menolak prinsip-prinsip
moral, Hanya saja dalam prakteknya, moralitas individual dikalahkan oleh kepentingan akan
kelangsungan hidup negara dan penduduknya dan tentu saja kepentingan nasional itu sendiri
Bagi kaum realis, negara merupakan aktor utama dalam panggung internasional. Sebagai
aktor utama, negara berkewajiban mempertahankan kepentingan nasionalnya dalam kancah
politik internasional. Negara dalam konteks ini diasumsikan sebagai entitas yang bersifat
tunggal dan rasional. Maksudnya adalah dalam tataran negara, perbedaan pandangan politis
telah diselesaikan hingga menghasilkan satu suara. Sedangkan negara dianggap rasional
karena mampu mengkalkulasikan bagaimana cara mencapai kepentingan agar mendapat hasil
maksimal. Seorang realis juga biasanya memusatkan perhatian pada potensi konflik yang ada
di antara aktor negara, dalam rangka memperhatikan atau menjaga stabilitas internasional,

mengantisipasi kemungkinan kegagalan upaya penjagaan stabilitas, memperhitungkan

manfaat dari tindakan paksaan sebagai salah satu cara pemecahan terhadap perselisihan, dan
memberikan perlindungan terhadap tindakan pelanggaran wilayah perbatasan. Oleh karena
itu, power adalah konsep kunci dalam hal ini. Dasar Normatif realisme adalah keamanan
nasional dan kelangsungan hidup negara: ini merupakan nilai-nilai yang menggerakkan
doktrin kaum realis dan kebijakan luar negeri kaum realis.
Negara dipandang esensial bagi kehidupan warganegaranya: tanpa negara yang
menjamin alat-alat dan kondisi-kondisi keamanan dan yang memajukan kesejahteraan,
kehidupan manusia dibatasi menjadi seperti, seperti yang tersurat dalam pernyataan Thomas
Hobbes yang terkenal terpencil, miskin, dan sangat tidak menyenangkan, tidak
berperikemanusiaan, dan singkat. dengan demikian negara dipandang sebagai pelindung
wilayahnya, penduduknya, dan cara hidupnya yang khas dan berharga. Kepentingan nasional
adalah wasit terakhir dalam menentukan kebijakan luar negeri. Masyarakat dan moralitas
manusia dibatasi pada Negara dan tidak meluas pada hubungan internasional yang
merupakan arena politik dari kekacauan yang besar, perselisihan, konflik antar Negara-negara
yang berkekuatan besar mendominasi pihak-pihak lain.
Fakta bahwa semua negara harus mengejar kepentingan nasionalnya sendiri berarti
bahwa negara dan pemerintahan lainnya tidak akan pernah dapat diharapkan sepenuhnya.
Seluruh kesepakatan internasional bersifat sementara dan kondisional atas dasar keinginan

negara-negara untuk mematuhinya. Semua negara harus siap mengorbankan kewajiban
internasionalnya yang berdasar pada kepentingannya sendiri jika dua negara terlibat dalam
konflik. Hal itu menjadikan perjanjian-perjanjian dan semua persetujuan, konvensi,
kebiasaan, aturan dan hukum lainnya, antara negara-negara hanyalah berupa pengaturan yang
bijaksana yang dapat dan akan dikesampingkan jika semua itu berseberangan dengan
kepentingan negara. Tidak ada kewajiban internasional dalam pengertian moral dari kata itu
(yaitu terikat kewajiban timbal balik) antara negara-negara merdeka. Seperti yang telah
disinggung sebelumnya, satu-satunya tanggung jawab mendasar warga negara adalah
meningkatkan dan mempertahankan kepentingan nasional.
8. TEORI DETERRENCE
Detterence berarti penolakan, penangkisan dan pencegahan (Echols: 1996). dalam studi
militer, detterence seringkali diartikan sebagai sebuah ‘strategi penangkal’ supaya pihak
lawan (other/ enemy) merasa segan dan gentar sehingga mereka akan berpikir panjang untuk
melakukan serangan kepada pihak kita (us).

Dalam studi keamanan internasional, detterence berkembang menjadi sebuah teori
besar dalam paradigma realis. Asumsi dan konsep-konsep yang digunakan dalam teori
detterence mutlak meyakini apa yang diagungkan oleh paradigma realis semisal kepercayaan
terhadap dunia yang anarkhis, kecenderungan egoisme manusia, serta keinginan setiap negara
untuk memupuk kekuatan alias struggle of power. Dalam keadaan dunia internasional yang

anarkhis seperti itu maka untuk menciptakan perdamaian diperlukan suatu keadaan dimana
setiap negara harus memiliki kekuatan yang setara (balance of power). Menurut paradigma
ini, jika negara itu kuat maka ia cenderung akan ‘menghabisi’ negara yang lemah. Disinilah
kemudian letak penting teori detterrence demi mewujudkan perdamaian dalam asumsi
paradigma realis.
9. TEORI BALANCE OF POWER
Balance of power atau Perimbangan kekuatan/kekuasaan yang dipengaruhi oleh paham
realisme.
Ernst Haas dalam “The balance of Power: Prescription Concept, or Propaganda?
Mengasumsikan empat prasyarat bagi eksistensi sistem the balance of power yang telah
dikemukakan dalam literatur-literatur hubungan internasional yaitu:Suatu multiplisitas aktoraktor politik yang berdaulat yang muncul karena tidak adanya satu otorita yang kuat, terpusat,
dan legitimate yang menguasai aktor-aktor tsb.
1. Distribusi kekuatan yang relatif tidak seimbang (status, kekayaan, ukuran, kapabilitas
militer) di antara aktor-aktor politik yang membentuk sistem tadi.
2. Distribusi kekuatan yang tidak seimbang itu bisa digunakan untuk membeda-bedakan
negara ke dalam tiga kategori, yaitu: negara besar great powers), negara menengah
(intermediate powers), dan negara-negara bangsa yang kecil.
3. Persaingan dan konflik yang berkesinambungan – namun terkendali – diantara aktoraktor politik yang berdaulat tadi, dikarenakan adanya persepsi bahwa dunia
merupakan sumber-sumber yang langka serta persepsi mengenai nilai-nilai lainnya.
4. Suatu pemahaman implisit di antara para pemimpin negara-negara besar bahwa

kesinambungan distribusi kekuatan yang ada akan menguntungkan mereka.
10. GAME THEORY
Teori Permainan berasumsi bahwa setiap pemain akan melaksanakan strategi yang
membantu dia (dalam hal ini negara) untuk mencapai hasil yang paling menguntungkan
dalam setiap situasi.

Dalam hubungan internasional atau politik internasional dengan situasi di mana negara
sengaja atau tidak sengaja – mengejar kepentingan nasionalnya sendiri dengan mengorbankan
kepentingan negara lain, yang menyebabkan konflik atau kompetisi lahir. Teori Permainan
digunakan untuk menggambarkan hubungan mengenai penempatan kepentingan dua pemain
yang bertentangan secara langsung: semakin besar hasilnya untuk satu pemain, yang lebih
kecil untuk lainnya.
Dalam rangka mencapai hasil yang produktif untuk kedua pemain, para pemain harus
mengkoordinasikan strategi mereka, karena jika masing-masing pemain terfokus untuk
mengejar potensi keuntungan yang besar maka hasil yang didapatkan tidak produktif. Konsep
dengan menggunakan Prisoner’s Dilemma Game.
11. TEORI GLOBALISASI
Globalisasi berarti proses dari meningkatnya hubungan diantara masyarakat yang
bahkan berada di salah satu bagian di dunia yang semakin lama semakin mempunyai
pengaruh pada orang-orang maupun masyarakat yang berada jauh (Smith & Baylis :7).Dari
pengertian tersebut dapat digarisbawahi mengenai suatu proses, pengaruh, masyarakat dan
dunia internasional. Apabila poin-poin itu disinambungkan diperoleh makna globalisasi
merupakan suatu proses yang berpengaruh bahkan dapat menggeser perilaku masyarakat
internasional yang bahkan terpisah sedemikian jauh jaraknya. Sering sekali terdengar
dengungan mengenai globalisasi. Globalisasi dalam era modern sekarang ini mempunyai
implikasi yang sangat besar bagi dunia internasional dan sudah tidak bisa dihindari lagi.
Globalisasi sebenarnya bukanlah fenomena baru. Khususnya dalam dunia politik, 3 teori
mapan yaitu realisme, liberalisme dan marxisme mempunyai pandangan yang berbeda-beda
mengenai makna dari globalisasi. Menurut kaum realism, globalisasi tidak merubah fitur
yang paling signifikan dari dunia politik, dinamakan pembagian teritori dari dunia terhadap
negara -bangsa , globalisasi mungkin mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi dan budaya
tetapi tidak melebihi sistem politik internasional negara (Smith & Baylis :6). Dari pandangan
tersebut bisa dikatakan bahwa kaum realis menganggap bahwa globalisasi memang
berpengaruh namun tidak terlalu berpengaruh secara signifikan dalam system politik
internasional dimana aktor utamanya yaitu negara.
Kaum liberalis pun memiliki pandangan sendiri mengenai globalisasi. Kaum liberal
melihat globalisasi sebagai akhir produk dari jalannya transformasi dalam dunia politik
(Smith & Baylis :6). Kaum liberal lebih menekankan pemahaman globalisasi dari segi

revolusi kemajuan teknologi dan komunikasi. Untuk kaum Marxis , globalisasi adalah sedikit
berpura pura. Itu bukanlah hal baru, hal itu hanya tahap akhir dari perkembangan kapitalisme
internasional (Smith & Baylis :6).
Globalisasi adalah proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran
pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya. Kemajuan
infrastruktur transportasi dan telekomunikasi, termasuk kemunculan telegraf dan Internet,
merupakan faktor utama dalam globalisasi yang semakin mendorong saling ketergantungan
(interdependensi) aktivitas ekonomi dan budaya.
12. TEORI INTERGRATION
Teori intergration atau intergrasi atau integrasi regional merupakan suatu teori tentang
intergrasi ataubahwa masyarakat/negara terintegtrasi atas paksaan dan karena adanya saling
ketergantungan di antara berbagai kelompok.Integrasi sosial akan terbentuk apabila sebagian
besar masyarakat memiliki kesepakatan tentang batas-batas teritorial, nilai-nilai, normanorma, dan pranata-pranata sosialyang dijadikan sebagai dasar pada sebuah paradigma,
dimana kepentingan kelompok menjadi yang utama atau dengan perkataan lain, paradigma
kepentingan regional yang ada. Pada gilirannya akan memberikan kontribusi bagi
kepentingan nasional masing-masing. Paradigma atas kepentingan regional diformulasikan ke
dalam kerjasama regional di beberapa kawasan/wilayah dunia saat ini yang akan mengarah
kepada sifat pengelompokan diri ke dalam konstelasi kepentingan ekonomi regional/global.
Konstelasi kepentingan ekonomi ini tampaknya semakin mempertegas paradigam integrasi
regional dalam aspek ekonomi-politik global dengan terbentuknya misalnya Masyarakat
Ekonomi Eropa atau Masyarakat Ekonomi Asia.
13. WIN WIN CONFLICT THEORY
Sebuah permainan menang-menang adalah permainan yang dirancang dengan cara yang
semua peserta dapat keuntungan dari itu dalam satu cara atau yang lain. Dalam resolusi
konflik, strategi menang-menang adalah proses resolusi konflik yang bertujuan untuk
mengakomodasi semua pihak yang bersengketa. Atau dapat di katakan win win conflict
theory ialah sebuah “permainan” yang dimana para “pemain” sama sama mendapatkan
keuntungan yang sama atau keuntungan yang menguntungkan melalu kerja sama atau melalu
pemecahan masalah bersama.
14. TEORI NEO FUNGSIONALISME

Neo-fungsionalisme adalah grand theory “teori besar” pertama yang menjelaskan
fenomena integrasi. Pemikir terkemuka sekaligus pelopor dari faham ini adalah Ernst Haas.
Neo-fungsionalisme berkembang pada pertengahan tahun 1950an guna melengkapi
kekurangan pada teori fungsionalisme klasik yang digagas oleh David Mitrany. Tujuan dari
teori neo-fungsionalisme untuk menjelaskan dinamika intergrasi dan memilah serta
menstruktur informasi yang relevan untuk mengembangkan pemahaman juga untuk
memprediksi integrasi yang akan terjadi pada masa depan.Neo-fungsionalisme menekankan
pada peran aktor non-negara sebagai yang utama dalam konstelasi politik, akan tetapi negara
anggota pada kelompok regional tetap memiliki peran penting dalam proses tersebut.
Teori neo-fungsionalisme menjelaskan bahwa integrasi pada suatu regional adalah sebuah
proses yang sangat konfliktual dan sporadis, berlangsung sangat alot serta menghubungkan
banyak pihak baik aktor negara maupun non-negara. Menurut Haas, ada 3 hal utama yang
menjadi ide utama dalam teori neo-fungsionalisme yaitu political community, political
integration, dan spill-over. Dalam proses pengintegrasian sebuah kawasan sangatlah penting
membentuk komunitas politik karena hal tersebut akan berpengaruh langsung pada identitas
regional di masyarakat internasional.