Perkembangan Peradaban Islam di Indonesi

Azkia Muharom Albantani

Perkembangan Peradaban Islam di Indonesia
Pasca Kemerdekaan

Islam mulai memasuki wilayah politik indonesia sejak pertama kali negara
indonesia mengadakan pemilihan umum (pemilu). Dengan cara membuat suatu
wadah, yaitu mendirikan partai politik. Pada waktu itu partai yang berasaskan
islam yaitu ada dua pertama, Partai Masyumi dan Partai NU. Melalui wadah ini
umat islam memainkan perannya sebagai seorang politikus yang ingin
menanamkan nilai-nilai islam. Dalam tesis Harun Nasution yang berjudul The
Islamic State in Indonesia. The Rise of the Ideology, the Movement for its
Creation and the Theory of the Masjumi, beliau mengemukakan bahwa ada
perbedaan besar antara NU dan Masyumi. Kaum modernis di dalam Masyumi
pada umumnya mereka hendak membangun suatu masyarakat muslim dan sebagai
akibatnya mereka mengharapkan suatu negara islam. Kelompok yang diwakili NU
lebih sering memperjuangkan suatu Negara sebagai langkah pertama dan melalui
negara islam ini mereka hendak mewujudkan suatu masyarakat islam (hlm. 7677). Suatu perbedaan lain adalah, bahwa ulama mendapat kedudukan yang
penting dalam organisasi negara konsep NU, sedangkan posisi mereka tidak
begitu menonjol dalam pemikiran kaum Masyumi (92).1
A. Masa Revolusi dan Demokrasi Liberal

Pada waktu proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, Piagam Jakarta sama
sekali tidak digunakan. Soekarno-Hatta justru membuat teks proklamasi yang
lebih singkat, karena ditulis secara tergesa-gesa. Semenjak BPUPKI diubah
menjadi PPKI, persentase Nasionalis Islam pun merosot tajam. Yang sedikit agak
melegakan hati umat Islam adalah keputusan KNIP. Komite yang dipimpin Sutan
Syahrir ini membahas usul agar dalam Indonesia merdeka ini soal-soal keagamaan
digarap oleh satu kementrian tersendiri dan tidak lagi diperlakukan sebagai bagian
tanggung jawab Kementrian Pendidikan. Sedikit banyak, keputusan tentang

1

Sudirman, Pembaharuan Hukum Islam : Mempertimbangkan Harun Nasution, dalam
Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, Jakarta: LSAF, 1989, Hal. 153

1

Azkia Muharom Albantani

Kementrian Agama ini merupakan semacam konsesi kepada kaum Muslimin yang
bersifat kompromi, kompromi antara teori sekular dan muslim.2

Setelah dikeluarkan maklumat Presiden tentang diperkenankannya
mendirikan partai-partai, tiga kekuatan yang tadinya bertikai muncul kembali.
Masyumi (07-11-1945) sebagai wadah aspirasi umat Islam, Partai Sosialis (17-121945) yang mengkristalisasikan falsafah hidup marxis, dan PNI (29-01-1946)
yang mewadahi cara hidup nasionalis “sekular”. Namun, dalam perjalanan sidangsidang konstituante, perdebatan ideologis mengenai dasar negara terkristal
menjadi Islam dan Pancasila. Ketika Dekrit Presiden dikeluarkan, konstituante
dinyatakan bubar dan UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali. Hal ini menandai
era baru, yaitu Demokrasi Terpimpin. Masyumi pun dibubarkan dan para
anggotanya mengundurkan diri dari partai.
B. Masa Demokrasi Terpimpin
Dengan bubarnya Masyumi, partai Islam tinggal NU, PSII, dan Perti.
Partai-partai ini mulai menyesuaikan diri dengan keinginan Soekarno yang
tampaknya mendapat dukungan dari dua pihak yang bermusuhan, ABRI dan PKI.
Mereka bertujuan agar nasibnya berbeda dengan Masyumi, yang tokoh-tokohnya,
pada waktu itu,diintimidasi oleh golongan-golongan yang pro-soekarno.
Namun sayangnya, tak ada jabatan menteri berposisi penting yang
diserahkan kepada Islam. Satu-satunya kepentingan Islam yang diluluskan adalah
keputusan MPRS tahun 1960 yang memberlakukan pengajaran agama di
universitas dan perguruan tinggi.3 Di masa ini, Soekarno kembali menyuarakan
ide lamanya Nasakom (Nasionalis, Agamis dan Komunis). Dan yang paling
dominan adalah PKI. Hal ini menyebabkan ketidakpuasan umat Islam, kaum

nasionalis dan angkatan bersenjata.
Masa Demokrasi Terpimpin itu berakhir dengan gagalnya Gerakan 30
September PKI Tahun 1965, Umat Islam bersama ABRI dan goloongan lainnya
bekerja sama menumpas gerakan ini.

2

Dr. Badri Yatim, MA, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT Raja
Grafindo Peserta, 2006, h. 265.
3
Taufiq Abdullah (Ed.), Sejarah Umat Islam di Indonesia, (Jakarta: MUI, 1991), h. 405.

2

Azkia Muharom Albantani

C. Masa Orde Baru
Setelah Orde Lama hancur, kepemimpinan Indonesia berada di tangan
Orde Baru. Tumbangnya Orde Lama memberikan harapan-harapan baru kepada
kaum muslimin. Namun sayangnya, rehabilitasi Masyumi tidak diperkenankan.

Orde baru memang sejak semula mencanangkan pembaruan sistem politik.
Parpol difusikan ke dalam PPP dan PDI (05-02-1973). Penataan kehidupan
kepartaian berikutnya adalah penetapan asas tunggal, Pancasila, untuk semua
Parpol, Golkar dan organisasi lainnya, tidak ada asas ciri, tidak ada lagi ideologi
Islam, dan oleh karena itu, tidak ada lagi partai Islam.
Asas tunggal merupakan awal dari era baru peran Islam dalam kehidupan
berbangsa ini. Peran politik (formal) Islam tidak ada lagi, tetapi sebagai agama
yang mengaku tidak memisahkan dari persoalan politik, tentu peran itu akan terus
berlangsung.

Mungkin

dengan

pendekatan

yang

berbeda.


Dengan

pengasastunggalan, sebagian umat Islam menganggap bahwa penyalur aspirasi
pollitik Islam hilang. Terdapat kekhawatiran di kalangan sebagian mereka
terhadap ancaman sekularisasi politik dan kehidupan sosial di Indonesia. Dengan
asas tunggal bagi kekuatan politik dan organisasi kemasyarakatan, identitas
keislaman mereka akan semakin memudar.
Peran politik Islam dalam negara Indonesia cenderung mengalami
kemunduran. Disebabkan karena adanya usaha represif terhadap partai politik
yang berhaluan islam, yang dilakukan oleh penguasa pada waktu itu karena
ketakutan akan kehilangan kekuasaannya. Selama kekuasaan orde baru hanya ada
tiga partai yang diakui dan boleh ikut dalam pemilu. Dan partai yang berasas
islam pada waktu itu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Baru sejak dekade 1970-an, kegiatan Islam semakin berkembang bila
dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya. Terlihat, ada tanda-tanda
kebangkitan Islam kembali dalam masa orde baru ini. Fenomena yang sangat bisa
dilihat adalah munculnya bangunan-bangunan baru Islam; masjid-masjid,
mushalla-mushalla, madrasah-madrasah, juga pesantren-pesantren.
Munculnya bangunan-bangunan masjid yang megah-megah itu diikuti
pula dengan semakin ramainya jamaah shalat, terutama dari kalangan angkatan

muda. Pengajian-pengajian

agama juga semakin semarak. Departemen3

Azkia Muharom Albantani

departemen mengadakan pangajiannta masing-masing. Bahkan, pengajian dan
diskusi-diskusi keagamaan memasuki hotel-hotel mewah dan merekrut elit-elit
bangsa. Ini mungkin dapat disebutkan sebagai kelanjutan proses Islamisasi
terhadap golongan abangan/priyai yang berpendidikan Barat, 4 yang dipandang
belum sempurna pada masa-masa sebelumnya. Selain itu, pelajar dan mahasiswa
banyak yang memakai busana muslim, baik di sekolah dan perguruan tinggi
maupun di tempat-tempat umum.
Di samping itu, banyak bermunculan apa yang disebut intelektual muda
Muslim yang meskipun sering kontroversial, melontarkan ide-ide segar untuk
masa depan umat. Kebanyakan mereka adalah intelektual Muslim berpendidikan
“umum”. Yang terakhir ini sangat mungkin adalah buah dari kegiatan-kegiatan
organisasi-organisasi mahasiswa Islam seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI,
berdiri 05 Februari 1947) yang cukup dominan di perguruan tinggi umum,
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Ikatan Mahasiswa

Muhammadiyah (IMM).
Departemen Agama juga banyak berjasa dalam membentuk dan
mendorong kebangkitan Islam di Indonesia. Empat belas Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) induk dengan sekian banyak cabangnya sangat berjasa menyiapkan
guru-guru agama, pendakwah, dan mubaligh dalam kuantitas besar. Bahkan,
DEPAG secara terus menerus mengembangkan dan meningkatkan mutu IAIN
tersebut. Belum lagi, peranan departemen ini dalam membina madrasah dan
pesantren-pesantren yang ada di seluruh wilayah Nusantara ini.
Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, yang dibina langsung oleh
Presiden Soeharto tidak bisa diabaikan. Adapula Majelis Ulama Indonesia (MUI)
yang dapat dikatakan sebagai suatu forum pemersatu umat Islam Indonesia.
Aspirasi-aspirasi umat, termasuk aspirasi politik, mungkin bisa tersalurkan
melalui lembaga ini.
Selain itu, bukan hanya PPP yang menghimpun politisi-politisi muslim,
Golkar, partai pendukung pemerintah ini sekarang banyak merekrut tokoh-tokoh
Islammenjadi pimpinannya dan duduk di DPR mewakili kekuatan politik itu. Dan

4

Nurcholish Madjid, Islam in Indonesia: Challenges and Opprotunities, Mizan, no. 3, vol.


1, 1984.

4

Azkia Muharom Albantani

organisasi NU dan Muhammadiyah terus diperhatikan oleh setiap kekuatan
politik.

Setelah berlakunya asas tunggal, umat Islam dengan segala

keberaniannya telah melepaskan suatu wadah politik. Mereka menerima Pancasila
dan berharap dapat mengisinya dengan nilai-niilai agama.
Lahirnya sejumlah partai politik Islam Pasca Orde Baru menandai
bangkitnya kembali Islam Politik, yaitu Islam berkembang sebagai lembaga
politik. Sebelumnya Islam politik telah berakhir sejak PPP mengganti asasnya
Islam dengan Pancasila dalam muktamarnya yang pertama tahun 1984. Sejak
hancurnya Islam politik muncul Islam budaya, yaitu Islam berkemmbang sebagai
sebagai gerakan kebudayaan dan bukan lembaga politik. Islam budaya ditandai

dengan lahirnya Undang-Undang Peradilan Agama (UU No. 7 Tahun 1989) dan
kompilasi hukum Islam berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991.5
Juga lahirnya Ikatan Cendikiawan Muslim se Indonesia (ICMI) tahun
1990, Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1992, dan Harian Republika. Faktor
lain yang menandai bangkitnya Islam Budaya adalah penyelenggaraan Festival
Istiqlal tahun 1991 dan 1995, serta makin berkurangnya menteri nonmuslim
dalam dua kabinet pembangunan terakhir Orde Baru, yaknni Kabinet
Pembangunan VI dan VII.
Adanya usaha represif yang dilakukan oleh rezim orde baru, yang
berkuasa selama 32 tahun, rupanya menimbulkan kekecewaan pada banyak pihak.
Puncak dari keramahan tersebut adalah dengan turunnya mahasiswa ke jalan dan
menduduki gedung DPR-MPR. Yang dimotori oleh mahasiswa UIN, UGM, dan
UI. Dampak dari demonstrasi tersebut membuat semakin memudarnya legitimasi
politik rezim orde baru, sehingga pada tanggal 21 Mei 1998 presiden Soeharto
mengundurkan diri dari kursi kepresidenan.6
D. Pada Masa Reformasi
Babak baru dalam dunia perpolitikan di Indonesia dimulai. Pada pemilu
yang dilangsungkan tahun 1999, organisasi islam banyak mendirikan partai politik
yang berasaskan islam dan atau berbasis umat islam. Diantaranya: PPP, PAN,


5

Sudirman Tebba, Islam Pasca Orde Baru, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001, h. 55.
Ikrar Nusa Bhakti, Berbagai Faktor Penyebab Jatuhnya Presiden Soeharto, dalam Pers
Dalam “Revolusi Mei” Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Dedy N. Hidayat, dkk. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2000, Hal. 61
6

5

Azkia Muharom Albantani

PKB, PNU, PBB, PK sekarang PKS, dll. Pada masa itu simbol-simbol agama
sangat mewarnai kancah perpolitikan indonesia. Simbol-simbol keagamaan yang
diekspresikan apparatus birokrasi, tentu memiliki makna sosial. Bisa jadi ia
merupakan representasi dari kesalehan dan kesadaran spiritual apparatus birokrasi,
tetapi juga bukan mustahil ia juga bisa berubah menjadi sumber pengumpulan
legitimasi.7 Hasil dari pemilu tahun 1999 tersebut membawa Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) menjadi presiden RI ke-4.
Sejak pemilu tahun 1999 sampai dengan sekarang, umat islam mulai

kebingungan akan pilihan yang harus ia pegang. Sebab, semuanya mengaku
bernafas islam dan mementingkan hak rakyat. Dalam tubuh partai politik-pun
banyak mengalami perebutan kepemimpinan dan atau pecah menjadi beberapa
partai.
Perubahan setting politik pasca-Orde Baru tanpa diduga memberi ruang
bagi berkembangnya wacana penegakkan syariat islam di indonesia.8 Seperti yang
telah dilakukan oleh Aceh, dan beberapa daerah yang menginginkan penggunaan
syariat islam.
Pada era reformasi pun muncul beberapa perkembangan yang memperkuat
Islam Budaya. Di antaranya lahir sejumlah undang-undang dan kebijaksanaan
pemerintah yang menunjang pelaksanaan hukum Islam. Undang-undang yang
menunjang

pelaksanaan

hukum

Islam

adalah

Undang-undang

tentang

penyelenggaraan Ibadah Haji (UU No. 17 Tahun 1999) dan Undang-undang
tentang Pengelolaan Zakat (UU No. 38 Tahun 1999).
Sedang kebijaksanaan pemerintah yang memperkuat pelaksanaan hukum
Islam terutama terjadi di bidang ekonomi, yaitu lahirnya bank-bank syariah yang
didirikan oleh pemerintah yakni Bank Syariah Mandiri dan Bank Syariah BNI.
Perkembangan ini juga diikuti oleh sejumlah bank swasta.
Masih menguatnya Islam budaya lebih jelas lagi terkihat pada pelaksanaan
Pemilu 1999 yang lalu. Pemilu ini diikuti 19 partai politik Islam dari 48 partai

7

Zainuddin Maliki, Agama Priyayi, Makna di tangan Elite Penguasa, Yogyakarta: Pustaka
Marwa, 2004, Hal. 6
8
Arskal Salim, Islam di Antara Dua Model Demokrasi, dalam: Wajah Liberal Islam di
Indonesia, Jakarta: TUK, 2002, Hal. 27

6

Azkia Muharom Albantani

peserta pemilu. Dari 19 partai Islam hanya tiga partai yang memperoleh suara
yang cukup signifikan, yaitu PPP, PKB dan PBB.
Tampaknya kelompok Islam modernis lebih menyukai partai politik yang
memiliki komitmen pada Islam, tetapi tidak membawa bendera Islam, seperti
PAN dan Golkar. Mereka berpandangan bahwa politik bukanlah tujuan,
melainkan hanya satu sarana untuk memperjuangkan aspirasi umat. Mereka
menyadari bahwa aspirasi umat tidak hanya di bidang politik, tetapi juga ekonomi
dan pendidikan.
Peningkatan pendidikan umat islam menyandarkan mereka mengenai
keterbelakangan di bidang pengetahuan, teknologi dan ekonomi. Karena itu
kemudian aspirasi umat islam tidak hanya di bidang politik,tetapi juga perlunya
memajukan kehidupan ekonomi dan iptek. Namun reformasi ini tidak berarti bagi
perkembengan Islam bila kemudian muncul pemerintahan yang tidak berpihak
kepada kepentingan Islam dan kaum muslimin. Gerakan budaya dan politik Islam
bisa jadi terhambat kalau pemerintah yang berkuasa membatasi perkembangan
Islam.

7