Masa Depan Protokol Kyoto pada

Melihat Kemungkinan Kelanjutan Protokol Kyoto
Periode Kedua
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keterampilan Akademik Semester Dua

Dosen Pengampu:
Dian Mutmainah, S.IP, MA

Oleh:
Firdaus Teguh Gumelar
125120400111007
A HI 2

HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2013

Abstract

Kyoto protocol is an agreement that was issued by the United Nations whose function
is to issue rules for its members, in this case is the state to limit or even reduce the amount of

emissions released as a result of industrial activities, especially by developed country
industries. If effective, the Kyoto Protocol is expected to reduce significantly the level of
global emissions. The Kyoto Protocol received positive feedback from some who want to care
about the natural conditions, especially for the future. But the reaction came not all positive,
the Kyoto Protocol by all its provisions are also opposed by a number of countries,
especially the developed countries here or industrialized countries that do not want to
participate in this agreement and instead issued a variety of reasons ranging from the
economic and other others to reject the treaty. with a variety of positive and negative
reactions from various parties, the question that arises is whether the Kyoto Protocol can
continue effectively in the second period.
Kata kunci: Protokol Kyoto, perubahan iklim, negara, kelanjutan masa depan bumi,
hubungan internasional, respon positif, respon negatif

Pendahuluan
Pemanasan global yang terjadi di bumi telah menjadi isu hangat sejak beberapa
dekade terakhir ini. Berbagai dampak buruk telah terjadi akibat pemanasan global ini, mulai
dari efek rumah kaca, mencairnya es kutub, bencana alam, hingga cuaca yang tidak beraturan
sehingga semakin sulit untuk diprediksi. Seiring dengan semakin meningkatnya efek
pemanasan global ini kemudian menimbulkan kesadaran manusia untuk setidaknya
memperkecil


peningkatan

dampak

buruk

pemanasan

global.

Niat

inilah

yang

direpresentasikan oleh negara dan dinaungi oleh PBB dengan membuat suatu perjanjian
untuk menurunkan atau mengurangi jumlah pengeluaran emisi hasil industri yang disebut
dengan Protokol Kyoto. Protokol Kyoto tahap I sendiri sudah berjalan dan berakhir pada

2012 lalu.meskipun beberapa mengatakan bahwa Protokol Kyoto ini tidak efektif namun
akhir-akhir ini ramai terdengar bahwa Protokol Kyoto akan dilanjutkan ke tahap atau periode
kedua. Dengan adanya banyak kontroversi dan beberapa negara besar yang tidak mendukung
perjanjian ini di periode I, akankah Protokol Kyoto dapat berlanjut dan berlangsung efektif di
periode selanjutnya?

Berangkat dari pertanyaan tersebut, maka melalui tulisan dalam paper berikut ini
penulis bermaksud untuk membahas mengenai Protokol Kyoto dan kemungkinan Protokol
Kyoto untuk bisa dilanjutkan di periode selanjutnya.

Pembahasan
Seperti yang diketahui, Protokol Kyoto adalah sebuah perjanjian internasional yang
merupakan kelanjutan dari Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim dengan nama
resmi Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change
(UNFCCC) yang dirancang pada tahun 1997 di Kyoto, Jepang. Penanda tanganan Protokol
Kyoto mulai dibuka pada 16 Maret 1998 dan ditutup pada 15 Maret 1999, dan mulai berlaku
pada 16 Februari 2005 setelah ratifikasi resmi yang dilakukan Rusia pada 18 November 2004.
Isi dari Protokol Kyoto sendiri adalah, intinya, mencegah pemanasan global dengan
mengurangi gas emisi dan mengurangi faktor-faktor penyebab pemanasan global.
Seperti yang dikutip dari rilis pers dari Program Lingkungan PBB, isi dari protokol

kyoto adalah sebagai berikut:
"Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana negara-negara
perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar
5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan adalah, jika
dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target
ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata
emisi dari enam gas rumah kaca - karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur
heksafluorida, HFC, dan PFC - yang dihitung sebagai rata-rata selama masa lima
tahun antara 2008-12. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni
Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang
diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia." [2]
Jika sukses diberlakukan, Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca
global antara 0,02 °C dan 0,28 °C pada tahun 2050. (sumber: Nature, Oktober 2003).
Protokol Kyoto merupakan salah satu kajian ilmu hubungan internasional karena
merupakan bentuk hubungan berupa kesepakatan negara-negara dunia dalam menyikapi

suatu fenomena internasional, yaitu perubahan iklim (HI bukanlah ilmu yang hanya
membahas fenomena internasional dari aspek politik saja, tetapi juga melibatkan aspek-aspek
lainnya) [Sprout, 1950].
Secara langsung, isi dari Protokol Kyoto tersebut mengikat negara-negara maju

anggotanya yang rata-rata menjadi penyumbang terbesar gas rumah kaca hasil dari aktivitas
industri mereka untuk menurunkan emisi gas penyebab pemanasan global tersebut sesuai
dengan target yang telah ditetapkan. Jika dihubungkan dengan studi HI, ini sejalan dengan
pendekatan realis yang berhubungan dengan pendapat dari Machiavelli bahwa manusia perlu
dipaksa. (Machiavelli, 1532)
Sebanyak 141 negara telah menyetujui dan meratifikasi perjanjian ini di awal, hanya
AS yang tidak meratifikasi perjanjian ini sejak awal. Pada 3 Desember 2007, tercatat jumlah
negara yang meratifikasi meningkat menjadi 174 negara yang telah meratifikasi, termasuk
Tiongkok, India, Jepang, Selandia Baru, Rusia, serta Rumania dan Bulgaria. Termasuk juga
dalam tambahan negara-negara tersebut adalah Kanada dan Uni Eropa yang merupakan
negara-negara Annex I (negara penghasil gas rumah kaca terbesar). Namun ada 2 negara
yang telah menanda tangani namun belum meratifikasi, yaitu Amerika Serikat dan
Kazakhstan.
Adanya Protokol Kyoto ini sebenarnya cukup mendapat respon positif dari beberapa
pihak mulai dari negara berkembang hingga negara maju pun ada yang memberikan respon
positif seperti contohnya Jerman yang mendukung protokol ini meskipun timbul banyak
kecurigaan atas sikap setuju tersebut yang ditengarai sebagai upaya pemolesan citra saja.
Menteri lingkungan jerman pada saat itu juga mengkritisi AS yang tidak mau ikut serta dalam
Protokol Kyoto dan mengatakan, “ tidaklah dapat diterima bahwa di AS pada standar hidup
yang sama seperti di Eropa, emisi gasnya dua setengah kali lebih banyak.” Beliau juga

menegaskan bahwa, “perlindungan iklim juga semacam politik sosial global, sebab kerugian
diakibatkan oleh perubahan iklim , terutama akan dirasakan oleh rakyat miskin, dalam
bentuk badai, banjir atau kekeringan.”
Dukungan terhadap protokol kyoto juga datang dari perusahaan minyak British
Petroleum yang justru menganggap bahwa perlindungan iklim merupakan peluang dan bukan
sebagai masalah, seperti yang dikatakan oleh sumber dari British Petroleum (BP):

“BP merasa berkewajiban mendukung kesinambungan perlindungan iklim . Hanya
dengan demikian dalam jangka panjang , kami dapat menawarkan penambahan nilai bagi
para pemegang saham. BP melihat perlindungan iklim sebagai peluang dan tidak sebagai
masalah”. (deutsche welle, 2005)
Indonesia sebagai negara berkembang juga mendukung adanya Protokol Kyoto, seperti
yang dilaporkan oleh situs berita Kompas edisi 4 november 2009 bahwa “Pemerintah
Indonesia menyatakan akan berupaya keras mempertahankan Protokol Kyoto dalam
konferensi perubahan iklim di Kopenhagen, Denmark, Desember nanti. Protokol itu dinilai
sangat penting sebagai perangkat aturan guna mengurangi tingkat emisi gas karbon
dunia.”[kompas: 2009]. Hal ini merupakan respon yang sangat positif bagi Protokol Kyoto
banyak dukungan lain yang datang terutama dari negara-negara berkembang yang berupa
peringatan akan ancaman dari negara-negara yang ingin membubarkan perjanjian ini.
Walaupun mendapat dukungan namun protokol kyoto ini juga mendapat hambatan

yang cukup berarti dengan adanya negara-negara yang tidak berkomitmen bahkan menolak
untuk ikut protokol ini. Contohnya saja Amerika Serikat yang tidak mau ikut serta dalam
Protokol ini. Amerika Serikat sepertinya mengingkari kenyataan bahwa negaranya yang
berpenduduk sejumlah 5 % dari total populasi dunia itu ternyata tercatat sebagai penyumbang
terbesar emisi global dengan jumlah 30,3 %. Dan bahkan, menurut data yang dibuat oleh
World Resources Institute pada 1999, Amerika Serikat menghasilkan hampir lima milyar ton
gas karbon. Itu berarti, bila dihitung dengan lebih cermat, rata-rata penduduk Amerika
melepas gas karbon delapan kali lebih besar dari penduduk dunia lainnya. Padahal pada
awalnya Amerika Serikat termasuk negara yang mendukung Protokol Kyoto. Namun entah
mengapa pada awal 2001, Presiden George W. Bush menyatakan Amerika Serikat menarik
diri dan merasa tak terikat lagi dengan target penurunan emisi sebesar 7 % (untuk negara
maju) seperti yang dicanangkan oleh Protokol Kyoto. Berbagai alasan telah dikeluarkan
Amerika Serikat untuk menolak Protokol Kyoto ini, seperti contohnya, karena model
Protokol Kyoto segera akan memukul perekonomian Amerika Serikat, sebab standarisasi
mesin secara mendadak dianggap hanya akan menimbulkan goncangan yang berakibat pada
naiknya harga barang-barang konsumsi dan besar kemungkinan akan memicu pengangguran.
Kedua, target emisi 7% bagi Amerika Serikat dianggapnya tidak berdasarkan pertimbangan
ilmiah.

Namun, alasan-alasan yang dikemukakan pemerintah Amerika Serikat tersebut tetap

saja tidak bisa dipahami oleh dunia internasional sebagai alasan yang logis dan bahkan dunia
melihat alasan itu sebagai alasan yang tidak realistis karena, untuk alasan gangguan ekonomi
misalnya, tidak hanya Amerika Serikat saja yang akan mengalami gangguan, tapi pastinya
semua negara pun pasti akan mengalami situasi yang sama.
Selain itu, Amerika Serikat juga tidak setuju pada pandangan Protokol Kyoto atas
China dan India yang digolongkan sebagai negara berkembang, sehingga tidak dibebankan
keharusan untuk mengurangi emisinya. Ketidak setujuan ini juga datang dari pihak Jepang
yang menilai bahwa ini tidak adil karena pembatasan emisi di negaranya akan menghambat
perekonomian mereka, sedangkan negara tetangga mereka tak terikat kewajiban apapun dan
mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi dengan cara mencemari atmosfer bumi.
Dan selain itu juga akhirnya Jepang menolak untuk ikut serta dalam protokol kyoto
periode kedua dan lebih memilih untuk melakukan tindakan secara sukarela dalam
menurunkan emisi dengan menetapkan target sendiri dalam membatasi pengeluaran emisi
hasil industrinya. Namun demikian, Jepang justru mendesak Amerika Serikat dan Cina untuk
ikut dalam protokol kyoto di periode yang kedua.
Tidak hanya penolakan yang dilakukan oleh negara-negara maju tersebut, hambatan
besar juga datang dari negara anggotanya yaitu Kanada yang menyatakan mundur dari
perjanjian ini.
Pada desember 2011, Kanada menyatakan secara resmi mundur dari Protokol Kyoto,
satu-satunya perjanjian internasional yang memasang target jelas pengurangan emisi gas

rumah kaca, Senin (12/12/2011) waktu setempat. Kanada menjadi negara pertama yang
mundur dari perjanjian ini dan menjadi pukulan berat bagi usaha PBB untuk menangani
masalah pemanasan global. (sumber: kompas, 2011)
Di bawah perjanjian itu, Kanada diwajibkan menurunkan emisi gas karbon dioksida
sebesar 6 persen dari tingkat emisi tahun 1990 pada tahun 2012. Alih-alih memenuhi target
ini, emisi karbon dari Kanada justru meningkat drastis. Tahun lalu saja, emisi gas ini di
negara itu sudah meningkat 35 persen dibandingkan dengan tingkat emisi tahun 1990.
Kanada merasa memiliki hak untuk memutuskan mundur dari Protokol Kyoto dan
berpendapat ada jalan lain selain Protokol Kyoto. Dengan mundur dari Protokol Kyoto,

Kanada terbebas dari kewajiban membayar denda sebesar 14 miliar dollar Kanada (sekitar Rp
123,23 triliun). (sumber: kompas, 2011).
Selain itu, Kanada juga menolak untuk ikut serta dalam Protokol Kyoto tahap kedua.
Selain Kanada dan Jepang, negara lain yang juga menolak Protokol Kyoto tahap dua adalah
Selandia Baru. Apa yang dilakukan oleh Kanada berdampak besar pada UNFCCC sendiri
khususnya dan negara-negara anggota lain umumnya. UNFCCC menjadi semakin sulit dalam
melakukan misinya untuk menyelamatkan bumi, karena dengan keluarnya Kanada akan
menyebabkan negara lain bergejolak dan nantinya mungkin juga tidak mau ikut serta dalam
Protokol kyoto periode kedua.
Selain itu, negara-negara berkembang juga telah memperingatkan akan bahaya dari

usaha banyak pihak untuk meniadakan Protokol Kyoto dan mereka juga memprotes usaha
Denmark untuk menggantikannya dengan teks bersifat kompromi tanpa berkonsultasi dengan
mereka.
“Kami telah melihat gelagat negara-negara maju yang menandatangani Protokol
Kyoto untuk berusaha membubarkannya.” kata Nafie Ali Nafie, kepala delegasi Sudan,
mewakili kelompok 77 dan Cina. Seperti diketahui, Protokol Kyoto mengikat negara industri
yang menandatanganiya untuk memenuhi sasaran mengurangi emisi. (sumber: nias online,
2009)
Apa yang diperkirakan diatas sebenarnya sudah terlihat dan menjadi kenyataan di
Protokol Kyoto tahap I lalu seperti keluarnya Kanada dari Protokol Kyoto pada tahun 2011
lalu, dan ini merupakan pertanda yang kurang baik karena nantinya diperkirakan akan
berpengaruh terhadap sikap-sikap negara lain pada Protokol Kyoto tahap II.
Hambatan-hambatan ini jelas akan mempengaruhi apakah Protokol Kyoto akan
dilanjutkan atau tidak. Karena yang bertindak di atas adalah negara-negara besar yang
mempunyai pengaruh cukup kuat di dunia Internasional dan kemungkinan besar tindakan
mereka akan berpengaruh terhadap negara lainnya untuk bersikap serupa. Jika hal ini benarbenar terjadi maka dunia internasional akan semakin kesulitan dalam usahanya untuk
meredam pemanasan global.

Protokol Kyoto ini sesungguhnya memang sangat penting untuk masa depan Planet
bumi karena berkaitan dengan perubahan iklim, maka dari itu perjanjian ini harus

dilaksanakan karena dampak dari emisi global yang terus menerus dihasilkan oleh industri
akan menyebabkan semakin banyaknya kadar karbon di udara yang nantinya akan
menyebabkan kenaikan suhu yang dapat berdampak sangat serius di kemudian hari. Seperti
dikutip dari majalah ilmiah terkemuka yang menerbitkan artikel tentang percobaannya di
Swedia Utara yang menyebutkan bahwa kenaikan suhu satu derajat Celsius saja, akan
meningkatkan emisi alami CO2 tanah gambut sangat luas sekitar Kutub Utara hingga 60
persen. Memang sebelumnya sudah diketahui bahwa hal ini bisa terjadi. Tapi ketika itu tidak
lebih dari sebuah teori saja. Sekarang jelas terbukti bahwa kenaikan suhu sedikit saja
berdampak sangat besar. (sumber: radio nederland wereldomroep, 2009)
Diperkirakan kenaikan suhu satu derajat Celsius akan bisa terjadi dalam 20 tahun
mendatang. (sumber: radio nederland wereldomroep, 2009)
Jika efek yang diperkirakan akan benar-benar terjadi maka jelas akan berdampak besar
bagi kelangsungan kehidupan di muka bumi, karena pastinya pastinya akan terpengaruh oleh
dampak perubahan iklim tersebut. Maka dalam hal ini dibutuhkan kesadaran dari pihak-pihak
terkait untuk tidak hanya berorientasi pada faktor ekonomisnya saja, namun juga lebih pada
faktor lingkungan juga. Mengapa, karena faktor lingkungan juga sangat berpengaruh penting
bagi kelanjutan proses ekonomi di masa depan. Maka dari itu kegiatan ekonomi memang
harus berjalan optimal namun juga harus mengedepankan prinsip pembangunan
berkelanjutan, yang salah satu bentuknya adalah dengan berpartisipasi dalam Protokol Kyoto
guna meminimalisir agar efek dari pemanasan global tidak sampai berakibat terlalu buruk
bagi anak cucu kita nanti. Bisa dibayangkan jika di kemudian hari perubahan iklim semakin
parah maka pastinya nanti akan diikuti oleh berbagai hal-hal buruk seperti bencana alam,
yang justru akan merugikan berbagai pihak termasuk para pelaku ekonomi sendiri karena
tidak hanya harus memikirkan tentang biaya faktor produksi namun juga harus setiap saat
siap menghadapi bencana alam yang mungkin akan menghancurkan pabrik-pabrik mereka
sendiri. Jika ditinjau dari sudut pandang hubungan antar negara, maka ketidaksediaan negaranegara dalam berpatisipasi di Protokol Kyoto ini akan menyebabkan berbagai reaksi dari
negara lain yang sudah lebih dulu ikut serta dalam Protokol Kyoto ini, karena akan dianggap
sebagai arogansi dari negara bersangkutan dan dianggap sebagai batu sandungan bagi dunia
internasional dalam upaya meredam pemanasan global, selain negara yang bersangkutan akan

dianggap tidak mau rugi atau mau menang sendiri. Memang hal ini wajar jika dihubungkan
dengan pandangan realis yang menganggap bahwa negara adalah aktor rasional dan akan
melakukan tindakan-tindakan yang orientasinya adalah keuntungan negara ataupun national
interest. Tapi, walaupun demikian negara juga harus memikirkan yang lainnya seperti yang
dikatakan oleh kaum neorealis bahwa fokus negara adalah menjaga eksistensinya, yang akan
lebih sulit dilakukan jika kondisi alam tidak bersahabat dan justru akan merugikan negara itu
sendiri karena harus berkutat dengan masalah yang ditimbulkannya sendiri, seperti jika
mereka membiarkan pemanasan global yang nanti pada gilirannya akan menyebabkan banyak
bencana, maka perhatian mereka mau tidak mau harus terpecah karena harus mengurusi
rakyatnya yang terkena bencana. Jadi sebenarnya masalah pemanasan global yang dihadapi
ini sangatlah kompleks dan berkelanjutan.

Kesimpulan
Negara-negara maju menganggap Protokol Kyoto ini hanya sebagai penghambat dalam
proses kegiatan ekonomi mereka. Menurut mereka, dengan ikut serta dalam Protokol Kyoto
maka akan mengalami hambatan dalam urusan ekonomi negara mereka dan ini tidak adil jika
dibandingkan dengan negara berkembang yang diberikan target yang tidak sama dalam
pembatasan emisi. Disaat negara maju dipaksa untuk mengurangi jumlah pengeluaran emisi
mereka, negara berkembang justru diijinkan untuk menghasilkan jumlah emisi yang lebih
banyak dari sebelumnya. Hal inilah yang mungkin menyebabkan beberapa negara-negara
maju seakan-akan cemburu dan akhirnya tidak mau mendukung sepenuhnya Protokol Kyoto
ini apalagi untuk mendukung kelanjutan Protokol Kyoto hingga tahap yang selanjutnya.
Tetapi, walaupun demikian seharusnya negara-negara maju tersebut tetap mau
berpartisipasi dalam Protokol Kyoto ini karena alasan-alasan yang mereka keluarkan
sebenarnya tidak rasional. Karena tidak hanya mereka saja yang mengalami “kerugian” dari
pembatasan emisi yang ditetapkan. Toh, negara lain bahkan negara berkembang pun nantinya
juga akan dibatasi pengeluaran emisinya. Lagipula ini juga untuk kebaikan bersama terutama
di masa mendatang, jika prediksi para ahli tentang perubahan iklim dan dampak-dampaknya
benar-benar terjadi maka dapat dibayangkan kondisi di masa depan. Jika Protokol Kyoto
tidak ditaati maka yang terkena dampaknya adalah semuanya tidak hanya negara-negara maju

saja yang akan terkena imbasnya, namun juga negara lain yang notabene adalah negara
berkembang yang sumbangan emisinya masih kalah oleh negara industri.
Dari pemaparan yang telah disampaikan diatas, maka telah membuktikan bahwa
Protokol Kyoto merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kelanjutan masa depan
makhluk hidup di muka bumi ini. Maka dari itu sudah seharusnya negara-negara selaku pihak
yang mempunyai kewajiban untuk menjaga eksistensi dari rakyat dan juga kehidupan
masyarakat di negararnya masing-masing untuk turut serta mendukung langkah untuk
meneruskan kelanjutan dari protokol kyoto ini. Jika kegiatan ekonomi negara-negara maju
hanya berorientasi pada yang ada di saat ini saja, dan tidak memikirkan kemungkinan apa
yang akan terjadi di masa mendatang, maka tentu akan mengakibatkan dampak yang buruk
bagi banyak pihak di masa yang akan datang.
Tidak hanya itu, dari segi hubungan internasional negara-negara juga mungkin akan
saling menyalahkan atas keadaan yang terjadi. Negara berkembang akan menyalahkan negara
industri karena merekalah yang dianggap sebagai penyebab terbesar karena sumbangan
emisinya yang sangat banyak, sedangkan negara industri tidak akan mau mengalah, mereka
akan tetap mengelak dengan segala dalihnya dan justru menuduh negara berkembang bahwa
itu semua hanyalah salah satu bentuk kecemburuan mereka terhadap negara maju karena
tidak mampu menyaingi dan hanya bisa selalu berada selangkah di belakang negara-negara
maju tersebut.
Hingga masa berakhirnya Protokol Kyoto, nampaknya tak pernah ada komitmen serius
yang ditunjukkan lewat konvensi legal oleh negara-negara maju untuk menekan tingkat
emisi. Untuk itu Protokol Kyoto ini perlu untuk lebih disosialisasikan dan dikampanyekan
lagi agar semakin banyak pihak yang sadar akan pentingnya memerangi pemanasan global
dan diikuti dengan negara-negara penghasil emisi terbesar seperti yang disebutkan diatas
untuk berkomitmen dan turut serta berpartisipasi aktif dalam Protokol Kyoto tahap II.

Daftar Pustaka
Buku:
Zedillo, Ernesto. (2008). Global Warming Looking Beyond Kyoto. Virginia : RR
Donnelley.
Perwita, DR. Anak Agung B. , DR Yanyan Mochamad Yani. (2005). Pengantar Ilmu
Hubungan Internasional. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Machiavelli, Niccolo. (1532). Il principe.
Artikel dan Jurnal:
Parmesan, C. & Yohe, G. (2003). Nature 421, 37–42
Root, T. L. et al. (2003). Nature 421, 57–60
Christensen, J. H. & Christensen, O. B. (2003). Nature 421, 805–806

Website:
http://id.wikipedia.org/wiki/Protokol_Kyoto/ diakses pada 06-06-2013 pukul 20:38 WIB
http://www.nature.com/nature/journal/v426/n6968/full/426756a.html/ diakses pada 0606-2013 pukul 20:51 WIB
http://sains.kompas.com/read/2011/12/13/0807097/twitter.com/ diakses pada 07-06-2013
pukul 07:22 WIB
http://www.tempo.co/read/news/2011/12/13/116371366/Kanada-Keluar-dari-ProtokolKyoto/ diakses pada 07-06-2013 pukul 07:47 WIB
http://loubnalucu.wordpress.com/2012/08/30/mundurnya-kanada-dari-protokol-kyotodesember-2011/ diakses pada 07-06-2013 pukul 08:48 WIB
http://www.dw.de/jerman-menyambut-pemberlakuan-protokol-kyoto/a-2935693/ diakses
pada 07-06-2013 pukul 19:54 WIB

http://niasonline.net/2009/12/17/negara-negara-berkembang-bersikap-tegas-tentangprotokol-kyoto/ diakses pada 07-06-2013 pukul 21:43 WIB
http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/sia-siakah-protokol-kyoto/ diakses pada 0806-2013 pukul 20:44 WIB
http://sains.kompas.com/read/2009/11/04/1935515/
Indonesia.Akan.Pertahankan.Protokol.Kyoto/ diakses pada 08-06-2013 pukul 21:59
WIB

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis korelasi antara lama penggunaan pil KB kombinasi dan tingkat keparahan gingivitas pada wanita pengguna PIL KB kombinasi di wilayah kerja Puskesmas Sumbersari Jember

11 241 64

ANALISIS PENGARUH PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Kabupaten Jember)

37 330 20

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22