Karya Sastra Pengarang Tionghoa Indonesi

Karya Sastra Pengarang Tionghoa-Indonesia:
Masa Soeharto dan Reformasi
NURNI W. WURYANDARI
Program of Chinese Studies, Literature Department, University of Indonesia,
Kampus UI Depok, Depok 16424, Indonesia
Email: nurnismar@yahoo.com
ABSTRAK
Pengarang dan penyair keturunan Tionghoa di Indonesia sudah menghasilkan karya sejak tahun 1870-an.
Karya mereka yang semula berbahasa Melayu lingua-franca, yaitu bahasa Melayu komunikatif yang
memasukkan berbagai unsur bahasa seperti Belanda, Inggris dan Mandarin, di kemudian hari setelah
Indonesia merdeka, meski belum langsung berubah semuanya, perlahan mulai menggunakan bahasa
Indonesia yang baku.
Pada masa Soeharto berkuasa, yaitu 20 tahun lebih setelah Indonesia merdeka, bahasa
Mandarin dilarang digunakan, dan budaya Tionghoa dilarang muncul di depan publik, eksistensi
pengarang keturunan Tionghoa disebut mati suri, dan karya mereka dianggap dalam masa hibernasi.
Banyak penikmat sastra, baik yang keturunan Tionghoa atau yang bukan, tidak mengetahui apakah ada
penulis keturunan Tionghoa, dan juga tak banyak yang mengetahui apakah karya yang dihasilkan oleh
mereka pernah terbit.
Di masa reformasi, dimana batasan-batasan itu sudah tak lagi mengungkung, eksistensi
pengarang dan penyair keturunan Tionghoa makin terlihat. Mereka mengangkat masalah budaya dan
etnisitas yang mereka hadapi untuk diperkenalkan pada publik pembaca. Beberapa di antaranya

menggunakan sarana bahasa Indonesia untuk mendekatkan karya mereka dengan pembaca pada
umumnya tanpa batasan etnik, namun beberapa di antaranya juga mencoba menampilkan karya dalam
bahasa Mandarin untuk memperlihatkan jati diri sebagai keturunan Tionghoa, dan ada juga yang
menghasilkan karya dengan menggunakan dwi bahasa, Indonesia dan Mandarin. Karya mereka dapat
dikatakan memberi warna, turut memperkaya, sekaligus menjadi bagian dari kesusastraan Indonesia.
KATA KUNCI
Pengarang Tionghoa, karya, identitas, masa Soeharto, masa reformasi
ABSTRACT
Chinese-Indonesian authors and poets have produced works since the 1870s. Their works were written in
Malay as the lingua franca in the archipelago, which absorbed various elements of other languages such
as Dutch, English, and Mandarin. Later on, after Indonesia gained its independence, elements from the
standard Indonesian language were also incorporated into the works of these authors.
During the Soeharto administration, more than two decades after the independence, Chinese
language was banned, and Chinese culture was banished from the public space, resulting in ChineseIndonesian authors going dormant and the disappearance of their works from the public space. The
reading public had lost contact with those works and been unaware that such works or their authors
existed.
After the reformasi, as restrictions and prohibitions were no longer in force, Chinese-Indonesian
authors and their works have reappeared and become more visible. They take issue with their cultural
identity and invite their audience to get acquainted with their problems. Some of them write in bahasa
Indonesia to bridge their works with the public in general beyond the issue of ethnicity, yet some others

also attempt to express themselves in Mandarin to draw attention to their ethnic identity as ChineseIndonesians. Some works are also produced in bilingual versions, Indonesian and Mandarin. Their works
have undoubtedly added more uniqueness to the existing Indonesian literature inventory and significantly
enriched the contemporary Indonesian literature nowadays.

2

International Conference on Chinese Indonesian Studies 2015
CHINESE DIASPORA TRADITION IN INDONESIA NATION BUILDING: CHALLENGES AND OPPORTUNITIES

KEY WORDS
Tionghoa writers, works, identity, Soeharto era, reformasi era
1. PENDAHULUAN
Penulis-penulis Tionghoa di Indonesia, sudah menghasilkan karya sejak tahun 1870an. Pada awalnya,
karya yang mereka hasilkan memiliki ciri khas yang menjadi penanda bahwa karya tersebut adalah buah
tangan penulis Tionghoa. Ciri-ciri khas itu antara lain bisa dilihat dari nama pengarangnya, yang ketika itu
masih belum menggunakan nama-nama Indonesia, misalnya Kwee Tek Hoay, Njoo Cheong Seng, Tan
Hoeng Boen atau nama samaran yang juga sangat unik, seperti Monsieur de Amour (M.D. Amour), Mrs.
Leader, dan lainnya.
Kedua, judul karya mereka juga unik, yaitu dengan bahasa Melayu; dengan dua bahasa, yaitu
Tionghoa (Mandarin) dan Melayu, Tionghoa-asing (Mandarin-Belanda); atau berbahasa Tionghoa saja.

Judul-judul seperti itu digunakan karena karya-karya tersebut pada awalnya memang ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan akan bahan bacaan di kalangan Peranakan Tionghoa sendiri, yang pada umumnya
sesungguhnya sudah tak terlalu fasih berbahasa Mandarin.
Ciri ketiga, yaitu terletak pada tema yang diangkat. Di masa puncak sastra Melayu-Tionghoa
(1924-1942), sebagian besar karya yang dihasilkan mengangkat cerita yang bertemakan keluarga kaum
peranakan Tionghoa di Indonesia, yang masih mempertahankan nilai-nilai budaya Timur (Tionghoa).
Namun karena para penulis itu lahir dan hidup di tanah Indonesia, di luar permasalahan keluarga
peranakan Tionghoa, topik tentang masyarakat Indonesia, terutama yang hidup di tanah Jawa, juga
menarik perhatian penulis untuk diangkat ke dalam novel. Karena itulah banyak pula cerita-cerita yang
mengambil suku dan tempat-tempat di Indonesia sebagai latar cerita (Salmon, 1996). Pengarang dan
dramawan Njoo Cheong Seng adalah pengarang yang paling sering menulis novel dan drama dengan
mengambil masyarakat pribumi sebagai latar belakang, arus yang ditempuhnya ini tentu agak berbeda
dengan kebanyakan penulis peranakan yang lebih sering menulis tentang masyarakat peranakan sendiri
(Suryadinata, 1996: 19).
Ciri-ciri seperti yang di sebut di atas di kemudian hari perlahan memudar. Meski menurut Salmon,
hingga tahun 1960-an masih ada pengarang dan karya yang membawa ciri ketionghoaan, namun Nio Joe
Lan dalam bukunya Sastra Indonesia-Tionghoa menyebutkan bahwa sastra Melayu-Tionghoa mundur
seiring dengan jatuhnya pemerintah Hindia Belanda ke tangan Jepang pada tahun 1942. Setelah
Indonesia merdeka pada tahun 1945, sejarah sastra Melayu-Tionghoa resmi berakhir karena penciptanya
dan pendukungnya telah menjadi orang Indonesia (Nio, 1962: 4,13). Judul karya yang ditulis oleh Nio ini

jelas mengindikasikan bahwa buku yang ia tulis membicarakan tentang sastra yang ditulis oleh orangorang Tionghoa yang saat itu sudah menjadi orang Indonesia, dan menjadi bagian dari Indonesia.
Makalah singkat ini akan mengangkat apa dan bagaimana kondisi pengarang dan karya-karya
mereka yang muncul setelah Indonesia merdeka, khususnya pada masa pemerintahan Soeharto, dan
sesudahnya, yaitu masa reformasi.
2. TERAMPIL MENYIKAPI ZAMAN
Pada masa Soeharto berkuasa, setelah terjadinya peristiwa G30S PKI pada tahun 1965,
pemerintah Indonesia mulai Juli 1966 menutup semua sekolah yang menggunakan pengantar bahasa
Mandarin, mendorong orang-orang Tionghoa menggunakan nama Indonesia, dan melarang tulisan-tulisan
yang beraksara dan menyorot masalah ketionghoaan. Hubungan Indonesia dengan Tiongkok juga
mengalami kebekuan hingga tahun 1989. Banyak penikmat sastra, baik yang keturunan Tionghoa atau
yang bukan, pada masa ini tidak mengetahui apakah ada penulis Tionghoa, dan juga tak banyak yang
mengetahui apakah karya yang dihasilkan oleh mereka pernah ada. Benarkah selama tiga puluh tahun
lebih Soeharto berkuasa tak ada sama sekali karya yang dihasilkan oleh para pengarang keturunan
Tionghoa dan tradisi mereka dalam menulis tidak muncul ke publik pembaca, sehingga bisa dikatakan
sebagai masa hibernasi atau mati suri? Jawabannya tentu tidak. Ciri ketionghoaan yang terlihat dari nama
pengarang, judul karya yang membawa ciri ketionghoaan, ataupun tema keluarga Tionghoa yang
biasanya muncul dalam karya-karya masa lalu mungkin memang nyaris tak tampil, namun karya yang
dihasilkan sesungguhnya terus bermunculan.

Karya Sastra Pengarang Tionghoa-Indonesia: Masa Soeharto dan Reformasi


3

2.1. Berkarya Tanpa Identitas Ketionghoaan
Pengarang-pengarang Tionghoa-Indonesia adalah pengarang-pengarang yang gigih, dan piawai dalam
menulis karya. Batasan-batasan yang diberikan Soeharto kepada orang Tionghoa nampak tak
membendung tradisi mereka dalam menulis atau menghasilkan karya. Dalam kondisi seperti itu, meski
mungkin jumlah pengarang tidak banyak, dan jati dirinya tidak diketahui oleh banyak pembaca, mereka
sesungguhnya tetap berkiprah dan menghasilkan karya yang digemari. Apa yang dilakukan pengarang
Tionghoa semasa Soeharto? Banyak penulis tak menggunakan nama Tionghoa, dan menggunakan nama
diri dengan nama-nama Indonesia, atau dengan menyamarkan namanya. Pengarang terkemuka seperti
Marga T. tak pernah menuliskan nama lengkapnya, yaitu Marga Tjoa (蔡良朱 Cai Liangzhu), dan ini
membuat khalayak pembaca tidak mengenali identitas etnik penulisnya.(Wuryandari, 2003: 107-108).
Meski kondisi yang berlangsung seperti itu, beberapa penulis ada juga yang tetap menggunakan nama
asli atau nama campuran (Indonesia-Tionghoa) mereka. Misalnya, seperti The Eng Gie yang aktif menulis
pada era 1980-an, dan juga Asmaraman S. (Sukowati) Kho Ping Hoo yang sangat dikenal dan digemari
karena cerita-cerita silat ciptaannya yang menawan pembaca.
Meski disebut berkarya dengan batasan, masa Soeharto sesungguhnya adalah era di mana karya
yang dihasilkan penulis Tionghoa banyak beredar di pasaran. Yang cukup mengejutkan di sini adalah
bahwa pengarang yang tampil dan meraih sukses dalam kondisi terbatas ini sebagian besar justru

pengarang perempuan. Pengarang yang bisa menjadi representasi masa itu antara lain adalah S. Mara
GD, Mira W. dan Marga T. Kesuksesan mereka bisa diukur dari sambutan besar penggemar, dan dicetak
ulangnya karya-karya mereka. Karya-karya Marga T. pernah mendapat berbagai penghargaan
sayembara, dan novel pertama Marga T. bahkan terbit pada tahun 1969, tak lama setelah Soeharto naik
ke tampuk pimpinan.
Anjuran pemerintah untuk tidak menggunakan bahasa Mandarin dan tidak mengangkat hal-hal
yang berkaitan dengan etnik Tionghoa, cukup disikapi pengarang dengan menggunakan bahasa
Indonesia standar tanpa menyelipkan unsur bahasa Mandarin dalam judul maupun tubuh karangan.
Dalam hal tema, pengarang acapkali mengangkat tema-tema cinta atau keseharian penduduk kota dan
menggunakan latar kota-kota besar yang ada di Indonesia pula.
Sebagai contoh yang dikemukakan di sini bisa ditinjau karya-karya yang dihasilkan Marga T. dan
Mira Wijaya. Judul-judul karya mereka yang sangat dikenal pada era 1970-1990an antara lain adalah
Karmila, Badai Pasti Berlalu, Bukan Impian Semusim, Ranjau-ranjau Cinta, Kidung Cinta Buat Pak Guru,
Relung-relung Gelap Hati Sisi. Kepiawaian menulis dan meramu kisah yang dimiliki kedua pengarang
membuat beberapa karya mereka tidak hanya dicetak ulang berkali-kali, namun juga diangkat ke layar
kaca sebagai film seri TV, dan juga diangkat ke layar perak. Judul karya, tokoh yang diperkenalkan dalam
karya, latar dan persoalan yang dikemukakan oleh Marga dan Mira hampir semuanya berkaitan dengan
Indonesia, dan dalam kerangka pemikiran Indonesia. Kalau dua pengarang di atas lebih banyak berkisah
tentang kisah cinta, lain halnya dengan S. Mara GD yang menerbitkan karya pertamanya di era 1980an.
Awal kerjanya sebagai penerjemah karya-karya Agatha Christie, telah menuntunnya menjadi penulis

kisah-kisah misteri. Ia menciptakan tokoh utama seorang kapten polisi bernama Kosasih dan sahabatnya
Gozali dalam novel-novelnya. Dalam menulis, ia banyak mengambil latar daerah Surabaya dan
sekitarnya, sehingga bahasa yang ia tampilkan diwarnai dengan dialek Jawa Timuran. Dari tangannya
telah muncul Misteri Kekasih Dua Saudara, Misteri Tragedi Rumah Warisan, Misteri Dian yang Padam,
Misteri Pesta Maut, dan lainnya yang judul-judulnya sangat khas.
Meski sebagian besar karya pengarang Tionghoa masa ini bermain di, atau mengangkat
Indonesia dengan tokoh-tokoh Indonesia pula, sebuah novel karya Marga T. yang semula muncul sebagai
cerita bersambung pada harian Kompas, berjudul Gema Sebuah Hati perlu mendapat catatan tersendiri.
Karya yang terbit pada tahun 1976 ini, melukiskan tentang dua tokoh mahasiswa keturunan Tionghoa
yang mengalami tekanan perasaan saat perubahan situasi pada tahun 1960-an. Cerita yang memikat dan
kemudian sengaja ditutup dengan ending yang terbuka, nampaknya membuat pembaca penasaran, dan
menanti-nanti kelanjutan cerita. Akhirnya keinginan pembaca terpenuhi setelah Marga T. menerbitkan
novel kelanjutannya yang ia beri judul Setangkai Edelweiss. Novel ini terbit tiga tahun setelah Gema
Sebuah Hati muncul ke hadapan pembaca. Bahasa yang mudah diikuti dan topik yang mengena di hati
pembaca, khususnya kaum muda, malah membuat novel-novel mereka disukai dan mendapat tempat di
hati penggemar. Tak heran bila banyak dari karya mereka yang menjadi best-seller.

4

International Conference on Chinese Indonesian Studies 2015

CHINESE DIASPORA TRADITION IN INDONESIA NATION BUILDING: CHALLENGES AND OPPORTUNITIES

Keberhasilan para pengarang masa Soeharto tidak hanya disebabkan oleh bakat mengarang
yang tinggi, penguasaan bahasa Indonesia yang baik, dan ketrampilan mereka dalam menyikapi kondisi,
faktor lain yang juga turut mendukung adalah pekerjaan yang berkaitan dengan kesastraan dan juga latar
belakang pendidikan yang rata-rata baik. Mira W., dan Marga T. sama-sama berpendidikan dokter, dan
tinggal di kota besar, maka tak heran bila bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Indonesia standar
yang mereka pelajari dan gunakan di sepanjang studi akademik mereka, dan kehidupan kota besar jelas
bukan merupakan hal yang asing bagi para penulis untuk diangkat ke dalam cerita.
3. KESUSASTRAAN DI MASA REFORMASI
Since the fall of Soeharto, a number of Chinese-Indonesian writers have begun to write as
Chinese-Indonesians, some using their Chinese names, some writing in Mandarin. New
literary activities include the gathering, publishing and translating (from Mandarin) of short
stories and poetry by Chinese-Indonesians.
Itulah awal dari tulisan Pamela Allen tentang sastra kontemporer dari Chinese „Diaspora‟ di Indonesia
yang bertujuan untuk mengkaji the ways in which literary works by and about Chinese-Indonesians give
expressions to their ethnic identity (Allen, 2003: 1). Apa yang diungkapkannya berangkat dari kejeliannya
melihat fenomena yang timbul dari kegiatan bersastra yang dilakukan oleh para pengarang Tionghoa di
Indonesia setelah presiden Soeharto lengser dari tampuk kepemimpinannya. Dalam makalahnya ia antara
lain mengulas puisi-puisi yang dihasilkan oleh beberapa penyair Tionghoa yang memperlihatkan gejala

umum seperti yang ia kemukakan pada kutipan di atas. Apakah benar hal demikian menjadi fenomena
umum yang muncul dalam karya-karya sastra pengarang Tionghoa-Indonesia akan dibicarakan lebih
lanjut di bawah.
3.1. Sastra Pengungkapan Diri
Turunnya Soeharto dari tampuk kepemimpinan, membawa angin segar. Dapat dikatakan bahwa awal
masa reformasi, merupakan awal munculnya sastra pengungkapan diri. Masa ini merupakan awal
kembalinya kebebasan pengarang untuk menggunakan semua identitas, jati diri dan ciri-ciri ketionghoaan
yang pernah mereka miliki di masa lalu dalam menulis karya. Beberapa nama pengarang baru dan judul
karya dengan unsur ketionghoaan muncul dalam kancah sastra Indonesia. Ini bisa dilihat dari hadirnya
pengarang-pengarang seperti Clara Ng dengan karya Dimsum Terakhir, Lan Fang dengan karya Yang
Liu, dan Pai Yin, Leny Helena dengan Gelang Giok Naga. Ada penulis yang sengaja menggunakan dua
versi nama sekaligus, yaitu nama Indonesia dan nama Tionghoanya sebagai cara untuk memperlihatkan
identitas diri bahwa ia orang Indonesia yang berdarah Tionghoa. Ini bisa dilihat dari penyair Wilson
Tjandinegara, yang selalu menyertakan nama Chen Donglong (陳冬龍) di sampul buku yang ia tulis.
Sementara Sindhunata lebih memilih menggunakan nama Indonesianya tanpa menyebutkan identitas
ketionghoaan.
Kebebasan yang diperoleh pengarang setelah masa reformasi adalah kebebasan untuk
mengungkapkan perasaan terbelenggu yang selama ini tidak mungkin diekspresikan melalui karya.
Melalui karya mereka melontarkan kritik pada pemerintah, kekesalan pada kondisi sosial yang tidak adil,
kritik terhadap sesama etnik Tionghoa sendiri, perasaan tertekan, dan keinginan diakui menjadi bagian

dari bangsa Indonesia bisa ditemukan pada karya-karya pasca Soeharto. Untuk itu akan dipilih petikan
dua novel yang kiranya dapat mewakili pengungkapan perasaan etnik Tionghoa, yaitu: Putri Cina karya
Sindhunata, dan Dimsum Terakhir karya Clara Ng.
Putri Cina adalah novel satire yang dikerjakan dengan baik oleh penulisnya. Ia seolah ingin
memaparkan kepada pembaca inilah gambaran kondisi tentang orang Tionghoa di tanah Jawa, yang
terpaksa harus menerima kondisi yang dihadapi dengan legowo, pasrah, tanpa harus membenci. Di
dalam novel bisa ditemukan bermacam kritik yang ditujukan pada masyarakat Indonesia maupun
Tionghoa sendiri. Bagian-bagian awal novel (bab1-3) dibuka dengan pertanyaan-pertanyaan panjang
tentang identitas yang tidak jelas yang dirasakan oleh masyarakat Tionghoa di Indonesia. Mereka sudah
meninggalkan tanah leluhur begitu lama, tidak kenal budaya asalnya, tak dapat berbahasa Mandarin lagi
karena memang lahir di Indonesia, namun tetap tidak bisa menjadi Indonesia, suatu ketidakpastian jatidiri:

Karya Sastra Pengarang Tionghoa-Indonesia: Masa Soeharto dan Reformasi

5

Tidakkah hidupnya memang tidak punya akar, yang mengikat dia pada suatu tanah,
tempat ia bisa berpijak? Katanya, ia berasal dari Cina. Tapi ia tak tahu sama sekali,
apakah dan bagaimanakah keadaan di tanah leluhurnya itu. Dan, ke sana, sekali pun ia
tak pernah. (hlm: 9)

.... Antara Negeri Cina dan Tanah Jawa, manakah tanah airnya? Kedua-duanya tidak,
satu di antaranya pun tidak. Lalu di mana tanah airnya? (hlm: 23)

Meski cerita diisi dengan banyak tanda tanya yang seolah sulit mendapat jawaban pasti, cerita Putri Cina
diakhiri dengan nada positif akan adanya harapan hidup yang lebih baik di tanah Jawa (lihat halaman
302).
Novel Dimsum Terakhir dari Clara Ng adalah novel yang memberi sinyal bahwa ia memiliki
unsur-unsur ketionghoaan yang kuat, nama penulisnya maupun judul karyanya semua mengarah pada
hal itu. Kita semua tahu bahwa dimsum adalah makanan khas etnik Tionghoa. Kisah mengalir dengan
lancar, lincah, dan enak diikuti hingga halaman terakhir. Di dalamnya juga ditemukan sejumlah gambaran
perlakuan tidak adil yang dialami oleh orang Tionghoa-Indonesia, namun terlihat bahwa Clara memilih
untuk menyikapi dan mengangkatnya dengan santai, tanpa berprasangka secara rasial. Hasilnya,
menggugah pembaca untuk ikut memahami dan merenungi kebenaran yang digambarkan Clara tentang
kehidupan dan perasaan masyarakat peranakan di Indonesia yang ternyata sangat beragam perilakunya.
Heterogenitas dalam hal pandangan di antara orang Tionghoa berkali-kali diangkat Clara
kepermukaan, salah satunya adalah tentang penggunaan nama yang bisa menjadi topik perdebatan yang
sengit tentang masalah identitas di antara kelompok Tionghoa sendiri,
“Kenapa sih nggak dipanggil dengan nama Cina mereka?”
Ini dia pertanyaan kelima puluh tiga dari orang kedua puluh delapan. Pilihan katakatanya sama. Tata bahasanya juga sama. Nadanya apalagi.
.......................
“Anak-anak di sini semuanya dipanggil dengan nama Cina mereka. Po Hong. Pei Ing.
Yu Lin.” Qian Xen menyulut batang rokok Gudang Garam-nya, lalu mengepul-ngepul
santai. “Lu aneh-aneh aja. Anak-anak lu punya nama Cina tapi dipanggil nama
Indonesia,” katanya berenergi tinggi.
........................
“Mereka orang Indonesia,” jawab Nung akhirnya, setelah bermenit-menit diam dalam
keheningan. Sebenarnya dia tidak suka konfrontasi soal nama ini dari tetangganya.
Memangnya siapa sih Qian Xen ini? Datang-datang langsung memberi komentar soal
keluarganya. “Warga negaranya Indonesia. Paspornya juga nanti paspor Indonesia.”
.......................
Lu udah lupa ya kalau kita tetap Cina biarpun warga negara kita Indonesia?” Mulut
Qian Xen memang pintar melakukan provokasi.
Tampaknya sapi satu ini belum berniat menyelesaikan omongan menyebalkan itu.
“Cina perantauan.” Jawab Nung singkat membenarkan...........
“Tapi anak-anak harus dipanggil dengan nama Cina mereka.”
Sepertinya perang ini tidak dapat dihindari.
“Kenapa harus? Tidak ada kata harus.” (hlm: 204-206).

Pada bagian lain dari novel, Clara mengangkat suatu situasi di tengah khidmatnya suasana
upacara bendera di sekolah, yang menggambarkan tokoh Siska yang terpaksa harus membela diri dan
saudara kembarnya karena mendapat pelecehan dari teman sekolahnya. Kondisi seperti ini tentu harus
dilawan untuk mempertahankan hak yang seharusnya sama, inilah gambaran yang terjadi:

Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku
Bangsaku, rakyatku, semuanya
Bangunlah jiwanya bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya

6

International Conference on Chinese Indonesian Studies 2015
CHINESE DIASPORA TRADITION IN INDONESIA NATION BUILDING: CHALLENGES AND OPPORTUNITIES

“Amoy! Ngapain nyanyi keras-keras ... lu bukan orang Indonesia ... Amoy, amAAAWWW!
BUK!!!
……………….
Barisan siswa di belakangnya sedikit tercerai-berai.
“SIAPA BILANG DIA BUKAN ORANG INDONESIA? DASAR BEGO!!! OTAK
UDANG!”
Siska berdiri gagah sambil mengayunkan tinju ke arah dua lelaki yang terlihat lebih
pendek daripada dirinya. Dua tonjokan mendarat telat di kepala sehingga salah satu
mereka terjungkir, mencium tanah dengan sempurna. Satunya lagi terhuyung-huyung ke
belakang nyaris roboh. (hlm: 235-237)

Bentuk ekspresi lain yang juga dilakukan penulis Tionghoa adalah membuat terjemahan karya dari
Tiongkok. Pada era awal tahun 2000-an bisa ditemukan dua buku kumpulan puisi klasik Tiongkok yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yaitu, Antologi Sajak Klasik Dinasti Tang terjemahan Wilson
Tjandinegara dan Purnama di Bukit Langit terjemahan Zhou Fuyuan. Selain itu, kegiatan bersastra pada
masa reformasi juga meliputi penulisan karya dalam bahasa Mandarin, dan temu sastra antara pengarang
Tionghoa dan non yang non-Tionghoa dalam rangka membahas karya-karya baru yang dihasilkan. Temu
sastra semacam ini seringkali diwadahi oleh kelompok Komunitas Sastra yang beberapa kali menggelar
kegiatan di Pusat Dokumentasi H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki.
3.2 Sastra Dengan Keragaman Tema
Di masa setelah reformasi, meski cukup banyak karya yang muncul menyuarakan perasaan yang
selama ini tak bisa terungkap, sesungguhnya tidak semua karya penulis Tionghoa berbicara tentang
kondisi semacam itu atau hanya membatasi diri pada masalah etnisitas dan identitas mereka. Ini bahkan
bisa dilihat dari karya-karya Clara Ng di luar Dimsum Terakhir, misalnya, Tujuh Musim Setahun, Utukki:
Sayap Para Dewa, Tea for Two, dan lainnya. Penulis lain pun demikian pula halnya. Nampaknya,
berbagai kondisi sosial yang terus menerus hadir dalam hidup, terlalu sayang untuk dilewatkan begitu
saja dan terlalu sayang untuk tidak diangkat kedalam cerita. Imaji tinggi pengarang, kejelian mereka
dalam melihat detil peristiwa dan kepiawaian mereka dalam mengangkat cerita ke dalam tulisan telah
membuahkan hasil-hasil karya menarik yang digemari penggemarnya.
Bila kita mencoba mencari tahu karya para pengarang baik melalui blog pengarangnya maupun
membaca karyanya langsung, maka akan didapati kenyataan bahwa karya-karya bertemakan tentang
kehidupan sehari-hari yang ada di sekitar mereka, atau yang berdasarkan imaji tinggi pengarangnya,
yang tidak mengandung unsur ketionghoaan, jumlahnya sangat banyak. Misalnya saja, Lan Fang dan
karya-karya yang ia hasilkan. Penulis muda yang baru beberapa tahun lalu wafat ini, sudah banyak
menghasilkan karya, di antaranya yang memang memperlihatkan judul berunsur ketionghoaan, yaitu Pai
Yin, dan kumpulan cerpen yang diberi judul Yang Liu. Dari 15 cerpen yang dihimpun dalam kumpulan
cerpen Yang Liu, sebagian besar cerita justru tidak mengangkat isu tentang kehidupan orang Tionghoa.
Cerpen yang mengangkat tema etnik mungkin hanya “Calon Menantu”, dan “Gong Xi Fa Chai”. Karya lain
yang baru bisa diketahui setelah membaca bahwa isinya mengandung unsur etnisitas adalah Reinkarnasi.
Pai Yin dan Reinkarnasi, memiliki beberapa kesamaan, yaitu sama-sama mengambil tokoh utama
pemuda Indonesia, mengambil dua latar tempat yaitu Indonesia dan Tiongkok, dan keduanya bercerita
tentang kisah asmara yang terjadi saat sang pemuda berada di Tiongkok.
Di luar ketiga karya tersebut, Lan Fang menghasilkan karya-karya yang betul-betul lepas dari ciri
etnik dan identitas Tionghoa, ini bisa dilihat dari novel-novelnya Laki-laki yang Salah, Perempuan
Kembang Jepun, Lelakon, dan Kota Tanpa Kelamin. Sebuah novelnya yang berjudul Kembang Gunung
Purei menjadi pemenang penghargaan lomba novel yang diadakan oleh majalah Femina pada tahun
2003. Yang menarik ditengok adalah pernyataan Lan Fang sendiri tentang persoalan penulisan Kembang
Gunung Purei. Ia ingin mengangkat karya dengan unsur budaya Indonesia yang kental, karena ia tidak
ingin terkotak secara spesifikasi dengan latar budaya Cina (Lan Fang, 2005: 222). Pilihannya jatuh pada
Kalimantan. Karena merasa lahir dan besar di Banjarmasin, ia berpikir akan mudah mengangkatnya
menjadi cerita, tapi inilah pengakuan Lan Fang:

Karya Sastra Pengarang Tionghoa-Indonesia: Masa Soeharto dan Reformasi

7

……., saya ingin bangga menjadi salah satu putra daerah dari kota seribu sungai itu ……
Tapi saya keliru besar!
Proses menulis Kembang Gunung Purei tidaklah mudah …….
Karena ingin tulisan saya kali ini setidaknya meraih nominasi, saya berusaha keras
untuk menulis sebaik mungkin. Tapi ternyata, walaupun saya putra daerah, sedikit sekali
yang saya ketahui tentang Kalimantan. Sehingga Kembang Gunung Purei memaksa
saya belajar banyak hal yang sebelumnya sama sekali tidak saya ketahui tentang
Kalimantan (hlm: 222)
Sama halnya keragaman tema karya yang dihasilkan oleh Clara Ng, dan Lan Fang, puisi-puisi
yang dihasilkan penyair Tionghoa juga banyak menuliskan keragaman tema dan persoalan yang menarik
diangkat kedalam puisi. Contohnya, adalah kumpulan puisi berjudul Rumah Panggung di Kampung
Halaman oleh Wilson Tjandinegara yang diterbitkan pada tahun 1999. Buku kumpulan puisi yang dibuat
dalam dua bahasa tersebut, Indonesia dan Mandarin, berisi 25 puisi, dan hanya tiga buah saja yang
mengangkat persoalan yang dialami oleh orang Tionghoa. Selebihnya adalah gambaran tentang berbagai
hal yang berkaitan dengan Indonesia, termasuk puisi utama Rumah Panggung di Kampung Halaman
yang menjadi judul buku kumpulan puisinya, ia narasikan sebagai rumah panggung sang penyair di tanah
Sulawesi Selatan.
Bentuk lain untuk memperlihatkan identitas diri yang dilakukan oleh pengarang Indonesia yang
berdarah Tionghoa adalah melakukan penerjemahan karya ke dalam bahasa Mandarin, atau menciptakan
karya asli dalam bahasa Mandarin. Karya semacam ini bila dikaitkan dengan publik pembaca, jumlah
peminatnya sesungguhnya sangat terbatas, sebab penduduk Indonesia yang bisa memahami bahasa
Mandarin sangat kecil jumlahnya. Popularitas karya yang berbahasa Mandarin, akan sulit untuk bisa
menyamai popularitas karya-karya yang dihasilkan S. Mara GD, Marga T., Mira W., maupun penulispenulis baru seperti Clara Ng dan Lan Fang yang lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia sebagai
sarana untuk menulis dan mengungkapkan buah pikiran mereka. Mungkin karya-karya berbahasa
Mandarin itu lebih ditujukan pada kalangan terbatas mereka sendiri.
4. Penutup
Melalui paparan kondisi zaman, pembahasan dan petikan-petikan karya di atas, kiranya dapat
dibuat kesimpulan kecil bahwa pengarang Tionghoa di masa Soeharto meski mendapat berbagai macam
batasan dalam berkarya, namun mereka terampil dalam menyikapi kondisi. Karya mereka tetap muncul
meski pengarangnya harus tampil tanpa identitas ketionghoaan yang mereka baik dalam hal nama diri,
maupun dalam hal tema cerita. Pengarang karena sikap luwes dan kepiawaian menulis, berhasil
mencetak karya-karya yang ditunggu pembaca, menjadi best seller, dicetak ulang, dan difilmkan.
Keuntungan besar yang diraih, memberi kemapanan hidup bagi pengarangnya.
Kondisi masa reformasi merupakan kebalikan kondisi masa sebelumnya. Dengan lepasnya
belenggu pembatasan, masa ini menjadi masa pengungkapan diri yang selama ini tidak dapat
diekspresikan. Pengarang tak ragu menuliskan nama dengan identitas Tionghoa, atau mengangkat
permasalahan yang ditemui dalam kehidupan sosial di Indonesia. Mereka juga bebas membangun
asosiasi pengarang dan kegiatan diskusi sastra.
Karya-karya yang dihasilkan penulis Tionghoa adalah gambaran kondisi yang khas dimiliki dan
dialami orang-orang Tionghoa di Indonesia. Meski berdarah Tionghoa, tapi mereka lahir, menetap, dan
memilih Indonesia sebagai tanah airnya. Kerangka pemikiran mereka adalah kerangka berpikir Indonesia.
Di pihak lain, meski menjadi warga negara Indonesia, dalam diri mereka mengalir darah Tionghoa (atau
campuran), jadi mereka juga punya identitas budaya yang ingin dipertahankan dan diperkenalkan pada
publik, yaitu budaya Tionghoa. Dengan demikian, keduanya ada dan muncul berdampingan dalam karya
maupun kehidupan sehari-hari. Ini justeru menjadi keunikan tersendiri yang dapat memperkaya khasanah
sastra Indonesia. Melalui karya mereka, khususnya yang berbahasa Indonesia, pembaca di Indonesia
dapat mengetahui dan belajar memahami tentang kondisi masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Robohnya Surau Kami, karya AA Navis atau Upacara karya Korrie Layun Rampan adalah dua
novel yang mengangkat karya sastra dengan warna adat kedaerahan yang kental, yaitu Minangkabau dan

8

International Conference on Chinese Indonesian Studies 2015
CHINESE DIASPORA TRADITION IN INDONESIA NATION BUILDING: CHALLENGES AND OPPORTUNITIES

Kalimantan. Bila dari karya AA Navis dan Korrie Layun Rampan pembaca bisa belajar banyak untuk
mengenal dan memahami budaya yang berbeda dengan budaya pembacanya, maka karya-karya
pengarang Tionghoa juga bisa bercerita dan mengajak pembacanya untuk mengenal dan memahami hal
yang sama, yaitu budaya Tionghoa di Indonesia, identitas dan permasalahan etnik yang mereka hadapi.
5. SUMBER RUJUKAN
Allen, Pamela, 2003, “Contemporary Literature from Chinese „Diaspora‟ in Indonesia”, Asian Ethnicity, vol
4, Issue 3, October.
Lan Fang, 2005, Kembang Gunung Purei (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Ng, Clara, 2006, Dimsum Terakhir, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama).
Nio, Joe Lan, 1962, Sastra Indonesia-Tionghoa, (Jakarta: Gunung Agung)
Salmon, Claudine, 1996, “Masyarakat Pribumi Indonesia di Mata Penulis Keturunan Tionghoa (19201941), dalam Leo Suryadinata, editor, Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia, (Jakarta: Grasindo)
Sindhunata, 2007, Putri Cina, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Suryadinata, Leo, 1996, “Dari Sastra Peranakan ke Sastra Indonesia”, dalam Leo Suryadinata, editor,
Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia, (Jakarta: Grasindo)
Tjandinegara, Wilson, 1999, Rumah Panggung di Kampung Halaman, (Jakarta: Komunitas Sastra
Indonesia)
Wuryandari, Nurni W., 2003, “Kesusasteraan Peranakan Cina” dalam Studia Sinica, No. 1 (Depok: FSUI)
.