Rangkuman Hukum Internasional Contoh Soa

PENGERTIAN HUKUM INTERNASIONAL

1. Pengertian Hukum Perdata Internasional (HPI): keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas Negara.

HPI dapat juga diartikan sebagai hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara pelaku hukum yang masing2 tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan

2. Pengertian Hukum Internasional Publik (HIP): keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang BUKAN BERSIFAT PERDATA. HIP ini yang akan dikatakan secara umum sebagai Hukum Internasional.

Karena sukar untuk membedakan hubungan hukum perdata dengan publik, maka definisi Hukum Internasional yang lebih tepat adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara (1) negara dengan negara; (2) negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara dengan subjek hukum bukan negara

3. Pembedaan beberapa Istilah dari Hukum Internasional: - Hukum Bangsa-bangsa: akan dipergunakan untuk menunjukkan pada kebiasaan dan aturan (hukum) yang

berlaku dalam hubungan antara raja2 zaman dahulu

- Hukum antarabangsa / hukum antarnegara: akan dipergunakan untuk menunjuk pada kompleks kaidah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa2 atau negara2 yang kita kenal sejak munculnya negara dalam bentuknya yang modern sebagi negara nasional (nation-state)

- Hukum Internasional: selain mengatur pula hubungan antara negara dengan negara, juga mengatur pula

hubungan antara negara dengan subjek hukum lainnya yang bukan negara

4. Bentuk Perwujudan Khusus Hukum Internasional:

- Hukum Internasional Regional: Hukum Internasional yang berlaku terbatas pada daerah atau

lingkungannya. Contohnya adalah seperti Hukum Internasional Amerika Latin.

Hukum ini biasanya tumbuh melalui proses hukum kebiasaan. Ada kalanya Hukum Regional kemudian berkembang menjadi Hukum Internasional Umum, karena mulai diterima dan diterapkan secara universal

- Hukum Internasional Khusus (Spesial): Hukum yang mengatur secara khusus kaidah2, dan diatur

dalam konvesi multilateral. Pesertanya tidak terbatas pada suatu bagian dunia tertentu. Contoh: Konvesi Eropa mengenai Hak Asasi Manusia

5. Pembedaan Hukum Internasional dengan Hukum Dunia:

Hukum Internasional didasarkan atas pikiran adanya suatu masyarakat internasional yang terdiri dari sejumlah negara yang berdaulat dan merdeka (Independent), dan mempunyai kedudukan yang seimbang/sederajat, sedangkan Hukum Dunia adalah semacam Hukum Subordinasi dimana seperti adanya hierarki. Contohnya adalah WTO, dimana dengan adanya perjanjian ini, negara2 di dunia dapat dikatakan telah menyerahkan sebagian kedaulatan ekonominya mengenai perdagangan internasional secara full compliance yang tunduk pada kaidah2 hukum internasional yang diatur oleh WTO

6. Hubungan antara negara dalam Hukum Internasional sifatnya adalah Desiprositas, yaitu hubungan timbal balik antara negara. Contohnya adalah ketika suatu negara memberikan keistimewaan terhadapa wakil negara lain dalam negaranya, maka negara lain tersebut juga harus memberikan keistimewaan terhadap wakil negara yang berada di tempatnya.

7. Produk2 PBB

a. Deklarasi: Dikeluarkan oleh Majelis Umum

b. Perjanjian Internasional: Dikeluarkan oleh Majelis Umum

c. Resolusi PBB: suatu sanksi yang dikeluarkan PBB akibat pelanggaran yang dilakukan oleh anggotanya dan resolusi ini dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB. Contoh: sanksi kepada Libya karena menggunakan Cluster Bom

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL (BAB 7 MOCHTAR)

8. SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

Berdasarkan Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, terdapat 4 SUMBER HI, yaitu:

1) Perjanjian Internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus

2) Kebiasaan Internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum

3) Prinsip Hukum Umum, yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab 4)

Keputusan Pengadilan dan Ajaran (Doktrin) para sarjana Perjanjian Internasional dan Kebiasaan Internasional diklasifikasikan sebagai Sumber Hukum Utama (Primer

Sources) sedangkan Prinsip Hukum dan Keputusan Pengadilan&Doktrin diklasifikasikan sebagai Sumber

Hukum Tambahan (Subsidiary Sources)

Pasal 38 ayat (2)

Ex Aequo et Bono : Mahkamah Internasional dapat mengambil putusan sendiri dengan seadil-adilnya jika tidak dapat memutuskan dengan 4 instrument diatas, dengan syarat mendapat persetujuan dari semua Pihak

PERJANJIAN INTERNASIONAL

9. Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu dan menimbulkan tanggung jawab (Liability)

10. Definisi Perjanjian Internasional berdasarkan Konvensi Vienna 1969, Pasal 2 ayat (1) huruf a:

Suatu Perjanjian Internasional yang dibuat antara Negara didalam BENTUK TERTULIS dan diatur oleh Hukum Internasional, apakah itu tersusun didalam satu instrumen tunggal, dua atau lebih instrumen yang terkait dan apapun bentuknya yang dibuat secara khusus.

11. Azas2 Penting dalam Perjanjian Internasional (Pengertian Perjanjian Internasional):

a. Merupakan hukum bagi semua negara yang membuatnya, yang dapat menggantikan, melengkapi, atau mengabaikan hukum negara masing2 (Modus et conventio vincunt legem)

b. Merupakan instrument internasional yang paling resmi yang digunakan untuk menciptakan persetujuan antar negara yang bersifat menyeluruh mengenai status dan hubungan yang mendasar

c. Menciptakan hak dan kewajiban bagi pihak dari perjanjian

d. Perjanjian Internasional yang berlaku dan dibuat antar negara mengikat secara hukum terhadap negara2 tersebut dan akan dilaksanakan dengan itikad baik oleh para pihak (“Pacta Sunt Servanda”)

12. Sifat Perjanjian Internasional Umum: Perjanjian yang mempunyai jumlah pihak yang BANYAK dan juga sifat isi

perjanjian yang CUKUP LUAS. Ex. UNCLOS, Vienna Convention, Piagam PBB

Perjanjian Int'l

Khusus: Perjanjian dimana jumlah pihak TIDAK BANYAK dan sifat isi perjanjian tersebut TERBATAS Ex.ASEAN, Perjanjian Bilateral, OPEC

13. Ratifikasi & Pengesahan Perjanjian Internasional

Indonesia, sejak berlakunya UU No.24/2000 tentang Perjanjian Internasional, suatu Ratifikasi atau Pengesahan Perjanjian Internasional HARUS dilakukan dengan UU melalui badan DPR atau Keputusan Presiden melalui Presiden

 Perjanjian yang Pengesahaannya WAJIB dengan UU:

a. Masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara

b. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah NKRI

c. Kedaulatan atau hak berdaulat negara

d. HAM dan Lingkungan hidup

e. Pembentukan kaidah hukum baru

f.

Pinjaman dan/atau hibah luar negeri  Perjanjian yang Pengesahaannya dapat melalui Keputusan Presiden: Perjanjian yang mensyaratkan

adanya pengesahan sebelum memulai berlakunya perjanjian, tetapi memiliki materi yang bersifat

prosedural dan memerlukan penerapan dalam waktu yang singkat, tanpa mempengaruhi peraturan

perundangan nasional. Ex. Perjanjian yang bersifat tekhnis, dll.

14. Tahapan Ratifikasi (1) Negara mengirimkan wakilnya, yang disebut Delegasi (2) Delegasi tersebut dibedakan menjadi 2, yaitu

a. Full Power: Delegasi yang membutuhkan Kuasa Penuh dari Negara. Definisi dari Full Power ini adalah Surat Resmi dari Negara yang memberikan kuasa penuh kepada seseorang untuk mewakili negaranya dalam menghadiri suatu Pertemuan Internasional.

b. Tanpa Full Power: Delegasi yang tidak membutuhkan Kuasa penuh dari negara, yaitu - Presiden (Kepala Negara) - Perdana Menteri (Kepala Pemerintahan) - Menteri Luar Negeri - Kepala Perwakilan Diplomatik (Dubes) -

Wakil Negara pada suatu Organisasi Internasional (3) Para Delegasi melakukan Perundingan (4) Para Delegasi membuat rancangan hingga Naskah Final Perjanjian Internasional

(5) Terhadap Naskah Final Perjanjian Intl tersebut, para delegasi harus melakukan:

a. Penerimaan Naskah (Adoption of the Text)

b. Pengesahan Bunyi Naskah (Authentication of the Text) - Tanda tangan - Tanda tangan sementara (Tanda tangan ad referendum) -

Paraf (initial) (6) Pemberlakuan suatu Perjanjian Internasional – RATIFIKASI (Tahap Ketiga) : Perjanjian Internasional akan mengikat (Pengesahan) pada Negara (Consent to be Bound) jika sudah dilakukan salah satu dari tahap-tahap berikut:

- RATIFIKASI (Yang biasa dipakai)

Ratifikasi ini hanya dapat dilakukan oleh badan2 tertentu yang disebut dengan Treaty Making Power. Untuk Indonesia, seperti yang diatur dengan UU 24/2000, Badan yang berwenang untuk mengesahkan (Ratifikasi) Perjanjian Internasional adalah DPR (Legislatif) dan Presiden (Eksekutif)

- Aksessi - Acceptance - Penandatanganan - Pertukaran Surat/Naskah (Exchange of Documents)

15. Reservasi adalah suatu persyaratan yang diajukan suatu negara untuk turut serta dalam suatu perjanjian internasional dengan mengajukan syarat untuk tidak tunduk pada beberapa aturan/pasal yang berlaku dalam perjanjian tersebut.

Reservasi diajukan pada waktu perjanjian ditandatangani, pada waktu melakukan ratifikasi atau pada waktu menyatakan turut serta pada perjanjian (Aksesi)

Reservasi TIDAK bisa diajukan pada sesuatu yang substansi dalam perjanjian tersebut, karena sudah disetujui sebelumnya (dengan adoption dan authentication)

Terdapat 2 Teori untuk Reservasi ini, yaitu:

1) Reservasi dengan Kesepakatan Bulat (unaimity principle) Harus disetujui oleh seluruh anggota

2) Tidak perlu mendapat persetujuan dari seluruh anggota. Bagi yang tidak setuju, Reservasi yang diajukan akan tidak berlaku bagi yang menolaknya.

16. Penggolongan Perjanjian Internasional berdasarkan Tahap Pembentukannya:

1) Perjanjian melalui 2 Tahap (Perundingan dan Penandatanganan): berlaku untuk perjanjian yang

sederhana serta tidak terlalu penting dan memerlukan penyelesaian yang cepat. Contohnya adalah perjanjian perdagangan yang berjangka pendek

2) Perjanjian melalui 3 Tahap (Perundingan, Penandatanganan, Ratifikasi): berlaku untuk perjanjian

yang dianggap penting, sehingga memerlukan persetujuan dari badan yang memiliki hak untuk mengadakan perjanjian (Treaty Making Power). Untuk Indonesia, yang termasuk Treaty Making Power adalah DPR melalui UU dan Presiden melalui Keputusan Presiden

KEBIASAAN INTERNASIONAL

17. Kebiasaan Internasional adalah suatu kebiasaan internasional yang merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum.

Dasar Hukumnya adalah Pasal 38 ayat (1) huruf b Statuta Mahkamah Internasional, yang menerangkan mengenai definisi dari kebiasaan internasional sebagai sumber hukum yaitu “International custom, as evidence of a general practice accepted as law ” , yang mempunyai pengertian bahwa hukum kebiasaan internasional adalah kebiasaan internasional yang merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum.

Kebiasaan Internasional harus memenuhi 2 unsur untuk dapat dikatakan sebagai sumber hukum, yaitu:

1) Harus Terdapat Suatu Kebiasaan yang Bersifat UMUM – PRASYARAT MATERIAL

Prasyarat material di sini dimaksudkan adalah suatu kebiasaan internasional dapat dikatakan bersifat umum, apabila memenuhi prasyarat tertentu pula.Prasyarat-prayaratan yang dimaksud antara lain :

- Praktek2 itu berlangsung dalam kurun waktu tertentu (Duration) - Praktek2 yang terjadi selalu ada kesamaan (Uniformity) - Praktek itu dilakukan secara konsisten (Consistent) -

Praktek2 tersebut cukup meluas yang juga dilakukan oleh negara2 lainnya (generality)

2) Kebiasaan tersebut HARUS menjadi Fakta dan Diterima Sebagai Hukum atau dikenal dengan asas opinion juris sive necessitatis. Contoh: Hukum2 Konsuler dan Hukum2 perang (Penggunaan senjata biologi, racun dll, arti bendera putih)

18. Pengertian HUKUM Kebiasaan Internasional adalah Unsur-unsur yang bersifat NORMATIF yang merupakan praktek-praktek negara secara umum yang sudah diterima sebagai hukum dan MENGIKAT terhadap semua Negara

PRINSIP HUKUM UMUM / ASAS HUKUM UMUM

19. Prinsip Hukum Umum, terbagi menjadi 2, yaitu

1) Suatu aturan (prinsip) yang umum, diterima oleh semua negara yang beradab, dan menciptakan prinsip2 umum. Ditentukan/didapatkan dalam Konvensi, Perjanjian, Deklarasi, dll. Misalnya asas hukum pidana “retroaktif” yang dimasukkan ke dalam suatu perjanjian dan tercermin di dalam pasal2nya.

2) Hukum Alam

Contohnya:  Persamaan kedaulatan bagi semua negara (EQUAL STATE SOVERIGNITY). Ex. Timor Leste yang baru jadi negara mempunyai hak, kewajiban dan kedudukan yang sama dengan negara yang sudah merdeka ratusan tahun.

 Hak penentuan nasib sendiri (the right to self determination) – Dasar Hukumnya Resolusi Majelis Umum PBB pasal 1514 dan 1541 : HAK yang hanya diberikan kepada bangsa yang belum mempunyai

wilayah dan pemerintahan sendiri (BELUM MERDEKA). Contohnya adalah Bangsa Indonesia pada saat sebelum merdeka dan dibawah kolonial Belanda. Hak Penentuan Nasib Sendiri ini terbagi 3:

- Hak MERDEKA (Independent) Ex. Kita bikin bendera baru, yaitu Bendera Merah putih

- Hak BEARSOSIASI (associated). Ex. Bendera kita warna merah, bendera orang lain bewarna Biru dan ada bintang. Setelah berasosiasi, maka bendera gabungan kita dengan orang lain itu menjadi Bendera yang bewarna Merah dan Biru dengan ada Bintang

- Hak untuk JOINT (Merger). Ex. Bendera kita tadinya Merah, bendera orang lain Biru berbintang. Setelah joint dengan orang lain tersebut, maka bendera kita menjadi sama, yaitu Biru berbintang.

 Prinsip dalam Hak Asasi Manusia

20. Pengertian EQUITY: Seperangkat prinsip-prinsip yang menyatakan apa yang layak dan apa yang benar

Kadang Equity secara terpisah bisa dianggap sebagai Sumber Hukum Internasional, tetapi sebaiknya dikategorikan dalam

“Prinsip-prinsip Hukum Secara Umum”

Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional yang memuat Sumber-sumber Hukum Internasional tersebut TIDAK TERPISAH dari PRINSIP EQUITY, karena itu Mahkamah Internasional mempunyai kebebasan untuk menganggap bahwa prinsip Equity telah lama diberlakukan sebagai bagian dari Hukum Internasional dan telah diterapkan oleh berbagai mahkamah dalam berbagai kasus

KEPUTUSAN PENGADILAN

21. Terdapat 4 jenis Pengadilan, yaitu:

1) Pengadilan Internasional

- Mahkamah Internasional (ICJ: International Court of Justice), berkedudukan di Den Haag, Belanda Mahkamah Internasional mempunyai 2 produk, yaitu Keputusan (Judgment) dan Saran Pendapat (Advisory Opinion)

Mahkamah Tetap Arbitrasi

2) Pengadilan Arbitrasi Internasional: bersifat AD HOC, keputusannya disebut International Arbitral Award

3) Mahkamah Militer Internasional

Pengadilan ini baru 2 kali mengadili, yaitu: Perang Jepang, tahun 1945 & Perang Jerman (NAZI), tahun 1946

4) Mahkamah Kejahatan Internasional. Pengadilan ini untuk SIPIL, bukan militer dan baru diadakan 3 kali, yaitu: - Perpecahan Yugoslavia: terjadi perang, pembunuhan masal. Mengadili pemimpin tertingginya, i.e.

Slobodan Milosevic, dll - Rwanda, Afrika: Perpecahan 2 suku, dan terjadi bunuh2an dalam parlemen

- Sierra Leone

5) International Criminal Court (ICC), dapat mengadili siapapun di dunia, tidak terbatas pada yuridiksi

negara. Indonesia belum ratifikasi ICC ini. ICC ini merupakan Pengadilan yang paling terbaru.

INFORMASI LAINNYA

22. Penggolongan Sumber Hukum Perjanjian:

1) Treaty Contract : suatu perjanjian yang hanya mengakibatkan hak dan kewajiban antara para pihak yang mengadakan perjanjian itu, karena hal yang diatur dalam perjanjian tersebut adalah hal-hal yang sangat khusus ditujukan kepada para pihak yang turut dalam perjanjian Contoh: perjanjian dwi-kewarganegaraan, perjanjian perbatasan, perjanjian perdagangan

2) Law Making Treaties: Perjanjian yang meletakkan ketentuan atau kaidah hukum bagi masyarakat internasional sebagai keseluruhan, dimana semua pihak yang belum ikut dalam perjanjian ini pun dapat bergabung, karena hal yang diatur dalam Perjanjian ini adalah hal yang umum, sehingga semua negara dapat turut serta dalam perjanjian tersebut Contoh: Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang

23. Pengertian Personalitas Hukum dan Kapasitas

Personalitas Hukum ini adalah suatu pengakuan terhadap eksistensi dari kedudukan suatu subjek untuk melaksanakan fungsi hukum, khususnya fungsi hukum dalam bertindak di dalam dunia Internasional

Kapasitas hukum adalah suatu kewenangan dari subjek hukum untuk melakukan prestasi hukum yang berhubungan dengan hukum internasional

24. Dasar hukum Pemberlakuan Hukum mengenai Hubungan Diplomatik dan Konsuler:

1) Untuk Diplomat : Konvesi Wina 1961

2) Untuk Konsuler: Konvesi Wina 1963

SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL (BAB 6 MOCHTAR)

25. Definisi Subjek Hukum Internasional adalah pemegang segala HAK dan KEWAJIBAN menurut (diakui) hukum internasional. Subjek Hukum Internasional mempunyai Personalitas Hukum (Legal Personality)

Subjek Hukum Internasional ini sangat penting karena tanpa adanya Sumber Hukum Internasional ini maka tidak akan adanya suatu Perjanjian atau sumber hukum internasional

26. Kapasitas Subjek Hukum Internasional

1) Kapasitas Penuh. Yang mempunyai kapasitas penuh adalah hanya Negara, dimana Negara dapat melakukan apa saja, dapat melakukan perjanjian apa saja, serta dapat menuntut secara hukum di Mahkamah Internasional

2) Kapasitas Terbatas. Selain negara, adalah para Subjek hukum Internasional yang mempunyai kapasitas terbatas, dimana hanya diberi kewenanangan dibidang tertentu saja, yaitu seperti Individu dan Organisasi Internasional.

Contohnya:

- Individu: pada konvesi Jenewa 1949, ada batasan yaitu jika HANYA terjadi perang saja. Jika bukan perang, maka menjadi tanggung jawab nasional - Organisasi Internasional: WHO hanya mengatur mengenai masalah kesehatan saja

27. KRITERIA Suatu Negara

Negara mempunyai 4 KRITERIA untuk dapat disebut Negara, seperti yang tercantum pada Konvensi MONTEVIDO 1933 tentang Hak dan Kewajiban Negara, Pasal 1, yaitu:

1) Harus mempunyai PENDUDUK yang tetap

2) Harus mempunyai WILAYAH tertentu (defined teritory) dan diakui oleh Hukum Internasional

3) Mempunyai PEMERINTAHAN

4) Mempunyai kemampuan untuk melakukan HUBUNGAN DIPLOMATIK dengan negara lain

28. Hak dan Kewajiban Negara HAK (Pasal 51 Piagam PBB)

- Untuk melakukan yuridiksi terhadap wilayah dan penduduk yang tetap - Mengadakan hubungan secara hukum dengan negara lain - Meminta untuk dihormati oleh Negara lain, seperti meminta luar negeri menghormati hak2 para TKW - Menjadi anggota Organisasi Internasional - Menggunakan hak beladiri dalam berbagai situasi

KEWAJIBAN

- Tidak mencampuri urusan dalam negeri Negara lain (Ps. 2 ayat (7) Piagam PBB) - Tidak boleh melakukan ancaman/kekerasan terhadap negara lain (Ps. 2 ayat (4) Piagam PBB) - Menyelesaikan pertikaian dengan negara lain dengan CARA DAMAI (Ps. 2 ayat (3) Piagam PBB)

- Mentaati sepenuhnya dengan itikad baik semua kewajiban internasional

29. Subjek Hukum Internasional terdiri dari:

A. Teori

(1) Negara : merupakan subjek hukum yang pertama kali diakui oleh Masyarakat Internasional. Subjek hukum.

(2) Individu : secara teori, timbul penafsiran-penafsiran yang berbeda dari para ahli mengenai siapa sebenarnya dibebani dengan hak dan kewajiban. Hans Kelsen berpendapat bahwa individulah yang sebenarnya dibebani hak dan kewajiban tersebut, karena negara itu sebenarnya adalah sekumpulan para individu.

Selanjutnya dalam perkembangannya, timbul konvensi-konvensi yang memberikan hak dan kewajiban yang ditafsirkan langsung kepada individu, yaitu salah satunya adalah Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang. Pada konvensi ini, jika yang melanggar adalah individu2, maka yang harus bertanggung jawab adalah pribadi, bukan lagi negara yang menanggung dosa individu yang melakukan pelanggaran tersebut.

Contoh lainnya adalah Konvensi tentang Sengketa Investasi antara Negara dan Individu dari negara lain dan juga

B. Praktis (1) Takhta Suci - DASAR HUKUM: adalah Lateran Treaty pada tanggal 11 Febuari 1929

- Perjanjian ini adalah perjanjian untuk membentuk suatu negara Vatikan antara Takhta Suci dengan Negara Italia. Dengan demikian, karena Tahkta Suci sudah dapat membuat suatu perjanjian dengan suatu negara, dalam hal ini adalah Italia, maka dengan sendirinya Takhta Suci sudah dapat diakui sebagai Subjek Hukum Internasional

- Pemimpinnya adalah Paus Paulus yang dianggap setingkat dengan Kepala Negara, dan Takhta Suci diperbolehkan membuka perwakilan2 di seluruh dunia yang dianggap setingkat dengan Kantor Perwakilan Diplomatik.

(2) ICRC (International Committee of the Red Cross) – Palang Merah Internasional

- DASAR HUKUM: adalah Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang

- Anggotanya adalah Warga negara Swiss, karena hanya Swiss yang mempunyai posisi netral di muka Bumi ini, sesuai dengan perjanjian internasional.

ICRC ini sangat terbatas sifatnya, karena hanya akan berlaku jika terjadi perang.

(3) Organisasi Internasional

DASAR HUKUM: adalah Advisory Opinion Mahkamah Internasional 1958

- Sejarah: Ketika Pangeran Bernadotte, anggota komisi PBB, terbunuh di Israel ketika menjalankan tugasnya pada tahun 1958. Pada saat itu, PBB ingin menggugat, tetapi terlebih dahulu PBB harus memastikan terlebih dahulu mengenai statusnya, apakah PBB subjek hukum atau bukan. Untuk mendapatkan pengakuan tersebut, PBB meminta pertimbangan kepada Mahkamah Internasional apakah PBB mempunyai kemampuan hukum (Legal capacity) atau sebagai subjek hukum. Dan MI akhirnya memberikan Advisory Opinion bahwa PBB beserta Badan Khususnya adalah Subjek Hukum.

- Advisory Opinion MI: bahwa PBB dan Badan Badan Khusus (Spesialized Agencies) adalah Subjek Hukum Internasional.

- Badan Khusus: ITU, UPU, ILO, World Bank, IMF, FAO, ICAO, UNESCO, WHO, WMO, IMCO dan IAEA

(4) Individu

- Sejarahnya:

a. 1919: Perjanjian Perdamaian Versailles 1919 : sudah memberikan hak terhadap individu

b. 1922: Perjanjian Silesia Atas (Upper Silesia) antara Jerman dan Polandia, dimana memberikan tempat yang sama pada individu untuk mengajukan kasus ke Mahkamah Arbitrasi

c. 1928: Keputusan Mahkamah Internasional Permanent dalam perkara Danzig Railway

Official’s case tahun 1928: memberikan hak kepada pegawai kereta api

d. 1945&1946: Pengadilan Militer di Nurenberg dan Jepang (Tokyo), dimana yang diadili dalam kejahatan perang ini adalah individu-individu yang melakukan kejahatan perang tersebut, meskipun yang melakukan kejahatan tersebut sebenarnya melaksanakan tugas negara.

Tiga Perbuatan yang DAPAT DIADILI dalam peradilan seperti di Jerman dan Tokyo yang diatas adalah:

- Kejahatan terhadap perdamaian - Kejahatan terhadap perikemanusiaan

- Kejahatan perang dan pemufakatan jahat untuk mengadakan kejahatan tersebut

Setelah itu, timbul perjanjian internasional yang dibuat dimana individu merupakan subjek hukum dalam perjanjian internasional tersebut, seperti Deklarasi Human Right 1946, Deklarasi DUHAM

1948, Konvesi Genosida 1948, 1990 ICCY dan ICER

(5) Belligerent

DEFINISI: Pemberontak yang sudah dapat melakukan perlawanan yang meluas, intensif dan

berkepanjangan (Insurgent) yang sudah Terorganisasi , dimana sudah mencakup hal-hal berikut:

a. Yang sudah dapat menguasai bagian wilayah yang cukup dari Negara induk

b. Ada dukungan yg luas dari mayoritas rakyat di wilayah itu

c. Punya keinginan dan kemauan untuk melaksanakan kewajiban internasional (sesuai dengan Konvensi Jenewa 1949)

d. Terorganisir dengan baik dan dalam melakukan perlawanan sesuai dengan Hukum Perang dan sudah mempunyai wilayah tertentu yang dikuasainya

LEVEL

a. REBEL (pemberontak) : Kelompok yg melakukan perlawanan tetapi dengan mudah dapat dipadamkan oleh aparat keamanan dari Pemerintahan yang sah

b. INSURGENT: Perlawanan itu meluas, intensif, berkepanjangan dan sudah:  Menguasai bagian wilayah yg cukup dari negara induk

 Ada dukungan yg luas dari mayoritas rakyat diwilayah itu;  Mempunyai kemampuan utk melaksanakan kewajiban internasional

c. BELLIGERENT: Jika insurgent sudah TERORGANISASI dengan baik dan dalam melakukan perlawanan sesuai dgn Hukum Perang dan sudah mempunyai wilayah tertentu yg dikuasainya tidak peduli diakui atau tidak oleh negara induk

(6) Entitas

PLO (Gerakan Pembebasan Palestina) : bukan termasuk dalam Beligerent ini, karena sebenarnya PLO ini adalah suatu bangsa yang ingin merdeka, perjuangan sebuah bangsa. PLO ini mempunyai 3 hak asasi, yaitu:

 Hak untuk menentukan nasib sendiri  Hak untuk bebas memilih sistem ekonomi, politik dan sosial  Hak untuk menguasai sumber kekayaan alam dan wilayah yang didudukinya

Dasar Hukumnya adalah Resolusi Majelis Umum PBB No.3237, tanggal 22 November 1974, yang mana memberikan status kepada PLO sebagai Peninjau Tetap pada PBB.

PENGAKUAN INTERNASIONAL

30. Pengakuan Internasional adalah suatu Tindakan politik yang menimbulkan akibat hukum yang dilakukan oleh negara untuk mengakui keberadaan dari Negara yang baru lahir, Pemerintahan suatu Negara, Entitas dan

Belligerent

Pengakuan BUKAN HAK dari Negara Baru, dengan arti Negara Baru tidak dapat menuntut kepada negara negara lain untuk memberikan pengakuan terhadap negaranya.

Pengakuan ini BUKAN KEWAJIBAN dari Negara lama, yang berarti bahwa Negara Lama tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan suatu pengakuan kepada negara baru

Dalam memberikan Pengakuan, harus ada pernyataan atau indikasi yang jelas tentang maksud untuk mengakui Negara baru yg dimaksud (Statement or clear indication of an Intention to recognize)

31. Cara Pengakuan

a. Dengan Pernyataan (Express): Dengan menyampaikan nota resmi tentang niat untuk memberikan pengakuan

b. Secara tidak langsung (Implied): Melalui penandatanganan Perjanjian Bilateral seperti perdagangan, kebudayaan dan lainnya atau dengan adanya pembukaan Hubungan diplomatik atau Konsuler (Membuka kantor diplomatik).

32. Akibat Hukum dari Pengakuan:

1) Kemampuan dan Hak Istimewanya

- Personalitas hukum sepenuhnya dari negara baru itu diakui

- Hubungan dua negara dimasa mendatang akan berlangsung atas dasar persamaan hukum

- Negara baru itu diakui untuk melaksanakan kedaulatan di dalam wilayah perbatasannya dan mempunyai kapasitas untuk memberikan kewarganegaraan dan melakukan perlindungan diplomatik atas nama Warga negaranya

2) Kewajiban

Negara baru bertanggung jawab dalam hukum internasional untuk semua tindakannya

33. Perbedaan Pengakuan terhadap suatu Negara dan Pemerintah Pengakuan terhadap suatu Negara hanya perlu dilakukan SEKALI saja dan itu akan BERLAKU SELAMANYA, sedangkan Pengakuan terhadap Pemerintahan harus diberikan untuk setiap pemerintahan

berganti. Artinya, untuk setiap pergantian pemerintah atau rezim, harus dapat medapatkan pengakuan dari Masyarakat Internasional

34. Bentuk Pengakuan terhadap Pemerintahan, dapat diberikan secara de facto dan de jure, yaitu: - De Facto: Pengakuan terhadap suatu Negara/Pemerintahan yang tidak sepenuhnya karena adanya

keberatan2 tertentu dan dapat dicabut sewaktu-waktu.

Biasanya diberikan kepada pemerintahaan baru yang kondisinya belum stabil atau terbentuknya pemerintahan atau kepada Pemberontak, dimana pengakuan ini hanya bersifat sementara terhadap status dari Negara/Pemberontak sebagai otoritas administrasi yang independent hingga sampai benar-benar terbentuk Pemerintah yang sah.

- De jure: Pengakuan yang resmi dan sah dan tidak dapat ditarik kembali, karena sudah menjadi hak bagi

yang mendapatkan pengakuan dan sudah mempunyai ketetapan hukum, yang mempunyai ciri-ciri:

 ada hubungan diplomatik  adanya konsuler di negara

35. Pengakuan Kolektif

Negara-negara dapat memberikan pengakuan secara kolektif melalui suatu perjanjian atau keputusan dalam konferensi internasional dimana pengakuan itu akan dicantumkan dalam instrumen hukum

Penerimaan negara sebagai anggota organisasi Internasional seperti PBB, TIDAK DAPAT diartikan sebagai Pengakuan Kolektif, HARUS ADA PERJANJIAN terlebih dahulu

36. Pengakuan Terhadap Pemerintahan, diberikan dalam kondisi:

a. Jika terjadi perubahan pemerintah di suatu negara - Secara konstitusional (tanpa kekerasan): Pengakuan ini tidak memerlukan keputusan yang tergesa-gesa, artinya jika tidak ada penolakan dari Negara lain yang nantinya tetap melakukan hubungan diplomatik dengan pemerintahan baru

- Secara tidak konstitusional (Baik tanpa atau dengan kekerasan): Pengakuan dari Pemerintahan sebelumnya tidak dapat diberikan kepada yang baru. Contoh: ketika terjadi Revolusi Bolshevic di Rusia tahun 1917, US menolak untuk mengakui Pemerintahan Komunis yang terbentuk, melainkan tetap mengakui Pemerintahan yang lama sampai tahun 1936

b. Pemerintah Pengasingan (Government in exile)

Selama konflik senjata berlangsung atau dalam situasi yg eksepsional, pemerintahan di pengasingan dapat diakui walaupun belum dapat beroperasi atau mengadakan pengawasan diwilayahnya. Contoh:Pemerintahan Norodom Siahnok di Kamboja, diakui secara de Facto oleh dunia internasional, meskipun Siahanok tidak tinggal di Kamboja, bukan Pemerintahan Hussein yang menguasai di dalam negeri

c. Pemerintah yang tidak dapat mengawasi seluruh wilayahnya secara efektif Selama pemberontakan senjata (peperangan) berlangsung pemerintahan yang diakui bisa kehilangan pengawasannya secara efektif terhadap sebagian dari wilayahnya : Negara2 dpt mengakui pemr.tsb sbg

pemr.satu-satunya

37. Syarat Pengakuan:

Adanya jaminan dari Negara Baru akan kesiapannya melaksanakan kewajiban Internasional dan menghormati Prinsip-prinsip hukum Internasional

38. Teori Tentang Pengakuan

1) Constitutive Theory

Suatu negara/suatu pemerintahan tidak pernah ada sebelum pengakuan. Dengan kata lain, Pengakuan adalah suatu PERSYARATAN bagi lahirnya suatu negara

2) Declatory Theory Pengakuan tidak mempunyai akibat hukum. Dengan kata lain, pengakuan bukan merupakan Persyaratan

bagi lahirnya suatu negara. Jadi dengan tanpa adanya Penetapan tidak masalah dan negara tetap ada, hanya tidak mempunyai akibat hukum terhadap negara yang tidak mengakuinya.

Declatory Theory, tercantum dalam - Konvesi Montevido 1993, pasal 3 - Charter of the organization of America States – pasal 12

The political existencce of the state is independent of recognition by other, even before being recognized,

the state has the right its integirty and independence

39. SEBAB Munculnya Negara Baru:

1) Hasil Perjuangan Politik

2) Negara-negara yang pecah

3) Negara-negara yang bergabung

40. Timor Leste adalah NON SELF GOVERNING TERITORY : yaitu suatu area/wilayah

HUBUNGAN HUKUM NASIONAL DENGAN HUKUM INTERNASIONAL

41. Ada 3 teori yang menjelaskan mengenai Hubungan Hukum Nasional dengan Hukum Internasional, yaitu:

1) Teori MONISME – HI & HN ADALAH SATU HUKUM

 Teori ini menganggap bahwa Hukum merupakan satu cabang pengetahuan yang menyatu, yang mana apapun hukum itu, pasti diterapkan pada masyarkat atau entitas lainnya.  Menganggap bahwa kewajiban Internasional dan aturan-aturan Negara merupakan dua segi

fenomena yang mana berasal dari satu norma dasar dan tatanan kesatuan konsepsi hukum

 Menganggap bahwa ilmu pengetahuan hukum merupakan satu bidang ilmu pengetahuan yang menyatu

Hukum Internasional benar-benar merupakan hukum dalam arti yang sebenarnya

 Hukum Nasional dan Hukum Internasional sangat berhubungan satu sama lain yang keduanya merupakan 2 cabang dari satu kesatuan pengetahuan hukum yang dapat diberlakukan pada masyarakat manusia dalam beberapa hal

 Teori ini dipelopori oleh Wright, Kelsen, Lauterpacht dan Duguit

2) Teori DUALISME – HI BERBEDA DENGAN HN

 Teori Dualisme ini memahami bahwa Hukum Internasional dan Hukum Nasional adalah DUA HUKUM YANG BERBEDAsecara esensial dan TERPISAH satu sama lainnya, karena masing-masing hukum mengatur masalah yang berbeda. Dapat diumpamakan sebagai Rel Kereta yang mana satu lempengan dengan lempengan lainnya tidak akan pernah bertemu

 Teori ini lahir atas dasar kedaulatan negara dan juga melihat dari beberapa perbedaan yang nyata antara Hukum Nasional dan Hukum Internasional, yaitu:

 SUBJEK: Subjeknya HN adalah Individu, sedangkan subjek dari HI adalah Negara  ASAL USUL: HN berasal dari kehendak negara sendiri, sedangkan HI berasal dari Kehendak

Bersama Negara

 PRINSIP DASAR: Prinsip dasar HN adalah UU yang ditetapkan oleh wewenang suatu Negara, sedangkan Prinsip Dasar HI adalah Pacta Sunt Servanda dimana persetujuan anara negara harus

ditaati  Teori ini dipelopori oleh Golongan Positivist, yaitu Strupp, Triepel, Hegel dan Anzilotti

3) Teori SPESIFIC ADOPTION THEORY – PENGESAHAN SECARA KHUSUS (Positivisme)

 Hukum Internasional TIDAK DAPAT secara langsung DIBERLAKUKAN dalam bidang Hukum Nasional, KECUALI dibuat PENGESAHAN secara khusus

 Hukum Internasional hanya dapat diterapkan dalam bidang Hukum Nasional sesuatu Negara hanya jika Hukum Nasional mengesahkan secara khusus

42. Status Hukum Internasional di Pengadilan Nasional

Ada beberapa teori dalam hal menggunakan Hukum Internasional didalam Pengadilan Nasional, yaitu

1) Teori TRANSFORMASI – Harus DISAHKAN (RATIFIKASI)

 Untuk menerapkan Hukum Internasional dalam Hukum Nasional, maka aturan Hukum Internasional tersebut harus mengalami TRANSFORMASI (ratifikasi) dan tanpa transformasi ini Aturan Internasional tersebut tidak dapat diberlakukan dalam peraturan perundang-undangan Nasional

 DASAR dari teori ini adalah Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan 2 sistem hukum yang berbeda dan bekerja secara terpisah

 CARA melakukan Transformasi ini adalah menggunakan Mekanisme Konstitusional, yaitu Ratifikasi atau Aksesi (paling umum digunakan)

2) DELEGATION THEORY – TANPA PENGESAHAN

 Teori ini menjelaskan bahwa aturan-aturan Hukum Internasional dapat diberlakukan dalam bidang hukum Nasional dengan TANPA PERLU ADANYA PENGESAHAN secara khusus maupun transformasi atas aturan hukum Internasional tersebut.

 Teori ini berjalan karena pada Hukum Nasional telah menetapkan melalui UU-nya bahwa Perjanjian Internasional dapat diterapkan dalam bidang Hukum Nasional

 Aturan Hukum Internasional harus diterapkan dalam bidang hukum Nasional sesuai dengan prosedur dan sistem yang ada dalam setiap Negara menurut UUD-nya

3) INCORPORATION THEORY – HI MERUPAKAN BAGIAN DARI HN

 Teori ini menganggap bahwa Hukum Internasional SECARA OTOMATIS merupakan bagian dari

Hukum Nasional tanpa memerlukan prosedur ratifikasi oleh parlemen

 Teori ini mengacu pada Hukum Kebiasaan Internasional dan aturan-aturan yang berbeda yang diterapkan pada perjanjian-perjanjian

 Teori ini diutarakan oleh Blackstone, yang mengatakan bahwa “International Law is the law of the

”  Teori ini dianut oleh Inggris dan Amerika

land

 Dalam perkembangannya, teori ini akhirnya TIDAK DAPAT DIBERLAKUKAN SECARA MUTLAK. Dengan kata lain, tidak semua Hukum Internasional dapat diberlakukan secara otomatis

dalam Hukum Nasional, karena ada beberapa FILTER atau SARINGANNYA, yaitu:  Ketentuan dari hukum Internasional tersebut tidak boleh bertentangan dengan UU baik UU yang

lebih tua atau UU yang baru diundangkan kemudian  Harus merupakan Kebiasaan Internasional yang umum diterima dalam masyarakat Internasional.

Jadi jika sudah bertentangan dalam Masyarakat internasional, maka tidak akan diberlakukan dalam Hukum Nasionalnya

 Adanya Hak Preogratif dari Pemerintah yang mana harus diakui, ketika bersinggungan dengan Hukum Internasional, seperti Pengakuan suatu Pemerintahan atau negara, kedaualn dan kekebalan

suatu Pemerintahan dan Wakilnya  Wewenang Mutlak yang dimiliki oleh Pemerintah untuk melakukan Tindakan, seperti

Pernyataan Perang atau Perebutan wilayah (aneksasi)

 BUKTI bahwa Inggris TETAP menunjukkan berlakunya Doktrin Inkorporasi ini dalam Hukum Nasionalnya (Hukum Positif) yaitu:

 Dalil Konstruksi Hukum (Rule of construction)  Dalil tentang Pembuktian suatu Ketentuan Hukum Internasional (Rule of evidence)

43. Kasus Tembakau Bremen

1) Instrumen Hukum Nasional

 Tindakan Pemerintah RI yang ingin melakukan Nasionalisasi Perusahaan Tembakau demi kepentingan Nasional  Indonesia memberikan ganti rugi kepada Belanda berupa pembagian dari penjualan hasil Perkebunan

Tembakau, sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1959

2) Instrumen Hukum Internasional

 Pada kasus ini, terdapat Instrumen Hukum Internasionalnya, yaitu Perlindungan Hak Orang Asing dalam suatu Negara

 Selain itu, dalam Hukum Internasional juga telah diatur bahwa jika ingin mengambil Hak/Kepunyaan

orang asig, harus diberikan ganti rugi yang PROMPT, EFFECTIVE, dan ADEQUATE

3) Kasus Posisi

 Kasus ini dimulai ketika Pemerintah RI mengambil alih Perusahaan Tembakau milik Belanda yang berlokasi di Indonesia, dengan menggunakan dalih ingin melakukan Nasionalisasi demi Kepentingan Nasional.

 Tindakan Nasionalisasi Indonesia ini sebenarnya adalah MELANGGAR HUKUM INTERNASIONAL, yang mana memberikan perlindungan kepada hak/milik orang asing. Kalopun

diambil alih, Indonesia harus memberikan Ganti rugi yang PROMPT, EFFECTIVE, dan ADEQUATE  Dengan menggunakan dalih kondisi negara yang baru Merdeka dan berkembang serta ada kepentingan

untuk membangung struktur ekonominya, Indonesia hanya memberikan ganti ruginya berupa pembagian dari penjualan hasil perkebunan tembakau.

 Ganti rugi yang diberikan Indonesia tersebut tidak sesuai dengan Hukum Internasional yang harus PROMPT, EFFECTIVE, dan ADEQUATE. Ganti Rugi yang tidak sesuai inilah yang dianggap sebagai

salah satu Pelanggaran Hukum Internasional (Dalil Baru)  Tindakan Nasionalisasi yang dilakukan Indonesia tersebut, akhirnya digugat oleh Belanda ke Pengadilan

Bremen.  Pengadilan Bremen akhirnya mengeluarkan suatu Putusan yang isinya adalah bahwa Pengadilan tidak

dapat mencampuri sah tidaknya tindakan Nasionalisasi Indonesia tersebut, yang mana secara tidak langsung Putusan ini membenarkan tindakan Nasionalisasi yang telah dilakukan Indonesia

 Putusan Pengadilan Bremen ini pun akhirnya diperkuat (setelah Belanda melakukan Banding) oleh Putusan Pengadilan Tinggi Bremen

 Putusan ini pun akhirnya diterima oleh Masyarakat Internasional dan menimbulkan Yurisprudensi Internasional bahwa kepentingan Hukum Internasional dapat dilanggar oleh kepentingan Hukum

Nasional suatu Negara dengan suatu alasan yang kuat.  Masyarakat Internasional pun mengambil kaidah dari Putusan tersebut, seperti yang dapat dilihat pada

Resolusi PBB pada tahun 1962 tentang kedaulatan negara atas sumber kekayaan alam yang memuat pasal-pasal yang senada dengan

4) Kesimpulan

 Berdasarkan Putusan Pengadilan & PT Bremen tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya Hukum Nasional dapat mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari Hukum Internasional dalam keadaan-keadaan tertentu.

 Dengan kata lain, Hukum Nasional dapat ‘mengalahkan’ Hukum Internasional (terjadi penyimpangan pada Hukum Internasional) pada kondisi-kondisi tertentu saja (eksepsional)

44. Kasus Penyanderaan di Kantor KONJEN RI di Amsterdam

1) Instrumen Hukum Nasional

 Kewajiban Belanda yang ingin melindungi keamanan dalam wilayah kedaulatannya. Dalam kasus ini, Belanda ingin menangkap atau menundukkan pemberontak yang masuk dan menyandera di dalam gedung Konjen RI

2) Instrumen Hukum Internasional

 Dalam kasus ini, terdapat suatu Hukum Internasional, yaitu Perjanjian Internasional mengenai Hubungan Diplomatik dan Konsuler, yang mana harus ditaati oleh semua negara.  Berdasarkan Perjanjian Internasional tersebut, sudah diatur mengenai kekebalan diplomatik dan konsuler

terhadap suatu Gedung Diplomat atau Konsuler yang berada dalam suatu Negara  Negara Tuan Rumah tidak dapat masuk seenaknya kedalam Gedung Diplomat atau Konsuler yang berada

di wilayahnya, karena Hukum yang berlaku pada Gedung tersebut adalah Hukum dari Negara Pendatang.

3) Kasus Posisi

 Kasus ini dimulai ketika adanya Pemberontak yang masuk kedalam Gedung Konjen RI dan menyandera beberapa orang di Gedung tersebut.  Belanda, karena kepentingan Hukum Nasional yang ingin menjaga keamaan di wilayah kedaulatannya,

ingin menangkap Pemberontak tersebut.  Karena berdasarkan Hukum Internasional tentang Kekebalan Diplomatik dan Konsuler, Belanda tidak

akan bisa menangkap para Pemberontak yang berlindung di dalam Gedung Konjen RI tersebut dimana sudah berlaku Hukum Nasional Indonesia dan merupakan kedaulatan Wilayah Indonesia

 Tetapi, penyanderaan tersebut merupakan kejadian yang sangat mendesak dan luar biasa, Belanda akhirnya memutuskan untuk mencoba masuk kedalam Gedung Konjen RI, yang artinya melanggar

ketentuan Hukum Internasional.  Meski akhirnya, Belanda tidak jadi masuk kedalam Gedung Konjen RI tersebut (karena dapat

diselesaikan dengan cara lain), tetapi hal tersebut sudah menunjukan dengan jelas bahwa Belanda ingin melanggar ketentuan Hukum Internasional demi Hukum Nasionalnya, dengan suatu kondisi-kondisi tertentu (eksepsional)

4) Kesimpulan

Sama halnya dengan Kasus Tembakau Bremen, pada Kasus Penyanderaan di Konjen RI juga telah menunjukan bahwa Hukum Nasional dapat mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari Hukum Internasional dalam keadaan-keadaan tertentu.

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL SECARA DAMAI

45. DASAR HUKUM

1) Bryan and Kellogs Pact dalam Paris Treaty 1928: Hukum Internasional tidak membenarkan adanya

Perang (renunciation of war)

2) Piagam PBB

a. Pasal 1 ayat (1): “Memelihara perdamaian, dan untuk tujuan itu melakukan tindakan efektif untuk mencegah dan melenyapkan ancaman-ancaman terhadap pelanggaran perdamaian

b. Pasal 2 ayat (3): anjuran bagi Anggota PBB untuk menyelesaikan sengketa internasional dengan jalan damai

c.

Pasal 2 ayat (4): Larangan bagi Anggota PBB untuk menggunakan ancaman kekerasan

d. Pasal 2 ayat (6): Usaha PBB untuk menjamin agar negara yang bukan anggota PBB untuk mengikuti PRINSIP PRINSIP PBB dalam menjaga perdamaian

e. Pasal 52, 53 & 54: Dasar hukum bagi badan-badan regional seperti ASEAN untuk dapat menyelesaikan sengketa antara negara anggotanya menggunakan cara damai, dengan caranya sendiri.

Contohnya: ASEAN mempunyai instrumen sendiri untuk menyelesaikan sengketa dengan cara damai diantara para anggotanya, yaitu Treaty of Amity and Cooperation 1976.

f. Pasal 33 ayat (1): Penggunaan cara-cara damai, yaitu secara Non-Hukum dan Hukum dan juga cara

damai lainnya dalam menyelesaikan sengketa internasional

3) Resolusi MU-PBB 2625 (XXV) tanggal 24 Oktober 1970 tentang Deklarasi Prinsip-Prinsip Hukum Internasional Mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama Antara Negara Sesuai Dengan Piagam PBB – Mempertegas prinsip-prinsip penyelesaian sengkete secara damai

4) Resolusi MU-PBB 37/10 mengenai Deklarasi Manila tentang Penyelesaian Sengketa secara damai

5) Resolusi MU-PBB 43/51 tentang Deklarasi untuk mencegah dan menghilangkan pertikaian dan situasi yang dapat mengancam Perdamaian dan Keamanan Internasional dan Peranan PBB dalam bidang ini

6) Konvesi Den Haag Tentang Penyelesaian Sengketa Secara Damai tahun 1899 dan 1907 (Hague Convention for the Pacific Settlement of Disputes 1899 & 1907 )

46. PRINSIP HUKUM INTERNASIONAL DALAM UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA SECARA DAMAI

1) Prinsip untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain

2) Prinsip untuk tidak menggunakan kekerasan dalam hubungan internasional

3) Prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri bagi bangsa

4) Prinsip persamaan kedaulatan negara

5) Prinsip kedaulatan, kemerdekaan dan keutuhan wilayah negara

6) Prinsip beritikad baik dalam hubungan internasional

7) Prinsip keadilan dan hukum internasional

8) Prinsip kebebasan untuk memilih cara-cara penyelesaian sengketa secara damai

47. CARA PENYELESAIAN SENGKETA SECARA DAMAI

1) Secara Non Hukum

a. PERUNDINGAN (Negotiation)  Perundingan (Negosiasi) adalah upaya untuk mempelajari dan merujuki mengenai sikap yang

dipersengketakan agar dapat mencapai suatu hasil yang dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa (Ikle, How to Negotiate, 1964)

 Perundingan hanya dilakukan oleh PIHAK YANG BERSENGKETA saja, tidak ada campur

tangan pihak ketiga  INTI Perundingan adalah pertukaran PANDANGAN dan USUL antara dua pihak yang

bersengketa untuk mencari jalan menyelesaikan permasalahan dengan cara damai

 Merupakan CONDITIO SINE QUANON, yang berarti bahwa cara Perundingan ini merupakan cara yang PERTAMA dilakukan oleh para pihak sebelum menentukan cara-cara penyelesaian lainnya,

karena itu adalah cara yang efektif.  Contoh Perundingan: Perselisihan Indonesia – Malaysia mengenai Sipadan & Ligitan, yang

melakukan perundingan antara Presiden Soeharto dan Mahatir Muhammad, yang akhirnya menghasilkan ”Langkawi Understanding”, yaitu isinya menjadikan kepulauan status quo sambil

menunggu penyelesaian

 CARA PERUNDINGAN

 2 Negara (Bilateral): - Pertukaran Pandangan (exchange of views)

- Konsultasi - Saluran Diplomasi (diplomatic negotiation)

 Banyak Negara (Lebih dari 2 negara) - Ditempuh dengan konferensi internasional, yang dapat disebut sebagai NEGOSIASI

MULTILATERAL atau plurilateral

- Jika beberapa negara yang bersengketa merupakan anggota dari suatu Organisasi Internasional, maka perundingan ini dilakukan secara kolektif (Collective Negotiation)

b. PENYELIDIKAN (Enquiry)

 Definisi: Melakukan penyelidikan atau mencari keterangan/fakta mengenai kenyataan sesuatu masalah yang dipersengketakan  Tujuan Penyelidikan adalah menentukan ada atau tidaknya pelanggaran dari perjanjian-

perjanjian yang ada atau komitmen internasional yang dilanggar oleh pihak-pihak agar dapat menyarankan penyelesaian dan pengaturan yang layak

 Penyelidikan ini dilakukan baik oleh seseorang atau kelompok yang sifatnya INDEPENDENT, dan biasanya disediakan oleh Dewan Keamanan PBB, yaitu:

- Misi Pencari Fakta - Komisi Penyelidik Internasional

Komisi Penyelidik

Jika dilakukan oleh satu orang, maka Sekjen PBB dapat menunjuk WAKIL KHUSUS (Spesial Representative of the United Nations Secretary General) Syarat Utama dari Para Pihak yang akan menyelidiki tersebut adalah HARUS DISETUJUI oleh para pihak yang bersengketa

 Penunjukan seseorang atau kelompok harus didasarkan atas reputasi yang tinggi dalam percaturan internasional dan mempunyai akses yang luas dalam masyarakat Internasionl dan cukup terkemuka

 CONTOH PENYELIDIKAN

 Antara Perang Irak – Iran, Dewan Keamanan PBB mengirimkan Komisi Penyelidik yang dipimpin oleh Sekjen PBB dalam tahun 1987, untuk menyelidiki siapa yang bertanggung jawab terhadap

terjadinya konflik  Peran Dewan Keamanan PBB tahun 1975 yang menunjuk Wakil Khusus, yaitu Mr. GUCCIARDI

untuk melakukan Penyelidikan di Timor Timor

 Dewan Keamanan PBB membentuk Misi Penyelidikan pada tahun 1971, tentang Pengaduan yang diajukan oleh Guinea dan Senegal terhadap Kuasa Administrasi Portugal  Peran Dewan Keamanan PBB yang juga menunjuk Wakil Khususnya untuk menyelesaikan

beberapa sengketa antara lain:

- Timur Tengah (1967 & 1968) - India-Pakistan (1971)

- Namibia (1972 & 1978) - Maroko dan Aljazair mengenai Sahara Barat (1988) - Dugaan penggunaan senjata kimia pada konflik Irak-Iran (1984,1987 dan tiga kali pada tahun

c. JASA JASA BAIK (Good Offices)

 Jika para pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung diantara mereka, maka pihak ke-3 (Dilakukan oleh PBB) dapat menawarkan Jasa-jasa Baiknya sebagai cara untuk mencegah makin terpuruknya pertikaian dan untuk memudahkan usaha kearah penyelesaian sengketa secara damai

HARUS DISETUJUI oleh para pihak dan biasanya dilakukan di tempat yang NETRAL  CONTOH:

 Pada perselisihan Indonesia dan Portugal tentang TimTIm, Sekjen PBB memberikan Jasa-Jasa Baiknya, dengan memfasilitasi Pembicaraan Segitiga (Tripartie Talks) antara Menlu Indonesia

dan Menlu Portugal, yang kemudian menghasilkan penyelesaian Timtim secara adil, menyeluruh dan diterima secara internasional, melalui Persetujuan New York 5 Mei 1999 (New York

Agreement)

 Pada sengketa Indonesia – Belanda tahun 1974, tentang Penyerahan Irian Barat, PBB telah memberikan Jasa-jasa Baiknya untuk menyelesaikan masalah tersebut, dengan kesepakatan

Konferensi Meja Bundar

d. MEDIASI (Mediation)

 Melibatkan campur tangan pihak ketiga dengan tujuan untuk melakukan rujukan (rekonsiliasi) terhadap tuntutan dari para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga aktif dalam memberikan usulannya