hukum internasional library research mah

MAKALAH
HUKUM INTERNASIONAL
Legalitas Penggunaan Senjata Dalam Hal Self Defense Dalam Hukum
Internasional
Dosen pengampu : Ridwan Arifin , S.h.,Ll.m.

Nama Kelompok :
1. Bagas Jaya P
2. Maharani Chandra D

8111416160
8111416311

Fakultas Hukum
Universitas Negeri Semarang
2017/2018

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk melengkapi tugas

Mata Kuliah Hukum Lingkungan dan untuk menambah wawasan tentang
Legalitas Penggunaan Senjata Dalam Hal Self Defense Dalam Hukum
Internasional.
Dalam penulisan karya tulis ini, penulis banyak dibantu berbagai pihak.
Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1.
Ridwan Arifin, S.h.,Ll.m. selaku dosen pengampu Mata Kuliah Hukum
Lingkungan.
2.
Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan makalah
ini.
Penulis sadar bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharap kritik dan saran yang
membangun yang akan dijadikan dorongan untuk mencapai hasil yang lebih
baik. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Semarang, 5 Oktober 2017
Penulis

A.

B.
C.
A.
B.
C.

DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL.................................................................................i
KATA PENGANTAR..................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang......................................................................................1
Rumusan Masalah.................................................................................2
Metode Penulisan..................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
penggunaan kekuatan bersenjata oleh negara terhadap Negara lain
dapat dibenarkan dalam Hukum Internasional.....................................4
legalitas penggunaan unmanned drone dalam kekuatan bersenjata
menurut Hukum Internasional..............................................................5
Praktik Negara-negara dalam hal anticipatory self-defense ................8

BAB III KESIMPULAN............................................................................14
DAFTAR PUSTAKAN.............................................................................15

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Hukum Internasional merupakan produk hasil persetujuan beberapa
negara. Negara-negara kemudian menyatakan persetujuannya dalam dua
metode dasar, yaitu perjanjian internasional dan kebiasaan internasional.
Perjanjian Internasional merupakan persetujuan tertulis antar negara dan pada
dasarnya memiliki kedudukan yang sejajar. Berbeda dengan perjanjian
internasional, hukum kebiasaan internasional tidak dihasilkan oleh hal-hal yang
tertulis, tetapi lebih cenderung kepada praktik-praktik yang dilakukan oleh
negara. Untuk dapat menjadi suatu hukum kebiasaan internasional, praktik
yang dilakukan negara harus berulang dan dilakukan dengan otorisasi yang
jelas.
Hukum kebiasaan internasional hadir ketika adanya praktek secara
universal dan praktik tersebut diyakini sebagai persyaratan yang harus
dilakukan dalam hukum internasional. Dibawah rezim hukum kebiasaan
internasional yang berkembang jauh sebelum diadopsinya Piagam PBB, secara

umum dapat diterima bahwa preemptive forces diizinkan pada praktik selfdefense. Dapat pula dikatakan bahwa doktrin anticipatory self-defense dapat
diterima. Hal ini yang kemudian disebut juga sebagai Webster Formula bisa
diartikan demikian, bahwa anticipatory self-defense dalam hubungan
internasional hanya diizinkan jika ada keadaan terpaksa untuk melakukan selfdefense dan harus memenuhi kriteria berikut:
1.
Instant (berlangsung sangat cepat)
2.
Overwhelming (keadaan terpaksa yang luarbiasa)
3.
There no alternative (tidak ada pilihan lain)
4.
No moment for deliberation (tidak ada waktu untuk bermusyawarah)
Selama masa Pra-Piagam PBB, dua kriteria tersebut dijadikan sebagai
standar untuk menentukan seperti apa tindakan pre-emptive yang dilegalkan
menurut international customary law. Peristiwa Caroline kemudian secara tidak
langsung membentuk prinsip-prinsip yang kini tertanam kuat sebagai ius ad
bellum dan ius in bello1 yang telah digunakan dalam beberapa kasus sengketa
internasional2 dan kemudian menjadi hukum kebiasaan internasional dalam hal
self-defense.3
Instrumen hukum kemudian lahir dari pembentukan PBB, yaitu Piagam

PBB yang selanjutnya mengatur mengenai larangan penggunaan kekerasan
dalam hubungan internasional, yang diatur dalam pasal 2 ayat 4 Piagam PBB.
Tetapi karena disadari bahwa kemanusiaan mengakui adanya hak yang
melekat untuk melakukan pembelaan diri ketika terjadi kekerasan pada dirinya,
berdasarkan pemikiran tersebut kemudian Piagam PBB ini memberikan
pengecualian penggunaan kekerasaan, yang kontras dengan pasal 2 ayat 4,
1 Louis-Philippe Rouillard, The Caroline Case : Anticipatory Self-Defense in Contemporary International
Law, Miskolc Journal of International Law (2004)

2

Lihat Jane Gilliland Dalton, The United States National Security Strategy: Yesterday, Today, and
Tomorrow, 52 Naval L. Rev.. 60, 70–71 (2005).

3 John O'Brien. International law. Cavendish Publishing Limited. (2002) Hlm. 682.

dalam hal self-defense dan tindakan keamanan kolektif. Pengecualian
mengenai penggunaan kekerasan dalam rangka self-defense diatur dalam
pasal 51 Piagam PBB yang mengakui adanya "inherent right” yaitu hak yang
melekat baik pada individu atau kolektif untuk melakukan self-defense.4

Dalam perkembangannya dewasa ini, setelah tragedi penyerangan 11
September 2001 di New York, Washington D.C dan Pennsylvania, Pemerintah
AS kemudian mengadopsi “Emerging Threat” 5 doctrine atau lebih dikenal
dengan “Bush Doctrine” 6 yang menjadi hal baru dalam perdebatan preemptive strike sebagai anticipatory self-defense. Inti dari doktrin tersebut
adalah pre-emptive strike dapat dilakukan walaupun serangan lawan belum
terjadi ataupun belum dipastikan atau belum niscaya akan segera terjadi.
Doktrin kemudian membuat dilusi pada kriteria yang dipersyaratkan pada
masa pra-Piagam PBB, yaitu hukum kebiasaan internasional yang
mengharuskan adanya keniscayaan bahwa serangan lawan akan segera
terjadi. Syarat ini kemudian diganti dengan syarat yang tidak lebih
memperlihatkan bahwa suatu serangan akan terjadi. 7 dalam laporannya pada
Dewan Hak Asasi Manusia (Human Rights Council) mengenai extrajudicial,
summary or arbitrary executions, Philip Alston melaporkan adanya kontroversi
penggunaan unmanned drones. Beberapa mengungkapkan penggunaan
unmanned drones tidak sesuai dengan Hukum Humaniter Internasional
dikarenakan penggunaannya menyebabkan kematian yang tidak seharusnya.
Sisi lain pun menyatakan bahwa penggunaan unmanned drones sesuai karena
mempergunakan
misilyang
diperbolehkan

dalam
Hukum
Humaniter
Internasional. Diluar dari apakah adanya aplikasi dari Hukum Humaniter
Internasional atau tidak, penggunaan unmanned drones sepertinya tidak dapat
dilegalkan yang mana pengesahan penyerangan hanya bisa lewat Target ed
killingy ang bertentangan dengan prinsip-prinsip dari hukum hak asasi
manusia. Diluar dari itu semua, adapun cara yang bisa dipakai oleh suatu
Negara yaitu melakukan pembelaan diri. 8 Keterkaitan penggunaan unmanned
drones dengan mengaplikasikan Hukum Humaniter Internasional harus sesuai
dengan apa yang diatur dalam Konvensi Jenewa. Apa yang dimaksud adalah
apakah suatu situasi yang sedang terjadi merupakan situasi konflik bersenjata,
baik itu konflik bersenjata internasional yang diatur dalam Pasal 2 Konvensi
Jenewa ataupun konflik non-internasional seperti yang diatur dalam Pasal 3.
Sekalipun Hukum Humaniter Internasional diaplikasikan untuk menciptakan
kondisi yang sesuai untuk menggunakan kekuatan bersenjata, penggunaan
unmanned drones dalam perang harus sesuai dengan prinsip-prinsip yang
diadopsi seperti distinction, proportionality dan precautions, sedangkan
unmanned drones yang dioperasikan dalam jarak ribuan mil belum tentu
menjamin terpenuhinya unsur-unsur tersebut. 9 Pelanggaran terhadap Hukum

Internasional sering terjadi. Tapi para pelaku mencoba untuk membuktikan
4 Dalton, Op.Cit hlm.71
5 M. Kelly, ‘Time Warp to 1945 – Resurrection of the Reprisal and Anticipatory Self-Defense Doctrines in
International Law’ [2003], Journal of Transnational Law and Policy, hlm.

6 A. Eckert. & M. Mofidi., ‘Doctrine or Doctrinaire – The First Strike Doctrine and Pre-emptive Self-Defense
Under International Law’ (2004), Tulane Journal of International and comparative law hlm.117

7 M. Kelly., Op.Cit at 3.
8 Philip Alston. Report of the Special Rapporteur on Extrajudicial. Summary or Arbitrary Executions.
General Assembly Report. Hlm. 24 –25.

bahwa tindakan mereka bukan merupakan suatu pelanggaran dan mereka
mempunyai hak untuk bertindak menurut Hukum Internasional atau setidaknya
mereka bertindak sesuai dengan Hukum Internasional. 10
B. Rumusan Masalah
1. Apakah penggunaan kekuatan bersenjata oleh negara terhadap Negara lain
dapat dibenarkan dalam Hukum Internasional?
2. Bagaimanakah legalitas penggunaan unmanned drone dalam kekuatan
bersenjata menurut Hukum Internasional?

3. Bagaimana Praktik Negara-negara dalam hal anticipatory self-defense ?
C. Metode Penulisan
1) Sumber dan Jenis Data
Data-data yang dipergunakan dalam penyusunan karya tulis ini berasal
dari berbagai literature kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan
yang dibahas. Beberapa jenis referensi utama yang digunakan adalah buku
pelajaran Hukum Internasional , jurnal-jurnal hukum nasional maupun
internasional edisi cetak maupun online, dan juga tetap mengacu pada
Undang-Undang yang berlaku. Jenis data yang diperoleh variatif, bersifat
kualitatif maupun kuantitatif.
2) Pengumpulan Data
Metode penulisan bersifat studi pustaka. Informasi didapatkan dari
berbagai literatur dan disusun berdasarkan hasil studi dari informasi yang
diperoleh. Penulisan diupayakan saling terkait satu sama lain dan sesuai
dengan topik yang dibahas.
3) Analisis Data
Data yang terkumpul diseleksi dan diurutkan sesuai dengan topik kajian.
Kemudian dilakukan penyusunan karya tulis berdasarkan data yang telah
dipersiapkan secara logis dan sistematis. Teknik analisis data bersifat
deskriptif argumentatif.

4) Penarikan Kesimpulan
Simpulan didapatkan setelah merujuk kembali pada rumusan masalah,
tujuan penulisan, serta pembahasan. Simpulan yang ditarik mempresentasikan
pokok bahasan karya tulis, serta didukung dengan saran praktis sebagai
rekomendasi selanjutnya.

9 Robin Geib and Michael Siegrist. 2011. Has the Armed Conflict in Afghanistan Affected the Rules on the
Conduct of Hostilities?. International Review of ICRC. Volume 93 Number 881. Hlm. 2.

10 Ibid.Hlm. 15.

BAB II
PEMBAHASAN
A. UNMANNED DRONES
Perkembangan dari unmanned aerial vehicle (UAV) atau pesawat tanpa awak
telah berkembang beberapa dekade sekarang ini. Perkembangan ini dipacu
karena adanya konflik global dan memberikan revolusi dalam dunia
penerbangan. Alasan utama dalam pembuatan UAV adalah agar para pilot
mengontrol pesawatnya dengan sistem kontrol eksternal. Konfigurasi dari
penggunaan pesawat tanpa awak ini bersifat aerodinamis, taktis dan

keuntungan ekonomi. Konsep pesawat tanpa awak ini diambil dari konsep
layang-layang. Konsepnya dengan memanfaatkan aerodinamis untuk
mengangkat bendanya dan dikontrol dari bawah. UAV juga menjadi sarana
transportasi sempurnya untuk keguaan pelayanan sipil, pemerintahan dan
dalam pasar komersial. Hanya saja, seperti Eropa, Kanada atau Amerika Serikat
telah mengembangkan kegunaan UAV dalam bidang militer. Pengembangan
UAV jenis militer ini dimulai pada tahun 1990 yang dipergunakan dalam
pertempuran. UAV ini dinamakan unmanned combat aerial vehicles (UCAVs).
Awalnya, UCAV ini tidak akan digunakan sampai dengan dekade pertama dari
abad baru yaitu abad 20, tapi dengan peristiwa
9/11, UCAV pun mulai dioperasikan. 11
Perkembangan UAV kemudian
memberikan implikasi dalam Hukum Internasional. 12 Sekarang ini banyak
pesawat udara yang telah mengadopsi konsep UAV, hanya saja pendefinisan
UAV secara global masih belum memiliki definisi yang rampung dan konsisten.
Sepanjang perkembangannya, UAV dikenal juga dengan drone, pilotless
11 Bill Yenne. 2004. Attack of the Drones: A History of Unmanned Aerial Combat. USA. Zenith Press. Hlm.
9.

12 Michael Nas.2008.Pilots by Proxy: Legal Issues Raised by the Development of Unmanned Aerial
Vehicles. Hlm.1

aircratft, uninhabited aircraft, Remotely Piloted Vehicles (RPV) dan Remotely
Operated Aircraft (ROA). 13 Hambatan dalam menentukan definisi yang tepat
untuk UAV dikarenakan aplikasi penggunaannya berbeda-beda. Ada yang
digunakan untuk militer, sipil dan komersial. Pendefinisian yang berbeda-beda
ini menghasilkan kerumitan dalam memberikan satu definisi yang tepat,
contohnya pendefinisian UAV militer, belum tentu dapat diaplikasikan pada
definisi UAV komersial. 14 Oleh karena itu, dibawah ini terdapat beberapa
definisi yang bisa dijadikan komparasi antara satu defisi dengan definisi yang
lain, antara lain:
1. “A power driven aircraft, other than a model aircraft, that is designed to fly
without a human operator on board” (terjemahan bebas: sebuah pesawat alik
yang berbeda dengan model pesawat lainnya, pesawat yang didesain untuk
terbang tanpa operator manusia didalamnya). 15
2. “A powered, aerial vehicle that does not carry a human operator, uses
aerodynamic forces to provide lift, can fly autonomously or be piloted remotely,
can be expandable or recoverable, and can carry a lethal or non-lethal payload.
Ballistic or semi ballistic vehicles, cruise missiles, and artillery projectiles are
not considered Unmanned Aerial Vehicles”
(terjemahan bebas: sebuah
pesawat bertenaga anginayang tidak dapat membawa operator manusia,
menggunakan kekuatan aerodinamis untuk mengangkatnya naik, dapat
terbang secara otonom atau dikontrol dengan pengendali, dan dapat
membawa atau tidak membawa senjata. Kendaraan balistik atau bukan blistik,
misil dan projektil artileri tidak dapat dikatakan sebagai pesawat tanpa awal). 16
Dalam prakteknya, penggunaan unmanned drone tidak memerlukan pilot
untuk mengendarai pesawat tersebut. Selain itu, unmanned drone dilengkapi
dengan fasilitas persenjataan sehingga dapat melakukan penembakan saat itu
juga, baik dengan kontrol oleh pilot yang berjarak ribuan mil atau secara
otonom. Amerika Serikat adalah negara pertama yang menggunakan
unmanned dronetepatnya pada masa PemerintahanBush. Penyerangan dengan
unmanned drone dilakukan pertama kali di Afganistan. Pada masa Presiden
Obama, penyerangan dengan menggunakan pesawat tanpa awak mengalami
peningkatan yang signifikan. 17Saat ini terjadi kontroversi terhadap cara
menangkap para pelaku teror sesuai dengan cara yang dipakai Amerika
Serikat, yang menyatakan bahwa mereka menggunakan unmanned drones
untuk Global War on Terror. Penggunaan unmanned drones ini ditentang karena
dianggap melanggar syarat untuk membedakan yang mana penduduk sipil dan
kombatan atau prinsip necessity untuk proporsionalitas. 18Faktanya, pada tahun
2010 terdapat 118 serangan di Pakistan. CIA pun dilaporkan telah
13 Wheatley S.2002.The Time Is Right: Developing a UAV Policy for the Canadian Forces. Makalah
Simposium. Hlm. 2.

14 Loc. Cit. Hlm.2.
15 Canadian Aviation Regulations (CAN) Reg 101.1

16 United States. Departmenr of Defense. Dictionary of Military and Associated Terms. 2001. Hlm. 563.
17 Theresa Reinold. 2011. State Weakness. Irregular Warfare and the Right to Self-Defense Post 9-11.
American Journal International Law. Hlm. 9 –11.

menerbangkan unmanned drones ke Yamea, Somalia, Djibouti, Kenya dan
Eitopia dalam rangka ‘untuk menarget jaringan Al-Qaeda”. 19Perdebatan sengit
mengenai penggunaan Unamnned Drones dikaitkan dengan ada atau tidaknya
aplikasi dari Hukum Humaniter Internasional dan jugakehadiran dari Hukum
Hak Asasi Manusia Internasional tetap dijalankan baik dalam waktu perang dan
damai. Hukum Hak Asasi Manusia melindungi seorang tersangka sedangkan
dengan penggunaan unmanned drone, seseorang dapat diserang hanya
berdasarkan kecurigaan tanpa diproses terlebih dahulu. Hal inilah yang
kemudian membuat penggunaan unmanned drone dalam kekuatan bersenjata
dapat mengarah pada extrajudicial killing. 20Pesatnya perkembangan
unmanned drones memicu pertanyaan terhadap isu hukum.Permasalahan
mendasarnya terkait dengan teknologi yang digunakan pada unmanned
drones.Teknologi
ini
menghadirkan
sistem
unmanned
dronesyang
menggunakan pilot eksternal (sistem komputer yang diprogramkan untuk
mengatur unmanned drones). 21Kemudian, muncullah pertanyaan terkait
apakah unmanned drone dengan sistem pilot eksternalpantas dipergunakan
dan memenuhi standar-standar hukum internasional, khususnya Hukum
Humaniter Internasional.
B. PENGGUNAAN KEKUATAN BERSENJATA (USE OF FORCE)
Banyaknya negara dalam komunitas internasional, terkadang membuat suatu
kondisi di mana jika terjadi perbuatan yang tidak bertanggung jawab,
perbuatan ini dapat memberikan goncangan terhadap sistem hak dan
kewajiban negara-negara dalam Hukum Internasional. Upaya untuk mencegah
goncangan terhadap sistem hak dan kewajiban kemudian diatur dalam
kesepakatan tertulis, seperti Pasal 2(4) dari Statuta PBB yang menyatakan
bahwa setiap negara harus menjaga dirinya sendiri untuk tidak menggunakan
kekuatan bersenjata terhadap negara lain serta menjaga keamanan
internasional. Tahun 1970, PBB mengeluarkan Declarations on Principles of
International Law Concerning Friendly Relations and Cooperation Among States
in Accordance with the Charter of United Nations dan menghendaki seluruh
Negara untuk menjauhkan penggunaan kekuatan bersenjata (use of force),
intervensi, atau tindakan yang membahayakan Negara lain serta berperilaku
dengan tingkah laku yang baik sesuai dengan Piagam PBB. 22Hal ini disebabkan
seringnya Negara menggunakan kekuatan bersenjata terhadap Negara lain.
Namun, telah menjadi kesalahpahaman umum yang mana penggunaan
kekuatan bersenjata ini telah menjadi bukti “kegagalan” dari Hukum
Internasional. Masyarakat baik nasional maupun internasional, telah menderita
dari penggunaan kekerasan oleh Negara dalam rangka menyelesaikan
sengketa mereka. Akibat hal diatas, diperlukan suatu instrument hukum
18 David Armstrong.2012.International Law and International Relations. Camridge University Press.
Cambridge. Hlm. 198.

19 Chris Cole.2012. Drone Wars Briefing: Examining the Growing Threat of Unmanned Warfare. Drone
Wars UK.Hlm. 14 –15

20 Thomas J. Biersteker.2007.International Law and International Relations: Bridging Theory and Practice.
Taylor & Francis. Hlm. 98.

21 Michael Nas. 2008. Pilots by Proxy: Legal Issues Raised by the Development of Unmanned Aerial
Vehicles. Hlm.1.

22 Conway Henderson. 2010. Understanding International Law. United Kingdom. Wiley-Blackwell. Hlm.29;
The 1970 Declaration; Resolution 2625 (xxv) 24 October 1970.

untukmengatur penggunaan kekuatan bersenjata dari anggota komunitas
internasional. 23
1.1 Konsep Pre-emptive war sebagai anticipatory self-defense dalam Hukum
Internasional
Pre-emptive strike sebagai anticipatory self-defense umumnya dipahami
sebagai penggunaan kekerasan yang dilakukan sebagai respon terhadap
sebuah ancaman yang nyata.24 O’connell menjelaskan bahwa sebuah tindakan
pre-emptive yang dilakukan dalam rangka self-defense merujuk pada sebuah
keadaan dimana
salah satu pihak menggunakan kekerasan untuk
menghentikan segala bentuk kemungkinan dari penyerangan yang diyakini
akan terjadi oleh pihak atau negara lain, walaupun belum ada serangan yang
teraktualisasikan.
1.1.1 Legalitas Anticipatory self-defense dalam Hukum Internasional
Legalitas pre-emptive strike yang dilakukan dalam rangka anticipatory
self-defense dapat disimpulkan berdasarkan pada dua sudut pandang yang
berbeda.
1. Bagi yang meyakini bahwa pasal 51 Piagam PBB merupakan satu-satunya
sumber hukum yang sangat komprehensif yang mengatur mengenai selfdefense yang mensyaratkan armed attack must be occurs sebelum
mempraktikkan self-defense, atau;
2. Bagi yang meyakini bahwa anticipatory self-defense telah menjadi bagian dari
Hukum kebiasaan internasional jauh sebelum dibuatnya Piagam PBB.25
1.1.1.1
Anticipatory Self-defense dalam Hukum Kebiasaan Internasional
Hukum Kebiasaan Internasional tetap bertahan dari masa ke masa. Pada
abad 17, Hugo Grotius berpendapat bahwa “It is lawful to kill him who is
preparing to kill”, satu abad kemudian De Vattel mengemukakan pendapat
serupa yang mendukung pendapat tersebut, yaitu:
“The safest plan is to prevent evil, where that is possible. A Nation has
the right to resist the injury another seeks to inflict upon it, and to use force ...
against the aggressor. It may even anticipate the other’s design, being careful,
however, not to act upon vague and doubtful suspicions, lest it should run the
risk of becoming itself the aggressor.” 26
Dapat dikatakan bahwa kedua pendapat tersebut kemudian menjadi
argumen pendukung konsep pre-emptive strike, bahwa merupakan hal yang
legal ketika suatu negara melakukan penyerangan terhadap negara lain yang
akan menyerang mereka. Setelah terjadinya Insiden Caroline, elemen necessity
yang terdiri dari empat hal dipersyaratkan untuk dapat menggunakan
kekerasan dalam mempraktikkan anticipatory self-defense yang dikenal
sebagai Webster Formula harus dipenuhi, yaitu instant, overwhelming, there no
alternative, dan no moment for deliberation. Beberapa sarjana kemudian
menyimpulkan bahwa ada tiga persyaratan utama untuk dapat melakukan
anticipatory self-defense,yaitu necessity, immediacy dan proportionality.
23 Martin Dixon and Robert Moccorquodale. 1998. Cases and Materials on International Law.UK.
Blackstone Press Limit. Hlm. 559.

24 Abdul G. Hamid, The Legality of Anticipatory Self-Defense in the 21st Century World Order: A ReAppraisal, 4g41. Netherlands International Law Review (2007).

25 James Mulcahy & Charles O Mahony, Anticipatory Self-defense: A discussion of International Law.
Hanse Law Review Vol.2 No,2, (2006)

26 Emmerich de Vattel, The Law of Nations, Vol. IV, hlm.3.

1.1.1.2
Bangsa.

Anticipatory Self-defense berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa-

Tidak dapat dihindari bahwa pasal 2 ayat 4 sangat berkaitan dengan Bab
VII Piagam PBB. Pertama, sebagai organ yang memiliki tanggungjawab utama
untuk memelihara keamanan dan perdamaian internasional, Dewan Keamanan
dianugerahi otoritas untuk mengadopsi enforcement measures kapanpun
mereka meyakini bahwa ada ancaman terhadap perdamaian ataupun agresi
yang terjadi.27 Kedua, karena mengakui bahwa Dewan Keamanan tidak
selamanya memiliki kapabilitas dalam merespon secara cepat sebuah agresi
yang terjadi, para drafters Piagam PBB memasukkan sebuah pengecualian
terhadap penggunaan kekerasan yang dicantumkan pada pasal 51 Piagam.
Masalah utama pada interpretasi pasal 51 berada pada bagian pertama
pada kalimat pertama. Frasa “nothing....shall impair” dan acuan pada “inherent
right” serta frasa “if an armed attack occurs”. Interpretasi pasal 51 kemudian
membentuk dua kelompok yaitu para pendukung Counter-restrictionist
interpretation atau yang juga dikenal sebagai expanded interpretation,
berargumen bahwa anticipatory self-defense adalah legal menurut piagam
PBB, serta penganut paham yang berlawanan dengan paham sebelumnya,
yaitu penganut paham restrictive interpretation yang meyakini bahwa syarat
untuk mempraktikkan self-defense dibatasi hanya jika serangan bersenjata
terjadi.
Counter-Restricionist Interpretation: Pendukung pada pendekatan counterrestrictionist interpretation
berpendapat bawa self-defense yang diakui
sebagai inherent right pada pasal 51 merupakan sebuah bukti bahwa Piagam
PBB tidak memberikan batasan apapun pada hukum kebiasaan internasional
terhadap self-defense yang telah ada sebelumnya berdasarkan pengakuan atas
inherent right dan interpretasi terhadap frasa pada kalimat pertama yaitu
“nothing shall impair....”28 Selain itu mereka berargumen bahwa penggunaan
kekerasan dalam rangka self-defense tidak hanya digunakan sebagai respon
jika terjadi serangan bersenjata tetapi juga dapat digunakan sebagai respon
dari imminent threat.29 Mereka beralasan bahwa self-defense merupakan
bagian dari kebiasaan internasional yang eksistensinya diakui dalam piagam
PBB.
Hukum kebiasaan internasional hidup berdampingan dengan hukum
konvensional. Dibawah hukum kebiasaan Internasional, anticipatory selfdefense diizinkan ketika diketahui adanya ancaman serangan bersenjata yang
imminent atau sudah dekat dan akan segera terjadi. Piagam PBB kemudian
mengkodifikasikan aturan mengenai self-defense dari kebiasaan internasional
yang telah ada sebelumnya namun tidak lebih mendalam.

27 UN Charter, art.39
28 Bowett, Self-defense in International Law, hlm.187
29 Niaz A. Shah, Self-defense in Islamic and International Law: Assessig Al-Qaeda and the Invasion of Iraq,
Palgrace Macmillan, New York.(2008) hlm. 90

Restrictive Interpretation: Dalam pandangan ini mereka berpendapat
bahwa penggunaan kekerasaan dalam hal self-defense dalam pasal 51 dengan
jelas memberikan batasan hanya dalam keadaan jika telah terjadi serangan
bersenjata. Mereka meyakini, bahwa pada umumnya yang dimaksud serangan
bersenjata dalam hal ini yaitu ketika suatu angkatan bersenjata dari suatu
negara telah melewati perbatasan suatu negara dan melakukan serangan
bersenjata. Sehingga walaupun hukum kebiasaan internasional memungkinkan
praktik self-defense yang antisipatif, tetapi jika dipandang dari Piagam PBB
dengan jelas hal tersebut dibatasi, yaitu hanya dapat dilakukan sebagai respon
dari serangan bersenjata dari negara lain.30
Para restrictionist mengemukakan bahwa walaupun anticipatory selfdefense telah diizinkan sebelum diadopsinya Piagam PBB, namun kebiasaan
yang telah ada dimodifikasi dengan adanya Pasal 51 Piagam PBB. Maksudnya
adalah, pertama bahwa pada posisi normatif yang seimbang antara hukum
kebiasaan internasional dan perjanjian internasional, dan menurut prinsip lex
posterior, aturan dalam Piagam PBB mengenai use of force kemudian
menghapus kebiasaan yang telah ada sebelumnya yang tidak sesuai dengan
Piagam PBB.31 Kedua, setiap elemen utama dari interpretasi, mendukung
pandangan bahwa terjadinya suatu serangan bersenjata adalah sine qua non
dalam Pasal 51 Piagam PBB. 32
C. Praktik Negara-negara dalam hal anticipatory self-defense
i. The Cuban Missile Crisis (1962)
Pendirian instalasi rudal di Kuba oleh Uni Soviet secara diam-diam,
kemudian memicu salah satu kejadian konfrontasi yang paling menegangkan
pada era Perang Dingin. AS menganggap pendirian instalasi rudal oleh Uni
Soviet di Kuba merupakan salah satu ancaman yang serius uang dapat
mengancam keamanan dan perdamaian dunia, dan khususnya keamanan AS
dan negara lain di Benua Amerika. Untuk alasan tersebut, Kennedy kemudian
memutuskan untuk mengkarantina angkatan laut Kuba, yang ditujukan pada
pengiriman senjata ofensif dan materi terkait yang akan datang. 33
Pasukan AS memiliki kewenangan untuk mencegat kedatangan maupun
pencarian kapal atau perahu milik Kuba dan kapal lain yang tujuan atau
persinggahannya di Kuba.
Dewan dari Organization of American States kemudian membuat
keputusan untuk mengajukan masalah ini ke Dewan Keamanan PBB atas
permintaan AS, Kuba dan Uni Soviet.34 Harus diakui bahwa perdebatan yang
terjadi di Dewan Keamanan saat itu sebagian besar terdimensi dalam
perdebatan kepentingan dan politik, dengan hanya sangat sedikit
memperhatikan implikasi hukumnya. Kubu pendukung AS dan OAS
memandang bahwa rudal yang dikembangkan di Kuba adalah sesuatu yang
30 Niaz A. Shah, Op,Cit hlm.89
31 Tom Ruys (2010), Armed Attack and Article 51 of the UN Charter: Evolution in Customary Law and
Practice, Cambridge University Press, New York. (2010) Hlm 259

32 Ibid
33 Ibid. hlm. 268
34 UN Doc. S/5181, 22 October 1962 (US); UN Doc. S/5183, 22 October 1962 (Cuba); UN Doc. S/5186, 23
October 1962 (USSR).

offensive dan menghasilkan ancaman yang serius terhadap Western
hemisphere.35 Sedangkan pihak Kuba, Uni Soviet dan pendukungnya
menganggap bahwa isntalasi rudal di Kuba bersifat defensive yang bertujuan
untuk perlindungan atas kedaulatan dan kemerdekaan Kuba (khususnya
mempertimbangkan pada tahun 1961, AS dan sekutunya pernah menginvasi
Kuba di Teluk Pigs).36
Pada akhirnya, tidak ada satupun dari berbagai draft resolution yang
dibuat kemudian diajukan untuk dilanjutkan ke tahap voting. Sebaliknya, krisis
mengenai rudal tersebut kemudian mereda melalui negoisasi rahasia antara AS
dan Uni Soviet (Pencabutan rudal Soviet di Kuba dan dipihak lain AS juga akan
mencabut rudalnya di Turki) tanpa satu tembakan pun yang akan dilepaskan. 37
Kemudian, apakah dapat dikatan bahwa karantina yag dilakukan AS pada Kuba
merupakan suatu ‘karatina’ yang sebenarnya ataukah sebenarnya merupakan
blokade terhadap belligerent, dan tidak diragukan hal tersebut merupakan cara
untuk penggunaan kekerasan, yang menyediakan sebuah preseden yang
mendukung anticipatory self-defense. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada
upaya untuk menjustifikasi bahwa operasi tersebut merupakan sebuah praktik
self-defense.38
Self-defense maupun pasal 51 Piagam PBB tidak pernah disebutkan, dan
bukan merupakan hal yang tidak disengaja bahwa Penasihat Hukum AS,
Chayes, mengemukakan bahwa operasi tersebut tidak berdasarkan pasal 51,
melainkan merupakan bagian dari kategori ke tiga berdasarkan pasal 52
Piagam PBB, yaitu sebuah action by regional organizations to preserve the
peace”.
Yang perlu diperhatikan dalam kasus ini adalah, Uni Soviet dan Kuba tidak
pernah berencana untuk meluncurkan serangan aktual yang ditujukan kepada
AS maupun negara Amerika lainnya. Resolusi OAS, sebagai contoh
menekankan pada “to prevent the missiles.... from becoming an active threat
to the peace and the security to the Continent”, 39 Dengan kata lain, tidak ada
indikasi bahwa AS dikonfrontasi dengan “imminent threat of armed attack”, jika
tindakan AS sebelumnya dinyatakan sebagai self-defense maka kategorinya
kemudian cenderung pada preventive strike, dibandingkan dengan pre-emptive
self-defense.
Dapat disimpulkan bahwa operasi karantina tersebut tidak memiliki
preseden yang valid untuk di klaim sebagai anticipatory self-defense. 40 Krisis
rudal di Kuba memperlihatkan pada hakekatnya tidak ada bukti dari AS baik
secara opinio juris – positif maupun negatif – vis-a-vis legalitas dari pre-emptive
35 UN Doc. S/PV.1022, Para 12-13, 59-62 (inter alia trying to clarify the difference between devensive
missile sites NATO member countries and offensive missiles in Cuba)

36 UN Doc. S/PV.1023, Para 12-13, 59-62, lihat juga Thomas M. Franck, Recourse to Force: State Actions
Against Threats and Armed Attacks, Cambridge University Press (2004), hlm.100

37

Thomas M. Franck, Op.Cit hlm.99, lihat juga Surat dari Perwakilan tetap AS dan Uni Soviet
untuk Sekjen PBB pada 7 January 1963, yang menyatakan tanda terimakasih mereka terhadap
PBB yang telah melakukan langkah mediasi. (UN Doc. S/5227)

38

Walaupun Presiden menjelaskan bahwa operasi tersebut dilakukan dalam rangka pertahanan
Amerika Serikat dan keamanan internasional dalam justifikasi politik, tidak ada satupun pihak
yang berwenang dari Amerika Serikat yang menyinggung pasal 51 Piagam PBB, walaupun
sebenarnya itu merupakan salah satu legal support yang mendukung operasi mereka.

39 UN Doc. S/5193
40 C. Gray, International Law and The Use of Force, Oxford University Press, (2004) hlm.149-150.

action. Kasus ini kemudian menjadi contoh penolakan yang implicit akan
preventive self-defense.
ii.

The Six-Day War (1967)
Pertempuran 6 hari yang terjadi pada 5 – 10 Juni 1967, atau yang lebih
dikenal dengan The Six-Day War merupakan pertempuran antara Israel dan
koalisi negara tetangganya, yaitu Mesir, Jordania dan Syria.
Israel maupun Mesir menggunakan alasan hak self-defense untuk
menjustifikasi tindakan mereka.41 Perdana Meneteri Israel untuk AS, Michael
Oren juga memberikan pernyataan bahwa negara-negara Arab telah memiliki
rencana untuk menaklukkan Israel dan pengusiran serta pembunuhan massal
orang Yahudi. Dalam keadaan kesulitan ekonomi serta menghadapi imminence
war, Israel berargumen Ia tidak memiliki pilhan lain selain melakukan preemptive action.42
Dewan Keaman juga telah mengemukakan hal yang sama, walaupun
demikian tindakan Israel tetap tidak mendapat kecaman langsung dari Dewan
keamanan PBB. Beberapa akademisi memiliki pendapat yang berbeda,
dikarenakan fakta yang menunjukkan bahwa Israel mengklaim tindakannya
terhadap negara-negara Arab dikategorikan sebagai sebuah act of war dan
armed attack, walaupun tindakan tersebut diklaim sebagai bagian dari Pasal 51
Piagam PBB. Fakta bahwa Israel berinisiatif untuk menjustifikasi seranganya
sebagai respon dari armed attack menghasilkan keragu-raguan beberapa
negara untuk mengklaim sesuatu yang umumnya tidak dapat diterima.
Tindakan yang dilakukan Israel kemudian yang dianggap sebagai pre-emptive
strike melawan imminent threat oleh Mesir dan negara Arab lainnya masih
menjadi kontroversi hingga saat ini.
iii.

The Osiraq Strike (1981)

Pada tahun 1981, banyak negara yang memiliki ataupun sedang dalam
proses untuk memilki senjata nuklir. Pada saat itu Israel meyakini bahwa tujuan
utama Irak untuk menggunakan senjata nuklir adalah untuk menyerang Israel.
Pada 6 Juni 1981, Delapan pesawat F-16A fighter-bombers dan enam F-15A
fighters Israel terbang ke dalam teritorial udara Irak, dan menyerang reaktor
nuklir yang dimiliki Irak, dan kembali ke pangkalan mereka. Serangan tersebut
menyebabkan sepuluh orang terbunuh.43
Dalam suratnya ke Dewan Keamanan PBB, Israel mengkalaim bahwa
mereka melakukan tindakan tersebut dikarenakan reaktor telah dibuat untuk
memproduksi bom atom yang targetnya adalah Israel, 44
Intelijen Israel
memperkirakan bahwa perangkat nuklir yang dikembangkan oleh Irak akan
41

Statement of Mr. Kony (United Arab Republic), SCOR, 22th Session, 1347th meeting, 5 June
1967. UN Doc. S/PV.1347(OR). Diakses pada 1 Februari 2013 via: http://documents-ddsny.un.org/doc/UNDOC/GEN/ N70/083/53/pdf/N7008353.pdf ; Statement of Mr. Eban (Israel),
SCOR, 22th Session, 1347th meeting, 5 June 1967. UN Doc. S/ PV.1347(OR). Diakses pada 1
Februari
2013)
via
http://documents-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/
N70/083/53/pdf/N7008353.pdf

42 John Pimlott, The Middle East Conflicts 1945 to Present, Crescent Books, New York, (1983), hlm.53
43 Karl P. Mueller Striking first: preemptive and preventive attack in U.S. national security,RAND.
(2006) hlm. 213

selesai pada tahun 1985, masih empat tahun setelah terjadinya penyerangan
tersebut. Dalam anticipatory self-defense untuk menentukan hal tersebut legal
menurut hukum kebiasaan internasional yaitu ketika syarat imminence of
threat dipenuhi sedangkan dalam kasus ini, tidak ditemukan adanya imminent
threat yang dihasilkan akibat pengembangan nuklir di Irak, sebagaimana
pentingnya jalur diplomasi dan politik harusnya ditempuh lebih dulu sebelum
akhirnya menggunakan kekerasan sebagai the last resort.
Dikarenakan tidak ditemukan adanya imminent threat yang mengancam
keamanan Israel, maka kasus ini tidak dapat dikategorikan sebagai salah satu
contoh pre-emptive strike dalam anticipatory self-defense, melainkan sebuah
contoh praktik preventive use of force, yang legalitasnya tidak diakui dalam
hukum Internasional. Dewan Keamanan PBB , pada kasus ini mengutuk
tindakan Israel dan memutuskan bahwa Israel dalam hal ini telah melanggar
Piagam PBB dan norma-norma perilaku internasional.
Reaksi dan kecaman internasional pada Osiraq strike menambah jumlah
bukti penolakan terharap konsep dari preventive self-defense. Tetapi dilain
pihak, membuka sebuah celah pada opinio juris vis-a-vis akan legalitas dari
pre-emptive action sebagai respon dari ancaman yang imminent. Faktor yang
terakhir adalah, walaupun secara nyata tidak cukup untuk mengabaikan onus
probandi yang disyaratkan untuk sebuah interpretasi yang revolusioner dalam
lingkup pasal 51 untuk memperluas arti serangan dengan ancaman.
iv.

Iraqi War (2003)
Sebagai respon dari penyerangan teroris ke WTC, yang dikenal dengan
peristiwa 9/11, pemerintahan Bush mendeklarasikan Perang melawan
Terorisme. Untuk melancarkan aksinya, Bush kemudian berlindung dibalik
anticipatory self-defense untuk menjustifikasi aksinya. Sebagaimana ancaman
yang dirasakan AS , Bush mengatakan bahwa:
“Iraq continues to flaunt its hostility toward America and to support
terror. The Iraqi regime has plotted to develop anthrax, nerve gas, and nuclear
weapons for over a decade.”
Bush juga mengisyaratkan bahwa AS akan bertindak unilateral,
berdasarkan pernyataannya yang menegaskan, “I will not wait on events while
dangers gathers. I will not stand by as peril draws closer and closer.”
Walaupun demikian, pada pertengahan tahun 2002, ketika pemerintahan
Bush sedang sangat serius mempertimbangkan untuk melakukan preemptive
strike ke Irak, imminent threat yang dituduhkan pada Irak sama sekali tidak
dirasakan oleh komunitas Internasional. Dalam usahanya untuk mendapatkan
dukungan melakukan pre-emptive strike, Bush kemudian berpidato yang
dikhususkan untuk membahas mengapa Irak dianggap sebagai sebuah
ancaman serta membuat dua resolusi mengenai Irak.
Resolusi ini kemudian memberikan otoritas kepada Presiden Bush untuk
memerintahkan Angkatan Bersenjata AS, jika ia merasa hal tersebut diperlukan
dan sesuai, yang kedua adalah Resolusi DK PBB yang disebut, “Resolution
1441”. Resolusi ini menjelaskan bahwa Irak secara material telah melanggar
kewajibannya pada PBB dikarenakan Irak gagal menjalankan hasil resolusi
sebelumnya. 45 serta memutuskan bahwa Irak harus memfasilitasi United
44

Letter from the Permanent Representative of Israel to the United Nations (Israel), SCOR, 36th
Session, 6 August, 1981. UN Doc. S/14510. Diakses pada 5 oktober 2017, diakses via
http://documents-dds ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N81/153/33/ pdf/N8115333.pdf
45U.N. SCOR, 36th Sess., 4644th mtg., U.N. Doc. S/RES/1441 (2002)

Nations Monitoring, Verification, and Inspection Comission (UNMOVIC) dan
International Atomic Energy Agency (IAEA), dengan segera, tanpa syarat dan
tanpa batasan akses pada fasilitas yang relevan. Bersama dengan pemberian
akses kepada UNMOVIC dan IAEA, Irak juga harus memberikan pernyataan
yang menjelaskan mengenai "all aspects of its programs to develop chemical,
biological, and nuclear weapons. . . ." 46
Beberapa bulan setelah adanya resolusi ini, Presiden Bush kembali
memberikan pernyataan pada State of The Union Address. Ia menekankan
bahwa, AS telah bekerjasama dengan DK PBB pada pembuatan Resolusi 1441.
Sejalan dengan pernyataan tersebut, Bush juga mengatakan bahwa
Pemerintah Irak, khusunya Saddam Hussein tidak menjalankan ketentuan yang
terdapat pada resolusi, karena menyembunyikan persenjataan dan tidak
menginjinkan UNMOVIC dan IAEA untuk mewawancarai Ilmuwan Irak.
Fokus perdebatan pada sidang Dewan Keamanan, pada 27 Maret 2003,
adalah apakah Intervens yang dilakukan AS ke Irak secara eksplisit maupun
implisit mendapatkan persetujuan dari DK PBB, tanpa membahas apakah
tindakan tersebut merupakan lingkup dari self-defense.47
Bush kemudian melancarkan serangannya ke Irak dengan berlindung di
balik anticipatory sef-defense, dikarenakan pengembangan senjata pemusnah
massal yang sedang dikembangkan Irak sebagai suatu imminent threat.
Walaupun hingga saat ini belum ada bukti-bukti yang dapat meyakinkan
masyarakat Internasional terhadap keberadaan senjata pemusnah massal yang
dituduhkan Bush kepada Irak.
Pada akhirnya, argumen mengenai intervensi ke Irak menghasilkan
preseden yang tidak berhubungan dengan anticipatory self-defense. Negara
yang mendukung operasi AS menjauhi justifikasi restrictionist dari Pasal 51
Piagam PBB. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa Bush doctrine
telah ditentang dikarenakan tidak ditemukannya sebuah imminent threat.
Selain itu, pendapat yang menentang suatu intervensi tidak dapat begitu saja
dianggap sebagai pendapat yang sama untuk menentang anticipatory selfdefense.
Hukum Sengketa Bersenjata merupakan bagian dari Hukum Internasional yang
mengatur hubungan antar negara selama terjadinya sengketa bersenjata. Hal
ini dimaksudkan untuk mengurangi sebanyak mungkin penderitaan, kerugian
dan kerusakan yang disebabkan oleh perang. Kemudian memberikan kepada
setiap orang dalam negara, terutama para anggota angkatan bersenjata,
namun tidak dimaksudkan untuk menghambat efisiensi militer. Penting untuk
diketahui bahwa Hukum Sengketa Bersenjata tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip militer yang fundamental seperti penghematan penggunaan
kekuatan, kesederhanaan tindakan, pemusatan kekuatan, kesatuan tindakan
dan keleluasaan untuk melakukan manuver. Pemusatan kekuatan pada
sasaran-sasaran yang kritis dan jauh dari orang orang atau benda yang
mempunyai sedikit atau sama sekali tidak mempunyai nilai militer,
mempertimbangkan kepentingan militer maupun kepentingan kemanusian.
Selanjutnya diketengahkan prinsip-prinsip dasar hukum sengketa bersenjata,
sebagai berikut :
1. Prinsip Kepentingan Militer (Military Necessity), bahwa semua kegiatan tempur
harus berdasarkan atas dasar kepentingan militer, dan yang utama dilarang
46 Ibid
47 Tom Ruys, Op.Cit hlm. 316

2.

3.

4.

5.

melakukan kegiatan yang tidak diperlukan untuk kepentingan militer. Sebagai
contoh, tidak diperkenankan menyerang penduduk sipil yang tidak terlibat
dalam pertempuran atau mereka yang tidak mampu bertempur, karena tidak
ada keuntungan militer yang diperoleh dengan berbuat demikian. Aturanaturan dalam perjanjian memberikan kelonggaran hak bagi kepentingan militer.
Kepentingan militer tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk tidak
menerapkan Hukum Sengketa Bersenjata. Segala tindakan menghancurkan
harta benda musuh karena kepentingan militer harus sesuai dengan prinsip
pembedaan dan prinsip proporsionalitas. Kepentingan militer tidak boleh
digunakan sebagai alasan pemaaf bagi kesalahan, pengabaian, atau tindakan
yang tidak pantas.
Prinsip perlakuan secara manusiawi dan tanpa diskriminasi ( Humanitarion
Treatment and without Discrimination Principle ), bahwa semua orang harus
diperlakukan secara manusiawi dan tanpa diskriminasi berdasarkan atas jenis
kelamin, kebangsaan, ras, agama atau keyakinan politik. Secara khusus,
mereka yang tidak mampu lagi untuk melakukan pertempuran, misalnya para
kombatan yang menyerah, awak pesawat udara yang terjun dari pesawat
udara yang mengalami kerusakan, orang-orang yang luka, sakit dan korban
kapal karam, para tawanan perang, tawanan dan tahanan lainnya, penduduk
sipil dan personil medis serta rohaniawan harus diidentifikasi, diperlakukan
secara manusiawi dan dilindungi dari serangan.
Prinsip Pembatasan dan penderitaan yang tidak perlu (Unnecessary Suffering),
bahwa persenjataan dan cara berperang yang boleh digunakan adalah
terbatas. Dengan perkataan lain, dilarang menggunakan senjata yang
dirancang untuk mengakibatkan penderitaan yang tidak perlu atau luka yang
berlebihan. Hal ini dimaksudkan adalah untuk melarang persenjataan yang
dirancang untuk menghancurkan lebih dari yang diperlukan sehingga musuh
tidak mampu bertempur, misalnya senjata-senjata yang dirancang untuk
menimbulkan luka-luka yang tidak mungkin untuk diobati atau menyebabkan
kematian yang kejam dan mengalami keadaan sekarat yang berlangsung lama.
Aturan ini tidak melarang persenjataan seperti senjata fragmen (senjata yang
pecahannya menyebar) atau senjata yang dapat menembus secara rentetan
(armour piercing rounds) yang sekalipun digunakan secara benar namun dapat
menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan.
Prinsip Pembedaan (Distinction Principle), bahwa harus dibedakan antara
kombatan dan non-kombatan. Kombatan diperbolehkan untuk terlibat secara
langsung dalam pertempuran, sedangkan non-kombatan tidak diperbolehkan
untuk terlibat dalam pertempuran. Dengan perkataan lain, kombatan bisa
diserang, sedangkan non-kombatan dilindungi dari serangan, namun mereka
kehilangan perlindungan jika mereka terlibat secara langsung dalam
permusuhan. Hal lain yang perlu diperhatikan harus dibedakan antara objekobjek militer, yang boleh diserang, dan objek-objek sipil yang tidak boleh
diserang. Objek-objek sipil harus dihormati. Itu berarti bahwa tidak
diperkenankan untuk melakukan penjarahan dan objek-objek sipil hanya boleh
diambil alih untuk dipergunakan bagi kepentingan militer.
Prinsip Proporsionalitas (Propornationality Principle), bahwa apabila sasaransasaran militer diserang, maka penduduk sipil dan objek-objek sipil sejauh
mungkin harus terhindar dari kerusakan insidental (atau kerusakan ikutan),
kerusakan ikutan yang timbul tidak boleh berlebihan apabila dibandingkan
dengan keuntungan militer nyata dan langsung yang diharapkan dari setiap
serangan.

6. Prinsip Itikad Baik (Good Faith Principle),bahwa dalam setiap perundinganperundingan antar pihak-pihak yang berperang harus dilandasi itikad baik.
Pentingnya Untuk Mematuhi Hukum Sengketa Bersenjata Hukum Sengketa
Bersenjata harus dipatuhi karena hukum ini mengikat setiap negara dan
individu-individu dalam negara-negara tersebut. Hukum kebiasaan terdiri dari
norma-norma tertentu yang bersifat mengikat bagi semua negara. Hukum
perjanjian mengikat negara yang merupakan pihak dalam perjanjian tersebut.
Dalam kasus lainnya, hukum ini juga berlaku bagi orang-orang yang berada
dalam negara tersebut. Pelanggaran-pelanggaran berat terhadap Hukum
Sengketa
Bersenjata
merupakan
Ketentuan
Hukum
Sengketa
BersenjataTentang Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Konflik Bersenjata yang
dapat diadili oleh pengadilan nasional atau pengadilan internasional. Dengan
demikian menjadi penting untuk mematuhi Hukum Sengketa Bersenjata, yang
bertujuan untuk:
1. Menekankan profesionalisme para anggota angkatan bersenjata;
2. Meningkatkan moral dan disiplin yang baik;
3. Menjamin dukungan penduduk sipil di dalam negeri dan di medan operasi;
4. Menerapkan perlakuan secara timbal balik, misalnya terhadap orang yang
luka dan sakit serta tawanan perang;
5. Menciptakan kemungkinan adanya perdamaian dengan tidak memperkeruh
keadaan
yang sedang berkembang;
6. Menjamin bahwa upaya militer hanya dikonsentrasikan untuk menaklukkan
angkatan bersenjata musuh. Tanggung Jawab Untuk Mematuhi Hukum
Sengketa Bersenjata Hukum Sengketa Bersenjata tidak hanya mengikat negara
tetapi juga mengikat individu termasuk atasan dan para anggota angkatan
bersenjata dengan tanggung jawab, sebagai
berikut :
1. Tanggung jawab individu. Setiap anggota angkatan bersenjata, apapun
pangkatnya, Sengketa Bersenjata, memastikan bahwa orang lain juga
mematuhinya dan mengambil tindakan apabila terjadi pelanggaran. Perintah
atasan tidak boleh dijadikan sebagai alasan pemaaf bagi perbuatan yang
melanggar hukum. Terhadap anggota angkatan bersenjata yang melakukan,
memerintahkan, gagal mencegah atau gagal memberikan laporan tentang
pelanggaran berat terhadap Hukum Sengketa Bersenjata dianggap melakukan
kejahatan perang yang dapat diajukan ke pengadilan dan jika diputuskan
bersalah, maka mereka dijatuhkan hukuman.
2. Tanggung jawab atasan/ komandan. Setiap anggota angkatan bersenjata
yang mempunyai kewenangan komando mempunyai tugas untuk:
a. Memelihara disiplin yang ketat namun wajar/proporsional;
b. Melatih personil di bawah komandonya menurut aturan Hukum Sengketa
Bersenjata sesuai dengan pangkat dan penugasan mereka;
c. Memberikan perintah secara jelas dan berdasarkan hukum ;
d. Bertanggung-jawab terhadap keputusan-keputusan yang sulit;
e. Menjamin perintahnya dilaksanakan olehbawahannya sesuai dengan hukum;
f. Melaporkan para pelanggar kepada perwira atasan yang mempunyai
kewenangan untuk menindak;
g. Melaporkan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota angkatan bersenjata
musuh atau sekutu kepada penguasa militer yang lebih tinggi.

BAB III
KESIMPULAN
Penggunaan unmanned drone sebagai salah satu alat berperang dengan
menggunakan sistem teknologi, menuai banyak kritik serta mengakibatkan
kontroversi yang berkepanjangan semenjak tahun 2001. Kritik dan kontroversi
tersebut baik ditinjau dari taktis dan strategisnya penggunaan unmanned
drone. Kesimpulan pertama terkait dengan penggunaan kekuatan bersenjata
itu sendiri dan yang kedua terkait dengan legalitas penggunaan pesawat tanpa
awak. Penggunaan kekuatan bersenjata terhadap negara lain Praktek dalam
komunitas internasional membenarkan adanya penggunaan kekuatan
bersenjata dari suatu negara terhadap negara lain ataupun entitas lain yang
bukan negara. Namun, penggunaan kekuatan bersenjata tersebut harus
memenuhi beberapa persyaratan yang diajukan oleh PBB (Pasal 51 tentang
pembelaan diri) dan atau suatu negara sedang dalam kondisi konflik (Konvensi
Jenewa atau Hukum Humaniter Internasional berlaku). Penggunaan kekuatan
bersenjata pada kondisi-kondisi diatas harus memenuhi prinsip-prinsip yang
diadopsi dalam Hukum Internasional, seperti prinsip immediacy, necessity dan
proportionality yang terkandung dalam Pasal 51 Statuta PBB atau prinsip
distinction, precaution, military necessity, proportionality dan humanity yang
terkandung dalam Konvensi Jenewa.Legalitas penggunaan pesawat tanpa
awak. Tidak dapat dipungkiri bahwa sistem unmanned drone yang akurat
dalam menembaki target, keuntungan baik secara benefit atau tidak ada resiko
nyawa dari pilot menjadi pertimbangan yang kuat dalam penggunaan pesawat
tanpa awak ini.Satu hal yang tidak boleh luput adalah penggunaan unmanned
drones dalam kekuatan bersenjata haruslah memperhitungkan apakah
penggunaannya akan mengakibatkan kerugian terhadap rakyat sipil atau tidak.
Faktanya,unmanned drone tetap mengakibatkan kerugian terhadap rakyat sipil
dengan perbandingan 1:3. Hal ini kemudian memicu legalitas dari penggunaan
pesawat tanpa awak tersebut. Nyatanya, belum ada peraturan yang rinci dan
spesifik mengenai penggunaan unmanned drone dalam Hukum Internasional.
Penilaian apaka