Hubungan antara konformitas teman sebaya dengan kedisiplinan belajar siswa SMP Negeri X di Sidoarjo.

(1)

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata (S1) Psikologi (S.Psi)

Maulid Dina Tri Utami B37212091

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

INTISARI

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara konformitas teman sebaya dengan kedisiplinan belajar siswa. Penelitian ini merupakan penlitian korelasi dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa skala konformitas teman sebaya dan skala kedisiplinan belajar. Subjek penelitian berjumlah 268 dari jumlah populasi sebanyak 67 siswa melalui teknik simple random sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara konformitas teman sebaya dengan kedisiplinan belajar siswa.


(7)

ABSTRACT

The purpose of this study is to determine the relationship between peer conformity with student learning discipline. This study is a correlation research using data collection techniques such as peer conformity scale and learning discipline scale. Research subjects amounted to 268 of the total population of 67 students through simple random sampling technique. The results showed that there is a relationship between peer conformity with student learning discipline.


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

INTISARI ... x

ABSTRAC ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Keaslian Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kedisiplinan Belajar ... 14

1. Pengertian Kedisiplinan ... 14

2. Pengertian Belajar ... 15

3. Pengertian Kedisiplinan Belajar ... 18

4. Aspek – aspek Kedisiplinan Belajar ... 19

5. Faktor Yang Mempengaruhi Kedisiplinan Belajar ... 20

6. Unsur-unsur Kedisiplinan Belajar ... 25

B. Konformitas Teman Sebaya ... 27

1. Pengertian Konformitas Teman Sebaya ... 27

2. Faktor-faktor Konformitas Teman Sebaya... 29

3. Aspek-aspek Konformitas Teman Sebaya ... 31

C. Siswa ... 32

D. Hubungan Antara Konformitas Teman Sebaya dengan Kedisiplinan Belajar ... 51

E. Kerangka Teori ... 52

F. Hipotesis ... 57

BAB III METODE PENELITIAN A. Variabel dan Definisi Operasional ... 58

1. Variabel ... 58

2. Definisi Operasional ... 59

B. Populasi, Sampel, Teknik Sampling ... 59

1. Populasi ... 59

2. Sampel ... 60

3. Teknik Sampling ... 61

C. Teknik Pengumpulan Data ... 61


(9)

1. Validitas ... 64

2. Reliabilitas ... 68

E. Analisis Data ... 70

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 72

1. Deskripsi Subjek ... 72

B. Deskripsi dan Reliabilitas Data ... 73

1. Deskripsi Data ... 73

2. Reliabilitas Data ... 75

C. HASIL ... 77

1. Uji Normalitas ... 77

2. Uji Linieritas ... 78

3. Pengujian Hipotesis ... 79

D. PEMBAHASAN ... 81

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 84

B. Saran ... 85


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kualitas sumber daya manusia sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan pembangunan bangsa Indonesia yang saat ini dilanda krisis multidimensi. Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, dapat ditempuh melalui jalur pendidikan. Seberapa besar kontribusi pendidikan dalam meningkatkan sumber daya manusia dapat diketahui dari keberhasilan yang telah dilakukan.

Keberhasilan pendidikan khususnya pendidikan formal dapat dilihat dari pencapaian yang diperoleh. Hampir semua keterampilan, pengetahuan, sikap berkembang melalui belajar. Kegiatan belajar bisa dilakukan dimana saja dirumah, sekolah, dimasyarakat luas. Tetapi untuk kegiatan belajar formal dilakukan disekolah. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (UU Republik Indonesia, 2003).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan


(11)

pelatihan. Sedangkan Pendidikan formal adalah segenap bentuk pendidikan atau pelatihan yang diberikan secara terorganisasi dan berjenjang, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus.

Pendidikan juga dijelaskan dalam UU No 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 1 yang berisikan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

Peserta didik merupakan komponen manusiawi yang terpenting dalam proses pendidikan, maka seorang guru dituntut mampu memahami perkembangan peserta didik, sehingga guru dapat memberikan pelayanan pendidikan atau menggunakan strategi pembelajaran yang relevan sesuai dengan tingkat perkembangan siswa tersebut. Di dalam UU No 20 pasal 1 ayat 4 menjelaskan bahwa, peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.

Karakteristik perkembangan peserta didik anak usia sekolah dasar (SD) adalah 6 tahun dan selesai pada usia 12 tahun. Anak-anak usia ini memiliki usia yang muda ia sangat senang bermain, senang bergerak, senang bekerja, dan senang merasakan atau melakukan sesuatu secara


(12)

langsung. Sedangkan anak usia SMP berada pada tahap perkembangan pubertas berkisar umur 10-14 tahun. Masa remaja 12-21 tahun disebut juga masa peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan masa keidupan orang dewasa. Karakteristik usia SMP/SMA sering dikenal dengan pencarian jati diri (ego identity). (Desmita, 2012)

Berdasarkan karakteristik – karakteristik di atas yang sesuai dengan usianya, subyek dalam penelitian ini berfokus kepada siswa SMP . Karakteristik usia siswa SMP berkisar umur 12-21 tahun, yang mana usia tersebut termasuk dalam konteks perkembangan masa remaja. Masa remaja adalah masa tanjakan atau masa transisi dari masa kanak-kanak yang mana masih belum bisa dikatakan untuk dewasa. Masa remaja sering disebut Adolesensi artinya menjadi dewasa. Meskipun tidak begitu jelas adanya perbedaan antara masa kanak-kanak, namun Nampak adanya gejala yang menunjukkan permulaan remaja. Yaitu timbulnya seksualitas atau pertumbuhan genital. (Monks. 2006)

Sekolah adalah tempat menempa ilmu, membentuk karakter siswa yang bermartabat, member contoh yang baik pada lingkungannya dan taat pada peraturan yang bertujuan untuk kebaikan bersama pada masa sekarang dan masa depan siswa dan semua yang berperan dalam lingkungan sekolah. Tetapi kenyataan yang ada pada lapangan, banya sekali terjadi pelanggaran peratran yang pelakunya sendiri adalah siswa. Salah satu masalah yang terjadi pada siswa adalah tentang disiplin belajar.


(13)

Kedisiplinan dalam dunia pendidikan merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh seorang siswa agar memperkuat dirinya sendiri untuk selalu terbiasa patuh pada apa yang sudah ditetapkan sebagai peraturannya. Sikap disiplin yang timbul dari kesadarannya sendiri akan dapat lebih memacu dan tahan lama dibandingkan dengan disiplin yang timbul karena pengawasan dari orang lain. Disiplin dapat tumbuh dengan sendirinya maupun melalui proses latihan, mulai pada masa kanak-kanak dan terus berkembang sehingga menjadi disiplin yang semakin kuat.

Disiplin merupakan pengaruh yang dirancang untuk membantu siswa mampu menghadapi lingkungan. Disiplin tumbuh dari kebutuhan menjaga keseimbangan antara kecenderungan dan keinginan untuk berbuat agar memperoleh sesuatu dengan pembatasan atau peraturan yang diperukan oleh ligkungan terhadap dirinya (Conny, 2009).

Blandford dalam Aqib (2011) menyatakan bahwa disiplin adalah pengembangan mekanisme internal diri siswa sehingga siswa dapat mengatur dirinya sendiri. Daryanto (2013) disiplin adalah aktif merujuk pada fungsi independensi dalam pengembangan diri, mengelola diri dan perilaku atas dasar keputusan sendiri. Nitisesmito (1991) kedisiplinan merupakan salah satu sarana dan kunci untuk mencapai kesuksesan dan keberhasilan, untuk itu perlu ditilbulkan kesadaran dari individu tentang perlunya diri terhadap segala sesatu yang harus dilakukan.


(14)

Menurut Hurlock (1989) Konsep popular dari “disiplin” adalah sama dengan “hukuman”. Menurut konsep ini, disiplin digunakan hanya bila anak melanggar peraturan dan perintah yang diberikan orang tua, guru atau orang dewasa yang berwewenang mengatur kehidupan bermasyarakat, tempat anak itu tinggal. Disiplin berasal dari kata yang sama dengan “disciple”, yakni seorang yang belajar dari atau secara suka rela mengikuti seorang pemimpin. Orang tua dan guru merupakan pemimpin dan anak merupakan murid yang belajar dari mereka cara hidup yang menuju ke hidup yang berguna dan bahagia. Jadi disiplin merupakan cara masyarakat mengajar anak perilaku moral yang disetujui kelompok.

Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh penliti di SMP Negeri yang berada di wiliyah Sidoarjo pada tanggal 5 oktober. Sekolah ini merupakan bertempat di desa kedung bocok. Berada di wilayah Sidoarjo bagian barat termasuk sekolah yang baik namun masih ada kekurangan yang perlu diperbaiki yakni dalam hal kedisiplinan siswanya. Para siswa yang harusnya memulai pelajaran pukul 07.00, terkadang mundur beberapa menit. Ini membuat beberapa para guru bekerja dengan keras untuk menumbuhkan sikap disiplin dalam siswa-siswa. Tidak sedikit siswa yang terlihat duduk di depan kelas ketika jam pelajaran dimulai sehingga mempengaruhi siswa kelas lain untuk duduk didepan kelas juga. Banyak juga siswa yang duduk diparkiran dan terkadang menunggu perintah dari guru untuk segera masuk kedalam kelas.


(15)

Islamuddin (2011) mengatakan bahwa mempunyai tiga faktor yang mempengaruhinya. Faktor yang mempengaruhi disiplin belajar adalah faktor internal, faktor eksternal dan faktor pendekatan. Faktor internal terdiri dari kondisi jasmani dan rohani siswa, faktor pendekatan belajar terdiri dari upaya belajar siswa meliputi stategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran, dan faktor eksternal sendiri terdiri dari lingkungan nonsosial dan lingkungan sosial.

Faktor yang mempengaruhi disiplin belajar siswa menurut Muhibbin Syah (2013) salah satunya adalah konformitas teman sebaya. Selain penanaman disiplin keluarga, pergaulan dengan teman seaya setiap hari juga membawa dmpak yang besar terhadap disiplin belajar siswa. Perilaku yang muncul karena menampilkan atau meniru tingkah orang lain disebut konformitas.

Menurut Sears (1985) konformitas bahwa bila seseorang menampilkan perilaku tertentu karena ada orang lain yang menampilkan perilaku tersebut. Sedangkan menurut Baron & Byrne (2005) adalah sebuah penyesuaian perilaku remaja untuk menganut norma yang terdapat pada kelompok acuan, menerima ide, maupun aturan-aturan bagaimana cara remaja berpeilaku.

Lingkungan teman sebaya adalah lingkungan pertama yang dikenal oleh seorang siswa setelah lingkungan keluarga. Menurut (Tu’u, 2004)


(16)

teman bergaul dapat mempengaruhi disiplin sebab teman bergaul di sekoah baik dapat memberikam dorongan agar seorang siswa berubah perilakunya.

Berdasarkan beberapa uraian diatas, peneliti tertarik untuk meneliti kedisiplinan belajar pada siswa apakah terdapat hubungan dengan konformitas teman sebaya . Dengan demikian penelitian yang akan dilakukan ini berjudul “Hubungan konformitas teman sebaya dengan kedisiplinan belajar siswa di SMP Negeri x di Sidoarjo”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini adalah adakah hubungan antara konformitas teman sebaya dengan kedisiplinan belajar di SMP Negeri x di Sidoarjo?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konformitas teman sebaya dengan kedisiplinan belajar siswa SMP Negeri x di Sidoarjo

D. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara teoritis maupun praktis.


(17)

a. Manfaat Teoritis

Menambah wawasan tentang hasil penelitian dalam bidang Psikologi, khususnya dalam Psikologi Pendidikan.

b. Maanfaat secara Praktis

1. Mampu memberikan suatu wacana pada masyarakat dan yang lainnya, sehingga mereka memperoleh pengetahuan bahwa konformitas teman sebaya berhubungan dengan kedisiplinan belajar.

2. Bagi orang tua diharapkan untuk memberikan dukungan terhadap siswa agar berusaha untuk meningkatkan kedisiplinan.

E. Keaslian Penelitian

Dikaji dari beberapa permasalahan yang telah dikemukakan dalam latar belakang diatas, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara konformitas teman sebaya dengan kedisiplinan belajar siswa. Hal ini didukung dari beberapa penelitian terdahulu yang dapat dijadikan landasan penelitian yang akan dilakukan. Berikut penelitian pendukung tersebut.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Muniroh (2013) yang berjudul “Hubungan Antara Kontrol Diri dan Perilaku Disiplin Pada Santri Di Pondok Pesantren”. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara control diri dan perilaku disiplin pada santri di pondok pesantren.


(18)

Penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati (2012) dengan judul “Hubungan Antara Kedisiplinan Dengan Perilaku Agresif Siswa SMP Murni 1 Surakarta”. Kesimpulan penelitian ini menyatakan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara kedisiplinan terhadap perilaku agresif siswa.

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Wati (2012) dengan judul “ Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dan Interaksi Teman Sebaya Dengan Kedisiplinan Siswa”. Ada hubungan positif yang sangat signifikan antara interaksi teman sebaya dengan kedisiplinan siswa, dengan demikian hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini diterima. Sumbangan efektif variable inteligensi dan dukungan orang tua dengan kesiapan sekolah sebesar 44,9%.

Dan penelitian yang dilakukan oleh Setianingsih (2007) yang berjudul “ Perbedaan Kedisiplinan Belajar Siswa Ditinjau Dari Pola Asuh Orang Tua”. Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian adalah ada perbedaan kedisiplinan belajar ditinjau dari pola asuh orang tua. Kedisiplinan belajar anak yang menerima pola asuh otoriter lebih tinggi dari pada anak yang menerima pola asuh demokratis dan permisif.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Satwika (2015) dengan judul “Hubungan Antara Kelompok Teman Sebaya dengan Disiplin Belajar Pada Siswa SMK YP Gajah Mada Palembang”. Hasil analisis data penelitian dengan bantuan computer menggunakan program SPSS 20 for


(19)

windows, menunjukkan koefisien korelasi secara umum (R) sebesar 0,964 dengan koefisien (R Square) sebesar 0,930. Lebih lanjut ditemukan korelasi analisis regresi dengan P sebesar 0,000 dimana p < 0,001, yang artinya ada hubungan yang sangat signifikan antara kelompok teman sebaya dengan disiplin belajar pada siswa SMK YP Gajah Mada Palembang.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Pujawati (2016) “ Hubungan Kontrol Diri dan Dukungan Orang Tua dan Perilaku Disiplin Pada Santri di Pondok Pesantren Darussa’adah Samarinda”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan kontrol diri dan dukungan orang tua dengan disiplin perilaku siswa di pesantren darussa'adah samarinda.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Miranda (2017) dengan judul “ Pengaruh Konformitas Teman Sebaya dan Minat Belajar Terhadap Perilaku Menyontek Pada Siswa Kelas X SMA NEGERI 3 BONTANG”. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa terdapat pengaruh antara konformitas teman sebaya dan minat belajar terhadap perilaku menyontek kelas X SMA NEGERI 3 BONTANG.

Penelitian yang dilakukan oleh Rohana (2015) dengan judul “Hubungan Self Efficacy dan Konformitas Teman Sebaya Terhadap Perilaku Mencontek Siswa SMP Bhakti Loa Janan”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konformitas teman sebaya maka


(20)

semakin tinggi pula perilaku mencontek yang dilakukan oleh siswa, begitu pula sebaliknya. Dalam penelitian ini juga terdapat uji beda jenis kelamin rata-rata yang melakukan perilaku mencontek adalah siswa laki-laki.

Penelitian yang dilakukan oleh Sholihah, (2013) yang berjudul “Penerapan Strategi Self-Management untuk meningkatkan disiplin belajar pada siswa tunadaksa cerebral palcy kelas IV SDLB-D YPAC Surabaya”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahawa strategi self -management dapat meningkatkan disiplin belajar pada siswa tuna daksa celebral.

Penelitian yang dilakukan oleh Khotimah & Pramesti (2016) yang berjudul “Pengaruh Pola Asuh Otoriter Terhadap Kedisiplinan Anak Usia 4-6 Tahun”. Hasil uji analisis statistic t untuk X menunjukkan bahwa niali signifikansi 0,000 < 0,05 sehingga ho ditolak dan ha diterima yang artinya ada pengaruh pola asuh otoriter terhadap kedisiplinan anak usia 4-6 tahun di Taman kanak-kanak Gugus 01 Tulung Sampung Ponorogo.

Penelitian Haun & Tomasello (2011), yang berjudul “conformity to Peer in Preschool Children”. A follow-up study with 18 groups of 4 children between 4;0 and 4;6 years of age revealed that children did not change their „„real’’ judgment of the situation, but only their public expression of it. Preschool children are subject to peer pressure, indicating sensitivity to peers as a primary social reference group already during the preschool years. Jadi, Sebuah studi tindak lanjut dengan 18 kelompok dari


(21)

4 anak-anak antara 4; 0 dan 4; 6 tahun mengungkapkan bahwa anak-anak tidak mengubah mereka '' nyata '' penghakiman Situasi, tetapi hanya ekspresi publik mereka itu. anak-anak prasekolah tunduk pada tekanan teman sebaya, menunjukkan sensitivitas untuk rekan-rekan sebagai kelompok referensi sosial primer sudah selama bertahun-tahun prasekolah.

Penelitian Daniel, dkk (2014) yang berjudul “ Children Confrom to the Behavior of Peers; Other Great Apes Stick With What They Know”. In a follow-up study, children switched much more when the peer demonstrators were still present than when they were absent, which suggests that their conformity arose at least in part from social motivations. These result demonstratr am important difference between the social learning of humans and great apes, a difference thath might help to account for differences in human and nonhuman cultures.

Penelitian Gitome, dkk (2013) yang berjudul “Correlation Between Student’s Dicipline and Performance in the Kenya Certificate of Secondary Education”.

Penelitian internasional Oleh Duckworth & Seligman tentang disiplin di antaranya adalah (2006) “Self Discipline Test Edge: Gender In Self-Discipline, Grades, and Achievement Test Score”.. AL Duckworth dan Martin E.P pada variable self discipline menggunakan teory Tangney (2004), Pearson (1984), Kendall dan Wilcox (1979). Penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan disiplin diri pada anak perempuan dan laki-laki, perempuan lebih disiplin dibandingkan dengan anak laki-laiki.


(22)

Di sekolah, anak perempuan memiliki nilai yang lebih tinggi untuk semua mata pelajaran dibadningkan dengan anak laki-laki. Demikian pula dengan hasil tes prestasi (achievement test) menunjukkan bahwa anaka perempuan memperoleh skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan laik-laki.


(23)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. KEDISIPLINAN BELAJAR 1. Pengertian Kedisiplinan

Menurut Hurlock (1989) Konsep popular dari “disiplin” adalah sama dengan “hukuman”. Menurut konsep ini, disiplin digunakan hanya bila anak melanggar peraturan dan perintah yang diberikan orang tua, guru atau orang dewasa yang berwewenang mengatur kehidupan bermasyarakat, tempat anak itu tinggal.

Disiplin berasal dari kata yang sama dengan “disciple”, yakni seorang yang belajar dari atau secara suka rela mengikuti seorang pemimpin. Orang tua dan guru merupakan pemimpin dan anak merupakan murid yang belajar dari mereka cara hidup yang menuju ke hidup yang berguna dan bahagia. Jadi disiplin merupakan cara masyarakat mengajar anak perilaku moral yang disetujui kelompok.

Tujuan seluruh disiplin ialah membentuk perilaku sedemikian rupa hingga ia akan sesaui dengam peran – peran yang ditetapkan kelompok budaya, tempat individu itu diidentifikasikan. Karena tidak ada pola budaya tunggal, tidak ada pula satu falsafah pendidikan anak yang menyeluruh untuk mempengaruhi cara menanamkan disiplin. Jadi metode spesifik yang digunakan di dalam kelompok budaya sangat beragam,


(24)

walaupun semuanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengajar anak bagaimana berperilaku dengan cara yang sesuai dengan standar kelompok social, tempat mereka diidentifikasikan.

Menurut Gunarsa (1983), mengatakan bahwa disiplin pada anak terlihat bilamana pada anak ada pengertian-pengertian mengenai batas-batas kebebasan dari perbuatan-perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Disiplin ini ditanamkan oleh orang tua sedikit demi sedikit pada anak.

Soedjono (1983) mengemukakan bahwa dalam pembicaraan sehari-hari disiplin biasanya dikaitkan dengan keadaan tertib. Artinya sesuatu keadaan dimana perilaku seseorang mengikuti pola-pola tertentu yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Manullang (1981) berpendapat bahwa disiplin berarti sanggup melakukan apa yang sudah disetujui, baik persetujuan tertulis, lisan maupun berupa peraturan-peraturan atau kebiasaan. Disiplin menurut Hodges (Helmi, 1996) dapat diartikan sebagai sikap seseorang atau kelompok yang berniat untuk mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan. Dalam kaitannya dengan belajar, pengertian disiplin belajar adalah suatu sikap dan tingkah laku yang menunjukkan ketaatan siswa terhadap peraturan

2. Pengertian Belajar

Belajar merupakan suatu kegiatan yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Setiap orang, baik disadari maupun tidak selalu


(25)

melaksanakan aktivitas belajar. Kegiatan harian yang dimulai dari bangun tidur samapi dengan tidur kembali akan sellau diwarnai oleh aktivitas belajar. Belajar membuat manusia dapat mengembangkan potensi-potensi yang dibawa sejak lahir.

Slameto (2010) menyatakan belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Hamalik (2012) berpendapat belajar mengandung perngertian terjadinya perubahan dari persepsi dan perilaku. Rifa’I dan Anni (2011) mengemukakan bahwa belajar merupakan proses penting bagi perubahan perilaku setiap orang dan belajar itu mencakup segala sesuatu yang dipikirkan dan dikerjakan oleh seseorang.

Baharuddin (2008) belajar merupakan aktivitas yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan perubahan dalam dirinya melalui pelatihan-pelatihan atau pengalaman-pengalaman. Sedangkan menurut Sardiman (2011) belajar merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan dengan membaca, mengamati, medengarkan, meniru dan lain sebagainya.

Gronbach di dalam bukunya Educational Psychology (Suryabrata, 2013)menyatakan bahwa : learning is shown by a change in behavior as a result of experience. Jadi menurut Gronbach belajar yang sebaik-baiknya


(26)

adalah dengan mengalami ; dan dalam mengalami itu si pelajar mempergunakan pancainderanya.

Belajar merupakan aktifitas seseorang yang sangat kompleks sehingga menimbukan pengertian yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut karena adanya pandangan yang berbeda dalam usaha memahami arti belajar. Kiranya tidaklah berlebihan apabila dinyatakan bahwa belajar merupakan hal yang sentral bagi setiap manusia. Pada umumnya setiap orang dapat menyebutkan kata belajar, tetapi tidak setiap orang dapat memahami apa arti belajar yang sebenarnya. Kesatuan pendapat mengenai belajar sampai kini belum ada, dan andai kata ditanyakan kepada banyak orang tentang belajar, jawabannya akan sekian banyak pula.

Menurut Winkel (1992), belajar merupakan salah satu proses mental yang mengarah kepada penguasaan pengetahuan, kecakapan, kebijaksanaan, atau sikap yang diperoleh, disimpan, dan dilaksanakan sehingga menimbulkan tingkah laku yang progresif dan adaptif. Dalam hal tersebut apa yang terjadi pada diri orang yang sedang belajar, tidak dapat diketahui secara langsung oleh orang lain, yang dapat diamati adalah tingkah laku dan hasilnya. Dalam proses belajar siswa menggunakan kemampuan mentalnya untuk mempelajari bahan belajar. Kemampuan-kemampuan kognitif, afektif, psikomotorik yang dibelajarkan dengan bahan belajar menjadi semakin rinci dan menguat. Adanya informasi tentang sasaran belajar, adanya penguatan-penguatan adanya evaluasi dan


(27)

keberhasilan belajar menyebabkan siswa semakin sadar akan kemampuan dirinya. Hal ini akan memperkuat kedisiplinan siswa

Berdasarkan beberapa pengertian tentang belajar di atas yang dikemukakan oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku seseorang secara keseluruhan untuk memperoleh suatu pengalaman.

3. Pengertian Kedisiplinan Belajar

Dari uraian sebelumnya kedisiplinan diartikan sebagai perilaku seseorang mengikuti pola-pola tertentu yang telah ditetapkan atau disetujui terlebih dahulu baik persetujuan tertulis, lisan maupun berupa peraturan-peraturan atau kebiasaan. Sedangkan belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai pengalamannya sendiri dalam interaksinya dengan lingkungan yang mengarah kepada penguasaaan pengetahuan, kecakapan, kebijaksanaan.

Menurut Agus (1987) disiplin belajar adalah predis posisi (kecenderungan) suatu sikap mental untuk mematuhi aturan, tata tertib, dan sekaligus mengendalikan diri, menyesuaikan diri terhadap aturan-aturan yang berasal dari luar sekaligus yang mengekang dan menunjukkan kesadaran akan tanggung jawab terhadap tugas dan kewajiban.


(28)

Berdasarkan dua pengertian di atas dapat disimpulkan kedisiplinan belajar adalah suatu sikap, tingkah laku dan perbuatan siswa untuk melakukan aktivitas belajar yang sesuai dengan keputusan, peraturan-peraturan dan norma-norma yang telah ditetapkan bersama, baik persetujuan tertulis maupun tidak tertulis antara siswa dengan guru di sekolah maupun dengan orang tua di rumah untuk mendapatkan penguasaan pengetahuan, kecakapan, dan kebijaksanaan.

4. Aspek-aspek Kedisiplinan Belajar

Menurut Hurlock (1989), aspek-aspek kedisiplinan belajar antara lain :

a. Peraturan

Peraturan merupakan pola yang ditetapkan untuk tingkah laku. Tujuan dengan adanya peraturan adalah membekali anak dengan pedoman perilaku yang disetujui dalam sitausi tertentu.

b. Hukuman

Hukuman diberikan pada seseorang karena suatu kesalahan atau pelanggaran sebagai ganjarannya.


(29)

Penghargaan diberikan untuk suatu hasil yang baik. Penghargaan tidak perlu berbentuk materi, tetapi dapat berupa kata-kata pujian, senyuman atau tepukan di punggung.

d. Konsistensi

Konsistensi berarti tingkat keseragaman atau stabilitas. Konsistensi ini memiliki nilai mendidik yang besar, bila peraturan maka siswa akan memacu proses belajarnya.

5. Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Dalam Kedisiplinan Belajar

Menurut Muhibbin Syah (2013) Secara global, faktor – faktor yang mempengaruhi belajar siswa dapat dibedakan sebagai berikut :

a. Faktor Internal Siswa

Faktor yang berasal dari dalam diri siswa sendiri meliputi dua aspek, yakni aspek fisiologis (yang bersifat jasmaniah), aspek psikologis (yang bersifat rohaniah).

a) Aspek Fisiologis

Kondisi umum jasmnai dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya, dapat mempengaruhi semangat dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ tubuh yang lemah, apalagi jika disertai pusing kepala berat misalnya, dapat menurunkan kualitas ranah cipta (kognitif) sehingga


(30)

materi yang dipelajarinya pun kurang atau tidak berbekas. Untuk mempertahankan tonus jasmani harus tetap bugar, siswa sangat dianjurkan mengkonsumsi makanan yang bergizi. Selain makanan dan minuman siswa juga perlu istirahat yang cukup dan pola olahraga juga harus berkeseimbangan.

Kondisi organ-organ khusus siswa, seperti tingkat kesehatan indera pendengaran dan indera penglihatan, juga mempengaruhi kemampuan siswa dalam menyerap informasi dan pengetahuan, khususnya yang disajikan di kelas. Daya pendengaran dalam pemglihatan siswa yang rendah, umampanya, akan menyulitkan sensory register dalam menyerap item-item informasi yang bersifat echoic dan iconic (gema dan citra). Akibat negative selanjutnya adalah terhambatnya proses informasi yang dilakukan oleh system memori siswa tersebut.

b) Aspek Psikologis

Banyak faktor yang termasuk aspek psikologis yang dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas perolehan pembelajaran siswa. Namun, di antara faktor-faktor rohaniah siswa yang pada umumnya dipandang lebih esensial itu sebagai berikut :

a. Intelegensi siswa

Intelegensi pada umumnya dapat diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik untuk mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan


(31)

lingkungan dengan cara yang tepat. Jadi, intelegensi sebenarnya bukan persoalan kualitas otak saja, melainkan juga kualitas prgan-organ tubuh lainya. Akan tetapi, memang harus diakui bahwa peran otak dalam hubungannya dengan intelegemsi manusia lebih menonjol daropada peran organ-organ tubuh lainnya, lantaran otak merupakan “menara pengontrol” hamper seluruh aktivitas manusia.

Tingkat kecerdasan atau intelegensi (IQ) siswa tak dapat diragukan lagi, sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa. Ini bermakna, semakin tinggi kemampuan intelegnsi seseorang siswa maka semakin besar peluangnya meraih sukses. Sebaliknya semakin rendah kemampuan intelegensi seorang siswa maka semakin kecil peluangnya untuk memperoleh kesuksesan.

b. Sikap siswa

Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespon dengan cara yang relative tetap terhadap objek orang, barang dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif. Sikap siswa yang positif, terutama kepada guru dan mata pelajaran yang disajikan merupakan pertanda awal yang baik bagi proses belajar siswa tersebut. Sebaliknya, jika diiringi dengan kebencian kepada guru atau kepada mata pelajaran dapat menimbulkan kesulitan belajar siswa tersebut.


(32)

c. Bakat siswa

Secara umum bakat adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang (Chaplin, 1972; Reber, 1998). Dengan demikian, sebetulnya setiap orang pasti memiliki bakat dalam arti potensi untuk mencapai prestasi sampai tingat tertentu sesuai dengan kapasitas masing-masing.

Jadi, seacara global bakat itu mirip dengan intelegensi. Itu sebabnya seorang anak yang berintelegensi sangat cerdas (superior) atau cerdas luar biasa (very superior) disebut juga sebagai talented child, yakni anak berbakat.

d. Minat siswa

Secara sederhana, minat (interestI berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi yang besar terhadap sesuatu.

e. Motivasi siswa

Motivasi adalah keadaan internal organism baik manusia atauapun hewan yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu.

b. Faktor Eksternal Siswa

Seperti faktor internal siswa, faktor eksternal siswa juga terdiri atas dua macam, yakni : faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan non-sosial .


(33)

a) Lingkungan sosial

Lingkungan sosial seperti para guru, para staf administrasi dan teman-teman sekelas atau sekelompok teman sebaya dapat mempengaruhi semangat belajar seorang siswa.

b) Lingkungan non-sosial

Lingkungan non-sosial seperti gedung sekolah, rumah tempat tinggal keluarga siswa, alat-alat belajar, keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan siswa. Faktor-faktor ini dipandang untuk menentukkan tingkat keberhasilan belajar siswa.

c. Faktor pendekatan belajar (approach to learning)

Sedangkan menurut Tulus Tu’u (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi disiplin belajar adalah :

a. Kesadaran diri,

Kesadaran diri sebagai pemahaman diri bahwa disiplin dianggap pemting bagi kebaikan dan keberhasilan dirinya. Selain itu, kesadaran diri menjadi motif sangat kuat terwujudnya disiplin.

b. Mengikuti dan menaati peraturan

Mengikuti dan menaati peraturan sebagai kelanjutan dari adanya kesadaran diri yang dihasilkan oleh kemampuan dan kemauan diri yang


(34)

kuat. Tekanan dari luar dirinya sebagai upaya mendorong, menekan dan memaksa agar disiplin diterapkan dalam diri seseorang sehingga peraturan-peraturan diikuti dan dipraktikkan.

c. Alat pendidikan

Untuk mempengaruhi, mengubah, membina, dan membentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang ditentukan atau diajarkan.

d. Hukuman

Sebagai upaya menyadarkan, mengoreksi dan meluruskan yang salah sehingga individu kembali pada perilaku yang sesuai dengan harapan.

6. Unsur – unsur Disiplin Belajar

Hurlock (1992) menyatakan bahwa disiplin terdiri dari empat unsure yaitu: peraturan, hukuman, penghargaan dan konsistensi.

a. Peraturan

Peraturan adalah pola yang ditetapkan untuk tingkah laku. Pola itu dapat ditetapkan oleh orang tua, guru atau teman bermain. Tujuan peraturan adalah untuk menjadikan anak lebih bermoral dengan membekali pedoman perilaku yang disetujui dalam situasi tertentu. Setiap individu memiliki tingkat pemahaman yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh tingkat perkembangan individu yang berbeda meskipun usianya sama.


(35)

Oleh karena itu dalam memberikan peraturan harus melihat usia individu dan tingkat pemahaman masing – masing individu.

b. Hukuman

Hukuman berasal dari kata kerja latin, “punier” Hurlock (1992) menyatakan bahwa hukuman berarti menjatuhkan hukuman pada seseorang karena suatu kesalahan , perlawanan atau pelanggaran sebagai ganjaran atau pembalasan.

c. Penghargaan

Penghargaan merupakan setiap bentuk penghargaan untuk suatu hasil yang baik. Penghargaan tidak harus berbentuk materi tetapi dapat berupa kata – kata pujian, senyuman atau tepukan di punggung. Banyak orang yang merasa bahwa penghargaan itu tidak perlu dilakukan karena bisa melemahkan anak untuk melakukan apa yang dilakukan. Sikap guru yang memandang enteng terhadap hal ini menyebabkan anak merasa kurang termotivasi untuk belajar. Oleh karena itu guru harus sadar tentang betapa pentingnya memberikan penghargaan atau ganjaran kepada anak khususnya jika mereka berhasil. Bentuk penghargaan harus disesuaikan dengan perkembangan anak. Bentuk penghargaan yang efektif adalah penerimaan sosial dengan diberi pujian. Namun dalam penggunaannya harus dilakukan secara bijaksana dan mempunyai nilai edukatif, sedangkan hadiah dapat diberikan sebagai penghargaan untuk perilaku yang baik dan dapat menambah rasa harga diri anak.


(36)

d. Konsistensi

Konsistensi berarti tingkat keseragaman atau stabilitas. Konsistensi tidak sama dengan ketetapan dan tiada perubahan. Dengan demikian konsistensi merupakan suatu kecenderungan menuju kesamaan. Disiplin yang konstan akan mengakibatkan tiadanya perubahan untuk menghadapi kebutuhan perkembangan yang berubah.

Mempunyai nilai mendidik yang besar yaitu peraturan yang konsisten bisa memacu proses belajar anak. Dengan adanya konsitensi anak akan terlatih dan terbiasa dengan segala yang tetap sehingga mereka akan termotivasi untuk melakukan hal yang benar dan menghindari hal yang salah.

B. KONFORMITAS TEMAN SEBAYA 1. Pengertian konformitas teman sebaya

Taylor (2009) mengatakan bahwa konformitas adalah tendensi untuk mengubah keyakinan atau perilaku seseorang agar sesuai dengan perilaku orang lain. Kartono dan Gulo (2000) mengatakan bahwa konformitas adalah kecenderungan untuk dipengaruhi tekanan kelompok dan tidak menentang norma yang telah digariskan oleh kelompok.

Menurut Baron & Byrne (2005) menjelaskan konformitas bagaimana individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka dengan cara yang dipandang wajar atau dapat diterima oleh kelompok atau masyarakat agar sesuai dengan norma sosial yang ada. David G. Myers (2012)


(37)

konformitas adalah perubahan dalam perilaku atau belief sebagai hasil dari tekanan kelompok yang nyata atau berdasarkan imajinasi.

Konformitas dapat terjadi dalam beberapa bentuk dan mempengaruhi aspek-aspek kehidupan remaja. Konformitas (conformity) muncul ketika individu meniru sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan ada tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan oleh mereka. Tekanan untuk mengikuti teman sebaya menjadi sangat kuat pada masa remaja. (Santrock, 2007)

Sebaya adalah orang dengan tingkat umur dan kedewasaan yang kira-kira sama. Sebaya memegang peran yang unik dalam perkembangan anak. Salah satu fungsi terpenting sebaya adalah memberikan sumber informasi dan perbandingan tentang dunia diluar keluarga. (Santrock, 2007).

Menurut Camarena, 1992; Foster Clark & Blyth, 1991; Pearl, Bryan & harzog, 1990; Wall, 1993 konformitas terhadap tekanan teman sebaya pada remaja dapat menjadi positif atau negative. Remaja terlibat dengan tingkah laku sebagai akibat dari konformitas yang negatif, dengan menggunakan bahasa yang asal-asalan, mencuri, mencorat coret dan mempermainkan orang tua serta guru mereka. Namun, banyak konformitas pada remaja yang tidak negatif dan merupakan keinginan untuk terlibat dalam dunia teman sebaya, misalnya berpakaian seperti teman-temannya


(38)

dan ingin menghabiskan waktu dengan anggota dari perkumpulan. (Santrock, 2003).

Berdasarkan definisi dari beberapa ahli diatas dapat ditegaskan bahwa konformitas teman sebaya adalah perilaku individu yang mengikuti tingkah laku orang lain yang sama tingkat kedewasaan dan umurnya.

2. Faktor-faktor Konformitas Teman Sebaya

Menurut David O’Sears (1985) menyebutkan ada empat faktor yang mempengaruhi konformitas antara lain :

a. Kekompakan kelompok

Yang dimaksud kekompkana dalam kelompok adalaj jumlah total kekuatan yang menyebabkan orang tertarik pada suatu kelompok dan yang membuat mereka ingin tetap menjadi anggotanya. Kekompakan yang tinggi menimbulkan konformitas yang semakin tinggi. Alas an utamanya adalah bahwa bila seseorang merasa dekat dengan anggota kelompok lain akan semakin menyenangkan bagi mereka untuk mengakui kita, dan semakin menyakitkan bila mereka mencela kita.

b. Kesepakatan kelompok

Orang yang dihadapkan pada suatu keputusan kelompok yang sudah bulat akan mendapatkan tekanan yang kuat untuk menyesuaikan pendapatnya. Namun bila kelompok tidak bersatu aka nada penurunan


(39)

tingkat konformitas. Penurunan konformitas ini juga terjadi dalam kondisi dimana orangyang berbeda pendapat memberikan jawaban yang salah. Bila orang menyatakan pendapat yang berbeda setelah mayoritas menyatakan pendapatnya, maka konformitas akan menurun.

c. Ukuran kelompok

Serangakian eksperimen menunjukkan bahwa konformitas akan meningkat bila ukuran mayoritas yang sependapat juga meningkat, setidak – tidaknya samapai tingkat tertentu.

d. Keterikatan pada penilaian bebas

Keterikatan sebagai kekuatan total yang membuat seseorang mengalami kesulitan untuk melepaskan suatu pendapat. Orang yang secara terbuka dan sungguh–sungguh terikat suatu penilaian bebas akan lebih enggan menyesuaikan diri terhadap perilaku kelompok yang berlawanan. Keterikatan merupakan kekuatan total yang membuat seseorang mengalami kesulitan untuk melepaskan suatu pendapat. Secara khusus keterikatan dapat dipandang sebagai perasaan terikat pada suatu pendapat.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi konformitas teman sebaya adalah kekompakan kelompok, kesepakatan kelompok, ukuran kelompok, dan keterikatan pada penilaian bebas.


(40)

3. Aspek-aspek Konformitas Teman Sebaya

Taylor (2009) membagi aspek konformitas menjadi lima, yaitu :

1. Peniruan

Keinginan individu untuk sama dengan orang lain baik secara terbuka atau ada tekanan (nyata atau dibayangkan) menyebabkan konformitas.

2. Penyesuaian

Keinginan individu untuk dapat diterima orang lain menyebabkan individu bersikap konformitas terhadap orang lain. Individu biasanya melakukan penyesuaian pada norma yang ada pada kelompok.

3. Kepercayaan

Semakin besar keyakinan individu pada informasi yang benar dari orang lain semakin meningkat ketepatan informasi yang memilih konformitas terhadap orang lain.

4. Kesepakatan

Sesuatu yang sudah menjadi keputusan bersama menjadikan kekuatan sosial yang mampu menimbulkan konformitas.


(41)

5. Ketaatan

Respon yang timbul sebagai akibat dari kesetiaan atas ketertundukan individu atas otoritas tertentu,sehingga otoritas dapat membuat orang menjadi confor (mengikuti) terhadap hal-hal yang disampaikan.

C. Siswa

a. Pengertian Siswa

Menurut Djamarah (2005) anak didik (siswa) adalah orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Anak didik bukan binatang, tetapi ia adalah manusia yang memiliki akal. Anak didik adalah unsur manusiawi yang penting dalam kegiatan interaksi edukatif. Ia dijadikan sebagai pokok persoalan dalam semua gerak kegiatan pendidikan dan pengajaran.

Menurut Desmita (2012) peserta didik (siswa) merupakan salah satu komponen manusiawi yang menempati posisi sentral. Peserta didik menjadi pokok persoalan dan tumpuan perhatian dalam semua proses transformasi yang disebut pendidikan. Sebagai salah satu system pendidikan, peserta didik sering disebut sebagai “raw material” (bahan mentah)

Dalam perspektif pedagogis, peserta didik diartikan sebagai sejenis makhluk “homo educandum”, makhluk yang menghajatkan


(42)

pendidikan. Dalam pengertian ini, peserta didik dipandang sebagai manusia yang memiliki potensi yang bersifat laten, sehingga dibutuhkan binaan dan bimbingan untuk mengaktualisasikan agar ia dapat menjadi manusia susila yang cakap.

Menurut Arifin (1996) peserta didik dalam perspektif psikologi adalah individu yang sedang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan, baik fisik maupun psikis menurut fitrahnya masing-masing. Sebagai individu yang tengah tumbuh dan berkembang, peserta didik memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya. (Desmita, 2012)

Dalam perspektif undang-undang system pendidikan nasional no 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 4, peserta didik diartikan sebagai anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur jenjang dan jenis pendidikan tertentu.

Dari beberapa pengertian diatas dapat ditegaskan bahwa peserta didik (siswa) merupakan individu yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang masih membutuhkan bimbingan dan pengarahan untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya.

b. Aspek-aspek perkembangan siswa (peserta didik)

Menurut Desmita (2012) secara umum perkembangan peserta didik dapat dikelompokkan kedalam tiga aspek perkembangan, yaitu perkembangan fisik, kognitif, dan psikososial.


(43)

1. Aspek perkembangan fisik

Perkembangan fisik atau yang disebut juga pertumbuhan biologis (biological growth) meliputi perubahan-perubahan biologis (seperti; pertumbuhan otak, system saraf, organ-organ indrawi, pertembahan tinggi dan berat, hormone, dan lain-lain), dan perubahan-perubahan dalam cara-cara individu dalam menggunakan tubuhnya (seperti; perkembangan keterampilan motorik dan perkembangan seksual), serta perubahan dalam kemampuan fisik (seperti penuruna fungsi jantung, penglihatan dan sebagainya.

2. Aspek perkembangan kognitif

Perkembangan kognitif adalah salah satu aspek perkembangan peserta didik yang berkaitan dengan pengertian (pengetahuan), yaitu semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajri dan memikirkan lingkungannya. Perkembangan kognitif ini meliputi perubahan pada aktiftas mental yang berhubungan dengan persepsi, pemikiran, ingatan, keterampilan berbahasa. Dan pengelolahan informasi yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan, memcahkan masalah, dan merencanakan masa depan, atau semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari, memperhatikan, mengamati,


(44)

membayangkan, memperkirakan, menilai dan memikirkan lingkungannya.

3. Aspek perkembangan psikososial

Perkembangan psikososial adalah proses perubahan kemampuan peserta didik untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial lebih luas. Dalam proses perkembangan ini peserta didik diharapkan mengerti orang lain, yang berarti mampu menggambarkan cirri-cirinya, mengenali apa yang dipikirkan, dirasakan dan diinginkan serta dapat menempatkan diri pada sudut pandang orang lain, tanpa kehilangan dirinya sendiri, meliputi perubahan pada relasi individu dengan orang lain, perubahan pada emosi dan perubahan kepribadian.

c. Karakteristik siswa (peserta didik)

Karakteristik dalam konteks ini berhubungan dengan aspek-aspek perkembangan peserta didik (siswa) usia sekolah dasar (SD) dan remaja (SMP dan SMA) yang meliputi: perkembangan fisik-motorik dan otak, perkembangan kognitif, dan perkembangan sosioemosional. Masing-masing aspek berhubungan dengan pendidikan, sehingga memudahkan pendidik (guru) untuk menggunakan strategi pembelajaran yang relevan. (Desmita, 2012)

1. Karakteristik anak usia sekolah dasar (SD)

Usia rata-rata anak Indonesia saat masuk sekolah dasar adalah 6 tahun dan selesai pada usia 12 tahun. Kalau mengacu


(45)

pada pembagian tahap perkembangan anak, berarti anak usia sekolah berada dalam dua masa perkembangan, yaitu masa kanak-kanak tengah (6-9 tahun), dan masa kanak-kanak akhir (10-12 tahun).

Anak-anak usia sekolah ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan anak-anak usianya lebih muda. Ia senang bermain, senang bergerak, senang bekerja dalam kelompok, dan senang merasakan atau melakukan sesuatu secara langsung.

Menurut Havighurst, tugas perkembangan anak usia sekolah dasar meliputi:

1) Menguasai keterampilan fisik yang diperlukan dalam permainan dan aktivitas fisik.

2) Membina hidup sehat.

3) Belajar bergaul dan bekerja dalam kelompok

4) Belajar menjalankan peran sosial sesuai dengan jenis kelamin.

5) Belajar embaca, menulis, dan berhitung agar mampu berpartisipasi dalam masyarakat.

6) Memperoleh sejumlah konsep yang diperlukan untuk berfikir efektif.

7) Mengembangkan kata hati, moral dan norma-norma. 8) Mencapai kemandirian pribadi.


(46)

Dilihat dari tahapan perkembangan yang disetujui oleh banyak ahli, anak usia sekolah menengah (SMP) berada pada tahap perkembangan pubertas (10-14 tahun). Terdapat sejumlah karakteristik yang menonjol pada anak usia SMP ini yaitu:

1) Terjadinya ketidak seimbangan proporsi tinggi dan berat badan.

2) Mulai timbulnya cirri-ciri seks sekunder.

3) Kecenderungan ambivalensi, antara keinginan menyendiri dengan keinginan bergaul, serta keinginan untuk bebas dari dominasi dengan kebutuhan bimbingan dan bantuan dari orang tua.

4) Senang membandingkan kaedah-kaedah, nilai-nilai etika atau norma dengan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan orang dewasa.

5) Mulai mempertanyakan secara skeptic mengenai eksistensi dan sifat kemurahan dan keadilan Tuhan.

6) Reaksi dan ekspresi emosi masih labil

7) Mulai mengembangkan standar dan harapan terhadap perilaku diri sendiri yang sesuai dengan dunia sosial.

8) Kecenderungan minat dan pilihan karer relative sudah lebih jelas.


(47)

Masa remaja (12-21 tahun) merupakan masa peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan masa kehidupan dewasa. Masa remaja sering dikenal dengan masa pencarian jati diri (ego identity). Masa remaja ditandai dengan sejumlah karakteristik penting, yaitu:

1) Mencapai hubungan yang matang dengan teman sebaya 2) Dapat menerima dan belajar peran sosial dengan pria atau

wanita dewasa yang dijunjung tinggi oleh masyarakat

3) Menerima keadaan fisik dan mampu menggunakannya secara efektif

4) Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya

5) Memilih dan mempersiapkan karir di masa depan sesuai dengan minat kemampuannya

6) Menggambarkan sikap positif terhadap pernikahan, hidup berkeluarga dan memiliki anak

7) Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan sebagai warga Negara

8) Mencapai tingkahlaku yang bertanggung jawab secara sosial 9) Memperoleh seperangkat nilai dan system etika sebagai

pedoman dalam bertingkah laku

10)Mengembangkan wawasan keagamaan dan meningkatkan religiusitas. (Desmita, 2012)


(48)

Berdasarkan penjelasan karakteristik usia peserta didik (siswa) diatas dapat ditegaskan bahwa usia anak sekolah dasar (SD) berkisar antara 6-12 tahun, sedangkan usia anak sekolah menengah (SMP) berkisar antara usia 10-14 tahun, dan usia remaja disebut juga usia anak sekolah SMP dan SMA yang berkisar antara usia 12-21 tahun merupakan usia pencarian jati diri (ego identity).

Berdasarkan perbedaan karakteristik usia peserta didik yang berbeda sesuai dengan jenjang pendidikannya, dalam penelitian ini berfokus pada peserta didik (siswa) SMP (MTS). Karakteristik usia siswa SMP (MTS) berkisar umur 12-21 tahun, yang mana usia tersebut termasuk dalam konteks perkembangan masa remaja.

a) Pengertian remaja

Remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa Latin adolescare yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan”. Bangsa primitif dan orang-orang purbakala memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan periode lain dalam rentang kehidupan. Anak dianggap sudah dewasa apabila sudah mampu mengadakan reproduksi (Ali & Asrori, 2006).

Masa remaja adalah masa tanjakan atau masa transisi dari masa kanak-kanak yang mana masih belum bisa dikatakan untuk dewasa. Masa remaja sering disebut Adolesensi artinya menjadi dewasa. Meskipun tidak begitu jelas adanya perbedaan antara


(49)

masa kanak-kanak, namun Nampak adanya gejala yang menunjukkan permulaan remaja. Yaitu timbulnya seksualitas atau pertumbuhan genital. (Monks. Dkk, 2006)

Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik. Pada masa ini sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan anak tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua. (Hurlock, 1992)

Masa remaja adalah masa transisi dalam rentang kehidupan manusia, menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa. (Santrock, 2003)

Masa remaja disebut pula sebagai masa penghubung atau peralihan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada periode ini terjadi perubahan-perubahan besar dan esensial mengenai kematangan fungsi-fungsi rohaniah dan jasmaniah, terutama fungsi seksual. (Kartono, 1995)

Masa remaja merupakan masa transisi perkembangan antara masa anak dan masa ke dewasa, dimulai dari pubertas, yang ditandai dengan perubahan yang pesat dalam berbagai aspek perkembangan, baik fisik maupun psikis. Secara harfiyah pubertas berasal dari bahasa latin pubescence (yang berarti “to


(50)

grow hairy”), yang berarti tumbuhnya bulu, seperti bulu di sekitar kelamin, ketiak, dan muka. Secara istilah, kata pubertas berarti proses pencapaian kematangan seksual dan kemampuan untuk produksi.

Masa remaja disebut juga adolescence, yang dalam bahasa latin berasal dari kata adolescere, yang berarti “to grow into adulthood”. Adolesen merupakan periode transisi dari masa anak ke masa dewasa, dalam mana terjadi perubahan dalam aspek biologis, psikologis, dan sosial. (Yusuf.S dan Sugandhi.N M, 2012)

Remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa Latin adolescare yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan”. Bangsa primitif dan orang-orang purbakala memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan periode lain dalam rentang kehidupan. Anak dianggap sudah dewasa apabila sudah mampu mengadakan reproduksi (Ali & Asrori, 2006).

Berdasarkan pengertian para ahli dapat disimpulkan bahwa masa remaja adalah masa tanjakan atau masa transisi dari masa anak-anak. Masa remaja juga termasuk masa yang akan menuju ke masa dewasa, pada masa ini merupakan masa terjadi perubahan dalam aspek fisik dan psikisnya. Dengan demikian anak usia sekolah menengah merupakan usia remaja, dimana


(51)

dalam usia ini merupakan masa perkembangan dari masa anak-anak.

b) Tahap perkembangan Masa Remaja 1) Perkembangan fisik

Masa remaja yang diawali dengan pubertas, adalah masa kematangan fisik yang sangat cepat, yang meliputi aspek hormonal dan perubahan fisik. (Yusuf. S dan Sugandi. N.M, 2012) aspek hormonal yang mempengaruhi perkembangan fisik remaja adalah kelenjar endoktrin (endoctrine glands), yang melibatkan interaksi antara kelenjar hypothalamus (sebuah struktur dalam porsi otak yang paling tinggi memonitor makan, mnum, dan seks), kelenjar pituitary (kelenjar endoktrin yang penting untuk mengontrol pertumbuhan dan regulasi kelenjar lainnya), dan gonads (kelenjar seks, yaitu testis pada pria dan ovaries pada wanita)

Pertumbuhan fisik adalah perubahan yang berlangsung secara fisk dan erupakan gejala primer dalam pertumbuhan remaja. Perubahan ini meliputi perubahan ukuran tubuh, perubahan proporsi tubuh, munculnya ciri-ciri kelamin primer dan kelamin sekunder. (Fatima.E, 2006)

Menurut Monks dkk, (2006) hubungan antara perkembangan psikososial dan perkembangan fisik, dapat Nampak bahwa perkambangan fisik memberikan


(52)

impuls-impuls baru peda perkembangan psikososial. Jadi hubungan “kualitas” ini berjalan dari aspek fisik ke aspek psikososial. Sebaliknya reaksi individu terhadap perkembangan fisik tergantung lagi dari pengaruh lingkungannya dan dari sifat pribadinya sendiri, yaitu intrpretasi yang diberikan terhadap lingkungan itu. tetapi titik mula pubertas terletak pada fenomena pertumbuhan dan pemasakan fisik.

Menurut Sarlito Wirawan (dalam Fatima, 2006) terdapat urutan perubahan fisik pada anak perempuan adalah sebagai berikut.

a) Terjadinya pertumbuhan tulang-tulang (badan menjadi tinggi, anggota badan menjadi panjang).

b) Terjadi pertumbuhan payudara.

c) Tumbuh bulu yang halus dan berwarna gelap di tangan dan kakinya.

d) Mencapai pertumbuhan ketinggian badan yang maksimal setiap tahunnya.

e) Bulu kemaluan menjadi keriting. f) Terjadi peristiwa masturbasi atau haid. g) Tumbuh bulu-bulu pada ketiak.

Adapun urutan perubahan fisik pada anak laki-laki adalah sebagai berikut.


(53)

b) Testis membesar.

c) Tumbuh bulu berwarna gelap pada kemaluan. d) Terjadi awal perubahan nada suara

e) Mengalami ejakulasi.

f) Bulu kemaluan menjadi keriting.

g) Pertumbuhan tinggi badan mencapai tingkat yang maksimal setiap tahunnya.

h) Tumbuh rambut-rambut halus di wajah (kumis, jambang, dan jenggot)

i) Tumbuh bulu di ketiak. j) Terjadi akhir perubahan suara

k) Rambut-rambut di wajah bertambah tebal dan gelap. l) Tumbuh bulu di dada dan kaki.

Menurut Yusuf dan Sugandi, (2011) perubahan fisik pada remaja pria meliputi

a) Membesarnya ukuran penis dan buah pelir.

b) Tumbuhnya bulu kapuk disekitar kemaluan, ketiak, dan di wajah.

c) Perubahan suara menjadi agak membesar.

d) Terjadinya ejakulasi pertama, biasanya melalui masturbasi/onani atau “wet dream” (mimpi basah).

Sementara perubahan fisik pada remaja wanita ditandai dengan beberapa hal sebagai berikut.


(54)

a) Menstruasi pertama (menarce). b) Mulai membesarnya payudara

c) Tumbuhnya bulu kapuk disekitar ketiak dan kelamin. d) Membesar atau melebarnya ukuran pinggul.

Puncak pertumbuhan fisik masa pubertas adalah pada usia sekitar 11,5 tahun bagi remaja wanita, dan usia 13,5 tahun bagi remaja pria.

Berdasarkan penjelasan para ahli diatas menunjukkan bahwa perkembangan fisik merupakan kematangan fisik dan perubahan fisik ini merupakan perubahan yang perubahan yang sangat tampak perubahannya dari masa anak-anak. Perkembangan fisik ini meliputi perubahan ukuran proporsi tubuh dari perkembangan sebelumnya.

2) Perkembangan kognitif

Menurut Desmita (2012) perkembangan kognitif adalah salah satu aspek perkembangan peserta didik yang berkaitan dengan pengertian (pengetahuan) yaitu semua proses psikologis yang baerkaitan dengan bagaimana individu mempelajari dan memikirkan lingkungannya.

Menurut Yusuf dan Sugandhi perkembangan kognitif adalah perkembangan kemampuan (kapasitas) individu untuk memanipulasi dan mengingat informasi.


(55)

Menurut Piaget (dalam Santrock, 2003) seseorang berkembang melalui empat tahap utama perkembangan kognitif: sensorimotor, praoperasional, operasional konkret, dan operasional formal. Setiap tahap tersebut berkaitan dengan usia dan mengandung cara berfikir yang berbeda. Cara yang berbeda dalam memahami dunialah yang membuat suatu tahap lebih maju daripada yang lainnya; memiliki lebih banyak pengetahuan tidak dengan sendirinya berarti membuat cara berfikir remaja menjadi lebih maju. Menurut Piaget (dalam Santrock, 2003) kognitif seseorang secara kualitatif berbeda pada suatu tahap dibandingkan dengan tahap yang lain.

Piaget (1995; dalam Slavin, 2011) membagi perkembangan kognisi anak-anak dan remaja menjadi 4 tahap: sensori-motor, praoperasi, operasi konkret, dan operasi formal. Piaget (1995; dalam Slavin, 2011) percaya bahwa semua anak melewati tahap-tahap tersebut dalam urutan seperti ini, dan bahwa tidak seorang anak pun dapat melompati satu tahap, walaupun anak-anak yang berbeda melewati tahap-tahap tersebut dengan kecepatan yang agak berbeda.

Menurut Vigotksy (dalam Santrock, 2010; dalam Yusuf dan Sugandhi, 2011) perkembangan kognitif remaja dikemukakan dengan konsep utamanya yaitu “zone of proximal development (ZPD)”, yaitu daerah tugas-tugas yang


(56)

sangat sulit untuk diatasi oleh individu secara sendirian, tetapi baru dapat dicapai apabila mendapat bimbingan atau bantuan dari orang dewasa atau teman sebaya yang lebih terampil. ZPD ini meliputi dua sisi, yaitu batas bawah dan batas atas. Batas bawah adalah tahap pemecahan masalah yang dapat dilakukan oleh remaja sendiri tanpa bantuan orang lain. Sementara batas atas adalah tahap berpikir remaja dalam memecahkan masalah dengan bantuan orang lain (guru atau instruktur). Vigotksy meyakini bahwa perkembangan kognitif, dalam hal ZPD sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial (sosial budaya).

Menurut uraian beberapa ahli diatas dapat diketahui bahwa perkembangan ognitif merupakan cara seseorang untuk memecahkan beberapa msalah yang dihadapi. Dan juga perkembangan kognitif merupakan pengetahuan yang berkembang berdasarkan pengalaman dan proses penyimpanan informasi dalam ingatan.

3) Perkembangan emosi

Emosi dan perasaan adalah dua konsep yang berbeda, tetapi perbedaan keduanya tidak dapat dinyatakan secara tegas. Emosi dan perasaan merupakan gejala emosional yang secara kualitatif berkelanjutan, tetapi tidak jelas batasnya. (Fatimah.E, 2006)


(57)

Menurut Crow & Crow (1958) (dalam Fatimah.E, 2006) pengertian emosi adalah “an emotion, is an effective experience that accompanies generalized inner adjustment and mental and physiological stirredup state in the individual, and that show it self in his evert behavior.” Jadi emosi adalah warna efektif yang kuat dan ditandai oleh perubahan fisik.

Masa remaja dianggap sebagai periode badai dan tekanan, suatu masa saat ketegangan emosi meninggi sebagai akibat perubahan fisik dan kelenjar. Meningginya emosi disebabkan remaja berada di bawah tekanan sosial, dan selama masa kanak-kanak, ia kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan itu. (Fatimah.E, 2006)

Karena berada pada masa peralihan antara masa anak-anak dan masa dewasa, status remaja agak kabur, baik bagi dirinya maupun bagi lingkungannya (Ali & Asrori, 2006).

Semiawan (dalam Ali & Asrori, 2006) mengibaratkan: terlalu besar untuk serbet, terlalu kecil untuk taplak meja karena sudah bukan anak-anak lagi, tetapi juga belum dewasa. Masa remaja biasanya memiliki energi yang besar, emosi berkobar-kobar, sedangkan pengendalian diri belum sempurna.

Remaja juga sering mengalami perasaan tidak aman, tidak tenang, dan khawatir kesepian. Ali & Ansori (2006)


(58)

menambahkan bahwa perkembangan emosi seseorang pada umumnya tampak jelas pada perubahan tingkah lakunya. Perkembangan emosi remaja juga demikian halnya. Kualitas atau fluktuasi gejala yang tampak dalam tingkah laku itu sangat tergantung pada tingkat fluktuasi emosi yang ada pada individu tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita lihat beberapa tingkah laku emosional, misalnya agresif, rasa takut yang berlebihan, sikap apatis, dan tingkah laku menyakiti diri, seperti melukai diri sendiri dan memukul-mukul kepala sendiri.

Berdasarkan paparan para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa perkembangan emosi remaja adalah perubahan perasaan yang dialami oleh remaja yang dipengaruhi oleh perkembangan fisik dan tekanan sosial yang dialami. Perkembangan emosi remaja tidak jauh beda dengan perkembangan emosi pada masa anak-anak, perbedaannya hanyalah terletak pada pola pengendalian emosi dan kesiapan remaja dalam menghadapi emosi.

4) Perkembangan sosial

Menurut Hurlock (1992) perkembangan sosial adalah kemampuan seseorang dalam bersikapa atau tata cara perilakunya dalam berinteraksi dengan unsure sosialisasi di masyarakat.


(59)

Menurut Monks dkk (2006) percepatan perkembangan dalam masa remaja yang berhubungan dengan pemasakan seksualitas, juga mengakibatkan suatu perubahan dalam perkembangan sosial remaja. Sebelum masa remaja sudah ada saling hubungan yang lebih erat antara anak-anak yang sebaya.

Sifat yang khas kelompok anak sebelum pubertas adalah bahwa kelompok tadi terdiri dari sekse yang sama. Persamaan sekse ini dapat membantu timbulnya identitas jenis kelamin dan yang berhubungan dengan itu ialah perasaan identifikasi yang mempersiapkan pembentukan pengalaman identitas. (Monks dkk, 2006)

Menurut Yusuf dan Sugandhi, (2012) perkembangan sosial ini adalah pencapaian kematangan dalam hubungan atau interaksi sosial. Dapat juga diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok, tradisi, dan moral agama.

Dari beberapa pendapat ahli di atas diketahui bahwa perkembangan sosial adalah proses belajar untuk menyesuaikan diri, bertingkah laku atau bersikap dan pencapaian kesuksesan dalah hubungan atau berinteraksi dengan orang lain.


(60)

D. Hubungan Antara Konformitas Teman Sebaya dengan Kedisiplinan Belajar

Kedisiplinan berperan penting dalam pencapaian keberhasilan seseorang dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Begitu pula kedisiplinan belajar sangat diperlukan bagi seorang siswa untuk mencapai tujuan yang diharapkan selama proses belajar. Oleh karena itu kedisiplinan belajar akan membawa dampak positif bagi siswa yang mampu menjalankannya dengan benar. Menurut Slameto (1995) kedisiplinan merupakan salah satu saran dan kunci untuk mencapai kesuksesan dan keberhasilan, untuk itu perlu ditimbulkan kesadaran dari individu tetang perlunya kedisiplinan diri terhadap segala sesuatu yang harus dilakukan.

Disiplin merupakan hal-hal yang sangat penting, terutama bagi orang – orang yang ingin mencapai suatu cita-cita. Orang yang terbiasa hidup dengan sikap yang disiplin makan akan mempunyai program harian dan aturan, dan dia berkomitmen terhadap program yang telah dia buat tersebut. Jika belum terbiasa dengan sikap disiplin maka akan terasa berat, karena itulah disiplin tidak semudah yang dibayangkan, melainkan butuh proses yang cukup panjang serta perjuangan yang sungguh – sungguh.

Salah satu faktor yang berpengaruh dalam pembentukkan disiplin belajar yaitu konformitas teman sebaya. O’Sears (1985) menyebutkan bahwa konformitas merupakan suatu perilaku yang ditampilkan oleh


(61)

seseorang karena disebabkan orang lain juga menampilkan perilaku tersebut.

Konformitas (conformity) muncul ketika individu meniru sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan ada tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan oleh mereka. Tekanan untuk mengikuti teman sebaya menjadi sangat kuat pada masa remaja. Remaja terlibat dengan tingkah laku sebagai akibat dari konformitas yang negatif, dengan menggunakan bahasa yang asal-asalan, mencuri, mencorat coret dan mempermainkan orang tua serta guru mereka. Berndt menemukan konformitas remaja terhadap perilaku antisosial yang dimiliki oleh teman sebaya menurun pada tingkat akhir masa sekolah menengah dan kesesuaian antara orang tua dan teman sebaya mulai meningkat dalam banyak hal. Hampir semua remaja mengikuti tekanan teman sebaya dan ukuran lingkungan social (Santrock, 2003).

E. Kerangka Teori

Menurut Desmita (2012), dilihat dari tahapan perkembangan yang disetujui oleh banyak ahli, anak usia sekolah menengah (SMP) berada pada tahap perkembangan pubertas (10-14 tahun). Ketika anak memasuki masa pubertas, sebenarnya ia telah memiliki kemampuan motorik dasar, baik motorik kasar maupun motorik halus sebagai modal utama dalam mengikuti berbagai aktivitas di sekolah. Masa SMP juga merupakan masa


(62)

remaja (12-21 tahun) merupakan masa peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan masa kehidupan orang dewasa.

Kedisiplinan berperan penting dalam pencapaian keberhasilan seseorang dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Begitu pula kedisiplinan belajar sangat diperlukan bagi siswa untuk mencapai tujuan yang diharapkan selama proses belajar. Oleh karenanya kedisiplinan belajar akan membawa dampak positif bagi siswa yang menjalankannya dengan baik.

Disiplin menurut Hodges (Helmi, 1996) dapat diartikan sebagai sikap seseorang atau kelompok yang berniat untuk mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan. Dalam kaitannya dengan belajar, pengertian disiplin belajar adalah suatu sikap dan tingkah laku yang menunjukkan ketaatan siswa terhadao peraturan di sekolah.

Dalam penelitian “hubungan antara kecerdasan emosi dan interaksi teman sebaya denagn kedisiplinan siswa”. Hasil koefisien antara variabel kecerdasan emosi dengan kedisiplinan siswa sebesar 0,669 dengan p sebesar 0,000 (p<0,01) ini berarti ada hubungan positif yang sangat signifikan antara kecerdasan emosi dengan kedisiplinan siswa dengan demikian hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini diterima. Sedangkan koefesien korelasi antara variabel interaksi teman sebaya dengan kedisiplinan siswa sebesar 0,0490 dengan p sebesar 0,001 (p<0,01) ini berarti ada hubungan positif yang sangat signifikan antara interaksi teman


(63)

sebaya dengan kedisiplinan siswa, dengan demikian hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini diterima. Sumbangan efektif variabel inteligensi dan dukungan orang tua dengan kesiapan sekolah sebesar 44,9%.

Sedangkan belajar menurut Gronbach di dalam bukunya Educational Psychology (Syubrata, 2013) menyatakan bahwa : learning is shown by a change in behavior as a result of experience. Jadi menurut Gronbach belajar yang sebaik-baiknya adalah dengan mengalami ; dan dalam mengalami itu si pelajar mempergunakan pancainderanya.

Slameto (2010) menyatakan belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.

Disiplin belajar adalah predisi posisi (kecenderungan) suatu sikap mental untuk mematuhi aturan, tata tertib, dan sekaligus mengendalikan diri, menyesuaikan diri terhadap aturan-aturan yang berasal dari luar sekalipun yang mengekang dan rmenunjukkan kesadaran akan tanggung jawab terhadap tugas dan kewajiban (Agus, 1987)

Faktor-faktor yang menyebabkan adanya kedisiplinan belajar siswa (syah, 2013) secara global, faktor internal, faktor eksternal, dan faktor pendektan belajar. Didalam faktor initernal (faktor dari dalam diri siswa) terdiri dari keadaan atau kondisi jasmani dan rohani siswa. Faktor


(64)

eksternal (faktor dari luar siswa) terdiri dari kondisi lingkungan disekitar siswa, seperti lingkungan sosial dan lingkungan non-sosial. Didalam lingkungan sosial seperti guru, staf, teman-teman sebaya dapat mempengaruhi semangat belajar siswa. O’Sears (1985) menyebutkan bahwa konformitas merupakan suatu perilaku yang ditampilkan oleh seseorang karena disebabkan orang lain juga menampilkan perilaku tersebut.

Menurut Baron & Byrne (2003) menjelaskan konformitas bagaimana individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka dengan cara yang dipandang wajar atau dapat diterima oleh kelompok atau masyarakat agar sesuai dengan norma sosial yang ada.

Konformitas (conformity) muncul ketika individu meniru sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan ada tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan oleh mereka. Tekanan untuk mengikuti teman sebaya menjadi sangat kuat pada masa remaja. Remaja terlibat dengan tingkah laku sebagai akibat dari konformitas yang negatif, dengan menggunakan bahasa yang asal-asalan, mencuri, mencorat coret dan mempermainkan orang tua serta guru mereka. Berndt menemukan konformitas remaja terhadap perilaku antisosial yang dimiliki oleh teman sebaya menurun pada tingkat akhir masa sekolah menengah dan kesesuaian antara orang tua dan teman sebaya mulai meningkat dalam banyak hal. Hampir semua


(65)

remaja mengikuti tekanan teman sebaya dan ukuran lingkungan social (Santrock, 2003).

Beberapa fenomena menggambarkan kedisiplinan di sekolah yang kerap kali dilanggar oleh siswa, baik secara individu maupun secara kelompok. Hubungan dengan teman sebaya yang kurang baik dapat memberikan pengaruh negatif begitu pula sebaliknya hubungan dengan teman sebaya yang positif dapat memberikan pengaruh positif pula. Interkasi dengan teman sebaya yang kurang baik dapat memunculkan sikap dan perilaku yang kurang baik seperti melanggar tatatertib serta peraturan yang berlaku di sekolah. Individu memiliki kecenderungan untuk selalu menyamakan perilaku dalam dirinya dengan perilaku kelompoknya, sehingga dapat diterima keberadaanya oleh kelompok agar terhindar dari celaan, ketersaingan, maupun cemoohan (Baron & Byrne, 2005) .

Berdasarkan uraian diatas maka kemungkinan kedisiplinan belajar dipengaruhi oleh konformitas teman sebaya. Berikut ini adalah penjelasan berupa skema kerangka teoritis adalah sebagai berikut:

Gambar 1 Konformitas Teman

Sebaya

Kedisplinan Belajar Siswa


(66)

Skema Hubungan Konformitas Teman Sebaya dengan Kedisiplinan Belajar Sisiwa

F. Hipotesis

Hipotesis yang dimunculkan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan antara konformitas teman sebaya dengan kedisiplinan siswa SMP.


(67)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Variabel Dan Definisi Operasional 1. Variabel

Menurut Sugiyono (2011), variabel adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. Kerlinger (1973) menyatakan bahwa variabel adalah konstruk atau sifat yang akan dipelajari. Contohnya missal, tingkat aspirasi, penghasilan, pendidikan, status sosial, jenis kelamin, golongan gaji, produktivitas kerja, dan lain-lain. Dibagian lain Kerlinger menyatakan bahwa variabel dapat dikatakan sebagai suatu sifat yang diambil dari suatu nilai yang berbeda. Dengan demikian variabel itu merupakan suatu yang bervariasi.

Dalam penelitian ini menggunakan dua variabel, yang diidentifikasikan sebagai berikut:

a. Variabel Independen : variabel ini sring disebut sebagai variabel stimulus, predictor, antecedent. Dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai variabel bebas. Variabel bebas (X) adalah variabel yang mempengaruhi atau menajdi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (Y). Dalam penelitian ini variabel bebas adalah konformitas teman sebaya (variabel X).


(68)

b. Variabel Dependen : sering disebut sebagai variabel output, kriteria, konsekuen. Dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai variabel terikat. Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadiakibat, karena adanya variabel bebas. Dalam penelitian ini variabel terikat adalah kedisiplinan belajar ( Variabel Y).

2. Definisi Operasional a. Kedisiplinan belajar

Kedisiplinan belajar adalah suatu sikap, tingkah laku dan perbuatan siswa untuk melakukan aktivitas belajar yang sesuai dengan keputusan, peraturan-peraturan dan norma-norma yang telah ditetapkan bersama, baik persetujuan tertulis maupun tidak tertulis antara siswa dengan guru di sekolah maupun dengan orang tua di rumah untuk mendapatkan penguasaan pengetahuan, kecakapan, dan kebijaksanaan.

b. Konformitas teman sebaya

Konformitas teman sebaya adala perilaku individu yang mengikuti tingkah laku orang lain yang sama tingkat kedewasaan dan umurnya.

B. Populasi, Sampel Dan Teknik Sampling a. Populasi

Menurut Sugiyono Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas : obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik


(69)

tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Menurut Ismiyanto, populasi adalah keseluruhan subjek atau totalitas subjek penelitian yang dapat berupa; orang, benda, / suatu hal yang di dalamnya dapat diperoleh dan atau dapat memberikan informasi (data) penelitian. Arikunto – Populasi adalah keseluruhan objek penelitian. Apabila seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka penelitiannya merupakan penelitian populasi.

Populasi yang diambil dalam penelitian adalah siswa kelas VII SMP Negeri x di Sidoarjo yang berjumlah 268 siswa.

b. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.

Apabila responden dalam populasi lebih dari 100 maka sampel yang diambil 10%-15% atau 20%-25% atau lebih, sebaliknya jika responden populasi kurang dari 100, maka semua responden dalam populasi diambil sebagai sampel sehingga penelitiannya menjadi penelitian populasi (Arikunto, 2006).

Karena populasi lebih dari 100 maka peneliti akan mengambil sampel sebesar 25% dari populasi siswa kelas VII SMP Negeri x di


(1)

83

negatif (-) artinya semakin tinggi konformitas teman sebaya maka semakin rendah kedisiplinan belajar pada siswa SMP Negeri 2 Tarik. Dengan memperhatikan harga koefisien korelasi sebesar -0,676 berarti sifat korelasinya sangat kuat.


(2)

BAB V

PENUTUP

A. Penutup

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara konformitas teman sebaya dengan kedisiplinan belajar dengan signifikansi 0,000 < 0,05 yang artinya ada hubungan antara kedua variabel, akan tetapi arah hubungannya negatif yaitu -0,676. Sehingga dapat diartikan semakin tinggi konformitas teman sebaya maka semakin rendah kedisiplinan belajar

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti memberikan beberapa saran yang perlu dipertimbangkan oleh berbagai pihak berkaitan konformitas teman sebaya dengan kedisiplinan belajar.

1. Bagi pihak sekolah, khususnya guru dan kepala sekolah diharapkan dapat mengoptimalkan semua elemen sekolah seperti wali kelas, guru pengajar dan guru BK untuk meningkatkan kedisiplinan siswa dengan cara membuat peraturan peraturan yang mendisiplinkan siswa belajar di sekolah serta memberikan sanksi apabila ada siswa melanggar peraturan tersebut. Di samping itu, pihak sekolah diharapkan dapat memberikan fasilitas yang menunjang siswa-siswi dalam


(3)

mengembangkan potensi diri serta memotivasi siswa untuk mencapai tingkat kedisiplinan belajar yang tinggi.

2. Bagi siswa, diharapkan dapat mempertahankan dan lebih meningkatkan kedisiplinan belajar dengan cara menggunakan waktu belajar dengan baik, patuh dan disiplin dengan peraturan di rumah maupun sekolah, serta terus aktif mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, les ataupun kursus-kursus yang dapat menunjang peningkatan prestasi. Untuk perilaku meniru sebaiknya tirulah hal-hal yang baik. Agar tidak mempengaruhi disiplin belajar.

3. Saran untuk peneliti selanjutnya pembuatan instrument konformitas teman sebaya yang perlu dibenahi dan disusun sesuai dengan definisi operasional serta kontrak yang ada.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Agus, 2016, Re: Pengertian dan Hakikat Disiplin Belajar. Diakses dari https://aersmile159.wordpress.com/e-learning/pembelajaran/pengertian dan hakikat-disiplin-belajar/ Jam 18.30

Ahmadi, A, 1999, Psikologi Belajar. PT. RINEKA CIPTA. Jakarta

Angela Lee Duckworth dan Martin E.P. Seligman, 2006, Self Discipline Test Edge: Gender In Self-Discipline, Grades, and Achievement Test Score, vol 98 no 1, University of Pensylvania

Aqib, Zainal, 2011, Pendidikan karakter Membangun Perilaku Positif Anak Bangsa,Yrama Widya, Bandung

Azwar, S. 2002. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ________. 2008. Reliabilitas & Validitas. Cetakan kelima. Yogyakarta: Pustaka ________, 2003, Metode PenelitianI, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Baharuddin dan Esa, 2008, Teori Belajar dan Pembelajaran, AR-RUZZ MEDIA, Jogjakarta

Baron, R.A & Byrne, D., 2005, Psikologi sosial, Jilid 2, Ed. 10, PENERBIT ERLANGGA, Jakarta

Conny R. Semiawan, 2009, Penerapan Pembelajaran Pada Anak, Indeks, Jakarta Daniel B.M. Haun & Micheal Tomasello, 2011, Conformity to Peer Pressure

inPreschool Children, Vol 82 No 6

Daniel B.M. Haun, dkk, 2014, Children Conform to the Behavior of Peers; Other Great Apes Stick With What They Know, vol 25 (12), University of Jena Darsono, Max, 2000, Belajar dan Pembelajaran, IKIP Semarang Press, Semarang David G.Myers, 2012, Psikologi Sosial, Jilid 2, SALEMBA HUMANIKA, Jakarta

Djamarah, Syaiful B., 2005, GURU DAN ANAK DIDIK dalam Interaksi Edukatif, PT RINEKA CIPTA, Jakarta

Desmita, 2012, Psikologi Perkembangan Peserta Didik, cetakan ke 4, PT REMAJA ROSDAKARYA, Bandung

Gitome W. Josephine, dkk, 2013 Correlation Between Student’s Dicipline and Performance in the Kenya Certificate of Secondary Education, International Journal of Education and research, vo 1 No 8 August 2013, University Kenya


(5)

Hamalik, Oemar, 2012, Psikologi Belajar & Mengajar, SINAR BARU ALGESINDO, Bandung

Hurlock, B. Elizabet, 1992, Psikologi Perkembangan Anak Jilid 2, Terjemahan Mead Meitasari Tjandrasa. PT.ERLANGGA. Jakarta

_________________, 1999, Psikologi Perkembangan, Terjemahan Isti Widayanti dan Soejarwo, PT.ERLANGGA, Jakarta

Miranda P Lisa, 2017, Pengaruh Konformitas Teman Sebaya dan Minat Belajar Terhadap Perilaku Menyontek Pada Siswa Kelas X SMA NEGERI 3 BONTANG, vol 5 (1), Mahasiswa Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman

Muhid, A. 2012, Analisis Statistik, Zifatama, Sidoarjo

Muniroh. L Nur, 2013, Hubungan Antara Kontrol Diri dan Perilaku Disiplin Pada Santri Di Pondok Pesantren, skripsi, Progam Stugi Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Pujawati, Zulfa, 2016, Hubungan Kontrol Diri dan Dukungan Orang Tua dan Perilaku Disiplin Pada Santri di Pondok Pesantren Darussa’adah Samarinda, vol 4 no 2, Mahasiswa Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman

Rahmawati D, Elia, 2012, Hubungan Antara Kedisiplinan Dengan Perilaku Agresif Siswa SMP Murni 1 Surakarta, Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas Muhammdiyah Surakarta

Rifa’I, Achmad dan Cathrina tri Anni, 2011, Psikologi Pendidikan, UNNES Pres, Semarang

Rohana, 2015, Hubungan Self efficacy dan Konformitas Teman Sebaya TerhadapPerilaku Menyontek Siswa SMP Bhakti Loa Janan, eJurnal Psikologi, Volume 3, Nomor 3, 2015., Universitas Mulawarman

Rubino, 1990, Penetapan Teori-teori Belajar, FKIP UMS, Surakarta

Santrock, J. W., 2003, ADOLESCENCE Perkembangan Remaja, ERLANGGA, Jakarta

____________, 2007, Child Development (diterjemahkan Kuswanti & Rachmawati, Perkembangan Anak), ed 7, ERLANGGA, Jakarta

Sardiman AM, 2011, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, PT RAJAGRAFINDO PERSADA, Jakarta


(6)

Satwika D Mentari, RA. 2015, Hubungan Antara Kelompok Teman Sebaya dengan Disiplin Belajar Pada Siswa SMK YP Gajah Mada Palembang, Jurnal Psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Bina Darma Palembang Setianingsih, Dina, 2007, Perbedaan Kedisiplinan Belajar Siswa Ditinjau Dari

Pola Asuh Orang Tua, Skripsi, Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta

Siregar, S., 2013, Metode Penelitian Kuantitatif, Kencana Prenamedia Group: Jakarta

Slameto, 2010, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. RINEKA CIPTA, Jakarta

Suryabrata, Sumadi, 2013, Psikologi Pendidikan, Cetakan ke 20, RAJAWALI PERS, Jakarta

Syah, Muhibbin, 2013, Psikologi Belajar, Cetakan ke 13, Rajawali Pers, Jakarta Taylor, S E., Peplau, L A, & Sears, David O., 2009, Psikologi Sosial, Edisi ke 12,

KENCANA, Jakarta

Tu’u, Tulus, 2004. Peran Disiplin Pada Perilaku dan Prestasi Siswa, PT GRAMEDIA WIDISARANA INDONESIA, Jakarta

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1 . www.hukumonline.com (7 November 2016, Jam 09.25)

Wati S Rina,2012, Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dan Interaksi Teman Sebaya Dengan Kedisiplinan Siswa, Sripsi, Fakultas Psikologi, Universitas Muria Kudus