PERAN PUBLIK PEREMPUAN SEBAGAI ANGGOTA LEGISLATIF DALAM PANDANGAN KIAI PENGASUH PONDOK PESANTREN DI BANGKALAN DAN KH. SAHAL MAHFUDH.

(1)

PERAN PUBLIK PEREMPUAN SEBAGAI ANGGOTA

LEGISLATIF DALAM PANDANGAN KIAI PENGASUH

PONDOK PESANTREN DI BANGKALAN

DAN KH. SAHAL MAHFUDH

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat

Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Ilmu Keislaman Konsentrasi Shariah

Oleh

Achmad Ghufron NIM F1.2.2.12.138

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA


(2)


(3)


(4)


(5)

ABSTRAK

Achmad Ghufron, “Peran Publik Perempuan sebagai Anggota Legislatif dalam Pandangan Kiai Pengasuh Pondok Pesantren di Bangkalan dan KH. Sahal Mahfudh”

Berkaitan dengan peran publik perempuan sebagai anggota legislatif, KH. Sahal Mahfudh memperbolehkan perempuan menjadi anggota legislatif, bahkan beliau sangat mendorong perempuan untuk ikut berkiprah di ruang publik, termasuk juga menjadi anggota legislatif. Pandangan seperti itu tentunya akan memberikan kesempatan yang lebih luas bagi perempuan untuk berkiprah sebagai anggota legislatif. Fenomena yang kontradiktif terjadi di Bangkalan di mana tingkat elektabilitas anggota legislatif perempuan di Kabupaten Bangkalan masih sangat rendah.

Kiai sebagai rujukan masyarakat untuk meminta fatwa keagamaan menjadi tokoh yang dipertanyakan dalam hal ini, mengingat Bangkalan merupakan salah satu basis pondok pesantren di Jawa Timur, apakah para kiai di Bangkalan memang tidak menyetujui keberadaan anggota legislatif dari kalangan perempuan atau sependapat dengan pandangan KH. Sahal Mahfudh yang memperbolehkan perempuan menjadi anggota legislatif.

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan: 1) Bagaimana persamaan dan perbedaan antara pandangan kiai pengasuh pondok pesantren di Bangkalan dengan pandangan KH. Sahal Mahfudh tentang peran publik perempuan sebagai anggota legislatif? 2) Bagaimana kesesuaian antara pandangan kiai pengasuh pondok pesantren di Bangkalan dengan pandangan KH. Sahal Mahfudh tentang peran publik perempuan sebagai anggota legislatif ?

Untuk menjawab kedua permasalahan tersebut, dalam penelitian ini penulis memilih menggunakan penelitian kualitatif dengan teknik wawancara dan studi dokumen, yang kemudian dianalisa dengan menggunakan teknik analisis deskriptif-verifikatif, agar data yang diperoleh lebih lengkap, lebih mendalam dan kredibel.

Temuan penelitian menunjukkan bahwa ada persamaan pandangan, yaitu memperbolehkan perempuan menjadi anggota legislatif dan secara umum

argumentasi yang digunakan hampir sama, yaitu ayat al-Qur’an tentang

amar-ma’ruf nahi munkar serta tidak ada larangan dalam hadith, dengan syarat harus

tetap menjaga etika-etika agama. Sedangkan perbedaannya terletak pada tipologi

pemikiran mereka dan penggunaan maslahah al-amm>ah yang menjadi salah satu

basis pemikiran KH. Sahal Mahfudh. Selanjutnya terlihat adanya kesesuaian, yaitu memperbolehkan perempuan menjadi anggota legislatif. Akan tetapi, dari argumentasi yang digunakan terlihat bahwa pandangan KH. Sahal Mahfudh lebih argumentatif serta terdokumentasi dalam kitab dan beberapa buku hasil karya tulis beliau. Sedangkan pemikiran kiai pengasuh pondok pesantren di Bangkalan belum terdokumentasi dalam bentuk karya tulis.

Kata Kunci : Peran publik, perempuan, anggota legislatif, pandangan, kiai pengasuh pesantren di Bangkalan, KH. Sahal Mahfudh


(6)

(7)

ix   

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PERSETUJUAN TIM PENGUJI ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

ABSTRAK ... vi

UCAPAN TERIMA KASIH ... vii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I : PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.RumusanMasalah ... 8

C.Tujuan Penelitian ... 8

D.Manfaat Penelitian ... 9

E.Kerangka Teoritik ... 9

F. Penelitian Terdahulu ... 16

G.Metode Penelitian ... 19

H. Sistematika Bahasan... 22

BAB II : KERANGKA TEORITIK TENTANG PERAN PUBLIK PEREMPUAN SEBAGAI ANGGOTA LEGISLATIF DALAM PANDANGAN KH. SAHAL MAHFUDH A.Kedudukan dan Peran Perempuan dalam Ruang Domestik dan Publik... 23


(8)

x   

C. Lembaga Legislatif ... 40 D. Pandangan KH. Sahal Mahfudh tentang Peran Publik perempuan sebagai Anggota Legislatif... 46 BAB III : PERAN PUBLIK PEREMPUAN SEBAGAI ANGGOTA

LEGISLATIF DALAM PANDANGAN KIAI PENGASUH PONDOKPESANTREN DI BANGKALAN

A. Kondisi Geografis Kabupaten Bangkalan ... 65 B. Gambaran Umum Pondok Pesantren di Bangkalan. ... 69 C. Pandangan Kiai Pengasuh Pondok Pesantren di Bangkalan 

tentang Peran Publik Perempuan sebagai Anggota Legislatif ... 75  BAB IV:KESESUAIAN PANDANGAN KIAI PENGASUH PONDOK

PESANTREN DI BANGKALAN TENTANG PERAN PUBLIK

PEREMPUAN SEBAGAI ANGGOTA LEGISLATIF

DENGAN FIQH SOSIAL

A.Analisis Persamaan dan Perbedaan Pandangan Kiai Pengasuh

Pondok Pesantren di Bangkalan dan KH. Sahal Mahfudh ... 104 B.Analisis Kesesuaian Pandangan Kiai Pengasuh Pondok Pesantren di Bangkalan dan KH. Sahal Mahfudh ... 109 BAB V: PENUTUP

A.Kesimpulan ... 121 B.Saran ... 122 DAFTAR PUSTAKA


(9)

xi   


(10)

   

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Posisi perempuan sering dihadapkan dengan posisi laki-laki. Perempuan selalu diletakkan pada lingkungan domestik yang berhubungan dengan urusan keluarga dan kerumahtanggaan, sementara laki-laki sering diletakkan pada lingkungan publik, yang berhubungan dengan urusan-urusan di luar rumah.1

Diferensiasi peran antara laki-laki dan perempuan bersumber dari kekhususan komposisi kimia dalam tubuh dan struktur anatomi kedua jenis makhluk tersebut. Dalam pandangan teori ini, hormon testosteron lebih banyak terkandung dalam darah pria dari pada wanita, sedangkan kebalikannya hormon estrogen lebih banyak terkandung dalam darah wanita dari pada pria. Oleh karena itu, kemampuan aktivitas sosial dan intelektual laki-laki dipercaya lebih tinggi dari pada perempuan. Selain itu, ide subordinasi ini secara teologis juga mendapat justifikasi dari mitologis tentang penciptaan Hawa sebagai perempuan pertama.2

Konsekuensi dari adanya konsepsi mitologis ini pada tahap tertentu membuka ruang seluas-luasnya pada budaya laki-laki (patriarki) dalam relasi       

1 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina,

1999), 86.

2 Amelia Fauzia, et al., Tentang Perempuan: Wacana dan Gerakan (Jakarta: Gramedia Pustaka


(11)

   

sosial keagamaan. Budaya ini memiliki tiga asumsi dasar. Pertama, bahwa manusia awal adalah laki-laki, yang darinya perempuan diciptakan, oleh karena itu, perempuan secara logis adalah makhluk sekunder. Kedua, perempuan adalah makhluk pertama yang berbuat dosa, karena perempuanlah yang menggoda Adam sehingga terusir dari surga. Ketiga, perempuan bukan saja diciptakan dari laki-laki, tetapi juga diciptakan untuk laki-laki, oleh karena itu, kehadirannya di dunia bersifat instrumental bagi kepentingan laki-laki.3

Menghadapi dominasi nilai-nilai budaya patriarki dan situasi diskriminatif, agenda perempuan dalam politik hendaknya dimulai dari kegiatan-kegiatan penyadaran (awareness rising). Terutama mengubah cara pandang dan pola pikir (mindset) seluruh masyarakat tentang prinsip-prinsip demokrasi yang menjamin kesetaraan, hak asasi manusia, supremasi hukum dan keadilan. Namun persoalannya tidak banyak perempuan yang tertarik pada politik. Selain itu, karena adanya pengkondisian secara turun-temurun yang menempatkan laki-laki pada wilayah publik dan perempuan dalam wilayah domestik. Dunia politik selalu digambarkan berkarakter maskulin: keras, rasional, kompetitif, tegas, serba kotor dan menakutkan sehingga hanya pantas bagi laki-laki. Sebaliknya, ruang domestik berkarakter feminin: lemah lembut, emosional, penurut, pengalah, seakan hendak meyakinkan bahwa

      


(12)

   

tugas tersebut cocok dan mulia bagi perempuan sebagai istri, ibu dan pengurus rumah tangga.4

Seiring dengan berubahnya cara pandang masyarakat terhadap peran dan posisi perempuan di tengah-tengah masyarakat, maka sebagaimana laki-laki, banyak perempuan yang berkarir baik di kantor pemerintah maupun swasta, bahkan ada yang berkarir di bidang kemiliteran dan kepolisian. Dalam kehidupan modern, perempuan dapat bekerja dan berkarir di mana saja selagi ada kesempatan. Ada yang berkarir di bidang ekonomi, di bidang sosial budaya dan pendidikan, bahkan ada pula yang terjun di bidang politik, misalnya menjadi presiden, menteri, anggota DPR, MPR dan lain-lain.5

Seiring dengan transisi yang sedang bergulir di Indonesia, berbagai ide tentang perubahan juga terus menguat. Salah satu kebijakan dalam pemilu legislatif di Indonesia adalah adanya kuota 30 persen keterwakilan perempuan sebagai anggota legislatif. Dalam Undang-Undang Nomer 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-Undang Nomer 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dinyatakan bahwa kuota keterlibatan perempuan dalam politik adalah sebesar 30 persen, terutama untuk duduk di parlemen. Pasal 53 Undang-Undang Nomer 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD juga menyatakan bahwa daftar bakal calon peserta pemilu harus memuat sedikitnya 30 persen keterwakilan perempuan.6

      

4 Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan (Jakarta: Mizan

Pustaka, 2005), 276.

5 Huzaemah T. Yanggo, Fiqh Wanita Kontemporer (Jakarta: Almawardi Prima, 2001), 93.

6“Kuota 30 Persen Perempuan dalam Politik” dalam


(13)

   

Meskipun kuota 30 persen perempuan sudah terpenuhi dan perempuan diberi kesempatan yang sama untuk menjadi anggota legislatif sebagaimana kaum laki-laki, tingkat elektabilitas caleg perempuan di Bangkalan masih sangat rendah, terbukti dengan minimnya jumlah anggota legislatif perempuan yang terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Bangkalan. Pada periode 2004-2009 jumlah anggota legislatif perempuan di DPRD Kabupaten Bangkalan hanya 2 orang, periode 2009-2014 hanya 1 orang, sedangkan pada periode 2014-2019 tidak ada seorang pun caleg perempuan yang terpilih.7 Adapun dari Dapil Jatim XI (wilayah Madura) tidak ada satu pun caleg perempuan yang terpilih di DPRD Jawa Timur periode 2014-2019.8 Demikian halnya keterwakilan perempuan di DPR dari dapil Jatim XI (Madura), dari delapan orang yang terpilih semuanya didominasi oleh laki-laki.9

Bangkalan merupakan kabupaten yang penduduknya mayoritas Islam. Hal ini tidak lepas dari peran Syaichona Kholil yang menjadi pelopor pesatnya perkembangan dan peradaban Islam di Bangkalan. Sebagai salah satu basis pendidikan pesantren NU di Jawa Timur, saat ini terdapat sekitar 208 pondok pesantren di Bangkalan, baik pesantren salaf murni maupun pesantren dengan kombinasi salaf-khalaf. Sebagian besar pondok pesantren       

7 Rachmat Agustiawan, Wawancara, Bangkalan, 2 Juni 2014.

8Diday Rosadi “Keterwakilan Perempuan di DPRD Jatim hanya 15 Persen” dalam

http// www.bangsaonline.com/berita/2109/keterwakilan-perempuan-di-dprd-jatim-hanya-15-persen/browsefrom=mobile (14 Mei 2014).

9 Bambang Budiono, “Ini 8 Caleg DPR Terpilih dari Dapil Jatim XI (Madura), 6 Wajah Baru”

dalam http://www.sayangi.com/pemilu/caleg/read/22776/ini-8-caleg-dpr-terpilih-dapil-jatim-xi-madura-6-wajah-baru (15 Mei 2014).


(14)

   

di Bangkalan merupakan kombinasi salaf-khalaf, dengan perbandingan 70% pondok pesantren dengan kombinasi salaf-khalaf dan 30% pondok pesantren salaf murni.10

Kiai sebagai pengasuh di pondok pesantren menjadi figur sentral dalam memberikan transformasi ilmu keagamaan kepada para santrinya serta fatwa keagamaan bagi umat (masyarakat). Pada saat ini ada sekitar 10 kiai yang berpengaruh di Bangkalan. Dari 10 kiai tersebut, peneliti mengambil empat kiai sebagai subjek penelitian, yaitu KH. Nuruddin A. Rahman, KH. Imam Buchori Cholil, KH. Abdullah Chon Tabrani dan KH. Mas Abdul Adzim Cholili. Empat kiai yang menjadi subjek penelitian di atas cukup berpengaruh dan dianggap dapat mewakili pandangan para kiai di Bangkalan, karena memiliki keluasan ilmu agama, mempunyai jumlah santri yang cukup besar, mempunyai pengaruh bagi masyarakat Bangkalan dan berasal dari latar belakang (background) yang berbeda. Secara umum pemikiran kiai di Bangkalan dikelompokkan menjadi 2, yaitu formalistik dan realistik.

Menurut M. Syafi’i Anwar, ada enam bentuk tipologi pemikiran politik cendikiawan muslim, antara lain: formalistik, yaitu pemikiran yang cenderung menggunakan pendekatan literal dan tekstual dalam memberikan gagasan sosial politik. Substantifistik, yaitu pemikiran yang mementingkan substansi dari nilai-nilai Islam dalam aktivitas politik. Transformatif, yaitu pemikiran yang berpandangan bahwa misi utama Islam adalah kemanusiaan,       


(15)

   

sehingga Islam harus menjadi kekuatan untuk memotivasi dan mentransformasikan masyarakat dalam berbagai aspeknya. Totalistik, yaitu pemikiran yang menganggap bahwa doktrin Islam bersifat total (ka>ffah). Idealistik, yaitu pemikiran yang bertolak dari pandangan pentingnya perjuangan umat untuk berorientasi pada tahapan menuju Islam cita-cita (ideal Islam). Realistik, yaitu pemikiran yang mengaitkan dimensi substansi ajaran dengan konteks sosio kultural masyarakat pemeluknya.11

Figur kiai identik dengan pemahamannya yang luas terhadap kitab fiqh klasik atau yang biasa dikenal dengan istilah kitab kuning. Fiqh sebagai produk Hukum Islam tentu mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat yang melingkupinya, sedangkan dari masa ke masa kondisi sosial masyarakat terus mengalami perubahan. Namun konteks lingkungan seperti itu kurang diperhatikan di kalangan NU, mereka lebih terikat mendalami ketentuan-ketentuan teks kitab-kitab fiqh dari pada upaya penelusuran faktor-faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya ketentuan-ketentuan tersebut.12 Berbeda dengan KH. Sahal Mahfudh yang menjadikan fiqh sebagai solusi dalam menjawab problem sosial kemasyarakatan baik dalam aspek ekonomi, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, kependudukan dan kebudayaan, sehingga fiqh menjadi aktual dan relevan dengan kebutuhan dan tantangan zaman.

      

11 M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian tentang Cendikiawan

Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina,1995), 144-184.

12Jamal Ma’mur Asmani, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudh antara Konsep dan Implementasi


(16)

   

Cara pandang yang sedikit berbeda dalam menjawab persoalan Hukum Islam antara mayoritas ulama NU, termasuk di dalamnya para kiai pengasuh pondok pesantren di Bangkalan dengan KH. Sahal Mahfudh dalam masalah-masalah tertentu akan menghasilkan pendapat yang berbeda, tidak menutup kemungkinan dalam menyikapi keterlibatan perempuan sebagai anggota legislatif.

Berkaitan dengan peran publik perempuan sebagai anggota legislatif, KH. Sahal Mahfudh memperbolehkan perempuan menjadi anggota legislatif, tetapi perempuan harus menyadari kodratnya sebagai seorang ibu dan istri bagi suaminya, serta harus tetap menjaga etika-etika agama. Beliau sangat mendorong perempuan untuk ikut berkiprah di ruang publik, termasuk juga menjadi anggota legislatif, sebagaimana yang dicontohkan oleh istri beliau yang pernah menjadi anggota DPRD Pati dan anggota DPD perwakilan Jawa Tengah.

Pandangan KH. Sahal Mahfudh di atas menjadi hal yang sangat penting untuk dijadikan sebagai acuan dalam meneliti lebih jauh pandangan kiai pengasuh pondok pesantren di Bangkalan tentang peran publik perempuan sebagai anggota legislatif, mengingat masih rendahnya tingkat elektabilitas anggota legislatif perempuan di Kabupaten Bangkalan, bahkan tidak ada satu pun caleg dari perempuan yang terpilih pada pemilu legislatif tahun 2014, dengan meneliti terlebih dahulu pandangan kiai pengasuh pondok pesantren di Bangkalan, kemudian menganalisa kesesuaian pandangan kiai pengasuh pondok pesantren di Bangkalan tersebut dengan pandangan KH.


(17)

   

Sahal Mahfudh, serta mencari akar permasalahan rendahnya tingkat elektabilitas perempuan sebagai anggota legislatif di Bangkalan, apakah ada korelasinya dengan pandangan (fatwa keagamaan) dari kiai pengasuh pondok pesantren di Bangkalan atau tidak. Tesis ini berjudul “Peran Publik Perempuan sebagai Anggota Legislatif dalam Pandangan Kiai Pengasuh Pondok Pesantren di Bangkalan dan KH. Sahal Mahfudh”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana persamaan dan perbedaan antara pandangan kiai pengasuh pondok pesantren di Bangkalan dengan pandangan KH. Sahal Mahfudh tentang peran publik perempuan sebagai anggota legislatif ?

2. Bagaimana kesesuaian antara pandangan kiai pengasuh pondok pesantren di Bangkalan dengan pandangan KH. Sahal Mahfudh tentang peran publik perempuan sebagai anggota legislatif ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mendeskripsikan persamaan dan perbedaan antara pandangan kiai pengasuh pondok pesantren di Bangkalan dengan pandangan KH. Sahal Mahfudh tentang peran publik perempuan sebagai anggota legislatif.


(18)

   

2. Untuk menilai kesesuaian pandangan kiai pengasuh pondok pesantren di Bangkalan dengan pandangan KH. Sahal Mahfudh tentang peran publik perempuan sebagai anggota legislatif.

D. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan berguna, paling tidak mencakup dua aspek:

1. Aspek keilmuan (teoritis), hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas dan memperkaya ilmu pengetahuan tentang peran publik perempuan sebagai anggota legislatif, terutama menurut pandangan kiai pengasuh pondok pesantren di Bangkalan dan pandangan KH. Sahal Mahfudh. Lebih lanjut penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian ilmiah sekaligus bahan penelitian selanjutnya.

2. Aspek terapan (praktis), dapat digunakan sebagai bahan acuan dan pertimbangan bagi perempuan yang berperan di ruang publik, khususnya sebagai anggota legislatif.

E. Kerangka Teoritik

1. Peran Publik Perempuan

Dalam kamus sosiologi disebutkan bahwa peranan adalah:13 a. Aspek dinamis dari kedudukan;

b. Perangkat hak-hak dan kewajiban;       


(19)

   

c. Perilaku aktual dari pemegang kedudukan;

d. Bagian dari aktivitas yang dimainkan oleh sesorang.

Horton dan Hunt mengemukakan bahwa peran adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang mempunyai status. Bahkan dalam suatu status tunggalpun orang dihadapkan dengan sekelompok peran yang disebut sebagai perangkat peran. Istilah seperangkat peran (role set) digunakan untuk menunjukkan bahwa satu status tidak hanya mempunyai satu peran tunggal, akan tetapi sejumlah peran yang saling berhubungan dan cocok.14

Sedangkan menurut Suratman, peran adalah fungsi atau tingkah laku yang diharapkan ada pada individu seksual, sebagai satu aktivitas menurut tujuannya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 15

1) Peran publik, yaitu segala aktivitas manusia yang biasanya dilakukan di luar rumah dan bertujuan untuk mendatangkan penghasilan.

2) Peran domestik, yaitu aktivitas yang dilakukan di dalam rumah dan biasanya tidak dimaksudkan untuk mendatangkan penghasilan, melainkan untuk melakukan kegiatan kerumahtanggaan.

Setiap peran sosial adalah serangkaian hak, kewajiban, harapan, norma dan perilaku seseorang yang harus dihadapi dan dipenuhi. Model ini didasarkan pada pengamatan bahwa orang-orang bertindak dengan cara

      

14http://id.shvoong.com/humanities/theory-criticism/2165744-definisi-peran-atau-peranan (28

Maret 2014).


(20)

   

yang dapat diprediksikan dan kelakuan seseorang bergantung pada konteksnya, berdasarkan posisi sosial dan faktor-faktor lain.16

2. Lembaga Legislatif

Kata legislatif berasal dari kata “legislate” yang bermakna lembaga yang bertugas membuat undang-undang. Namun tidak hanya sebatas membuat undang-undang, melainkan juga merupakan wakil rakyat atau badan parlemen.17

Dalam terminologi fiqh, lembaga legislatif dikenal dengan istilah

ahl al-h{all wa al-‘aqd (lembaga penengah dan pemberi fatwa).18 Ahl

al-h{all wa al-‘aqd adalah lembaga perwakilan yang menampung dan

menyalurkan aspirasi masyarakat atau sekelompok anggota masyarakat yang mewakili umat (rakyat) dalam menentukan arah dan kebijakan pemerintahan demi tercapainya kemaslahatan hidup mereka.19

Para ahli fiqh siyasah menyebutkan beberapa alasan pentingnya pelembagaan majelis syura ini, yaitu: Pertama, rakyat secara keseluruhan tidak mungkin dilibatkan untuk dimintai pendapatnya tentang masalah kenegaraan dan pembentukan undang-undang. Kedua, rakyat secara individual tidak mungkin dikumpulkan untuk melaksanakan musyawarah di suatu tempat, apalagi di antara mereka pasti ada yang tidak mempunyai       

16 http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_peran (28 Maret 2014).

17http://artikelilmiahlengkap.blogspot.com/2013/03/makalah-trias-politica-legislatif.html (22

Maret 2014).

18 Abul A‘la Maudu>di, The Isla>mic Law and Constitution, terj. Asep Hikmat (Bandung: Mizan,

1995), 245.

19 Muhammad Iqbal, Fiqh Siya>sah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: Gaya Media


(21)

   

pandangan tajam dan tidak mampu berpikir kritis. Ketiga, musyawarah hanya bisa dilakukan apabila jumlah pesertanya terbatas, kalau seluruh rakyat dikumpulkan di suatu tempat untuk melaksanakan musyawarah, dipastikan musyawarah tersebut tidak dapat terlaksana. Keempat, kewajiban amar ma‘ruf nahi> munkar hanya bisa dilakukan apabila ada lembaga yang berperan untuk menjaga kemaslahatan antara pemerintah dan rakyat. Kelima, kewajiban taat kepada ulil-amri (pemimpin umat) baru mengikat apabila pemimpin itu dipilih oleh lembaga musyawarah.

Keenam, ajaran Islam sendiri yang menekankan perlunya pembentukan

lembaga musyawarah sebagaimana dalam al-Qur’an surat As-Syura: 38 dan surat Ali Imran: 159.20

a. Fungsi DPR

DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara, yang memiliki fungsi antara lain:21

1)Fungsi legislasi, yaitu fungsi untuk membentuk undang-undang yang dibahas dengan presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

2) Fungsi anggaran, yaitu fungsi untuk menyusun dan menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) bersama presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD.

3) Fungsi pengawasan, yaitu fungsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UUD RI 1945, undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.

      

20 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1995), 1061. 21Titik Tri Wulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia (Surabaya: Fakultas


(22)

   

b. Hak- Hak DPR

Adapun hak-hak yang dimiliki oleh DPR antara lain:22

1) Hak interpelasi, yaitu hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidapan bermasyarakat dan bernegara. 2) Hak angket, yaitu hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap

kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan pertaturan perundang-undangan.

3) Hak menyatakan pendapat, yaitu hak DPR sebagai lembaga untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau situasi dunia internasional disertai rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket atau terhadap dugaan bahwa presiden dan/ atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, penyuapan, tindak pidanan berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau wakil presiden.

4) Hak imunitas, yaitu hak untuk tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena pernyataan dan pendapat yang disampaikan dalam rapat-rapat DPR dengan pemerintah dan rapat-rapat DPR lainnya sesuai dengan perundang-undangan.

      


(23)

   

Sebagaimana dimaklumi bahwa tugas DPR dalam sistem demokrasi modern terbagi menjadi dua bagian, yaitu mengawasi dan membuat undang-undang. Dengan menganalisis kedua aspek itu akan jelas bagi kita bahwa pengawasan dengan analisis yang final menurut pengertian syariat mengacu pada apa yang dikenal dengan terminologi Islam sebagai

amar ma‘ruf nahi> munkar dan memberikan nasihat tentang agama. Tugas

ini wajib hukumnya bagi umat Islam, baik sebagai pemimpin ataupun rakyat umum. Melaksanakan amar ma‘ruf nahi> munkar dan menyampaikan nasihat dituntut bagi laki-laki dan perempuan, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an surat At-tawbah: 71:

  

 

 

 



 ....

Artinya: Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.23

3. Pandangan KH. Sahal Mahfudh tentang Fiqh Sosial

Fiqh sosial adalah sebuah ikhtiyar aktualisasi fiqh madhh}ab (tradisional) melalui upaya aktualisasi nilai-nilai yang ada di dalamnya untuk dioptimalkan pelaksanaan dan diserasikan dengan tuntunan makna sosial yang terus berkembang. Adapun tujuan fiqh sosial adalah membentuk satu konsep fiqh yang berdimensi sosial atau fiqh yang dibangun berkaitan dengan sejumlah peranan individu atau kelompok       


(24)

   

dalam masyarakat.24 Secara khusus bisa dikatakan bahwa pemikiran fiqh sosial ini berangkat dari realitas sikap keberagaman masyarakat tradisional, yang secara hirarkis mempertahankan pola bermadhh}ab secara utuh (qawli> dan manh{aji>) dan benar (dimanifestasikan dalam seluruh sendi kehidupan).

Paradigma fiqh sosial didasarkan atas keyakinan bahwa fiqh harus dibaca dalam konteks pemecahan dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan manusia yaitu kebutuhan d{aru>riyah (primer), kebutuhan h{ajiyah (sekunder) dan kebutuhan tah{si>niyah (tersier). Fiqh sosial bukan sekedar sebagai alat untuk melihat setiap peristiwa dari kacamata hitam putih sebagaimana cara pandang fiqh yang lazim kita temukan, tetapi fiqh sosial juga menjadikan fiqh sebagai paradigma pemaknaan sosial.25

Menurut KH. Sahal Mahfudh, fiqh sosial memiliki lima ciri pokok yang menonjol. Pertama, selalu diupayakan interpretasi ulang dalam mengkaji teks-teks fiqh secara kontekstual. Kedua, perubahan pola bermadhh}ab dari bermadhh}ab s

ecara tekstual (bermadhh}ab qawli>) ke bermadhh}ab secara metodologis (bermadhh}ab manh{aji>). Ketiga, verifikasi mendasar mana ajaran pokok

(us{u>l) dan mana yang cabang (furu‘). Keempat, fiqh dihadirkan sebagai

etika sosial, bukan hukum positif negara dan Kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah budaya dan       

24 Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris

(Yogyakarta: LkiS, 2005),238.


(25)

   

sosial.26 Pembumian lima ciri fiqh sosial tersebut sampai sekarang masih mengalami banyak kendala, khususnya disebabkan masih kuatnya konservatisme ulama dalam memahami fiqh, sehingga sulit keluar dari paradigma tekstual.27

F. Penelitian Terdahulu

Kajian tentang peran publik perempuan sebagai anggota legislatif bukanlah yang pertama kali, dalam arti sudah ada peneliti yang mengkaji permasalahan tersebut sebelumnya. Dari hasil penelusuran yang telah dilakukan, ditemukan beberapa skripsi yang membahas permasalahan tersebut. Adapun skripsi yang dimaksud di antaranya karya Nur Faizin, tahun 2007, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, yang berjudul “Islam dan Peran Politik Perempuan (Studi terhadap Partai Keadilan Sejahtera DIY Pasca Pemilu 2004)”.28 Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa secara konseptual tidak ada halangan bagi perempuan untuk aktif di dunia politik. Dalam hal ini, Partai Keadilan Sejahtera DIY memberikan kesempatan yang cukup besar kepada perempuan untuk berkiprah di dunia politik dengan menciptakan sistem yang peka terhadap perempuan dan kondusif bagi kaum perempuan, sehingga perempuan tidak banyak menemukan kendala dalam kiprah politiknya.

      

26 Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta: Lkis, 1994), viii.

27Arifi Ahmad, Pergulatan Pemikiran Fiqh Tradisi Pola Mazhab (Yogyakarta: Elsaq Press,

2010), 265-342.

28 Nur Faizin, Islam dan Peran Politik Perempuan (Studi terhadap Partai Keadilan Sejahtera DIY


(26)

   

Ahmad Muhaimin, tahun 2009, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, yang berjudul “Hak-Hak Politik Perempuan, Pandangan Dewan Pimpinan Wilayah Partai Persatuan Pembangunan Yogyakarta”.29 Dari penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa hak-hak politik dalam pandangan DPW Partai Persatuan Pembangunan setidaknya tidak lebih dari hak kebebasan memberikan suara dan aktif dalam pemilihan (termasuk pemilu), memberikan hak bagi perempuan untuk memilih dan dipilih, serta hak untuk memangku jabatan dan menjalankan fungsinya dengan tidak meninggalkan fungsi-fungsi rumah tangga sebagai ibu bagi anak-anaknya dan sebagai isteri bagi suaminya serta karirnya sebagai kader politik.

Meskipun persoalan yang diteliti sama, yaitu tentang peran publik perempuan khususnya di bidang politik, tetapi fokus penelitiannya berbeda. penelitian yang akan dilakukan ini merupakan penelitian lapangan (field

research) tentang persamaan dan perbedaan pandangan kiai pengasuh pondok

pesantren di Bangkalan dan pandangan KH. Sahal Mahfudh terhadap peran publik perempuan sebagai anggota legislatif, kemudian menganalisa kesesuaiannya. Dengan perbedaan yang telah dipaparkan tersebut, maka sudah jelas bahwa penelitian ini bukan merupakan duplikasi atau pengulangan dari penelitian terdahulu.

      

29 Ahmad Muhaimin, Hak-Hak Politik Perempuan, Pandangan Dewan Pimpinan Wilayah Partai

Persatuan Pembangunan Yogyakarta, (Skripsi--Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga,


(27)

   

G. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif analisis yang berusaha memberikan gambaran tentang pandangan kiai pengasuh pondok pesantren di Bangkalan terhadap peran publik perempuan sebagai anggota legislatif, kemudian menganalisa kesesuaiannya dengan pandangan KH. Sahal Mahfudh.

1. Data yang dikumpulkan

Dalam rangka menjawab masalah yang telah dirumuskan di atas, maka data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data tentang pandangan kiai pengasuh pondok pesantren di Bangkalan dan pandangan KH. Sahal Mahfudh tentang peran publik perempuan sebagai anggota legislatif, di antaranya tentang keterlibatan perempuan di ruang publik, boleh-tidaknya perempuan menjadi anggota legislatif, argumentasi yang menjadi dasar pertimbangan hukum yang digunakan oleh kiai pengasuh pondok pesantren di Bangkalan dan KH. Sahal Mahfudh baik dalam al-Qur’an, Hadith, kitab-kitab fiqh, us}ul al-fiqh dan kaidah fiqhiyah, serta persamaan dan perbedaan antara pandangan kiai pengasuh pondok pesantren di Bangkalan dengan pandangan KH. Sahal Mahfudh tentang peran publik perempuan sebagai anggota legislatif.

2. Sumber Data

a. Sumber data primer, yaitu sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data (peneliti). Sumber data primer dalam       


(28)

   

penelitian ini adalah kiai pengasuh pondok pesantren di Bangkalan yang menjadi subjek penelitian, yaitu KH. Nuruddin A. Rahman, KH. Imam Buchori Cholil, KH. Abdullah Chon Tabrani dan KH. Mas Abdul Adzim Cholili. Serta dokumen berupa buku-buku atau karya tulis yang memuat tentang pemikiran KH. Sahal Mahfudh

Empat kiai pengasuh pondok pesantren yang menjadi subjek penelitian di atas cukup berpengaruh dan dianggap dapat mewakili pandangan para kiai di Bangkalan karena memiliki keluasan ilmu agama, mempunyai jumlah santri yang cukup besar, mempunyai pengaruh bagi masyarakat Bangkalan dan berasal dari latar belakang

(background) yang berbeda. KH. Nuruddin A. Rahman adalah kiai

yang dikenal dekat dengan pejabat pemerintahan dan sampai saat ini menjadi salah satu pengurus PW NU Jawa Timur. KH. Imam Buchori merupakan salah satu kiai keturunan Syaichona Kholil, pernah menjadi Ketua Cabang NU Kabupaten Bangkalan dan sampai saat ini terjun ke politik. Kiai Abdullah Chon adalah salah satu penceramah yang terkenal di Bangkalan termasuk ke pelosok-pelosok desa, terutama wilayah Bangkalan bagian utara. Sedangkan KH. Mas Abdul Adzim adalah kiai yang cukup disegani serta condong berfikir formalistik dalam menjawab persoalan keagamaan.

b. Sumber data sekunder, yaitu sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data (peneliti).31 Sumber data sekunder dalam       


(29)

   

penelitian ini adalah dokumen berupa buku-buku dan artikel-artikel pendukung yang berkaitan dengan penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Data yang yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dari sumbernya dengan teknik wawancara dan studi dokumen.

a. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung dari subyek penelitian, yaitu dengan melakukan wawancara dengan para kiai pengasuh pondok pesantren di Bangkalan terkait pandangan mereka tentang peran publik perempuan sebagai anggota legislatif. Adapun kiai yang menjadi subjek dalam penelitian ini antara lain: KH. Nuruddin A. Rahman, KH. Imam Buchori Cholil, KH. Abdullah Chon Thabrani dan KH. Mas Abdul Adzim Cholili, serta wawancara dengan Jamal Ma’mur Asmani untuk menggali lebih jauh informasi tentang pandangan KH. Sahal Mahfudh.

b. Studi dokumen dilakukan dengan cara menelaah berbagai macam bahan tertulis mengenai permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Adapun buku/referensi yang berkaitan dengan penelitian ini di antaranya:

Fiqh Sosial KH Sahal Mahfudh antara Konsep dan Implementasi;

Epistemologi Fiqh Sosial: Konsep Hukum Islam dan Pemberdayaan

Masyarakat; Nuansa Fiqh Sosial; Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas

Wacana Agama dan Gender; Fiqh Wanita Kontemporer; Hal-Hal yang

Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam dan lain


(30)

   

4. Teknik Pengolahan Data

Data yang sudah terkumpul kemudian diolah dengan cara-cara sebagai berikut:

a. Editing (pemeriksaan data), yaitu mengoreksi apakah data yang

terkumpul sudah cukup lengkap, sudah benar, dan sudah relevan dengan masalah.

b. Coding (penandaan data), yaitu mengklasifikasikan

jawaban-jawaban dari responden ke dalam-kategori-kategori.

c. Tabulasi, yaitu jawaban-jawaban yang sudah diberi kode kategori jawaban kemudian dimasukkan ke dalam tabel.

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-verifikatif dengan pola pikir deduktif dan induktif.

a. Analisis deskriptif, yaitu dengan menjelaskan atau menggambarkan secara sistematis pandangan kiai pengasuh pondok pesantren di Bangkalan dan pandangan KH. Sahal Mahfudh tentang peran publik perempuan sebagai anggota legislatif.

b. Analisis verifikatif, yaitu menganalisa kesesuaian antara pandangan kiai pengasuh pondok pesantren di Bangkalan dengan pandangan KH. Sahal Mahfudh tentang peran publik perempuan sebagai anggota legislatif, sehingga dapat diperoleh kesimpulan tentang ada       

32 Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitin an (Jakarta: Bumi Aksara, 1997),


(31)

   

atau tidaknya kesesuaian antara pandangan kiai pengasuh pondok pesantren Bangkalan dengan pandangan KH. Sahal Mahfudh.

H. Sistematika Bahasan

Agar dalam penulisan penelitian ini lebih terarah, maka penulis menyusunnya ke dalam sistematika bahasan sebagai berikut:

Bab kesatu, pendahuluan, berisi tentang uraian latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teoritik, penelitian terdahulu, metode penelitian dan sistematika bahasan.

Bab kedua, merupakan kerangka teoritik tentang peran publik perempuan sebagai anggota legislatif dalam pandangan KH. Sahal Mahfudh, yang meliputi: kedudukan dan peran perempuan di ruang domestik dan ruang publik, Keterlibatan perempuan di ruang publik dalam pandangan Islam, lembaga legislatif, serta pandangan KH. Sahal Mahfudh tentang peran publik perempuan sebagai anggota legislatif.

Bab ketiga, merupakan uraian hasil penelitian tentang pandangan kiai pengasuh pondok pesantren di Bangkalan terhadap peran publik perempuan sebagai anggota legislatif, yang diawali dengan gambaran kondisi geografis kabupaten Bangkalan, gambaran umum tentang pondok pesantren di Bangkalan, dilanjutkan dengan pandangan kiai pengasuh pondok pesantren di Bangkalan tentang peran publik perempuan sebagai anggota legislatif.

Bab keempat merupakan substansi dari penelitian, yang di dalamnya memuat analisis persamaan dan perbedaan serta kesesuaian antara pandangan


(32)

   

kiai pengasuh pondok pesantren di Bangkalan dengan pandangan KH. Sahal Mahfudh tentang peran publik perempuan sebagai anggota legislatif.

Bab kelima merupakan bagian penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran, dimana kesimpulan merupakan jawaban dari pokok permasalahan yang diteliti dan saran adalah anjuran yang ditujukan kepada para pihak yang dianggap berkepentingan dengan permasalahan yang diteliti.


(33)

   

BAB II

KERANGKA TEORITIK TENTANG PERAN PUBLIK PEREMPUAN SEBAGAI ANGGOTA LEGISLATIF DALAM PANDANGAN

KH. SAHAL MAHFUDH

A. Kedudukan dan Peran Perempuan dalam Ruang Domestik dan Publik

1. Pengertian Peran Domestik dan Peran Publik

Kedudukan adalah tingkat atau martabat /status tingkatan seseorang,1

maksudnya posisi atau keadaan seseorang dalam suatu kelompok sosial atau kelompok masyarakat yang berkaitan dengan hak dan kewajibannya. Setiap individu dalam masyarakat memiliki status sosial masing-masing. Oleh karena itu status merupakan perwujudan atau pencerminan dari hak dan kewajiban individu dalam tingkah lakunya. Status sosial sering pula disebut sebagai kedudukan atau posisi, peringkat seseorang dalam masyarakat.2

Dalam teori sosiologi, unsur-unsur dalam sistem pelapisan masyarakat adalah kedudukan (status) dan peran (role).

Adapun sebuah peran merupakan aspek dinamis dari status tersebut. Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia dianggap telah menjalankan suatu peran. Peran sendiri adalah bagian yang dimainkan seseorang pada setiap keadaan dan       

 Peters Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta: Modern English Press, 2002),

369.


(34)

   

disertai dengan cara tingkah laku untuk menyelaraskan diri dengan keadaan tersebut.3

Dalam kamus sosiologi disebutkan bahwa peranan adalah:4

a. Aspek dinamis dari kedudukan; b. Perangkat hak-hak dan kewajiban;

c. Perilaku aktual dari pemegang kedudukan;

d. Bagian dari aktivitas yang dimainkan oleh sesorang.

Horton dan Hunt mengemukakan bahwa peran adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang mempunyai status. Bahkan dalam suatu status tunggal pun orang dihadapkan dengan sekelompok peran yang disebut perangkat peran. Istilah seperangkat peran (role set) digunakan untuk menunjukkan bahwa satu status tidak hanya mempunyai satu peran tunggal, akan tetapi sejumlah peran yang saling berhubungan dan cocok.5

Gross, Mason, dan McEachern mendefinisikan peranan sebagai seperangkat harapan-harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu. Harapan-harapan tersebut merupakan imbangan dari norma-norma sosial. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa peranan-peranan itu ditentukan oleh norma-norma dalam masyarakat, maksudnya kita diwajibkan untuk melakukan hal-hal yang diharapkan oleh masyarakat di

      

3 Brunette R. Wolfman, Peran Kaum Wanita, Cet.V(Yogyakarta: Kanisius, 1994), 10.

4 Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1993), 440.

5http://id.shvoong.com/humanities/theory-criticism/2165744-definisi-peran-atau-peranan (28


(35)

   

dalam pekerjaan kita, di dalam keluarga dan di dalam peranan-peranan lainnya.6

Sedangkan menurut Suratman, peran adalah fungsi atau tingkah laku yang diharapkan ada pada individu seksual sebagai satu aktivitas. Menurut tujuannya, peran dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 7

1. Peran publik, yaitu segala aktivitas manusia yang biasanya dilakukan di luar rumah dan bertujuan untuk mendatangkan penghasilan.

2. Peran domestik, yaitu aktivitas yang dilakukan di dalam rumah dan biasanya tidak dimaksudkan untuk mendatangkan penghasilan, melainkan untuk melakukan kegiatan kerumahtanggaan.

2. Latar Belakang adanya Peran Domestik dan Peran Publik

Latar belakang munculnya wilayah domestik dan publik berasal dari pembagian kerja yang didasarkan pada jenis kelamin, yang lebih populer dengan istilah gender. Konsep gender mengacu pada seperangkat sifat, peran dan tanggung jawab, fungsi, hak dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan berkembang, sehingga timbullah dikotomi maskulin (laki-laki) dan feminin (perempuan).8 Pembagian kerja gender tradisional

(gender base division of labour) menempatkan pembagian kerja perempuan

di rumah (sektor domestik) dan laki-laki bekerja di luar rumah (sektor       

6David Berry, Pokok-Pokok Pikiran dalam Sosiologi terj. Oleh Paulus Wirutomo (Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 1995), 100.

7 http://mbaawoeland.blogspot.com/2011/12/peran-ganda-perempuan.html (28 Maret 2014).

8 Abdul Halim, Menembus Batas Tradisi, Menuju Masa Depan yang Membebaskan Refleksi atas


(36)

   

publik). Pembakuan peran suami dan istri secara dikotomis publik-produktif diperankan oleh suami, sedangkan peran domestik-reproduktif merupakan peran istri telah mengakar di masyarakat.

Peran-peran di wilayah publik mempunyai karakteristik menantang, dinamis, leluasa, independen, diatur dengan jam kerja, prestasi, gaji, jenjang karier, kemudian dikenal dengan peran produksi yang langsung menghasilkan uang. Sebaliknya karakteristik peran pada ranah domestik antara lain: statis, sempit, tergantung, tidak ada jenjang karier dan penghargaan, tidak menghasilkan uang, tidak mengenal jadwal kerja, yang kemudian dikenal dengan peran reproduksi.9

Pembagian kerja tersebut oleh kaum feminis sering disebut dengan istilah pembagian kerja seksual, yaitu suatu proses kerja yang diatur secara hirarkhis, yang menciptakan kategori-kategori pekerjaan subordinat yang dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin dan stereotipe jenis kelamin tertentu. Kerja-kerja khas untuk tiap jenis kelamin umumnya dikaitkan dengan peran seksualnya, sehingga dikenal dengan istilah kerja produktif untuk laki-laki dan kerja reproduktif untuk perempuan.10

Kerja produktif adalah suatu proses kerja yang menghasilkan sesuatu. Dalam masyarakat kapitalis biasanya sesuatu yang dihasilkan itu diartikan       

9 Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender (Malang: UIN Malang Press, 2008),

142- 143.

10 Rustiani, F., “Istilah-Istilah Umum dalam Wacana Gender”, dalam Jurnal Analisis Sosial:

Analisis Gender dalam Memahami Persoalan Perempuan, Edisi 4 November 1996 (Bandung:


(37)

   

dengan nilai tukar. Dalam diskusi gender, konsep kerja produktif ini seringkali diasosiasikan sebagai pekerjaan publik (sektor umum). Peran produktif diambil oleh laki-laki karena dia dianggap lebih kuat, struktur dan kekuatan fisiknya mendukung, memiliki kelebihan emosional maupun mental, berani menghadapi tantangan, tanggung jawab dan mandiri. Sedangkan Peran reproduktif menjadi bagian dari perempuan dengan argumentasi bahwa perempuan mempunyai fungsi reproduksi biologis seperti haid, hamil, melahirkan, menyusui, kemudian dicitrakan sebagai makhluk yang lemah, tergantung, tidak berani tantangan dan harus dikontrol. Peran yang dekat dengan stereotipe yang diberikan kepadanya seperti bercocok tanam, beternak, merawat dan mengasuh anak, memasak, mencuci, mengatur rumah dan seterusnya.11

Masyarakat cenderung beranggapan bahwa pembedaan atau pembagian kerja secara seksual adalah sesuatu yang alamiah. Stereotipe yang dianggap kodrat tersebut melahirkan ketidakadilan gender bagi perempuan dan laki-laki. Laki-laki mendapat porsi yang lebih menguntungkan daripada perempuan. Anggapan-anggapan budaya seperti ini dengan sendirinya memberikan peran yang lebih luas kepada laki-laki, sehingga laki-laki memperoleh status sosial yang lebih tinggi daripada perempuan.12

Dalam kehidupan sehari-hari, antara laki-laki dan perempuan senantiasa terjadi konflik dan ketegangan gender. Perempuan tetap memiliki keinginan       

11 Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, 143.

12Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina,


(38)

   

untuk bergerak secara leluasa untuk meningkatkan status dan rasa percaya diri, tetapi budaya dalam masyarakat membatasi keinginan mereka, terutama bagi mereka yang telah menikah, apalagi kalau sudah mempunyai anak. Perempuan menghadapi peran ganda (double burden), di mana di satu sisi mereka perlu berusaha sendiri, tetapi di sisi lain harus lebih konsisten mengasuh anak dan mengurus keluarga.13

Pada abad ke-19 perempuan semakin menyadari kenyataan bahwa di luar sektor domestik telah terjadi perkembangan yang sangat pesat. Pada saat yang sama mereka juga menyadari bahwa norma-norma di sektor domestik membatasi perempuan untuk melakukan peran ganda. Pembatasan-pembatasan ini menjadi basis tumbuhnya keinginan baru bagi perempuan untuk ikut serta terlibat di sektor publik. Mereka menuntut hak-hak yang sama dengan kaum laki-laki, seperti memperoleh pengetahuan keterampilan, pendidikan tinggi dan lain sebagainya.14

Selain hidup di lingkungan domestik, tidak bisa dinafikan bahwa wanita adalah anggota masyarakat. Karena posisinya sebagai anggota masyarakat inilah, maka keterlibatannya dalam kehidupan umum (publik) juga diperlukan dalam rangka memajukan masyarakat. Dalam hal ini, tugas pokok wanita sebagai ibu dan pengatur rumah tangga yang sering disebut sebagai peran domestik tidak berarti membatasi wanita pada peran pokok itu       

13Allan G. Johnson, Human Arrangements an Introduction to Sociology (Toronto: Harcourt Brace

Jovanovic Publisher, 1986), 400-401.


(39)

   

saja, karena pada saat yang sama, wanita juga dibutuhkan untuk dapat berperan di sektor publik.15

Mansour Faqih mengatakan bahwa hakikat pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan adalah setara. Pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan tidak seharusnya didasarkan atas jenis kelamin. Laki-laki bisa mengasuh anak, mencuci dan memasak, sedangkan perempuan bisa bekerja di luar rumah. Konstruksi kerja keduanya didasarkan atas konstruksi budaya yang berlaku di masyarakat. Anggapan yang keliru yang selama ini menjadi paradigma masyarakat adalah laki-laki memiliki kewenangan pada pekerjaan publik, sedangkan perempuan berada dalam pada ranah domestik. Dengan demikian, ketika membicarakan persoalan relasi kerja laki-laki dan perempuan, ia menegaskan bahwa hal itu bukan kodrat Tuhan tetapi merupakan konstruksi budaya.16

Konstruksi gender bukanlah kodrati, melainkan bentukan sosial sehingga konsep ini dapat berubah dari waktu ke waktu dan dapat juga berbeda antara satu daerah dan daerah lain, dengan demikian Masyarakat yang membentuk maskulinitas dan feminitas pada diri seseorang. Bentukan ini dibakukan sedemikian rupa melalui berbagai macam norma tradisi, adat, budaya dan hukum, bahkan juga agama sehingga seolah-olah semuanya ini

      

15 Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam (Jakarta:

Gema Insani Press, 2004), 131.

16 Mansour Faqih, Analisis gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 27.


(40)

   

merupakan kodrat atau pemberian Tuhan yang harus diterima apa adanya dan tidak boleh dipertanyakan lagi.17

Dengan memahami persoalan perbedaan gender ini, diharapkan muncul pandangan-pandangan yang lebih manusiawi dan lebih adil. Perempuan berhak memiliki akses sepenuhnya untuk berpartisipasi di bidang politik, ekonomi, sosial dan intelektual serta dihargai sebagaimana kaum laki-laki, juga bisa atau terbuka kemungkinan untuk berpartisipasi penuh di rumah dan ikut merawat anak-anaknya.18

 

B. Keterlibatan Perempuan di Ruang Publik dalam Pandangan Islam

Aktifitas perempuan dalam domain publik dan penempatannya pada jabatan-jabatan publik otoritatif, dalam buku-buku fiqh klasik masih terus menjadi perdebatan para ahli. Mayoritas ulama menginterpretasi teks-teks shari‘ah dengan satu kesimpulan bahwa kaum perempuan tidak sah menduduki jabatan-jabatan dalam hal menentukan kebijakan umum/publik

(al-wila>yah al-‘a>mmah). Argumen yang sering dikemukakan adalah

bahwa teks yang berbicara mengenai keunggulan laki-laki atas perempuan diyakini sebagai valid dan autentik. Sebab realitas sosial yang diamatinya

      

17 Abdul Halim (ed), Menembus Batas Tradisi, Menuju Masa Depan yang Membebaskan Refleksi

atas Pemikiran Nucholish Madjid (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), 27.

18Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender


(41)

   

sampai kini masih tetap didominasi oleh laki-laki dengan segenap keunggulannya.19

Secara garis besar, dalam membicarakan keberadaan hak-hak politik perempuan biasanya ada tiga pendapat yang berkembang. Pertama, pendapat konservatif yang mengatakan bahwa Islam, sejak kemunculannya di Mekkah dan Madinah tidak pernah memperkenankan perempuan untuk terjun dalam ruang politik. Kedua, pendapat liberal-progresif yang menyatakan bahwa Islam sejak awal telah memperkenalkan konsep keterlibatan perempuan dalam bidang politik. Ketiga, pendapat apologetis yang menyatakan bahwa ada bagian wilayah politik tertentu yang dapat dimasuki perempuan dan ada bagian wilayah tertentu yang sama sekali tidak boleh dijamah oleh perempuan. Menurut kelompok ini yang menjadi wilayah politik perempuan adalah menjadi ibu.20

Kelompok pertama berpendapat bahwa Islam tidak mengakui persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam praktik politik. Menurut paham konservatif, Islam telah menentukan peran perempuan di wilayah khusus (domestic role). Menurut mereka, secara historis sejak kelahirannya, Islam tidak pernah menyandarkan urusan publik kepada perempuan. Sejak masa kenabian, tidak satupun perempuan yang terlibat secara langsung dalam kegiatan-kegiatan politik.21

      

19Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren (Yogyakarta:

LkiS: 2004), 69.

20 Syafiq Hasyim, Hal-Hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam,

190.


(42)

   

Secara umum alasan yang digunakan bagi peminggiran sekaligus pemingitan perempuan ini adalah bahwa pada umumnya kaum perempuan dipandang sebagai pemicu hubungan seksual yang terlarang dan kehadiran mereka di tempat umum dipandang sebagai sumber godaan (fitnah) dan memotivasi konflik sosial. Oleh karena itu pemingitan perempuan merupakan suatu keharusan sebagai cara menjaga kesucian dan kemuliaan agama. Argumen mereka yang lain adalah bahwa tugas-tugas politik sangat berat dan perempuan tidak akan mampu menanggungnya karena akal dan tenaganya secara alamiah memang lemah. Adapun ulama yang mendukung pendapat ini diantaranya Sa‘id Afgha>ni, Hibah Ra‘uf Izza>t, Abu> A’la> al-Maududi> dan lain sebagainya.22

Kelompok kedua (liberal-progresif) berpendapat bahwa tidak ada halangan bagi perempuan untuk terlibat dalam dunia politik. Secara eksplisit kelompok ini menyatakan bahwa perempuan memiliki hak penuh untuk berpolitik. Kaum perempuan juga diizinkan memangku tugas-tugas politik seberat yang dipangku oleh laki-laki. Menurut Said Ramad{an al-But{i>, asal perbuatan adalah boleh (iba>hah) selama tidak ditemukan larangan di dalamnya. Ini berarti semua aktivitas politik yang dilakukan perempuan selain kepemimpinan negara termasuk dalam keumuman iba>hah ini. Syaratnya ia adalah seorang yang profesional dan membatasinya dengan perintah, etika dan ikatan-ikatan agama.23 Ulama yang memperbolehkan

perempuan menjadi anggota legislatif di antaranya: Abd Al-H{ali>m Abu>       

22 Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan, 168-169.

23Muhammad Sa’id Ramad{an al-But{i>, Perempuan dalam Pandangan Barat dan Islam


(43)

   

Shuqqah, Must{afa> Siba’i, Yusuf Qard{awi>, Sa’id Ramad{an al-But}i> dan lain sebagainya.

Kelompok ketiga adalah kelompok apologetis. Dalam menanggapi isu perempuan dan politik, kelompok ini memandang bahwa persoalan hak-hak politik perempuan tidak ada kaitannya dengan agama dan fiqh. Hak-hak politik perempuan itu lebih merupakan persoalan sosial politik dan budaya, sehingga tidak tepat apabila melimpahkan perkara adanya pembatasan hak-hak politik perempuan sebagai persoalan agama dan fiqh. Persoalan hak-hak politik perempuan diserahkan pada komunitas muslim untuk mencari solusi yang tepat dan mengacu pada kemaslahatan umat.24

Secara normatif, al-Qur’an dan Hadith telah menempatkan laki-laki dan perempuan seimbang dan sama kedudukannya, baik dari segi kejadian maupun prestasinya, sebagaimana dalam QS. Ali Imran: 195:

                 

Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.

Tentang hak-hak perempuan, juga sama dengan hak laki-laki, sebagaimana QS. Al-Nisa’:32

                   

24Mufidah Ch, Gender di Pesantren Salaf, Why not? Menelusuri Jejak Konstruksi Sosial


(44)

                      Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Laki-laki dan perempuan juga setara dalam hak-hak dan kewajiban di dalam memberikan peran dan partisipasi sosial dan politik, sebagaimana terdapat dalam QS. At-Tawbah ayat 71 :

          

Artinya: Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.25

Kata awliya>’ dalam QS. At-Tawbah ayat 71 di atas menurut Quraish Shiha>b mencakup kerjasama, bantuan, dan penguasaan. Demikian juga hal-hal yang menyuruh yang ma‘ru>f dan mencegah yang munkar mencakup segala jenis kebaikan, termasuk memberi masukan dan kritik terhadap penguasa.26 Dengan demikian, baik laki-laki maupun perempuan

memiliki fungsi yang sama di dalam tugas-tugas ‘amar ma‘ru>f nahi> munkar.

      

25Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Surabaya: Mekar Surabaya, 2004), 266.


(45)

   

Kaum perempuan pada permulaan Islam memegang peranan penting dalam politik. QS. Al-Mumtahanah ayat 12 melegalisir kegiatan politik kaum perempuan:                                         . Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, Maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dalam ajaran Islam, perempuan dan laki-laki dipandang sama sebagai makhluk, hamba dan khali>fah fi>l al-ard}. Keduanya mendapatkan kesamaan perintah untuk beriman, beribadah, perintah amar ma‘ru>f nahi>

munkar, perintah menegakkan nilai-nilai kebenaran, berbuat baik kepada

sesama dan sebagainya.27 Seruan Allah dalam hal aktifitas perempuan di

dunia publik secara umum mempunyai implikasi pada hukum yang berkaitan dengan wanita dalam kedudukannya sebagai individu manusia. Islam menetapkan hukum yang sama antara pria dan wanita dalam masalah kewajiban berdakwah (amar ma‘ru>f nahi> munkar), kewajiban menuntut       

27Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan (Yogyakarta: El-kahfi, 2008),


(46)

   

ilmu, serta kewajiban menunaikan ibadah-ibadah ritual (mahd{a>h). Demikian pula Islam mengizinkan wanita melakukan jual beli, sewa-menyewa dan akad perwakilan. Wanita punya hak memegang segala macam hak milik dan baginya boleh mengembangkan hartanya dan mengatur secara langsung segala urusan kehidupannya.28

Pada masa kenabian, tidak sedikit para sahabat perempuan yang ikut berpartisipasi dalam peran-peran politik yang cukup penting. Misalnya mereka tidak ketinggalan ikut baiat bersama mitranya laki-laki di hadapan Rasulullah saw, mereka ikut serta hijrah ke Madinah dalam rangka mencari suaka politik, bersama-sama ikut membentuk komunitas dan Ans{a>r. Contoh tersebut merupakan kenyataan dalam catatan sejarah yang mempertegas bahwa wilayah publik bagi kaum perempuan tidak terlarang, tidak haram. Bahkan justru dengan keterlibatan perempuan di dalam pengambilan kebijakan publik, diharapkan akan menciptakan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan dalam pembangunan.29

Kaum perempuan di masa Rasulullah digambarkan sebagai perempuan yang aktif, sopan dan bebas, tetapi tetap terpelihara akhlaknya. Bahkan dalam al-Qur’an, figur ideal seorang muslimah disimbolkan sebagai pribadi yang mempunyai kompetensi di bidang politik atau istiqlal

al-siya>si> (QS. al-Mumtahanah:12), seperti figur Ratu Bilqis yang mengepalai

sebuah kerajaan adikuasa (QS. an-Naml: 23), mempunyai kompetensi di bidang ekonomi atau al-istiqlal al-iqtis}a>di> (QS. Qas{a>s{: 23),       

28 Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, 131.


(47)

   

mempunyai kebebasan untuk menentukan pilihan pribadi (istiqlal

al-shakhs}i>) yang diyakini kebenarannya, sekalipun berhadapan dengan ayah

atau suami bagi wanita yang sudah menikah (QS. al-Tahri>m: 11), atau bersikap kritis terhadap pendapat orang banyak (public opinion) bagi perempuan yang belum kawin (QS. al-Tahrim: 12). Al-Qur’an mengizinkan kaum perempuan untuk melakukan gerakan oposisi terhadap segala bentuk sistem yang tiranik demi tegaknya kebenaran (QS. al-Tawbah: 71). Islam memberikan kebebasan yang begitu besar kepada perempuan untuk berkiprah di ruang publik, sehingga pada masa Nabi Muhammad SAW banyak sekali perempuan yang cemerlang kemampuannya yang diakui hingga saat ini.30

Dalam sejarah perkembangan Islam, banyak tokoh-tokoh wanita yang terlibat dalam peran-peran politik, seperti Aisyah r.a, selain menjadi rujukan para sahabat dalam masalah hukum, juga pernah langsung terlibat dalam peristiwa politik, seperti dalam kasus waqi‘atul jama>l. Nailah istri Khalifah Uthman bin Affa>n r.a dikenal banyak terlibat dalam masalah politik, Al-Syifa>, Samra’ al-Asadiyah, Khaulah binti Tha’labah, Ummu Sharik, Asma’ binti Abu Bakar adalah nama-nama sahabat yang terlibat dalam masalah politik, serta Zubaidah istri Haru>n al-Rashi>d, Shajaratuddu>r dikenal sebagai politisi yang berpengaruh. Dari pengalaman sejarah dan pandangan politik tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa masalah hak-hak politik bagi perempuan diakui dalam Islam.31

      

30 Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis (Bandung: Mizan, 2005), 43.

31Muhammad Tolhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosio Kultural (Jakarta: Lantabora Press, 2005), 311.


(48)

   

Dalam mengkonstruk masyarakat Islam, Rasulullah melakukan upaya mengangkat harkat dan martabat perempuan melalui revisi terhadap tradisi Jahiliyah. Hal ini merupakan proses pembentukan konsep kesetaraan dan keadilan gender dalam hukum Islam, yaitu:32

1) Perlindungan hak-hak perempuan melalui hukum, perempuan tidak dapat diperlakukan semena-mena oleh siapapun karena mereka dipandang sama di hadapan hukum dan perundang-undangan yang berlaku, hal itu berbeda dengan masa jahiliyah.

2) Perbaikan hukum keluarga, perempuan mendapatkan hak menentukan jodoh, mendapatkan mahar, hak waris, pembatasan dan pengaturan poligini, mengajukan talak gugat, mengatur hak-hak suami istri yang seimbang, dan hak pengasuhan anak.

3) Perempuan diperbolehkan mengakses peran-peran publik, mendatangi masjid, mendapatkan hak pendidikan, mengikuti peperangan, hijrah bersama nabi, melakukan bai’at di hadapan Rasulullah dan peran pengambil keputusan.

4) Perempuan mempunyai hak mentasarufkan (membelanjakan/mengatur) hartanya, karena harta merupakan simbol kemerdekaan dan kehormatan bagi setiap orang.

5) Perempuan mempunyai hak hidup dengan cara menetapkan aturan larangan melakukan pembunuhan terhadap anak perempuan yang menjadi tradisi bangsa Arab Jahiliyah.

      


(49)

   

Dengan demikian, Islam memberikan jaminan kepada perempuan untuk berperan dalam politik dengan batas-batas yang akan membawa perempuan tersebut mampu berperan secara maksimal tanpa mengabaikan tugas pokoknya dan tidak melanggar ketentuan Allah swt. Batas-batas yang diberikan Allah bukan untuk menomorduakan wanita, tetapi semata-mata untuk mewujudkan kebaikan bersama dalam masyarakat.33

C.Lembaga Legislatif

1. Pengertian Lembaga Legislatif

Kata legislatif berasal dari kata “legislate” yang bermakna lembaga yang bertugas membuat undang-undang. Namun tidak hanya sebatas membuat undang-undang, melainkan juga merupakan wakil rakyat atau badan parlemen.34Dalam terminologi fiqh, lembaga legislatif dikenal dengan istilah

ahl al-h{all wa al-‘aqd (lembaga penengah dan pemberi fatwa).

Ahl al-h{all wa al-‘aqd adalah lembaga perwakilan yang menampung

dan menyalurkan aspirasi masyarakat atau sekelompok anggota masyarakat yang mewakili umat (rakyat) dalam menentukan arah dan kebijakan pemerintahan demi tercapainya kemaslahatan hidup mereka. Al-Mawardi menyebutkan ahl al-h{all wa al-‘aqd dengan ahl al-ikhtiya>r karena mereka yang berhak memilih khalifah. Sedangkan Ibn Taimiyah menyebutnya dengan ahl al-shawkah. Sebagian lagi menyebutnya ahl al-shura> atau ahl       

33 Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, 146.

34http://artikelilmiahlengkap.blogspot.com/2013/03/makalah-trias-politica-legislatif.html (22


(50)

   

al-ijma’. Selanjutnya Al-Mawardi menentukan bahwa syarat yang mutlak

dipenuhi oleh ahl al-hall wa al-‘aqd adalah adil, mengetahui dengan baik kandidat kepala negara yang akan dipilih, mempunyai kebijakan serta wawasan yang luas sehingga tidak salah dalam memilih kepala negara.35

Selanjutnya mempunyai pengetahuan tentang perundang-undangan dan cukup mengenal kemaslahatan masyarakat.

Abdul Hamid al-Anshari menyebutkan bahwa majelis syura yang menghimpun ahl-shura> merupakan sarana yang digunakan rakyat atau wakil rakyatnya untuk membicarakan masalah-masalah kemasyarakatan atau kemaslahatan umat. Dengan demikian, sebenarnya rakyatlah yang berhak untuk menentukan nasibnya serta menentukan siapa yang akan mereka angkat sebagai kepala negara sesuai dengan kemaslahatan umum yang mereka inginkan.36

Para ahli fiqh siyasah menyebutkan beberapa alasan pentingnya pelembagaan majelis syura ini, yaitu: Pertama, rakyat secara keseluruhan tidak mungkin dilibatkan untuk dimintai pendapatnya tentang masalah kenegaraan dan pembentukan undang-undang. Kedua, rakyat secara individual tidak mungkin dikumpulkan untuk melaksanakan musyawarah di suatu tempat, apalagi di antara mereka pasti ada yang tidak mempunyai pandangan tajam dan tidak mampu berpikir kritis. Ketiga, musyawarah hanya bisa dilakukan apabila jumlah pesertanya terbatas, kalau seluruh rakyat dikumpulkan di suatu tempat untuk melaksanakan musyawarah, dipastikan       

Abu Hasa  Al‐Mawardi, Al‐Ahkam al‐Sult}a>niyah (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 5-7.  

  Abdul  Ha id  Is a’il  al‐A s}ari,  Al}-Shura> wa Atsaruha> fi al-Dinuqrat}iyah (Kairo:


(51)

   

musyawarah tersebut tidak dapat terlaksana. Keempat, kewajiban amar

ma‘ruf nahi> munkar hanya bisa dilakukan apabila ada lembaga yang

berperan untuk menjaga kemaslahatan antara pemerintah dan rakyat. Kelima, kewajiban taat kepada ulil-amri (pemimpin umat) baru mengikat apabila pemimpin itu dipilih oleh lembaga musyawarah. Keenam, ajaran Islam sendiri yang menekankan perlunya pembentukan lembaga musyawarah.37

Sebagaimana dalam al-Qur’an surat As-Syura: 38

          

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhu) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.38

Surat Ali Imran: 159.

                  

Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sungguh Allah mencintai

orang yang bertawakkal.39

2. Fungsi dan Hak-Hak Lembaga Legislatif

      

37 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1995), 1061.

38 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Surabaya: Mekar Surabaya, 2004), 69.


(52)

   

Di Indonesia, lembaga legislatif lebih dikenal dengan sebutan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). DPR berkedudukan sebagai lembaga negara yang memiliki fungsi antara lain:40

1) Fungsi legislasi, yaitu fungsi untuk membentuk undang-undang yang

dibahas dengan presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

2) Fungsi anggaran, yaitu fungsi untuk menyusun dan menetapkan anggaran

pendapatan dan belanja negara (APBN) bersama presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD.

3) Fungsi pengawasan, yaitu fungsi melakukan pengawasan terhadap

pelaksanaan Undang-Undang Dasar RI 1945, undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.

Dalam konsep Trias Politika, DPR berperan sebagai lembaga legislatif yang berfungsi untuk membuat undang-undang dan mengawasi jalannya pelaksanaan undang-undang yang dilakukan oleh pemerintah sebagai lembaga eksekutif. Fungsi pengawasan dapat dikatakan telah berjalan dengan baik apabila DPR dapat melakukan tugas kontrol secara kritis atas kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang tidak sesuai dengan kepentingan rakyat. Sementara itu, fungsi legislasi dapat dikatakan berjalan dengan baik apabila produk hukum yang dikeluarkan oleh DPR dapat memenuhi aspirasi dan kepentingan seluruh rakyat.41

      

40Titik Tri Wulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia (Surabaya: Fakultas

Syari’ah IAIN Sunan Ampel, 2004), 53.

41 https://id.wikipedia.org/wiki/Dewan_Perwakilan_Rakyat_Republik_Indonesia (04 Januari


(53)

   

Adapun hak-hak yang dimiliki oleh DPR antara lain:42

1) Hak interpelasi, yaitu hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidapan bermasyarakat dan bernegara. 2) Hak angket, yaitu hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap

kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan pertaturan perundang-undangan.

3) Hak menyatakan pendapat, yaitu hak DPR sebagai lembaga untuk

menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau situasi dunia internasional disertai rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket atau terhadap dugaan bahwa presiden dan/ atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, penyuapan, tindak pidanan berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau wakil presiden.

4) Hak imunitas, yaitu hak untuk tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena pernyataan dan pendapat yang disampaikan dalam rapat-rapat DPR dengan pemerintah dan rapat-rapat DPR lainnya sesuai dengan perundang-undangan.

      

42 C.S.T Kansil, et al,. Kitab Undang-Undang Lembaga Hukum dan Politik (Jakarta: Perum Percetakan Negara RI, 2004), 240-241.


(1)

   


(2)

BIBLIOGRAFI

A. BUKU

 

Ahmad, Arifi. Pergulatan Pemikiran Fiqh Tradisi Pola Mazhab.

Yogyakarta: Elsaq Press, 2010.

Ans}ari (al), Abdul Hamid. Al}-Shura> wa Atsaruha> fi al-Dinuqrat}iyah.

Kairo: Matba’ah al-Salafiyah, 1980.

Anwar, M. Syafi’i. Pemikiran dan Aliran Islam Indonesia; Sebuah Kajian

tentang Cendikiawan Muslim Orde baru. Jakarta: Paramadina, 1995.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet. 13.

Jakarta: Rineka Cipta, 2006.

Asmuni, Jamal Ma’mur. Fiqh Sosial KH Sahal Mahfudh antara Konsep dan

Implementasi. Surabaya: Khalista, 2007.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangkalan. Bangkalan dalam Angka 2008.

Bangkalan: BPS Kabupaten Bangkalan, 2008.

Badri, Ali bin. Dari Kanjeng Sunan Sampai Romo Kiai Syaikhona

Muhammad Kholil Bangkalan. Cirebon: IKAZI, 2007.

Baroroh, Umdatul et al. Epistemologi Fiqh Sosial: Konsep Hukum Islam dan

Pemberdayaan Masyarakat. Pati: Fiqh Sosial Institut, 2014.

Berry, David. Pokok-Pokok Pikiran dalam Sosiologi terj. Oleh Paulus

Wirutomo. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995.

But{i> (al), Muhammad Sa‘id Ramad{a>n. Perempuan dalam Pandangan

Barat dan Islam. Yogyakarta: Suluh Press, 2005.

Dahlan, Abdul Aziz, ed. Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 4. Jakarta: Ichtiar

Baru van Hoeve, 1995.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya..Surabaya: Mekar

Surabaya, 2004.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kiai dan

Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Edisi Revisi. Jakarta:


(3)

Faizin, Nur. Islam dan Peran Politik Perempuan (Studi terhadap Partai

Keadilan Sejahtera DIY Pasca Pemilu 2004). Skripsi. Fakultas

Syariah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007.

Faqih, Mansour. Analisis gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1996.

Fauzia, Amelia, et al,. Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004),168.

Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia dari Nalar Partisipatoris Hingga

Emansipatoris. Yogyakarta: LkiS, 2005.

Halim, Abdul. Menembus Batas Tradisi, Menuju Masa Depan yang

Membebaskan Refleksi atas Pemikiran Nucholish Madjid. Jakarta:

Penerbit Buku Kompas, 2006.

Harish, Aliman. et,al. Ra Fuad dan Civil Society. Bangkalan: LekSDam,

2004.

Hasan, Muhammad Tolhah. Islam dalam Perspektif Sosio Kultural. Jakarta:

Lantabora Press, 2005.

Hasyim, Syafiq. Hal-Hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu

Keperempuanan dalam Islam. Jakarta: Mizan, 2001.

Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam.

Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.

Johnson, Allan G. Human Arrangements an Introduction to Sociology.

Toronto: Harcourt Brace Jovanovic Publisher, 1986.

Kansil, C.S.T. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Jakarta: P.T Rineka

Cipta, 2008.

Karni, Asrori S. Pandu Ulama Ayomi Umat: Kiprah Sosial 70 Tahun Kiai

Sahal. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2007.

Khozin. Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia. Malang: UMMPress.

2001.

LTN NU Jawa Timur. Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum

Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (

1926- 2004 M). Surabaya: Khalista, 2004.

Madjid, Nurcholis. Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta:


(4)

Mahfudz, Sahal. Nuansa Fiqh Sosial. Yogyakarta: Lkis, 1994.

____________. Kritik Nalar NU, Bahtsul Masail dan Istimbath Hukum NU,

Sebuah Catatan Pendek. Jakarta: PP. Lakpesdam NU, 2002

_____________. Pesantren Mencari Makna. Jakarta: Pustaka Ciganjur dan

KMF Jakarta, 1999.

Maudu>di>, Abul A‘la>. The Islamic Law and Constitution, terj. Asep

Hikmat. Bandung: Mizan, 1995.

Mawardi (al), Abu Hasan. Al-Ahkam al-Sult}a>niyah. Beirut: Dar al-Fikr, tt.

Mufidah Ch. Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender. Malang: UIN

Malang Press, 2008.

_________. Gender di Pesantren Salaf, Why not? Menelusuri Jejak

Konstruksi Sosial Pengarusutamaan Gender di Kalangan Elit Santri. Malang: UIN Maliki Press, 2010.

Muhaimin, Ahmad. Hak-Hak Politik Perempuan, Pandangan Dewan

Pimpinan Wilayah Partai Persatuan Pembangunan Yogyakarta. Skripsi, Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009.

Muhammad, Abdul Kadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti, 2004.

Muhammad, Husein. Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama

dan Gender. Yogyakarta: LKis, 2001.

_______________. Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai

Pesantren. Yogyakarta: LkiS: 2004.

Mulia, Siti Musdah. Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan.

Jakarta: Mizan Pustaka, 2005.

Qomar, Mujamil. NU Liberal dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke

Universalisme Islam. Bandung: Mizan, 2002.

Qurthubi (al), Sumanto. Era Baru Fiqih Indonesia. Yogyakarta: Cermin,

1999.

Rofiq, Ahmad. Fiqh Kontekstual: Dari Normatif ke Pemaknaan Sosial.


(5)

Rustiani, F. “Istilah-Istilah Umum dalam Wacana Gender”, dalam Jurnal

Analisis Sosial: Analisis Gender dalam Memahami Persoalan

Perempuan, Edisi 4 November 1996, Yayasan Akatiga, Bandung,

1996.

Salim, Peters. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern

English Press, 2002.

Shihab, Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1992.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2005.

Soetjipto, Ani Widyani. Politik Perempuan Bukan Gerhana (Jakarta: Kompas

Media Nusantara, 2005

Subhan, Zaitunah. Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan. Yogyakarta:

El-kahfi, 2008.

Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta, 2008.

TB Setiawan, et,al., Bangkalan Era Otonomi Daerah perspektif

Pembangunan Kabupaten Bangkalan dalam Kepemimpinan Ir HM.

Fatah MM . Bangkalan: Yayasan Pendidikan dan Pondok Pesantren

Al-Hasaniy Assyafi‘y, 2002.

Tim Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Pola Pembelajaran di

Pesantren . Jakarta: Departemen Agama RI, 2003), 3.

Tutik, Titik Tri Wulan. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia.

Surabaya: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel, 2004.

Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an.

Jakarta: Paramadina, 2001.

Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika,

1996.

Wolfman, Brunette R. Peran Kaum Wanita, Cet.V. Yogyakarta: Kanisius,

1994.

Yanggo, Huzaemah T. Fiqh Wanita Kontemporer. Jakarta: Almawardi Prima,


(6)

B. INTERNET

Muhammad Ni’am, “Pemikiran Fikih Sosial KH. MA. Sahal Mahfudz, Fenomena Ijtihad Baru” dalam http://fisi.staimafa.ac.id/pemikiran-fikih-sosial-kh-ma-sahal-mahfudz-fenomena-ijtihad-baru/. Diakses pada tanggal 21 Januari 2015.

Husein Muhammad, “Fiqih Sosial Kiai Sahal”, dalam

http://www.nu.or.id/kolom-Fiqih-Sosial-Kiai-Sahal-.phpx. Diakses pada

tanggal 1 Desember 2014.

http://www.maduracorner.com/tak-penuhi-kuota-minimal-caleg-perempuan-kpu-ancam-coret-seluruh-caleg. Diakses pada tanggal 21 Maret 2014.

http://mufasy.blogspot.com/2014/02/asal-usul-kota-bangkalan.html. Diakses

pada tanggal9 Februari 2015.

Id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_ Bangkalan. Diakses pada tanggal 23 Agustus 2014.

http://mbaawoeland.blogspot.com/2011/12/peran-ganda-perempuan.html. 

Diakses pada tanggal 28 Maret 2014)\. C. WAWANCARA

A. Wafir, Bangkalan, 15 Januari 2015.

Jamal Ma’mur Asmani, Wawancara via telpon, 02 Juli 2015.

KH. Abdullah Khon Thabrani,Bangkalan, 11 April 2015.

KH. Imam Buchori Cholil,Bangkalan, 07 April 2015.

KH.Mas Abdul Adzim Cholili, Bangkalan, 15 April 2015.

KH. Nuruddin A. Rachman,Bangkalan, 24 April 2015.