Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh: Muhammad Munawir

1112044200016

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438H/2017

ABSTRAK

Muhammad Munawir. NIM 1112044200016. Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang Hukum Keluarga: Studi Analisis Perspektif Jender. Program Studi Ahwal Syakhshiyah (Hukum Keluarga), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438/2017 M, ix + 75 halaman.

Skripsi ini menjelaskan bahwa pemikiran dan gerakan yang memperjuangkan keadilan dan kesetaraan jender yang sedang ramai di era globalisasi sekarang ini menjadi tantangan serius ulama terutama ulama Nahdlatul Ulama (NU). Mereka tidak bisa lari dari masalah ini, karena diskursus jender sudah masuk secara sistematik dalam semua bidang, baik struktural maupun kultural. Kehadiran KH. MA. Sahal Mahfudh dengan pandangan jender yang moderat dan progresif ini menjadi angin segar bagi perjuangan menuju keadilan jender terutama dalam bidang hukum keluarga. Pengaruh besar dan otoritas keilmuan KH. MA. Sahal Mahfudh dalam komunitas NU dan bangsa secara umum menjadikan pandangannya diterima banyak kalangan dengan legitimasi keagamaan yang sangat kuat. Tujuan dari penulisan ini ada beberapa hal: a) mengetahui bagaimana pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang hukum perkawinan, b) bagaimana pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang hukum perkawinan ditinjau dari perspektif jender, dan c) bagaimana kontribusi pemikiran KH. Sahal Mahfudh tentang jender dalam dinamisasi problematika hukum keluarga Islam di Indonesia.

Jenis penelitian ini adalah library research. Data dikumpulkan dengan studi pustaka, baik berupa buku karangan langsung KH. MA. Sahal Mahfudh maupun karangan orang lain yang menulis tentang KH. MA. Sahal Mahfudh. Sumber utama dalam penulisan skripsi ini adalah buku karangan KH. MA. Sahal Mahfudh yaitu Dialog Problematika Umat, (Surabaya: Khalista, 2010). Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan pendekatan logika induktif yaitu pendekatan yang berangkat dari serangkaian fakta-fakta khusus untuk mencapai kesimpulan umum.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa: a) Diantara pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang hukum perkawinan dapat dikaji dari 4 hal, yaitu wali mujbir, nafkah, hadhanah dan nusyuz. Terkait wali mujbir, KH. MA. Sahal Mahfudh berpendapat bahwa wali mujbir tetap harus izin kepada calon perempuan agar terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Kemudian terkait nafkah, KH. MA. Sahal Mahfudh mengatakan jika suami tidak mampu memberikan nafkah, maka istri boleh mengajukan cerai. Selanjutnya terkait hadhanah, KH. MA. Sahal Mahfudh berpendapat bahwa ibu lebih berhak memelihara anak. dengan pertimbangan kasih sayang ibu dengan anak lebih kuat, lebih sabar dan lembut sehingga lebih sesuai melakukan tugas mengasuh serta merawat anak. Sedangkan terkait nusyuz, KH. MA. Sahal Mahfudh mengatakan bahwa jika istri melakukan nusyuz maka lebih baik diam dan mengedepankan dialog untuk mencari solusi efektif serta menghindari cara kekerasan. b) Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang hukum perkawinan tersebut terlihat sekali lebih menjunjung tinggi keadilan jender. Hal ini terlihat dari beberapa pendapatnya. Misalnya, terkait wali mujbir, KH. MA. Sahal Mahfudh mengatakan bahwa wali mujbir tetap harus izin kepada calon perempuan. Begitu juga terkait nafkah, bahwa perempuan dapat meminta cerai jika suami tidak memberi nafkah. Karena, nafkah adalah kewajiban suami. Akan tetapi terkait hadhanah, beliau masih bias jender, karena terlihat tidak adil bagi laki-laki. Padahal tidak sedikit laki-laki lebih sabar dan lembut dari perempuan. Sedangkan mengenai nusyuz, ini jelas adil bagi laki-laki dan perempuan, karena dalam nusyuz komunikasilah yang paling efektif dan dapat menghindari kekerasan. c) Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang jender telah memberikan kontribusi dalam dinamisasi problematika hukum keluarga Islam di Indonesia, hal tersebut dapat dilihat dari munculnya para pemikir muda yang pemikirannya seide atau senada dengan KH. MA. Sahal Mahfudh.

Kata Kunci

: KH. MA. Sahal Mahfudh, Hukum Keluarga, Jender.

Pembimbing

: Dr. Hj. Mesraini, SH., M.Ag.

Daftar Pustaka

: Tahun 1983 s.d Tahun 2016.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan nikmat sehat, nikmat iman dan Islam kepada hambanya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Sholawat dan salam semoga tetap dicurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga akhir zaman.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh setiap mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam menyelesaikan pendidikannya.

Disadari sepenuhnya bahwa kemampuan dan pengetahuan penulis sangat terbatas, dengan adanya bimbingan, pengarahan dan dukungan dari berbagai pihak sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., dan Arip Purkon, MA., ketua program studi dan sekretaris program studi Ahwal Syakhshiyah (Hukum Keluarga) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr. Hj. Mesraini, S.H., M.Ag., dosen pembimbing skripsi sekaligus sahabat diskusi bagi penulis yang sangat bijaksana, sabar dan selalu memberikan semangat kepada penulis. Serta bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan bagi penulis dalam penulisan skripsi ini.

5. Almarhum KH. MA. Sahal Mahfudh selaku tokoh yang menjadi sumber utama dalam penulisan skripsi ini.

6. Pimpinan dan staf perpustakaan utama dan perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas bagi penulis untuk melakukan studi kepustakaan.

7. Paling istimewa bagi Ayahanda Abdul Ghofur dan Ibunda Zubaedah yang selalu memberikan doa dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Sahabat Administrasi Keperdataan Islam (AKI) angkatan 2012, yang tak akan terlupakan oleh penulis, selama empat tahun perjuangan dan kebersamaan pada masa menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

9. Seluruh sahabat prodi hukum keluarga angkatan 2012, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu namanya, terimakasih atas dukungan dan sumbangan pendapat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

10. Sahabat alumni Yayasan Pendidikan Islam Al-Kenaniyah, seperti Hambali, Muthi, Qodir, Jilda, Afifah, Arif, Muti, Surismat, Faisal, Fauzi, Surismat, dan Desy. terimakasih sudah memberi dukungan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan banyak yang perlu diperbaiki lebih dalam. Oleh karena itu, saran dan kritik penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan setiap pembaca umumnya, serta menjadi amal baik di sisi Allah SWT. Hanya ucapan terimakasih dan doa yang dapat penulis berikan, semoga setiap bant uan, do‟a, motivasi yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan yang lebih baik dari Allah SWT dan menjadi catatan kebaikan di akhirat kelak. Aamiin.

Jakarta, 10 Januari 2017 Penulis

Muhammad Munawir

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Jender sebagai konstruksi sosial kultural tentang sifat yang melekat pada laki- laki dan perempuan adalah persoalan sosial yang menyita perhatian masyarakat

secara luas. 1 Definisi tersebut menjelaskan bahwa jender tidak hanya persoalan perempuan, tapi juga laki-laki. Relasi laki-laki dan perempuan menjadi kajian utama

jender. Perempuan banyak dikaji dalam isu jender karena perempuan diasumsikan sebagai kodrat yang membawa ketidakadilan dalam relasinya dengan laki-laki dalam berbagai bentuk, antara lain: marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan, beban

kerja lebih panjang dan lebih banyak, dan sosialisasi ideologi nilai peran jender. 2 Perempuan dimitoskan sebagai makhluk yang kurang akal dan agama. Mitos

ini terkait erat dengan budaya patriarkhis yang menempatkan relasi laki-laki dan perempuan secara hirarkhis. Laki-laki sebagai makhluk superior, sedangkan

perempuan adalah makhluk inferior. 3 Lahirnya kaum feminis yang mengusung isu jender bertujuan agar perempuan

memperoleh perlakuan yang adil dalam aspek kehidupan, baik domestik, politik,

1 Mansoer Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 8. 2 Mansoer Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, h. 12-13. 3 Sri Suhandjati, Mitos Perempuan Kurang Akal dan Agamanya, (Semarang: Puslit IAIN Wali Songo, 2010), h. 2-3.

sosial, ekonomi, dan pendidikan. Dari sini lahir teori persamaan kelamin (sexual equality 4 ) pada tahun 1895. Terciptanya sistem dan struktur masyarakat yang

menghargai keadilan (justice) dan kesetaraan (equality) adalah kepedulian feminisme. 5 Oleh karena itu, kaum feminis menuntut adanya kesetaraan peran laki-

laki dan perempuan di ranah publik. Lahirnya kaum feminisme tidak lepas dari era pencerahan yang menuntut kebebasan berekspresi, berserikat, dan beraktualisasi sebagai salah satu komponen utama hak asasi manusia. Perempuan sama dengan laki-laki untuk mendapatkan kebebasan tersebut, sehingga tidak boleh ada diskriminasi dan subordinasi. Pada abad

19, feminisme memfokuskan pada agenda transformasi kultural, tapi tetap kritis terhadap pembangunan yang sedang berjalan. Transformasi kultural dilakukan untuk

penguatan aspek agama, perkawinan, dan rumah tangga. 6 Pada abad 20, feminisme memfokuskan pada agenda politik. Politik menjadi

kekuatan utama untuk melakukan perubahan praktis. 7 Pada abad 21, feminisme memfokuskan pada penghapusan kelas, etnik, ras,dan seksualitas antara laki-laki dan

perempuan. 8 Semua bentuk perjuangan feminis bertujuan untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan di ranah domestik dan publik agar keduanya

bisa saling melengkapi dalam proses transformasi sosial yang berkembang.

4 Abdul Mustakim, Paradigma Tafsir Feminis, (Yogyakarta: Logung Pustaka, tt), h. 83. 5 Abdul Mustakim, Paradigma Tafsir Feminis, h. 86.

6 Josephine Donovan, Feminist Theory, (New York: Continuum International, 2000), h. 17. 7 Josephine Donovan, Feminist Theory, h. 183.

8 Josephine Donovan, Feminist Theory, h. 199.

Perjuangan menegakkan keadilan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan berhadapan dengan dominasi agama dan budaya yang patriarkhis. Patriarkhi adalah sistem struktur atau praktek sosial yang memberikan kewenangan kepada laki-laki untuk mendominasi, menekan, dan mengeksploitasi perempuan. Dominasi laki-laki terhadap perempuan terjadi pada badannya, seksualitasnya, pekerjaannya, perannya, dan statusnya dalam keluarga dan masyarakat. Patriarkhi inilah yang melahirkan norma sosial, hukum, dan moral yang mengunggulkan laki-laki atas perempuan,

sehingga perempuan tersubordinasi dan termarginalkan. 9 Banyak sekali isu jender yang digunakan untuk mendobrak patriarkhi, baik

dalam konteks sejarah, ibadah, pernikahan, dan politik, antara lain: asal usul perempuan, adzan, imam shalat, menjadi khatib, batas „aurat, kepemimpinan perempuan dalam politik, menjadi wanita karir, waris, saksi, hak memilih pasangan, poligami, hak reproduksi, aborsi, kekerasan dalam rumah tangga, „iddah, nikah beda agama, talak, wali nikah, beban ganda, dan TKW (tenaga kerja wanita). 10

Pemikiran dan gerakan yang memperjuangkan keadilan dan kesetaraan jender yang sedang ramai di era globalisasi sekarang ini menjadi tantangan serius ulama Nahdlatul Ulama (NU). Mereka tidak bisa lari dari masalah ini, karena diskursus jender sudah masuk secara sistematik dalam semua bidang, baik struktural maupun

9 Ahmad Baidowi, Memandang Perempuan, Bagaimana Al- Qur‟an dan Penafsir Modern Menghormati Kaum Hawa? , (Bandung: Marja, 2011), h. 32-33. 10 Tutik Hamidah, Fikih Perempuan Berwawasan Gender, (Malang: UIN Maliki Press, 2001), h. 59-184.

kultural. Secara struktural, di birokrasi, adanya Menteri Peranan Wanita adalah contoh konkret perhatian besar negara dalam pemberdayaan kaum perempuan. 11

Secara kultural, lahirnya lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lembaga kajian dan penerbitan yang fokus pada kajian keadilan dan kesetaraan jender, seperti Rahima Jakarta, Woman Crisis Center di Jombang, Jawa Timur, dan Fahmina Institut

Cirebon, gencar mengusung agenda jender. 12 Dalam konteks merespons gerakan jender ini, para ulama NU menjadikan

kitab kuning yang berhaluan Aswaja sebagai referensi utama. Forum yang fokus pada kajian persoalan aktual dalam perspektif kitab kuning adalah bahtsul masa‟il al-

diniyah (mengkaji masalah-masalah agama) yang diselenggarakan oleh Lembaga Bahtsul Masa‟il (LBM) yang melibatkan para kiai, baik yang menjadi pengasuh

pondok pesantren atau tidak, santri pondok pesantren, akademisi dari kampus, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan lain-lain.

Menurut Ahmad Zahro, LBM NU tidak lepas dari tradisi pemikiran fikih mazhabi, yaitu fikih yang mengikuti pendapat salah satu mazhab empat, yakni

Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan Hambali. Dalam memecahkan masalah, fikih empat mazhab ini menjadi acuan utamanya. 13

Revitalisasi pandangan jender ulama NU merupakan sebuah hal penting. Hal ini agar Islam mampu merespons dinamika zaman yang berjalan sangat kencang

11 Jamal Ma‟mur Asmani, Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh Elaborasi Lima Ciri Utama , (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2015), h. 261. 12 Jamal Ma‟mur Asmani, Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh Elaborasi Lima Ciri Utama , h. 262.

13 Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual, (Yogyakarta: LkiS, 2004), h. 1.

sehingga dituntut mencari formula yang dinamis dan progresif, tidak terjebak dalam romantisme historis, tapi mampu memadukan semangat ajaran yang ada dalam kitab kuning dan spirit global yang meniscayakan kesetaraan gender. Dalam konteks ini, ada seorang ulama dan aktivis NU yang memegang pemimpin puncak dalam lembaga kaum sarungan ini yang mempunyai pandangan moderat-progresif dalam merespons

problema perempuan. 14 Beliau adalah Dr. KH. MA. Sahal Mahfudh yang sampai meninggal masih

menjabat sebagai Rais „Am Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Menurut banyak orang, begawan fikih sosial ini mempunyai pikiran-pikiran menarik tentang jender yang bisa dijadikan model pemikiran jender ideal dalam konteks keindonesiaan yang plural. Tidak hanya itu, Sahal Mahfudh juga memperjuangkan keadilan jender dalam aksi

nyata di masyarakat, sehingga manfaatnya bisa dirasakan umat secara luas. 15 Betulkah demikian? Bagaimanakah sesungguhnya Pemikiran KH. MA. Sahal

Mahfudh ini terkait posisi perempuan dan laki-laki dalam keluarga?. Di sinilah pentingnya mengkaji dinamika pemikiran Sahal Mahfudh untuk mendapatkan autentisitas pandangan-pandangannya tentang isu-isu jender dalam hukum keluarga.

14 Jamal Ma‟mur Asmani, Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh Elaborasi Lima Ciri Utama , h. 267.

15 Jamal Ma‟mur Asmani, Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh Elaborasi Lima Ciri Utama , h. 267.

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka penulis bermaksud

mengadakan penelitian lebih lanjut dengan judul penelitian: “Pemikiran KH. MA.

Sahal Mahfudh tentang Hukum Keluarga: Studi Analisis Perspektif Jender”.

B. Identifikasi Masalah

Penelusuran pemikiran Sahal Mahfudh, sebagai kajian dalam tulisan ini, mengacu tentang konstruksi pemikiran Sahal Mahfudh mengenai jender dalam bidang hukum perkawinan. Ruang lingkup kajian ini, kemudian akan lebih disistematisir dalam bentuk analisis dan uraian seputar konstruksi pemikiran Sahal Mahfudh mengenai jender dalam bidang hukum perkawinan, pokok-pokok pikirannya tentang sumber dan dalil hukum sebagai kerangka dasar bagi konstruksi pemikiran hukumnya, aplikasi metode pemikiran Sahal Mahfudh mengenai jender serta kontribusi pemikirannya dalam dinamika perkembangan hukum keluarga di Indonesia.

Selanjutnya sesuai dengan kajian tersebut, secara khusus dalam pembahasan ini penulis lebih berupaya pada penyelidikan pemikiran Sahal Mahfudh mengenai jender dalam wacana reformulasi hukum keluarga Islam di Indonesia dan pemikiran kontemporer dalam perumusan dan pengembangan hukum keluarga di Indonesia.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Masalah pokok yang dikaji dan diteliti dalam tulisan ini adalah bagaimana sesungguhnya pemikiran Sahal Mahfudh tentang jender dalam bidang hukum keluarga dan dinamisasi perkembangan hukum keluarga di Indonesia.

Karena ruang lingkup kajian Hukum Keluarga sangat luas, maka dalam penelitian ini hanya dibatasi tentang persoalan wali dalam perkawinan, nafkah, hadhanah dan nusyuz. Keempat kajian tersebut dipilih karena tulisan Sahal Mahfudh cukup panjang berkenaan hal tersebut.

Untuk menganalisis kajian ini, maka masalah tersebut dirumuskan dengan perincian sub-sub masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang Hukum Perkawinan?

2. Bagaimana pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang Hukum Perkawinan ditinjau dari perspektif jender?

3. Bagaimana kontribusi pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang jender dalam dinamisasi perkembangan hukum keluarga di Indonesia?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan terpenting yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang perkawinan.

2. Mengetahui pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang perkawinan ditinjau dari perspektif jender.

3. Mengetahui sejauh mana kontribusi pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang jender dalam perkembangan hukum keluarga di Indonesia.

E. Review Studi Terdahulu

Review studi terdahulu perlu dilakukan untuk menguasai teori yang relevan dengan topik atau masalah penelitian dan rencana model analisis yang akan dipakai.

Idealnya penulis dapat mengetahui hal-hal apa saja yang telah diteliti dan yang belum diteliti, sehingga tidak terjadi duplikasi atau plagiat penelitian.

1. Abdul Karim, Kesetaraan Gender dalam Pemikiran Fiqh Perempuan Kontemporer (Studi Pemikiran Zaitunah Subhan dan Ratna Megawangi) , Skripsi, Tahun 2001 IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Skripsi tersebut menjelaskan bagaimana Pemikiran Zaitunah Subhan dengan kritik dan kajiannya terhadap salah satu sumber Hukum fiqh yakni al- Qur‟an dengan berbagai macam corak penafsirannya, mencoba memberikan pandangannya terhadap pentingnya reinterpretasi. Zaitunah Subhan hendak membuktikan konsepnya tentang kesetaraan guna menghilangkan penafsiran al- Qur‟an yang masih bias gender. Sedang Ratna Megawangi lebih terpengaruh oleh pemikiran sufistik dan menyajikan hasil penelitian di lapangan.

2. Imamul Muttaqin, Studi Analisis terhadap Pendapat KH. MA. Sahal Mahfudh tentang Wali Mujbir , Jurnal Al-Hukama volume 2 No.1, Juni 2012. Jurnal ini membahas bagaimana pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang wali mujbir? Kemudian bagaimana metode istinbath hukum KH. MA. Sahal Mahfudh? Serta bagaimana analisis terhadap pendapat KH. MA. Sahal Mahfudh mengenai wali mujbir?. Di dalam penelitian ini, menurut KH. MA. Sahal Mahfudh terkait wali mujbir ini, bahwa anak berhak menolak dikawinkan dengan laki-laki yang bukan setara tanpa persetujuannya serta orang tua juga berhak menolak keinginan anak gadisnya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak setara. Menurutnya, meminta persetujuan si anak, selain dianggap baik dari sisi nilai ajaran yang disampaikan

Rasulullah SAW, juga didukung kaidah fikih al-khuruj min al-khilaf mustahab, keluar dari perbedaan dengan mengompromikan pendapat yang berbeda-beda adalah lebih disukai. Mengingat perkawinan ini merupakan suatu ibadah, maka hendaknya dalam melaksanakan perkawinan tidak hanya memerhatikan kepentingan sepihak semata, namun juga mesti memerhatikan kepentingan semua pihak yang bersangkutan.

Kedua penelitian di atas ini jelas berbeda dengan penulis lakukan, karena penulis meneliti Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang Hukum Keluarga: Studi Analisis Perspektif Jender. Yang mana di dalamnya ingin mengetahui dan meneliti bagaimana pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam Hukum Keluarga, kemudian bagaimana pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh ditinjau dari perspektif jender, dan bagaimana kontribusi KH. MA. Sahal Mahfudh dalam problematika perkembangan hukum keluarga Islam di Indonesia.

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang bersifat atau memiliki karakteristik, bahwa datanya dinyatakan dalam keadaan sewajarnya, atau sebagaimana aslinya (natural setting), dengan tidak diubah dalam bentuk simbol-simbol atau bilangan. Penelitian kualitatif ini tidak bekerja menggunakan data dalam bentuk atau diolah dengan rumusan dan tidak ditafsirkan / diinterpretasikan sesuai ketentuan statistik / matematik. Karenanya teknik pengumpulan datanya menggunakan library research (studi kepustakaan) yaitu Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang bersifat atau memiliki karakteristik, bahwa datanya dinyatakan dalam keadaan sewajarnya, atau sebagaimana aslinya (natural setting), dengan tidak diubah dalam bentuk simbol-simbol atau bilangan. Penelitian kualitatif ini tidak bekerja menggunakan data dalam bentuk atau diolah dengan rumusan dan tidak ditafsirkan / diinterpretasikan sesuai ketentuan statistik / matematik. Karenanya teknik pengumpulan datanya menggunakan library research (studi kepustakaan) yaitu

masalah penelitian. 16

2. Sifat Penelitian

Adapun sifat penelitian ini adalah deskriptif-analisis. Deskriptif adalah metode penyajian data secara sistematis sehingga dapat dengan mudah dipahami dan dikumpulkan, sedangkan analisis adalah menguraikan sesuatu dengan tepat dan terarah. Jadi deskriptif-analisis yaitu suatu penelitian yang menggambarkan, mengklarifikasi serta secara objektif data-data yang dikaji kemudian menganalisisnya.

3. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Dr. M. Djunaidi Ghony & Fauzan Almanshur terdiri dari: 17

1. Data Primer. Data primer dalam penelitian ini adalah buku karya KH. MA. Sahal Mahfudh yang berjudul Dialog Problematika Umat.

2. Data Sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini adalah yang menuliskan tentang KH. MA. Sahal Mahfudh seperti buku Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh (Elaborasi Lima Ciri Utama) , Epistemologi Fiqh Sosial (Konsep Hukum Islam dan Pemberdayaan Masyarakat), dan Fiqh Sosial

16 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Djaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 17-18.

17 M. Djunaidi Ghony, Fauzan Almanshur, Petunjuk Praktis Penelitian Pendidikan, (Malang: UIN Malang Press, 2009), h. 196.

(Masa Depan Fiqh Indonesia) . Kemudian buku-buku lain yang ditulis oleh KH. MA. Sahal Mahfudh seperti: Wajah Baru Fikih Pesantren, Pesantren Mencari Makna , dan Nuansa Fikih Sosial.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini hanya pada studi dokumen. Mulai dari buku-buku karya KH. MA. Sahal Mahfudh sampai tulisan orang lain mengenai KH. MA. Sahal Mahfudh.

5. Analisis Data

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, sehingga analisis datanya menggunakan pendekatan logika induktif yang membangun silogisme pada hal-hal khusus atau data yang ada pada buku-buku dan bermuara pada kesimpulan- kesimpulan yang umum. Tahap analisis induktif adalah sebagai berikut: Pertama, melakukan pengamatan terhadap suatu fenomena sosial, melakukan identifikasi, revisi, dan pengecekan ulang terhadap data. Kedua, melakukan kategorisasi terhadap data yang diperoleh. Ketiga, menelusuri dan menjelaskan kategorisasi yang dibuat. Keempat, menjelaskan hubungan kategorisasi. Kelima, menarik

kesimpulan umum. Keenam, membangun atau menjelaskan suatu teori. 18

6. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sejarah atau pemikiran, maka pendekatan penelitian ini mengggunakan pendekatan

18 M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008), h. 143- 144.

historis, yaitu sebuah pendekatan dengan kajian masa lampau secara sistematis dan objektif dengan mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi serta mensintesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan

yang kuat. 19

7. Teknik Penulisan

Teknik penulisan ini, merujuk pada penulisan skripsi, tesis, disertasi disertai denga buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu

(PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum Jakarta 2012. 20

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab pertama adalah pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah,

identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua membahas tentang riwayat hidup KH. MA. Sahal Mahfudh yang terdiri dari kelahiran, latar belakang keluarga, pendidikan, perjuangan KH. MA. Sahal Mahfudh dan karya-karyanya.

19 Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Cet. XVI, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), h. 73.

20 Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.

Bab ketiga landasan teori penelitian yang membahas tentang jender dan diskursus isu-isu pernikahan. Yang terdiri dari pembahasan mengenai jender dalam Islam dan isu-isu jender dalam fikih munakahat.

Bab keempat yang merupakan analisa terhadap pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang isu-isu jender. Bab ini mengupas tentang pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang perkawinan, analisa atas pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang perkawinan dan perspektif jender, kemudian kontribusi pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam dinamisasi perkembangan hukum keluarga Islam di Indonesia.

Bab kelima adalah penutup yang merupakan kesimpulan dari penelitian ini dan rekomendasi saran-saran bagi penelitian lebih lanjut.

BAB II BIOGRAFI INTELEKTUAL KH. MA. SAHAL MAHFUDH

A. Kelahiran dan Latar Belakang Keluarga

Sahal Mahfudh terlahir dengan nama lengkap Muhammad Ahmad Sahal bin Mahfudz bin Abdus Salam al-Hajaini. Lahir di Kajen, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, pada 16 Februari 1933. Tanggal tersebut memang tidak sama dengan tanggal yang digunakan dalam Kartu Tanda Penduduk maupun dokumen-dokumen resmi lainnya. Namun belakangan ditemukan sebuah catatan lama milik ayahandanya yang menerangkan tanggal lahir Kiai Sahal yang sebenarnya bukanlah tanggal 17

Desember 1937, namun tanggal 16 Februari 1933 M. 1 Data terakhir ini belum banyak dipublikasikan karena memang bukti bahwa

Kiai Sahal lahir pada 16 Februari 1933 ini baru ditemukan kurang lebih dua tahun sebelum beliau wafat. 2 Data mengenai tanggal lahir Kiai Sahal memang berbeda-

beda. Umumnya yang digunakan adalah tanggal 17 Desember 1937. 3 Yang agak berbeda adalah data yang tertera dalam buku yang berjudul “Kiai Sahal, Sebuah

1 Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), (Pati: PUSAT FISI, 2016), h. 3.

2 Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 3. 3 Asrori S. Karni, Abdul Wasik, Pandu Ulama Umat: Kiprah Sosial 70 Tahun Kiai Sahal, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, Cet.I, 2007), h. 1.

Biografi”. Dalam buku tersebut tertulis Kiai Sahal lahir pada tanggal 15 Februari 1934. 4

Perbedaan mengenai data tanggal lahir ini penting untuk diluruskan, terutama bagi para peneliti yang bermaksud untuk belajar tentang kehidupan Kiai Sahal berdasarkan kronik atau urutan waktu, tanggal, maupun usia. Perbedaan data mengenai tanggal lahir ini pula yang menyebabkan adanya perbedaan keterangan yang menyatakan bahwa Kiai Sahal ditinggal wafat oleh ayahandanya pada usia 7 tahun, jika merujuk tanggal lahir Kiai Sahal adalah tanggal 17 Desember 1937. Namun, Kiai Sahal sendiri mengaku bahwa beliau ditinggal wafat oleh ayahandanya ketika berusia sekitar 11 tahun, dan ini sangat cocok jika merujuk tanggal lahir beliau

adalah 16 Februari 1933. 5 Perbedaan tanggal lahir ini kemudian juga berdampak pada pernyataan yang

tidak sama mengenai pada usia berapa Kiai Sahal mulai berkorespondensi dengan Syekh Yasin al-Fadani, kemudian kapan Kiai Sahal mulai menulis kitab-kitabnya, hingga usia berapa Kiai Sahal wafat. Mengenai usia wafatnya, misalnya, jika merujuk pada tanggal lahir yang pertama, 17 Desember 1937, maka Kiai Sahal wafat pada usia

77 tahun. Namun jika merujuk pada data tanggal lahir yang kedua, 16 Februari 1933, maka Kiai Sahal wafat pada usia 81 tahun. 6

4 Mujib Rahman dkk., Kiai Sahal, Sebuah Biografi. (Jakarta: Penerbit KMF Jakarta, Cet. I, 2012), h. 11.

5 Tutik Nurul Janah, Metode Fiqh Sosial, Dari Qauli Menuju Manhaji, (Pati: Staimafa Press, Cet. I, 2005), h. 186. Lihat juga: catatan kaki buku Epistemologi Fiqh Sosial, Konsep Hukum Islam

dan Pemberdayaan Masyarakat , (Pati: Staimafa Press & Fiqh Sosial Intitute, Cet. I, 2014), h. 90. 6 Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 4.

Sejak kecil sampai akhir hayatnya, Kiai Sahal tidak pernah lepas dari kehidupan pesantren. Beliau lahir dari pasangan Kiai Mahfudz bin Abdus Salam dan Nyai Badi‟ah. Kiai Mahfudz bin Abdus Salam adalah saudara misan (adik sepupu) KH. Bisri Sansuri, salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama, yang wafat pada 25 April

1981. Istri Kiai Sahal sendiri, Hj. Dra. Nafisah, adalah cucu KH. Bisri Sansuri. 7 Pada tahun 1969 KH. Sahal Mahfudh menikah dengan Dra. Hj. Nafisah binti

KH. Abdul Fatah Hasyim, Pengasuh Pesantren Fathimiyah Tambak Beras Jombang

dan memiliki putra yaitu Abdul Ghofar Rozin. 8

B. Pendidikan

Perjalanan intelektual Kiai Sahal adalah sejarah dari pesantren ke pesantren. Karenanya, jika berbincang mengenai tradisi keagamaan dan model keilmuan seperti apa yang menjadi latar belakang kehidupan Kiai Sahal, maka jawabannya adalah

tradisi keilmuan dan corak pemikiran pesantren. 9 Pesantren yang dimaksud adalah pesantren ala Nahdliyyin yang mendasarkan

pemikiran fiqhnya berdasarkan fiqh empat madzhab dan melandaskan tasawufnya ala Abu Musa al Asy‟ari dan al-Maturidi. Namun dalam kenyatannya, pesantren di Indonesia pesantren di Jawa bisa disebut sebagai pengikut fanatik madzhab Syafi‟i.

7 Asrori S. Karni, Abdul Wasik, Pandu Ulama Umat: Kiprah Sosial 70 Tahun Kiai Sahal, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, Cet.I, 2007), h. 1.

8 Zamakhsari Dhafi, Tradisi Pesantren (Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai), cet. 3 (Jakarta: LP3ES, 1984), h. 61

9 Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 13.

Maka dapat disimpulkan bahwa Kiai Sahal tumbuh diantara tradisi keagamaan dan masyarakat Nahdlatul Ulama. 10

Sahal muda menyelesaikan pendidikannya di Perguruan Islam Mathali‟ul Falah, beliau melanjutkan pendidikannya di pesantren Bendo, Pare, Kediri, Jawa Timur hingga tahun 1957. Setelah dari Kediri, Kiai Sahal memutuskan untuk memperdalam ushul fiqh dengan mengaji secara langsung kepada Kiai Zubair di

pesantren Sarang, Rembang, Jawa Tengah hingga tahun 1960. 11 Selama di Sarang inilah Kiai Sahal banyak melakukan diskusi melalui surat-

menyurat dengan ulama kharismatik asal Padang yang berdomisili di Mekkah. Karenanya, usai nyantri di Sarang, Rembang, saat berkesempatan menunaikan ibadah haji, Kiai Sahal bertemu dan berguru secara langsung kepada Syeikh Yasin al-Fadani

di Mekkah untuk pertama kalinya. 12 Kesempatan untuk bertemu dan berguru lagi kepada Syeikh Yasin al-Fadani

datang untuk kedua kalinya ketika Kiai Sahal menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya bersama istri tercinta, Nyai Nafisah. Kesempatan kedua ini merupakan saat Kiai Sahal dan Nyai Nafisah banyak menerima ijazah secara langsung dari Syeikh

Yasin. 13 Meski menghabiskan masa pendidikan dari pesantren ke pesantren, namun

disiplin ilmu yang dikuasai Kiai Sahal cukup beragam. Kiai Sahal dikenal bukan saja

10 Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 13-14. 11 Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 14.

12 Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 14. 13 Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 14.

menguasai keilmuan yang lazim dipelajari di pesantren seperti bahasa Arab, tafsir, fiqh, hadis, ushul fiqh, tasawwuf, mantiq, balaghah dan lain-lain. 14 Namun, lebih dari

itu, Kiai Sahal merupakan ulama yang fasih berbicara diantara kaum intelektual kota dan para akademisi. Hal ini dikarenakan selain tingkat kecerdasan di atas rata-rata yang dimilikinya, Kiai Sahal juga merupakan ulama yang tak pernah lelah belajar. Kiai Sahal selalu bersemangat untuk mempelajari hal-hal baru yang dirasa bermanfaat untuk dirinya dan masyarakat di sekitarnya. Semangat belajar ini ditunjukkan beliau sejak usia muda yakni dengan berusaha mempelajari Bahasa Inggris, Bahasa Belanda, Tata Negara, Administrasi dan Filsafat melalui kursus

privat, baik di Kajen, Pati maupun selama mondok di Bendo, Kediri. 15

C. Perjuangan KH. MA. Sahal Mahfudh

Proses pembentukan pemikiran Kiai Sahal berangkat dari liku-liku kehidupannya. Lahir dari keluarga pesantren dan ditinggal wafat oleh ayahnya dan kemudian disusul oleh ibunya pada saat usianya masih belasan tahun, membuat Kiai Sahal muda tumbuh sebagai sosok yang cukup perasa. Getir hidup di usia muda merupakan pelecut semangatnya untuk dapat berbuat semaksimal mungkin yang bisa

dilakukannya. 16 Kiai sahal sendiri memang selalu melandaskan pemikiran dan gerakannya

sebagai bagian dari tujuan utamanya untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Sadar bahwa berorganisasi merupakan salah satu kekuatan utama yang harus

14 Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 14-15. 15 Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 15. 16 Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 20.

dibangun agar umat menjadi kuat dan berdaya, Kiai Sahal mulai aktif dalam berbagai organisasi. Baik organisasi sosial kemasyarakatan maupun organisasi politik. Saat memulai kiprahnya di Nahdlatul Ulama, saat itu NU sedang menjadi partai politik. Karenanya Kiai Sahal juga tercatat pernah aktif sebagai pengurus di Partai Nahdlatul Ulama. Dan itulah satu-satunya waktu dimana Kiai Sahal aktif dalam partai politik.

Sepulang dari nyantri di Sarang, kemudian memutuskan untuk menikah dan menetap di kampung halamannya, Kajen, Kiai Sahal praktis memulai segala aktifitasnya sembari mengasuh pesantren yang didirikan oleh orang tuanya. Kiai Sahal memiliki aktifitas yang beragam. Selain sebagai Pengasuh Pesantren Maslakul Huda dan Direktur Perguruan Islam Mathali‟ul Falah, beliau juga memimpin

beberapa organisasi dan bergaul dengan tokoh-tokoh muda pada awal 1980-an. Salah satu tokoh muda kala itu yang cukup akrab dengan Kiai Sahal adalah KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil „Gus Dur‟ dan KH. Mustofa Bisri atau yang akrab dipanggil „Gus Mus‟. Bersama Gus Dur yang masih terhitung

sebagai keponakannya sendiri itu, Kiai Sahal mulai banyak bergaul dengan para aktifis LSM dan pegiat gerakan-gerakan sosial. 17

Pada tahun 80-an hingga 90-an ini bisa disebut sebagai masa paling aktif dalam kehidupan Kiai Sahal. Saat itu Kiai Sahal memasuki usia 50-an, dengan kondisi kesehatan yang terbilang cukup prima dan dengan semangat pengabdian masyarakat yang dilakukannya Kiai Sahal mulai aktif menjadi pembicara dalam berbagai forum ilmiah di Indonesia dan di manca negara. Dalam hal ini Kiai Sahal

17 Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 21.

banyak menulis mengenai kesehatan keluarga, kependudukan dan kontrasepsi. Pro- kontra banyak dirasakannya. Bahkan ada pula masa ketika Kiai Sahal dipertanyakan keberpihakannya karena seolah-olah menjadi corong pemerintah lantaran keikutsertaannya dalam kampanye yang dilakukannya ini, Kiai Sahal pernah diganjar penghargaan oleh PBB sebagai tokoh masyarakat yang peduli terhadap isu

kependudukan. 18 Pada tahun 80-an hingga 90-an ini juga dapat dikatakan sebagai masa paling

produktif bagi Kiai Sahal. Baik produktif dalam menghasilkan karya-karya ilmiah maupun dalam gerakan sosial. Jika sebagian besar kitab-kitab berbahasa Arab ditulis Kiai Sahal pada masa beliau nyantri di Sarang, pada tahun 80-an sampai 90-an ini Kiai Sahal lebih banyak menuangkan pemikirannya dalam bentuk karya ilmiah berbahasa Indonesia. Tulisannya juga mulai tersebar di media lokal maupun nasional. Pada tahun-tahun tersebut Kiai Sahal telah bertransformasi dari seorang santri yang lebih banyak menyimak pesan dari gurunya menjadi seorang ulama yang siap merealisasikan ide-ide fiqh sosial tentang gerakan sosial. Pada fase ketiga inilah, Kiai Sahal mulai menampakkan kekhasan corak berfikir dan kemudian corak gerakannya. Oleh karena itu, menelusuri jejak pemikiran fiqh sosial Kiai Sahal juga akan lebih

mudah dari karya-karya beliau yang ditulis pada tahun 80-an sampai 90-an. 19 Dengan tetap berkonsultasi dengan pamannya, Kiai Abdullah Salam, yang

senantiasa menjadi pengayom utama Kiai Sahal pasca meninggalkan ayahandanya,

18 Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 21. 19 Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 21-22.

Kiai Sahal mulai mengukuhkan pemikiran dan gerakan sosial yang dilakukannya dalam tinta sejarah. 20

Kiai Sahal sendiri mengakui bahwa baik gerakan di bidang ekonomi, kesehatan maupun pendidikan yang dilakukannya tidak menemui kesulitan yang berarti karena gerakan ini menyentuh langsung kebutuhan dasar masyarakat secara umum. Gerakan ekonomi Kiai Sahal dimulai dengan upaya beliau merintis dan merealisasikan program pengembangan masyarakat yang profesional sebagai upaya membantu masyarakat sekitar pesantren pada khususnya dan masyarakat lain pada umumnya. Melalui pesantren yang dipimpinnya, Kiai Sahal membentuk sebuah lembaga yaitu Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (BPPM). Lahirnya BPPM bermula dari keprihatinan Kiai Sahal pada sulitnya kondisi ekonomi masyarakat sekitar pesantren.

Pemikiran ekonomi Kiai Sahal bersambut, manakala Lembaga Penelitian Pendidikan dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dari Jakarta menawarkan kepada Kiai Sahal untuk mendirikan sebuah lembaga yang berbasis pengembangan ekonomi pesantren dan masyarakat. Maka pada tahun 1979 secara resmi dibentuk lembaga Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (BPPM) yang kemudian pada tahun 1980 dilembagakan dengan akta notaris Imam Sutarjo, SH. Nomor 2, dan pada tahun

1987 disempurnakan dengan akta notaris nomor 34. 21

20 Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 22. 21 Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 24.

Selain gerakan di bidang ekonomi, Kiai Sahal juga aktif mendorong gerakan di bidang kesehatan. Demi menunjang pencapaian kehidupan yang sehat dan pentingnya menjaga kesehatan, maka penting dibentuk sebuah lembaga yang menangani kesehatan umat.

Dalam usaha memperbaiki kesehatan, terutama gizi keluarga, Kiai Sahal melihat bahwa akar masalah sebenarnya berhubungan erat dengan masalah ekonomi, kebudayaan dan agama. Karenanya, Kiai Sahal mengawali gerakan di ranah kesehatan dengan berinisiatif untuk mendorong santri di madrasah yang dipimpinnya yakni Perguruan Islam Mathali‟ul Falah (PIM) terlibat dalam kegiatan Taman Gizi

(semacam POSYANDU) untuk ibu dan balita di lingkungan sekitar. Selain Taman Gizi, Kiai Sahal juga menginisiasi berdirinya Rumah Bersalin (RB) yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Rumah Sakit Islam Pati. Inisiatif Kiai Sahal untuk mendirikan RSI Pati ini menunjukkan bahwa persoalan kesehatan masyarakat merupakan persoalan yang harus ditangani oleh orang yang ahli dalam bidangnya. Rumah Sakit sebagai institusi yang menaungi para ahli medis dipandang

sangat tepat untuk menyelesaikan kesehatan masyarakat. 22 Selain di bidang ekonomi dan kesehatan yang tak kalah penting adalah

dedikasi Kiai Sahal untuk dunia pendidikan. Berangkat dari pesantren yang diasuhnya, Kiai Sahal berupaya menyelenggarakan sistem pendidikan karakter untuk menuju terciptanya manusia yang shalih akram. Selain mendidik santri di Pesantren Maslakul Huda dan di Pergur uan Islam Mathali‟ul Falah, Kiai Sahal juga tercatat

22 Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 32.

menginisiasi berdirinya Sekolah Tinggi Agama Islam Pati (STAIMAFA), yang kini sudah beralih status menjadi Institut Pesantren Mathali‟ul Falah (IPMAFA) dan

menginisiasi berdirinya INISNU (kini UNISNU). Kiai Sahal berharap pesantren dengan sistem pendidikannya yang khas mampu mewarnai pendidikan di Indonesia. 23

Kiai Sahal mempunyai peran penting dalam organisasi sosial keagamaan terbesar di dunia yang pernah dipimpinnya selama tiga periode, yakni Nahdlatul Ulama. Sebelum akhirnya dipercaya menduduki posisi tertinggi dalam organisasi Nahdlatul Ulama, Kiai Sahal telah aktif dalam organisasi tersebut semenjak dari level terbawah. Tercatat beliau pernah menjadi Katib Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) Pati sejak tahun 1967-1975. Ketika itu, NU masih menjadi organisasi politik. Beliau juga tercatat pernah menjadi ketua Rabithah Ma‟ahid Islamiyah Jawa Tengah dan ketua MUI Jawa Tengah. Aktifitas beliau di NU terus berlanjut hingga Kiai Sahal dipercaya sebagai Wakil Rais „Am hingga akhirnya Rais „Am Nahdlatul Ulama selama tiga periode berturut-turut. Yakni pada muktamar NU di Lirboyo pada tahun 1999, kemudian muktamar NU di Solo pada tahun 2004, dan muktamar NU di Makassar tahun 2010. Selain sebagai Rais „Am Nahdlatul Ulama, beliau juga dipercaya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia. Bahkan ketika wafat, Kiai Sahal masih dalam masa menyelesaikan masa bhaktinya di kedua lembaga tersebut.

Kiai Sahal Mahfudh wafat pada hari Jum‟at, tanggal 24 Januari 2014, pukul

01.00 dini hari di kediamannya, Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah

23 Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 33.

D. Karya-karyanya

Terdapat sepuluh kitab yang ditulis Kiai Sahal, diantaranya:

1) Thariqat al-Husnul „alaa Ghayah al-Ushul.

2) Al-Tsamarah al-Hajayniyah.

3) Al-Fawa‟id al-Najibah.

4) Al-Bayan al-Mulamma‟ ‟an Alfdz al-Lumd‟.

5) Intifah al-Wajadayn „inda Munadharah al-„Ulama Hajayn fi Ru‟yah al- Mabi‟ bi-Zujaj al-„Aynayn.

6) Faid al-Hija „ala Nayl al-Raja.

7) Al-Tarjamah al-Munbalijah „an Qasiidah al-Munfarijah.

8) Al-Murannaq penjelas atas Kitab Sullam al-Munawraq

9) Izalat al-Muttaham penjelas atas Idlah al-Mubham „an Ma‟ani al-Sullam karya Ahmad Ibn Abd al- Mun‟im al-Damanhuri.

10) Anwar al-Bashair Penjelas atas kitab Al-Asybah wa al-Nadhair karangan Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuti. Selain kitab-kitab berbahasa Arab, Kiai Sahal juga telah menghasilkan beberapa buku berbahasa Indonesia, diantaranya:

1) Nuansa Fiqih Sosial.

2) Pesantren Mencari Makna.

3) Wajah Baru Fiqh Pesantren.

4) Dialog Problematika Umat.

5) Ensiklopedi Ijma‟, Karya bersama KH. A. Mustofa Bisri.

BAB III JENDER DAN DISKURSUS ISU-ISU PERNIKAHAN

A. Jender dalam Islam

Kata “jender” berasal dari bahasa Inggris, gender, berarti “jenis kelamin”. 1 Dalam Webster‟s New World Dictionary, jender diartikan sebagai “perbedaan yang

tampak antara laki- 2 laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku”. Di dalam Women‟s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa jender adalah suatu

konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang

berkembang dalam masyarakat. 3 Tetapi oleh beberapa ahli jender keterangan itu mesti ditambah dan

disempurnakan. Wilson yang dikutip Yudhie R.Haryono menulis; jender adalah sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan kolektif (masyarakat), yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Jadi ada aspek fungsi

yang membedakan antar keduanya, yaitu antara laki-laki dan perempuan. 4 Jender adalah perbedaan sosial antara laki-laki dan perempuan yang dititik

beratkan pada perilaku, fungsi dan peranan masing-masing yang ditentukan oleh

1 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, Cet. XII, 1983), h. 265.

2 The apparent disparity between man and women in values and behavior). Lihat Victoria Neufeldt (ed.), Webster‟s New World Dictionary, (New York: Webster‟s New World Clevenland,

1984), h. 561. 3 Helen Tiemey (ed.), Women‟s Studies Encyclopedia, Vol. I, (New York: Green Press, t.th), h.

4 Yudhie R.Haryono, Bahasa Politik Al- Qur‟an, (Jakarta: Gugus Press, 2002), h. 251.

kebiasaan masyarakat dimana ia berada atau konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya. Pengertian ini memberi petunjuk bahwa hal yang terkait dengan jender adalah sebuah konstruksi sosial (social construction). Singkat kata, jender adalah interprestasi

budaya terhadap perbedaan jenis kelamin. 5 Berbicara jender dalam Islam ditemukan sejumlah ayat dalam Al- Qur‟an, antara

lain QS. Al-Hujurat, [49]:13, An- Nisaa‟, [4]:1, Al-A‟raf, [7]:189, Az-Zumaar, [39]:6, Fatir, [35]:11, dan Al- Mu‟min, [40]:67.

Diantaranya dalam Al- Qur‟an surat al-Hujurat (QS, 49: 13)

Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki- laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku- suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. ”

Ayat di atas memberi petunjuk bahwa dari segi hakikat penciptaan, antara manusia yang satu dan manusia lainnya tidak ada perbedaan, termasuk di dalamnya antara perempuan dan laki-laki. Oleh karena itu, tidak perlu ada semacam superioritas suatu golongan, suku, bangsa, ras, atau suatu entitas jender terhadap lainnya. Kesamaan asal mula biologis ini mengindikasikan adanya persamaan antara sesama manusia, termasuk persamaan antara perempuan dan laki-laki. Penjelasan di atas

5 Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks Dengan Konteks, (Yogyakarta: elSAQ Press, 2005), h. 103.

menyimpulkan bahwa Al- Qur‟an menegaskan equalitas perempuan dan laki-laki. Senada dengan Al- Qur‟an, sejumlah hadits Nabi pun menyatakan bahwa sesungguhnya perempuan itu mitra sejajar laki-laki.