Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perjuangan Rakyat Temanggung Melawan Militer Belanda pada Masa Agresi Militer Belanda II 1948-1950 T1 152012801 BAB II

(1)

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN PENELITIAN YANG RELEVAN

A. Tinjauan Pustaka 1. Revolusi

Revolusi dapat dilihat sebagai loncatan dua tahap, pertama, loncatan dari penjajahan ke alam merdeka, dan kedua, loncatan dari masyarakat yang diwariskan oleh zaman penjajahan dan perang kemerdekaan yang bertahun-tahun ke suatu masyarakat Indonesia yang modern, adil, makmur dan mencerminkan kepribadian kita dan yang mempunyai swadaya untuk perkembangan yang terus-menerus (Simatupang, 1987:1).

Dalam revolusi sering menonjolkan unsur-unsur kekerasan (violence), karena dalam suasana revolusi memang ada kecenderungan untuk mem-”beres”-kan segala sesuatu melalui jalan pintas, yang sering berarti mempergunakan kekerasan. Disebut juga unsur exaltation yang barangkali paling tepat diterjemahkan dengan perkataan semangat yang meluap-luap atau jiwa revolusi untuk meningkatkan derajat dari status rendah ke status yang lebih tinggi. Suatu revolusi tidak terjadi begitu saja, revolusi dipicu oleh kekuatan-kekuatan dan cita-cita yang telah lama tertekan dan terpendam muncul kepermukaan, sering disertai dengan kemarahan dan kadang-kadang keganasan.


(2)

8 Revolusi merupakan perubahan radikal dari sistem sosial politik. Revolusi sosial politik pada umumnya merupakan akibat dari runtuhnya suatu sistem pemerintahan lama, sebagian atau seluruhnya. Revolusi terjadi karena peraturan pemerintah yang keji, krisis ekonomi atau kekalahan dalam peperangan. Sebab ketegangan revolusioner sering bersumber pada keresahan sosial yang ditimbulkan keadilan sosial (Abdullah, 1997:38).

Revolusi yang terjadi di berbagai negara mempunyai karakteristik masing-masing, sehingga terjadi beberapa macam revolusi, menurut Chalmers Johnson (Notosusanto, 1972:293), revolusi di Indonesia termasuk jenis “Militarized Mass Insurrection”, kekususan revolusi Indonesia terletak pada pihak yang dihadapi. Pada awal pencetusannya revolusi yang dihadapi adalah pihak pemerintah militer Jepang maupun selanjutnya yang dihadapi adalah Kolonial Belanda yang ingin kembali berkuasa. Semua itu dihadapi dengan jalan pergerakkan fisik yakni peperangan (Notosusanto, 1972:293). Sedang menurut Sartono Kartodirdjo (1994:1) bahwa yang menjadi ciri khas revolusi Indonesia ialah anti kolonialisme dan self-determination, sebab revolusi Indonesia adalah proses total yang meliputi seluruh bangsa Indonesia untuk membongkar politik kolonial dan menggantikannya dengan negara nation berdasarkan pada kedaulatan rakyat serta pemerintahan yang dipilih sendiri.


(3)

9 Setiap revolusi yang terjadi menimbulkan pengaruh sebagai akibat, Eisenstandt (1986:4-5) mengungkapkan pengaruh revolusi antara lain:

a. Perubahan secara kekerasan terhadap rezim politik yang ada, didasari oleh legitimasi maupun simbol-simbolnya sendiri.

b. Penggantian elit politik atau kelas yang sedang berkuasa dengan lainnya

c. Perubahan secara mendasar seluruh bidang kelembagaan utama terutama dalam hubungan kelas dan sistem ekonomi yang menyebabkan modernisasi di segenap aspek kehidupan sosial, pembaharuan ekonomi dan industrialisasi serta menumbuhkan sentralisasi dan partisipasi dalam dunia politik.

d. Pemutusan secara radikal dengan segala hal yang telah lampau

e. Memberikan kekuatan ideologis dan orientasi kebangkitan (millenarian) mengenai gambaran revolusioner.

Kondisi ini juga terjadi secara nasional di berbagai daerah di Indonesia, keadaan ini disambut oleh segenap rakyat termasuk oleh badan-badan perjuangan yang tumbuh subur pada masa penjajahan. Revolusi yang terjadi di Indonesia berpengaruh terhadap daerah-daerah yang kemudian memunculkan suatu kondisi revolusi yang berbeda di tiap daerah. Akibat yang ditimbulkan dari adanya revolusi antara lain:

a. Perubahan yang dilakukan dengan cara kekerasan terhadap penguasa politik yang ada dalam hal ini adalah pasukan Belanda


(4)

10 b. Pergantian elite politik yang ada dari masa kekuasaan Belanda, stratifikasi sosial dan jabatan administratif pemerintahan dipegang oleh kaum priyayi dan keturunan bangsawan digantikan oleh kalangan elite baru yang mengenyam pendidikan yang lebih tinggi walaupun berasal dari stratifikasi sosial yang lebih rendah daripada kalangan priyayi

c. Perubahan kelembagaan yang ada, baik sosial, ekonomi maupun politik

Berakhirnya revolusi menurut Lyford Edwards ditandai dengan tercapainya suatu persetujuan kerja (working agreement) diantara berbagai pihak yang terlibat dalam revolusi. Dengan adanya persetujuan akan tercapai keseimbangan baru. Bagi revolusi Indonesia, berakhir dengan persetujuaan Denn Haag sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (Notosusanto, 1972:298).

2. Perjuangan Rakyat

Perjuangan berarti suatu usaha untuk meraih sesuatu yang diharapkan demi kemuliaan dan kebaikan. Pada masa penjajahan, perjuangan adalah segala usaha yang dilakukan dengan pengorbanan, peperangan, dan diplomasi untuk memperoleh atau mencapai kemerdekaan, sedangkan pada awal kemerdekaan perjuangan dilakukan untuk mempertahankan kemerdekaan.

Rakyat adalah orang-orang yang bernaung dibawah pemerintah tertentu. Rakyat (Peoples) adalah bagian dari suatu negara atau elemen


(5)

11 penting dari suatu pemerintahan. Rakyat terdiri dari beberapa orang yang mempunyai ideologi sama dan tinggal di daerah/pemerintahan yang sama dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama yaitu untuk membela negaranya bila diperlukan. Rakyat akan dikatakan rakyat jika telah disahkan oleh negara yang ditempatinya dan telah memenuhi syarat-syarat sebagai rakyat/warga negara. Rakyat diambil dari kata Rahayat. Artinya yang mengabdi, pengikut, pendukung (Wikipedia, 10 Februari 2012).

Dalam sejarah perjuangan bangsa, tampaknya bahwa penderitaan terhadap penjajahan seperti tidak pernah selesai. Sejak permulaan awal abad ke-17 sampai akhir abad ke-20 kerap kali timbul perjuangan, pemberontakan dan peperangan. Bahkan setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, perjuangan masih harus dilanjutkan untuk mempertahankan bangsa dan negara dengan pengorbanan dan peperangan untuk menghadapi berbagai bentuk ancaman yang dapat meniadakan eksistensi negara yang baru berdiri.

Perlawanan terhadap musuh yang menyerang hanya akan mungkin apabila rakyat bersedia dengan suka rela berjuang. Di dalam pertempuran, rakyat harus memperoleh latihan ketentaraan yang bernafaskan suatu cita-cita yang dapat membangkitkan semangat perjuangan yang fanatik. Ini adalah persyaratan untuk suatu perang rakyat. Dan dilapangan ekonomi, suatu daerah harus dapat melanjutkan peperangan, sekalipun hubungan dengan daerah-daerah lain terputus. Oleh


(6)

12 karena itu harus diusahakan agar masing-masing daerah dapat memenuhi kebutuhan hidup sendiri (Said, 1992:47-48).

3. Perang Gerilya

Perang asimetris adalah cara berperang yang dilakukan oleh pihak “inferior”, pihak yang kekuatannya tidak seimbang dengan lawan yang lebih unggul terutama di bidang teknologi. Apabila pihak “inferior” berada dalam posisi bertahan, dia akan menghadapi lawannya dengan berperang secara tidak konvensional, seperti melakukan penyerangan mendadak pada titik-titik lemah musuh secara hit and run, serang dan menghilang. Keunggulan perang konvensional, lawan harus dihadapi dengan perang gerilya yang inovatif, berpangkal di basis-basis gerilya yang tersebar luas, termasuk di wilayah yang telah diduduki musuh. Daya tahan perlawanan gerilya dalam perang asimetris sangat tergantung pada bantuan rakyat. Basis-basis perlawanan gerilya, yang saat itu dikenal sebagai Wehrkreise, merupakan basis perlawanan wilayah yang terpadu antara pemerintah daerah, rakyat, dan tentara. Sistem wehrkreise memungkinkan bantuan rakyat, rakyat yang cinta kemerdekaan, yang terpadu dan perlawanan gerilya jangka panjang, yang meminjam istilah Hans Delbruck, suatu Ermattungskrieg (Himawan, 2006:xxii).

Perang gerilya adalah suatu taktik dalam pertahanan, yang dilakukan dengan cara maju untuk menghancurkan musuh dan mundur agar jangan dihancurkan musuh, yang dilakukan sekaligus, serentak dan dengan gerakan yang cepat. Dinamis dalam arti berpindah-pindah dengan


(7)

13 mobilitas yang tinggi, tidak bersifat statis, bergerak dalam kelompok-kelompok kecil, berada dibawah satu kendali dan komando. Untuk itu harus ada daerah gerilya yang dipimpin oleh seorang komandan yang menghubungkan gerakan satu dengan lainnya, sehingga tidak merupakan perang liar, karena mempunyai susunan tertentu dengan rencana dan garis beleid (tujuan pengaturan kebijakan) yang tertentu pula (Nasution, 1979: 261-262).

Doktrin perang gerilya adalah selalu menghindar kepada musuh yang lebih besar, selalu menyerang di waktu musuh lengah, sergap, serang, lari dan yang sangat penting bahwa sumber logistik adalah ditangan musuh, karenanya carilah logistik sebanyak-banyaknya yang berarti harus selalu menyerang musuh untuk mendapat perbekalan yang diperlukan (Edi Hartoto, 2009:55)

Perang gerilya adalah jenis perang non konvensional yang bersifat perlawanan wilayah. Sistem ini dilakukan dengan menggunakan unit relative kecil, dengan tujuan melelahkan, mengacaukan dan mengikis kekuatan musuh. Muara sistem ini adalah perimbangan daya tempur yang menguntungkan pihak gerilyawan. Sifat perang gerilya sering disebut sebagai suatu perjuangan dalam rangka merebut atau mempertahankan kemerdekaan, eksistensi dan kedaulatan dari negara atau bangsa. Dengan sifat-sifat seperti itu, maka perlu persyaratan dalam menggelar perang gerilya yaitu: 1) Kuatnya dukungan rakyat; 2) Motivasi kuat serta


(8)

14 patriotisme dan militansi dari tentara dan rakyat yang melakukan gerilya; 3) Dukungan intelejen; 4) Kesiapan medan, logistik dan komunikasi.

Sistem dan pola gerilya diimplementasikan dengan taktik dan strategi yang bersifat community based, sebab perang gerilya selalu menggunakan masyarakat sebagai basis sekaligus perlindungan bagi pergerakannya, serta sebagai sumber rekrutmen dan pembinaan bagi pejuang atau gerilyawannya.

Seluruh rakyat dimasukkan dalam usaha-usaha perjuangan. Rakyat desa diberi pengarahan dan pelatihan sehingga ikut aktif membangun perjuangan, antara lain dijadikan penunjuk jalan, pemberi makan, pembawa surat-surat untuk tentara. Di desa-desa dilakukan pula pasukan-pasukan gerilya (disingkat Pager Desa), terdiri dari pemuda-pemuda untuk turut membantu menjamin keamanan dan menjalankan tugas-tugas taktis yang sangat terbatas (Simatupang, 1960:153).

Semua organisasi pertahanan desa memilih sendiri pemimpin dan mengumpulkan bahan-bahan makanan dari petani lokal. Dalam konteks ini peranan pemimpin desa dalam pengumpulan bahan-bahan material dan mobilisasi kekuatan massa sangat penting. Selama perang kemerdekaan, semua anggota desa berpartisipasi dalam unit-unit perlawanan gerilya. Petani yang menjual hasil panen mereka ke kota sering memberikan informasi tentang konsentrasi militer Belanda ke Pager Desa atau unit militer lainnya (Soejatno dan Bennedict Anderson, 1973: 103).


(9)

15 Taktik perang yang digunakan adalah menyerang, menyabotase dan menculik. Tujuan akhir mereka adalah menciptakan ketidakstabilan pemerintah dalam jangka panjang dan karena itu menghindari konfrontasi langsung. Secara teoritis, perang gerilya harus hebat dan tangkas. Gerilya harus memiliki kesempatan dalam membangun tentara regular menjadi berkembang dan lebih besar sehingga dapat menghadapi musuh dengan setara.

Pada masa perang kemerdekaan, salah satu bentuk perjuangan bangsa Indonesia yaitu melalui jalur bersenjata. Dalam bentuk perjuangan ini tentara bersama rakyat menggunakan perang gerilya sebagai taktik pertahanan menghadapi musuh. Konsep sistem pertahanan rakyat semesta amat memungkinkan digelarnya kegiatan yang melibatkan rakyat dan tentara. Melalui simulasi peran rakyat bukan hanya dilatih menguasai kemampuan dalam kapasitasnya sebagai komponen cadangan dan pendukung, tetapi juga belajar menghormati tugas dan peran tentara sebagai kekuatan utamanya.

Melalui kegiatan bersama pula, tentara diingatkan untuk menghayati betapa pentingnya dukungan rakyat dalam penugasan. Penghormatan atas tugas dan peran rakyat dan tentara amat penting dalam membangun kultur tentara yang professional. Kultur ini hanya akan tumbuh bila tentara memiliki otonomirelatif untuk menangani urusan-urusan militer dan membatasi diri untuk terlibat dalam masalah-masalah di luar domain kemiliteran. Sebaliknya, rakyat sebagai elemen masyarakat


(10)

16 sipil memiliki otonomi relative untuk menangani urusan-urusan sipil, dan membatasi keterlibatannya dalam urusan militer.

Konsep perang gerilya dalam rangka perang wilayah –menurut konsep TNI –adalah mengikat lawan selama mungkin dalam suatu ermattungskrieg (perang yang lama, perang yang melelahkan). Ruang dikorbankan, tetapi waktu harus dimenangkan. Serangan-serangan gerilya dilakukan di medan yang telah dipilih sendiri di saat lawan lengah untuk senantiasa memelihara inisiatif. Hal tersebut adalah untuk menghabiskan tenaga lawan dan mematahkan daya tahannya untuk berperang, sehingga pada akhirnya akan tercapai kemenangan politis/militer (Himawan, 2006:328).

4. Nasionalisme

Ruslan Abdulgani (1964: 6) menjelaskan bahwa “Nasionalisme Indonesia sebagai reaksi terhadap kolonialisme”, karena apa yang dikehendaki oleh bangsa Indonesia adalah melenyapkan bentuk kekuasaan penjajah. Menurut Sartono Kartodirdjo (1967:20), nasionalisme adalah aktivitas dari pergerakan di semua lapangan penghidupan yang mempunyai tujuan yang sama yaitu berjuang melawan kekuasaan kolonial.

Semangat nasionalisme dapat dikaitkan dengan suatu perang atau revolusi. Mengingat sejarah Indonesia pada masa lalu, tidak ada satu suku bangsa pun di Indonesia yang tidak pernah melakukan pemberontakan melawan kolonialisme namun belum menunjukkan keberhasilan, karena belum adanya persatuan sebagai modal perjuangan. Keadaan ini


(11)

17 merupakan salah satu faktor yang mempercepat dan memperkuat keinginan untuk bersatu di antara suku bangsa di Indonesia. Menurut Suhartono (2001:8), situasi kolonial menjadi tantangan bagi rakyat tanah jajahan untuk secara kolektif mempersatukan diri guna mengubah situasi sosiopolitik kolonial ke arah kebebasan secara global. Keadaan ini mendorong timbulnya kesadaran nasional, perasaan nasional dan kehendak nasional yang dinyatakan dengan berbagai cara.

Secara konseptual nasionalisme adalah suatu paham kebangsaan yang mendorong bangkitnya semangat untuk mencapai cita-cita nasional. Secara harfiah nasionalisme berasal dari dua kata “nation” atau bangsa dan “ism” atau paham. Dengan demikian nasionalisme dapat diartikan sebagai paham kebangsaan atau keinginan untuk menjadi satu bangsa.

Berkaitan dengan keinginan untuk membentuk suatu bangsa menurut konsep nasionalisme, terdapat beberapa teori tentang pembentukan nation seperti dikemukakan oleh Suhartono (2001:7) sebagai berikut:

a. Teori kebudayaan (Culture), suatu bangsa adalah sekelompok manusia dengan persamaan kebudayaan.

b. Teori negara (Staat), menurut teori ini yang menentukan terbentuknya suatu negara lebih dahulu adalah penduduk yang ada di dalamnya disebut bangsa.

c. Teori kemauan (wills), menurut teori ini syarat mutlak untuk menjadi satu bangsa adalah adanya kemauan bersama dari sekelompok


(12)

18 manusia untuk hidup bersama dalam suatu ikatan, tanpa memandang perbedaan kebudayaan, suku, dan agama.

Beberapa teori tentang terbentuknya nation yang disebut di atas, yang cocok bagi Indonesia adalah teori berdasar keinginan (wills). Semangat kebangsaan yang merupakan psychological state of mind harus selalu dibangkitkan dan dihidupkan. Karena itulah nasionalisme harus dipupuk setiap saat (Suhartono, 1994:8)

Sejalan dengan konsep dan teori tersebut, jelas bahwa tumbuhnya suatu bangsa tidak terlepas dari proses perjalanan panjang sejarah. Setiap individu yang cinta bangsanya akan memiliki motivasi dan kehendak untuk mempelajari proses tumbuh dan berkembangnya bangsa sebagai titik tolak bagi diri dan bangsa menuju ke proses selanjutnya. Konsep nasionalisme menjadi arah bagi tumbuhnya suatu bangsa yang berorientasi lebih luas ke depan yaitu suatu negara yang dapat berdiri kokoh.

Bersama-sama dengan berbagai bentuk kesadaran berbangsa dalam menghadapi situasi kolonial, bangsa Indonesia masih dapat menunjuk jawaban psikologis sebagai akibat dari kondisi-kondisi sosial di dalam masyarakat kolonial, tetapi yang tidak berhubungan langsung dengan kecerdasan, perasaan rendah diri, takut, benci, kebutuhan akan keamanan, perlindungan, perasaan kekeluargaan dan sebagainya. Faktor-faktor emosional ini menjadi semangat yang membentuk tenaga pendorong bagi perjuangan. Sartono Kartodirdjo (1967:48), faktor afektif ialah reaksi-reaksi emosional yang biasanya ditandai oleh: simpati, antipati, benci,


(13)

19 takut, marah, sayang dan sebagainya. Menurut Suhartono (1994:7), “nasionalisme timbul karena kombinasi dua faktor, yaitu subjektif berupa kemauan, sentimen, apirasi, dan lain-lain, dan faktor objektif karena kondisi ekonomi, geografi, historis dan lain-lain”.

Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan yang dikehendaki oleh nasionalisme di Indonesia pada prinsipnya sama, yaitu cita-cita mencapai kemerdekaan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Sartono Kartodirdjo (1984:II), bahwa ada tiga prinsip nasionalisme yaitu: 1) kemerdekaan (kebebasan); 2) kesatuan dan; 3) kesamaan. Kemerdekaan memang sudah menjadi prinsip nasionalisme bangsa Indonesia. Bangsa mana pun di dunia ini tetap menginginkan suatu kemerdekaan bangsanya. Tetapi untuk memperoleh/mencapai kemerdekaan itu, tentu harus berjuang melepaskan diri dari keterkaitan dengan bangsa lain sepanjang bangsa itu dinilai sebagai penjajah. Syarat mutlak untuk mendukung pencapaian itu adalah adanya rasa persatuan dan kesatuan, juga kesamaan langkah dalam mewujudkan cita-cita mencapai kemerdekaan, harus menjadi prinsip yang perlu ditanamkan pada jiwa bangsa. Di sini prinsip nasionalisme memberi peluang terhadap upaya pencapaian tujuan tersebut.

5. Agresi Militer

Agresi militer adalah penggunaan kekuatan bersenjata oleh suatu negara terhadap kedaulatan negara lain. Agresi militer Belanda terhadap Indonesia menggunakan cara diantaranya melakukan: 1) invasi berupa


(14)

20 serangan bersenjata nagara musuh; 2) bombardemen berupa penggunaan senjata atau bom yang dilakukan oleh musuh; 3) serangan unsur angkatan bersenjata yang berada dalam wilayah dimana tindakan atau keberadaannya bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; 4) pengiriman kelompok militer khusus untuk melakukan tindakan kekerasan (Yahoo answer, diunduh 15 Juni 2014). Untuk itu maka penyerangan yang dilakukan oleh Belanda pada tanggal 21 Desember 1948 di Kota Temanggung termasuk pada aksi agresi militer Belanda II karena merupakan pelanggaran terhadap perjanjian Renville dengan maksud menghancurkan negara Republik Indonesia.

B. Penelitian yang Relevan

1. Husni Tamrin, dkk. Dalam buku berjudul Geger Doorstoot Perjuangan Rakyat Temanggung 1945-1950. Dewan Harian Cabang Badan Pembudayaan Kejuangan 45 Kabupaten Temanggung 2008. Buku ini menjelaskan awal berdirinya regentschap Temanggung pada masa kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang dan kebijakan-kebijakannya untuk masyarakat Temanggung, Temanggung ketika Proklamasi 1945, Temanggung masa agresi I Belanda dan pemberontakan PKI di Parakan, hingga Temanggung pasca agresi militer Belanda II. Penulisan buku ini tidak berfokus hanya di wilayah Temanggung, tetapi banyak kejadian di luar Temanggung. Penulisan skripsi ini hanya khusus membahas tentang Temanggung pada masa Agresi Militer Belanda II yang membahas kondisi Temanggung pasca Renville, penyerangan pasukan Belanda ke


(15)

21 Temanggung, jalannya perang rakyat, yang berakhir pada proses masuknya TNI dan pemerintahan darurat ke kota Temanggung.

2. H. Bowo Asiatno. Dalam buku berjudul Pekik Juang Membahana Menggetarkan Bumi Temanggung 1945-1950, yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Temanggung Bagian Humas Setda 2008. Buku ini membahas kisah-kisah perjuangan yang terjadi di Temanggung mulai tahun 1945-1950 yang dilakukan oleh badan kelaskaran terutama Laskar Bambu Runcing, TNI, dan TP serta tragedi yang terjadi di Kali Progo. Gaya penulisan komunikatif dan bebas sehingga kadang kalimat yang digunakan tidak baku. Penulisan skripsi ini menjelaskan tentang peran rakyat dan pemerintahan sipil kota Temanggung tahun 1948-1950. 3. S. Hadi Gintong dalam tulisan pengalaman pribadinya berjudul Data

Perjuangan TNI Brigade XVII Tentara Pelajar Temanggung tahun

1945-1951 (tidak diterbitkan). Hadi Gintong menceritakan pengalaman

pribadinya bersama dengan teman-teman sesama anggota Tentara Pelajar yang bertugas di wilayah Temanggung. Dalam skripsi ini, penulis tidak hanya berfokus pada peran TP, tetapi membahas juga peran rakyat, peran pemerintah darurat dan juga peran TNI yang saling mendukung dalam melakukan perang rakyat secara bergerilya.


(1)

16 sipil memiliki otonomi relative untuk menangani urusan-urusan sipil, dan membatasi keterlibatannya dalam urusan militer.

Konsep perang gerilya dalam rangka perang wilayah –menurut konsep TNI –adalah mengikat lawan selama mungkin dalam suatu ermattungskrieg (perang yang lama, perang yang melelahkan). Ruang dikorbankan, tetapi waktu harus dimenangkan. Serangan-serangan gerilya dilakukan di medan yang telah dipilih sendiri di saat lawan lengah untuk senantiasa memelihara inisiatif. Hal tersebut adalah untuk menghabiskan tenaga lawan dan mematahkan daya tahannya untuk berperang, sehingga pada akhirnya akan tercapai kemenangan politis/militer (Himawan, 2006:328).

4. Nasionalisme

Ruslan Abdulgani (1964: 6) menjelaskan bahwa “Nasionalisme Indonesia sebagai reaksi terhadap kolonialisme”, karena apa yang dikehendaki oleh bangsa Indonesia adalah melenyapkan bentuk kekuasaan penjajah. Menurut Sartono Kartodirdjo (1967:20), nasionalisme adalah aktivitas dari pergerakan di semua lapangan penghidupan yang mempunyai tujuan yang sama yaitu berjuang melawan kekuasaan kolonial.

Semangat nasionalisme dapat dikaitkan dengan suatu perang atau revolusi. Mengingat sejarah Indonesia pada masa lalu, tidak ada satu suku bangsa pun di Indonesia yang tidak pernah melakukan pemberontakan melawan kolonialisme namun belum menunjukkan keberhasilan, karena belum adanya persatuan sebagai modal perjuangan. Keadaan ini


(2)

17 merupakan salah satu faktor yang mempercepat dan memperkuat keinginan untuk bersatu di antara suku bangsa di Indonesia. Menurut Suhartono (2001:8), situasi kolonial menjadi tantangan bagi rakyat tanah jajahan untuk secara kolektif mempersatukan diri guna mengubah situasi sosiopolitik kolonial ke arah kebebasan secara global. Keadaan ini mendorong timbulnya kesadaran nasional, perasaan nasional dan kehendak nasional yang dinyatakan dengan berbagai cara.

Secara konseptual nasionalisme adalah suatu paham kebangsaan yang mendorong bangkitnya semangat untuk mencapai cita-cita nasional. Secara harfiah nasionalisme berasal dari dua kata “nation” atau bangsa dan “ism” atau paham. Dengan demikian nasionalisme dapat diartikan sebagai paham kebangsaan atau keinginan untuk menjadi satu bangsa.

Berkaitan dengan keinginan untuk membentuk suatu bangsa menurut konsep nasionalisme, terdapat beberapa teori tentang pembentukan nation seperti dikemukakan oleh Suhartono (2001:7) sebagai berikut:

a. Teori kebudayaan (Culture), suatu bangsa adalah sekelompok manusia dengan persamaan kebudayaan.

b. Teori negara (Staat), menurut teori ini yang menentukan terbentuknya suatu negara lebih dahulu adalah penduduk yang ada di dalamnya disebut bangsa.

c. Teori kemauan (wills), menurut teori ini syarat mutlak untuk menjadi satu bangsa adalah adanya kemauan bersama dari sekelompok


(3)

18 manusia untuk hidup bersama dalam suatu ikatan, tanpa memandang perbedaan kebudayaan, suku, dan agama.

Beberapa teori tentang terbentuknya nation yang disebut di atas, yang cocok bagi Indonesia adalah teori berdasar keinginan (wills). Semangat kebangsaan yang merupakan psychological state of mind harus selalu dibangkitkan dan dihidupkan. Karena itulah nasionalisme harus dipupuk setiap saat (Suhartono, 1994:8)

Sejalan dengan konsep dan teori tersebut, jelas bahwa tumbuhnya suatu bangsa tidak terlepas dari proses perjalanan panjang sejarah. Setiap individu yang cinta bangsanya akan memiliki motivasi dan kehendak untuk mempelajari proses tumbuh dan berkembangnya bangsa sebagai titik tolak bagi diri dan bangsa menuju ke proses selanjutnya. Konsep nasionalisme menjadi arah bagi tumbuhnya suatu bangsa yang berorientasi lebih luas ke depan yaitu suatu negara yang dapat berdiri kokoh.

Bersama-sama dengan berbagai bentuk kesadaran berbangsa dalam menghadapi situasi kolonial, bangsa Indonesia masih dapat menunjuk jawaban psikologis sebagai akibat dari kondisi-kondisi sosial di dalam masyarakat kolonial, tetapi yang tidak berhubungan langsung dengan kecerdasan, perasaan rendah diri, takut, benci, kebutuhan akan keamanan, perlindungan, perasaan kekeluargaan dan sebagainya. Faktor-faktor emosional ini menjadi semangat yang membentuk tenaga pendorong bagi perjuangan. Sartono Kartodirdjo (1967:48), faktor afektif ialah reaksi-reaksi emosional yang biasanya ditandai oleh: simpati, antipati, benci,


(4)

19 takut, marah, sayang dan sebagainya. Menurut Suhartono (1994:7), “nasionalisme timbul karena kombinasi dua faktor, yaitu subjektif berupa kemauan, sentimen, apirasi, dan lain-lain, dan faktor objektif karena kondisi ekonomi, geografi, historis dan lain-lain”.

Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan yang dikehendaki oleh nasionalisme di Indonesia pada prinsipnya sama, yaitu cita-cita mencapai kemerdekaan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Sartono Kartodirdjo (1984:II), bahwa ada tiga prinsip nasionalisme yaitu: 1) kemerdekaan (kebebasan); 2) kesatuan dan; 3) kesamaan. Kemerdekaan memang sudah menjadi prinsip nasionalisme bangsa Indonesia. Bangsa mana pun di dunia ini tetap menginginkan suatu kemerdekaan bangsanya. Tetapi untuk memperoleh/mencapai kemerdekaan itu, tentu harus berjuang melepaskan diri dari keterkaitan dengan bangsa lain sepanjang bangsa itu dinilai sebagai penjajah. Syarat mutlak untuk mendukung pencapaian itu adalah adanya rasa persatuan dan kesatuan, juga kesamaan langkah dalam mewujudkan cita-cita mencapai kemerdekaan, harus menjadi prinsip yang perlu ditanamkan pada jiwa bangsa. Di sini prinsip nasionalisme memberi peluang terhadap upaya pencapaian tujuan tersebut.

5. Agresi Militer

Agresi militer adalah penggunaan kekuatan bersenjata oleh suatu negara terhadap kedaulatan negara lain. Agresi militer Belanda terhadap Indonesia menggunakan cara diantaranya melakukan: 1) invasi berupa


(5)

20 serangan bersenjata nagara musuh; 2) bombardemen berupa penggunaan senjata atau bom yang dilakukan oleh musuh; 3) serangan unsur angkatan bersenjata yang berada dalam wilayah dimana tindakan atau keberadaannya bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; 4) pengiriman kelompok militer khusus untuk melakukan tindakan kekerasan (Yahoo answer, diunduh 15 Juni 2014). Untuk itu maka penyerangan yang dilakukan oleh Belanda pada tanggal 21 Desember 1948 di Kota Temanggung termasuk pada aksi agresi militer Belanda II karena merupakan pelanggaran terhadap perjanjian Renville dengan maksud menghancurkan negara Republik Indonesia.

B. Penelitian yang Relevan

1. Husni Tamrin, dkk. Dalam buku berjudul Geger Doorstoot Perjuangan Rakyat Temanggung 1945-1950. Dewan Harian Cabang Badan Pembudayaan Kejuangan 45 Kabupaten Temanggung 2008. Buku ini menjelaskan awal berdirinya regentschap Temanggung pada masa kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang dan kebijakan-kebijakannya untuk masyarakat Temanggung, Temanggung ketika Proklamasi 1945, Temanggung masa agresi I Belanda dan pemberontakan PKI di Parakan, hingga Temanggung pasca agresi militer Belanda II. Penulisan buku ini tidak berfokus hanya di wilayah Temanggung, tetapi banyak kejadian di luar Temanggung. Penulisan skripsi ini hanya khusus membahas tentang Temanggung pada masa Agresi Militer Belanda II yang membahas kondisi Temanggung pasca Renville, penyerangan pasukan Belanda ke


(6)

21 Temanggung, jalannya perang rakyat, yang berakhir pada proses masuknya TNI dan pemerintahan daruratke kota Temanggung.

2. H. Bowo Asiatno. Dalam buku berjudul Pekik Juang Membahana Menggetarkan Bumi Temanggung 1945-1950, yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Temanggung Bagian Humas Setda 2008. Buku ini membahas kisah-kisah perjuangan yang terjadi di Temanggung mulai tahun 1945-1950 yang dilakukan oleh badan kelaskaran terutama Laskar Bambu Runcing, TNI, dan TP serta tragedi yang terjadi di Kali Progo. Gaya penulisan komunikatif dan bebas sehingga kadang kalimat yang digunakan tidak baku. Penulisan skripsi ini menjelaskan tentang peran rakyat dan pemerintahan sipil kota Temanggung tahun 1948-1950. 3. S. Hadi Gintong dalam tulisan pengalaman pribadinya berjudul Data

Perjuangan TNI Brigade XVII Tentara Pelajar Temanggung tahun 1945-1951 (tidak diterbitkan). Hadi Gintong menceritakan pengalaman pribadinya bersama dengan teman-teman sesama anggota Tentara Pelajar yang bertugas di wilayah Temanggung. Dalam skripsi ini, penulis tidak hanya berfokus pada peran TP, tetapi membahas juga peran rakyat, peran pemerintah darurat dan juga peran TNI yang saling mendukung dalam melakukan perang rakyat secara bergerilya.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perjuangan Rakyat Temanggung Melawan Militer Belanda pada Masa Agresi Militer Belanda II 1948-1950

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perjuangan Rakyat Temanggung Melawan Militer Belanda pada Masa Agresi Militer Belanda II 1948-1950 T1 152012801 BAB I

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perjuangan Rakyat Temanggung Melawan Militer Belanda pada Masa Agresi Militer Belanda II 1948-1950 T1 152012801 BAB IV

1 6 56

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perjuangan Rakyat Temanggung Melawan Militer Belanda pada Masa Agresi Militer Belanda II 1948-1950 T1 152012801 BAB V

0 1 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perjuangan Rakyat Temanggung Melawan Militer Belanda pada Masa Agresi Militer Belanda II 1948-1950

0 0 39

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Masyarakat Kebonbimo dalam Mendukung Perjuangan Tentara Pelajar SA/CSA pada Agresi Militer Belanda II Tahun 1948 - 1949 T1 152010013 BAB I

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Masyarakat Kebonbimo dalam Mendukung Perjuangan Tentara Pelajar SA/CSA pada Agresi Militer Belanda II Tahun 1948 - 1949 T1 152010013 BAB II

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Masyarakat Kebonbimo dalam Mendukung Perjuangan Tentara Pelajar SA/CSA pada Agresi Militer Belanda II Tahun 1948 - 1949 T1 152010013 BAB IV

2 5 60

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Masyarakat Kebonbimo dalam Mendukung Perjuangan Tentara Pelajar SA/CSA pada Agresi Militer Belanda II Tahun 1948 - 1949 T1 152010013 BAB V

0 0 6

PERANAN SRI PAKU ALAM VIII PADA MASA AGRESI MILITER BELANDA II DI YOGYAKARTA TAHUN 1948-1949.

7 10 108