Kompas 21 April 2010 Ekonomi

Tampaksiring dan Orientasi Ekonomi Kita

Rabu, 21 April 2010 | 04:27 WI B
Oleh NI NOK LEKSONO
I tulah direktif ke-9 dari 10 direktif (atau arahan) Presiden yang disampaikan di depan
anggota Kabinet I ndonesia Bersatu I I , para gubernur, dan sejumlah kalangan dalam
rapat kerja (yang juga disebut retreat) di I stana Tampaksiring yang asri.
Di I stana yang dibangun Bung Karno tahun 1957 (selesai tiga tahun kemudian), para
peserta rapat dapat mendengar uraian tentang kemajuan perekonomian negara,
khususnya selama lima setengah tahun terakhir di bawah kepemimpinan Presiden SBY.
Uraian lebih rinci disampaikan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa. Dari
berbagai indikator yang membesarkan hati, disinggung pula bahwa keberhasilan
ekonomi antara lain sudah ditopang inovasi teknologi. Kinerja ekspor yang meningkat
juga mencakup kontribusi produk manufaktur.
Boleh jadi di butir ini perlu disertakan lampiran karena belum lama ini justru muncul
berita yang mengabarkan bahwa sektor manufaktur terakhir ini terpuruk.
Namun, yang lebih menggelitik lagi adalah tentang tekad untuk memberi tidak saja
warna, tetapi kontribusi konkret dari iptek terhadap perekonomian nasional. Bila Komite
I novasi Nasional jadi terbentuk, kemudian juga ada Komite Ekonomi Nasional, bisa
diperkiraan akan ada versi baru dari Habibienomics dan Widjojonomics.
Sementara masih ada skeptisisme terhadap ide pembentukan komite, ada elemen lain

yang dapat dikemukakan di sini.

Proses nilai tambah
Dari pembicaraan panjang hari pertama, selain tekad Presiden dan uraian Menko
Perekonomian, hanya ada satu ungkapan yang menyiratkan ”upaya penguasaan
kemampuan”, yakni ”nilai tambah” yang dikemukakan Menteri Perindustrian MS
Hidayat. I ni ungkapan sederhana, tetapi mengandung pesan yang amat mendalam.
Pada Era Orde Baru, industri strategis mencoba menerapkan falsafah ini. Hasilnya,
secara teknologi upaya itu bisa dikatakan berhasil, tetapi pesawat, kapal, atau industri
yang dimaksudkan menerapkan proses nilai tambah lainnya tidak tumbuh menjadi
penggerak perekonomian.
Meski upaya tiga dekade silam itu gagal, kita harus mengakui kebenaran konsepnya.
Mencoba menemukan sebab kegagalan tersebut ketika bertemu dengan Tim I novasi
Nasional, September silam, Presiden SBY mengutip uraian Michael Schuman dalam
bukunya The Miracle (2009) bahwa ada permainan kroni yang merugikan dalam proses
I ndonesia mencapai keberhasilan ekonomi.

Kini, dalam upaya baru mendinamisasi perekonomian, kegiatan proses nilai tambah—
yang ditandai dengan kemampuan mengolah bahan baku menjadi produk teknologi
bernilai jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bahan bakunya—mestinya jadi bagian

integral perekonomian.

Semakin urgen
Satu pertanyaan lain, ”Mengapa tidak ada penyebutan program atau prakarsa mencari
ceruk dari pasar otomotif yang gemuk?” Banyak sebetulnya yang dapat disuarakan
senada. Misalnya, mengapa kontribusi kita nol dalam gegap gempita industri seluler?
Mengapa ketika industri penerbangan nasional berbondong membeli jet dari Boeing dan
Airbus kita tidak menyertakan permintaan agar mereka memberi bantuan untuk
menghidupkan industri kedirgantaraan nasional dalam membuat pesawat perintis?
Mengapa tidak ada program pembuatan 200 kapal patroli ketika kita banyak mengeluh
bahwa penangkapan ikan ilegal merugikan kita 5 miliar dollar AS per tahunnya?
Mengapa ketika jalanan kita di berbagai kota disesaki sepeda motor tidak ada merek
nasional satu pun yang muncul?
Dulu Korea (Selatan) menjawab tantangan inovasi itu ketika Jepang mendominasi. Lalu
Taiwan, lalu China. Mereka punya tekad dan kepercayaan diri meski diawali dengan
produk yang jauh dari standar.
Kini, ketika perekonomian juga semakin ditandai bisnis dan inovasi TI K (Teknologi
I nformasi Komunikasi), mengapa tidak ada lagi gaung untuk mengembangkan Lembah
Silikon di Bandung? Apa kelanjutan kunjungan Bill Gates ke I ndonesia?
Mengapa General Electric mau menanamkan 80 j uta dollar AS untuk membangun pusat

litbang di Bangalore dan mempekerjakan 1.600 tenaga kerja yang sebagian besar
warga I ndia?
Sebagaimana disinggung Prof Zuhal dalam buku terbarunya Knowledge & I nnovation –
Platform Kekuatan Daya Saing (2010), I ndia telah mendapat kearifan bahwa pada TI K
ada masa depan dan karena itu negara ini ibaratnya membuka kesempatan luas bagi
warganya untuk menguasai TI K. Hasilnya, muncul SDM TI K paling banyak di dunia,
150.000 di antaranya ada di Bangalore. I ni melebihi jumlah di Lembah Silikon asli di
California yang hanya diperkuat 120.000 profesional TI K. Kota ini pun menjadi lokasi
favorit bagi perusahaan multinasional yang mensubkontrakkan pekerjaan.
I ndonesia yang di Tampaksiring masih mendambakan konektivitas (fisik ataupun TI K)
jelas membutuhkan massa kritis untuk lepas landas di perekonomian modern. Dengan
penetrasi internet baru sekitar 15 persen (35 juta dari 240 juta penduduk), I ndonesia
masih dilanda kesenjangan digital yang termasuk akut dibandingkan negara maju.
Pesannya yang ada adalah daripada mengumumkan kebijakan bernada melaranglarang, lebih baik fokus merancang kebijakan yang bisa meliberalisasikan tarif
bandwidth internet yang dirasa masih mahal. Dengan itu, peran G (government) dalam
skema Triple Helix (dua lainnya akademisi dan bisnis), lebih banyak manfaat daripada
mudarat.

Kita berkeyakinan, industri kreatif yang kini sedang dipromosikan pemerintah, dan
memang berpotensi besar, hanya akan berkembang sepenuhnya jika didukung

konektivitas yang andal dan terjangkau.
Kita tak mengecilkan kinerja pemerintah di bidang ekonomi. Kolom ini hanya untuk
memberi warna kemandirian dan nasionalis dalam program ke depan. Relakah seumurumur jalanan kita didominasi merek asing tanpa kita merespons sedikitpun? Relakah
kekayaan laut dijarah pukat asing tanpa kita mampu mengeremnya sedikitpun?
Padahal, seiring upaya mengerem illegal fishing melalui penggalakan patroli dengan
kapal buatan sendiri, ada manfaat ganda yang kita peroleh, yakni menggentarkan
pencuri ikan dan meningkatkan kepintaran membuat kapal melalui proses nilai tambah.