TIJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI SISTEM CAWUKAN DI DESA GEMPOLMANIS KECAMATAN SAMBENG KABUPATEN LAMONGAN.

(1)

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI JUAL

BELI SISTEM CAWUKAN DI DESA GEMPOLMANIS

KECAMATAN SAMBENG KABUPATEN LAMONGAN

SKRIPSI

Oleh:

Imroatus Sholikhah NIM. C52212101

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syari’ah (Muamalah)

Surabaya 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan yang dilakukan di Desa Gempolmanis Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan dengan judul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Tradisi Jual Beli Sistem Cawukan di Desa Gempolmanis Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan”. Skripsi ini bertujuan untuk menjawab permasalahan yang dituangkan dalam dua rumusan masalah yaitu: Bagaimana praktek jual beli sistem cawukan di Desa Gempolmanis Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan? dan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap tradisi jual beli sistem cawukan di Desa Gempolmanis Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan?

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif yang pengumpulan datanya menggunakan cara observasi dan wawancara dan selanjutnya diolah dengan cara editing, dan organizing, sedangkan tehnik analisisnya menggunakan metode deskriptif analisis denga menggunakan pola pikir induktif.

Hasil penelitian di Desa Gempolmanis Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan ini ditemukan bahwa pengukuran barang dagangan oleh lijo Desa Gempolmanis tidak menggunakan timbangan sesuai dengan standar umum melainkan mengunakan sistem cawukan, penggunakan sistem ini menurut lijo

memiliki beberapa faktor diantaranya yakni karena permintaan pembeli yang bermacam-macam dengan waktu yang singkat sehingga sistem ini dirasa cocok dan sangat memberatkan jika harus menimbang karena sistem penjualan yang digunakan adalah penjajakan.

Menurut pembeli hal ini sudah lumrah tetapi tidak jarang pembeli yang menawar ukuran cawukan, seperti meminta lebih banyak lagi dari yang lijo

berikan. Adapun jika ditinjau dengan hukum Islam ialah bahwa praktek jual beli sistem cawukan yang terjadi di Desa Gempolmanis Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan dibolehkan karena memberikan kemaslahatan lebih besar dari ada kemadharatan yang ditimbulkan. Selain itu terdapat dalil syara’ yang memolehkan sistem cawukan ini yang lebih dikenal dengan jual beli jizaf. Karena telah diterapkan oleh masyarakat dan tidak bertentangan dengan syariat Islam dan bahkan terdapat hadith yang memperbolehkannya, tidak terdapat unsur kedhaliman, serta mengandung kemaslahatan bagi masayarakat. Maka jual beli menggunakan sistem cawukan ini dapat dikateorikan terhadap‘urf s{ahi<h.

Sejalan dengan kesimpulan di atas, maka kepada para lijo tetap menggunakan timbangan ketika para pembeli menyebutkan dalam bentuk timbangan seperti kilogram, seperempat atau ons karena dikhawatirkan terdapat kekurangan maupun kelebihan ketika terdapat lijo baru yang mengikuti sistem

cawukan ini. Jika dikhawatirkan timbangan terlalu berat ketika dibawa maka bisa menggunaka jenis timbangan yang lebih ringan, seperti timbangan dapur.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR TRANSLITERASI ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi dan Batasan Masalah ... 6

C.Rumusan Masalah ... 7

D.Kajian Pustaka ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 10

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 10

G.Definisi Operasional ... 11


(8)

I. Sistematika Pembahasan ... 17

BAB II KONSEP JUAL BELI, ‘URF, TAKARAN DAN TIMBANGAN DALAM ISLAM ... 19

A.Konsep Jual Beli ... 19

1. Pengertian Jual Beli ... 19

2. Dasar Hukum Jual Beli ... 22

3. Rukun dan Syarat Jual Beli ... 24

4. Macam-macam Jual Beli dan Jual Beli yang Terlarang 30 B.Konsep ‘Urf ... 37

1. Pengertian ‘Urf ... 37

2. Dasar Hukum ‘Urf ... 39

3. Macam-macam ‘Urf ... 40

4. Kehujjahan ‘Urf ... 41

5. Syarat-syarat ‘Urf ... 42

6. Pembenturan ‘Urf ... 43

C.Takaran dan Timbangan dalam Islam ... 47

BAB III PRAKTEK TRADISI JUAL BELI SISTEM CAWUKAN DI DESA GEMPOLMANIS KECAMATAN SAMBENG KABUPATEN LAMONGAN ... 52

A.Gambaran Umum tentang Desa Gempolmanis Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan ... 52

1. Keadaan Geografis ... 52

2. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat ... 54

3. Pendidikan dan Kehidupan Keagamaan ... 57

B. Pelaksanaan Jual Beli Sistem Cawukan di Desa Gempolmanis Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan 59


(9)

1. Tradisi Jual Beli Sistem Cawukan ... 59

2. Praktek Jual Beli Sistem Cawukan ... 63

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM CAWUKAN DI DESA GEMPOLMANIS KECAMATAN SAMBENG KABUPATEN LAMONGAN ... 70

A.Analisis terhadap Proses Jual Beli di Desa Gempolmanis Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan ... 70

B.Analisis ‘Urf terhadap Tradisi Sistem Cawukan di Desa Gempolmanis Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan ... 76

BAB V PENUTUP ... 90

A.Kesimpulan ... 90

B.Saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 92


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Telah menjadi sunnatullah bahwa manusia harus hidup bermasyarakat,

berinteraksi dengan sesama, saling tolong menolong dan bahu membahu. Hidup bermasyarakat tidaklah lepas dari muamalah dalam memenuhi kebutuhan dan meningkatkan taraf hidup. Untuk hal muamalah, syariat Islam lebih banyak memberikan prinsip dan kaidah umum dibandingkan memberikan penjelasan mengenai muamalah secara terperinci. Hal ini sesuai dengan kaidah ushu>l fiqh yang berbunyi:

ﺎَﻬِْﳝِﺮَْﲢ ﻰَﻠَﻋ ٌﻞْﻴِﻟَد ﱠلُﺪَﻳ ْنَأ ﱠﻻِإ ُﺔَﺣﺎَﺑِﻹْأ ِت َﻼَﻣﺎَﻌُﳌْا ِﰱ ُﻞْﺻَْﻷا

Artinya: “Pada dasarnya, segala bentuk muamalah adalah boleh kecuali ada

dalil yang mengharamkannya.”1

Kaidah tersebut menjelaskan bahwa Allah SWT memberikan keleluasaan kepada manusia untuk dapat berinovasi dalam bermuamalah sepanjang tidak meyimpang dari ajaran agama Islam. Salah satu bentuk muamalah yang digemari oleh Rasulullah saw adalah jual beli. Hal ini sebagaimana Rafi’ bin Khudaij bertanya kepada Rasulullah saw perihal usaha yang paling baik, dan beliau menjawab:

ُﻞَﻤَﻋ ِﻞُﺟﱠﺮﻟا ِﺑ ِرْوُﺮْﺒَﻣ ِﻊْﯿَﺑ ﱡﻞُﻛَو ِهِﺪَﯿ )

ُهاَوَر ْﻟا َﺒ ﱠﺰ ُرا ُﻢِﻛﺎَﺤﻟا ُﮫَﺤﱠﺤَﺻَو (

Artinya: “Usaha seseorang yang dihasilkan oleh tangannya sendiri dan jual beli


(11)

2

yang mabrur (H.R. Bazzar dan disahkan oleh Hakim)”2

Dalam hadith di atas dijelaskan bahwasanya pekerjaan sebagai

pedagang sangatlah mulia, sebagaimana dipraktikkan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya. Selain untuk memenuhi kebutuhan, berdagang juga mengandung unsur tolong menolong yakni menerima dan memberikan andil kepada orang lain dalam mencapai kemajuan hidup. Karena itu Islam tidak menghendaki adanya unsur kebathilan dalam memperoleh keuntungan dari berdagang. Seperti praktik riba, penipuan, dan unsur lain yang bertentangan

dengan shari>‘ah Islam. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam al-Quran

surat al-Nisa>’ ayat 29:

                      

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan

yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (Q.S. al-Nisa>:29)”3

Saling rela dalam transaksi jual beli sangatlah diprioritaskan, sebab keberkahan akan didapat dari kerelaan antar keduannya, dan jalan kebathilan sangatlah dicela karena akan merugikan satu diantara keduanya. Inti dari ayat di atas bahwa dalam memperoleh keuntungan dari jual beli, seseorang harus paham betul terhadap aturan dan batasan yang dapat mempertahankan

2Sayyid al-Ima>m Muhammad ibn Isma>il al-Kahlani al-Sanani, Subul al-Sala>m Juz III, (Kairo: Dar

al-Kutub al-Ilmiyah, 1988), 4.

3Kementrian Agama RI, Al-Quran Terjemah Perkata Asbabun Nuzul dan Tafsir Bil Hadis,


(12)

3

kehalalan dari pekerjaan itu. Oleh karena itu wajib hukumnya berlaku jujur dalam bertransaksi dan diharamkan untuk bermanipulasi yang mengakibatkan unsur haram masuk di dalamnya.

Kriteria halal dalam bertransaksi dapat dicapai seseorang dengan cara memperhatikan syarat dan rukun dari transaksi tersebut, terlebih pada objek yang diperjualbelikan. Islam mengajarkan kepada manusia untuk berlaku adil dalam jual beli. Hal ini perlu ditegaskan agar tidak ada pihak yang merasa

dirugikan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Isra> ayat 35:

                  

Artinya:”Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(Q.S. al-Isra>: 35)4

Dalam menentukan apakah takaran itu adil dibutuhkan alat bantu sebagai tolak ukur yang dapat menilai secara objektif barang dagangan seperti timbangan. Memberikan timbangan 1 kilogram yakni 1000 gram tidak kurang

maupun tidak lebih,5 ketika pembeli menginginkan ukuran tersebut. Dalam

perkembangan zaman timbangan sangat berperan penting, karena dapat memastikan akan keakuratan ukuran dalam perdagangan.

Sekarang ini jenis timbangan tidak hanya satu, timbangan yang dapat digunakan dalam mengukur berat dari barang bermacam-macam di antaranya yakni, timbangan duduk, timbangan jarum dan timbangan digital, yang

4Ibid., 285.


(13)

4

ketiganya memiliki kelebihan masing-masing. Untuk timbangan yang lebih awet digunakan timbangan duduk, timbangan yang hasil pengukurannya akurat dan harga yang murah digunakan timbangan jarum, dan untuk meningkatkan kepercayaan pembeli bisa menggunakan timbangan digital yang harganya di

atas kedua timbangan tersebut.6

Setiap penjual memiliki takaran sendiri-sendiri dalam menentukan

ukuran dagangan yang ditransaksikan. Seperti seorang lijo 7 di Desa

Gempolmanis Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan, mereka

menerapkan sistem cawukan dalam menjual barang dagangannya. Yakni

penjual menjual barang dagangan hanya dengan mengambil dan membaginya tanpa adanya akurasi dari alat ukur atau timbangan.

Seperti contoh seseorang membeli 4000 rupiah lombok, meskipun

harga lombok 1 ons mencapai 4000 rupiah lijo ketika menjual lombok tersebut

tidak mengukur dengan alat ukur timbangan melainkan hanya mengambil barang dengan ukuran perkiraan dari tangannya. Walaupun tidak menggunakan

timbangan, lijo meyakini kemantapan takaran melebihi timbangan.8 Tetapi

terdapat kejanggalan dari transaksi jual beli sebab cawukan tidak termasuk alat

ukur dan juga sistem cawukan ini apakah sudah sesuai dengan aturan Islam

6http://bisniswarung.blogspot.co.id/2013/03/15-peralatan-wajib-toko-kelontong.html, diakses

pada tanggal 15 desember 2015

7Lijo adalah nama lain dari pedagang keliling.


(14)

5

yang mengedepankan unsur keadilan?

Mengingat praktik jual beli sistem cawukan sudah lama terjadi dan

menjadi kebiasaan masyarakat Desa Gempolmanis, maka penulis tertarik untuk

meneliti lebih mendalam mengenai tradisi jual beli dengan sistem cawukan di

Desa Gempolmanis Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan dengan

menggunakan analisis ‘urf.‘Urf adalah apa-apa yang dibiasakan dan diikuti

oleh orang banyak, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan, berulang-ulang dilakukan sehingga berbekas dalam jiwa mereka dan diterima baik oleh akal

mereka.9 Dalam hukum Islam terdapat salah satu kaidah ushu>l fiqh yang

menyebutkan bahwa:

ٌﺔَﻤﱠﻜَُﳏ ُةَدﺎَﻌْﻟَا

Artinya: “Adat itu dapat menjadi dasar hukum”.10

Suatu adat dapat dijadikan dasar hukum, dengan cacatan sesuai

dengan shari>‘ah Islam dan sebaliknya. Setelah dilakukan tinjauan hukum Islam

terhadap sistem cawukan maka akan diketahui apakah shari>‘ah

memperbolehkan dan dapat dijadikan sumber hukum atau sebaliknya, Jika dilihat dari gambaran praktiknya, alasannya maupun akibat dari tradisi jual beli

menggunakan sistem cawukan yang diterapkan di Desa Gempolmanis

Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan.

9Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2014), 154.


(15)

6

B.Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis mengidentifikasi beberapa

masalah yang muncul dari praktik jual beli sistem cawukan pada pedagang

keliling (lijo) di Desa Gempolmanis Kecamatan Sambeng Kabupaten

Lamongan, sebagai berikut:

1.Faktor-faktor penyebab bertahannya sistem cawukan

2.Akibat hukum jual beli dari penerapan sistem cawukan.

3.Kedudukan hak pembeli atas informasi objek yang diperjual belikan.

4.Ketidakjelasan ukuran cawukan.

5.Praktik jual beli menggunakan sitem cawukan di Desa Gempolmanis

Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan.

6.Tinjauan hukum Islam terhadap tradisi jual beli sistem cawukan di Desa

Gempolmanis Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan.

Dari beberapa identifikasi masalah tersebut, untuk menghasilkan penelitian yang lebih fokus pada judul di atas, penulis membatasi penelitian yang meliputi:

1.Praktik jual beli sistem cawukan di Desa Gempolmanis Kecamatan Sambeng

Kabupaten Lamongan.

2.Tinjauan hukum Islam terhadap tradisi jual beli sistem cawukan di Desa


(16)

7

C.Rumusan Masalah

Berkaitan dengan masalah yang telah penulis batasi, maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:

1.Bagaimana praktik jual beli sistem cawukan di Desa Gempolmanis

Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan?

2.Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap tradisi jual beli sistem cawukan

di Desa Gempolmanis Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan?

D.Kajian Pustaka

Tujuan kajian pustaka ini adalah untuk memperoleh suatu gambaran yang memiliki hubungan topik yang akan diteliti dari beberapa penelitian terdahulu yang sejenis, sehingga tidak ada pengulangan penelitian dan duplikasi. Dalam penelusuran awal, sampai saat ini penulis menemukan beberapa penelitian terkait takaran menurut hukum Islam, di antaranya adalah:

Pertama, Skripsi yang terbit pada tahun 2013, yakni berjudul

“Tinjauan Hukum Islam terhadap Jual Beli Bibit Lele dengan Sistem Hitungan dan Takaran di Desa Tulungrejo Kec. Sumberejo Kab. Bojonegoro” yang ditulis oleh Muhammad Kurniawan. Skripsi ini menjelaskan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap sistem hitungan dan takaran yang diterapkan dalam jual beli bibit Lele.


(17)

8

hukumnya boleh karena dalam praktiknya sudah memenuhi syarat dan rukun jual beli sesuai hukum Islam. Jual beli Lele ini telah melewati masa penakaran berdasarkan kesepakatan antara penjual dan pembeli yang menggunakan sistem hitungan dan takaran, yakni takaran yang pertama mereka jadikan acuan untuk takaran-takaran selanjutnya, walaupun dalam takaran selanjutnya hitungannya tidak bisa dipastikan jumlahnya dengan takaran yang pertama yang dilakukan perhitungan. Sistem hitungan dan takaran tersebut sudah dijadikan kebiasaan yang baik dan diyakini adil oleh mereka serta hal ini sejalan juga dengan konsep ‘urf.11

Kedua, Skripsi yang ditulis oleh Siti Mukaromah pada tahun 2009

dengan judul “Tinjauan Hukum Islam dan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Mengenai Pelaksanaan Jual Beli Susu di Desa

Nyawangan Kecamatan Sendang Kabupaten Tulungagung. Hasil penelitian

menyatakan bahwa jual beli susu di Desa Nyawangan bertentangan dengan

hukum Islam lebih khususnya mengandung unsur ghara>r dan juga tidak sesuai

dengan UUPK No.8 tahun 1999 tentang kewajiban pelaku usaha dalam memberikan informasi yang benar dan jujur mengenai kondisi barang, karena informasi akan objek hanya diketahui oleh penjual saja, dan pihak penjual tidak menjelaskan keadaan susu secara detail, baik dari segi keadaan, ukuran

11Muhammad Kurniawan, “Tinjauan Hukum Islam Terhadaa Jual Beli Bibit Lele dengan Sistem

Hitungan dan Takaran di Desa Tulungrejo kec. Sumberejo kab. Bojonegoro”, (Skripsi--IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2013). 97.


(18)

9

timbangan atau takaran.12

Ketiga, Skripsi yang ditulis oleh Silvi Khaulia Maharani pada tahun

2015 dengan judul “Analisi Hukum Islam terhadap Pembulatan Timbangan pada Jasa Pengiriman Barang di PT. TIKI Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) Jalan Karimun Jawa Surabaya”. Dari hasil penelitian menyatakan bahwa pembulatan timbangan yang dilakukan pihak JNE tidak sejalan dengan hukum Islam mengandung riba. Karena dalam praktiknya ia tidak memberitahukan berat dari barang yang dikirimkan melainkan langsung memberikan tarif atas jasa yang dilakukan. Padahal menurut hukum Islam transaksi ini merupakan akad ijarah yang mengharuskan kepada pemberi jasa untuk memberi tahukan apa yang ia

kerjakan sehingga dapat diberi upah yang sesuai pekerjaan.13

Dengan adanya kajian pustaka di atas, hal ini jelas sangat berbeda dengan penelitian yang akan penulis lakukan dengan judul “Tinjauan Hukum

Islam terhadap Tradisi Jual Beli Sistem cawukan di Desa Gempolmanis

Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan. Dalam penelitian ini, penulis

ingin fokus terhadap kesesuaian tradisi cawukan dalam transaksi jual beli

menurut hukum Islam, apakah termasuk pada kriteria ‘urf s{ah{i>h atau ‘urf fa>sid.

12Siti Mukaromah, “Tinjauan Hukum Islam dan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen Mengenai Pelaksanaan Jual Beli Susu di Desa Nyawangan Kecamatan Sendang Kabupaten Tulungagung”, (Skripsi--IAIN Sunan Ampel Surabaya,2009). 85.

13Silvi Khaulia Maharani, “Analisi Hukum Islam Terhadap Pembulatan Timbangan pada Jasa

Pengiriman Barang di PT. TIKI Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) Jalan Karimun Jawa Surabaya”, (Skripsi--IAIN Sunan Ampel Surabaya,2015). 67.


(19)

10

E.Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka dalam melakukan penelitian ini penulis memiliki tujuan:

1.Mengetahui praktik jual beli dengan sistem cawukan di Desa Gempolmanis

Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan.

2.Memahami tinjauan hukum Islam terhadap praktik tradisi jual beli dengan

sistem cawukan di Desa Gempolmanis Kecamatan Sambeng Kabupaten

Lamongan.

F.Kegunaan dan Hasil Penelitian

Dari penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat serta kontribusi baik bagi praktisi maupun akademisi di antaranya:

1.Aspek teoritis

Bagi penulis, diharapkan dapat menambah dan memperluas wawasan, ilmu pengetahuan serta dapat dijadikan sumber informasi tentang

tradisi jual beli menggunakan sistem cawukan dalam hukum Islam.

Bagi akedemisi diharapkan hasil penelitian ini mampu menjadi sumbangan yang berarti dalam khasanah keilmuan terutama bagi Fakultas Syariah serta menjadi rujukan penelitian berikutnya mengenai takaran yang sejalan dengan hukum Islam.


(20)

11

2.Aspek Praktis

Sebagai sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya pemahaman akan takaran terhadap objek yang diperdagangkan yang sesuai dengan hukum Islam untuk kemudian bisa diterapkan dengan sebaik-baiknya dan sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya lebih baik yang berhubungan dengan jual beli menggunakan

sistem cawukan.

G.Definisi Operasional

Untuk mempermudah pemahaman mengenais skripsi penulis yang

berjudul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Tradisi Jual Beli Sistem Cawukan di

Desa Gempolmanis Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan”, maka dibutuhkan beberapa penjelasan mengenai istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka penulis memberikan penjelasan dari beberapa istilah operasional sebagai berkut:

1. Hukum Islam : Peraturan-peraturan dan ketentuan yang bersumber dari

al-Quran dan hadith serta pendapat para ulama

mengenai jual beli dan ‘urf.

2. Tradisi jual :

beli cawukan

Sistem takaran dalam jual beli yang sudah lama terjadi dalam masyarakat Desa Gempolmanis dengan membagi barang dagangan tanpa ada bantuan alat ukur timbangan


(21)

12

pada umumnya, dan ditakar menggunakan perkiraan lijo.

H.Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif, hal ini karena metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda di lapangan. Metode ini secara langsung menghubungkan antara peneliti dengan responden. Untuk mempermudah penelitian mengenai “Tinjauan Hukum Islam

terhadap Tradisi Jual Beli Sistem Cawukan di Desa Gempolmanis Kecamatan

Sambeng Kabupaten Lamongan” dibutuhkan langkah-langkah yang sistematis yakni sebagai berikut:

1.Lokasi Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini dilakukan di Desa Gempolmanis Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan.

2.Objek Penelitian

Adapun objek penelitian ini adalah tradisi jual beli menggunakan

sistem cawukan oleh pihak penjual di Desa Gempolmanis Kecamatan

Sambeng Kabupaten Lamongan.

3.Data yang dikumpulkan

Adapun data yang dikumpulkan dalam penelitian ini di antaranya:


(22)

13

a.Data tentang praktik tradisi jual beli menggunakan sistem cawukan di

Desa Gempolmanis Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan.

b.Data tentang kesesuaian takaran sistem cawukan di Desa Gempolmanis

Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan.

c. Data tentang indikator-indikator tradisi yang baik menurut hukum

Islam.

d.Konsep jual beli menurut Islam.

e. Konsep ‘urf

4.Sumber data

Sumber data dalam penelitian ini akan didapatkan dari beberapa sumber, antara lain:

a. Sumber data primer

Sumber primer adalah sumber pertama dimana sebuah data dihasilkan. Dalam skripsi ini sumber primer didapatkan dari:

1)Penjual yang menggunakan sistem cawukan

2)Pembeli

a. Sumber data sekunder

Sumber sekunder, adalah sumber kedua sesudah sumber primer

atau pelengkap sebagai keterangan tambahan14, di antaranya yakni:

14Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi; Format-format Kuantitatif dan

Kualitatif, untuk Studi Sosiologi,Kebijakan Publik,Komunikasi, Manajemen dan Pemasaran, (Jakarta: Kencana, 2013), 129.


(23)

14

1)Pejabat desa Gempolmanis Kecamatan Sambeng Kabupaten

Lamongan.

2)Tokoh agama Desa Gempolmanis Kecamatan Sambeng Kabupaten

Lamongan.

3)Kementrian Agama RI, Al-Quran Terjemah Perkata Asbabun Nuzul

dan Tafsir Bil Hadis: Semesta al-Qur’an, 2013.

4)Enang Hidayat, Fiqih Jual Beli: Remaja Rosdakarya, 2015.

5)Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, cetakan ke 2: Prenadamedia Group,

2013.

6)Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat: Amzah, 2013.

7)Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 2 cetakan ke 7: Prenadamedia

Group, 2014.

b.Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian, maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

a.Observasi adalah meneliti secara langsung dengan turun kelapangan untuk

mengamati perilaku dan aktivitas individu-individu di lokasi penelitian.15

Peneliti mengamati secara langsung aplikasi praktik sistem cawukan di

Desa Gempolmanis Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan.

b.Wawancara (Interview) adalah proses tanya jawab antara penanya


(24)

15

(interviewer) dan pemberi informasi ( Information Supplyer) dengan

tujuan meminta keterangan dan kejelasan atas objek penelitian serta

memberi penilaian atas jawabannya.16 Peneliti melakukan wawancara

dengan penjual dan pembeli yang menggunakan sistem cawukan dalam

jual beli di Desa Gempolmanis Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan.

c.Teknik pengolahan data

Adapun untuk mempermudah menganalisa data-data dalam penelitian ini, penulis melakukan hal-hal berikut:

a. Editing adalah yaitu proses memeriksa data yang sudah terkumpul,

meliputi kelengkapan jawaban yang diterima, kebenaran cara pengisiannya, kejelasaanya, konsistensi jawaban atau informasi

relevansinya bagi peneliti serta keragaman data yang diterima peneliti.17

b.Organizing adalah aktivitas menyusun dan membentuk sehingga data

yang telah disusun dan bisa dibentuk untuk dijadikan skripsi.

c. Analizing adalah tahapan untuk diarahkan untuk menjawab rumusan

masalah atau menguji hipotesa yang telah dirumuskan.18

16Masruhan, Metodologi Penelitian Hukum, (Surabaya: Hilal Pustaka, 2013), 235. 17Masruhan, Metodologi Penelitian Hukum…, 253.


(25)

16

d.Teknik Analisis Data

Setelah terkumpulnya data-data, dan kemudian telah dikelola, maka data-data tersebut dianalisa oleh penulis dengan menggunakan deskriptif analisis yaitu metode yang digunakan untuk memberikan gambaran secara luas dan mendalam. Yang selanjutnya dilakukan analisis terhadap

sumber-sumber atau literatur yang diperoleh sebelumnya.19

Dalam penelitian ini, peneliti mendeskripsikan praktik tradisi jual

beli sistem cawukan di Desa Gempolmanis Kecamatan Sambeng Kabupaten

Lamongankemudian menganalisis data yang telah diperoleh menggunakan

perspektif hukum Islam.

Selanjutnya Pola pikir yang dipakai dalam hal ini menggunakan pola pikir induktif. Yakni suatu analisa berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan menjadi hipotesis, dan hipotesis dirumuskan berdasarkan data tersebut, untuk kemudian dicarikan data secara berulang-ulang yang nantinya dapat disimpulkan apakah hipotesis tersebut

diterima atau ditolak.20Pola ini diterapkan dengan cara memaparkan

ketentuan-ketentuan khusus pada praktik jual beli menggunakan sistem

cawukan di Desa Gempolmanis Kecamatan Sambeng Kabupaten

Lamongan.

19Sugiyono, Metode Penelitian kuantitatif Kualitatif dan R & D, (Bandung, Alfabeta, 2010), 147. 20Sugiyono, Memahami Penilitian Kualitatif..., 89.


(26)

17

I. Sistematika Pembahasan

Agar tersusun dengan sistematis dan mempermudah pemahaman, maka penulis membagi sistematika pembahasan menjadi lima bab. Dalam setiap bab masing-masing diuraikan aspek-aspek yang berhubungan dengan pokok pembahasan yakni mengenai “Tinjauan Hukum Islam terhadap Tradisi

Jual Beli Sistem Cawukan di Desa Gempolmanis Kecamatan Sambeng

Kabupaten Lamongan”. Tiap-tiap bab dibagi ke dalam sub-sub yang rinciannya sebagai berikut :

Bab pertama yaitu pendahuluan meliputi latar belakang permasalahan, identifikasi dan batasan masalah, perumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian serta sistematika pembahasan.

Bab kedua membahas mengenai kajian pustaka yang menguraikan teori-teori yang berkaitan dengan praktik jual beli, dalam hal ini mencakup bahasan tentang konsep jual beli dalam Islam yang di antaranya mengenai pengertian, landasan hukum, rukun dan syarat, serta bentuk-bentuk jual beli.

Selanjutnya adalah konsep ‘urf yang memuat deskripsi, dasar hukum, macam,

kahujjahan, syarat, dan pembenturan ‘urf. Serta takaran dan timbangan menurut

hukum Islam.

Bab ketiga yaitu membahas tentang objek pembahasan yang berkaitan


(27)

18

mengenai pelaksanaan jual beli sistem cawukan yang termasuk di dalamnya

subyek, objek dan akad serta keadaan umum Desa Gempolmanis Kecamatan

Sambeng Kabupaten Lamongan, yang terdiri dari keadaan geografis dan demografis, serta kehidupan sosial ekonomi, pendidikan dan keagamaan.

Bab keempat merupakan analisis dan intrepretasi data, yakni tinjauan

hukum Islam terhadap tradisi jual beli beli sistem cawukan di Desa

Gempolmanis Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan yang bertujuan

untuk memberikan penjelasan kesesuaian tradisi jual beli sistem cawukan

dengan hukum Islam.

Bab kelima yakni penutup terdiri dari kesimpulan dan saran mengenai

tradisi jual beli menggunaka sistem cawukan di Desa Gempolmanis Kecamatan


(28)

BAB II

KONSEP JUAL BELI, ‘URF,

TAKARAN DAN TIMBANGAN DALAM ISLAM

Landasan teori merupakan bagian yang akan membahas tentang teori-teori yang digunakan dalam memecahkan masalah yakni mengenai tradisi jual beli sistem cawukan yang terjadi di Desa Gempolmanis. Landasan teori yang dibahas dalam bab ini meliputi: Jual beli (bay’) yakni pengertian jual beli (bay’), landasan atau dasar hukum jual beli (bay’), rukun dan syarat jual beli (bay’), bentuk-bentuk jual beli (bay’) dan‘urf yakni pengertian‘urf , landasan atau dasar hukum ‘urf, klasifikasi‘urf, syarat‘urf, kehujjahan‘urf, syarat‘urf, dan pembenturan‘urf serta takaran dan timbangan dalam Islam

A. Konsep Jual Beli

1. Pengertian jual beli

Lafazh al-bay’ dalam bahasa arab menunjukkan makna jual dan beli. Dilihat dari segi bahasa, lafazh َﺒﻟا ٌﻊ merupakan bentuk mas ْﯿ {dar - ُﻊ َﯾ ِﺒ ْﯿ- َعﺎ َﺑ

َﺑ ْﯿ ًﺎﻌ - َو َﻣ ِﺒ ْﯿ ًﻌ

ﺎ 21yang mengandug tiga makna sebagai berikut:

ُﻣ َﺒ

َدﺎ َﻟ

ُﺔ

َﻣ

ٍلﺎ

َِﲟ

ٍلﺎ

Artinya:“Tukar menukar harta dengan harta.”

ُﻣ َﻘ

َـﺑﺎ َﻠ

ُﺔ

َﺷ ْﻴ

ِﺊ

ِﺑ

َﺸ ْﻴ

ِﺊ

Artinya: “Tukar menukar sesuatu dengan sesuatu.”

َد ْﻓ

ُﻊ

ِﻋ َﻮ

ٍض

َو َأ

ْﺧ

ُﺬ

َﻣ

ُﻋ ﺎ

ِﻮ

َض

َﻋ ْﻨ

ُﻪ


(29)

20

Artinya: “Menyerahkan pengganti dan mengambil sesuatu yang dijadikan alat pengganti tersebut.”22

Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, bay’ adalah jual beli antara benda dan benda atau pertukaran antara benda dengan uang.23

Adapun definisi bay’ secara terminologi diungkapkan oleh para ulama yakni:

a. Sebagaimana dikutip dari buku Enang Hidayat, H{ana>fi>yah menyatakan:

ِﻪِﻠْﺜِِﲟ ِﻪْﻴِﻓ ِبْﻮُﻏْﺮَﻣ ِﺊْﻴَﺷ ُﺔَﻟَدﺎَﺒُﻣ

Artinya: “Saling tukar menukar sesuatu yang disenangi dengan yang semisalnya.”24

Selain itu, Ulama H{ana>fi>yah juga mendefinisikan jual beli sebagaimana diambil dari buku Rachmat Syafe’i yakni:

ُﺔَﻟَدﺎَﺒُﻣ

َﻣ

ٍلﺎ

ٍلﺎَِﲟ

ﻰَﻠَﻋ

َو

ْﺟ ٍﻪ

َْﳐ

ُﺼ

ْﻮ

ٍص

Artinya:“Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang diperbolehkan).”25

Dari kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ulama H{ana>fi>yah mengartikan jual beli yaitu tukar menukar harta benda atau sesuatu yang diinginkan dengan sesuatu yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.26

b. Ma>liki>yah, pendapat ini dikutip dari buku yang ditulis oleh Enang

Hidayat yang berbunyi:

22Enang Hidayat, fiqh Jual Beli, Cet. 1, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), 9.

23Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM), Kompilasi hukum Ekonomi

Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), 15.

24Enang Hidayat, fiqh Jual Beli..., 11.

25Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah,Cet.10, (Bandung:Pustaka Setia, 2001), 73. 26 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013), 101.


(30)

21

َﻋ ْﻘ

ُﺪ

ُﻣ َﻌ

َوﺎ

َﺿ

ُﺔ

َﻋ َﻠ

َﻏ ﻰ

ِْﲑ

َﻣ َﻨ

ِﻓﺎ

َﻌﺎ

,

َو َﻻ

ُﻣ ْـﺘ

َﻌ ُﺔ

َﻟ

َﺬ ِة

,

ُذ ْو

ُﻣ

َﻳﺎﻜ

َﺴ ِﺔ

,

َﺣأ

ُﺪ

ِﻋ َﻮ

َﺿ ْﻴ

ِﻪ

َﻏ ْـﻴ

ُﺮ

َذ َﻫ

ِﺐ

َو

َﻻ

ِﻓ

َﻀ

ِﺔ

,

ُﻣ َﻌ

ُﱠﲔ

َﻏ

ْـﻴ ُﺮ

َﻌﻟا

ِْﲔ

Artinya: “Akad saling tukar menukar terhadap bukan manfaat, bukan termasuk senang-senang, adanya saling tawar menawar, salah satu yang dipertukarkan itu bukan termasuk emas dan perak, bendanya tertentu dan bukan dalam bentuk zat benda.”27

c. Sha>fi’i>yah berpendapat sebagaimana yang dikutip dari buku yang ditulis oleh Ahmad Wardi Muslich yang menyatakan bahwa:

ﺎًﻋْﺮَﺷَو

:

ِﻃْﺮَﺸِﺑ ٍلﺎَِﲟ ٍلﺎَﻣ َﺔَﻠَـﺑﺎَﻘُﻣ ُﻦﱠﻤَﻀَﺘَـﻳٌﺪْﻘَﻋ

ٍةَﺪﱠﺑَﺆُﻣ ٍﺔَﻌَﻔْـﻨُﻣْوَأ ٍْﲔَﻋ ِﻚْﻠِﻣ ِةَدَﺎﻔِﺘْﺳَِﻻ ْ ِﰐﻵا ِﻪ

Artinya: “Jual beli menurut shara>’ adalah suatu akad yang mengandung tukar menukar harta dengan harta dengan syarat yang akan diuraikan untuk memperoleh kepemilikan atas benda atau manfaat untuk waktu selamanya.”28

d. Menurut H{ana>bila, sebagaimana dikutip dalam buku yang ditulis oleh Enang Hidayat menyatakan:

ُﻣ َﺒ

َدﺎ َﻟ

ْﻟا ﺔ

َﻤ ِﺎ

ِﺑ ل

َ

ﳌﺎ

ِلﺎ

َْﲤ

ِﻠ ْﻴ

َﻜ

Artinya: “Saling tukar menukar harta dengan harta dengan tujuan memindahkan kepemiliknnya”.

Dari beberapa definisi mengenai jual beli di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka sepakat memberikan definisi jual beli merupakan, “ tukar menukar harta dengan harta dengan cara-cara tertentu yang bertujuan untuk memindahkan kepemilikan. 29

27Enang Hidayat, fiqh Jual Beli, Cet. 1, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), 11. 28Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2013), 176.


(31)

22

2. Dasar hukum jual beli

Dasar hukum dibolehkannya jual beli terdapat di dalam al-Quran,

al-Hadith serta Ijma>’. Sebagai berikut:

a. Al-Quran, dalam surat al-Baqarah (2) ayat 275:

       

Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Q.S. al-Baqarah: 275) ”30

Dari ayat di atas dapat diartikan bahwa Allah SWT telah menghalalkan transaksi jual beli terhadap hambanya dan melarang adanya praktik yang mengandung unsur riba karena dapat merugikan pihak lain. Menurut Sayyid Qutbh sebagaimana dikutip dari buku yang ditulis oleh Mustaq Ahmad, dampak dari kejahatan riba yakni dapat menimbulkan kematian pada kesadaran dan moralitas para pelaku bisnis karena mereka riba akan membuat ia membutuhkan banyak keuntungan yang demikian banyak dari sesamanya.31

Jual beli juga diatur dalam surat al-Nisa>’ (4) ayat 29, yang berbunyi:

                      

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang ba>t{il, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.

(Q.S. al-Nisa>’: 29)”32

30Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya ..., 47. 31Mustaq Ahmad, Etika Bisnis, Cet. 2, (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2003), 135. 32Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan…, 83.


(32)

23

Firman Allah SWT di atas menerangkan mengenai larangan memakan harta orang lain dengan jalan yang ba>t{il yang tidak dibenarkan oleh Allah, seperti mencuri, merampok dan lain-lain, serta menyeru kepada hambanya untuk mencari harta dari jalan perniagaan yang berprinsip saling suka sama suka. Jadi, dalam jual beli tidak sah jika ada salah satu pihak melakukan akad karena terdapat unsur paksaan dari pihak lain.

b. Hadith, selain dalam al-Quran, dasar jual beli juga terdapat dalam hadith

َﻢﱠﻠَﺳ َو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ﷲا ﻰﱠﻠَﺻ ﱠِﱯﱠﻨﻟا ﱠنأ ٍﻊِﻓاَر ُﻦْﺑ َﺔَﻋﺎَﻓِر ْﻦَﻋ

َﻞِﺌُﺳ

ﱡىَأ

ِﺐْﺴَﻜْﻟا

؟ ُﺐَﻴْﻃَأ

َلﺎَﻗ

ُﻞَﻤَﻋ

ﱠﺮﻟا

ِﻞُﺟ

ِﻩِﺪَﻴِﺑ

ٍرْوُﺮْـﺒَﻣ ٍﻊْﻴَـﺑ ﱡﻞُﻛ َو

Artinya: “Dari Rifa>’ah ibnu Ra>fi’ bahwa Nabi saw ditanya usaha apakah yang paling baik? Nabi menjawab: Usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabru>r. ( H.R. Al-Bazzar dan disahihkan oleh Al-Hakim)”33

َﻢﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ﷲا ﻰﱠﻠَﺻ ﷲا ُلْﻮُﺳَر َلﺎَﻗ َلﺎَﻗ َﺮَﻤُﻋ ُﻦْﺑا ْﻦَﻋ

:

ِﻠْﺴُﻤْﻟا ُْﲔِﻣَْﻷا ُقْوُﺪﱠﺼﻟا ُﺮِﺟَﺎّﺘﻟا

ُﻢ

ِﺔَﻣﺎَﻴِﻘْﻟا َمْﻮَـﻳ ِءاَﺪَﻬﱡﺸﻟا َﻊَﻣ

.

Artinya: "Ibnu ‘Umar ia berkata: telah bersabda Rasulullah saw. Pedagang yang benar (jujur), dapat dipercaya dan muslim, beserta para

shuhada’ pada hari kiamat. (HR. Ibnu Ma>jah).”34

Dari kedua hadith di atas menunjukkan makna bahwa jual beli merupakan pekerjaan yang halal dan mulia. Apabila pelakunya jujur,

33Muhammad bin Isma>’i>l Al-Kahlani, Subul As-Sala>m, juz 3, (Mesir: Maktabah Babiy

Al-Halabiy, 1960), 4.

34Ibnu Ma>jah, Sunan Ibunu Maja>h, Juz 2 Nomor Hadith 2139, CD Room, Maktabah Kutub


(33)

24

maka kedudukannya di akhirat nanti setara dengan para Nabi, Shuhada’ dan S{iddiqi>n.35

c. Ijma>

Sedangkan dalil dari ijma>’ menyatakan bahwa ulama sepakat jual beli itu hukumnya boleh dan terdapat hikmah didalamnya. Karena asal manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa adanya kerja sama dengan yang lain. Oleh karena itu, dengan diperbolekannya jual beli maka dapat membantu terpenuhinya kebutuhan setiap orang dan membayar atas kebutuhan itu. 36

3. Rukun dan Syarat Jual Beli

a. Rukun jual beli

Terdapat perbedaan pendapat mengenai rukun dari jual beli. Menurut ulama H{ana>fi>yah rukun dari jual beli adalah hanyalah satu yakni i>ja>b (menetapkan perbuatan khusus yang menunjukkan kerelaan yang terucap pertama kali dari perkataan salah satu pihak, baik penjual maupun pembeli) dan qabu>l (apa yang dikatakan kali kedua dari salah satu pihak) yang menunjukan pertukaran barang secara rida, baik dengan ucapan maupun perbuatan.37

Adapun jumhur ulama menyatakan bahwa rukun dari jual beli ada empat yaitu:bay’ (penjual), mushtari> (pembeli), s{i>ghat (i>ja>b dan

35Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat..., 179.

36Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (terj). Abdul Hayyie al Kattani dkk, (Depok :

Gema Insani, 2011), 27.


(34)

25

qabu>l) dan ma’qu>d ‘alayh (benda atau barang).38 Sedangkan menurut

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, unsur (rukun) jual beli ada tiga, yaitu: pihak-pihak, objek dan kesepakatan. 39 Ketiga rukun tersebut hendaklah terpenuhi, karena jika salah satu rukun tidak terpenuhi maka perbuatan tersebut tidak dikategorikan sebagai perbuatan jual beli.40

b. Syarat jual beli yakni:

Terdapat perbedaan pedapat mengenai syarat jual beli. Dalam transaksi jual beli, Ulama H{ana>fi>yah menyatakan bahwa orang yang berakad, barang yang dibeli, dan nilai tukar barang termasuk dalam syarat jual beli.41 Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun

yang dikemukakan oleh jumhur ulama di atas adalah:

1) Syarat-syarat orang yang berakad yakni pelaku transaksi harus orang yang telah ba>ligh dan berakal, pelaku transaksi harus berbilang atau dilakukan oleh orang yang berbeda, sehingga tidaklah sah akad dilakukan seorang diri.42

2) Syarat-syarat yang berkaitan dengan i>ja>b qabu>l.

Para ulama sepakat bahwa unsur utama yang harus ada dalam transaksi jual beli adalah kerelaan kedua belah pihak, dan kerelaan dari kedua belah pihak dapat dilihat dari i>ja>b dan qabu>l yang dilangsungkan.

38Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah..., 76.

39Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM), Kompilasi Hukum…, 30.

40Chairuman Pasaribu, Suhrawardi K. lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta: Karya

Unipress, 1994), 34.

41Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), 71. 42Ibid, 72.


(35)

26

Para ulama mengemukakan bahwa syarat i>ja>b qabu>l ada tiga hal yakni: Orang yang mengucapkan akad telah ba>ligh dan berakal, sehingga mengetahui apa yang dia katakan dan putusan secara benar.43

Hendaknya pernyataan qabu>l yang sesuai dengan kandungan pernyataan i>ja>b.44 I>ja>b dan qabu>l itu dilakukan dalam satu majelis,

artinya kedua belah pihak yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topik yang sama.

Namun, kata “Majli>s” ini tidak diartikan sebagai satu tempat sebagaimana pendapat para ulama fiqh klasik, paling tidak satu ulama fiqh kontemporer seperti Wahab az-Zuhayli dan Ahmad az- Zarqa sebagaimana yang dikutip dari buku yang ditulis oleh Nasrun Haroen mengatakan bahwa majli>s itu berarti satu situasi dan kondisi sekalipun kedua belah pihak berjauhan, tetapi topik yang dibicarakan adalah sama yaitu jual beli.45

3) Syarat Ma’qu>d ‘Alayh (objek akad), terdapat empat syarat dalam objek jual beli yakni barang yang diperjualbelikan itu ada atau tidak ada ditempat, tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.46 Barang yang diperjual belikan dapat

dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. Barang yang diperjual belikan harus barang yang sudah dimiliki oleh penjual. Barang yang

43Ibid, 73.

44Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (terj)..., 40. 45Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, 116.


(36)

27

diperjual belikan harus bisa diserah terimakan pada saat dilakukan akad jual beli.47

4) Syarat-syarat nilai tukar.

Dalam transaksi jual beli, nilai tukar merupakan salah satu bagian terpenting. Ulama fiqh mengemukakan syarat-syarat al-thaman sebagai berikut: Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya. Boleh diserahkan pada waktu akad, walaupun secara hukum pembayaran menggunakan cek dan kartu kredit dibolehkan. Apabila harga barang dibayar dikemudian hari (berhutang) maka waktu pembayaran harus jelas. Apabila jual beli dilakukan dengan saling mempertukarkan barang, maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan oleh shara>’.48

Disamping syarat-syarat yang berkaitan dengan rukun jual beli di atas, para ulama fiqh mengemukakan syarat-syarat lain yakni : syarat sah jual beli yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu syarat umum dan syarat khusus.49

1) Syarat umum adalah syarat yang harus ada dalam setiap jual beli agar jual beli tersebut dianggap sah menurut syara’. Akad jual beli harus terhindar dari enam macam ‘ayb yakni sebagai berikut:

Ketidakjelasan (jaha>lah), yang dimaksud di sini adalah ketidakjelasan yang serius yang mendatangkan perselisihan yang sulit untuk diselesaikan. Ketidakjelasan ini terdapat empat macam yakni:

47Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat..., 190. 48Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalah....,75.


(37)

28

ketidakjelasan dalam barang yang dijual baik dalam hal jenis, macam, atau kadarnya menurut pandangan pembeli. Ketidakjelasan harga. Ketidakjelasan masa, seperti harga yang diangsur, atau dalam khiya>r syarat. Ketidakjelasan dalam langkah-langkah penjaminan. Contoh seorang penjual mensyaratkan adanya penjamin, maka dalam hal ini seorang penjamin harus jelas.

Pemaksaan (al-Ikra>h). Yakni mendorong seseorang untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak disukai. Paksaan dalam hal ini ada dua jenis yakni: Paksa absolut, yaitu paksaan dengan ancaman yang sangat berat, seperi dibunuh atau dipotong anggota badannya. Paksa relatif, yaitu paksaan dengan ancaman yang lebih ringan seperti dipukul. Keduan ancaman tersebut berpengaruh dalam akad jual beli. Karena menjadikan jual beli fa>sid menurut jumhur H{ana>fi dan mauqu>f menurut Zufar.

Pembatasan dengan waktu (at-Tawqi>t), yaitu jual beli dengan dibatasi waktu. Seperti: “saya menjual baju-baju ini kepadamu untuk selama satu bulan atau satu tahun”. Jual beli semacam ini hukumnya fa>sid kerena kepemilihan atas barang tidak dapat dibatasi oleh waktu.50

Penipuan (al-Ghara>r), yakni yang dimaksud adalah penipuan dalam sifat barang. Seperti seseorang menjual sapi dengan pernyataan bahwa sapi itu air susunya sehari sepuluh liter, padahal kenyataannya


(38)

29

paling banyak dua liter. Akan tetapi jika ia menjual dengan pernyataan bahwa air susunya lumayan banyak tanpa menyebutkan kadarnya maka hukumnya s{ahi>h. dan apabila ghara>r terdapat pada wujud barang maka membatalkan jual beli.

Kemudharatan (Ad{-D{ara>r), yaitu barang yang diperjualbelikan tidak mungkin dapat diserahkan kecuali penjualnya akan merasa rugi dari harganya. Seperti seseorang menjual sebatang pohon di atas atap bangunan sedangkan penyerahan barang seperti ini mengharuskan merusak barang disekitar batang pohon. Dikarenakan kerusakan yang timbul menjaga hak seseorang bukan kepentingan agama,maka para ahli fiqh menetapkan jika penjual rela menerima kerugian bagi dirinya dan rela menyerahkannya kepada pembeli maka jual beli akan berubah menjadi sah.51 Syarat yang merusak yakni

setiap syarat yang ada manfaatnya bagi salah satu pihak yang bertransaksi, tetapi syarat tersebut tidak ada dalam shara>’. Seperti seseorang menjual mobilnya dengan mensyaratkan bahwa ia akan memakai mobilnya selama satu bulan setelah terjadinya akad jual beli.52

2) Adapun syarat-syarat khusus yang berlaku untuk beberapa jenis jual beli adalah sebagai berikut:a) Barang harus diterima. b) Mengetahui harga awal jika menggunakan akad mud{a>rabah, tauliyyah, wadi>’ah atau isyra’. c) Saling menerima penukaran sebelum berpisah, apabila

51Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (terj)..., 56.


(39)

30

jual beli s{arf (uang). d) Dipenuhi syarat-syarat salam, apabila jual beli

salam. e) Harus sama dalam penukaran, jika objek jual beli berupa

barang ribawi. f) Harus diterima dalam hutang piutang yang ada dalam perjanjian, seperti muslam fi>h dan modal sala>m, dan menjual sesuatu dengan utang kepada selain penjual. 53

4. Macam-macam jual beli dan jual beli yang terlarang

a. Macam-macam jual beli

1) Pembagian jual beli berdasarkan objek barangnya yakni a) Bay’

al-Mut{laq, yaitu tukar menukar suatu benda dengan mata uang. b) Bay’

al-S{arf, yaitu tukar menukar mata uang dengan mata uang lainnya

baik sama jenisnya atau tidak, atau tukar menukar emas dengan emas atau perak dengan perak. c) Bay’ al-Muqayyadah (barter), yaitu tukar menukar harta dengan harta selain emas dan perak.54 d) Bay’ Salam

atau salaf yaitu tukar menukar utang dengan barang atau menjual

suatu barang yang penyerahannya ditunda dengan pembayaran modal lebih awal.

2) Pembagian jual beli berdasarkan batasan nilai tukar barangnya yakni: a) Bay’ al-Musawwamah, yaitu jual beli yang dilakukan penjual tanpa menyebutkan harga asal barang yang ia beli. b) Bay’ al-Muzayyadah, yaitu penjual memperlihatkan harga barang di pasar kemudian pembeli membeli barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dari

53Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat..., 190. 54Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah..., 108.


(40)

31

harga asal sebagaimana diperlihatkan atau disebutkan penjual. c) Bay’

al-Ama>nah, yaitu penjualan yang harganya dibatasi dengan harga awal

atau ditambah atau dikurangi.

Jual beli ini terbagi menjadi tiga macam, yakni: (1) Bay’ al-Mura>bah{ah, yaitu penjual menjual barang tersebut dengan harga asal ditambah keuntungan yang disepakati. (2) Bay’ al-Tauliyyah, yaitu penjual menjual barangnya dengan harga asal tanpa menambah (mengambil keuntungan) atau menguranginya (rugi). (3) Bay’

al-Wadi>’ah, yaitu penjual menjual barangnya dengan harga asal dan

menyebutkan potongan harganya (diskon). 55

3) Pembagian jual beli berdasarkan penyerahan nilai tukar pengganti barangnya yakni: a) Bay’ Munjiz al-Thaman, yaitu jual beli yang didalamnya disyariatkan pembayaran secara tunai. b) Bay’ Mu’ajjal

al-Thaman, yaitu jual beli yang pembayarannya dilakukan dengan

secara kedit. c) Bay’ Mu’ajjal al-Muthman, yaitu jual beli yang serupa dengan bay’ al-salam. d) Bay’ Mu’ajjal al-‘Iwad{ain, yaitu jual beli utang dengan utang. Hal ini dilarang oleh syara’.56

4) Pembagian jual beli berdasarkan hukumnya yakni a) Bay’ al Mun’aqid, yaitu jual beli disyariatkan (diperbolehkan oleh syara’). b)

Bay’ al-S{ahi>h, yaitu jual beli yang memenuhi syarat sahnya. c)

Bay’ al-Na>fi>dz, yaitu jual beli shahih yang dilakukan oleh orang yang

55Enang Hidayat, fiqh Jual Beli..., 48. 56Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah..., 109.


(41)

32

cakap melaksanakannya. d) Bay’ al-La>zim, yaitu jual beli shahi>h yang sempurna dan tidak ada hak khiya>r didalamnya.57

Selain itu, terdapat jual beli yang memiliki pengecualian di dalam persyaratannya yakni jual beli jiza>f. Yakni jual beli sesuatu tanpa harus ditimbang, ditakar ataupun dihitung. Akan tetapi jual beli dilakukan dengan cara menaksir jumlah objek transaksi setelah melihat dan menyaksikannya secara cermat.58 Hal ini sebagimana hadith yang

menjelaskan tentang bolehnya jual beli ini.

َﺎﻬُﻠْـﻴَﻛ ُﻢَﻠْﻌُـﻳ َﻻ ِﺮْﻤﱠﺘﻟا َﻦِﻣ ِةَﺮْـﺒﱡﺼﻟا ًﻊْﻴَـﺒﻟا ْﻦَﻋ ﻢّﻠﺳ و ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻰّﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر ﻰ

ِﺮْﻤﱠﺘﻟا َﻦِﻣ ﻰﱠﻤَﺴُﻤْﻟا ِﻞْﻴَﻜْﻟﺎِﺑ

Artinya:“Rasulullah melarang menjual s{ubroh (kumpulan makanan tanpa ada timbangan dan takarannya) dari kurma yang tidak diketahui takarannya dengan kurma yang diketahui secara jelas takarannya.” (H.R. Muslim dan Nasa’i)59

Pada hadith ini terapat dalil yang menunjukan bahwa boleh melakukan jual beli kurma secara jiza>f apabila alat pembayarannya berasal dari barang selain kurma. Apabila alat pembayaran berupa kurma, maka jual beli itu menjadi haram karena mengandung riba fadl.

dan dijelaskan kembali pada hadith Nabi Muhammad saw yang berbunyi:

ْﻮُﺳﱠﺮﻟا ُﻢُﻫ ﺎَﻬَـﻨَـﻓ ِقْﻮﱡﺴﻟا ﻰَﻠْﻋَﺄِﺑ ًﺎﻓاَﺰُﺟ َمﺎَﻌﱠﻄﻟا َنْﻮٌﻌَـﻳﺎَﺒَﺘَـﻳ اْﻮُـﻧﺎَﻛ

ْنَأ َﻢﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ﷲا ﻰﱠﻠَﺻ ُل

ُﻩْﻮُﻠُﻘْـﻨَـﻳ ﱠﱴَﺣ اْﻮُﻌْـﻴِﺒَﻳ

57Enang Hidayat, Fiqih Jual Beli..., 48.

58Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, cet III...,147.

59Faishal bin Abdul Azi>z al-Muba>rrak, Bustanul Ah> {ba>r MukhtasorNailul Autha>r, juz II, (Kairo:


(42)

33

Artinya: “Mereka (para sahabat) biasa melakukan jual beli makanan (gandum dan sebagainnya) ditengah-tengah pasar tanpa ditimbang atau ditakar terlebih dahulu, lalu rasulullah saw melarang mereka untuk menjual makanan tersebut sampai mereka memindahkannya (dari tempatnya)”. ( H.R. Ibnu ‘Umar R.A)60

Dari hadith di atas, menunjukkan adanya persetujuan Nabi Muhammad saw terhadap perbuatan sahabat yang melakukan trasaksi secara jiza>f. Akan tetapi, beliau melarang mereka melakukan jual beli sesuatu sebelum terjadi serah terima dan melunasi pembayarannya.61

Ulama ma>likiyyah menyebutkan beberapa persyaratannya mengenai kebolehan jual beli jiza>f yakni:

a. Objek transaksi harus bisa dilihat dengan kepala ketika sedang melakukan akad atau sebelumnya. Ulama H{anafiyyah, Sha>fi’iyyah dan H{ana>bilah sepakat akan syarat ini. dengan adanya syarat ini, maka

ghara>r jaha>lah (ketidaktahuan objek) dapat dieleminasi.

b. Baik pembeli dan penjual sama-sama tidak mengetahui secara jelas kadar barang dagangan, baik dari segi takaran, timbangan, ataupun hitungannya. Imam Ahmad menyatakan sebagaimana dikutip dari buku yang ditulis oleh Dimyauddin Djuwaini, jika penjual mengetahui kadar objek transaksi, maka ia tidak perlu menjualnya secara jiza>f . Namun, jika ia tetap menjualnya secara jiza>f dengan kondisi ia mengetahui kadar objek transaksi, maka jual beli sah dan bersifat lazim, namun makruh tanzi>h.

60Imam Syukani, Nailul Autha>r,Vol V (tt:tp,tt) 179.


(43)

34

c. Jual beli dilakukan atas sesuatu yang dibeli secara partai, bukan per satuan. Akad jiza>f diperbolehkan atas sesuatu yang bisa ditakar atau ditimbang, seperti biji-bijian dan sejenisnya. Jual beli jiza>f tidak bisa dilakukan atas pakaian, kendaraan yang dapat dinilai per satuannya. Berbeda dengan barang yang nilainya sangat kecil per satuannya, atau memiliki bentuk yang relatif sama. Seperti telur, apel, mangga dan sejenisnya. Jika objek transaksi bisa dihitung tanpa adannya upaya yang melelahkan dan rumit, maka tidak boleh ditransaksikan secara

jiza>f dan berlaku sebaliknya.

d. Objek transaksi bisa ditaksir oleh orang yang memiliki keahlian dalam penaksiran. Akad jiza>f tidak bisa dipraktikan atas objek yang sulit untuk ditaksir. Madzhab Sha>fi’iyyah sepakat adanya syarat ini, mereka menetapkan bahwa kadar shubroh harus bisa diketahui, walaupun dengan menaksir.

e. Jumlah objek barang dagangan tidak terlalu banyak, sehinga sulit untuk ditaksir dan tidak pula terlalu sedikit sehingga mudah dihitung. Barang yang diukur dengan sistem cawukan disini berukuran sedang setara dengan kurang lebih satu kilogram. Jika dihitung per satuan akan menyulitkan, maka menggunakan sistem cawukan.

f. Tanah tempat meletakkan objek barang tersebut harus rata, sehinga kadar objek transaksi bisa ditaksir. Jika kondisi tanah dalam keadaan menggunung atau landai, maka kemungkinan kadar objek transaksi


(44)

35

bisa berbeda (misalnya kacang tanah). Jika ternyata kondisi tidak rata, maka keduannya memiliki hak khiyar.

g. Tidak diperbolehkan mengumpulkan jual beli barang yang tidak diketahui kadarnya secara jelas, dengan barang yag tidak diketahui kadarnya secara jelas, dalam satu akad. Misalnya, jual beli kurma satu kilo, dikumpulkan dengan apel yang berbeda dalam satu pohon, dengan satu harga atau dua harga.62

Ditinjau dari hukum dan sifat, para jumhur ulama membagi transaksi jual beli menjadi dua macam yakni: Jual beli yang sah (s{ahi>h) yaki jual beli yang memenuhi syarat dan rukun jual beli dan jual beli yang tidak sah yakni jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun sehingga jual beli tersebut menjadi rusak (fa>sid) atau batal. Dengan kata lain rusak dan batal menurut jumur ulama memiliki arti yang sama.

Sedangkan ulama H{ana>fiyyah membagi hukum dan sifat jual beli menjadi tiga bagian yakni sah, batal dan rusak. Menurut ulama’

h{ana>fiyyah, jual beli rusak adalah jual beli yang sesuai dengan ketentuan

shari>’ah pada asalnya, tetapi tidak sesuai dengan shari>’ah pada sifatnya

seperti jual beli yang dilakukan oleh orang mumayyiz, tetapi bodoh sehingga menimbulkan pertentangan.63

b. Jual beli yang dilarang

Jual beli yang dilarang dalam Islam memiliki banyak versi. jumhur ulama sebagaimana diterangkan di atas, tidak membedakan

62Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, cet III...,147


(45)

36

antara fa>sid dan batal. Dengan kata lain, mereka menyatakan bahwa hukum jual beli ada dua, yakni jual beli s{ahi>h dan jual beli fa>sid, sedangkan Ulama H{ana>fiyyah menjelaskan bahwa jual beli terbagi menjadi tiga, yaitu jual beli s{ahi>h, fa>sid dan batal.64

1) Jual beli terlarang karena tidak memenuhi syarat dan rukun.

Pertama, jual beli barang yang zatnya haram, najis, atau tidak boleh diperjualbelikan. Barang yang najis atau haram dimakan, haram juga untuk diperjualbelikan. Kedua, jual beli yang belum jelas, sesuatu yang bersifat spekulasi atau samar-samar, karena dapat merugikan salah satu pihak. Yang dimaksud samar-samar adalah tidak jelas, baik barangnya, harganya, kadarnya, masa pembayarannya, maupun ketidakjelasan yang lainnya.

Ketiga, Jual beli bersyarat. Yaitu jual beli yang i>ja>b qabu>lnya dikaitkan dengan syarat-syarat tertentu yang tidak ada kaitannya dengan jual beli atau ada unsur yang merugikan dan dilarang oleh agama. 65 Keempat, jual beli yang menimbulkan kemadharatan. Yaitu

segala sesuatu yang dapat menimbulkan kemadharatan, kemaksiatan, bahkan kemusyrikan dilarang untuk diperjualbelikan, seperti jual beli patung, salib, dan buku-buku bacaan porno.

Kelima, jual beli yang dilarang karena dianiaya. Yaitu segala bentuk jual beli yang mengakibatkan penganiayaan hukumnya haram, seperti menjual anak binatang yang masih membutuhkan (bergantung)

64Ibid, 93.


(46)

37

kepada induknya. Keenam, jual beli muh{a>laqah, yaitu menjual tanam-tanaman yang masih di ladang atau di sawah.66 Ketujuh, jual beli

mukha>d{arah, yaitu menjual buah-buahan yang masih hijau (belum

pantas dipanen).67

Kedelapan, jual beli mula>masah, yaitu jual beli secara sentuh-menyentuh.68 Kesembilan, jual beli muna>badhah, yaitu jual

beli secara lempar-melempar. Setelah terjadi lempar-melempar terjadilah jual beli.69 Kesepuluh, jual beli muza>banah, yaitu menjual

buah yang basah dengan buah yang kering. Seperti menjual padi kering dengan bayaran padi basah yang diukur dengan ditimbang sehingga merugikan pemilik padi kering.

2) Jual beli terlarang karena ada faktor lain yang merugikan pihak-pihak terkait. Yakni jual beli dari orang yang masih dalam tawar menawar, jual beli dengan menghadang dagangan di luar kota/pasar, membeli barang dengan memborong untuk ditimbun, jual beli barang rampasan atau curian.70

B.Konsep ‘Urf

1. Pengertian ‘urf

Secara etimologi kata al-‘urf berasal dari tiga huruf yakni ain, ra’ dan fa’ yang berarti kenal. Dari kata tersebut muncul beberapa kata lain,

66Enang Hidayat, fiqh Jual Beli ..., 119.

67Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalah …,84. 68Ibid, 106.

69Ibid, 105 70Ibid., 85-87.


(47)

38

yaitu ُﻒْﯾِﺮْﻌَﺗ (definisi), فْوُﺮْﻌَﻣ (yang dikenal sebagai kebaikan), ٌفْﺮُﻋ (kebiasaan yang baik).71

Adapun secara terminologi, kata ‘urf mengandung makna:

َﻣ

ْﻋا ﺎ

َﺘ َدﺎ

ُﻩ

ﱠﻨﻟا

ُسﺎ

َو

َﺳ

ُرﺎ ْو

َﻋ ا

َﻠ ْﻴ ِﻪ

ِﻣ

ْﻦ

ُﻛ

ﱢﻞ

ِﻓ ْﻌ

ٍﻞ

َﺷ

َعﺎ

َـﺑ ْـﻴ َـﻨ

ُﻬ ْﻢ

,

َأ ْو

َﻟ ْﻔ

ٌﻆ

َـﺗ َﻌ

َرﺎ ُـﻓ

ْﻮا ِإ

ْﻃ

َﻼ

َﻗ ُﻪ

َﻋ َﻠ

َﻣ ﻰ

ْﻌ ًﲎ

َﺧ

ﱢصﺎ

َﻻ

َﺗ َﺄ

ﱠﻟ َﻔ

ُﻪ

ﱡﻠﻟا

َﻐ ُﺔ

َو

َﻻ

َـﻳ َﺘ َﺒ

َدﺎ

ُر

َﻏ ْـﻴ َ

ﺮ ُﻩ

ِﻋ ْﻨ

َﺪ

َِﲰﺎ

ِﻋ ِﻪ

Artinya: “Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang populer diantara mereka, ataupun suatu kata yang yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain.”72

Sedangkan Abdul Wahab Khallaf memberi pengertian sebagaimana dikutip dari bukuyang ditulis oleh Miftahul Arifin mengartikan ‘urf dengan apa-apa yang telah dibiasakan oleh masyarakat dan dijalankan terus-menerus baik berupa perkataan maupun perbuatan. ‘urf disebut juga sebagai adat.73 Pengertian di atas juga sama dengan pengertian menurut

istilah ahli syara’. Menurutnya tidak ada perbendaaan antara ‘urf fili> dengan adat. Adat terbentuk dari kebiasaan manusia menurut derajat mereka, secara umum maupun tertentu. Berbeda dengan ijma>’, yang dibentuk dari kesepakatan para mujtahid saja, tidak termasuk manusia secara umum.

Dari penjelasan diatas dapat dipahami, bahwa’urf ini terdiri dari dua bentuk yaitu, ‘urf al-qauli> (kebiasaan dalam bentuk perkataan), dan‘urf

al-fi’li> (kebiasaan dalam bentuk perbuatan). ‘Urf al-qauli> misalnya kalimat

“engkau saya kembalikan kepada orang tuamu” dalam masyarakat Islam

71Yusuf Shukri Farhat, Mu’jam al-Tullab…,388.

72Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta:AMZAH, 2011), 209. 73Miftahul Arifin, Ushul Fiqh,(Surabaya: Citra Media, 1997), 146.


(48)

39

Indonesia mengandung arti talak. Sedangkan ‘urf al-fi’li> yaitu seperti transaksi jual beli barang kebutuhan sehari-hari di pasar, tanpa mengucapkan lafal i>ja>b dan qabu>l yang disebut jual-beli mu’a>t{hah. 74

Sedangkan para ulama ushu>l fiqh membedakan adat dan ‘urf sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Menurut mereka

‘urf adalah kebiasaan mayoritas kaum, baik dalam perkataan maupun

perbuatan. Sedangkan adat didefinisikan dengan sesuatu yang dilakukan berulang kali tanpa adanya hubungan rasional. 75

2. Dasar Hukum ‘Urf

Dasar hukum yang digunakan ulama mengenai kehujjahan ‘urf bersumber dari al-Quran dan hadith.

a. Surat al-A’ra>f ayat 199



 

 







Artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang

ma’ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh. (Q.S. al-A’ra>f:199)”.76

Melalui ayat di atas, Allah memerintahkan kepada kaum

muslimi>n untuk senantiasa berbuat ma’ru<f, maksud dari ma’ru<f disini

adalah yang dinilai kaum muslimin sebagai kebaikan yang dikerjakan berulang-ulang dan tidak bertentangan dengan watak manusia yang benar dan yang dibimbing oleh prinip-prinsip umum ajaran Islam.77

74Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh..., 209.

75Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos, 1996), 138.

76Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya ..., 176. 77Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh…, 212.


(49)

40

b. Adapun dalil hadith yakni diriwayatkan oleh Ahmad

ْﺴُﳌا ُﻩَاَرﺎَﻣَو ٌﻦَﺴَﺣ ِﷲا َﺪْﻨِﻋ َﻮُﻬَـﻓ ﺎًﻨَﺴَﺣ َنْﻮُﻤِﻠْﺴُﳌا ُﻩَاَر ﺎَﻣ

ٌﺊْﻴَﺳ ِﷲا َﺪْﻨِﻋ َﻮُﻬَـﻓ ﺎًﺌْﻴَﺳ َنْﻮُﻤِﻠ

Artinya: “apa saja yang dipandang kaum muslimin merupakan kebaikan, maka ia disisi Allah juga merupakan kebaikan. Dan, apa saja yang dipandang kaum muslimin merupakan keburukan maka ia disisi Allah juga merupakan keburukan.” (H.R. Ahmad)

Ungkapan Abdulla>h bin Mas’u>d di atas, baik dari segi redaksi ataupun maksudnya menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku didalam masyarakat muslim yang sejalan dengan kebiasaan dan dinilai baik oleh masyarakat akan melahirkan kesulitan dan kesempatan dalam kehidupan sehari-hari.78

3. Macam-macam ‘Urf

Para ulama membagi ‘urf menjadi beberapa segi yakni:

a. ‘Urf ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan yakni:‘urf al-qauli>

adalah kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan. Misalnya kalimat “engkau saya kembalikan kepada orang tuamu” dalam masyarakat Islam Indonesia mengandung arti talak. Dan ‘urf al-fi’li> yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Seperti transaksi jual-beli barang kebutuhan sehari-hari di pasar, tanpa mengucapkan lafal i>ja>b dan

qabu>l yang disebut jual-beli mu’a>t{hah.79

b. ‘Urf ditinjau dari segi cakupannya yakni urf al-‘a>m adalah kebiasaan

yang telah umum berlaku hampir di seluruh penjuru dunia, tanpa

78Ibid, 212. 79Ibid, 209.


(50)

41

memandang negara, bangsa dan agama80 dan ‘urf al-khash yakni

kebiasaan berlaku di daerah dan masyarakat tertentu. Seperti dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat lainnya pada barang itu, konsumen tidak dapat mengembalikan barang tersebut.81

c. ‘Urf ditinjau dari penilaian baik dan buruk yakni:‘urf s{ahi>h, yakni adat

yang berulang-ulang dilakukan, diterima oleh banyak orang, tidak bertentangan dengan agama, sopan santun, dan budaya yang luhur. Contoh mengadakan acara halalbihalal (silahturahmi) saat hari raya dan

‘urf fa>sid, yaitu adat yang berlaku di suatu tempat meskipun merata

pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama, undang-undang negara dan sopan santun. Contoh berjudi untuk merayakan suatu peristiwa. 82

4. Kehujjahan ‘Urf

Para ulama’ ushu>l fiqh sepakat bahwa ‘urf s{ahi>h yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’, baik yang menyangkut dengan ‘urf al-‘am maupun ‘urf al-khas serta ‘urf al-lafz{i dan ‘urf al-‘amali> dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’. Berdasarkan dalil kehujjahan ‘urf diatas maka para ulama merumuskan kaidah hukum yang berkaitan dengan ‘urf diantaranya adalah:

ٌﺔَﻤﱠﻜَُﳏ ُةَدﺎَﻌْﻟَا

80Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh ..., 415. 81Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I...,140. 82Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh...,416.


(51)

42

Artinya: “Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”

ُﻛ

ﱡﻞ

َﻣ

َو ﺎ

َر َد

ِﺑ ِﻪ

ﱠﺸﻟا

ْﺮ ُع

ُﻣ

ْﻄ َﻠ

ًﻘ

َو ﺎ

َﻻ

َﺿ

ِﺑﺎ

ٌﻂ

َﻟ ُﻪ

ِﻓ ْﻴ

ِﻪ

َو َﻻ

ِﰱ

ﱡﻠﻟا

َﻐ ِﺔ

َـﻳ ْﺮ

ِﺟ

ُﻊ ِﻓ

ْﻴ ِﻪ

ِا

َﱃ

ْﻟا

ُﻌ ْﺮ

ِف

Atinya: “Semua yang diatur oleh syara’ secara mutlak, namun belum ada ketentuan dalam agama serta dalam bahasa, maka semua itu dikembalikan kepada ‘urf”.

ﺎَﻬْـﻴَﻟِإ ُعْﻮُﺟﱞﺮﻟاَو ِةَدﺎَﻌْﻟﺎِﺑ ُرﺎَﺒِﺘْﻋِْﻹَا

Artinya: “Memperhitungkan tradisi dan merujuknya”.

ﻟا ِْﱘِﺪَﻘﻟا ﻰَﻠَﻋ ُﺔَﻈَﻓَﺎﺤُﻤْﻟَا

َْﳉﺎِﺑ ُﺪْﺧَْﻷَو ِﺢِﻟﺎﱠﺼ

ِﺪْﻳِﺪ

ِﺢَﻠْﺻَﻷا

Artinya: “Mempertahankan tradisi masa lalu yang baik dan mengambil temuan baru yang lebih baik”.83

5. Syarat-syarat ‘Urf

Para ulama ushu>l fiqh menyatakan bahwa suatu ‘urf, baru dapat dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’ apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. ‘Urf itu (baik yang bersifat khusus dan umum, maupun yang bersifat

perbuatan dan perkataan), berlaku secara umum. Artinya, ‘urf itu berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi di tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat tertentu.

b. ‘Urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan

hukumnya itu muncul. Artinya ‘urf yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Dalam kaitan dengan ini terdapat kaidah ushu>liyyah yang menyatakan:


(1)

89

dengan satu harga atau dua harga. Para lijo tidak menerapkan sistem

pencampuran dua barang dengan perbedaan kadar dalam satu akad,

melainkan biasanya para pembeli membeli dua barang dalam satu

akad tetapi dengan ketidaktahuan kedua kadar pada keduannya.

Seperti membeli cabe bercampur dengan bawang merah dengan harga

3000.

Dilihat dari analisis di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa

jual beli mengunakan sistem

cawukan

ini dapat disebut

‘urf s

{

ahi

>

h.

Karena telah diterapkan oleh masyarakat Desa Gempolmanis Kecamatan

Sambeng Kabupaten Lamongan, dan tidak bertentangan dengan shari

>

ah

Islam dan bahkan terdapat

hadith yang memperbolehkannya serta tidak

terdapat unsur kedhaliman, dan mengandung kemaslahatan bagi

masyarakat.


(2)

90

BAB V

PENUTUP

A.

Kesimpulan

Berdasarkan data-data yang telah dijelaskan dan dianalisis oleh

penulis, maka penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan jawaban atas

rumusan masalah di atas, yakni:

1.

Jual beli menggunakan

sistem

cawukan

telah menjadi tradisi bagi

lijo

di

Desa Gempolmanis Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan, sistem

cawukan

ini dilakukan dengan cara membagi barang dagangan berdasarkan

insting

para

lijo

melalui perantara tangannya tanpa adanya alat bantu

pengukuran sebagai tolak ukur sebagaimana standar umum. Terdapat

beberapa jenis ukuran yang mereka terapkan yakni sistem timbangan dari

pasar, sistem

cawukan

sesuai permintaan, dan sistem

bentilan.

2.

Ditinjau dari hukum Islam berdasarkan analisis penulis, bahwa jual beli

mengunakan sistem

cawukan

ini dapat disebut

‘urf s

{

ahi

>

h

. Karena telah

diterapkan oleh masyarakat Desa Gempolmanis Kecamatan Sambeng

Kabupaten Lamongan, dan tidak bertentangan dengan syariat Islam dan

bahkan terdapat

hadith

yang memperbolehkannya, yang dalam kitab fiqh

dikenal dengan

bay’ juzaf.

B.

Saran

1.

Hendaknnya, bagi para

lijo

tetap menggunakan timbangan ketika para

pembeli menyebutkan dalam bentuk timbangan seperti kilogram,

seperempat atau ons karena dikhawatirkan terdapat kekurangan maupun


(3)

91

kelebihan ketika terdapat

lijo

baru yang mengikuti sistem

cawukan

ini. Jika

dikhawatirkan timbangan terlalu berat ketika dibawa maka bisa

menggunaka jenis timbangan yang lebih ringan, seperti timbangan dapur

2.

Hendaknya bagi peneliti selanjutnya untuk lebih teliti dan kritis lagi dalam

menangani permasalahan-permasalahan yang ada dalam masyarakat karena

masih banyak transaksi yang tidak sesuai dengan hukum Islam namun tetap

dipraktikan dalam masyarakat.


(4)

96

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Mustaq.

Etika Bisnis

, Cet. 2. Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2003.

Al-Sanani, Sayyid al-Ima

>

m Muhammad ibn Isma

>

i

>

l al-Kahlani.

Subul al-Sala>m Juz

III.

Kairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1988.

Arifin, Miftahul.

Ushul Fiqh

,

Surabaya: Citra Media, 1997.

Az-Zuhaili, Wahbah.

Fiqih Islam Wa Adillatuhu (terj)

. Abdul Hayyie al Kattani

dkk. Depok : Gema Insani, 2011.

Bungin, Burhan.

Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi; Format-format

Kuantitatif

dan

Kualitatif,

untuk

Studi

Sosiologi,Kebijakan

Publik,Komunikasi, Manajemen dan Pemasaran.

Jakarta: Kencana, 2013.

Creswell, John W.

Research Design.

Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2014.

Dahlan, Abd. Rahman.

Ushul Fiqh.

Jakarta:AMZAH, 2011.

Djuwaini, Dimyauddin. Pengantar Fiqh Muamalah, cet III. Yogyakarta:Pustaka

Pelajar, 2015.

Farhat,Yusuf Shukri.

Mu’jam al-Tulla

>

b.

Lebanon:Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2012.

Al-Muba

>

rrak, Faishal bin Abdul Azi

>

z.

Busta

>

nul Ahba

>

r Mukhtasor

Nailul Autho

>

r

.

juz II. Kairo: darr Ishbiliya, 1998.

Ghazaly, Abdul Rahman.

Fiqh Muamalah,

Jakarta: Prenada Media Group, 2010

Hidayat, Enang.

Fiqh Jual Beli

, Cet. 1. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015.

Ibnu Majah.

Sunan Ibnu Ma

>

jah

, Juz 2 Nomor Hadith 2139. CD Room: Maktabah

Kutub Al-Mutun, Silsilah Al-Ilm An-Nafi’, Seri 4 AL-Ishdar Al-Awwal,

1426 H, 724.

Imam Syukani,

Nailul Autha>r,Vol V (tt:tp,tt)

Kementrian Agama RI.

Al-Quran Terjemah Perkata Asbabun Nuzul dan Tafsir

Bil Hadis.

Bandung: Semesta al-Quran, 2013.

Kurniawan, Muhammad. “Tinjauan Hukum Islam Terhadaa Jual Beli Bibit Lele

dengan Sistem Hitungan dan Takaran di Desa Tulungrejo kec. Sumberejo

kab. Bojonegoro”. Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2013.

Maharani, Silvi Khaulia. “Analisi Hukum Islam Terhadap Pembulatan

Timbangan pada Jasa Pengiriman Barang di PT. TIKI Jalur Nugraha


(5)

Ekakurir (JNE) Jalan Karimun Jawa Surabaya”. Skripsi--IAIN Sunan

Ampel, Surabaya, 2015.

Mardani.

Fiqh Ekonomi Syariah

. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013.

Masruhan.

Metodologi Penelitian Hukum

. Surabaya: Hilal Pustaka, 2013.

Mukaromah, Siti. “Tinjauan Hukum Islam dan Undang-Undang No.8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen Mengenai Pelaksanaan Jual Beli Susu di

Desa Nyawangan Kecamatan Sendang Kabupaten Tulungagung

.

Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2009.

Muslich, Ahmad Wardi.

Fiqh Muamalat

. Jakarta: Amzah, 2013.

Pasaribu, Chairuman. Suhrawardi K. Lubis.

Hukum Perjanjian dalam Islam.

Jakarta: Karya Unipress, 1994.

Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM).

Kompilasi

hukum Ekonomi Syariah

. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.

Sa’i

>

dan,Wali

>

d bin Rasyi

>

d.

Qawa<id al-Buyu<’ wa Fara<id al-Furu<’

. t.t: t.p., t.th.

Shihab, M. Quraish.

Tafsir al-Misbah,

Cet.VII. Jakarta: Lentera Hati, 2007.

Sugiyono.

Memahami Penilitian Kualitatif

. Bandung: Alfabeta, 2012.

Sugiyono.

Metode Penelitian kuantitatif Kualitatif dan R & D

. Bandung:

Alfabeta, 2010.

Syafe’i, Rachmat.

Fiqih Muamalah,

Cet.10. Bandung:Pustaka Setia, 2001.

Syarifuddin, Amir.

Ushul Fiqh

. Jogjakarta: IRCiSoD, 2014.

Waid, Abdul.

Kumpulan Kaidah Ushul Fiqh.

Jogjakarta:IRCiSoD, 2014.

Data profil Desa Gempolmanis Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan.

Ghozali.

Wawancara

, Gempolnogo. 17 Januari 2016.

Adah.

Wawancara

. Gempolnogo. 17 Januari 2016

Amin, Fathul.

Wawancara.

Gempolnogo. 17 Januari 2016.

Darmi.

Wawancara

. Mantup. 9 Januari 2016.

Data sensus penduduk Desa Gemolmanis Kecamatan Sambeng Kabupaten

Lamongan, Desember 2015.


(6)

98

Helmy.

Wawancara

. Surabaya. 3 Mei 2016.

Kholis.

Wawancara

. Gempolmanis. 13 Januari 2016.

Narsis.

Wawancara.

Mantup. 9 Januari 2016.

Sriyanah.

Wawancara

. Gempolnogo. 17 Januari 2016.

Sulastri.

Wawancara.

Mantup. 9 Januari 2016.

Sutinta.

Wawancara.

Gempolnogo. 17 Januari 2016.

Syafa’ah.

Wawancara.

Gempolnogo. 9 Januari 2016.

Tutik.

Wawancara

. Mantup. 9 Januari 2016.

http://bisniswarung.blogspot.co.id/2013/03/15-peralatan-wajib-toko

kelontong.html, diakses pada tanggal 15 desember 2015