Kadar D-Dimer Plasma sebagai Prediktor Kematian Penderita Pneumonia Usia 2–59 Bulan | Saraswati | Majalah Kedokteran Bandung 213 675 1 PB

Kadar D-Dimer Plasma sebagai Prediktor Kematian Penderita Pneumonia
Usia 2–59 Bulan
Retno Saraswati,1 Dzulikar D. Lukmanul Hakim,2 Herry Garna2
Rumah Sakit MH. Thamrin Cileungsi, 2Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran-Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung

1

Abstrak
Pada pneumonia berat, terjadi koagulasi intravaskular dan intraalveolar yang merupakan respons proses inlamasi
lokal dan sistemik infeksi paru. Konsekuensi klinis dari perubahan koagulasi ini yaitu peningkatan kadar D-dimer
plasma sebagai petanda aktivitas koagulasi dan ibrinolisis serta meluasnya disfungsi organ bahkan kematian.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui validitas kadar D-dimer plasma yang tinggi sebagai prediktor kematian
penderita pneumonia usia 2 sampai 59 bulan. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan
rancangan prospektif yang dilaksanakan di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Subjek penelitian anak usia
2 sampai 59 bulan yang didiagnosis sebagai pneumonia dan berobat ke Instalasi Gawat Darurat Anak selama bulan
Oktober–November 2009. Pemeriksaan D-dimer plasma dilakukan saat penderita datang dan kemudian dilakukan
observasi sampai penderita meninggal atau dipulangkan dari rumah sakit. Empat puluh lima anak ikut serta dalam
penelitian ini, 15 (33%) di antaranya meninggal selama observasi. Kadar D-dimer plasma menunjukkan hubungan
yang bermakna (p=0,04) terhadap kematian penderita pneumonia dengan median dan rentang sebesar 0,60 mg/L
(0,1–5,10 mg/L). Cut-off point D-dimer plasma >0,4 mg/L sebagai prediktor kematian penderita pneumonia

memberikan sensitivitas 73,3% (IK 95%; 44,9–92,0) dan spesiisitas 70,0% (IK 95%; 50,6–85,2%) dengan akurasi
71,1%. Simpulan, kadar D-dimer plasma yang tinggi dapat memprediksi kematian penderita pneumonia usia 2
sampai 59 bulan. [MKB. 2012;44(1):57–62].
Kata kunci: Kadar D-dimer plasma, koagulasi, pneumonia, prediktor kematian

Plasma D-Dimer Level as Predictor of Mortality in 2–59-Month-Old
Pneumonia Patients
Abstract
Intravascular and intraalveolar coagulation can be found in severe pneumonia as a response to local and systemic
inlammation process in severe pneumonia. Clinical consequences of this coagulation changes is an increase of
plasma D-dimer levels as a marker of coagulation and ibrinolyis activation, the number of organ dysfunction
even death. The aim of this study was to understand the validity of high plasma D-dimer levels as a predictor of
mortality in 2 to 59-month-old pneumonia patients. This was a prospective observational analytic study which was
held in Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung. The subjects of this study were 2 to 59 months old children who were
diagnosed as pneumonia and visited Pediatric Emergency Departement during October–November 2009. Plasma
D-dimer assay was performed at admission and observed until the patient died or discharged from the hospital.
Forty-ive children were included in this study, 15 (33%) died during observation. Plasma D-dimer level showed
signiicant correlations (p=0.04) with the mortality in 2 to 59-month-old pneumonia patients with median and
range of 0.60 mg/L (0.1–5.10 mg/L). Plasma D-dimer cut-off point of >0.4 mg/L gave 73.3% sensitivity (CI 95%,
44.9–92.0%), and 70.0% speciicity (CI 95%, 50.6–85.2%) with 71.1% accuracy for predicting mortality in 2 to

59-month-old pneumonia patients. In conclusions, there were signiicant correlations between elevated plasma Ddimer levels and mortality in 2 to 59-month-old patients with pneumonia. [MKB. 2012;44(1):57–62].
Key words: Coagulation, plasma D-dimer levels, pneumonia, predictor of mortality

Korespondensi: Retno Saraswati, dr., Sp.A, Rumah Sakit MH. Thamrin Cileungsi, jalan Narogong Km 16 Limusnunggal
Cileungsi Bogor 16820, telepon (021) 8235052, mobile 08122353061, e-mail retno_1978@yahoo.co.id

MKB, Volume 44 No. 1, Tahun 2012

57

Retno Saraswati: Kadar D-Dimer Plasma sebagai Prediktor Kematian Penderita Pneumonia Usia 2–59 Bulan

Pendahuluan
Penyebab kesakitan dan kematian tersering pada
anak usia kurang 5 tahun di seluruh dunia yaitu
pneumonia, dengan perkiraan 150 juta kasus baru
setiap tahunnya di negara berkembang dan 20 juta
di antaranya memerlukan perawatan di rumah
sakit.1 Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2007,
prevalensi pneumonia nasional sebesar 2,13%.

Empat belas provinsi di Indonesia memiliki
prevalensi pneumonia di atas prevalensi nasional
dan salah satunya Jawa Barat (2,43%).2
Sistem skoring pediatric risk of mortality
(PRISM) dapat digunakan untuk menilai risiko
mortalitas pada anak dengan sakit berat yang dirawat
di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) dengan
menilai berat penyakit berdasarkan ketidaknormalan
yang ditemukan dalam pemeriksaan isis dan
laboratorium. Sistem skoring ini memiliki beberapa
keterbatasan seperti perlunya software khusus yang
cukup mahal dan pelatihan khusus, serta panduan
yang ketat untuk mencegah variasi interobserver
yang lebar.3,4 Oleh karena itu, diperlukan cara lain
yang lebih mudah, murah, dan cepat untuk menilai
risiko mortalitas pada anak sakit berat.
Pada kasus pneumonia berat, terjadi koagulasi
intravaskular dan intraalveolar yang merupakan
respons proses inlamasi lokal dan sistemik infeksi
paru.5,6 Lipopolisakarida bakteri, endotoksin dan

sitokin proinlamasi seperti interleukin (IL)-1, IL6, IL-10, serta tumor necrosis factor-α (TNF-α)
meningkatkan deposisi ibrin melalui tiga jalur
utama, yaitu generasi trombin yang dimediasi oleh
tissue factor (TF) oleh sel endotel dan monosit
yang teraktivasi, disfungsi isiologis mekanisme
antikogulan, serta gangguan ibrinolisis karena
depresi sistem ibrinolitik oleh PAI-1.7,8 Konsekuensi
klinis perubahan koagulasi ini yaitu peningkatan
kadar D-dimer plasma sebagai petanda aktivitas
koagulasi dan ibrinolisis serta meluasnya disfungsi
organ bahkan kematian.9,10 Penelitian terdahulu oleh
Querol-Ribelles dkk.6 dan Milbrandt dkk.11 pada
penderita pneumonia dewasa menunjukkan bahwa
kadar D-dimer plasma sangat berhubungan dengan
beratnya pneumonia dan kematian.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
validitas kadar D-dimer plasma yang tinggi
sebagai prediktor kematian penderita pneumonia
serta menentukan cut-off point kadar D-dimer
plasma untuk memprediksi kematian penderita

pneumonia usia 2–59 bulan.

Metode
Penelitian ini merupakan penelitian observasional
analitik rancangan prospektif yang dilaksanakan di
Instalasi Gawat Darurat RSHS Bandung pada bulan

58

Oktober sampai November 2009. Kriteria inklusi
yaitu semua anak usia 2 sampai 59 bulan yang
didiagnosis pneumonia serta mendapat persetujuan
tertulis dari orangtua untuk ikut dalam penelitian
setelah diberikan penjelasan (informed consent).
Penderita akan dieksklusi bila pada anamnesis
dan pemeriksaan isis ditemukan: 1) kelainan
darah atau keganasan: hemoilia, leukemia, tumor
solid, 2) menderita penyakit hati kronik seperti
sirosis hati, 3) riwayat trauma atau baru menjalani
operasi. Selama observasi, penderita dikeluarkan

(drop out) dari penelitian apabila penderita dibawa
pulang di luar persetujuan dokter (pulang paksa).
Faktor perancu penelitian ini yaitu faktor risiko
yang berhubungan dengan kematian penderita
pneumonia yaitu berat badan lahir 0,4 mg/L memberikan sensitivitas dan
spesiisitas terbesar (Gambar 1).

Pembahasan
Faktor yang berhubungan dengan kematian
penderita pneumonia ternyata tidak berbeda
antara kelompok hidup dan kelompok meninggal.
Hal ini menunjukkan homogenitas faktor risiko
pneumonia pada kedua kelompok.
Kadar D-dimer plasma yang tinggi pada
penelitian ini juga berhubungan dengan kematian
penderita pneumonia (p0,5 mg/L mempunyai sensitivitas
53,33% dan spesiisitas 73,33%. Cut-off point
kadar D-dimer plasma >0,4 mg/L memberikan
sensitivitas yang lebih tinggi bila dibandingkan
dengan kadar D-dimer plasma >0,5 mg/L yang

berarti lebih banyak penderita pneumonia
yang diprediksi dapat meninggal. Penggunaan
60

kadar D-dimer plasma >0,5 mg/L memberikan
sensitivitas yang lebih rendah karena sebagian
penderita pneumonia yang meninggal luput dari
prediksi karena belum mencapai kadar D-dimer
plasma >0,5 mg/L. Nilai spesiisitas kadar
D-dimer plasma >0,4 mg/L lebih rendah karena
tidak semua penderita dengan kadar tersebut akan
meninggal, sedangkan kadar D-dimer plasma
>0,5 mg/L mempunyai spesiisitas yang lebih
tinggi karena kemungkinan penderita pneumonia
meninggal akan lebih besar. Karena kemampuan
untuk memprediksi kematian lebih tinggi dan
perlunya penentuan kadar D-dimer plasma untuk
meningkatkan kewaspadaan serta pemberian
tindakan yang cepat dan tepat, maka peneliti
menggunakan kadar D-dimer plasma >0,4 mg/L

sebagai cut-off point.
Perbedaan satuan pada penelitian ini dengan
penelitian terdahulu disebabkan oleh metode
pemeriksaan yang berbeda. Penelitian terdahulu
banyak menggunakan metode enzyme linked
immunoassay (ELISA), sedangkan penelitian ini
menggunakan metode imunoiltrasi (NycoCard®
D-dimer Single Test; Axis-shield, Norwegia).
Metode ini memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan dengan ELISA, di antaranya
memiliki waktu pemeriksaan lebih cepat (0,1
>0,4
>0,5
>0,8
>1
>1,6
>2,4
>3,2
>5,1


Sensitivitas

IK 95%

Spesiisitas

IK 95%

100,00
73,33
53,33
33,33
26,67
26,67
26,67
13,33
0,00

78,0–100,0
44,9–92,0

26,6–78,7
11,9–61,6
8,0–55,1
8,0–55,1
8,0–55,1
2,0–40,5
0,0–22,0

0
70,00
73,33
76,67
86,67
96,67
100,00
100,00
100,00

0–11,7
50,6–85,2

54,1–87,7
57,7–90,0
69,3–96,2
82,7–99,4
88,3–100,0
88,3–100,0
88,3–100,0

Keterangan: IK=interval kepercayaan

belakang sosioekonomi yang tidak jauh berbeda.
Kedua, penelitian ini tidak mempergunakan skor
PRISM 2 sebagai pembanding memprediksi
kematian pada penderita pneumonia. Hal ini
disebabkan karena sistem skoring ini memerlukan
biaya mahal untuk pemeriksaan fungsi seluruh
organ dan software khusus serta memerlukan
pelatihan khusus dan panduan ketat untuk
mencegah variasi interobserver yang lebar.3,4
Ketiga, penelitian ini hanya menganalisis kadar
D-dimer plasma sebagai variabel koagulasi.
Walaupun penelitian oleh Michelin dkk.20 telah
menunjukkan D-dimer plasma sebagai variabel
koagulasi dan ibrinolitik yang lebih bermakna
dibandingkan dengan prothrombin time (PT) dan
activated partial thromboplastin time (aPTT)
untuk menilai beratnya komplikasi pneumonia,
tetapi analisis terhadap PT, aPTT, ibrinogen
serta tromboelastograi (TEG) terhadap keluaran
penderita pneumonia mungkin memberikan hasil
yang berbeda.
Simpulan, kadar D-dimer plasma >0,4 mg/L
dapat digunakan sebagai prediktor kematian
penderita pneumonia usia 2 sampai 59 bulan.

6.

7.
8.
9.

10.

Daftar Pustaka
1. WHO. Pneumonia: the forgotten killer of
children. Geneva: WHO; 2006.
2. Departamen Kesehatan RI. Riset kesehatan
dasar 2007. Jakarta: Dep Kes RI; 2008.
3. Van Keulen JG, Polderman KH, Gemke
RJBJ. Reliability of PRISM and PIM scores
in paediatric intensive care. Arch Dis Child.
2005;90:211–4.
4. Qureshi AU, Ali AS, Ahmad TM. Comparison
of three prognostic scores (PRISM, PELOD
and PIM 2) at pediatric intensive care unit
under pakistani circumstances. J Ayub Med
Coll Abbottabad. 2007;19(2):49–53.
5. Gunther A, Mosavi P, Heinemann S, Ruppert

MKB, Volume 44 No. 1, Tahun 2012

11.

12.

13.

C, Muth H, Markart P, dkk. Alveolar ibrin
formation caused by enhanced procoagulant
and depressed ibrinolytic capacities in
severe pneumonia. Comparison with the
acute respiratory distress syndrome. Am J
Respir Crit Care Med. 2000;161:454–62.
Querol-Ribelles JM, Tenias JM, Grau E,
Querol-Borras JM, Climent JL, Gomez
E, dkk. Plasma d-Dimer level correlate
with outcomes in patients with community
acquired pneumonia. Chest. 2004;126:1087–
92.
Levi M, Keller TT, Gorp E, Cate H. Infection
and inlammation and the coagulation sistem.
Cardiovasc Res. 2003;60:26–39.
Van der Poll T. Tissue factor as an initiator
of coagulation and inlammation in the lung.
Crit Care. 2008;12(Suppl 6):S3.
Shorr AF, Thomas SJ, Alkins SA, Fitzpatrick
TM, Ling GS. D-dimer correlates with
proinlammatory cytokine levels and
outcomes in critically ill patients. Chest.
2002;121:1262–8.
Franchini M, Lippi G, Manzato F. Recent
acquisitions in the pathophysiology,
diagnosis and treatment of disseminated
intravascular coagulation. Thrombosis J.
2006;4:4.
Milbrandt EB, Reade MC, Lee MJ, Shook
SL, Angus DC, Kong L, dkk. Prevalence and
signiicance of coagulation abnormalities in
community-acquired pneumonia. Mol Med.
2009;15(11-12):438–45.
Bjork O, Braback L. A retrospective
population based trend analysis on hospital
admission for lower respiratory illness
among swedish children from 1987 to 2000.
BMC Public Health. 2003;3:22.
Azad KMAK. Risk factors for acute
respiratory infections (ARI) among children
under ive years in Bangladesh. J Sci Res.
2009;1(1):72–81.

61

Retno Saraswati: Kadar D-Dimer Plasma sebagai Prediktor Kematian Penderita Pneumonia Usia 2–59 Bulan

14. Coles CL, Fraser D, Givon-Lavi N, Greenberg
D, Gorodischer R, Bar-Ziv J, dkk. Nutritional
status and diarrheal illness as independent
risk factors for alveolar pneumonia. Am J
Epidemiol. 2005;162:999–1007.
15. Sunyataningkamto, Iskandar Z, Alan RT,
Budiman I, Surjono A, Wibowo T, dkk. The
role of indoor air pollution and other factors
in the incidence of pneumonia in under-ive
children. Paediatr Indones. 2004;44:25–9.
16. WHO Indonesia. Pelayanan kesehatan anak
di rumah sakit. Pedoman bagi rumah sakit
rujukan tingkat pertama di kabupaten/kota.
Jakarta: WHO Indonesia; 2009.
17. Shilon Y, Shitrit AB, Rudensky B, Yinnon
AM, Margalit M, Sulkes J, dkk. A rapid

62

quantitative D-dimer assay at admission
correlates with the severity of community
acquired pneumonia. Blood Coagul
Fibrinolysis. 2003;14(8):745–8.
18. Adam SS, Key NS, Greenberg CS. D-dimer
antigen: current concepts and future
prospects. Blood. 2009;113(13):2878–87.
19. Levi M. The diagnosis of disseminated
intravascular coagulation made easy. Neth J
Med. 2007;65(10):366–7.
20. Michelin E, Snijders D, Conte S, Dalla Via P,
Tagliaferro T, Da Dalt L, dkk. Procoagulant
activity in children with community acquired
pneumonia, pleural effusion and empyema.
Pediatr Pulmonol. 2008;43:472–5.

MKB, Volume 44 No. 1, Tahun 2012