Perbedaan Prestasi Belajar Pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia dan Kadar Hemoglobin pada Anak yang Stunting dan Normal Kelas 4 – 6 di SD Persa Juara Medan Tahun 2015

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Stunting 2.1.1. Definisi

Stunting merupakan suatu keadaan dimana tinggi badan anak yang terlalu rendah. Stunting atau terlalu pendek berdasarkan umur adalah tinggi badan yang berada di bawah minus dua standar deviasi (<-2SD) dari tabel status gizi WHO child growth standard (WHO, 2012).

2.1.2. Faktor – Faktor Penyebab Stunting

Stunting dapat disebabkan oleh berbagai faktor. WHO (2013) membagi penyebab terjadinya stunting pada anak menjadi 4 kategori besar yaitu faktor keluarga dan rumah tangga, makanan tambahan / komplementer yang tidak adekuat, menyusui, dan infeksi. Faktor keluarga dan rumah tangga dibagi lagi menjadi faktor maternal dan faktor lingkungan rumah. Faktor maternal berupa nutrisi yang kurang pada saat prekonsepsi, kehamilan, dan laktasi, tinggi badan ibu yang rendah, infeksi, kehamilah pada usia remaja, kesehatan mental, Intrauterine growth restriction (IUGR) dan kelahiran preterm, Jarak kehamilan yang pendek, dan hipertensi. Faktor lingkungan rumah berupa stimulasi dan aktivitas anak yang tidak adekuat, perawatan yang kurang, sanitasi dan pasukan air yang tidak adekuat, akses dan ketersediaan pangan yang kurang, alokasi makanan dalam rumah tangga yang tidak sesuai, edukasi pengasuh yang rendah.

Faktor kedua penyebab stunting adalah makanan komplementer yang tidak adekuat yang dibagi lagi menjadi tiga, yaitu kualitas makanan yang rendah, cara pemberian yang tidak adekuat, dan keamanan makanan dan minuman. Kualitas makanan yang rendah dapat berupa kualitas mikronutrien yang rendah, keragaman jenis makanan yang dikonsumsi dan sumber makanan hewani yang rendah, makanan yang tidak mengandung nutrisi, dan makanan komplementer yang mengandung energi rendah. Cara pemberian yang tidak adekuat berupa frekuensi pemberian makanan yang rendah, pemberian makanan yang tidak aadekuat ketika


(2)

sakit dan setelah sakit, konsistensi makanan yang terlalu halus, pemberian makan yang rendah dalam kuantitas. Keamanan makanan dan minuman dapat berupa makanan dan minuman yang terkontaminasi, kebersihan yang rendah, penyimpanan dan persiapan makanan yang tidak aman. Faktor ketiga yang dapat menyebabkan stunting adalah pemberian Air Susu Ibu (ASI) yang salah bisa karena inisiasi yang terlambat, tidak ASI eksklusif, penghentian menyusui yang terlalu cepat. Faktor keempat adalah infeksi klinis dan subklinis seperti infeksi pada usus : diare, environmental enteropathy, infeksi cacing, infeksi pernafasan, malaria, nafsu makan yang kurang akibat infeksi, inflamasi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nasikhah (2012) pada anak usia 24 – 36 bulan di Semarang menunjukkan terdapat beberapa faktor risiko yang paling berpengaruh untuk terjadinya stunting, yaitu tinggi badan orang tua yang rendah, pendidikan ayah yang rendah, dan pendapatan perkapita yang rendah. Mamiro (2005) juga melakukan penelitian yang serupa kepada anak usia 3 – 23 bulan di Tanzania menunjukkan bahwa malaria, berat badan lahir rendah (BBLR), pendapatan keluarga yang rendah, dan indeks massa tubuh (IMT) ibu yang rendah berperan sebagai faktor risiko terjadinya stunting pada anak. Berat badan lahir rendah dan indeks massa tubuh ibu yang rendah merupakan dua faktor risiko terkuat untuk penyebab stunting.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Senbanjo (2011) pada anak usia 5

– 19 tahun di Abeokuta Nigeria ditemukan beberapa hal yang menjadi faktor risiko terjadinya stunting, yaitu anak yang bersekolah di sekolah pemerintah, keluarga poligami, pendidikan orang tua yang rendah, dan juga kelas sosial yang rendah. Pendidikan ibu yang rendah merupakan faktor risiko terjadinya stunting yang paling tinggi dibanding dengan faktor risiko lainnya. Menurutnya hal tersebut bisa disebabkan karena ibu dengan pendidikan yang tinggi cenderung memiliki finansial yang lebih baik dan dapat meningkatkan pendapatan keluarga. Hal tersebut membuat keluarga di kelas sosial yang lebih tinggi dan memiliki status gizi keluarga yang lebih baik, sedangkan menurut penelitian Olukamakaiye (2013) terhadap anak sekolah di Nigeria, asupan makanan mempengaruhi kejadian stunting. Penelitiannya menunjukkan bahwa anak dengan rendahnya


(3)

keanekaragaman jenis makanan yang dikonsumsi menjadi faktor risiko terjadinya stunting. Olukamakaiye juga mendukung bahwa anak dari sekolah pemerintah lebih banyak yang menderita stunting dibanding dengan sekolah swasta. Hal tersebut dikarenakan malnutrisi yang disebabkan oleh keanekaragaman jenis makanan yang rendah.

2.1.3. Dampak Stunting

Stunting dapat memberikan dampak bagi kelangsungan hidup anak. WHO (2013) membagi dampak yang diakibatkan oleh stunting menjadi dua yang terdiri dari jangka pendek dan jangka panjang. Dampak jangka pendek dari stunting adalah di bidang kesehatan yang dapat menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas, di bidang perkembangan berupa penurunan perkembangan kognitif, motorik, dan bahasa, dan di bidang ekonomi berupa peningkatan pengeluaran untuk biaya kesehatan. Stunting juga dapat menyebabkan dampak jangka panjang di bidang kesehatan berupa perawakan yang pendek, peningkatan risiko untuk obesitas dan komorbidnya, dan penurunan kesehatan reproduksi, di bidang perkembangan berupa penurunan prestasi dan kapasitas belajar, dan di bidang ekonomi berupa penurunan kemampuan dan kapasitas kerja.

Menurut penelitian Hoddinott et al. (2013) menunjukkan bahwa stunting pada usia 2 tahun memberikan dampak yang buruk berupa nilai sekolah yang lebih rendah, berhenti sekolah, akan memiliki tinggi badan yang lebih pendek, dan berkurangnya kekuatan genggaman tangan sebesar 22%. Stunting pada usia 2 tahun juga memberikan dampak ketika dewasa berupa pendapatan perkapita yang rendah dan juga meningkatnya probabilitas untuk menjadi miskin. Stunting juga berhubungan terhadap meningkatnya jumlah kehamilan dan anak dikemudian hari, sehingga Hoddinott menyimpulan bahwa pertumbuhan yang terhambat di kehidupan awal dapat memberikan dampak buruk terhadap kehidupan, sosial, dan ekonomi seseorang.

Dampak stunting terhadap prestasi sekolah juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Perignon et al. (2014) terhadap anak usia 6 – 16 tahun di Kamboja. Perignon menemukan bahwa anak yang mengalami stunting moderate


(4)

dan severe memiliki kecerdasan kognitif yang lebih rendah dibanding dengan anak yang normal. Stunting juga dapat mempengaruhi kadar hemoglobin anak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mamiro (2005) terhadap anak di Tanzania menunjukkan bahwa anak yang mengalami stunting memiliki kadar hemoglobin darah yang rendah.

2.1.4. Metode Pengukuran

Pengukuran antropometri berdasarkan tinggi badan menurut umur berguna untuk mengukur status nutrisi pada populasi, karena pengukuran pertumbuhan tulang ini mencerminkan dampak kumulatif yang mempengaruhi status nutrisi yang menyebabkan terjadinya stunting dan juga mengacu sebagai malnutrisi kronis (Alderman, 2011).

Cara pengukuran antropometri pada anak dengan menggunakan grafik standar panjang / tinggi badan menurut umur menurut WHO pada Training Course on Child Growth Assessment yang diterbitkan pada tahun 2008. Data ini menggunakan Z-score sebagai cut-off point untuk menentukan status antropometri anak yang disusun dalam tabel dibawah ini :

Tabel 2.1 Indikator Pertumbuhan WHO

Z score Panjang / Tinggi badan menurut umur

> 3 Very tall

>2 Normal

>1 Normal

0 (median) Normal

<-1 Normal

<-2 Stunted

<-3 Severely Stunted


(5)

2.1.5. Epidemiologi

Menurut data Riskesdas (2013) prevalensi pendek secara nasional pada balita adalah 37,2% yang terdiri dari sangat pendek sebesar 18% dan pendek 19,2%. Terdapat 20 provinsi dengan prevalensi diatas nasional (37,2%) dengan yang tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Timur, terendah di Jambi, dan Sumatera Utara menempati urutan ke – 8 tertinggi.

Gambar 2.1 Kecenderungan Prevalensi Status Gizi TB/U <-2 SD Menurut Provinsi, Indonesia 2007, 2010, dan 2013

Sumber : Riskesdas, 2013

Prevalensi pendek secara nasional pada anak usia 5 – 12 tahun adalah 30,7% dengan sangat pendek sebesar 12,3% dan pendek sebesar 18,4%. Terdapat 15 provinsi di Indonesia dengan prevalensi sangat pendek diatas prevalensi nasional (12,3%) dan Sumatera Utara termasuk salah satu dari provinsi tersebut dengan prevalensi pendek dan sangat pendek diatas 37%.


(6)

Gambar 2.2 Prevalensi Pendek Anak Umur 5–12 Tahun Menurut Provinsi, Indonesia 2013

Sumber : Riskesdas, 2013

Prevalensi nasional pendek pada remaja usia 13 – 15 tahun adalah 35,1% dengan sangat pendek sebesar 13,8% dan pendek sebesar 21,3%. Terdapat 16 provinsi dengan prevalensi sangat pendek diatas prevalensi nasional (13,8%). Sumatera Utara juga termasuk salah satu dari provinsi tersebut dan prevalensi tertinggi terdapat di papua. Prevalensi pendek dan sangat pendek di Sumatera pada usia 13 – 15 tahun adalah diatas 40%.

Gambar 2.3 Prevalensi Pendek Remaja Umur 13–15 Tahun Menurut Provinsi, Indonesia 2013


(7)

Prevalensi pendek secara nasional di Indonesia pada remaja rentang usia 16 – 18 tahun adalah 31,4% dengan sangat pendek sebesar 7,5% dan pendek sebesar 23,9%. Sebanyak 17 provinsi dengan pervalensi pendek diatas prevalensi nasional (23,9%) dan Sumatera Utara juga termasuk dari salah satu provinsi tersebut.

Gambar 2.4 Prevalensi Pendek Remaja Umur 16–18 Tahun Menurut Provinsi, Indonesia 2013

Sumber : Riskesdas, 2013

2.2. Anemia Defisiensi Besi 2.2.1. Definisi

Anemia secara fungsional adalah penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang (Bakta, 2009).


(8)

2.2.2. Etiologi

Berat badan lahir rendah dan bayi dengan kehilangan darah perinatal dapat menyebabkan terjadinya anemia defisiensi besi dikarenakan bayi tersebut mempunyai cadangan zat besi yang lebih rendah sehingga simpanan zat besi akan lebih cepat habis. Konsumsi zat besi yang kurang dalam makanan. Pola makan yang diamati pada bayi dan anak kecil yang menderita anemia defisiensi besi pada negara berkembang adalah konsumsi susu sapi yang berlebihan dimana kandungan zat besinya rendah, dan juga penyerapan zat besi pada ASI 2 -3 kali lebih baik dibandingan dengan susu sapi.

Kehilangan darah harus dipertimbangkan sebagai penyebab dari kasus anemia defisiensi besi terutama pada anak yang lebih besar. Anemia defisiensi besi kronis akibat pendarahan bisa disebabkan oleh lesi pada saluran pencernaan, seperti ulkus peptikum, divertikulum Meckel, polip, hemangioma, atau penyakit inflamasi pada usus.

Bayi dapat mengalami kehilangan darah kronis dari usus yang disebabkan oleh terpapar oleh protein labil panas di susu sapi murni. Reaksi gastrointestinal ini tidak berhubungan dengan abnormalitas enzim pada mukosa, seperti defisiensi laktase, atau alergi susu yang khas. Pada negara berkembang, infeksi cacing tambang, Trichuris trichiura, Plasmodium, dan Helicobacter pylori sering berkontribusi terhadap terjadinya defisiensi besi.

Sekitar 2% dari remaja perempuan menderita anemia defisiensi besi dikarenakan oleh kebutuhan yang besar untuk tumbuh pesat dan kehilangan darah pada saat menstruasi. Risiko tinggi juga ditemukan pada remaja yang sedang atau pernah hamil, ditemukan >30% dari remaja wanita ini mengalami anemia defisiensi besi (Lerner, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tandirerung (2013) pada murid sekolah dasar di Manado menunjukkan bahwa anak yang tidak memiliki kebiasaan sarapan pagi mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian anemia.


(9)

2.2.3. Diagnosis

Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Pada umumnya ketiga parameter tersebut saling bersesuaian. Kadar normal hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologik tergantung pada umur, jenis kelamin, adanya kehamilan, dan ketinggian tempat tinggal (Bakta, 2009).

Cut – off point seseorang dikatakan sebagai anemia berbeda – beda berdasarkan umur dan jenis kelamin. Anak balita 12 – 59 bulan adalah Hb <11,0 g/dL, anak sekolah usia 6 – 12 tahun adalah Hb <12,0 g/dL, laki – laki usia ≥15 tahun adalah Hb <13 g/dL, wanita usia subur 15 – 49 tahun adalah Hb <12,0 g/dL, dan pada ibu hamil adalah Hb <11 g/dL (Riskesdas, 2013).

Tabel 2.2 Derajat Anemia

Derajat Hb

Ringan sekali Hb 10g/dl – cut off point Ringan Hb 8 g/dl – Hb 9,9 g/dl Sedang Hb 6 g/dl – Hb 7,9 g/dl

Berat Hb <6 g/dl

Sumber : Hematologi Klinik Ringkas (Bakta, 2014)

2.2.4. Dampak Anemia pada Anak

Pengaruh defisiensi besi terutama melalui gangguan fungsi hemoglobin yang berfungsi sebagai penghantar oksigen yang dibutuhkan untuk reaksi metabolisme di dalam tubuh. Anemia memberikan dampak kepada anak sekolah berupa penurunan daya konsentrasi anak dalam belajar dan juga kepada pekerja yang menunjukkan penurunan kesanggupan dan daya kerja yang bermakna (Sediaoetama, 2009).

Anemia defisiensi besi memiliki dampak terhadap kecerdasaan anak. Hal tersebut dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Perignon et al. (2014) terhadap anak usia 6 – 16 tahun di Kamboja. Perignon menemukan bahwa anak laki – laki yang mengalami anemia defisiensi besi memiliki kecerdasan kognitif


(10)

yang lebih rendah dibanding anak yang normal. Penelitian yang dilakukan oleh Kishawi (2015) pada anak usia 2 – 5 tahun di Gaza Palestina menunjukkan bahwa anak yang menderita anemia memiliki hubungan yang signifikan terhadap berat badan yang rendah (underweight).

2.3. Prestasi Belajar 2.3.1. Definisi

Prestasi belajar menurut Ridwan (2008) dalam Picauly (2013) adalah penilaian hasil usaha kegiatan yang dinyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf, maupun kalimat yang dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapai oleh setiap anak dalam periode tertentu.

2.3.2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Belajar

Menurut Slameto (2013) faktor – faktor yang mempengaruhi belajar dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar.

 Faktor jasmaniah

 Faktor kesehatan :

Sakit dapat menyebabkan cepat lelah, kurang semangat, mudah pusing, ngantuk, kurang darah, gangguan fungsi indera dan tubuh yang akan menganggu proses belajar.

 Cacat tubuh :

Keadaan ini dapat mempengaruhi belajar, dan sebaiknya anak belajar pada lembaga pendidikan khusus atau dengan bantuan alat bantu untuk mengurangi pengaruh dari kecacatan.

 Faktor psikologis

 Faktor inteligensi :

Siswa dengan tingkat inteligensi yang tinggi akan lebih berhasil daripada yang tingkat inteligensinya lebih rendah.


(11)

 Perhatian :

Siswa yang mempunyai perhatian terhadap bahan pelajarannya dapat mencegah terjadinya kebosanan.

 Minat :

Bila pelajaran tidak sesuai dengan minatnya, siswa tidak akan belajar dengan sebaik – baiknya karena tidak ada daya tarik baginya.

 Bakat :

Jika pelajaran sesuai dengan bakatnya, siswa akan senang dan lebih giat dalam belajar pelajaran tersebut sehingga hasil belajar lebih baik.

 Motif :

Motif untuk berpikir dan memusatkan perhatian, merencanakan, dan melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan belajar.

 Kematangan :

Belajar lebih berhasil jika anak sudah siap (matang).

 Kesiapan :

Siswa yang sudah ada kesiapan akan mempunyai hasil belajar yang lebih baik.

 Faktor kelelahan

 Kelelahan jasmani terlihat dengan lemah lunglai tubuh dan kelelahan rohani berupa kelesuan dan kebosanan.

Faktor eksternal adalah faktor yang ada di luar individu.

 Faktor keluarga

 Cara orang tua mendidik :

Orang tua yang kurang / tidak memperhatikan pendidikan anaknya akan menyebabkan anak tidak / kurang berhasil dalam belajarnya.

 Relasi antar anggota keluarga :

Relasi yang tidak baik dapat menyebabkan perkembangan anak terhambat, belajar terganggu, dan bahkan dapat menimbulkan masalah psikologis yang lain.


(12)

 Suasana rumah :

Suasana rumah yang gaduh tidak memberikan ketenangan kepada anak untuk belajar.

 Keadaan ekonomi keluarga :

Kebutuhan pokok anak akan kurang terpenuhi pada keluarga yang miskin, sehingga kesehatan dan belajar anak akan terganggu.

 Pengertian orang tua :

Orang tua wajib memberi pengertian dan dorongan untuk membantu kesulitan anak di sekolah.

 Latar belakang kebudayaan :

Penanaman kebiasaan yang baik agar mendorong semangat anak untuk belajar.

 Faktor sekolah

 Metode mengajar :

Metode mengajar guru yang kurang baik menyebabkan siswa menjadi kurang senang dan malas belajar.

 Kurikulum :

Kurikulum tidak baik jika terlalu padat, diatas kemampuan siswa, tidak sesuai dengan bakat, minat, dan perhatian siswa.

 Relasi guru dengan siswa :

Relasi guru dengan siswa yang baik membuat siswa menyukai mata pelajaran yang diberikan.

 Relasi siswa dengan siswa :

Relasi yang baik dapat memberi pengaruh positif terhadap belajar.

 Disiplin sekolah :

Kedisiplinan berhubungan erat dengan kerajinan siswa dalam sekolah dan belajar.

 Alat pelajaran :

Alat pelajaran yang lengkap dan tepat akan memperlancar siswa dalam menerima bahan pelajaran.


(13)

 Waktu sekolah :

Sebaiknya siswa belajar dipagi hari dengan pikiran yang masih segar dan jasmani dalam kondisi yang baik.

 Standar pelajaran di atas ukuran

 Keadaan gedung

 Metode belajar :

Belajar secara teratur setiap hari, pembagian waktu yang baik, cara belajar yang tepat, dan cukup istirahat.

 Tugas rumah :

Diharapkan guru jangan terlalu banyak memberi tugas karena dapat membuat anak tidak mempunyai waktu lagi untuk kegiatan yang lain.

 Faktor masyarakat

 Kegiatan siswa dalam masyarakat :

Belajar dapat terganggu jika siswa terlalu banyak ambil bagian dalam kegiatan masyarakat, terutama jika tidak bijaksana dalam mengatur waktu.

 Media massa :

Seperti bioskop, radio, sukat kabar, majalah, dan sebagainya dapat memberi pengaruh yang baik ataupun buruk, tergantung dari media massa tersebut.

 Teman bergaul :

Teman bergaul yang tidak baik seperti suka begadang, keluyuran, pecandu rokok, film, dan sebagainya dapat menyeret siswa ke ambang bahaya dan belajar akan jadi berantakan.

 Bentuk kehidupan masyarakat :

Masyarakat yang terdiri dari orang yang tidak terpelajar, penjudi, suka mencuri, dan mempunyai kebiasaan tidak baik akan memberi pengaruh jelek karena anak tertarik untuk melakukan yang dilakukan orang – orang disekitarnya dan dapat mengganggu belajarnya.


(14)

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Perignon et al. (2014) pada anak usia 6 – 16 tahun di Kamboja menunjukan beberapa faktor risiko yang mempengaruhi kecerdasan anak. Anak yang mengalami stunting, anemia defisiensi besi, dan infeksi parasit mempunyai nilai yang lebih rendah pada tes kecerdasan kognitif dibanding dengan anak yang normal.

Picauly (2013) juga melakukan penelitian terhadap anak sekolah di Kupang dan Sumba Timur NTT tentang pengaruh stunting terhadap prestasi belajar. Picauly mendapatkan bahwa setiap penurunan status gizi tinggi badan menurut umur sebesar 1 SD dapat menyebabkan penurunan prestasi belajar. Menurut Semba et al. (2008) dan Yustika (2006) dalam Picauly (2013) siswa yang mempunyai prestasi belajar yang rendah disebabkan oleh dua masalah, yaitu absensi yang tinggi dan kualitas penyerapan dan penguasaan materi pembelajaran yang rendah.

Penelitian Olukamakaiye (2013) juga mengatakan bahwa energi makanan yang rendah, konsumsi daging, buah, dan sayur yang rendah memberikan dampak negatif terhadap perkembangan, kesehatan, dan belajar. Penelitian yang dilakukan oleh Gajre (2008) pada anak sekolah di Kota Hiderabad menunjukkan bahwa kebiasaan sarapan berpengaruh terhadap memori dan kecerdasan anak di sekolah. Tingkat pendidikan ibu juga memberikan pengaruh terhadap kecerdasan anak dalam pelajaran Bahasa Inggris.

Pengaruh sarapan pagi terhadap prestasi belajar juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh So (2013) pada anak sekolah di Korea. Hubungan antara sarapan pagi dan prestasi sekolah yang baik pada murid laki – laki didapati signifikan jika sarapan pagi minimal 5 kali per minggu, sedangkan pada murid perempuan ditemukan bahwa sarapan pagi sebanyak minimal 2 kali seminggu sudah menunjukkan hubungan yang signifikan.


(1)

2.2.3. Diagnosis

Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Pada umumnya ketiga parameter tersebut saling bersesuaian. Kadar normal hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologik tergantung pada umur, jenis kelamin, adanya kehamilan, dan ketinggian tempat tinggal (Bakta, 2009).

Cut – off point seseorang dikatakan sebagai anemia berbeda – beda berdasarkan umur dan jenis kelamin. Anak balita 12 – 59 bulan adalah Hb <11,0 g/dL, anak sekolah usia 6 – 12 tahun adalah Hb <12,0 g/dL, laki – laki usia ≥15 tahun adalah Hb <13 g/dL, wanita usia subur 15 – 49 tahun adalah Hb <12,0 g/dL, dan pada ibu hamil adalah Hb <11 g/dL (Riskesdas, 2013).

Tabel 2.2 Derajat Anemia

Derajat Hb

Ringan sekali Hb 10g/dl – cut off point Ringan Hb 8 g/dl – Hb 9,9 g/dl Sedang Hb 6 g/dl – Hb 7,9 g/dl

Berat Hb <6 g/dl

Sumber : Hematologi Klinik Ringkas (Bakta, 2014)

2.2.4. Dampak Anemia pada Anak

Pengaruh defisiensi besi terutama melalui gangguan fungsi hemoglobin yang berfungsi sebagai penghantar oksigen yang dibutuhkan untuk reaksi metabolisme di dalam tubuh. Anemia memberikan dampak kepada anak sekolah berupa penurunan daya konsentrasi anak dalam belajar dan juga kepada pekerja yang menunjukkan penurunan kesanggupan dan daya kerja yang bermakna (Sediaoetama, 2009).

Anemia defisiensi besi memiliki dampak terhadap kecerdasaan anak. Hal tersebut dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Perignon et al. (2014) terhadap anak usia 6 – 16 tahun di Kamboja. Perignon menemukan bahwa anak laki – laki yang mengalami anemia defisiensi besi memiliki kecerdasan kognitif


(2)

yang lebih rendah dibanding anak yang normal. Penelitian yang dilakukan oleh Kishawi (2015) pada anak usia 2 – 5 tahun di Gaza Palestina menunjukkan bahwa anak yang menderita anemia memiliki hubungan yang signifikan terhadap berat badan yang rendah (underweight).

2.3. Prestasi Belajar 2.3.1. Definisi

Prestasi belajar menurut Ridwan (2008) dalam Picauly (2013) adalah penilaian hasil usaha kegiatan yang dinyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf, maupun kalimat yang dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapai oleh setiap anak dalam periode tertentu.

2.3.2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Belajar

Menurut Slameto (2013) faktor – faktor yang mempengaruhi belajar dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar.

 Faktor jasmaniah  Faktor kesehatan :

Sakit dapat menyebabkan cepat lelah, kurang semangat, mudah pusing, ngantuk, kurang darah, gangguan fungsi indera dan tubuh yang akan menganggu proses belajar.

 Cacat tubuh :

Keadaan ini dapat mempengaruhi belajar, dan sebaiknya anak belajar pada lembaga pendidikan khusus atau dengan bantuan alat bantu untuk mengurangi pengaruh dari kecacatan.

 Faktor psikologis  Faktor inteligensi :

Siswa dengan tingkat inteligensi yang tinggi akan lebih berhasil daripada yang tingkat inteligensinya lebih rendah.


(3)

 Perhatian :

Siswa yang mempunyai perhatian terhadap bahan pelajarannya dapat mencegah terjadinya kebosanan.

 Minat :

Bila pelajaran tidak sesuai dengan minatnya, siswa tidak akan belajar dengan sebaik – baiknya karena tidak ada daya tarik baginya.

 Bakat :

Jika pelajaran sesuai dengan bakatnya, siswa akan senang dan lebih giat dalam belajar pelajaran tersebut sehingga hasil belajar lebih baik.  Motif :

Motif untuk berpikir dan memusatkan perhatian, merencanakan, dan melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan belajar.

 Kematangan :

Belajar lebih berhasil jika anak sudah siap (matang).  Kesiapan :

Siswa yang sudah ada kesiapan akan mempunyai hasil belajar yang lebih baik.

 Faktor kelelahan

 Kelelahan jasmani terlihat dengan lemah lunglai tubuh dan kelelahan rohani berupa kelesuan dan kebosanan.

Faktor eksternal adalah faktor yang ada di luar individu.  Faktor keluarga

 Cara orang tua mendidik :

Orang tua yang kurang / tidak memperhatikan pendidikan anaknya akan menyebabkan anak tidak / kurang berhasil dalam belajarnya.  Relasi antar anggota keluarga :

Relasi yang tidak baik dapat menyebabkan perkembangan anak terhambat, belajar terganggu, dan bahkan dapat menimbulkan masalah psikologis yang lain.


(4)

 Suasana rumah :

Suasana rumah yang gaduh tidak memberikan ketenangan kepada anak untuk belajar.

 Keadaan ekonomi keluarga :

Kebutuhan pokok anak akan kurang terpenuhi pada keluarga yang miskin, sehingga kesehatan dan belajar anak akan terganggu.

 Pengertian orang tua :

Orang tua wajib memberi pengertian dan dorongan untuk membantu kesulitan anak di sekolah.

 Latar belakang kebudayaan :

Penanaman kebiasaan yang baik agar mendorong semangat anak untuk belajar.

 Faktor sekolah

 Metode mengajar :

Metode mengajar guru yang kurang baik menyebabkan siswa menjadi kurang senang dan malas belajar.

 Kurikulum :

Kurikulum tidak baik jika terlalu padat, diatas kemampuan siswa, tidak sesuai dengan bakat, minat, dan perhatian siswa.

 Relasi guru dengan siswa :

Relasi guru dengan siswa yang baik membuat siswa menyukai mata pelajaran yang diberikan.

 Relasi siswa dengan siswa :

Relasi yang baik dapat memberi pengaruh positif terhadap belajar.  Disiplin sekolah :

Kedisiplinan berhubungan erat dengan kerajinan siswa dalam sekolah dan belajar.

 Alat pelajaran :


(5)

 Waktu sekolah :

Sebaiknya siswa belajar dipagi hari dengan pikiran yang masih segar dan jasmani dalam kondisi yang baik.

 Standar pelajaran di atas ukuran  Keadaan gedung

 Metode belajar :

Belajar secara teratur setiap hari, pembagian waktu yang baik, cara belajar yang tepat, dan cukup istirahat.

 Tugas rumah :

Diharapkan guru jangan terlalu banyak memberi tugas karena dapat membuat anak tidak mempunyai waktu lagi untuk kegiatan yang lain.  Faktor masyarakat

 Kegiatan siswa dalam masyarakat :

Belajar dapat terganggu jika siswa terlalu banyak ambil bagian dalam kegiatan masyarakat, terutama jika tidak bijaksana dalam mengatur waktu.

 Media massa :

Seperti bioskop, radio, sukat kabar, majalah, dan sebagainya dapat memberi pengaruh yang baik ataupun buruk, tergantung dari media massa tersebut.

 Teman bergaul :

Teman bergaul yang tidak baik seperti suka begadang, keluyuran, pecandu rokok, film, dan sebagainya dapat menyeret siswa ke ambang bahaya dan belajar akan jadi berantakan.

 Bentuk kehidupan masyarakat :

Masyarakat yang terdiri dari orang yang tidak terpelajar, penjudi, suka mencuri, dan mempunyai kebiasaan tidak baik akan memberi pengaruh jelek karena anak tertarik untuk melakukan yang dilakukan orang – orang disekitarnya dan dapat mengganggu belajarnya.


(6)

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Perignon et al. (2014) pada anak usia 6 – 16 tahun di Kamboja menunjukan beberapa faktor risiko yang mempengaruhi kecerdasan anak. Anak yang mengalami stunting, anemia defisiensi besi, dan infeksi parasit mempunyai nilai yang lebih rendah pada tes kecerdasan kognitif dibanding dengan anak yang normal.

Picauly (2013) juga melakukan penelitian terhadap anak sekolah di Kupang dan Sumba Timur NTT tentang pengaruh stunting terhadap prestasi belajar. Picauly mendapatkan bahwa setiap penurunan status gizi tinggi badan menurut umur sebesar 1 SD dapat menyebabkan penurunan prestasi belajar. Menurut Semba et al. (2008) dan Yustika (2006) dalam Picauly (2013) siswa yang mempunyai prestasi belajar yang rendah disebabkan oleh dua masalah, yaitu absensi yang tinggi dan kualitas penyerapan dan penguasaan materi pembelajaran yang rendah.

Penelitian Olukamakaiye (2013) juga mengatakan bahwa energi makanan yang rendah, konsumsi daging, buah, dan sayur yang rendah memberikan dampak negatif terhadap perkembangan, kesehatan, dan belajar. Penelitian yang dilakukan oleh Gajre (2008) pada anak sekolah di Kota Hiderabad menunjukkan bahwa kebiasaan sarapan berpengaruh terhadap memori dan kecerdasan anak di sekolah. Tingkat pendidikan ibu juga memberikan pengaruh terhadap kecerdasan anak dalam pelajaran Bahasa Inggris.

Pengaruh sarapan pagi terhadap prestasi belajar juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh So (2013) pada anak sekolah di Korea. Hubungan antara sarapan pagi dan prestasi sekolah yang baik pada murid laki – laki didapati signifikan jika sarapan pagi minimal 5 kali per minggu, sedangkan pada murid perempuan ditemukan bahwa sarapan pagi sebanyak minimal 2 kali seminggu sudah menunjukkan hubungan yang signifikan.


Dokumen yang terkait

Perbedaan Prestasi Belajar Pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia dan Kadar Hemoglobin pada Anak yang Stunting dan Normal Kelas 4 – 6 di SD Persa Juara Medan Tahun 2015

1 49 79

PERBEDAAN PRESTASI BELAJAR DAN KESEGARAN JASMANI PADA ANAK SEKOLAH DASAR STUNTING DAN NON STUNTING Perbedaan Prestasi Belajar Dan Kesegaran Jasmani Pada Anak Sekolah Dasar Stunting Dan Non Stunting Di Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo.

0 2 18

PENDAHULUAN Perbedaan Prestasi Belajar Dan Kesegaran Jasmani Pada Anak Sekolah Dasar Stunting Dan Non Stunting Di Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo.

0 3 8

HUBUNGAN ANTARA KADAR HEMOGLOBIN DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA SISWA SD N KARTASURA 1, 4 DAN 6 DI KECAMATAN KARTASURA KABUPATEN SUKOHARJO.

0 2 5

Bahasa Indonesia SD MI Kelas 6. Pelajaran 4

0 2 14

Perbedaan Prestasi Belajar Pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia dan Kadar Hemoglobin pada Anak yang Stunting dan Normal Kelas 4 – 6 di SD Persa Juara Medan Tahun 2015

0 0 15

Perbedaan Prestasi Belajar Pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia dan Kadar Hemoglobin pada Anak yang Stunting dan Normal Kelas 4 – 6 di SD Persa Juara Medan Tahun 2015

0 0 2

Perbedaan Prestasi Belajar Pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia dan Kadar Hemoglobin pada Anak yang Stunting dan Normal Kelas 4 – 6 di SD Persa Juara Medan Tahun 2015

0 0 4

Perbedaan Prestasi Belajar Pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia dan Kadar Hemoglobin pada Anak yang Stunting dan Normal Kelas 4 – 6 di SD Persa Juara Medan Tahun 2015

3 3 3

Perbedaan Prestasi Belajar Pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia dan Kadar Hemoglobin pada Anak yang Stunting dan Normal Kelas 4 – 6 di SD Persa Juara Medan Tahun 2015

0 0 23