Resistensi Antibiotikinfeksi Saluran Kemih Komunitas dan Nosokomial Periode 2014 – 2015

RESISTENSI ANTIBIOTIKINFEKSI SALURAN KEMIH
KOMUNITAS DAN NOSOKOMIAL PERIODE 2014 – 2015
Franciscus Ginting, Yosia Ginting

ABSTRAK
Pendahuluan
Resistensi antibiotika merupakan masalah global disebabkan peningkatan angka resistensi yang sangat cepat . Diperlukan
pola kuman dan resistensi antibiotika sebagai panduan penggunaan antibiotika empiris sebagai menekan resistensi. Terapi
empiris sebagai guideline harus berdasarkan pola kuman dan resistensi lokal. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan
infeksi yang paling sering dijumpai dan alasan penggunaan antibiotika . Penggunaan terapi empiris terhdap ISK di
Inbdonesia selama ini masih menagcu pada data dari negara lain sehingga penggunaan nya tidaklah tepat. Studi resistensi
antibiotika berdasarkan populasi belum banyak dilakukan di Indonesia sementara data berdasarkan laboratorium
menimbulkan bias
Metodologi
Penelitian deskriptif pasien ISK April 2014 – Mei 2015 di Medan pada RS Haji Adam malik (pasien nosokomial) dan RS
Murni Teguh, RS Martha Friska, Klinik Spesialis Bunda (poliklinik Urologi) , praktek pribadi spesialis obstetri ginekologi
(obsgyn) untuk ISK komunitas. Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria CDC 2012.. Data diolah dengan menggunakan
STATA 12.1
Hasil
Skrining terhadap 3147 pasien yang di duga ISK di dapat ISK nosokomial 306 kultur positip


: 199 E. coli (65%) , K.

pneumoniae 48 (15,7%) , kuman lainnya 59 (19,3%) . Pada kelompok ISK komunitas urologi didapat 242 isolat terdiri
dari E. coli 163 (67,4%), K. pneumoniae 21 (8,6% ) dan kuman lainnya 58 (24,0%). Pasien obsgyn di dapat 97 isolat : E.
coli 58 (58,8%), K. pneumoniea 19 (19,6%) dan kuman lainnya 20 isolat (20,6%) . Antibiotika empiris pada ISK dengan
tingkat resistensi di bawah 20 % adalah fosfomisin, meropenem, amikasin, ertapenem, tegasilin, nitrofurantoin (komunitas)
dan : tegasilin, meropenem, fosfomisin dan amikasin (nosocomial)
Kesimpulan
Kuman penyebab ISK tersering adalah E. coli dan K. pneumoniae (76% - 81%) . Antibiotika empiris ISK sangat terbatas.
Antibiotika golongan flurokuinolon yang selama ini banyak dipakai untuk terapi ISK angka resistensinya sangat tinggi (6681%). Hanya fosfomisin dan nitrofurantoin antibiotika oral yang masih baik digunakan sebagai terapi empiris pasien ISK
Kata kunci: resistensi antibiotika, terapi empiris, ISK

Abstract
RESISTANCE PATTERN OF ANTIBIOTICS
FOR COUMMUNITY AND HEALTHCARE
ASSOCIATED URINARY TRACT INFECTION 2014 - 2015
ABSTRACT
Background
Antibiotic resistance is a global problem which is very important due to the increasing rates of antibiotic resistance are very
fast and alarming. Data required germs and antibiotics resistance patterns that can be used as an empiric therapy as an effort

to suppress the increasing resistance rates, reduce mortality and morbidity.
Empiric terapi as a recommended guideline is based on local resistancy pattern. Urinary tract infection (UTI) is one of the
most common infections and the use of common antibiotics. There are differences between laboratorium and population
based study. We can use population based study for empirical treatment. In Indonesian we found that antibiotics

guidelines

for treatmen for UTI coming from another country
Methods
Descriptive study based on population studies community and healthcare associated (HAIs) UTI come from Adam Malik
Hospital (HAIs) Murni Teguh Hospital, Martha Friska Hospital, Bunda Clinic Specialize and one Obstetric Gynecologist
private practice in Medan during April 2014 – May 2015
Results
Screening3s147 patien suspected UTI and we found: HAIs UTI 306 isolates: 199 E. coli (65%) , K. pneumoniae 48
(15,7%) others 59 (19,3%) . Urology sites 242 isolates : E. coli 163 (67,4%), K. pneumoniea 21 (8,6% ), others 58 (24,0%).
Obsgyn site 97 isolates : E. coli 58 (58,8%), K. pneumoniae 19 (19,6%) , others 20 isolat (20,6%) . Antibiotics empiric for
UTI with level of resistance below

20 % are : fosfomycin, meropenem, amikacin, ertapenem, tegacylin, nitrofurantoin


(community ) and tegacylin, meropenem, fosfomycin and amikacin for HAIs UTI
Summary :
The most germ cause UTI are

E. coli and

K. pneumonia (76% - 81%) . Emperical treatment for UTI is very limited.

Fluroquinolon which most prevalence using for UTI actually very high resistance (66-81%). Only fosfomycin and
nitrofurantoin as oral antibiotics for empiric terapi UTIs
Key words: antibiotics resistance, empirical treatment, UTI

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Resistensi terhadap antibiotika merupakan salah satu penyebab kegagalan dalam pengobatan infeksi.
Laporan badan kesehatan dunia atau World Health Organization(WHO) tahun 2014 memperlihatkan bahwa
resistensi antibiotika (Antimicrobial resistance/AMR) sekarang ini sudah mencapai kondisi yang berbahaya dan
mengancam. Angka resistensi terus meningkat baik di negara maju maupun pada negara berkembang termasuk
infeksi pada saluran kemih (ISK).1

Laporan resistensi berbagai penelitian berbeda beda disebabkan karena adanya perbedaan dalam metodologi.
Banyak data data penelitian yang disampaikan hanya dengan jumlah sampel yang sedikit pada masing
masing isolat ( N< 30) dan keakuratan dari penelitian tersebut masih diragukan.1
Bakteri utama penyebab infeksi di komunitas ataupun infeksi yang di dapat di rumah sakit (health care
associaciated/ nosokomial) adalah Escherichia coli (E. coli), Klebsiella pneumoniae (K. pneumoniae) dan
Staphylococcus aureus (S. aureus).2,3,4
Penggunaan antibiotika yang tidak tepat merupakan penyebab utama terjadinya AMR di seluruh dunia.
Antibiotika merupakan obat yang paling sering diresepkan pada manusia dan merupakan obat yang dapat
menyelamatkan jiwa. Lebih dari 50 % pemberian antibiotika diresepkan secara tidak optimal bahkan sering
pasien tidak membutuhkannya. Dosis dan lama pemberian yang tidak tepat juga menjadi penyebab utama
lainnya terhadap kejadian AMR.5 Faktor lain penyebab terjadinya resistensi antibiotika adalah penyebaran
resistensi yang dapat terjadi dari satu penderita kepada penderita lainnya.6
Resistensi antibiotika mengakibatkan peningkatan biaya , mengancam kehidupan yang mengakibatkan tidak
efektifnya pelayanan progam kesehatan. Bahkan kondisi ini dijumpai sekalipun pada negara negara maju .7
Angka prevalensi resistensi antibiotika terhadap bakteri utama penyebab infeksi paling tinggi dijumpai pada
benua Asia.8 Usman Hadi pada dua RS pusat pendidikan di Pulau Jawa menunjukkan dari 1153 antibiotika
yang diresepkan 60% peresepan antibiotika yang di berikan pada ke dua RS tersebut tidaklah tepat baik
indikasi pemberian, lamanya pemberian dan pemilihan antibiotika. Antimicrobial resistance in Indonesia:
prevalence and prevention” (AMRIN) study memperlihatkan pada tahun 2009 terjadinya resistensi banyak obat
pada pasien infeksi yang dirawat di rumah sakit yang disebabkan oleh E. coli .9

Sangatlah penting untuk mengetahui angka prevalensi resistensi antibiotika pada pasien ISK di
masyarakat/ komunitas oleh karena ISK merupakan infeksi yang paling sering dijumpai setelah infeksi saluran
pernapasan

sehingga menjadi penyumbang angka tertinggi pemakaian antibiotika.10,11

ISK di defenisikan bilamana dijumpai bakteri dalam urin secara bermakna pada pasien dengan keluhan dan
tanda ISK.12

ISK masih menjadi masalah utama kesehatan dan diperkirakan lebih dari 150 juta kasus pertahun diseluruh
dunia dengan kebutuhan biaya berkisar 6 milyar dollar Amerika Serikat. Data terhadap kejadian ISK di
wilayah Asia Tenggara sangat bervariasi. Penelitian yang dilaporkan di Indonesia, Bandung (2014), Singapore
(2011) dan Taiwan (2013) menunjukkan tingkat resistensi yang berbeda beda pada ISK di komunitas. 13,14,15
Pemilihan dan penggunaan antibitotika empiris pada ISK harus menjadi lebih hati hati karena
dijumpainya resistensi terhadap banyak obat pada kelompok kuman Enterobacteriaceae (MDRE) 16,17
Pemberian antibiotika empiris yang tidak tepat akan meningkatkan terjadinyaAMR. 18
Guideline terbaru yang dikeluarkan oleh Perkumpulan Ahli Infeksi Amerika (Infectious Diseases Society of
America) merekomendaskan bahwa pemberian antibiotika sebagai terapi empiris haruslah berdasarkan pola
resistensi lokal, ketersediaan obat dan toleransi antibiotika terhadap pasien . Oleh karena itu dibutuhkan
pemantauan secara berkala terhadap kuman penyebab dan pola resistensi ISK yang menjadi dasar pemberian

terapi empiris sebagai upaya terhadap pananganan AMR dan menjaga efikasi dari antibiotika. 19,20
Penelitian di Turkey mendapatkan bahwa ISK nosokomial merupakan infeksi nosokomial yang paling
sering didapati di rumah sakit (21-49%) dan penyebab utamanya disebabkan pemakaian kateter urine.,20,21,22,23
Sangat penting diketahui bahwa perbedaan geografis akan mengakibatkan perbedaan kuman penyebab
dan tingkat resistensi antibiotika. Pola resistensi antibiotika terhadap ISK baik pada komunitas maupun yang
didapat di rumah sakit belumlah secara mendalam di teliti di Indonesia.

Resistensi antimiroba
Banyak bukti yang menyatakan bahwa pada negara dengan sumber daya yang masih lemah penggunaan
antibiotika sangat tinggi.24
Masalah yang dihadapai negara berkembang sehubungan dengan penyebab terjadinya resistensi antibiotika ,
antara lain :
1.

Tidak memiliki kebijakan nasional

2.

Banyak antibiotika dijual bebas tanpa peresepan


3.

Kualitas antibiotika yang buruk

4.

Sulitnya menjangkau fasilitas kesehatan

5.

Kurangnya pemahaman tentang peresepan antibiotika

6.

Kurangnya data terhadap pola resistensi antibiotika 25-28
Penyakit infeksi merupakan penyebab kematian utama pada negara negara berkembang. Untuk dapat

mengobati penyakit infeksi maka hal terpenting yang menjadi perhatian adalah pemberian antibiotika yang
ditoleransi dengan aktivitasi terhadap kuman penyebab infeksi dengan baik .


29,30,31

Bila terjadi suatu resistensi

terhadap antibiotika maka resistensi tersebut dapat dipindahkan bahkan sampai ke negara-negara lain di era
transportasi yang sangat maju sekarang ini, sehingga terjadinya resistensi antibiotika dinegara berkembang
dapat menyebar ke negara- negara maju. 32,33

Suatu sistematik review terhadap pemberian antibiotika di negara Asia melaporkan bahwa 58%
pemberian antibiotika tanpa mernggunakan resep (bandingkan dengan data dari negara maju yang melaporkan
penggunaan antibiotika tanpa resep kurang dari 3%) .9,34,35-39

Gambar 1. Frekuensi pemakaian antibiotika tanpa resep pada populasi secara umum.

40

Untuk dapat menggunakan antibiotika yang tepat ternyata menjadi masalah yang kompleks karena
pemberian antibiotika sebagai terapi empiris harus didasari pada pola resistensi kuman lokal. Pada daerah yang
tidak memiliki pola kepekaan kuman terhadap antibiotika maka pemilihan antibiotika akan sangat sulit bahkan
bila diberikan oleh yang ahli sekalipun.41

Pemberian antibiotika haruslah dimonitor

dengan baik dimana pemberiannya

hanya ditujukan

terhadap kasus yang terbukti menderita infeksi bakteri saja. Peresepan antibiotika yang sesuai harus disesuaikan
dengan waktu terkini, yang artinya setiap pola resistensi antibiotika harus selalu di perbaharui dari waktu ke
waktu. 42
Pemberian antibiotika

pada pasien yang bukan infeksi yang disebabkan oleh bakteri

akan

mengakibatkan kegagalan pengobatan, menutupi gambaran klinis penyakit sebenarnya selain itu pemberian
dengan dosis dan cara yang tidak tepat meningkatkan tingkat resistensi tanpa memberikan efek terapi.43,44
Meningkat dan meluasnya resistensi antibiotika sedangkan penemuan antibiotika golongan terbaru
berjalan sangat lambat. Penelitian dan pengembangan antibiotika bukanlah hal yang menguntungkan dalam
industri farmasi karena jangka pemakaian obat cukup singkat dan investasinya sangat tinggi.45

Sekarang ini dijumpai hampir seribu jenis resistensi terhadap beta lactamase, terjadi peningkatan 10 kali lipat
dibanding sebelum tahun 1990. 46
Penelitian menunjukkan bahwa pemakaian quinolon merupaka faktor resiko terjadinya MRSA nosokomial.

Kondisi di atas menerangkan bahwa resistensi antibiotika terjadi secara perlahan lahan dan menerangkan
mengapa terjadi resistensi nosokomial.47
Suatu sistematik review terhadap laproan pola resistensi pada negara berkembang oleh Alleranzi (2010)
mendapatkan hal yang sama dengan tingkat kepercayaan yang lemah karena metodologi , standard penelitian
dan penegakan diagnose yang lemah .49
Infeksi Saluran Kemih
ISK merupakan infeksi yang paling sering dijumpai pada masyarakat umum. Dengan tingginya angka
reistensi antibiotika terutama pada wilayah Asia Pasifik maka pengobatan terhadap ISK

menjadi suatu

tantangan bagi klinisi, berdasarkan ketentuan bahwa pemberian antibiotika harus berdasarkan pola resistensi
lokal dan keadaan klinis pasien. Wilayah Asia Pasifik hampir setengah isolat E. coli yang berasal dari urin
sudah resisten terhadap levofloksasin atau

ciprofloksasin dan ≥30% resisten terhadap generasi ke tiga


sepalosporin (cefotaxim, ceftriaxon, ceftazidim) dan cefepim . Lebih dari 33% isolat E. coli dijumpai ESBL.
Prevalensi ESBL paling tinggi dijumpai India (60%), kemudian Hong Kong (48%) dan Singapore (33%).
Semua isolat E. coli sensitif terhadap ertapenem dan imipenem. 50
Angka kejadian ESBL lebih tinggi dijumpai pada ISK nosokomial dibanding dengan ISK komunitas (30.0%
berbanding 39.5%, p < 0.001). 51
Suatu sistematik review terhadap 134 jurnal penelitian ISK, angka resistensi E. Coli pada ISK nosocomial juga
melaporkan hal yang sama terhadap ciprofloksasin.52
Tabel 1 menunjukkan kriteia diagnostic ISK berdasakan kriteria Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) tahun 201

TABEL 1. KRITERIA DIAGNOSIS ISK.6
Kriteria

ISK
ISK Simptomatik
Setidaknya dijumpai satu dari kriteria di bawah ini

1a

Pasien sedang memakai kateter saat spesimen urine atau saat muncul gejala atau tanda
dan
Setidaknya satu dari gejala dan tanda dibawah ini yang tidak disebabkan oleh penyebab lainnya:
Demam (>380C), nyeri supra pubik atau nyeri ketok costovertebra
dan
Hasil kultur urine >= 105 colony forming unit (CFU)/ml tidak lebih dari 2 spesies mikroorganisme
....................................................ATAU..........................
Pasien lepas kateter urine dalam 48 jam sebelum pemeriksaan sampel urine atau munculnya gejala dan
tanda
dan

Setidaknya satu dari gejala dan tanda dibawahn ini yang tidak disebabkan oleh penyebab lainnya:
Demam (>380C), nyeri supra pubik atau nyeri ketok costovertebra
dan
Hasil kultur urine >= 105 colony forming unit (CFU)/ml tidak lebih dari 2 spesies mikroorganisme

Kriteria

Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Simptomatik ISK
Setidaknya dijumpai satu dari kriteria di bawah ini

1b

Pasien tidak sedang memakai kateter urine saat diperiksa atau 48 jam sebelumnya saat pengambilan
sampel urine atau saat tanda dan gejala
dan
Setidaknya satu dari gejala dan tanda dibawahn ini yang tidak disebabkan oleh penyebab lainnya:
Demam (>380C), tidak mampu menahan buang air kecil (BAK) , sering sering BAK, nyeri BAK nyeri
supra pubik atau nyeri ketok costovertebra
Dan
Hasil kultur urine >= 105 colony forming unit (CFU)/ml tidak lebih dari 2 spesies mikroorganisme

2a

Pasien sedang memakai kateter saat spesimen urine atau saat muncul gejala atau tanda
dan
Setidaknya satu dari gejala dan tanda dibawah ini yang tidak disebabkan oleh penyebab lainnya:
Demam (>380C), nyeri supra pubik atau nyeri ketok costovertebra
dan
setidaknya satu dari di bawah ini:
a.

pemeriksaan dipstik urine positip terhadap leukosit dan atau nitrit

b.

pyuria

c.

mikroiorganisme dijumpai pada pewarnaan gram
dan
dijumpai kultur urin positip >=103 dan < 105 CFU/ml dan dijumpai mikroorganisme tidak lebih
dari 2 spesies
---------------------------ATAU----------------------------

Pasiehn dengan kateter urinyang dicabut dalam 48 jam dengan setidaknya satu dari gejala dan tanda
dibawah ini yang tidak disebabkan oleh penyebab lainnya:
Demam (>380C), tidak mampu menahan berkemih, sering berkemih, nyeri berkemih,nyeri supra pubik
atau nyeri ketok costovertebra

dan
a.pemeriksaan dipstik urine positip terhadap leukosit dan atau nitrit
b.pyuria
c.mikroiorganisme dijumpai pada pewarnaan gram
dan
dijumpai kultur urin positip >=103 dan < 105 CFU/ml dan dijumpai mikroorganisme tidak lebih
dari 2 spesies

2b

Pasien sedang tidak terpasang kateter urin atau 48 jam sebelum urin diperiksa atau munculnya tanda dan
gejala
dan
Demam (>380C), tidak mampu menahan berkemih, sering berkemih, nyeri berkemih,nyeri supra pubik
atau nyeri ketok costovertebra
dan
a.pemeriksaan dipstik urine positip terhadap leukosit dan atau nitrit
b.pyuria
c.mikroiorganisme dijumpai pada pewarnaan gram
dan
dijumpai kultur urin positip >=103 dan < 105 CFU/ml dan dijumpai mikroorganisme tidak lebih dari 2 spesies

METODOLOGI
Penelitian ini dirancang dengan menggunakan metode populasi survey yang dilakukan secara potong lintang
dengan statistik deskriptif menggunakan STATA.12
Penelitian uji resistensi dilakukan di laboratorium RSUP Adam Malik Medan April 2014 – Mei 2015
Populasi sampel berasal dari rumah sakit (RS) pendidikan yang merupakan RS pusat rujukan yaitu RS H.
Adam Malik Medan (pasien Infeksi nosokomial) beserta 3 rumah sakit type B ( RS Marta Friska, RS murni
Teguh, RS Bunda) dan dari praktek pribadi dr spesialis Kebidanan dan Kandungan. Subyek penelitian adalah
kelompok pasien dengan keluhan tanda dan gejala ISK yang berobat pada tempat penelitian. Kelayakan pasien
sebagai sampel penelitian akan di evaluasi saat kunjungan pasien ke sarana penelitian.
Besar sampel
Besar sampel minimal 220 spesies E.coli dan K.pneumoniae pada masing masing kelompok ISK komunitas
dan nosokomial. Pasien yang layak untuk mengikuti penelitian akan diambil sebagai sampel secara berurutan

hingga jumlah sampel terpenuhi. Angka 220 di dapat berdasarakan estimasi dari prevalensi antara 5-25%.
Perekrutan
Setiap pasien yang akan diikutkan dalam penelitian akan di datangi oleh perawat pembantu penelitian (study
nurse) sebelum pasien melakukan konsultasi dengan dokter. Study nurse akan menilai kelayakan pasien sesuai
dengan kriteria inklusi dan menjelaskan kepada pasien maksud dan tujuan penelitian dan bila pasien bersedia
maka dilakukan pengisian informed consent. Study nurse adalah perawat yang dipersiapkan untuk melakukan
penelitian, dimana sebelumnya telah mendapatkan pendidikan, pelatihan (work shop), Good Clinical Practise
(GCP) course.
Kriteria penerimaan dan penolakan
Kriteria penerimaan:
Usia > 16 tahun
Pasien yang di rawat di rumah sakit lebih dari 48 jam atau sudah menggunakan kateter dari rumah sakit lain
lebih dari 48 jam
Pasien yang berobat ke poliklinik urologi atau praktek dokter obgyn
Kriteria penolakan
Pasien poliklnik yang menggunakan kateter
Tidak bersedia ikut dalam penelitian
Pengumpulan sampel urin
Pasien komunitas dianjurkan untuk mengambil urine porsi tengah kemudian urin disimpan kotak pendingin
dengan suhu 2 – 8 oC sampai di bawa ke laboratorium.
Untuk sampel urine di RS pusat rujukan maka study nurse akan mengantarkan langsung ke laboratorium.
Pada pasien dengan dugaan ISK akibat pemasangan kateter maka sampel urin diambil dengan melakukan
teknik pengkleman dan kemudian diambil 5 -10 cc pada daerah proximal dengan terlebih dahulu melakukan
desinfektan pada kateter tempat pengambilan urin.
Prosedur Laboratorium
Spesimen urin dinilai secara makroskopis kemudian dilakukan pemeriksaan carik celup/dipstick urin sesuai
dengan petunjuk pabrik . Semua specimen dengan hasil carik celup positip (minimal satu pemeriksaan positip
pada pemeriksaan reaksi nitrit atau lekosit esterase) di proses untuk pemeriksaan kultur.
Untuk kultur bakteri , urin yang dikumpulkan dengan menggunakan pipet kaliberasi (10 µL urin) ditanam dalam
media agar MacConkey sesuai dengan guidelines internasional. Dilakukan inkubasi pada suhu 37oC selama 18
jam dan dilihat apakah dijumpai pertumbuhan

dugaan koloni

sebagai suatu koloni

E. coli atau

K.

pneumoniae. Bilamana dijumpai dugaan terhadap pertumbuhan bakteri tersebut maka, dilakukan penanaman
subkultur pada media

agar non selektif (nutrient agar) untuk memurnikan kultur yang diikuti dengan

pemeriksaan biokimia untuk identifikasi .
Pemeriksaan IMViC test (Indole, Methyl red, Voges-Proskauer, dan Citrate) digunakan untuk membedakan

apakah koloni tersebut sebagai E. coli atau K. pneumoniae. Kuman E. coli dan atau K. pneumonia yang di
dapati selanjutnya

akan dilakukan pemeriksaan uji sensitivitas terhadap antibiotika (AST) dengan

menggunakann metode difus sesuai dengan standard prosedur.
Kelompok antibiotika yang akan dilakukakan uji terhadap AST adalah penisilin, kombinasi β-lactam/ βlactamase Inhibitor, cephems, aminoglycosides, fluoroquinolones, folate pathway inhibitors, fosfomisin,
nitrofurantoin, tegasilin.
Antimicrobial Susceptibility Testing
Mikroorganisme yang diisolasi dari kultur akan dilakukan ujin resistensi antibiotika dengan menggunakan
media Mueller-Hinton agar dengan menggunakan Kirby-Bauer disc diffusion test sesuai dengan standard
Clinical and Laboratory Standard Institute (CLSI) guidelines .53
Hasil kultur akan dicantumkan pada formulir laboratorium.
Untuk memastikan sensitifitas antibiotika sesuai dengan defenisi dari CLSI, berikut ini adalah antimicrob yang
diperiksa:

ampisillin

(10

mg),

amoxisillin-klavunamat

20/10

µg,

ampisillin/sulbactam

10/10

µg,

piperasillin/tazobactam 100/10 µg, cefepime 30 µg, ceftriaxone 30 µg, cefuroxime 30 µg, ceftazidime 30 µg,
ertapenem 10 µg, meropenem 10 µg, gentamicin 10 µg, Amikasin 30 µg, ciprofloksasin 5 µg, levofloksasin 5
µg, trimethoprim-sulfamethoxazole 1.25/23.75 µg, nitriofurantoin 300 µg dan tigesiklin 15µg. Semua
antibiotika menggunakan merk Oxoid ( Thermo Sccientific, UK) kecuali fosfomisin 200 µg menggunnakan
merk BD.54
Diameter zona pengukuran diukur dan di interpretasikan sebagai sensitif ataupun resisten dengan menggunakan
standard yang telah ditetapkan oleh CLSI 2012. Bilamana tidak dijumpai standard pada CLSI maka akan
digunakan standard EUCAST. 55
Penelitian ini menggunakan quality control terhadap plate agar menggunakan Escherichia coli ATCC 25922,
Proteus mirabilis, dan Enterococcus faecalis, sedangkan

quality control dari IMViC menggunakan strain

Escherichia coli ATCC 25922 and Klebsiella pneumoniaeATCC 700603, sebagaimana yang disebut oleh WHO.
56

Potensi terjadinya kuman penghasil Extended Spectrum Betalaktamase (ESBLs) diindikasikan
dijumpai resistensi terhadap

ceftriaxone dan atau

ceftazidime dan

bilamana

asam klavulanamat. Golongan yang

intermediate dimasukkan kedalam kelompok yang resisten. Kontrol terhadap kualitas untuk identifikasi dan uji
kepekaan dilakukan seminggu sekali dengan mengguanakan standard CLSI guidelines.
ISK ditegakkan berdasarkan kriteria CDC 2012

Study nurse: mendatangi

Pasien di tanyakan

pasien di tempat penelitan

apakah bersedia

(site)

udiwawancara

Tidak bersedia

G

Bersedia

Wawancara apakah eligble: tanda dan
gejala ISK

Eligible

Tidak eligible: ucapkan
terimakasih

Inform concern

Tidak bersedia
menandatangani inform
concern

Wawancara : apakah

Pengambilan urine

masuk kriteria inklusi

Urine disimpan ke dalam cool box
sebelum dikirim ke lab

Gambar 1: Alur Penelitian

Analisis data
Data diolah dengan menggunakan STATA version 12.1 (Stata Corp, Texas, USA). Hasil utama dari penelitian ini adalah
untuk melihat prevalensi resistensi antibiotika yang dinyatakan dalam bentuk persentase terhadap E. coli dan K. pneumonia
pada kelompok ISK komunitas dan ISK nosokomial baik yang menggunakan kateter urine ataupun tanpa kateter. Data
prevalensi resistensi kombinasi species E. coli dan K. pneumoniae memperlihatkan mafaat sebagai terapi empiris pasien ISK
baik nosokomial maupun komunitas .

Persetujuan Etik
Penelitian ini telah disetujui oleh Komite Etik Medik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara dan komite Medik
RSUP Haji Adam Malik Medan. Penulisan informed consent dilakukan sebelum skrining dan sebelum pasien diikutkan

dalam penelitian.
Hasil Penelitian
Penelitian ini diikuti oleh 3147 orang yang awalnya dilakukan skrining akan tetapi hanya 2801 yang memenuhi kriteria
inklusi dan satu orang diantaranya menolak ikut dalam penelitian, 4 orang tidak mendapatkan urin untuk diperiksa. Pada
kelompok komunitas di dapati 1983 urin untuk dilakukan kultur dan uji resistensi dan pada kelompok nosokomial 813
sampel urin untuk mendapatkan minimal 220 isolat E. Coli dan K. Pneumoniae
Tanda dan gejala pasien dengan sangkaan ISK ditegakkan berdasakan kriteria CDC 2012 dimana pasien dengan gejala
minimal satu dari : sering berkemih, nyeri saat berkemih, tidak mampu menahan berkemih ataupun nyeri daerah supra
pubik, nyeri ketok costae vertebrae dengan ataupun tanpa demam di kelompokkan sebagai ISK tesangka yang selanjutnya
dilakukan pemeriksaan urine dengan menggunakan dipstick bila hasil dipstick urine positip lekosit dan atau nitrat maka
apabila hasil kultur dijumpai jumah kuman 103> di katakan sebagai ISK.. Pada kelompok komunitas , dari 1650 carik celup
yang dilakukan kultur di dapati 339 hasil kultur positip . Pada kelompok urologi didapati 242 isolat terdiri dari E. coli
163 (67,4%), K. pneumoniae 21 (8,6% ) dan kuman lainnya 58 (24,0%). Pasien obsgyn di dapati 97 kultur positip dengan E.
coli 58 (58,8%), K. pneumoniae 19 (19,6%) dan kuman lainnya sebanyak 20 isolat (20,6%) Dengan demikian E. coli dan K.
pneumoniae menjadi kuman utama penyebab ISK (76% pada urologi dan 78,4% pada obgyn)
Pada

ISK nosokomial, dari 603 sampel dengan carik celup positip didapati pertumbuhan kuman 306 isolat (50,7%)

dimana pasien yang menggunakan kateter 294 (52,2%) dan non kateter sebanyak 12 (30%). Pada ISK

nosokomial

didapati : 199 isolat E. coli (65%) , 48 isolat K. pneumoniae (15,7%) dan kuman lainnya 59 isolat (19,3%). Pada pasien
ISK nosokomial menggunakan kateter didapat

E. coli 193 (65,6%), K. pneumoniae 44 (15,0%) dan kuman lainnya

54(19,4%). Pada pasien ISK nosokomial tanpa kateter didapati E. coli 6 isolat (50%), K. pneumoniaee 4 isolat (33,3%)
dan kuman lainnya 2 isolat (22,7%). Kuman utama penyebab ISK nosokomial baik yang menggunakan kateter maupun
tanpa keteter adalah E. coli dan K. pneumoniae (81%)

Skrining ISK : N = 3147

Inklusi N = 2801

Persetujuan :N = 2800

Urine : N = 2796

komunitas

nosokomial

N = 1983

N = 813

Klinik urologi

Klinik obsgin

Catheter +

Catheter -

N = 1301

N = 689

N = 697

N = 115

Positip Dipstick

Positip Dipstick

Positip Dipstick

Positip Dipstick

N = 1142

N = 508

N = 563

N = 40

Growth

Growth

Growth

Growth

N = 262

N = 118

N = 287

N = 16

Suspected colony

Suspected colony

Susected colony

Suspected colony

N = 202

N = 81

N = 233

N = 10

E. coli N = 163

E.coli N = 58

E. coli N = 193

E. coli N = 6

K. pneu N = 21

K. pneu N = 19

K. pneu N = 44

K. pneu N = 4

Lain lain N = 20

Lain lain N = 57

Lain lain N = 2

Gambar 2. Skrining dan Kuman penyebab ISK

Tabel 1. : Demographi
Outpatient N=1983

Inpatient N= 813

Total

Urology

Obs/Gyn

Catheter +

Catheter -

N = 1304

N = 689

N = 698

N = 115

n

%

n

%

wanita

530

40.6

675

pria

755

57.9

Missing

19

1.5

n

%

N = 2796

n

%

n

%

Sex

4

97.3

399

57.2

57

49,6

1661

59,1

2.2

299

42.8

58

50,4

1127

40,1

0.6

0

0.0

0

0.0

23

0,8

10.5

63

usia
18 - 24

47

3,6

73

9

19

16,5

202

7,2

25 - 34

149

11,4

384 55.3

91

13

21

18,3

645

22,9

35 - 44

227

17,4

165 23.8

108

15,5

22

19,1

522

18,6

45 - 54

354

27,2

55 7.9

179

25,6

30 26.1

618

22

55 - 64

308

23,6

10 1.4

141

20,2

17

476

16,9

65 ke atas

200

15,3

3 0.4

116

16,6

6 5.2

325

11,6

Missing

19

1,5

4 0.6

0 0.0

0 0.0

23

0,8

605 87.2

564 80.8

14,8

Diabetes
tidak
ya
Tidak tahu
Missing
Keganasa
n
tidak

1048 80.3
1.
12.6
4
61

2
4,7

31 2.4

240

3

110

85 12.2
2

157

15

0.3

9

2,2
1.3

106

92,1

2323

82,6

7

6,1

283

10,1

162

5,8

1

1 0.9
0,9

43

1,5

2396

85,3

95

564 81.3

520

74,5

72

62,6

19 2.7

163

23,5

39

33,9

Ya

23 1.8

Tidak tau

10

0,8

109 15.7

6 0.9

3 2.6

Missing
Obatobata
n
tidak

31

2,4

2 0.3

9 1.3

1

700 53.7

499 71.9

351 44.8

49

Ya

573 43.9

192 27.7

331 52.6

64 55.6

Tidak tau
Missing

1
31 2.4

244

8,9

128

4,6

0,9

34

1,2

42,6

1599

56,9

1160

41,3

0.1

7 1.2

1

0,9

9

0,3

2 0.3

9 1.4

1

0,9

43

1,5

Antibiotik
tidak

9

0,7

2

0,3

5

0,7

1

0,8

17

0,6

ya

92

Tidak tau

60

7,1

8

1,2

194

27,8

29

25,2

323

11,5

4,6

38

5,5

47

6,4

7

6,1

152

5,4

998

76,5

617

88,9

275

39,4

53

46,1

943

69,1

Rawat RS
tidak
ya

274

21

74

10,7

413

59,2

61

53

822

29,2

Tidak tau

1

0,1

1

0,1

1

0,1

0

0

3

0,1

missing

1

4

2

3

9

3

1

9

3

5

Berdasarkan data demografi (tabel 1. ) terlihat bahwa jumlah sampel pria dan wanita hampir sama. Sebahagian besar
pasien yang berobat ke poli urologi usia >= 45 tahun (66,1%) sedangkan pada kelompok obgyn terbanyak adalah kelompok

usia 25 – 34 tahun (55%). Pada pasien sangkaan ISK nosokomial kelompok usia terbanyak adalah 45-54 tahun (25,6%).
Penyakit penyerta yang diperhatikan adalah diabetes melitus (DM) dan malignansi. Pada kelompok urologi kasus DM
dijumpai pada 12,6 % dan pada obsgyn 0,3% sedangkan pada ISK nosokomial pemakain kateter 15,7% dan non kateter 6,1
%. Pasien malignansi dari urologi 1,8% dan obgyn 2,7 % sedangkan yang memakai kateter 23,5 % dan tanpa kateter
33,9%. Riwayat pemakaian obat dijumpai cukup tinggi pada semua kelompok, rerata 41,3% dengan rerata riwayat
pemakaian antibiotika 11,5 % dimana penggunaan tertinggi pada pasien nosokomial (penggunaan kateter 27,8% dan tanpa
kateter 25,2%). Pada kelompok nosokomial di dapati riwayat dirawat 3 bulan sebelumnya (53% -59%) dibandingkan
dengan pasien yang berasal dari komunitas (10%)

Tabel 2 : Hasil Kultur dan Resistensi

A
b
ak
amc
amp
caz
cip
cn
cro
cxm
etp
f
fep
lev
mem
sam
sxt
tgc
tzp
fos

Komunitas
Hospital
Urologi (184)
Obgyn (77)
Cat + (237)
Cat – (10)
K.pneu
K.pneu
K.pneu
K.pneu
E.coli
E.coli
E.coli
E.coli
moniae
moniae
moniae
moniae
163
0 21 0 58 3,4 19 0 193 15 44 16
6
0 4
163 49,5 21 57 58 36 19 42 193 84 44 72
6 17
4 75
163 85,8 21
58 85
193 100
6 67
163 58,3 21 71 58 43 19 53 193 90 44 93
6 50
4 100
163 68,7 21 81 58 48 19 22 193 89 44 82
6 50
4 50
163
38 21 48 58 39 19 16 193 63 44 59
6 100 4 75
163
62 21 81 58 43 19 47 193 92 44 93
6 33
4 100
163 71,8 21 91 58 62 19 68 193 93 44 93
6 50
4 100
163 12,3 21 14 58 3,5 19 0 193 32 44 32
6
0 4 75
163 14,7 21 81 58 16 19 63 193 32 44 66
6
0 4 100
163 53,4 21 71 58 35 19 32 193 88 44 89
6 33
4 100
163 66,3 21 81 58 41 19 16 193 88 44 64
6 50
4 25
163 5,5 21 0 58 1,7 19 0 193 4,6 44 23
6
0 4 25
163
65 21 91 58 47 19 47 193 91 44 73
6 33
4 100
163 56,4 21 91 58 54 19 58 193 75 44 86
6 33
4 75
163
4 21 71 58
0 19 75 193 2,4 44 55
6
0 4 40
163
24 21 76 58 16 19 22 193 59 44 61
6
0 4 25
163 0,9 21 6,7 58 7,3 19 0 193 1,4 44 18
6
0 4

Tabel 2. menunjukaan hasil kultur urine pasien ISK dan pola resistensinya terhadap bermacam antibiotika yang sering dipakai oleh
klinisi

Komunitas

Gambar 3: Tingkat Resistensi Antibiotika pasien ISK Komunitas
Keterangan :
ak=amikasin amc =amoksisilin klavunamat amp=ampisilin caz=ceftazidim cip=ciprofloksaci Cn=gentamisin
cro=ceftriakson cxm=cefuroksim etp=ertapenem f=nitrofurantoin fep=cefepim lev=levofloksacin mem=meropenem
sam=ampisilin sulbaktam sxt=sulfametoksazole tgc=tegasilin tzp=piperasilin tazobaktam f=fosfomycin

Nosokomial

Gambar 4: Tingkat Resistensi Antibiotika pasien ISK Nosokomial
Tabel 2. Memperlihatkan tingkat resistensi dibawah 20% hanya di dapati pada antibiotika : amikasin (0%),fosfomisin (0,9%),
tegasilin (4%), meropenem (5%), ertapenam (12%), nitrofurantoin (15%), sedangkan antibiotika : amoxisillin klavulanamat,
ampisillin, ceftazidime , ciprofloksasin ,gentamisin, ceftriaxone , cefuroxime , cefepime , levofloksasin, ampisillin sulbaktam ,

sulfametoksazole, piperasillin tazobactam angka resistensinya berkisar 24% - 85,8%. Resistensi terhadap K. pneumoniae lebih tinggi
bila dibandingkan dengan E. coli. Antibiotika yang memiliki resistensi di bawah 20% terhadap K. pneumoniae hanya didapat pada
meropenem , amikasin , fosfomisin dan ertapenam .
Kuman E. coli pada ISK pasien obsgyn (Gambar 3.), resistensi di bawah 20% terhadap antibiotika: tegasilin, meropenem, ertapenem,
amikasin,fosfomycin, nitrofurantoin dan piperasillin tazobactam sedangkan terhadap kuman K. pneumoniae antibiotika yang
resistensinya di bawah 20% adalah : amikasin, ertapenem, meropenem, fosfomisin dan gentamisin. Pola resistensi kuman E. coli pada
ISK nosokomial yang menggunakan kateter (Gambar 4.) terlihat bahwa angka resistensi di bawah 20% hanya di dapati pada
fosfomisin (1%), tegasilin (4%), meropenem (5%) , amikasin (14%), sedangkan terhadap K. Pneumoniae angka resistensi di bawah 20
% hanya dijumpai pada amikasin dan fosfomisin
Pada kelompok ISK nosokomial yang tidak menggunakan kateter (Gambar 4.) angka resistensi di bawah

20% terhadap E. coli

dijumpai pada: fosfomisin, amikasin, ertapenem, meropenem, piperasillin tazobactam, tegacylin dan nitrofurantoin dengan tingkat
resistensi , sedangkan angka resistensi dibawah 20% terhadap K. penumoniae hanya terhadap amikasin, ertapenem dan fosfomisin
dengan tingkat resistensi 0%.

PEMBAHASAN
Kuman penyebab ISK tersering adalah E. coli dan K. pneumonia (77% - 81%). Data ini tidak banyak berbeda dengan penelitian di
Eropa, Amerika, dan negara Asia lainnya.Guido dkk di German melaporkan bahwa E. coli merupakan kuman penyebab infeksi
tersering (72%).57 Suatu review terhadap ISK di Asia Pacific oleh Hsueh dkk (2011) mendapatkan 76,6% kuman penyebab ISK
adalah E.coli dan K. pneumoniae.50
Penelitian yang kami lakukan memperlihatkan pola resistensi kuman berdasarkan populasi based (gejala dan tanda infeksi serta
kuman penyebab infeksi) dan bukan berdasarkan laboratorium based (lebih kepada pola penyebaran kuman), sehingga hasil penelitian
ini dapat digunakan sebagai terapi empiris pada pasien ISK dengan jumlah isolat yang cukup banyak : 261 isolat pada kelompok
komunitas dan 247 pada kelompok ISK nosokomial , jauh lebih banyak dari angka minimal isolat yang biasa dilaporkan yaitu 30
isolat, misalnya Juliana Christyaningsih (2014) di Surabaya melaporkan 33 isolat pada pasien ISK
Secara umum dikatakan tingkat resistensi dibawah 20 % masih layak digunakan sebagai bagian dari terapi pengobatan
infeksi. Berdasarkan hasil penelitian yang kami dapatkan, untuk ISK komunitas yang berasal dari urologi maka antibiotika yang masih
bisa dipergunakan dengan tingkat resistensi dibawah 20 % terhadap E. coli adalah : amikasin ,meropenem , nitrofurantoin , fosfomisin
sedangkan ISK yang disebabkan K. pneumonia antibiotika dengan tingkat resistensi dibawah 20 % adalah : amikasin , meropenem ,
fosfomisin dan ertapenam
Hanya nitrofurantoin dan fosfomisin merupakan antibiotika oral dengan tingkat resistensi yang rendah. Bandingkan dengan
resistensi golongan fluoroquinolon dimana kita dapatkan angka resistensi terhadap ciprofloksasin 69%-81% , levofloksasin 66% 81%. Angka ini memperlihatkan bahwa selama ini antibiotika yang tersering dipakai berdasarkan pengamatan kami terhadap ISK
adalah golongan kuinolon yang ternyata angka resistensinya sangat tinggi. Hal ini disebabkan karena selama ini belum ada kami dapati
pola kuman dan tingkat resistensi yang dilaporkan dengan menggunakan studi populasi dan dengan jumlah sampel yang besar.
Penggunaan kuinolon juga sudah mulai bergeser untuk pengobatan ISK di negara negara maju.

Pada tahun 2013 guidelines yang dikeluarkan oleh the European Association of Urology (EAU) merekomendasikan TMP-SMX,
nitrofurantoin, fosfomisin trometamol dan pivmecilinam sebagai terapi empiris pada akut uncomplicated cystitis sebagai terapi yang
pertama dengan anggapan bahwa resistensi terhadap E.coli dibawah 20 % dan tidak menganjurkan pemberian fluoroquinolon.

58

Sedangkan sebelumnya di tahun 2009 guidelines EAU masih menganjurkan pemberian fluoroquinolones sebagai terapi pertama .59
Hal ini menunjukkan perlunya selalu dilakukan up-date terhadap data dan pola resistensi kuman dari waktu ke waktu secara teratur
dan pola resistensi kuman pada daerah yang berbeda memiliki pola kepekaan kuman yang berbeda dengan daerah lainnya untuk
digunakan sebagai acuan terapi empiris.
Penelitian yang diberi nama Study monitoring Antimicrobial Resistance Trends (SMART) merupakan studi terhadap kuman penyebab
ISK meliputi 179 sites selama 2 tahun (2009-2010) menunjukkan kuman penyebab ISK tersering adalah E. coli dan K. pneuomoniae
(55,1%). Angka ini lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian kami. SMART study memperlihatkan peningkatan resistensi
terhadap ISK nosocomial dan angka resistensinya lebih tinggi dibandingkan dengan infeksi pada komunitas. Antibiotika yang masih
baik digunakan sebagai terapi empiris adalah imipenem(99.6%) , ertapenem (99.1%)

piperasillin– tazobactam (93.4%), dan

ceftriaxone 80%. Sedangkan Ampisillin– sulbactam, levofloxacin, and ciprofloxacin angka sensitifitasnya di bawah 70% . 60
Berdasarkan data yang kami peroleh tingkat resistensi terhadap ceftriaxone di atas 50% (47-100%) menunjukkkan tingkat resistensi
yang sangat tinggi bahkan lebih tinggi dari rata rata angka resistensi negara Asia Pasific lainnya .Tingkat resistensi antibiotika yang
dibawah 20 % pada ISK nosokomial yang menggunakan kateter hanyalah amikasin, meropenemm, fosfomisin dan tegasilin sedangkan
ISK nosokomial tanpa kateter adalah adalah: amikasin, fosfomisin, amoksisilin klavunamat, ertapenem, meropenem dan nitrofurantoin
Tingginya

angka resistensi terhadap basil Gram negatif yang meluas diseluruh dunia membutuhkan pemahaman

tentang

pemberian antibiotika empiris yang sesuai dengan pola kuman dan tingkat resistensi di daerah masing masing .
Data resistensi ISK di Asia terhadap infeksi nosokomial periode 2004-2013 di dapati tingginya resistensi terhadap

ciprofloksasin

dan levofloksasin berturut turut 54.9% dan 39.0% terhadap sepalosporin 42% , imipenem dan meropenem tingkat resistensinya
bertuturut turut 24.9% and 11.3%. Data yang kami dapat di Medan menunjukkan tingkat resistensi yang sangat tinggi terhadap
golongan kuinolon dan sepalosporin generasi ke tiga lebih tinggi dari angka resistensi di Asia. Pemahaman dan ketersediaan data
terhadap pola resistensi ISK secara lokal dan regional dibutuhkan untuk dapat memberikan antibiotika yang tepat .61
Niranjan, India , tahun 2013 melaporkan dari 119 isolat E. coli didapati 91 (76,5% ) adalah MDR dengan tingkat resistensi
Ampisillin (88.4%), amoxisillin-klavulanic acid (74.4%), norfloxacin (74.2%), cefuroxime (72.2%), ceftriaxone (71.4%) dan cotrimoxazole (64.2%). Antibiotika yang masih sensitif

adalah amikasin (82,6%), piperasillin-tazobactum (78.2%), nitrofurantoin

62

(82.1%) dan imipenem (98.9%). Penelitian yang dilakukan di Laboratorium RS Surabaya pada tahun 2013 terhadap 33 isolat E. coli
pada pasien ISK di dapatkan resistensi terhadap E.coli: trimethoprim-sulfametoxazole (81.3%) dan ciprofloksasin (76.5%), sedangkan
sensitivitas yang tinggi didapatkan pada fosfomycin, meropenem (100%) dan (92.6%). 63 Perbedaan dengan data yang kami dapatkan
di Medan dapat disebabkan karena jumlah sampel yang jauh lebih banyak. Sementara itu, untuk mencapai hasil yang lebih banyak
supaya layak digunakan sebagai dasar untuk terapi empiris tentunya membutuhkan waktu yang lebih lama, biaya dan harus selalu di
perbaharui. Gufran , India (2015) melaporkan bahwa penyebab ISK nosokomial yang tersering adalah akibat pemasangan kateter urin.
Dari 233 isolat yang didapat dijumpai 84,37% terjadi multidrug resistant terhadap E. coli dimana tingkat resistensi berturut turut adalah
Ampisillin (91.66%), ciprofloksasin (75%), cotrimoxazole (71.87%), cefuroxime (82.29%), cefotaxime (79.16%), cefepime (67.7%)

and Amoxisillin klavulamat (63.54%) sedangkan terhadap

imipenem (0%), meropenem(0%),(5.2%) Piperasillin-tazobactam

64

(15.62%), dan nitrofurantoin (26.04%) .

Penelitian di Taiwan terhadap 416 isolat E. coli 19 (4.6%) adalah ESBL. Diantara antibiotika yang di test, imipenem dan sangat
efektif (100%). Beberapa golongan antibiotika yang kurang efektif adalah : trimethoprim-sulfamethoxazole (TMP-SMX) resitensi
51%), Ampisillin (70% resisten ) dan Ampisillin sulbaktam 56% resisten . 65
Nitrofurantoin memperlihatkan aktifitas yang sangat baik terhadap kuman uropathogen dengn tingkat resistensi dibawah 10 % di
India.38 Penelitian di China memperlihatkan fosfomycin tromethamine sensitf terhadap E coli, dengan tingkat resistensi 0% dan 4.3%
terhadap K. pneumoniae66.
Pada penelitian ini, kami mendapatkan penggunaaan fosfomisin masih sangat baik terhadap ISK komunitas dan nosokomial.
Pada ISK yang berasal dari urologi tingkat resistensi fosfomisin terhadap E. coli dan K. pneumonia berturut turut adalah 0,9% dan
6,7%. Terhadap kuman E. coli pada ISK, fosfomisin merupakan antibiotika pilihan dengan tingkat resistensi yang terendah bahkan
bila

dibandingkan dengan

dan meropenem sekalipun, sedangkan dengan kuman penyebab K. pneumoniae, tingkat resistensi

fosfomisin terendah setelah antibiotika golongan penem . Pada ISK yang berasal dari obgyn terhadap E.coli dan K. pneumonia
resistensi terhadap fosfomisin adalah 7,3% dan 0%. Pada ISK nosokomial yang menggunakan kateter tingkat resistensi fosfomisin
terhadap E.coli dan K. pneumoniaee adalah 1% dan 18% sedangkan ISK nosokomial tanpa kateter tingkat resistensi fosfomycin 0% .
Permasalahan yang kita jumpai dalam praktek sehari hari adalah fosfomisin tidak termasuk dalam daftar obat formularium nasional.
Nitrofurantoin merupakan antibiotika sintetik yang berumur lebih dari 50 tahun. Di banyak negara tetap menjadi obat pilihan untuk
uncomplicated ISK. Dengan meningkatnya angka resistensi kuman penyebab ISK banyak peneliti menggunakan antibiotika
nitrofurantoin untuk pengobatan ISK dengan resisten banyak obat (MDR). Sekarang ini Nitrofurantoin juga digunakan terhadap
pengobatan vancomycin-resistant enterococci (VRE) pada pasien ISK nosokomial akibat penggunaan kateter .68 Nitrofurantoin dapat
melawan kuman baik vancomycin-sensitive enterococci (VSE) dan kuman E. coli penyebab ISK .69,70Aktivitas nitofurantoin terhadap
kuman penghasil ESBL

E. coli

sebesar

99, dibandingkan dengan trimethoprim/sulfamethoxazole (29%) atau ciprofloksasin

(24.2%).71 Akan tetapi nitrofurantoin kurang efektif melawan kuman Enterobacter spp. (63%) dan tidak mempunyai efek terhadap
Proteus spp. Atau P. aeruginosa.72
Sekarang ini untuk infeksi ISK yang uncomplicated misalnya sistitis kebanyakan peneliti tidak menganjurkan untuk
dilakukan kultur sehingga antibiotika yang diberikan sebagian besar adalah antibiotika empiris saja yang didasarkan atas data
nasional ataupun internasional sehingga diperlukan data sensitifitas terhadap nitrofurantoin .73,74
Data penelitian di Eropa yaitu Antimicrobial Resistance Epidemiology Survey on Cystitis (ARESC) memperlihatkan bahwa
antibiotika seperti cotrimoxazol, fluoroquinolones atau aminopenisilins memperlihatkan angka resistensi yang tinggi dan antibiotika
ideal yang dianjurkan adalah yang memiliki sensitifitas yang tinggi yaitu : fosfomisin tromethamine dan nitrofurantoin . 475,76
Peningkatan AMR yang terus berlangsung terhadap kuman pathogen diseluruh dunia membutuhkan perhatian yang serius
karena penyebarannya yang tidak lagi tergantung pada daerah geografis. Prevalensi infeksi nosokomial merupakan parameter yang
sangat penting dan harus secara rutin dimonitor. Mengurangi resiko kejadian dan prevalensi infeksi nosokomial merupkan prioritas
utama dalam sistem kesehatan yang secara lokal dan internasional yang harus dimonitor dengan hati hati.77
ISK nosokomial merupakan infeksi nosokomial yang tersering . Di USA berkisar 12,9%.78

Data dari European point prevalence survey yang dilakukan oleh European Center for Disease Prevention and Control (ECDC), ISK
nosokomial merupakan 19.0% dari seluruh kejadian infeksi nosokomial .79
Tahun 2004 suatu study yang besar meliputi Eropa dan Asia terhadap ISK di bidang urologi yang dinamakan Pan EuroAsian
Prevalence (PEAP) study. Sejak tahun 2005 , study ini terus berlanjut diseluruh dunia yang dikenal dengan nama the Global
Prevalence of Infections in Urology (GPIU) , memperlihatkan ISK nosokomial 11% pada tahun 2003 dan pada tahun 2004 yang
tersering adalah bakteriuria 29% dan urosepsis 12%. 80
Sekarang ini angka kejadian urosepsis meningkat secara tajam dalam tahun terakhir ini dan kondisi ini sangat mengkhawatirkan
karena meningkatkan angka kematian sehingga perlu kewaspadaan terhadap kejadian ISK nosokomial . Data terakhir dari urologi
menyatakan bahwa 25% dari ISK nosokomial akan berlanjut menjadi urosepsis. 81`
Data study PEAP melaporkan bahwa 56% pasien yang dirawat karena masalah urologi mendapatkan antibiotika dimana 46%
diantaranya mendapatkan antibiotika sebagai profilaksis , dan hanya 26% yang terbukti dijumpai kuman secara mikrobiologi yang
terbukti sebagai ISK . Antibiotika yang paling sering dipergunakan adalah antibiotika dengan spektrum yang luas seperti
fluoroquinolones (35%), cephalosporins (27%) dan golongan penicillin 16%. 82
Penelitian yang dilakukan terhadap 27.542 pasien diseluruh dunia menunjukkan bahwa penggunaan antibiotika secara rutin
untuk profilaksis terhadap seluruh prosedur urologi paling tinggi di Asia, Afrika dan Amerika Latin bertururt turut: 86%, 85% and
84%, diikuti Eropa 67%. Pemberian antibiotika tidak sesuai dengan guideline. 83
Resistensi terhadap antibiotika golongan carbapenem secara rata rata 10% di semua wilayah dan tertinggi dijumpai pada daerah Asia.
Banyak penelitian yang menyatakan ada hubungan yang erat antara peningkatan resistensi antibotika dengan pemakaian antibiotika
spektrum luas dan dapat meningkatkan terjadinya resistensi kolateral yang menimbulkan terjadinya multi drug resistance. Salah satu
upaya yang dapat dilakukan adalah

memperbaiki pemberian

antibiotika

profilkasis dan tidak memberi antibiotika pada ISK

asimptomatik.Untuk memnghambat terjadinya AMR diperlukan pengembangan dan implemantasi dari antimicrobial stewardship dan
pemberian obat golongan non antibiotika untuk infeksi yang ringan .85
Ikatan Ahli Urologi Indonesia membuat suatu Panduan Penatalaksanaan Infeksi Saluran Kemih dan Genitalia Pria dimana
panduan ini merujuk panduan yang sudah dibuat oleh EAU (European Association of Urology) dan di Indonesia belum pernah
dilakukan penilaian mengenai pola kuman dan resistensi untuk ISK. Berdasarkan data yang di dapat dari beberapa laboratorium di
Indonesia pada tahun 2002 – 2004 didapatkan hanya nitrofurantoin antibiotika oral dengan kepekaan 76 % , ciprofloksacin 52%,
cefixime 64 % sedangkan untuk obat parenteral karbapenam 82%dan cefoperazone80 %. Akan tetapi data tersebut diambil dari hasil
kultur laboratorium tanpa melihat tanda dan gerjala ISK. Salah satu kekuatan dari penelitian kami adalah tidak adanya bias dalam
pemilihan pasien baik pada kelompok komunitas maupun nosokomial, dibandingkan dengan penelitian yang bedarsarkan

data

laboratorium. Penelitian berdasarkan laboratorium sering menimbulkan resiko bias dalam hal seleksi sampel dan pengiriman
spesimen ke laboratorium untuk kultur dan uji. Satu satunya kemungkinan adanya bias dalam penelitian kami adalah saat , pasien
didekati untuk disaring. Karena banyaknya jumlah

pasien di beberapa klinik yang berpartisipasi, tidak semua pasien yang hadir

disaring. Seorang pasien bisa didatangi hanya setelah perawat pembantu penelitian telah menyelesaikan prosedur penelitian dengan
pasien sebelumnya. Namun terjadinya bias yang sitematis pada penelitan ini tidak mungkin terjadi karena perawat pembantu penelitian
tidak mengendalikan aliran pasien di klinik. Banyaknya jumlah pasien yang memenuhi syarat dan setuju untuk berpartisipasi dan

memberikan sampel urin mengurangi risiko bias seleksi.

KESIMPULAN DAN SARA
Kesimpulan
Tingginya prevalensi resistensi terhadap antibiotika yang selama ini sering diberikan sebagai terapi empiris terhadap E. coli dan K.
pneumoniae pada pasien ISK komunitas dan nosokomial. Tidak banyak pilihan antibiotika oral saat ini untuk pengobatan empiris
ISK.Angka resistensi antibiotika pasien ISK di Medan lebih tinggi dibandingka dengan angka resistensi negara negara

Asia.

Fosfomisin dan nitrofurantoin merupakan antibiotika oral yang resistensinya masih rendah.
Saran
Dibutuhkan pemikiran dan ide yang cerdas untuk adanya suatu metode survey yang cepat dan bisa sering dilakukan dalam upaya
memonitor prevalensi resistensi antibiotika pada negara yang berpanghasilan rendah sehingga penggunaan antibiotika empiris sebagai
guideline dapat terus diperbaharui . Studi ini jelas menunjukkan adanya kebutuhan mendesak secara nyata terhadap kebijakan untuk
mengurangi resistensi antibiotika di Indonesia. Penelitian serupa di negara-negara lain di satu kawasan ataupun wilayah yang berbeda
diperlukan untuk sepenuhnya memahami tingkat dan urgensi resistensi antibiotika, tidak hanya di rumah sakit tetapi juga di
masyarakat.
Ucapan Terima Kasih
Kami berterima kasih kepada semua dokter yang berpartisipasi dalam studi ini

DAFTAR PUSTAKA

1.

WHO | Antimicrobial resistance: global report on surveillance 2014 [Internet]. WHO [cited 2016 Mar 29]. Available from:
http://www.who.int/drugresistance/documents/surveillancereport/en

2.

Akram M, Shahid M & Khan AU. Etiology and antibiotic resistance patterns of komunitas acquired urinary tract infections
in JNMC Hospital, Aligarh, India. Ann Clin Microbiol Antimicrob. 2007;6:6-11.

3.

Sharma I, Paul D. Prevalence of community acquired urinary tract infections in silchar medical college, Assam, India and its
antimicrobial susceptibility profile. Indian J Med Sci. 2012;66(11–12):273–9.

4.

Melaku S, Kibret M, Abera B, Gebre-Sellassie S. Antibiogram of nosokomial urinary tract infections in Felege Hiwot
referral hospital, Ethiopia. Afr Health Sci. 2012;12(2):134–9.

5.

Talan DAS, W.E.; Hooton, T.M.; Moran, G.J.; Burke, T.; Iravani, A.; Reuning-Scherer, J.; Church D.A., Nisel Yılmaz NA,
Arzu Bayram, Pınar Şamlıoğlu, M