Pola Resistensi Antimikroba pada Infeksi Saluran Kemih yang disebabkan Bakteri Penghasil ESBL dan Non-ESBL
POLA RESISTENSI ANTIMIKROBA PADA INFEKSI SALURAN
KEMIH YANG DISEBABKAN OLEH BAKTERI PENGHASIL
ESBL DAN NON-ESBL
TESIS
LINDAYANTI
097111001 / PK
PROGRAM MAGISTER KLINIK - SPESIALIS ILMU PATOLOGI
KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
(2)
POLA RESISTENSI ANTIMIKROBA PADA INFEKSI SALURAN
KEMIH YANG DISEBABKAN OLEH BAKTERI PENGHASIL
ESBL DAN NON-ESBL
T E S I S
Untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik di Bidang
Ilmu Patologi Klinik / M. Ked (Clin.Path) pada Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
LINDAYANTI
097111001 / PK
PROGRAM MAGISTER KLINIK - SPESIALIS ILMU PATOLOGI
KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA / RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
2014
(3)
Judul Tesis : Pola Resistensi Antimikroba pada Infeksi Saluran Kemih yang disebabkan Bakteri Penghasil ESBL dan Non-ESBL
Nama Mahasiswa : Lindayanti
Nomor Induk Mahasiswa : 097111001
Program Magister : Magister Kedokteran Klinik
Konsentrasi : Patologi Klinik
Menyetujui Komisi Pembimbing
Pembimbing I
Dr. Muzahar, DMM, SpPK-K
Pembimbing II
Dr. Abdurrahim Rasyid Lubis, SpPD-KGH
Disahkan oleh :
Ketua Departemen Patologi Klinik Ketua Program Studi Departemen FK-USU/RSUP H. Adam Malik Patologi Klinik FK-USU/
Medan RSUP H. Adam Malik Medan
Prof. dr. Adi Koesoema Aman, Sp.PK-KH
NIP. 19491011 1979 01 1 001 NIP. 1948711 1979 03 2 001
(4)
Telah diuji pada
Tanggal : 18 September 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. dr. Adi Koesoema Aman, Sp. PK-KH ... Anggota : 1. Prof. DR. dr. Ratna Akbari Ganie, Sp.PK-KH ... 2. Prof. Herman Hariman, Ph.D, Sp. PK-KH ... 3. Prof.dr.Burhanuddin Nasution, SpPK-KN ……….………….. 4. dr. Ricke Loesnihari, MKed (ClinPath), Sp.PK-K ... 5. dr. Muzahar, DMM, SpPK-K ………. 6. dr. Abdurrahim Rasyid Lubis, SpPD-KGH ……….
(5)
UCAPAN TERIMA KASIH
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur kehadirat Alah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta atas ridha-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul Pola Resistensi
Antimikroba pada Infeksi Saluran Kemih yang disebabkan oleh Bakteri Penghasil ESBL dan Non-ESBL. Tesis ini disusun untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir pendidikan Magister Kedokteran Klinik di bidang Ilmu Patologi Klinik pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Selama penulis mengikuti pendidikan dan proses penyelesaian penelitian untuk karya tulis ini, penulis telah banyak mendapat bimbingan, petunjuk, bantuan dan pengarahan serta dorongan baik moril dan materil dari berbagai pihak sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan dan karya tulis ini
Penulis menyadari penelitian dan penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada : 1. Yth, Prof. Dr. Adi Koesoema Aman, SpPK-KH, FISH sebagai Ketua
Departemen Patologi Klinik dimana beliau telah memberikan kesempatan kepada saya sebagai peserta Program Pendidikan Magister dan Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan telah banyak memberikan bimbingan, petunjuk, dan pengarahan kepada saya selama mengikuti pendidikan dan dalam melaksanakan penelitian ini sampai selesai, hanya doa yang dapat saya berikan semoga
(6)
kiranya Allah SWT memberikan kesehatan dan membalas kebaikan beliau serta keluarga dengan surga-Nya.
2. Yth, Prof. DR. Dr. Ratna Akbari Ganie, SpPK-KH, FISH sebagai Ketua Program Studi di Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang memberikan kesempatan kepada saya sebagai peserta Program Magister dan Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik serta beliau juga telah banyak membimbing, mengarahkan dan memotivasi saya sejak awal pendidikan sampai selesai..
3. Yth, Prof. Dr. Herman Hariman, PhD, SpPK-KH, FISH, selaku Sekretaris Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang memberikan bimbingan, pengarahan dan masukan selama saya mulai pendidikan sampai menyelesaikan penulisan tesis ini.
4. Yth, Dr. Ricke Loesnihari, Mked (Clin-Path), SpPK-K, selaku Sekretaris Program Studi di Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak membimbing, mengarahkan dan memotivasi sejak awal pendidikan dan menyelesaikannya.
5. Yth, Dr. Muzahar, DMM, SpPK-K, sebagai pembimbing I saya yang telah bersusah payah setiap saat bersedia meluangkan waktu dan pikirannya dalam memberikan bimbingan, petunjuk serta pengarahan, bantuan dan memberikan motivasi kepada saya selama menempuh pendidikan dan selama proses penyusunan sampai terselesaikannya tesis ini. Saya mengucapkan terima kasih, semoga Allah SWT membalas semua kebaikannya.
6. Yth, Dr. Abdurrahim Rasyid Lubis, SpPD-KGH sebagai pembimbing II dari Departmen Ilmu Penyakit Dalam FK-USU/RSUP H. Adam Malik Medan, yang sudah memberikan banyak bimbingan, petunjuk, pengarahan dan bantuan mulai dari penyusunan proposal, selama dilaksanakan penelitian sampai selesainya tesis ini.
(7)
7. Yth, Prof. Dr. Burhanuddin Nasution, SpPK-KN, FISH, yang banyak memberikan bimbingan dan pengarahan selama pendidikan dan menyelesaikan penulisan tesis ini.
8. Yth, Prof. Iman Sukiman (Alm), SpPK-KH, FISH, Dr. R. Ardjuna M. Burhan, DMM, SpPK-K, Dr. Zulfikar Lubis, SpPK-K, Dr. Tapisari Tambunan, SpPK-KH, Dr. Ozar Sanuddin SpPK-K, dan Dr Nelly Elfrida SpPK, Dr. Ida Adhayanti, SpPK, semuanya guru-guru saya yang telah banyak memberikan petunjuk, arahan selama saya mengikuti pendidikan Spesialis Patologi Klinik dan selama penyelesaian tesis ini. Hormat dan terimakasih saya ucapkan kepada Ibu Eliana Ginting, Yanti dan Yoyok, yang banyak membantu dalam urusan administrasi dibagian Patologi Klinik.
9. Yth, Dr. Arlinda Sari Wahyuni, MKes, yang telah memberikan bimbingan, arahan dan bimbingan di bidang statistik selama saya memulai penelitian sampai selesainya tesis saya, terimakasih banyak saya ucapkan.
Ucapan terimakasih juga saya ucapkan kepada seluruh teman-teman sejawat Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Khususnya kepada sahabat-sahabatku dr. Tut Wuri Handayani, dr. Fernando F. Tampubolon, dr. Budi D. Sembiring, dr. Yasmine Mashabi, dr. Rosmadewi, dr. Malayana Nasution, dr. Nuryanti, dr. Nindia Sugih Arto , dr. Dyna Meryta Amoryna dan teman-teman group sero lainnya, terima kasih atas dukungannya serta masa-masa indah yang pernah kita jalani bersama. 10. Terima kasih kepada para analis di instalasi Patologi Klinik, terutama
Kak Masri dan Nancy. Kepada para pegawai, serta semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, atas bantuan dan kerja sama yang diberikan kepada saya, sejak mulai pendidikan dan selesainya tesis ini.
11. Hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Dekan
(8)
Universitas Sumatera Utara dan Direktur Rumah Sakit umum Pusat H. Adam Malik yang telah memberikan kesempatan dan menerima saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan memberikan kemudahan dalam menggunakan fasilitas dan sarana Rumah Sakit dalam menunjang pendidikan keahlian.
12. Hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak
Walikota Batam dan Bapak Kepala Dinas Kesehatan Kota Batam
yang telah memberikan izin tugas belajar kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
13. Terimakasih yang tak terhingga kepada om dan tanteku tercinta
dr.Chalikuddin Aman-Datuk/dr.Yusna Yusuf (Almh), dr.Chairul Bariah Aman, Ramli J. Marpaung, SH, MHum/Chairussohbatiah Aman, SH , Prof. DR. Zainuddin, ST, MPd/Chairul Yaumiah Aman, SE dan Drs. Chairuddin Aman/Dra. Ainal Hanum serta semua abang dan adik-adik sepupuku yang senantiasa memberikan bantuan moril dan materil, dukungan, doa dan motivasi kepada saya selama menjalani pendidikan.
14. Terimakasih serta cinta yang tak terhingga saya sampaikan kepada ayahanda H. Kasyadi dan ibunda Hj. Chalilatul Afdiah Aman, BA (Almh) yang telah membesarkan, mendidik serta memberikan dorongan moril dan materil serta cintanya kepada ananda selama ini. Tanpa beliau berdua mungkin ananda tidak dapat menjadi seperti ini. Tidak ada satu kata pun yang dapat mewakili perasaan ananda atas cinta dan kasih sayang kalian berdua. Semoga kalian berdua selalu dalam lindungan Allah SWT. Selain itu terima kasih juga saya ucapkan untuk mertua saya H. M. J. Manurung dan Hj. Nismawati Lubis (Almh) terima kasih atas dukungannya selama saya menjalani pendidikan.
(9)
15. Terimakasih yang tiada terhingga saya sampaikan kepada suami saya
tercinta Rahmat Manurung, SIP yang telah mendampingi saya
dengan penuh pengertian, perhatian, kesetiaan, kesabaran, memberikan motivasi dan pengorbanan selama saya mengikuti pendidikan sampai saya dapat menyelesaikan pendidikan ini.
16. Begitu juga ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada abang saya, Liandi Dedi Asmara, ST dan keluarga, adik saya Lisnayanti, SPd dan keluarga. Kakak-kakak ipar saya, Pasti Islamiati, SKM dan
keluarga, Pita Marti, SH, MHum dan keluarga, Dr. Indawati
Manurung, MKes dan keluarga yang memberikan dorongan kepada saya selama masa pendidikan.
Sebagai manusia hamba Allah SWT, saya menyadari akan keterbatasan dan kekurangan serta tidak terlepas dari tutur kata dan tingkah laku yang kurang berkenan di hati, maka pada kesempatan ini saya mohon maaf yang sedalam-dalamnya.
Akhir kata semoga kiranya tesis ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. Dan semoga Allah Swt memberkati kita semua. Amin Ya Rabbal Allamin.
Medan, Oktober 2014
Penulis,
(10)
DAFTAR ISI
Halaman
Lembar Pengesahan Tesis ………... i
Lembar Penetapan Panitia Penguji ………. ii
Ucapan Terima Kasih ………. iii
Daftar Isi ……….. viii
Daftar Tabel ………...………... xiii
Daftar Gambar ………... xv
Daftar Lampiran …. ..……….... xvi
Daftar Singkatan …...………. xvii
Abstrak ... xx
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian ……… 1
1.2. Perumusan Masalah ……….. 5
1.3. Hipotesa Penelitian ………. 5
1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umun ………. 5
1.4.2. Tujuan Khusus ……….. 5
1.5. Manfaat Penelitian ………...………. 6
BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Infeksi Saluran Kemih (ISK) 2.1.1. Definisi ……….………. 8 2.1.2. Klasifikasi
(11)
2.1.2.1. Anatomi ……….………. 9
2.1.2.2. Klinis ……… 10
2.1.3. Epidemiologi ……….. 11
2.1.4. Etiologi ……… 13
2.1.5. Patogenese 2.1.5.1.Peran Patogenisitas Bakteri ……….. 14
2.1.5.2.Peran Faktor Tuan Rumah (Host) ……….. 16
2.1.6. Patofisiologi ……… 18
2.1.7. Gejala Klinis ………. 21
2.1.8. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium ……… 22
2.1.8.1.Urinalisis ……… 23
2.1.8.2.Bakteriologi ………. 24
2.1.8.3.Test Kimiawi ……… 26
2.1.9. Penatalaksanaan 2.1.9.1. ISK Bawah ……….. 27
2.1.9.2. ISK Atas ………... 28
2.1.10.Pencegahan ……….. 30
2.1.11 Kerangka Teori ………. 31
2.2. Extended-Spectrum Beta-Lactamase (ESBL) 2.2.1. Definisi ……… 32
2.2.2. β-Lactamase ……….. 34
2.2.3. Klasifikasi β-Lactamase ……… 35
(12)
2.2.4.1. SHV β-Lactamases (Class A) ………... 41
2.2.4.2. TEM β-Lactamases (Class A) ………... 42
2.2.4.3. CTX β-Lactamases (Class A) ……….... 42
2.2.4.4. OXA β-Lactamases (Class D) ………... 43
2.2.4.5. PER-Type ESBL ………. 44
2.2.4.6. Type Tambahan ESBL ……….. 45
2.2.4.7. AmpC-Type β-Lactamases (Class C) ……….. 45
2.2.5. Hal yang Diperhatikan dalam Deteksi ESBL ……… 46
2.2.6. Metode Pemeriksaan Bakteri Penghasil ESBL 2.2.6.1. Disc Diffusion Testing ……… 48
2.2.6.2. Metoda MIC ……… 50
2.2.6.3. Disc Approximation / Double Disc Method / Double Disc Synergy Test ……… 50
2.2.6.4. Molecular Testing ……….. 52
2.2.6.5. Broth Microdilution ……… 53
2.2.7. Terapi Infeksi akibat Bakteri Penghasil ESBL ……… 54
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian ………. 55
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ……… 55
3.3. Populasi dan Subyek Penelitian 3.3.1. Populasi Penelitian ……….. 55
3.3.2. Subyek Penelitian ………. 56
(13)
3.3.4. Kriteria Eksklusi ………. 56
3.4. Perkiraan Besar Sampel ……….. 56
3.5. Bahan dan Cara Kerja 3.5.1. Pengambilan dan Pengolahan Sampel 3.5.1.1. Pengambilan Sampel ………. 57
3.5.1.2. Pengolahan Sampel ………... 59
3.5.2. Pemeriksaan Laboratorium 3.5.2.1. Pemeriksaan Urinalisa ……… 60
3.5.2.2. Pewarnaan Gram ……… 63
3.5.2.3. Pemeriksaan Kultur Urin ………... 64
3.5.2.4. Prosedur Kerja API 20E ………. 71
3.5.2.5. Pemeriksaan Double Disk Sinergy Test ……. 73
3.5.2.6. Uji Kepekaan ………74
3.5.3. Pemantapan Kualitas ……… 78
3.6. Ethical Clearance and Informed Concent ………. 80
3.7. Analisa Data ……….……….. 81
3.8. Batasan Operasional ……….………..………. 81
3.9. Kerangka Operasional ……… 83
BAB 4 HASIL PENELITIAN ……….. 84
BAB 5 PEMBAHASAN ……….. 94
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ……….. 99
(14)
BAB 7 RINGKASAN ……… 101
DAFTAR PUSTAKA ……… 110
LAMPIRAN ……… 118
(15)
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Faktor predisposisi (Pencetus) ISK ……… 11
Tabel 2.2. Epidemiologi ISK menurut Usia & Jenis Kelamin …… 12 Tabel 2.3. Famili, Genus & Spesies mikroorganisme (MO)
Yang paling sering sebagai penyebab ISK ………….. 14 Tabel 2.4. Faktor-faktor yang meningkatkan kepekaan
Terhadap ISK ………..….. 18
Tabel 2.5. Indikasi Rawat Inap pasien dengan PNA ……… 28
Tabel 2.6. Jenis dan Lama Pemberian Antibiotik yang
Direkomendasikan berdasarkan Type Isk ……… 30
Tabel 2.7. Klasifikasi The Bush Jacoby Medieros ……… 40
Tabel 2.8. MIC and Inhibitor Zone Criteria for The Detection
Of ESBLs in K. pneumonia and E. coli ……… 49 Tabel 2.9. Daftar Antibiotik yang direkomendasikan untuk
Menangani Bakteri Penghasil ESBL ……… 54 Tabel 3.1. Interpretasi Ukuran Zona untuk bakteri yang
Cepat tumbuh menggunakan teknik Kirby-Bauer
Dimodifikasi ……… 77 Tabel 4.1. Karakteristik pasien infeksi saluran kemih ... 84
Tabel 4.2. Profil mikroorganisme penyebab ISK ……….. 86
Tabel 4.3. Perbandingan jenis kelamin dan umur pada
(16)
Tabel 4.4. Profil kuman pada kultur urin pasien ISK yang
disebabkan bakteri ESBL dan Non-ESBL ... 88 Tabel 4.5. Pola resistensi antimikroba pada Esherichia coli
penghasil ESBL dan Non-ESBL ... 89 Tabel 4.6. Pola resistensi antimikroba pada Klebsiella
pneumoniae penghasil ESBL dan Non-ESBL ... 90 Tabel 4.7. Pola Resistensi Antimikroba pada ESBL dan
(17)
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1. Masuknya Kuman secara Ascending
Ke dalam Saluran Kemih ……… 20
Gambar 2.2. Leukosuria ……… 24
Gambar 2.3. Biakan Bakteri ……….. 25
Gambar 2.4. Kerangka Teori ………. 31
Gambar 2.5. ESBL positive Result by Double Disc Synergy Test ……… 52
Gambar 3.1. Stik Combur 10 Gambar 3.2. CLED Agar ……… 65
Test ………. 62
Gambar 3.3. Zona Hemolisa pada Media Blood Agar ……….. 68
Gambar 3.4. Hasil Test Katalase ………. 68
Gambar 3.5. Hasil Test MSA ……… 69
Gambar 3.6. Hasil Test Koagulase ………. 71
Gambar 3.7. Hasil Test Biokimia API 20E ………. 73
Gambar 3.8. Double Disc Synergy Test ………. 74
Gambar 3.9. Uji Kepekaan pada Media Muller Hinton Agar …….. 77
Gambar 3.10.Kerangka Operasional Penelitian ………. 83
Gambar 4.1. Pertumbuhan mikroorganisme pada kultur urin pasien ISK ………. 85
Gambar 4.2. Perbandingan kuman gram positif dengan gram negatif pada kelompok ESBL dan Non-ESBL ... 87
(18)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1 Lembar Penjelasan kepada
Calon Subjek Penelitian ………. 118
Lampiran 2 Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan ……... 119
Lampiran 3 Status Pasien ……… 120
Lampiran 4 Health Research Ethical Committee ………. 121
Lampiran 5 Pemantapan kualitas pemeriksaan urinalisa Cobas U411 (control positif) ……….. 122
Lampiran 6 Pemantapan kualitas pemeriksaan urinalisa Cobas U411 (control negatif) ………..123
Lampiran 7 Pemantapan kualitas pewarnaan gram ……… 124
Lampiran 8 Pemantapan kualitas media ……….. 125
Lampiran 9 Pemantapan disc antibiotik ………. 127
Lampiran 10 Pemantapan kualitas identifikasi ESBL ………… 128
(19)
DAFTAR SINGKATAN
ISK : Infeksi Saluran Kemih
ESBL : Extended-Spectrum Beta-Lactamase
LOS : Length of Stay
MO : Mikroorganisme
LPS : Lipopolisakarida
CNF : Cytotoxic Necrotizing Factor
PAIS : Pathogenicity Island
GGT : Gagal Ginjal Terminal
PNA : Pielonefritis Akut
SUA : Sindroma Uretra Akut
CFU : Colony Formating Unit
LPB : Lapangan Pandang Besar
MSU : Midstream Urine
IV : Intravena
MDR : Multidrug Resistance
SHV : Sulfhydril Variable
TEM : Temoneira
CTX : Cefotaxime
OXA : Oxacilin
TKA : Test Kepekaan Antibiotik
(20)
CLSI : Clinical and Laboratory Standards Institute
CLED : Cystine Lactose Electrolyte Deficient
MSA : Mannitor Salt Agar
CIT : Citrate
VP : Voges Proskauer
GEL : Gelatinase
ADH : Arginine Dihydrolase
ODC : Ornithine Decarboxylase
URE : Urease
SOP : Standard Operational Prosedure
FK USU : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat
TAP : Tidak Ada Pertumbuhan
DKK : Dan Kawan-kawan
ATCC : American Type Culture Collection
AMC : Amoxicillin Clavulanic Acid
AM : Ampicillin
TZP : Piperacillin/tazobactam
CXM : Ceforoxime
CTX : Cefotaxime
CAZ : Ceftazidime
CRO : Ceftriaxone
(21)
IMP : Imipenem
MEM : Meropenem
AN : Amikasin
GM : Gentamycin
ATM : Aztreonam
TE : Tetracyclin
CIP : Ciprofloxacin
SXT : Trimethoprim / Sulfamethoxazol
(22)
POLA RESISTENSI ANTIMIKROBA PADA INFEKSI SALURAN KEMIH YANG
DISEBABKAN OLEH BAKTERI PENGHASIL ESBL DAN NON-ESBL Lindayanti1, Muzahar1, Abdurrahim Rasyid Lubis2
1Departemen Patologi Klinik
2 Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Nefrologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan
ABSTRAK
Latar belakang : Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan penyakit infeksi yang paling sering terjadi dan menempati urutan kedua setelah infeksi saluran nafas, dimana antimikroba merupakan terapi lini pertamanya. Banyak penderita yang tidak membaik setelah pengobatan dikarenakan timbulnya resistensi bakteri terhadap jenis antimikroba tertentu dan juga ditemukannya bakteri penghasil Extended-Spectrum Beta-Lactamase (ESBL).
Tujuan: Mengetahui perbedaan pola resistensi antimikroba pada infeksi saluran kemih yang disebabkan bakteri penghasil ESBL dan Non-ESBL.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian observational dengan metode cross-sectional, jumlah subjek penelitian 50 orang pasien rawat jalan di poliklinik Departemen Penyakit Dalam RSUP.HAM. Pemeriksaan urinalisa ditemukan nitrit (+) atau hematuria (+) atau leukosit >10/lpb lalu dilanjutkan pemeriksaan kultur urin, Double Disk Synergy Test (DDST) dan sensitivity test.
Hasil : Resistensi antimikroba pada kelompok bakteri ESBL yaitu ampicillin (94,7%), ceftriaxon, trimethoprim/sulfamethoxazole (84,2%) diikuti cefotaxime, cefpodoxime dan tetracyclin (78,9%), sedangkan pada kelompok bakteri Non-ESBL yaitu ampicillin (88%), trimethoprim/sulfamethoxazole (84%), dan tetracyclin (76%). Perbedaan pola resistensi antimikroba pada kelompok bakteri E.coli penghasil ESBL dan Non-ESBL diperoleh hasil signifikan pada penggunaan cefotaxime (p= 0,021) dan aztreonam (p=0.031)
Kesimpulan : Bakteri penghasil ESBL memiliki peningkatan resistensi terhadap beberapa antimikroba terutama golongan cephalosporin meskipun secara statistik tidak berbeda secara signifikan.
Kata Kunci : Resistensi antimikroba, Infeksi saluran kemih, Extended Spectrum Beta Lactamase
(23)
PATTERNS OF ANTIMICROBIAL RESISTANCE
IN URINARY TRACT INFECTIONS CAUSED BY ESBL PRODUCING BACTERIA AND NON-ESBL
Lindayanti1, Muzahar1, Abdurrahim Rasyid Lubis2
1Department of Clinical Pathology
2Department of Internal Medicine, Divition of Nefrology
Faculty of medicine University of Sumatera Utara/H.Adam Malik Central Hospital Medan
ABSTRAK
Background : Urinary tract infection (UTI) is the most frequent infectious diseases occur and took second place after respiratory tract infections, where his first-line therapy is an antimicrobial. Many sufferers are not improved after treatment due to the onset of bacterial resistance to antimicrobials specific types and also the discovery of bacteria producing Extended-Spectrum Beta-Lactamase (ESBL).
The aim of study : Determine the differences in patterns of antimicrobial resistance urinary tract infections caused by ESBL-producing bacteria and Non-ESBL.
Methods : This study was an observational study with cross-sectional method included 50 outpatients in Departments of Internal Medicine Haji Adam Malik Hospital. Urinalisa examination found nitrites(+) or hematuria(+) or leukocytes> 10/lpb and continued urine cultures, Double Disk Synergy Test (DDST) and sensitivity test.
Results : Antimicrobial resistance in ESBL groups were ampicillin (94,7%), and trimethoprim/sulfamethoxazole, ceftriaxon (84.2 percent), followed by cefotaxime, cefpodoxime and tetracyclin (78,9%) while in Non-ESBL group were ampicillin (88%), and trimethoprim/sulfamethoxazole (84%), and tetracyclin (76%). Differences patterns of antimicrobial
resistance in E.coli ESBL producing group and Non-ESBL found
cefotaxime significant (p = 0,021) and aztreonam significant (p = 0,031).
Conclusion : ESBL-producing bacteria have an increased resistance to several antimicrobial mainly cephalosporin class although not statistically significantly different.
Keywords : Antimicrobial resistance, Urinary tract infection, Extended Spectrum Beta Lactamase
(24)
POLA RESISTENSI ANTIMIKROBA PADA INFEKSI SALURAN KEMIH YANG
DISEBABKAN OLEH BAKTERI PENGHASIL ESBL DAN NON-ESBL Lindayanti1, Muzahar1, Abdurrahim Rasyid Lubis2
1Departemen Patologi Klinik
2 Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Nefrologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan
ABSTRAK
Latar belakang : Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan penyakit infeksi yang paling sering terjadi dan menempati urutan kedua setelah infeksi saluran nafas, dimana antimikroba merupakan terapi lini pertamanya. Banyak penderita yang tidak membaik setelah pengobatan dikarenakan timbulnya resistensi bakteri terhadap jenis antimikroba tertentu dan juga ditemukannya bakteri penghasil Extended-Spectrum Beta-Lactamase (ESBL).
Tujuan: Mengetahui perbedaan pola resistensi antimikroba pada infeksi saluran kemih yang disebabkan bakteri penghasil ESBL dan Non-ESBL.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian observational dengan metode cross-sectional, jumlah subjek penelitian 50 orang pasien rawat jalan di poliklinik Departemen Penyakit Dalam RSUP.HAM. Pemeriksaan urinalisa ditemukan nitrit (+) atau hematuria (+) atau leukosit >10/lpb lalu dilanjutkan pemeriksaan kultur urin, Double Disk Synergy Test (DDST) dan sensitivity test.
Hasil : Resistensi antimikroba pada kelompok bakteri ESBL yaitu ampicillin (94,7%), ceftriaxon, trimethoprim/sulfamethoxazole (84,2%) diikuti cefotaxime, cefpodoxime dan tetracyclin (78,9%), sedangkan pada kelompok bakteri Non-ESBL yaitu ampicillin (88%), trimethoprim/sulfamethoxazole (84%), dan tetracyclin (76%). Perbedaan pola resistensi antimikroba pada kelompok bakteri E.coli penghasil ESBL dan Non-ESBL diperoleh hasil signifikan pada penggunaan cefotaxime (p= 0,021) dan aztreonam (p=0.031)
Kesimpulan : Bakteri penghasil ESBL memiliki peningkatan resistensi terhadap beberapa antimikroba terutama golongan cephalosporin meskipun secara statistik tidak berbeda secara signifikan.
Kata Kunci : Resistensi antimikroba, Infeksi saluran kemih, Extended Spectrum Beta Lactamase
(25)
PATTERNS OF ANTIMICROBIAL RESISTANCE
IN URINARY TRACT INFECTIONS CAUSED BY ESBL PRODUCING BACTERIA AND NON-ESBL
Lindayanti1, Muzahar1, Abdurrahim Rasyid Lubis2
1Department of Clinical Pathology
2Department of Internal Medicine, Divition of Nefrology
Faculty of medicine University of Sumatera Utara/H.Adam Malik Central Hospital Medan
ABSTRAK
Background : Urinary tract infection (UTI) is the most frequent infectious diseases occur and took second place after respiratory tract infections, where his first-line therapy is an antimicrobial. Many sufferers are not improved after treatment due to the onset of bacterial resistance to antimicrobials specific types and also the discovery of bacteria producing Extended-Spectrum Beta-Lactamase (ESBL).
The aim of study : Determine the differences in patterns of antimicrobial resistance urinary tract infections caused by ESBL-producing bacteria and Non-ESBL.
Methods : This study was an observational study with cross-sectional method included 50 outpatients in Departments of Internal Medicine Haji Adam Malik Hospital. Urinalisa examination found nitrites(+) or hematuria(+) or leukocytes> 10/lpb and continued urine cultures, Double Disk Synergy Test (DDST) and sensitivity test.
Results : Antimicrobial resistance in ESBL groups were ampicillin (94,7%), and trimethoprim/sulfamethoxazole, ceftriaxon (84.2 percent), followed by cefotaxime, cefpodoxime and tetracyclin (78,9%) while in Non-ESBL group were ampicillin (88%), and trimethoprim/sulfamethoxazole (84%), and tetracyclin (76%). Differences patterns of antimicrobial
resistance in E.coli ESBL producing group and Non-ESBL found
cefotaxime significant (p = 0,021) and aztreonam significant (p = 0,031).
Conclusion : ESBL-producing bacteria have an increased resistance to several antimicrobial mainly cephalosporin class although not statistically significantly different.
Keywords : Antimicrobial resistance, Urinary tract infection, Extended Spectrum Beta Lactamase
(26)
BAB I
PENDAHULUAN
1.6. LATAR BELAKANG PENELITIAN
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu penyakit infeksi yang paling sering terjadi, menempati urutan kedua setelah infeksi saluran nafas.1 Penyakit ini dapat mengenai laki-laki dan perempuan dari semua kelompok umur. Angka kejadian penyakit ini lebih sering pada perempuan daripada laki-laki dengan angka populasi umum sekitar 5%-15%, untuk menyatakan adanya ISK
harus ditemukan bakteri di dalam urin.2-4 Hal ini dapat
meningkatkan secara signifikan angka kematian dan biaya perawatan di rumah sakit.5
Prevalensi infeksi saluran kemih pada anak usia sekolah 1-3%, dan meningkat pada remaja yang sudah melakukan hubungan seksual. Prevalensi penyakit ini akan terus meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Sehingga perbandingan prevalensi antara perempuan dan laki-laki yaitu 2:1.6-7 Penderita infeksi saluran kemih di dunia sekitar 150 juta, baik yang ringan maupun yang mengalami komplikasi.8-9
Penyakit infeksi saluran kemih terutama disebabkan oleh bakteri-bakteri gram negatif seperti Escherichia coli, Klebsiella, Pseudomonas, Proteus dan gram positif seperti Staphylococcus aureus dan beberapa jamur serta virus.2,7,10-11
(27)
Dalam mengontrol angka kesakitan, disabilitas dan kematian yang disebabkan oleh penyakit infeksi digunakanlah antibiotika (antimikroba). Antimikroba yang digunakan dalam mengatasi dan mengontrol infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh bakteri gram negatif salah satunya adalah kelompok β-laktam seperti ampisilin, amoksisilin dan aztreonam. Akan tetapi dalam kenyataannya banyak penderita yang tidak membaik setelah diberikan antimikroba. Salah satu factor yang mendasari hal tersebut adalah timbulnya resistensi bakteri terhadap jenis antimikroba tertentu dan juga ditemukannya bakteri penghasil Extended-Spectrum Beta-Lactamase (ESBL) pada tahun 1983 di Jerman. ESBL sering dijumpai diberbagai rumah sakit di dunia dan sulit diatasi, bahkan di negara dengan penanganan bagus sekalipun.12
Extended-spectrum beta-lactamase (ESBL) adalah enzim yang mempunyai kemampuan untuk menghidrolisis antibiotika golongan penicillin, cephalosporin generasi satu, dua, dan tiga serta golongan aztreonam (kecuali cephamycin dan carbapenem).13-14 ESBL berasal dari β-laktamase yang termutasi. Mutasi ini menyebabkan peningkatan aktivitas enzimatik β-lactamase sehingga enzim ini dapat menghidrolisis chepalosporin generasi III dan aztreonam.15 ESBL paling banyak
(28)
dihasilkan oleh Enterobacteriaceae, terutama Escherichia coli dan Klebsiella pneumonia.16
Penggunaan antibiotika golongan cephalosporin generasi III secara luas untuk pengobatan infeksi di rumah sakit disebutkan menjadi salah satu faktor resiko infeksi oleh bakteri penghasil
ESBL.15 Selain resisten terhadap antibiotika golongan
cephalosporin, bakteri penghasil ESBL juga sering menunjukkan resistensi pada penggunaan fluoroquinolone. 15,17-18 Selain penggunaan antibiotika secara berlebihan, pasien dengan penyakit berat, LOS (Length of Stay) yang lama dan dirawat dengan alat-alat medis yang sifatnya invasif (kateter urin, kateter vena dan endotracheal tube) untuk waktu yang lama juga merupakan risiko tinggi untuk terinfeksi oleh bakteri penghasil ESBL.15
Prevalensi ISK yang disebabkan oleh bakteri penghasil ESBL pada masing-masing Negara berbeda, seperti Amerika Latin prevalensi untuk E.coli 8,5% dan K. pneumoniae 45%, Pasifik Barat prevalensi untuk E.coli 7,9% dan K.pneumoniae 24,6%, Eropa prevalensi untuk Ecoli 5,3% dan untuk K.pneumoniae 22,6%19 dan Iran prevalensi untuk E.coli 21% dan K.pneumoniae 12%.20 Sedangkan untuk wilayah Asia di Korea prevalensi untuk E.coli 5% dan K. pneumonia 48% dan Indonesia 23,3%.21
(29)
Dari penelitian yang dilakukan oleh Narayanaswamy A dan Mallika M (India,2008) menemukan bahwa resistensi tertinggi antimikroba pada E coli penghasil ESBL adalah Ampicillin (100%), Sulbactam (81,29%) dan Nalidixic acid (70,88%) sedangkan Non-ESBL adalah Ampicillin (81,28%) dan Sulbactam (78,29%).22
Penelitian yang dilakukan oleh Ullah Farhat et al (Pakistan,2009) ditemukan perbedaan yang signifikan pada resistensi antimikroba terhadap Klebsiella pneumonia penghasil ESBL dan non ESBL pada antimikroba golongan fluoroquinolon, amikasin, cefoperazone, piperazine/tazobactam dan meropenem.23
Penelitian yang dilakukan oleh Ejaz Hasan et al (Pakistan,2010) ditemukan bahwa resistensi tertinggi antimikroba pada Escherichia coli penghasil ESBL adalah cefotaxime (100%), ceftazidime (99,4%) dan cefuroxime (93,3%) sedangkan Non-ESBL adalah co-amoxiclav (46,6%), cefuroxime (41,4%) dan Norfloxacin (40,9%). Sementara untuk Klebsiella penghasil ESBL resistensi tertinggi adalah ceftazidime (100%), cefotaxime (98,7%) dan cefuroxime (98,1%) sedangkan untuk Non-ESBL adalah co-amoxiclav (72,4%), cefuroxime (37,5%) dan norfloxacin (34,9%).24
Dengan melihat penelitian sebelumnya tersebut dan tingginya prevalensi di Indonesia serta mempertimbangkan fenomena pola kuman dan resistensi antimikroba yang dapat berubah dari waktu ke waktu dan berbeda-beda di satu tempat dengan tempat lain. Hal
(30)
inilah yang mendorong peneliti untuk meneliti pola resistensi antimikroba pada pasien ISK yang disebabkan oleh bakteri penghasil ESBL dan Non-ESBL di RSUP H. Adam Malik Medan.
1.7. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut :
Apakah terdapat perbedaan pola resistensi antimikroba pada Infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh bakteri penghasil ESBL dan Non-ESBL.
1.8. HIPOTESA PENELITIAN
Terdapat perbedaan pola resistensi antimikroba pada Infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh bakteri penghasil ESBL dan Non-ESBL.
1.9. TUJUAN PENELITIAN
1.9.1. Tujuan Umun
Untuk mengetahui perbedaan pola resistensi antimikroba pada infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh bakteri penghasil ESBL dan Non-ESBL
1.9.2. Tujuan Khusus
(31)
2. Mengetahui pola resistensi antimikroba pada infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh bakteri penghasil ESBL dan Non-ESBL.
3. Mengetahui distribusi infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh bakteri penghasil ESBL dan Non-ESBL berdasarkan jenis kelamin dan umur.
1.10. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis
a. Menghasilkan informasi yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran.
b. Memberikan informasi tentang pola resistensi antimikroba pada Infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh bakteri penghasil ESBL dan Non-ESBL
2. Manfaat Praktis
a. Bagi institusi rumah sakit, dapat diketahui gambaran pola kuman pada pasien ISK dan pola resistensi antimikroba pada ISK yang disebabkan oleh bakteri penghasil ESBL dan Non-ESBL di RSUP H. Adam Malik Medan
b. Bagi Klinisi, dapat diketahui kepekaan kuman terhadap antibiotika yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk
(32)
pemberian antibiotika secara empiris sebelum hasil pemeriksaan yang sesungguhnya di dapatkan.
c. Bagi Pemerintah, penelitian ini dapat dipakai sebagai masukan yang, bermanfaat dalam rangka menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan infeksi saluran kemih.
(33)
BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK) 2.1.1. DEFINISI
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah suatu infeksi akibat berkembang biaknya mikroorganisme di dalam saluran kemih yang dalam keadaan normal air kemih tidak mengandung bakteri, virus atau mikroorganisme lain.25 Infeksi ini melibatkan ginjal, ureter, buli-buli, ataupun uretra. Infeksi saluran kemih (ISK) adalah istilah umum yang menunjukkan keberadaan mikroorganisme (MO) dalam urin.28
Bakteriuria bermakna (significant bacteriuria) adalah
menunjukkan pertumbuhan mikroorganisme murni lebih dari 105
colony forming unit (cfu/ml) pada biakan urin. Bakteriuria bermakna mungkin tanpa disertai gejala klinis ISK dinamakan bakteriuria asimtomatik (convert bacteriuria). Sebaliknya bakteriuria bermakna disertai gejala klinis ISK dinamakan bakteriuria bermakna simtomatik. Pada beberapa keadaan pasien dengan gejala klinis tanpa bekteriuria bermakna. Piuria bermakna (significant pyuria), bila ditemukan netrofil >10 per lapangan pandang.26
(34)
2.1.2. KLASIFIKASI
2.1.2.1. Anatomi 1. ISK Bawah
a. Sistitis akut adalah radang selaput mukosa kandung kemih (Vesica urinaria) yang timbulnya mendadak,bisa ringan dan sembuh spontan (self-limited disease) atau berat di sertai penyulit infeksi saluran kemih atas (pielonefritis akut).
b. Sistitis kronis adalah radang kandung kemih yang menyerang berulang-ulang (recurrent attact of cystitis) dan dapat menyebabkan kelainan-kelainan atau penyulit-penyulit dari saluran kemih bagian atas dan ginjal.
c. Urethritis adalah infeksi/inflamasi dari urethra,bisa terjadi pada laki-laki yang disebabkan sexually transmitted disease dan wanita bisa timbul karena acut urethral syndrome.
d. Prostatitis adalah inflamasi dari glandula prostat e. Epididimytis adalah inflamasi dari epididimis.
f. Orchitis adalah inflamasi dari 1 atau 2 testis pada laki-laki yang biasanya disebabkan oleh bakteri.
2. ISK Atas.
a. Pielonefritis akut adalah radang akut dari ginjal, ditandai primer oleh radang jaringan interstitial, sekunder
(35)
mengenai tubulus, dan akhirnya dapat mengenai kapiler glomerulus disertai manifestasi klinik dan bakteriuria tanpa ditemukan kelainan-kelainan radiologic.
b. Pielonefritis kronis adalah kelainan jaringan interstitial (primer) dan sekunder mengenai tubulus dan glomerulus, mempunyai hubungan dengan bakteriuria (immediate atau late effect) dengan atau tanpa bacteriuria dan selalu disertai kelainan-kelainan radiologic (pielonefritis bacterial kronik), mungkin terjadi lanjut dari infeksi bakteri berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil. Obstruksi saluran kemih serta refluk vesikoureter dengan atau tanpa bakteriuria kronik sering diikuti pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal yang ditandai pielonefritis kronik yang spesifik. 26
2.1.2.2. Klinis
1. ISK Sederhana/tak berkomplikasi (uncomplicated), yaitu ISK yang terjadi pada perempuan yang tidak hamil dan terjadi pada pasien tanpa kelainan anatomi dan structural saluran kemih.
2. ISK berkomplikasi (complicated), yaitu terjadi pada pasien dengan kelainan struktur anatomi dan fungsional,memerlukan waktu yang lama untuk di eradikasi dan cenderung untuk kambuh. 26
(36)
2.1.3. EPIDEMIOLOGI
ISK tergantung banyak faktor seperti usia, gender, prevalensi bakteriuria, dan faktor predisposisi yang menyebabkan perubahan struktur saluran kemih termasuk ginjal. Selama periode usia beberapa bulan dan lebih dari 65 tahun perempuan cenderung menderita ISK dibandingkan laki-laki.26,28 ISK berulang pada laki-laki jarang dilaporkan, kecuali disertai factor predisposisi (pencetus). Prevalensi bakteriuria asimtomatik lebih sering ditemukan pada perempuan. Prevalensi selama periode sekolah (school girls) 1 % meningkat menjadi 5% selama periode aktif secara seksual. Prevalensi infeksi asimtomatik meningkat mencapai 30%, baik laki-laki maupun perempuan bila disertai faktor predisposisi seperti terlihat pada Tabel 2.1. 26
Tabel 2.1. Faktor Predisposisi (Pencetus) ISK26
1. Bendungan aliran urin - Anomali kongenital - Batu saluran kemih
- Oklusi ureter (sebagian atau total) 2. Refluks vesikoureter
3. Urin sisa dalam buli-buli, karena : - Neurogenic blader
- Striktur uretra - Hypertropi prostat 4. Gangguan metabolic
- Hiperkalsemia - Hipokalemia
- Agamaglobulinemia - Diabetes melitus 5. Instrumentasi
(37)
- Dilatasi uretra - Sistoskopi 6. Kehamilan
- Faktor stasis dan bendungan
- pH urin yang tinggi sehingga mempermudah pertumbuhan kuman
Tabel 2.2. Epidemiologi ISK menurut Usia dan Jenis Kelamin26
Umur Insidens (%)
(tahun) Perempuan Laki-laki
Faktor Resiko
<1 0,7 2,7 Kelainan anatomi gastrourinary
1-5 4,5 0,5 Kelainan anatomi gastrourinary
6-15 4,5 0,5 Kelainan anatomi gastrourinary
16-35 20 0,5 Hub.Sex,penggunaan
diaphragma
36-65 35 20 Pembedahan, abstruksi prostat,
pemasangan kateter
>65 40 35 Inkontinensia, pemasangan
kateter, obstruksi prostat
Angka kejadian ISK di Amerika pada bayi dan anak sekolah antara 2%, pada wanita dewasa muda yang tidak hamil antara 1-3% sedang pada kehamilan antara 4-7%, pada orang tua meningkat tajam menjadi 10% pada laki-laki dan kira-kira 20% pada wanita.28 Insidens ISK pada lelaki yang tidak disunat adalah lebih banyak berbanding dengan lelaki yang disunat (1,12% berbanding 0,11. Pada anak berusia 1-5 tahun, insidens bakteriuria pd perempuan bertambah menjadi 4.5%, sementara berkurang pd lelaki menjadi 0,5%. Kebanyakan ISK pada anak kurang dari 5 tahun adalah berasosiasi dengan kelainan congenital pada saluran
(38)
kemih, seperti vesicoureteral reflux atau obstruction. Insidens bakteriuria menjadi relatif constant pada anak usia 6-15 tahun. Namun infeksi pada anak golongan ini biasanya berasosiasi dengan kelainan fungsional pada saluran kemih seperti dysfunction voiding. Menjelang remaja, insidens ISK bertambah secara signifikan pada wanita muda mencapai 20%, sementara konstan pada lelaki muda. Sebanyak sekitar 7 juta kasus cystitis akut yang didiagnosis pada wanita muda tiap tahun. Faktor risiko yang utama yang berusia 16-35 tahun adalah berkaitan dengan hubungan seksual. Pada usia lanjut, insidens ISK bertambah secara signifikan pd wanita dan lelaki. Morbiditas dan mortalitas ISK paling tinggi pada kumpulan usia yang <1 tahun dan >65 tahun.26
2.1.4. ETIOLOGI
Pada keadaan normal urin adalah steril. Umumnya ISK disebabkan oleh kuman gram negatif. Escherichia coli merupakan MO penyebab terbanyak baik pada yang simtomatik maupun yang asimtomatik yaitu 50 - 90%, diikuti oleh Klebsiella atau Enterobacter 10 – 40%.28 MO lainnya yang sering ditemukan seperti Proteus spp (33% ISK anak laki-laki berusia 5 tahun ), Klebsiella spp dan Staphylococcus dengan koagulase negatif. Infeksi yang disebabkan oleh Pseudomonas spp dan MO lainnya
(39)
seperti Staphylococcus aureus jarang dijumpai, kecuali pasca kateterisasi. 26
Tabel 2.3. Famili, Genus & Spesies Mikroorganisme yang paling sering sebagai penyebab ISK 26
2.1.5. PATOGENESE
Patogenesis bakteriuria asimtomatik menjadi bakteriuria simptomatik dengan gejala klinis ISK tergantung dari patogenitas bakteri dan status pasien sendiri (host).
2.1.5.1. Peran Patogenisitas Bakteri.
Sejumlah flora saluran cerna termasuk Escherichia coli diduga terkait dengan etiologi ISK. Patogenisitas E.coli terkait dengan bagian permukaan sel polisakarida dari lipopolisakarin (LPS). Hanya IG serotype dari 170 serotipe O/ E.coli yang berhasil diisolasi dari pasien ISK, diduga strain E.coli ini mempunyai patogenisitas khusus. Bakteri
(40)
patogen dari urin dapat menyebabkan gejala klinis dari ISK tergantung juga dari factor lainnya seperti perlengketan mukosa oleh bakteri, factor virulensi dan variasi fase factor virulensi. 26
a. Peranan bacterial attachment of mucosa.
Untuk melakukan kolonisasi dan invasi ke sel inang, bakteri harus mengadakan perlekatan pada permukaan sel inang. Penelitian membuktikan bahwa fimbriae merupakan satu pelengkap patogenesis yang mempunyai kemampuan untuk melekat pada permukaan mukosa saluran kemih. Pada umumnya fimbriae akan terikat pada blood group antigen yang terdapat pada sel epitel saluran kemih atas dan bawah. 26,28
b. Peranan faktor virulensi lainnya.
Sifat patogenisitas lain dari E.coli berhubungan dengan toksin. Dikenal beberapa toksin seperti α -hemolisin, cytotoxic necrotizing factor-1(CNF-1), dan iron uptake system (aerobactin dan enterobactin). Hampir 95% α-hemolisin terikat pada kromosom dan berhubungan dengan Pathogenicity Island (PAIS) dan hanya 5% terikat pada gen plasmio.
(41)
Laporan penelitianJohnson mengungkapkan virulensi E coli sebagai penyebab ISK terdiri atas fimbriae type I (55%), P-fimbriae (24%), aero bactin (38%), haemolysin (20%), antigen K (22%), resistensi serum (25%) dan antigen O (28%).26,28
c. Peranan variasi fase faktor virulensi.
Virulensi bakteri ditandai dengan kemampuan untuk mengalami perubahan bergantung dari respon faktor luar. Konsep variasi fase MO ini menunjukan peranan beberapa penentu virulensi bervariasi diantara individu dan lokasi saluran kemih. Oleh karena itu, ketahanan hidup bakteri berbeda dalam kandung kemih dan ginjal. 25
2.1.5.2. Peranan Faktor Tuan Rumah (Host) a. Faktor Predisposisi Pencetus ISK.
Penelitian epidemiologi klinik mendukung hipotesis peranan status saluran kemih merupakan faktor risiko atau pencetus ISK. Jadi faktor bakteri dan status saluran kemih pasien mempunyai peranan penting untuk kolonisasi bakteri pada saluran kemih. Kolonisasi bacteria sering mengalami kambuh (eksasebasi) bila sudah terdapat kelainan struktur anatomi saluran kemih. Dilatasi saluran kemih
(42)
termasuk pelvis ginjal tanpa obstruksi saluran kemih dapat menyebabkan gangguan proses klirens normal dan sangat peka terhadap infeksi.
Zat makanan dari bakteri akan meningkat dari normal diikuti refluks MO dari kandung kemih ke ginjal. Endotoksin (lipid A) dapat menghambat peristaltik ureter. Refluks vesikoureter ini sifatnya sementara dan hilang sendiri bila mendapat terapi antibiotika. Proses pembentukan jaringan parenkim ginjal sangat berat bila refluks vesikoureter terjadi sejak anak-anak. Pada usia dewasa muda tidak jarang dijumpai di klinik gagal ginjal terminal (GGT) tipe kering, artinya tanpa edema dengan/tanpa hipertensi.26
b. Status Imunologi Pasien (Host).
Penelitian laboratorium mengungkapkan bahwa golongan darah dan status sekretor mempunyai konstribusi untuk kepekaan terhadap ISK. Pada Tabel 2.4. di bawah dapat dilihat beberapa faktor yang dapat meningkatkan hubungan antara berbagai ISK (ISK rekuren) dan status secretor (sekresi antigen darah yang larut dalam air dan beberapa kelas immunoglobulin) sudah lama diketahui. Prevalensi ISK juga meningkat terkait dengan golongan darah
(43)
AB, B dan PI (antigen terhadap tipe fimbriae bakteri) dan dengan fenotipe golongan darah Lewis. 26
Tabel 2.4. Faktor-faktor yang meningkatkan kepekaan terhadap ISK 26
2.1.6. PATOFISIOLOGI
Pada individu normal, biasanya laki-laki maupun perempuan urin selalu steril karena dipertahankan jumlah dan frekuensi kencing. Uretro distal merupakan tempat kolonisasi mikroorganisme gram-positif dan gram negatif.
Mikroorganisme memasuki saluran kemih melalui 4 cara yaitu :
1. Ascending
Kebanyakan infeksi saluran kemih masuk dari uretra ke kandung kemih, naik ke ureter sampai ke ginjal dengan tahapan sebagai berikut :
- Kolonisasi mikroorganisme pada uretra dan daerah introitus
(44)
- Masuknya mikroorganisme ke dalam buli-buli
- Multiplikasi dan penempelan mikroorganisme dalam kandung
kemih
- Naiknya mikroorganisme dari kandung kemih ke ureter dan
sampai ke ginjal
2. Hematogen
Umumnya terjadi pada pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah, karena fokus infeksi di luar saluran kemih dan ginjal, karena sesuatu penyakit kronis atau pada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif.
3. Limfogen
Melalui rectum, colon, dan saluran lymphatic periuterine telah dilaporkan dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, akan tetapi ini masih membutuhkan pembuktian secara luas.
4. Direct extension (Langsung dari organ sekitar)
Bakteri dari organ terdekat dapat masuk secara langsung ke saluran kemih, hal ini dapat terjadi pada pasien-pasien dengan intraperitoneal abses, vesicointestinal dan vesicovaginal fistula atau eksogen sebagai akibat dari pemakaian instrumens.
Kuman penyebab ISK pada umumnya adalah kuman yang berasal dari flora normal usus dan hidup secara komensal di introitus vagina. Mikroorganisme memasuki saluran kemih melalui
(45)
uretra-prostat-vas deferens-testis-buli-buli-ureter dan sampai ke ginjal.26,28
Gambar 2.1. Masuk kuman secara ascending ke dalam saluran kemih.26
(1) kolonisasi kuman disekitar uretra, (2) masuk nya kuman melalui uretra ke buli-buli,
(3) penempelan kuman pada dinding buli-buli, (4) masuknya kuman melalui ureter ke ginjal
Hampir semua ISK disebabkan invasi mikroorganisme asending dari uretra ke dalam kandung kemih. Pada beberapa pasien tertentu invasi mikroorganisme dapat mencapai ginjal. Proses ini, dipermudah refluks vesikoureter. Proses invasi mikroorganisme hematogen sangat jarang ditemukan di klinik, mungkit akibat lanjut dari bakteriemia. Ginjal diduga merupakan lokasi infeksi sebagai akibat lanjut septikemi atau endokarditis akibat Staphylococcus aureus. Kelainan ginjal yang terkait dengan endokarditis (Staphylococcus aureus) dikenal Nephritis Lohlein. Beberapa penelitian melaporkan pielonefritis akut(PNA) sebagai akibat lanjut invasi hematogen dari infeksi sistemik gram negatif. 26
(46)
2.1.7 GEJALA KLINIS
Gambaran klinis infeksi saluran kemih sangat bervariasi mulai dari tanpa gejala hingga menunjukkan gejala yang sangat berat. Gejala yang sering timbul adalah disuria, polakisuria, dan terdesak kencing yang biasanya terjadi bersamaan, disertai nyeri supra pubik dan daerah pelvis.
Setiap pasien dengan ISK pada laki dan ISK rekuren pada perempuan harus dilakukan investigasi faktor predisposisi atau pencetus.
a. Pielonefritis Akut (PNA).
Gejala klinis PNA seperti panas tinggi (39,5-40,5 °C), disertai mengigil dan sakit pinggang. Gejala klinis PNA ini sering didahului gejala ISK bawah (sistitis).
b. ISK Bawah (sistitis).
Gejala klinis sistitis seperti sakit suprapubik, polakiuria, nokturia, disuria, dan stanguria.
c. ISK Atas
Dapat ditemukan gejala demam, kram, nyeri punggung, muntah, skoliosis, dan penurunan berat badan.
d. Sindroma Uretra Akut (SUA).
Gejala klinis SUA sulit dibedakan dengan sistitis. SUA sering ditemukan pada perempuan usia antara 20-50 thun. Gejala klinis SUA sangat sedikit (hanya disuria dan sering kencing)
(47)
sering disebut sistitis abakterialis. Sindrom uretra akut (SUA) dibagi 3 kelompok pasien, yaitu:
1. Kelompok pertama pasien dengan piuria, biakan uria dapat diisolasi E-coli dengan cfu/ml urin 103-105. Sumber infeksi berasal dari kelenjar peri-uretral atau uretra sendiri. Kelompok pasien ini memberikan respon baik terhadap antibiotik standar seperti ampsilin.
2. Kelompok kedua pasien leukosituri 10-50/lapangan pandang besar (LPB) dan kultur urin steril. Kultur khusus ditemukan clamydia trachomatis atau bakteri anaerobic. 3. Kelompok ketiga pasien tanpa piuria dan biakan urin steril. e. ISK rekuren.
ISK rekuren terdiri 2 kelompok; yaitu:
a). Re-infeksi (re-infections). Pada umumnya episode infeksi dengan interval >6 minggu mikroorganisme (MO) yang berlainan.
b). Relapsing infection. Setiap kali infeksi disebabkan MO yang sama, disebabkan sumber infeksi tidak mendapat terapi yang adekuat. 26
2.1.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG LABORATORIUM
Analisa urin rutin, pemeriksaan mikroskop urin segar, kultur urin, serta jumlah kuman/mL urin merupakan protokol standar untuk
(48)
pendekatan diagnosis ISK. Pengambilan dan koleksi urin, suhu, dan teknik transportasi sampel urin harus sesuai dengan protokol yang dianjurkan.29
Investigasi lanjutan terutama renal imaging procedures tidak boleh rutin, harus berdasarkan indikasi yang kuat. Pemeriksaan radiologis dimaksudkan untuk mengetahui adanya batu atau kelainan anatomis yang merupakan faktor predisposisi ISK.
Renal imaging procedures untuk investigasi faktor predisposisi ISK:
• Ultrasonogram (USG)
• Radiografi (Foto polos abdomen, Pielografi IV, Micturating
cystogram)
• Isotop scanning. 26
Pemeriksaan laboratorium
2.1.8.1. Urinalisis a. Leukosuria
Leukosuria atau piuria merupakan salah satu petunjuk penting terhadap dugaan adalah ISK. Dinyatakan positif bila terdapat > 10 leukosit/lapang pandang besar (LPB) sedimen air kemih. Pada test dipstick urin biasanya akan diperoleh hasil test leukosit esterase positif. Adanya leukosit silinder pada sediment urin menunjukkan adanya keterlibatan ginjal. Namun adanya leukosuria tidak selalu menyatakan adanya ISK karena dapat pula
(49)
dijumpai pada inflamasi tanpa infeksi. Apabila didapat leukosituria yang bermakna, perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan kultur.27,29
Gambar 2.2. Leukosuria27 b. Hematuria
Dipakai oleh beberapa peneliti sebagai petunjuk adanya ISK, yaitu bila dijumpai 5-10 eritrosit/LPB sedimen urin. Dapat juga disebabkan oleh berbagai keadaan patologis baik berupa kerusakan glomerulus ataupun oleh sebab lain misalnya urolitiasis, tumor ginjal, atau nekrosis papilaris.
2.1.8.2. Bakteriologis a. Mikroskopis
Dapat digunakan urin segar tanpa diputar dengan pewarnaan gram. Dinyatakan positif bila dijumpai 1 bakteri /lapangan pandang minyak emersi.
(50)
b. Biakan bakteri
Gambar 2.3. Biakan bakteri
Biakan bakteri, ciri khas seorang dengan ISK ditandai oleh adanya mikroorganisme tunggal dari koloni membentuk lebih besar 105 unit (cfu) per ml. Di dalam clean catch atau midstream urin specimen (urin porsi tengah), dengan jumlah yang lebih rendah biasanya menunjukkan kontaminasi.
Kriteria yang di pergunakan untuk bakteriuria adalah:
1. Bermakna :
a. Jika dijumpai 100.000 cfu atau lebih kuman per ml urin pada minimal 1 x kultur.
b. 50.000-<100.000, tapi dijumpai kuman yang serupa pada 2 x kultur midstream urin (MSU) berturut-turut, meskipun hanya 1 kultur dengan jumlah > 50.000.
2. Kontaminasi
(51)
b. 10.000 – <100.000, dengan kuman yang berlainan pada 2 x kultur MSU berturut-turut.
c. Ragu-ragu
10.000 - <50.000, dengan kuman serupa pada 2 x kultur, sehingga kultur di ulangi. Jika hasil masih serupa, dianggap bermakna.
2.1.8.3. Tes kimiawi
Yang paling sering dipakai ialah tes reduksi griess nitrate. Dasarnya adalah sebagian besar mikroba kecuali enterococcus, mereduksi nitrat bila dijumpai lebih dari 100.000 - 1.000.000 bakteri. Konversi ini dapat dijumpai dengan perubahan warna pada uji tarik. Sensitivitas 90,7% dan spesifisitas 99,1% untuk mendeteksi Gram-negatif. Hasil palsu terjadi bila pasien sebelumnya diet rendah nitrat, diuresis banyak, infeksi oleh enterococcus dan acinetobacter.
2.1.9 PENATALAKSANAAN
Pengobatan ISK harus mempertimbangkan beberapa hal : 1. Pola resistensi kuman lokal
2. Populasi pasien
(52)
4. Lamanya terapi 5. Efek samping obat 6. Harga obat29
2.1.9.1. ISK Bawah
Prinsip manajemen ISK bawah meliputi istirahat, intake cairan yang banyak, antibiotika yang adekuat, dan kalau perlu terapi asimtomatik untuk alkalinisasi urin:
• Hampir 80% pasien akan memberikan respon setelah 48 jam dengan antbiotika tunggal; seperti ampisilin 3 gram, trimetoprim 200mg
• Bila infeksi menetap disertai kelainan urinalisa (lekosituria) diperlukan terapi konvensional selama 5-10 hari
• Pemeriksaan mikroskopik urin dan biakan urin tidak diperlukan bila semua gejala hilang dan tanpa lekositoria.26,29
Reinfeksi berulang (frequent re-infection) • Disertai faktor predisposisi.
Terapi antimikroba yang intensif diikuti koreksi faktor resiko. • Tanpa faktor predisposisi
- Asupan cairan banyak
- Cuci setelah melakukan senggama diikuti terapi antimikroba takaran tunggal (misal trimetroprim 200mg) - Terapi antimikroba jangka lama sampai 6 bulan.
(53)
Sindroma Uretra Akut (SUA)
Pasien dengan SUA dengan hitungan kuman 103-105
memerlukan antibiotika yang adekuat. Infeksi Clamidia memberikan hasil yang baik dengan tetrasiklin. Infeksi disebabkan MO anaerobic diperlukan antimikroba yang serasi, misal golongan kuinolon. 26
2.1.9.2. ISK Atas
Pielonefritis Akut.
Pada umumnya pasien dengan pielonefritis akut memerlukan rawat inap untuk memelihara status hidrasi dan terapi antibiotika parenteral paling sedikit 48 jam. Indikasi rawat inap pielonefritis akut dapat dilihat pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5. Indikasi Rawat Inap Pasien dengan PNA26
• Kegagalan mempertahankan hidrasi normal atau toleransi
terhadap antibiotika oral.
• Pasien sakit berat atau debilitasi.
• Terapi antibiotika oral selama rawat jalan mengalami kegagalan.
• Diperlukan investigasi lanjutan.
• Faktor predisposisi untuk ISK tipe berkomplikasi.
(54)
The Infection Disease of America menganjurkan satu dari tiga alternatif terapi antibiotik IV sebagai terapi awal selama 48-72 jam sebelum diketahui MO sebagai penyebabnya yaitu :
- Fluorokuinolon
- Amiglikosida dengan atau tanpa ampisilin
- Sefalosporin dengan spectrum luas dengan atau tanpa
aminoglikosida.25
Antibiotika merupakan terapi utama pada ISK. Hasil uji kultur dan tes sensitivitas sangat membantu dalam pemilihan antibiotika yang tepat. Efektivitas terapi antibiotika pada ISK dapat dilihat dari penurunan angka lekosit urin disamping hasil pembiakan bakteri dari urin setelah terapi dan perbaikan status klinis pasien. Idealnya antibiotika yang dipilih untuk pengobatan ISK harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut : dapat diabsorpsi dengan baik, ditoleransi oleh pasien, dapat mencapai kadar yang tinggi dalam urin, serta memiliki spektrum terbatas untuk mikroba yang diketahui atau dicurigai. Pemilihan antibiotika harus disesuaikan dengan pola resistensi lokal, disamping juga memperhatikan riwayat antibiotika yang digunakan pasien.25
(55)
Tabel 2.6 Jenis dan Lama Pemberian Antibiotik yang direkomendasikan berdasarkan Tipe ISK
2.1.10. PENCEGAHAN
Data epidemiologi klinik mengungkapkan skrining bakteriuria asimtomatik bersifat selektif dengan tujuan utama untuk mencegah menjadi bakteriuria disertai gejala klinik ISK. Skrining bakteriuria harus rutin dengan jadwal tertentu untuk kelompok pasien perempuan hamil, pasien DM terutama perempuan, dan pasca transplantasi ginjal perempuan dan laki-laki, dan kateterasi laki-laki dan perempuan. 26
(56)
2.1.11. KERANGKA TEORI
Gambar 2.4. Kerangka Teori
Flora Usus
Munculnya Type Uropatogen
Koloni di perineal dan uretra anterior
Sistitis Virulensi Bakteri
Faktor penjamu (Host) 1. Memperkuat
perlekatan ke sel uroepitel
2. Refluks vesiko uretra
3. Refluks intra renal 4. Tersumbatnya
saluran kemih 5. Benda asing
(kateter urin) Pyelonefritis Akut
Parut Ginjal
(57)
2.2. EXTENDED SPECTRUM BETA LACTAMASE (ESBL) 2.2.1 DEFINISI
ESBL adalah enzim yang mempunyai kemampuan menghidrolisis antibiotik golongan penicillin, cephalosporin generasi I, II, III serta golongan aztreonam (kecuali cephamycin dan carbapenem ). Pada Enterobacteriaceae, ESBL dapat dihasilkan oleh Proteous sp, Klebsiella sp, E.coli, Citrobacter, Morganella, Providencia, Salmonella dan Serratia. ESBL paling banyak dihasilkan oleh Enterobacteriaceae, terutama Escherichia coli dan Klebsiella pneumonia.
Ada banyak tipe dari β-lactamase, tapi ada dua tipe yang sulit ditangani yaitu ESBL dan AmpC. Keduanya menghidrolisis cephalosporin generasi ketiga. Berbeda dengan ESBL, AmpC β -laktamase bisa mengnonaktifkan cephamycin dan tidak dihambat oleh inhibitor β-lactamase seperti asam klavulanat.
Infeksi akibat bakteri penghasil ESBL memberikan banyak dampak negatif pada aspek klinis dan ekonomi. Beberapa dampak klinik yang terjadi akibat infeksi bakteri penghasil ESBL antara lain sulitnya mencapai terapi yang efektif akibat MDR sehingga infeksi dapat berkembang menjadi bakteremia serta tejadi peningkatan morbiditas dan mortalitas. Dampak ekonomi yang terjadi antara lain lamanya perawatan di rumah sakit dan terbatasnya pemilihan
(58)
antibiotik alternatif yang cenderung lebih mahal, sehingga meningkatkan biaya rumah sakit.32-35
Faktor genetik memegang peranan penting dalam terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik. Gen penyebab resistensi terletak pada elemen genetik yaitu kromosom, plasmid, transposon dan integron. Elemen genetik khususnya transposon, plasmid dan integron dapat bertukar bebas antar bakteri secara horizontal melalui proses konjugasi, transduksi dan transformasi. Proses tersebut menyebabkan terjadinya MDR pada beberapa antibiotik.
ESBL termasuk plasmid-mediated β lactamase yang dapat
menyebar secara horizontal melalui konjugatif plasmid dan integron.
Gen pengkode ESBL pada bakteri paling banyak berada di plasmid. Hal ini mempermudah kemampuan gen ESBL pindah dari satu organisme ke organisme lain, sehingga penyebaran resistensi sangat mudah terjadi antar strain bahkan antar spesies. Keadaan ini membuat pilihan antibiotik untuk melawan organisme untuk memproduksi ESBL sangat terbatas.
Umumnya ESBL berasal dari gen TEM-1, TEM-2 atau SHV-1 yang mengalami mutasi dan mengubah konfigurasi asam amino di sekitar lokasi aktif dari β lactamase. Keadaan ini membuat spektrum antibiotik β-lactam rentan terhadap hidrolisis oleh enzim ini.
(59)
Selain penggunaan antibiotika secara berlebihan, pasien dengan penyakit berat, LOS ( Length of Stay ) yang lama dan dirawat dengan alat-alat medis yang sifatnya invansif (kateter urin, kateter vena dan endotracheal tube) untuk waktu yang lama juga merupakan risiko tinggi untuk terinfeksi oleh bakteri penghasil ESBL.
Saat ini angka kejadian infeksi oleh bakteri penghasil ESBL semakin meningkat di seluruh dunia. Karena banyaknya bakteri yang mampu menghasilkan ESBL, maka diperlukan suatu klasifikasi agar kita dengan mudah mengidentifikasikan jenis ESBL apa yang menginfeksi seseorang,35-36
2.2.2. β-LACTAMASE
Sebelum kita membahas ESBL, kita harus mengerti tentang β -lactamase baik definisi maupun pembagiannya, sehingga kita dapat memahami ESBL secara tepat. β- lactamase adalah enzim yang dihasilkan oleh beberapa bakteri yang berfungsi untuk melawan / mempertahankan diri terhadap serangan antibiotik β-lactam. β -Lactam adalah antibiotik yang berasal dari penicillin dan cephalosporin. Antibiotik golongan ini mempunyai unsur yang sama dalam struktur molekul mereka yaitu cincin dengan 4 atom dan disebut sebagai β-lactam. Enzim β-lactamase akan menyerang ikatan amida di cincin β-lactam penicillin dan cephalosporin serta
(60)
menghasilkan penicillinoic acid dan cephalosporic acid sehingga senyawa anti bakteri menjadi tidak aktif.
β-lactamase pertama kali ditemukan pada tahun 1940 oleh Abraham dan Chain. Enzim ini berhasil ditemukan dari isolat S. Aureus dan disebut sebagai penicillinase. Sejak saat itu semakin banyak laporan penemuan β-lactamase yang baru antara lain 1963 ditemukan (TEM-1) dari isolat E.coli dan 1974 ditemukan (SHV-1) dari isolat E.coli.
Antibiotik β-lactam dapat digunakan untuk melawan bakteri gram positif dan gram negatif. Ternyata enzim β-lactamase terdiri dari berbagai golongan sehingga sulit untuk mengidentifikasinya. 35-36
2.2.3. KLASIFIKASI β-LACTAMASE
Saat ini sudah ditemukan lebih dari 700 β-lactamase sehingga perlu dibuat suatu klasifikasi agar mempermudah identifikasi enzim ini. Ada banyak cara yang digunakan untuk mengklasifikasi β -lactamase, namun yang sering digunakan adalah klasifikasi menurut Ambler molecular dan Bush-Jakoby-medieros functional calssification. Ambler membagi β-lactamase ke dalam 4 kelompok utama (A sampai D ). Pembagian ini terletak pada homologi protein, bukan karakteristik phenotipe. Serine β-lactamase adalah dasar klasifikasi kelas A, C, D dan sebaliknya enzim kelas B adalah metallo β-lactamase.
(61)
Klasifikasi Bush-Jakoby-Medieros membagi grup lactamase berdasarkan kesamaan fungsi ( substrat dan profil inhibitor ).
Ada 4 grup utama dan beberapa sub grup dalam sistem ini. Klasifikasi ini lebih relevan untuk praktisi medis atau mikrobiologi di laboratorium karena berdasarkan beta-lactamase inhibitor dan beta-lactamase substrate. Klasifikasi menurut Bush-Jacoby-Medieros membagi β-lactamase menjadi 4 kelas dan beberapa sub kelas, yaitu :
1. Grup 1 (Cephalosporinase, molecular class C)
Grup 1 adalah cephalosporinases yang tidak dihambat oleh asam klavulanat, grup golongan ini identik dengan pembagian molecular class C.
Contoh : Pseudomonas aeruginosa strain PA01 chromosomal AmpC β-lactamase
2. Grup 2
Yang termasuk dalam grup 2 adalah kelompok penicillinases, cephalosporinases atau keduanya yang dihambat oleh asam klavulanat. Grup ini sesuai dengan pembagian molecular class A dan D yang mencerminkan gen TEM dan SHV. Namun karena meningkatnya jumlah TEM dan SHV derived β -lactamase maka grup ini dibagi lagi menjadi 2 subgrup yaitu 2a dan 2b.
(62)
a. Subgrup 2a (Penisillinase, molecular class A)
Subgrup 2a hanya untuk golongan penicillinase. Contoh: Klebsiella pneumoniae chromosomal β-lactamase, LEN-1.
b. Subgrup 2b (broad spectrum, molecular class A)
tidak seperti subgrup 2a, subgrup 2b merupakan broad spectrum β-lactamases, artinya β-lactamase golongan ini mampu mengnonaktifkan penicillin dan cephalosporin. Contoh: Enterobacter cloacae plasmid pDSO76 β -lactamase, OHIO-1.
Subgrup 2b dibagi lagi menjadi 2be dan 2br
o subgrup 2be (extended spectrum, molecular
class A)
subgrup 2be dengan huruf “e” untuk extended-spectrum artinya memiliki spektrum yang lebih luas sehingga sering disebut ESBL, karena mampu mengonaktifkan cephalosporin generasi ketiga (ceftazidime, cefotaxime, cefpodoxime) serta monobactam (aztreonam).
Contoh : Pseudomonas aeruginosa, PER-1.
o Subgrup 2br (Inhibitor resistant, molecular
(63)
Enzim 2br huruf “r” menunjukan penurunan pengikatan terhadap asam klavulanat dan sulbactam, dan disebut sebagai inhibitor-resistant TEM derivate enzymes, namun golongan ini umumnya masih sensitif terhadap Tazobactam.
Contoh:Escherichia coli strain GUER plasmid β -lactamase,TEM-30.
c. Subgrup 2c (Carbenicillinase, molecular class A) Subgrup 2c dipisahkan dari kelompok 2 karena enzim pada grup ini ternyata mengnonaktifkan carbenicillin lebih baik dari benzylpenicillin, dan juga ditemukan beberapa efek pada cloxacillin.
Contoh : Acinetobacter calcoaceticus strain A85-145 β -lactamase, CARB-5.
d. Subgrup 2d (Cloxacilinase, molecular class D atau A) Enzim grup d dapat mengnonaktifkan cloxacillin lebih baik dibandingkan benzylpenicillin dengan beberapa aktivitas yang dapat melawan carbenicillin. Asam klavulanat kurang mampu menginhibisi enzim ini. Beberapa dari enzim golongan ini juga termasuk dalam ESBL. Enzim golongan ini juga dikenal dengan nama oxacillinase. Enzim ini juga mampu mengnonaktifkan
(64)
Contoh:Salmonella typhimurium strain type 1a β -lactamase, OXA-2.
e. Subgrup 2e (Cephalosporinase, molecular class A) Subgrup 2e adalah enzim golongan cephalosporinase. Enzim golongan ini juga dapat menghidrolisis monobactam. Golongan ini dihambat oleh asam klavulanat.
Contoh: Yersinia enterocolitica strain y56 chromosomal β-lactamase
f. Subgrup 2f (Carbapenemase, molecular class A) Subgrup ini ditambahkan karena merupakan golongan serine berdasarkan serine-based carbapenemase. Hal ini dilakukan untuk membedakan dengan zinc-based carbapenemase yang ada dalam grup 3.
3. Grup 3 (Metalloenzyme, molecular class B)
Grup 3 merupakan enzim yang berbasis zinc atau metallo β -lactamase. Golongan ini merupakan enzim yang hanya bereaksi karena adanya ion metal zinc. Metallo β-lactamase mampu menghidrolisis penicillin, cephalosporin dan carbapenem.
Contoh:Chryseopbacterium (Flavobacterium) indologenes
chromosomal β-lactamase ditemukan di Burkina Faso (Africa) dinamakan IND-B.
(65)
Dengan demikian, carbapenem dapat dihambat oleh 2 kelompok yaitu subgrup 2f (serine-based) dan grup 3 (zinc-based)
4. Grup 4 (Penisillinase, No class molecullar)
Grup 4 adalah penisillinase yang tidak dihambat oleh asam klavulanat. Grup ini belum ada dalam pembagian grup menurut Ambler molecular. 35-36
Tabel 2.7. Klasifikasi The Bush Jacoby Medieros35
2.2.4. KLASIFIKASI ESBL
Anggota famili enterobacteriaceae sering mengekspresikan plasmid-encoded β-lactamase (misalnya TEM-1, TEM-2, SHV-1) yang resisten terhadap penisilin namun tidak terhadap cephalosporin. Namun akhir-akhir ini sudah banyak ditemukan
(66)
bakteri penghasil β-lactamase yang resisten terhadap antibiotik golongan cephalosporin.
Jenis ESBL yang sering ditemukan adalah sebagai berikut :
o SHV β-lactamases (class A) o TEM β-lactamases (class A) o CTX-M β-lactamases (class A) o OXA β-lactamases (class D)
o PER-tipe ESBL
o Other ESBL
2.2.4.1. SHV β-lactamases (class A)
ESBL SHV adalah tipe yang tipe yang sering ditemukan di isolat klinis dibanding jenis lainnya. SHV mengacu pada variabel sulfhydril dan termasuk dalam grup 2be. Ada lebih dari 100 jenis tipe SHV.
SHV-1 dan TEM-1 memiliki struktur yang mirip, 68% asam amino yang ada di SHV-1 juga terdapat di TEM-1.
SHV-1 sering ditemukan pada klebsiella pneumoniae
yang mana merupakan chromosomally encoded-enzyme
yang menimbulkan resistensi pada penicillin dan generasi pertama cephalosporin dan sekitar 20% plasmid-mediated ampicillin resistant disebabkan oleh organisme ini.
(67)
2.2.4.2. TEM-β Lactamase (class A)
ESBL golongan ini merupakan turunan dari TEM-1 dan TEM-2. Klasifikasi TEM berdasarkan perbedaan perubahan kombinasi asam amino. TEM-1 pertama kali dilaporkan pada tahun 1965. TEM-1 dihasilkan oleh bakteri gram negatif dan umumnya resisten terhadap ampicillin. TEM-1 ini berasal dari isolat E.coli di athena, Yunani dan disebut “Temoneira” sehingga sejak itu digunakan istilah TEM. TEM-1 memiliki daya hidrolisis yang sangat kuat terhadap ampicillin, namun lemah terhadap carbenicillin, oxacilin, cephalotin atau cephalosporin. Kemampuan hidrolisis enzim ini dihambat oleh asam klavulanat. TEM-1 sering dijumpai pada bakteri gram negatif seperti E coli, H influenza, N gonorrhoeae, K pneumoniae.
Tem-2 memiliki profil hidrolitik yang sama dengan TEM-1. Letak perbedaan kedua TEM ini yaitu pada TEM-1 memiliki kemampuan alamiah yang lebih aktif dan berbeda dalam titik isoelektrik (ph TEM-1 = 5,6 dan TEM-2 = 5,4).
2.2.4.3. CTX-M β Lactamases (class A)
Enzim ini diberi nama karena mampu menghidrolisis cefotaxime dibandingkan terhadap substrat oxyimino β
(68)
-lactam lainnya seperti ceftazidime, ceftriazone atau cefepime. Organisme penghasil CTX-M tipe β-lactamases memiliki MIC (minimum inhibitory concentration) cefotaxime dalam rentang resisten > 64 μg/ml, sedangkan MIC ceftazidime dalam rentang sensitif 2-8 μg/ml, namun CTX-M yang membentuk ESBL dapat menghidrolisis ceftazidime dan resisten terhadap cephalosporin (MIC ≥ 256 μg/ml).
Enzim ini banyak ditemukan di salmonella enterica serovar typhimurium dan E. coli, juga dapat ditemukan di spesies lain golongan enterobacteriaceae. CTX-M tipe β -lactamases memiliki kesamaan dengan ESBL TEM dan SHV, namun kesamaan ini biasanya < 40%.
2.2.4.4. OXA β Lactamases (class D)
Diberi nama OXA β-Lactamases karena golongan ini mampu menghidrolisis antibiotik golongan oxacillin. Enzim β-lactamases ini termasuk grup 2d dan class D karena struktur molekul dan fungsinya berbeda jika dibandingkan dengan golongan TEM dan SHV. OXA-1 adalah jenis yang sering ditemukan. OXA sering ditemukan pada pseudomonas aeruginosa, namun telah dilaporkan bahwa ESBL golongan ini juga terdeteksi pada bakteri gram
(69)
negatif lainnya. Saat ini telah dilaporkan bahwa sekitar 10% dari E. Coli dapat menghasilkan ESBL golongan ini. Kebanyakan OXA β-lactamases tidak menghidrolisis antibiotik golongan cephalosporin, sehingga sering tidak dianggap sebagai ESBL, namun kini telah dilaporkan bahwa OXA-10 ternyata mampu menghidrolisis cefotaxime, ceftriaxone dan aztreonam walaupun kemampuan hidrolisisnya lemah.
2.2.4.5. PER-type ESBL
PER-type ESBL adalah ESBL yang memiliki kesamaan dengan TEM dan SHV sebanyak 25-27%. PER-1 β lactamases mampu menghidrolisis penicillin dan cephalosporin namun sensitif terhadap inhibisi asam klavulanat. PER-1 pertama kali terditeksi dari isolat Pseudomonas aeruginosa, namun kini telah ditemukan di isolat Salmonella enterica serovar typhimurium dan Acinetobacter. PER-2 memiliki 86% kesamaan dengan PER-1 dan ditemukan di S.enteric serovar thypimurium, E.coli, K.pneumoniae, Proteus mirabilis. Walaupun PER-1 kebanyakan ditemukan di Turki, namun belakangan dideteksi juga di Prancis, Italia, Belgia dan Korea. PER-2 kebanyakan terdapat di Amerika Selatan
(70)
2.2.4.6. Type Tambahan ESBL
Baru-baru ini ditemukan variasi dari β lactamases yang lain yaitu plasmid-mediated atau integron associated class A enzyme. Para ahli mengalami kesulitan dalam menggolongkan ESBL tipe ini karena mutasinya sulit dikenali dan ditemukan di berbagai tempat yang berbeda geografisnya. Yang termasuk ESBL tipe ini antara lain VEB-1, BES-1. VEB-1 memiliki kesamaan dengan PER-1 dan PER-2 sebesar 38%. Hal ini mengakibatkan resistensi yang tinggi terhadap ceftazidime, cefotaxime, dan aztreonam.
Gen pengkode VEB-1 telah ditemukan dan merupakan plasmid-mediated. Gen ini memiliki resistensi terhadap antibiotik yang bukan berasal dari golongan β -lactam.
2.2.4.7. AmpC-type β-lactamases (class C)
AmpC-type β lactamases umumnya diisolasi dari bakteri gram negatif yang extended spectrum cephalosporin-resistant. AmpC β-lactamases (disebut juga sebagai class C atau grup 1) biasanya dikodekan oleh kromosom bakteri gram negatif seperti Citrobacter, Serratia dan Enterobacter. AmpC type β-lactamase juga ditemukan di plasmid. Berbeda dengan ESBL, AmpC-type
(71)
β-lactamase bisa mengnonaktifkan cephamycin dan tidak
dihambat oleh inhibitor β-lactamase seperti asam
klavulanat. 35-36
2.2.5. HAL YANG DIPERHATIKAN DALAM DETEKSI ESBL
Jika hasil pertumbuhan bakteri menunjukkan hasil gram negatif, maka kita harus berhati-hati dalam menginterpretasi hasil “tes kepekaan antibiotik” (TKA) karena dikhawatirkan bakteri ini dapat memproduksi ESBL. Untuk itu sebaiknya kita harus mengetahui hal-hal yang penting dalam menditeksi ESBL, yaitu : 1. Semua isolat E.coli atau K.pneumonia harus diuji terhadap
antibiotik β-lactam. Jika hasil isolat menunjukkan terjadinya penurunan sensitif terhadap satu atau lebih dari ceftazidime, cefotaxime, ceftriaxone, cefpodoxime atau aztreonam tapi sensitif terhadap cefoxitin atau cefotetan harus dianggap sebagai potensial ESBL.
2. Isolat E.coli atau K.pneumonia menunjukkan penurunan
sensitif atau resisten terhadap extended spectrum cephalosporin dan cefoxitin atau cefotetan harus dianggap sebagai potensial AmpC resistance.
3. Pengujian selektif untuk ESBL harus dipertimbangkan untuk enteric bacilli gram negatif yang diisolasi dari bagian tubuh yang steril atau jika dicurigai terjadinya infeksi nosokomial.
(72)
4. Pengujian tes tambahan harus dipertimbangkan untuk enteric bacilli gram negatif jika terjadi kegagalan terapi ketika hasil dari isolat bakteri yang sama menunjukkan hasil yang sensitif terhadap extended spectrum cephalosporin.37
2.2.6. METODA PEMERIKSAAN BAKTERI PENGHASIL ESBL
National Committee for Clinical Laboratory Standards (NCCLS) yang kemudian berganti nama menjadi Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) merekomendasikan metoda penyaring/screening ESBL adalah :
o Disc Diffusion Methods
o Sreening by Dilution Antimicrobial Susceptibility Test Test konfirmasi ESBL, CLSI merekomendasikan :
o Cephalosporin / Clavulanate Combination Disc
o Broth Microdilution
Sampai akhir tahun 1998 belum ada panduan konsensus internasional tentang mendeteksi ESBL. The Canadian Guidline Laboratories, mengusulkan beberapa metoda untuk mendeteksi enterobacteriaceae penghasil ESBL, yaitu :
o Disk Diffusin Testing
o MIC Method
o Disk Approximation / Double Disk Method
(1)
LAMPIRAN 11
Data hasil penelitian
NO. NAMA UMUR (Th) L / P MIKROORGANISME ESBL Gram AMC AM TZP CXM CTX CAZ CRO CPD IMP MEM AN GM ATM TE CIP SXT F
1 ARR 37 P Escherichia coli (+) (-) R R R R R R R R S S R R R R R R R
2 ES 29 P Escherichia coli (+) (-) S R R S R R R R R R S S R R R R S
3 HI 71 P Escherichia coli (+) (-) R R S S R R R R S S S R R R R R R
4 JG 36 L Escherichia coli (+) (-) R R S S S S S R S S R R R R S R S
5 ML 76 P Escherichia coli (+) (-) S R S R S S S R S S S R S R R R S
6 MS 77 L Escherichia coli (+) (-) S R S R R S R R S S S S R R R R S
7 SU 43 P Escherichia coli (+) (-) R R R R R R R R S S R R R R R R R
8 TS 76 L Escherichia coli (+) (-) R R R S R S R S S S R R S R S R S
9 YU 57 L Escherichia coli (+) (-) R R S S R S R S S S S S S R R R S
10 HS 70 P Escherichia coli (-) (-) R R S S S S S S S S S R S R S R S
11 HM 50 P Escherichia coli (-) (-) S R S S S S S R S S S S S R R R S
12 SG 68 L Escherichia coli (-) (-) S R S S S S R S S S S R S R R R S
13 SU 52 L Escherichia coli (-) (-) S S S S S S S R S S S S S S S S S
14 SU 62 L Escherichia coli (-) (-) R R S R S S S R S S S R S R R R R
15 DY 55 P Klebsiella pneumoniae (+) (-) S R S S S R S S S S S R S S S S R
16 NU 57 P Klebsiella pneumoniae (+) (-) R R S R R R R R S S R S R R S R R
17 NB 58 P Klebsiella pneumoniae (+) (-) R R R R R R R R S S S R R R R R R
18 PM 68 P Klebsiella pneumoniae (+) (-) S R R S S S R R R S S S R R R R R
19 NU 55 P Klebsiella pneumoniae (+) (-) R S S S R R R R S S R S R S S S S
20 MS 68 L Klebsiella pneumoniae (-) (-) S R R R R R R R S S S S R R R R S
21 RS 55 L Klebsiella pneumoniae (-) (-) R R R R R R R R S S S R R R R R R
(2)
25 SD 65 L Enterobacter cloacae (+) (-) R R S R R R R R S S S R R S R R S
26 RIS 66 P Enterobacter cloacae (-) (-) R R R S S S S S S S R S R S S S S
27 TM 61 P Enterobacter cloacae (-) (-) R R R R R R R R S S R S R R R R R
28 SM 77 P Klebsiella ornithinolytica (+) (-) S R S R R R R S S S S S R R S R S
29 LL 64 P Klebsiella ornithinolytica (-) (-) R R S S R S S R S S R R R R R R R
30 SR 34 P Klebsiella ornithinolytica (-) (-) R R R R R R R R S S R S R R R R R
31 SU 75 L Klebsiella ornithinolytica (-) (-) R R R R R S R S S S R S S R R R R
32 SC 70 P Staphylococcus saprophyticus (-) (+) S S R S S S R R S S S S R R S R S
33 JS 45 L Staphylococcus saprophyticus (-) (+) S R R R S S R R S S R S R R R S S
34 SU 52 L Staphylococcus saprophyticus (-) (+) S R S S S S R R S S S S R S S R R
35 ST 57 L Staphylococcus epidermidis (+) (+) S R S R R R R R S S S R R S S R S
36 IR 26 P Staphylococcus epidermidis (-) (+) S S S R S S S R S S S S R S R R S
37 KS 60 P Staphylococcus epidermidis (-) (+) S R R S S S S S S S R S R R R R R
38 AK 54 L Staphylococcus aureus (-) (+) R R S R R R R R S S S R R R R R S
39 SG 67 P Staphylococcus aureus (-) (+) S R S R R R S R S S S R R S S R S
40 EH 49 P Streptococcus pneumoniae (-) (+) S R S S R S R S R S S S S S S R S
41 JMB 50 P Streptococcus pneumoniae (-) (+) S R S R R R R R R R S R R R R R R
42 UN 67 L Proteus mirabilis (-) (-) R R S R R R R R S S R R R R R R R
43 LI 40 P Pseudomonas fluorescens (-) (-) R R R R R R R R S S R R R R R R R
44 HE 31 P Streptococcus agalactiae (-) (+) S R S S S S S S S S S S R R R S S
45 AB 55 L Yeast
46 AH 78 L TAP
47 DI 31 P TAP
48 EIS 49 P TAP
49 SS 52 L TAP
(3)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS
Nama
: dr. Lindayanti
Tempat/Tgl. Lahir : Jakarta, 15 Oktober 1974
Suku/Bangsa
: Jawa / Indonesia
Agama
: Islam
Alamat
: Jl. Gurilla No. 65AA/137 Sentosa Baru, Medan
20233
II. KELUARGA
Nama Suami
: Rahmat Manurung, SIP
Nama Ayah
: H. Kasyadi
Nama Ibu
: Almh Hj. Chalilatul Afdiah Aman, BA
III. PENDIDIKAN
1. SDN Pasanggrahan 03 Jakarta Selatan
: Tahun 1981
2. SMPN 177 Jakarta Selatan
: Tahun 1987
3. SMAN 86 Jakarta Selatan
: Tahun 1990
4. FK - Universitas Islam Sumatera Utara
: Tahun 1993
5. Mengikuti Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP. H. Adam Malik
Medan, mulai : 1 Juli 2009 s/d Sekarang.
IV. RIWAYAT PEKERJAAN
- Dokter PTT Puskesmas Tanjung Sengkuang Pemko Batam
2004-2006
- Dokter PNS Puskesmas Tanjung Sengkuang Pemko Batam
2006-sekarang.
(4)
V. ORGANISASI
1. Anggota IDI (Ikatan Dokter Indonesia) Cabang Batam – Kepri
2. Anggota IDI (Ikatan Dokter Indonesia) Cabang Medan – Sumut
3. Anggota Muda PDSPATKLIN (Perkumpulan Dokter Spesialis
Patologi Klinik) Cabang Medan
VI. PARTISIPASI DALAM KEGIATAN ILMIAH
1. Presentasi poster pada Pertemuan Ilmiah Tahunan X PDS PatKlin
Indonesia, di Pontianak, 22 September 2011, Judul : Gambaran
Serologi IgG Helicobacter pylori.
2. Presentasi poster pada The 7
thNational Convention of the
Indonesian Society of Haematology and Blood Transfusion
(PHTDI), di Medan, 08-09 Oktober 2011, Judul : Hemostasis During
Extra-Corporeal Circulation.
3. Presentasi poster pada Kongres Nasional XII dan Pertemuan Ilmiah
Tahunan Perhimpunan Nefrologi Indonesia, di Palembang 17
Oktober 2014, Judul : Pola Resistensi Antimikroba pada Infeksi
Saluran Kemih yang disebabkan oleh Bakteri Penghasil ESBL dan
Non-ESBL.
VII. PELATIHAN/WORKSHOP
1. Workshop Nasional III Pendidikan Bioetika dan Medikolegal,
Medan, 16-17 Desember 2009
2. Workshop Biomolekuler : Pemeriksaan Biomolekuler dengan
Teknik Lightcycler Realtime PCR, Medan, 09 Agustus 2010
3. Workshop dan Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan X PDS
PatKlin, Pontianak, 22 – 24 September 2011
4. The 7
thPHTDI - Workshop: Hemophilia and Supportive Treatment
in Cancer, Medan, 7 Oktober 2011
5. The 7
thPHTDI - Workshop: Thalassemia and Blood Transfusion,
Medan, 7 Oktober 2011
(5)
6. Workshop dan Simposium Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan
Patologi Klinik Regional Sumbagut I 2012, Medan, 14-16 Mei 2012
7. Simposium Konker VII dan Pertemuan Ilmiah Tahunan XI PDS
PatKlin Indonesia, Surabaya, 12-13 Oktober 2012
8. Workshop dan Simposium Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan
Patologi Klinik Regional Sumbagut II 2013, Padang, 3-5 Mei 2013
9. Workshop dan Simposium Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan
Patologi Klinik Regional Sumbagut III 2014, Pekanbaru, 23-25 Mei
2014
VIII. JOURNAL ILMIAH YANG DIPRESENTASIKAN SELAMA
MENJALANI PENDIDIKAN
1. Proteinuria and Risk for Stroke and Coronary Heart Disease
During 27 Years of Follow-up
2. Relative Incidence of Agranulocytosis and Aplastic Anemia
3. Brucellosis in High Risk Group Individuals
4. Reconstruction of Integrin Activation
5. New Methods for Detection of Campylobacters in Stool Samples
in Comparison to Culture
6. Hepatocelullar Carcinoma (HCC) ang Diagnostic Significance of
Alpha Fetpprotein (AFP)
7. The association between estimated average glucoselevels and
fasting plasma glucose levels
IX. TULISAN ILMIAH YANG DIBUAT SELAMA MENJALANI
PENDIDIKAN
1. Peran Widal dalam Diagnosa Demam Typhoid Mucosal
Immune System
2. Bakteri Patogen Penghasil Urease Hipersplenisme
3. Langerhans Cell Histiocytosis
(6)