ANOTASI REPRESENTASI WACANA KOLONIAL DAL

ANOTASI REPRESENTASI WACANA KOLONIAL DALAM BUKU SEJARAH
PENDIDIKAN INDONESIA SELAMA DAN SETELAH ORDE BARU (1975-2013)
Oleh
Gabriel Pradipta Tyas Widiyanto / 171314002
a. Judul : Representasi Wacana Kolonial Dalam Buku Sejarah Pendidikan Indonesia Selama
dan Setelah Orde Baru (1975-2013)
b. Nama Pengarang: Hieronymus Purwanta
c. Jurnal: Hisotria Vitae
d. Penerbit: Prodi Pendidikan Sejarah, FKIP, Universitas Sanata Dharma
e. Ringkasan isi:
ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis teks dan konteks buku teks sejarah yang
menetapkan kolonialisme Belanda sebagai faktor penentu era Orde Baru dan setelahnya. Dua
pertanyaan penelitian dipostulasikan: (1) Mengapa wacana penjajahan dipertahankan dalam
buku teks setelah proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945? (2) Bagaimana wacana kolonial
diwakili dalam buku teks sejarah pendidikan menengah dari enam reformasi kurikulum
nasional? Untuk menjawab pertanyaan ini, penelitian ini menganalisis buku teks sejarah
pendidikan menengah yang digunakan selama lima periode kurikulum nasional yang berbeda
dari tahun 1975 sampai 2013. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan Analisis Wacana
Kritis Teun A. van Dijk (CDA). Hasilnya menunjukkan bahwa sejarawan profesional modern

adalah produsen wacana kolonial yang direproduksi oleh penulis buku teks. Sejarawan ini
menetapkan budaya barat sebagai model ideal kehidupan sosiokultural dan membangun
sejarah Indonesia sebagai proses westernisasi dengan menggunakan penjajahan Belanda
sebagai faktor penentu. Orang Indonesia diriwayatkan menjadi benda pasif.

Indonesia pertama kali dijajah oleh Belanda dari tahun 1800 sampai 1942 dan
kemudian oleh Jepang selama Perang Dunia Kedua (1942-1945). Pengalaman panjang
Heironymus Purwanta, “The Representation of Colonial Discourse In Indonesia
Secondary Education History Textbooks During and After The New Order(19752013) pada jurnal History of Education edisi bulan Oktober 2017 (London &
Taylor, 2017)
Page 1

terjajah menyebabkan perasaan skeptis terhadap orang-orang barat, baik psikologis maupun
filosofis. Sikap ini muncul saat Indonesia menghadapi perang dingin antara Blok Barat
(Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat) dan Blok Timur (negara-negara Soviet dan
Eropa Timur). Meski tidak dianggap sebagai bagian dari salah satu blok tersebut, Indonesia
lebih memilih untuk memiliki hubungan yang lebih dekat dengan negara-negara Blok Timur.
Bahkan di akhir tahun 1950-an, Indonesia tampak anti-barat dan menganggap Allies sebagai
imperialis yang harus diperjuangkan.
Menteri Pendidikan, Muhammad Yamin, mengatakan bahwa sejarah nasional

Indonesia harus ditulis dari perspektif nasionalis untuk membantu mempromosikan semangat
nasionalisme dan melestarikan persatuan nasional. Pernyataan ini mencerminkan fakta bahwa
Indonesia adalah negara baru dan perlu membuat rakyatnya bangga menjadi orang Indonesia.
Di sisi yang berlawanan, Soedjatmoko memperingatkan tentang bahaya menggunakan sejarah
untuk meningkatkan nasionalisme
Pada tanggal 1 Oktober 1965, sekelompok penjaga istana Presiden Sukarno, yang
dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung Syamsur menculik dan membunuh tujuh jenderal
angkatan darat. Korban termasuk Ahmad Yani, yang telah dinominasikan secara pribadi oleh
Presiden Soekarno untuk menggantikannya sebagai presiden Republik Indonesia.
Pembunuhan tersebut mendemonstrasikan sebuah krisis politik yang memuncak dalam
perpindahan kepemimpinan nasional yang mencapai kudeta militer. Soeharto menjadi
presiden pada tahun 1967 dan memulai sebuah rezim militer yang dikenal sebagai Orde Baru
(Orde Baru) .5 Bertentangan dengan era sebelumnya, Soeharto mengadopsi sebuah kebijakan
anti-Timur dan bersekutu dengan Blok Barat.
Karena berafiliasi dengan negara-negara Blok Barat, Indonesia menjadi tujuan
investasi bagi banyak negara barat tersebut, terutama di bidang pertambangan. Misalnya,
Kelompok Antar Pemerintah Indonesia (IGGI) dibentuk pada bulan September 1966.
Organisasi ini terdiri dari negara-negara kreditor yang bertindak sebagai asosiasi keuangan
internasional yang tanggung jawab utamanya memberikan penghargaan terhadap program
pembangunan di Indonesia.

Metodologi

Heironymus Purwanta, “The Representation of Colonial Discourse In Indonesia
Secondary Education History Textbooks During and After The New Order(19752013) pada jurnal History of Education edisi bulan Oktober 2017 (London &
Taylor, 2017)
Page 2

Penelitian ini menggunakan buku teks sejarah pendidikan menengah yang digunakan
selama masa Orde Baru (1967-1998) dan era Reformasi (1998-sekarang). Selama Orde Baru,
kurikulum nasional diperbaharui pada tahun 1975, 1984 dan 1994. Setelah Orde Baru ambruk
Pada tahun 1998, Departemen Pendidikan (DoE) membuat revisi terhadap kurikulum tahun
1994 pada tahun 1999, yang berfokus pada penghapusan deskripsi program pembangunan
Orde Baru. Di era Reformasi, DoE telah memperbarui kurikulum nasional dua kali: pada
tahun 2006 dan 2013. Untuk setiap periode di mana kurikulum baru diimplementasikan,
diperkenalkan buku teks yang 'dianggap sangat diperlukan dan dibutuhkan untuk siswa
sekolah menengah yang ingin belajar secara otoritatif tentang sejarah Indonesia'.
Sesuai dengan rekomendasi UNESCO, penelitian ini mengadopsi pendekatan
hermeneutik. Untuk mengatasi masalah yang disebutkan di atas, buku teks sejarah sekolah
menengah dianggap sebagai dokumen sejarah yang berisi 'ekspresi manusia masa lalu yang
subjektif tentang kehidupan mereka sebagaimana yang dimanifestasikan melalui teks atau

tulisan' dan terutama produksi dan reproduksi wacana.
Untuk menganalisis isi buku teks sejarah ini, penelitian ini menggunakan Analisis
Wacana Kritis (Kusta), yang dikembangkan oleh Teun A. van Dijk dan mencakup tiga
tingkat, yaitu struktur makro, suprastruktur dan struktur mikro.
Peranan sejarawan profesional modern
Wacana kolonial dibuat oleh sejarawan lokal, yang dikenal sebagai sejarawan
profesional modern (MPH). Dalam konteks ini, sejarawan profesional ini adalah sejarawan
yang lulus dari universitas. Pembangunan historis MPH ditandai oleh sebuah narasi besar
yang mengungkapkan sejarah sebagai kemajuan yang memuncak dalam kemuliaan
modernitas negara-bangsa Narasi besar ini secara implisit mewakili kolonisasi kembali
budaya politik barat di Indonesia, karena modernitas sebagai sebuah cara hidup dan sebagai
proses perubahan material, yang ditandai oleh inovasi dan manajemen teknologi, dipelopori
oleh masyarakat barat
MPH memiliki sudut pandang modernistik bahwa kaum intelektual yang menerima
wester n pendidikan dan pemikiran dan bertingkah laku seperti orang barat adalah pelopor
gerakan nasional Indonesia. Untuk memperkuat argumen bahwa kelompok yang mengalami
pendidikan barat termasuk aktor sejarah terbaik, narasi dalam buku teks kontemporer juga
Heironymus Purwanta, “The Representation of Colonial Discourse In Indonesia
Secondary Education History Textbooks During and After The New Order(19752013) pada jurnal History of Education edisi bulan Oktober 2017 (London &
Taylor, 2017)

Page 3

meniadakan bangsawan Indonesia. Narasi ini menghadirkan bangsawan yang menjaga
budaya Indonesia tetap hidup sebagai berorientasi regional, tradisional dan hanya memiliki
pekerjaan turun-temurun. Dalam buku teks yang ditulis oleh Moedjanto, kelas ini diberi label
'arsitek kesengsaraan'.
Posisi budaya barat dan budaya Indonesia dalam oposisi biner bukanlah hal yang
baru, karena Eykman dan Stapel telah menetapkan pandangan ini pada tahun 1941 dengan
menyatakan bahwa kekuatan Belanda (di Indonesia) terutama menguntungkan masyarakat
setempat Pembangunan sejarah Indonesia modern karena proses westernisasi secara historis
telah dianggap sebagai hasil penelitian oleh sejarawan barat yang dikutip. oleh sejarawan
Indonesia. Salah satu studi di barat ini adalah Munculnya The Munculnya Elite Modern
Modern Robert van Niel, yang diterbitkan pada tahun 1960 dan diterjemahkan ke bahasa
Indonesia pada tahun 1984. Tesis yang ditawarkan oleh Niel menyatakan bahwa semua elit
modern Indonesia adalah hasil pendidikan barat dan telah mengadopsi setidaknya beberapa
aspek budaya barat.
Kolonialisme Belanda sebagai faktor penentu
Representasi wacana kolonial dalam buku teks sejarah dipelopori oleh Nugroho
Notosusanto dan Yusmar Basri melalui Sejarah Nasional Indonesia Untuk SMA (kurikulum
Nasional untuk Sekolah Menengah Atas) untuk kurikulum 1975.39 Buku teks ini digunakan

sebagai referensi untuk buku teks sejarah yang diterbitkan kemudian. Buku teks untuk
kurikulum 1984 bahkan memiliki judul yang sama persis untuk bab dan subchaptersnya
seperti buku teks sebelumnya. Dalam buku teks untuk kurikulum 1975, wacana kolonial
diwakili dengan membangun kolonialisme Belanda sebagai kekuatan penentu. Penentuan
dalam penelitian ini adalah unsur yang secara tegas mempengaruhi sifat atau hasil sesuatu.
Dari prinsip perspektif kausalitas, unsur tersebut dipandang sebagai satu-satunya yang
menyebabkan banyak peristiwa sejarah terjadi. Salah satu peristiwa sejarah yang banyak
dibahas dalam buku teks ini sebagai faktor penentu adalah Kebijakan Etis.
Dalam buku teks untuk kurikulum tahun 1994, posisi faktor penentu diperlebar untuk
memasukkan tidak hanya penjajahan Belanda tapi juga budaya barat pada umumnya. Sebuah
bab baru ditambahkan yang disebut 'Perkembangan Kolonialisme dan Imperialisme Eropa
dalam Politik, Ekonomi dan Ideologi' (Pertumbuhan kolonialisme dan imperialisme Eropa
Heironymus Purwanta, “The Representation of Colonial Discourse In Indonesia
Secondary Education History Textbooks During and After The New Order(19752013) pada jurnal History of Education edisi bulan Oktober 2017 (London &
Taylor, 2017)
Page 4

dalam politik, ekonomi, dan ideologi). Bab ini menjelaskan perkembangan berbagai teori
filosofis seperti liberalisme, sosialisme, nasionalisme dan demokrasi.
Diskusi

Wacana diskusi produksi dan reproduksi melalui buku teks sejarah agar sesuai dengan
kepentingan nasional banyak terjadi di negara. Di Asia Tenggara, Indonesia dan Malaysia
memiliki banyak kesamaan dalam agama dan akar etnis mayoritas penduduknya, dalam
pengalaman mereka dijajah, dan di bidang ekonomi mereka, yang dikendalikan dan
didominasi oleh kelompok etnis Tionghoa. Namun, mereka sangat berbeda dalam
membangun dan menceritakan masa lalu mereka.
Untuk menghasilkan persatuan, ada kepercayaan di kalangan pemimpin nasional bahwa
pemerintah harus menciptakan sebuah program untuk melindungi orang-orang Melayu
dengan memberantas ketidaksetaraan pendapatan dan melalui redistribusi kekayaan. Pada
tahun 1970 pemerintah meluncurkan kebijakan di bidang ekonomi nasional, bahasa nasional,
budaya nasional dan pendidikan nasional yang didasarkan pada kepentingan Melayu.
Produksi wacana imilar dengan Indonesia ditemukan dalam narasi buku teks sejarah
Ghana. Elit Ghana melihat negaranya sebagai negara terbelakang yang harus mengubah
dirinya menjadi negara modern dimana
Ekonomi nasional dikelola sedemikian rupa untuk memaksimalkan laju pembangunan
ekonomi dan untuk menjamin kesejahteraan, kebebasan dan kebahagiaan maksimal setiap
orang di Ghana dan untuk menyediakan sarana penghidupan yang memadai dan pekerjaan
yang sesuai dan bantuan publik bagi orang-orang yang membutuhkan.
Kesimpulan
Proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 tidak berarti bahwa kolonialisme

telah berakhir. Ketika Soeharto menggantikan Sukarno pada tahun 1966, narasi Indonesia
sebagai ramah terhadap Blok Barat diperkuat dalam buku teks sejarah. Perubahan mendasar
terjadi dimulai dengan kurikulum 1975 karena narasi dalam buku teks sejarah sekunder baru
menjadi lebih kolonialis dalam perspektif. Melalui buku teks wajib yang diterbitkan oleh
pemerintah, sebuah wacana baru diproduksi. Penjajahan Belanda dan imperialisme di
Indonesia tidak lagi dianggap sebagai penyebab kesengsaraan; Sebagai gantinya, ia menjadi
konveyor pembangunan. Kebijakan ekonomi pada akhir abad kesembilan belas dan
Heironymus Purwanta, “The Representation of Colonial Discourse In Indonesia
Secondary Education History Textbooks During and After The New Order(19752013) pada jurnal History of Education edisi bulan Oktober 2017 (London &
Taylor, 2017)
Page 5

Kebijakan Etis di tahun 1900 ditetapkan sebagai faktor penentu munculnya nasionalisme
Indonesia pada tahun 1908. Wacana bahwa penjajahan Belanda adalah konveyor
pembangunan Indonesia dieksplorasi dalam buku teks sejarah selama masa Baru.

Heironymus Purwanta, “The Representation of Colonial Discourse In Indonesia
Secondary Education History Textbooks During and After The New Order(19752013) pada jurnal History of Education edisi bulan Oktober 2017 (London &
Taylor, 2017)
Page 6