Optimalisasi Tugas Pokok dan Fungsi Maujana Nagori dalam Pembangunan Desa di Nagori Mekar Sari Raya Kecamatan Panei Kabupaten Simalungun

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Optimalisasi
Secara umum, pengertian optimalisasi adalah pencarian nilai terbaik dari
yang tersedia dari beberapa fungsi yang diberikan pada suatu konteks. Sedangkan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahwa optimalisasi berasal dari
kata Optimal artinya terbaik atau tertinggi. Mengoptimalkan berarti menjadikan
paling baik atau paling tinggi. Sedangkan optimalisasi adalah proses
memaksimalkan sesuatu, dengan kata lain proses menjadikan sesuatu menjadi
paling baik atau paling tinggi. Jadi, optimalisasi adalah suatu proses, cara dan
perbuatan untuk mencari solusi dari beberapa masalah, dimana yang terbaik adalah
sesuai dengan kriteria tertentu.
Dalam penelitian ini, yang dijadikan untuk menjadi lebih baik dan
maksimal adalah tugas pokok dan fungsi Maujana Nagori atau BPD. Tugas pokok
dan fungsi Maujana Nagori pada hakikatnya merupakan mandat lembaga
sehingga upaya pengembangan kapasitas Maujana Nagori menjadi perhatian yang
sangat penting agar Maujana Nagori menjadi sebuah lembaga yang berdaya
dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dengan optimal.
Menurut Dwipayana (2003: 97-98)Ada 3 strategi yang bisa dilakukan oleh
pihak-pihak yang berkompeten (baik dari civil society maupun negara) untuk

menguatkan institusi BPD yaitu :

8
Universitas Sumatera Utara

1. Menggunakan Strategi Capacity Building Secara Bertahap
Strategi ini dilakukan dengan masuk pada penguatan kapasitas personal,
penguatan kapasitas organisasional lokal serta penguatan institusional.
Pertama, penguatan kapasitas personal BPD dilakukan pada sisi aktor
individu dengan melakukan sharring pemahaman atas perubahan struktur
politik yang terjadi di level nasional maupun desa serta memberikan
pemahaman tentang posisi barunya. Kedua, penguatan dilakukan pada sisi
organisasional dengan melakukan sharring pemahaman berkaitan dengan
peningkatan kapasitas internal kelembagaan BPD. Ketiga, penguatan
dilakukan pada sisi institusional dengan melakukan sharring dan
pemahaman atas fungsionalisasi kelembagaan BPD sebagai lembaga
perwakilan desa.
2. Strategi capicity building ditindaklanjuti dengan melakukan pendampingan
secara aktif pada lembaga BPD untuk lebih menempa kemampuan BPD
baik dalam mengurusi internal lembaganya maupun keluar berkaitan

dengan kemampuan voice dan control. Berkaitan dengan kemampuan voice
dan control, BPD malaksanakan kerja koordinatif bersama pemerintah desa
untuk merumuskan kebijakan desa dan APBDes, serta melakukan kontrol
terhadap jalannya pemerintahan. Sedangkan dalam kaitannya dengan relasi
sosial BPD dituntut agar mampu menyerap dan mengartikulasikan
kepentingan masyarakat.
3. Membangun Networking dan Kemitraan Antara Stakeholders Tata
Pemerintahan Desa

9
Universitas Sumatera Utara

Hubungan antar steakholders di level desa perlu ditata secara lebih
partisipatif serta membangun sebuah hubungan yang mutual trust dalam
rangka kemitraan. Realisasinya, forum-forum seperti rembung desa perlu
dihidupkan kembali. Lembaga-lembaga yang memiliki kompetensi dalam
memberikan kontribusi bagi pengutan BPD tersebut perlu menggunakan
pendekatan partnership atau kemitraaan. Pilihan ini didasarkan gagasan
untuk membawa proses politik di level desa dalam sebuah kerangka kerja
yang menempatkan semua stakeholder pada posisi yang seimbang (sesuai

dengan fungsi dan perannya) serta sebagai upaya untuk membangun
kembali rasa saling percaya antar stakeholder yang ada di desa.
Upaya membangun komunikasi dialogis antar stakeholder melalui
pendekatan partnership dijalankan dengan tidak mengabaikan munculnya
sikap kritis yang diarahkan sebagai mekanisme untuk saling mengingatkan
agar konsisten menjalankan kinerjanya sesuai peran dan fungsinya masingmasing.

2.2 Konsep Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
Abdullah (2007:171) mendefinisikan “Badan Permusyawaratan Desa yang
selanjutnya disebut BPD adalah suatu badan yang sebelumnya disebut Badan
Perwakilan Desa yang berfungsi menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala
Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.”
Wasistiono dan Tahir (2007:35) juga mendefinisikan bahwa Badan
Perwakilan Desa (BPD) yang ada selama ini berubah menjadi Badan
Permusyawaratan Desa. Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan
peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi
masyarakat. Dalam menjalankan fungsinya tersebut BPD yang juga sebagai wakil
masyarakat merupakan jembatan bagi masyarakat untuk menyampaikan
aspirasinya kepada Kepala Desa.


10
Universitas Sumatera Utara

Kehadiran BPD merupakan format lembaga baru yang menggantikan
fungsi Lembaga Musyawarah Desa (LMD) yang tidak lagi berjalan. BPD
merupakan lembaga musyawarah desa yang berbeda dengan LMD. Keanggotaan
BPD tidak berasal dari unsur Pemerintah Desa baik Kepala Desa, Sekretaris Desa,
maupun Kepala Dusun. Sedangkan dalam LMD, Kepala Desa, Sekretaris Desa
dan Kepala Dusun memegang peranan penting sebagai pemimpin. Sebenanrnya
sudah terdefinisi dengan jelas bahwa BPD akan berperan sebagai sebuah lembaga
yang mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan pembangunan di desa,
kemudian akan dilaksanakan sepenuhnya oleh kepala desa sebagai eksekutif,
melalui sebuah mekanisme kontrol dari BPD, hingga pada penerimaan laporan
pertanggungjawaban kepada BPD (Tangklisan, 2003:175).

2.2.1 Konsep BPD dalam Undang – Undang No. 6 Tahun 2014
Berdasarkan pasal 1 ayat (4) Undang-undang No. 6 Tahun 2014 Tentang
Desa dijelaskan bahwa:
“Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah
lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya

merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah
dan ditetapkan secara demokratis.”
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Badan Permusyawaratan
Desa berkedudukan sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan.
Kemudian didalam pasal 56 ayat (1) disebutkan bahwa anggota BPD terdiri dari
wakil penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang
ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Anggota BPD terdiri dari
pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka
masyarakat lainnya.

11
Universitas Sumatera Utara

Masa jabatan anggota BPD adalah 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal
pengucapan sumpah/janji dan Anggota Badan Permusyawaratan Desa dapat
dipilih untuk masa keanggotaan paling banyak 3 kali secara berturut-turut atau
tidak secara berturut-turut.Pimpinan dan anggota BPD tidak di perbolehkan
merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan Perangkat Desa.
2.2.2 Fungsi, Tugas Pokok, Hak dan Kewajiban BPD


Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mempunyai peranan yang besar
dalam penyelenggaraan pemerintahan desa yakni membantu Kepala Desa dalam
merumuskan dan menetapkan terkait kebijakan-kebijakan desa dan perencanaan
pembangunan desa secara keseluruhan. Berdasarkan ketentuan Pasal 55 UU
Nomor 6 Tahun 2014 fungsi BPD dalam penyelenggaraan pembangunan desa
meliputi :
a. Membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala
Desa.
b. Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa dan
c. Melakukan pengawasankinerja Kepala Desa.
Adapun tugas pokok Badan Permusyawarata Desa (BPD) meliputi :
1. Meminta pertanggungjawaban kepala desa atas nama rakyat pada setiap
akhir tahun anggaran.
2. Menyalurkan aspirasi masyarakat kepada instansi yang berwenang.
3. Memberikan saran dan pendapat dalam rangka pembangunan desa.
4. Memberikan saran dan pendapat dalam rangka pembinaan perekonomian
masyarakat desa.
5. Memberikan saran dan pendapat dalam rangka ketertiban dan ketentraman
masyarakat desa.
6. Memberikan saran dan pendapat dalam rangka penyelesaian

perseisihan/permasalahan antara warga masyarakat desa.
7. Melaksanakan pengawasan kerjasama antar desa.
8. Bekerjasama dengan masyarakat dan aparat keamanan dan pemberantasan
narkoba, perjudian, HAM, dan kriminalitas.

12
Universitas Sumatera Utara

Pasal 63 Undang-Undang No. 6 Tahun 2014, Badan Permusyawaratan Desa
mempunyai kewajiban, antara lain:
(1) Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UndangUndang
DasarNegaraRepublikIndonesia
Tahun
1945,
serta
mempertahankandan
memelihara
keutuhan
Negara
Kesatuan

RepublikIndonesia dan Bhinneka Tunggal Ika.
(2) Melaksanakan kehidupan demokrasi yang berkeadilan gender dalam
penyelenggaraan pemerintahan desa.
(3) Menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat desa.
(4) Mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, kelompok,
dan/atau golongan.
(5) Menghormati nilai sosial budaya dan adat istiadat masyarakat desa.
(6) Menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga
kemasyarakatan desa.
Pasal 61 Badan Permusyawaratan Desa berhak:
a. Mengawasidan
meminta
keterangan
tentang
penyelenggaraan
Pemerintahan Desa kepada Pemerintah Desa.
b. Menyatakan pendapat atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa.

c. Mendapatkan biaya operasional pelaksanaan tugasdan fungsinya dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Eksistensi dibentuknya BPD merupakan mitra bagi Pemerintah desa dalam
penyelenggaraan

pemerintahan

maupun

perencanaannya

hingga

pengawasannanya.

pada

pembangunan
BPD


desa

dari

proses

berperan

dalam

melaksanakan fungsi legislasi, anggaran, pengawasan dan artikulasi aspirasi
masyarakat.
1. Fungsi Legislasi
BPD mempunyai fungsi utama dalam membuat dan menetapkan kebijakan
desa bersama Kepala Desa. Kebijakan yang dibuat oleh BPD ini berupa
peraturan desa ataupun ketentuan desa yang diberlakukan bagi segenap warga
desa yang berada di desa yang bersangkutan. Fungsi legislasi ini terlihat pada

13
Universitas Sumatera Utara


keterlibatan BPD dalam menetapkan Peraturan Desa (Perdes). Hal tersebut
sebagaimana disebutkan dalam UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa bahwa
fungsi dan wewenang Badan Permusyawaratan Desa (BPD) diantaranya
adalah “Membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa Bersama
Kepala Desa.”
Di dalam pembuatan peraturan Desa (Perdes) tersebut tentunya dimulai
dengan suatu perancangan. Secara normatif rancangan tersebut bersumber
dari dua lembaga yakni:
1) Rancangan yang berasal dari Eksekutif Desa (Kepala Desa dan Perangkat
Desa), Dalam pasal 69 ayat (3) UU No.6 Tahun 2014 Tentang
Desadisebutkan bahwa Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa
setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.
Adapun jenis-jenis peraturan dalam pasal 69 terdiri dari :
a. Peraturan Desa
Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan
disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa. Dalam Pasal 79 Ayat
(2) UU No. 6 Tahun 2014 bahwa Pemerintah Desa menyusun perencanaan
Pembangunan Desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada
perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. Perencanaan Pembangunan
Desa disusun secara berjangka meliputi:
a) Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desauntuk jangka
waktu 6 (enam) tahun.
b) Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau yangdisebut Rencana
Kerja

Pemerintah

(RKP)

Desa,merupakan

penjabaran

dari

14
Universitas Sumatera Utara

RencanaPembangunan Jangka Menengah Desa untukjangka waktu 1
(satu) tahun.Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan
Rencana Kerja Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Desa.
c) Peraturan Desa tentang RPJMDes dan RKPDes merupakan satusatunya dokumen perencanaan yang selanjutnya menjadi pedoman
dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes)
yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
b. Peraturan bersama Kepala Desa
Peraturan bersama Kepala Desa merupakan peraturan yang ditetapkan oleh
Kepala Desa dari 2 (dua) Desa atau lebih yang melakukan kerja sama antar
Desa.
c. Peraturan Kepala Desa
Peraturan Kepala Desa merupakan peraturan yang di buat Kepala Desa
tentang pelaksanaan Peraturan Desa yang diundangkan oleh Sekretaris
Desa dalam lembaran desa dan berita desa.
2) Rancangan yang berasal dari Legislatif Desa (Badan Permusyawaratan
Desa) yang disebut rancangan peraturan desa inisiatif berupa tata tertib
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan peraturan lain yang dianggap
relevan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat desa.
Dalam kaitannya fungsi legislasi, BPDjuga diberi hak inisiatif yaitu hak
untuk mengadakan amandemen terhadap rancangan undang-undang yang
disusun

oleh

pemerintah,

dan

terutama

dibidang

budget

dan

anggaran.Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) adalah peraturan
desa yang memuat sumber-sumber penerimaan dan alokasi pengeluaran desa

15
Universitas Sumatera Utara

dalam kurun waktu satu tahun. APBDesa terdiri atas bagian pendapatan Desa,
belanja Desa dan pembiayaan. Rancangan APBDesa dibahas dalam
musyawarah perencanaan pembangunan desa. Kepala Desa bersama BPD
menetapkan APBDesa setiap tahun dengan Peraturan Desa.Berdasarkan
definisi tersebut maka APBDes merupakan rencana operasional tahunan dari
program pemerintahan dan pembangunan desa yang dijabarkan dan
diterjemahkan dalam angka-angka rupiah yang mengandung perkiraan target,
pendapatan dan perkiraan batas tertinggi belanja desa.
2. Fungsi Pengawasan
Widjaja (2003:165) menjelaskan bahwa BPD sebagai lembaga legislatif
desa

berperan

dalam

melaksanakan

fungsi

pengawasanterhadap

kinerja

pemerintah desa atas pelaksanaan peraturan desa, anggaran pendapatan dan
belanja desa (APBDes) serta keputusan Kepala Desa.
Menurut Steiss (1982) dalam Kartasasmita (1997:64), salah satu fungsi
pengawasan adalah meningkatkan kebertanggungjawaban (accountability) dan
keterbukaan (transparancy) sektor publik.Pengawasan pada dasarnya menekankan
langkah-langkah pembenahan atau koreksi (corrective actions) jika dalam suatu
kegiatan terjadi kesalahan atau perbedaan dari tujuan atau sasaran yang telah
ditetapkan.
Mockler (1972) dalam Kartasasmita (1997:64) juga menyatakan bahwa
langkah-langkah pengawasan seyogyanya lebih ditekankan pada hal-hal yang
positif dan bersifat pencegahan. Untuk itu pengawasan memerlukan standar
kinerja atau indikator yang dapat digunakan sebagai pembanding atau referensi
dari kinerja aktualnya. Penentuan standar kinerja bagi pengawasan membutuhkan

16
Universitas Sumatera Utara

masukan dan peran serta para pelaksana di lapangan sehingga dapat menghasilkan
suatu standar yang realistik dan akurat. Adapun konsep pengawasan menurut
Mockler, mengungkapkan 4 hal yaitu :
a. Harus adanya rencana, standard atau tujuan sebagai tolok ukur yang ingin
dicapai.
b. Adanya proses pelaksanaan kerja untuk mencapai tujuan yang
diinginkan.
c. Adanya usaha membandingkan mengenai apa yang telah dicapai dengan
standard, rencana, atau tujuan yang telah ditetapkan.
d. Melakukan tindakan perbaikan yang diperlukan.
3. Fungsi Representatif
Badan Permusyawaratan Desa selain berperan dalam melaksanakan fungsi
legislasi dan pengawasan, bagi anggota BPD terbuka kesempatan untuk bertindak
sebagai pembawa suara rakyat dan mengajukan beraneka ragam pandangan yang
berkembang secara dinamis dalam masyarakat. Dengan demikian jarak antara
yang memerintah dengan yang diperintah dapat diperkecil.
Aspirasi dari masyarakat yang diserap oleh BPD dilakukan melalui
mekanisme atau cara :
1. Penyampaian langsung kepada BPD Penyampaian aspirasi oleh warga
kepada BPD tidak jarang pula dilakukan baik secara individu maupun
bersama-sama dengan menyampaikan langsung kepada anggota BPD yang
ada di lingkungannya (RW).
2. Penyampaian melalui forum warga BPD memperhatikan aspirasi dari
masyarakat melalui forum-forum yang diadakan wilayah. Penyampaian
melalui pertemuan tingkat desa, penyampaian aspirasi melalui forum
rembug desa atau rapat koordinasi yang diselenggarakan oleh pemerintah
desa. Pada forum ini pemerintah mengundang perwakilan dari masyarakat

17
Universitas Sumatera Utara

yaitu ketua RT/RW, tokoh agama, adat, masyarakat serta mengikut
sertakan BPD guna membahas mengenai permasalahan maupun program
yang sedang atau akan dijalankan oleh Pemerintah Desa.
Adisasmita

(2006:13)

mengemukakan

bahwa

untuk

menampung,

menjaring dan menyaring kepentingan dan aspirasi dari berbagai kelompok dalam
masyarakat agar dilakukan melalui musyawarah. Musyawarah adalah sebuah
pendekatan kultural. Dalam community development mengandung upaya untuk
meningkatkan partisipasi dan rasa memiliki (participating and belonging
together) terhadap program yang dilaksanakan.

2.3 Konsep Capacity Building (Pengembangan Kapasitas)
2.3.1 Pengertian Capacity Building
Penelusuran definisi capacity building memiliki variasi antar satu ahli
dengan ahli lainnya. Sebelum membahas lebih jauh mengenai Capacity Building,
ada baiknya kita memahami terlebih dahulu pengertian dari kapasitas. Secara
sederhana kapasitas dapat dimaknai sebagai kemampuan seseorang dalam
melakukan sesuatu dalam rangka mencapai tujuan. Hal ini diperkuat dengan
pendapat yang dikemukakan oleh Milen (2004 : 12) bahwa “Kapasitas adalah
kemampuan individu, organisasi atau sistem untuk menjalankan fungsi
sebagaimana mestinya secara efektif, efisien dan terus-menerus.”
Secara sederhana Milen (2004 : 14) mengartikan bahwa pengembangan
kapasitas secara sempit sebagai pelatihan meningkatkan pengetahuan dan
kecakapan secara umum. Selanjutnya UNDP (1997)dan Komite Bantuan
Pengembangan dalam (Milen, 2004 : 15) memberikan pengertian pengembangan

18
Universitas Sumatera Utara

kapasitas sebagai proses dimana individu, kelompok, organisasi, institusi, dan
masyarakat meningkatkan kemampuannya untuk:
1. Menjalankan fungsi pokok, memecahkan masalah, menentukan dan
mencapai tujuan.
2. Memahami dan menghubungkan kebutuhan pengembangan mereka dalam
konteks yang lebih luas dan dengan cara yang terus menerus.
Selanjutnya pengertian mengenai karakteristik dari pengembangan
kapasitas menurut Milen (2004 : 16) mengemukakan bahwa:
“Pengembangan kapasitas tentunya merupakan proses peningkatan terus
menerus (berkelanjutan) dari individu, organisasi atau institusi, tidak
hanya terjadi satu kali. Ini merupakan proses internal yang hanya bisa
difungsikan dan dipercepat dengan bantuan dari luar sebagai contoh
penyumbang (donator).”
Sementara Soeprapto (2006) sebagaimana dikutip oleh Rino Arnold (2016
: 11) juga mendefinisikan mengenai Capacity building (pengembangan kapasitas)
yakni :
a. Pengembangan kapasitas bukanlah produk, melainkan sebuah proses.
b. Pengembangan kapasitas adalah proses pemelajaran multi-tingkatan
meliputi individu, grup, organisai dan sistem.
c. Pengembangan kapasitas menghubungkan ide terhadap sikap.
d. Pengembangan kapasitas dapat disebut sebagai actionable learning
dimana pengembangan kapasitas meliputi sejumlah proses-proses
pemelajaran yang saling berkaitan, akumulasi benturan yang menambah
prospek untuk individu dan organisasi agar secara terus menerus
beradaptasi atas perubahan.
Dari keseluruhan definisi di atas, pada dasarnya Capacity building
mengandung kesamaan dalam tiga aspek sebagai berikut:
a. Pengembangan kapasitas merupakan suatu proses.
b. Bahwa proses tersebut harus dilaksanakan pada tiga level/tingkatan, yaitu
individu, kelompok dan institusi / organisasi.

19
Universitas Sumatera Utara

c. Selanjutnya proses tersebut dimaksudkan untuk menjamin kesinambungan
organisasi melalui pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya sesuai tujuan
dan sasaran organisasi yang bersangkutan.
Berdasarkan definisi Capacity Building diatas dapat dipahami bahwa
Capacity building merupakan serangkaian upaya untuk membantu pemerintah,
masyarakat atau individu-individu dalam mengembangkan keterampilan dan
keahlian yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Program Capacity Building
(pengembangan kapasitas) pada dasarnya didesain untuk memperkuat kemampuan
dan perbaikan kualitas sumber daya manusia, mendorong organisasi agar dapat
berjalan sesuai dengan fungsinya, serta upaya untuk menciptakan kondisi
lingkungan yang dibutuhkan oleh suatu lembaga agar dapat berfungsi dengan
baik. Pengembangan kapasitas termasuk di dalamnya pendidikan dan pelatihan,
reformasi peraturan dan kelembagaan, pengetahuan, juga asistensi finansial.
Dengan demikian, konsep capacity building dapat dimaknai sebagai
proses

membangun

kapasitas

individu,

kelompok

atau

organisasi

dan

kelembagaan agar dapat berdaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui
pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya. Capacity building dapat juga diartikan
sebagai upaya memperkuat kapasitas individu, kelompok atau organisasi dan
kelembagaan yang dicerminkan melalui pengembangan kemampuan, ketrampilan,
potensi dan bakat serta penguasaan kompetensi-kompetensi sehingga individu,
kelompok atau organisasi dan lembaga dapat bertahan dan mampu mengatasi
tantangan perubahan yang terjadi secara cepat dan tak terduga.

20
Universitas Sumatera Utara

2.3.2 Tujuan Capacity Building
Menurut Keban (2000) sebagaimana dikutip oleh Rino Arnold (2016 : 7)
bahwa Capacity Building (Pengembangan Kapasitas) adalah serangkaian strategi
yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan responsifitas dari
kinerja.
Berdasarkan pendapat ahli di atas, penjelasan tersebut menunjukkan
bahwa adapun tujuan dari Capacity Building (pengembangan kapasitas) dapat
dibagi menjadi 2 bagian yaitu :
1. Secara umum diidentikkan pada perwujudan sustainabilitas (keberlanjutan)
suatu sistem.
2. Secara khusus ditujukan untuk mewujudkan kinerja yang lebih baik dilihat
dari aspek :
a. Efisiensi dalam hal waktu (time) dan sumber daya (resources) yang
dibutuhkan guna mencapai suatu outcome;
b. Efektifitas berupa kepantasan usaha yang dilakukan demi hasil yang
diinginkan;
c. Responsifitas yakni bagaimana mensinkronkan antara kebutuhan dan
kemampuan untuk maksud tersebut;
d. Pembelajaran yang terindikasi pada kinerja individu, grup, organisasi
dan sistem.

2.3.3 Persyaratan-persyaratan dalam Capacity Building
Sebelum pengembangan kapasitas dilaksanakan ada beberapa persyaratan
yang perlu diketahui. Adapun persyaratan-persyaratan tersebut menurut (Yuwono,
2003) dalam Soeprapto (2006) sebagaimana dikutip oleh Rino Arnold (2016 : 22)
a. Partisipasi merupakan salah satu persyaratan yang sangat penting karena
menjadi dasar seluruh rangkaian kegiatan pengembangan kapasitas.
Partisipasi dari semua level, tidak hanya level staf atau pegawai saja, tetapi
juga level pimpinan atas, menengah dan bawah sangat dibutuhkan dalam
penyelenggaraan program, maka sudah semestinya inisiatif partisipasi ini
dibangun sejak awal hinga akhir program pengembangan kapasitas dalam
rangka menjamin kontinuitas program.
b. Inovasi juga merupakan persyaratan lain yang tidak kalah penting dan
mendesak. Harus diakui bahwa inovasi adalah bagian dari program
pengembangan kapasitas, khususnya dalam kerangka menyediakan

21
Universitas Sumatera Utara

berbagai alternatif dan metode pengembangan kapasitas yang bervariasi,
dan menyenangkan. Hampir tidak mungkin terjadi pengembangan
kapasitas tanpa diikuti oleh inovasi (karena capacity building merupakan
bentuk dari sebuah inovasi). Pengembangan mengabaikan, menghambat
ataupun tidak memberikan ruang terhadap inovasi. Inovasi penting karena
pekerjaan bukanlah sesuatu yang statis sifatnya, tetapi justru dinamis
sesuai dengan tuntutan publik yang kian tinggi.
c. Kemudian, akses terhadap informasi merupakan persyaratan lain yang
tidak kalah pentingnya dalam melakukan program pengembangan
kapasitas. Pada bentuk organisasi yang tradisional dan birokratis, semua
informasi dipegang dan dikuasai oleh pimpinan. Kondisi seperti ini jelas
tidakmemungkinkan pengembangan kapasitas.Sebaliknya, pengembangan
kapasitas salah satunya harus dimulai dengan memberikan akses dan
kesempatan untuk memperoleh informasi secara cukup baik dan efektif
guna mendukung program yang akan dilaksanakan.
d. Akuntabilitas juga merupakan persyaratan lain yang tidak kalah urgennya.
Akuntabilitas penting untuk menjaga bahwa program pengembangan
kapasitas juga harus dikendalikan sedemikian rupa sehingga menuju pada
suatu hasil yang diinginkan. Dengan kata lain akuntabilitas dibutuhkan
dalam rangka penjaminan bahwa program pengembangan kapasitas
merupakan kegiatan yang legitimate, kredibel, akuntabel dan bisa
dipertanggungjawabkan. Persyaratan yang terakhir adalah kepemimpinan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas kepemimpinan memegang
peranan penting dalam kesuksesan program pengembangan kapasitas
organisasi.
e. Kepemimpinan yang dipersyaratkan dalam pengembangan kapasitas antara
lain adalah keterbukaan (openness), penerimaan terhadap ide-ide baru
(receptivity to new ideas), kejujuran (honesty), perhatian (caring),
penghormatan terhadap harkat dan martabat (dignity) serta penghormatan
kepada orang lain (respect to ople). Semakin pemimpin memberikan
kepercayaan dan suasana kondusif pada staf untuk berkembang, maka
akan semakin sukseslah program pengembangan kapasitas dalam sebuah
organisasi.

2.3.4 Dimensi dan Tingkatan Capacity Building

Dalam pengembangan kapasitas memiliki dimensi, fokus dan tipe
kegiatan. Dimensi, fokus dan tipe kegiatan tersebut menurut Grindle (1997)
sebagaimana dikutip oleh Rino Arnold (2016:128) adalah sebagai berikut:
1. Dimensi pengembangan SDM, dengan fokus: personel yang profesional
dan kemampuan teknis serta tipe kegiatan seperti: training, praktek
langsung, kondisi iklim kerja, dan rekrutmen.

22
Universitas Sumatera Utara

2. Dimensi penguatan organisasi, dengan fokus:tata manajemen untuk
meningkatkan keberhasilan peran dan fungsi, serta tipe kegiatan seperti:
sistem insentif, perlengkapan personil, kepemimpinan, budaya organisasi,
komunikasi, struktur manajerial.
3. Reformasi kelembagaan, dengan fokus: kelembagaan dan sistem serta
makro struktur, dengan tipe kegiatan: aturan main ekonomi dan politik,
perubahan kebijakan dan regulasi, dan reformasi konstitusi.Berkenaan
dengan reformasi kelembagaan, perlu diberi perhatian terhadap perubahan
sistem dan institusi-institusi yang ada, serta pengaruh struktur makro.
Dalam konteks pengembangan sumber daya manusia, perhatian diberikan
kepada pengadaan atau penyediaan personel yang profesional dan teknis.
Kegiatan yang dilakukan antara lain pendidikan dan latihan (training), pemberian
gaji/upah, pengaturan kondisi dan lingkungan kerja dan sistim rekruitmen yang
tepat. Dalam kaitannya dengan pengembangan organisasi, pusat perhatian
ditujukan kepada sistim manajemen untuk memperbaiki kinerja dari fungsi-fungsi
dan tugas-tugas yang ada dan pengaturan struktur mikro. Aktivitas yang harus
dilakukan adalah menata sistim insentif, pemanfaatan personel yang ada,
kepemimpinan, komunikasi dan struktur manajerial. Sedangkan berkenaan dengan
reformasi kelembagaan, perlu diberi perhatian terhadap perubahan sistim dan
institusi-institusi yang ada, serta pengaruh struktur makro. Dalam konteks ini
aktivitas yang perlu dilakukan adalah melakukan perubahan aturan main dari
sistem ekonomi dan politik yang ada, perubahan kebijakan dan aturan hukum,
serta reformasi sistem kelembagaan yang dapat mendorong pasar dan
berkembangnya masyarakat madani (Grindle (1997) sebagaimana dikutip oleh
Rino Arnold 2016: 19).
Untuk memperjelas mengenai dimensi, fokus, dan tipe kegiatan dalam
pengembangan kapasitas dapat gambaran seperti dalam tabel berikut ini:

23
Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1Dimensions, Focus and Types of Activities of Capacity Building
Initiatives
No
1

Dimension
Human Resources
Development

Focus
Supplay of professional
technical personnel

Types of activities
Training
Salaries
Conditions of wor

2

Organizational
Strengthning

Management systems to
improve perfomance of
specific task and
functions
microstructures

Recruitment
Managerial Structures
Organizational culture
Incentive systems
Leadership
Communications

3

Institution Reform

Institutional and system
Macrostructures

Rules of the game for
economic and political regimes
Policy and legal change
constitutional reform

Sumber: Grindle, M.S. (1997) sebagaimana dikutip oleh Rino Arnold (2016: 9).
Dari pendapat yang dikemukakan oleh Grindle (1997) diatas dapat
diketahui bahwa dimensi pengembangan kapasitas terdiri dari tiga tingkatan yang
saling terkait yaitu dimensi pengembangan kapasitas pada level Sumber Daya
Manusia (SDM), organisasi dan lembaga dengan penjelasan yang lebih dijabarkan
mengenai fokus kegiatan yang dilakukan dalam pengembangan kapasitas.
Leavit (dalamDjatmiko 2004) juga mengemukakan konsep yang tidak jauh
berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh Grindle (1997) mengenai
tingkatan pengembangan kapasitas (Sebagaimana dikutip oleh Rino Arnold,
2016:106), bahwa tingkatan pengembangan kapasitas terdiri dari:

24
Universitas Sumatera Utara

a. Tingkat individu, meliputi pengetahuan, keterampilan, kompetensi, dan
etika.
b. Tingkat kelembagaan, meliputi sumber daya, ketatalaksanaan, struktur
organisasi, dan sistem pengambilan keputusan.
c. Tingkat sistem meliputi: peraturan perundang-undangan dan kebijakan
pendukung.Untuk lebih jelasnya, ketiga tingkatan pengembangan
kapasitas ini digambarkan pada bagan berikut:

Gambar 2. 1Tingkatan Pengembangan Kapasitas (Leavit dalam Djatmiko
2004, Sebagaimana dikutip oleh Rino Arnold, 2016: 106)
Ketiga tingkatan ini saling terkait dan mendukung, sehingga prosesnya
harus dilakukan secara bersama-sama. Pembagian tingkatan ini dilakukan untuk
memastikan bahwa fokus peningkatan kapasitas dalam mencapai sasaran secara
efektif dan menentukan langkah-langkah proses perubahan secara operasional,
sehingga benar-benar mencapai sasaran yang ingin dicapai. Pada tingkatan
individu adalah individu sebagai sumber daya manusia organisasi yang harus
ditingkatkan kemampuan dan profesionalismenya baik itu pengetahuan,
kompetensi, keterampilan maupun etika kerja.
Pada tingkatan lembaga, upaya peningatan kapasitas berhubungan dengan
menciptakan perangkat struktur, kultur yang mempengaruhi proses pengambilan
keputusan dan pengelolaan organisasi yang mendukung para pegawai/individu
untuk menunjukkan kinerja terbaiknya. Sebagaimana diketahui bahwa organisasi

25
Universitas Sumatera Utara

terdiri dari dua unsur utama, yaitu unsur perangkat keras (hardware) dan unsur
perangkat lunak (software). Unsur perangkat keras organisasi bisa meliputi sarana
dan prasarana fisik seperti infrastruktur (gedung), struktur organisasi, serta
dukungan anggaran. Sedangkan perangkat lunak organisasi adalah kultur
organisasi, prosedur kerja, dan sumber daya informasi yang dimiliki organisasi
dalam proses ketatalaksanaan dan pengambilan keputusan.
Sedangkan tingkatan sistem, suatu organisasi harus melakukan upaya
proses perbaikan pada sistem, kebijakan dan berbagai aturan yang menjadi dasar
berbagai program, aktivitas dan kegiatan pada organisasi. Dalam mengembangkan
kualitas sistem ini, yang menjadi fokus utama adalah perubahan pada kebijakan
dan peraturan yang dianggap menghambat kinerja optimal organisasi.
Dari teori yang dikemukakan oleh Grindle (1997) dan Leavit diatas dapat
diketahui bahwa dimensi pengembangan kapasitas dilakukan pada tiga tingkatan
yaitu pada level individu, kelembagaan dan sistem, hanya saja Grindle (1997)
lebih menjeleskan mengenai fokus kegiatan dalam pengembangan kapasitas,
sementara Leavit lebih memfokuskan pada penjelasan mengenai aspek-aspek
yang harus dikembangkan dalam dimensi pengembangan kapasitas.

2.3.5 Capacity Building Kelembagaan
Pengembangan kapasitas kelembagaan Menurut (Milen, 2004: 21)
mengungkapkan bahwa Pengembangan kapasitas tradisional dan pengembangan
organisasi memfokuskan pada sumber daya pengembangan hampir seluruhnya
mengenai permasalahan sumber daya manusia, proses dan struktur organisasi.
Pengembangan

kapasitas

kelembagaan

merupakan

suatu

pendekatan

26
Universitas Sumatera Utara

pembangunan dimana semua orang (pihak) memiliki hak yang sama terhadap
sumber daya, dan menjadi perencana pembangunan bagi diri mereka.
Pentingnya

pengembangan

kapasitas

kelembagaan

adalah

untuk

menjadikan suatu lembaga lebih efektif dalam menjalankan tugas pokok dan
fungsinya secara berkelanjutan sehingga dapat mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Pengembangan kapasitas kelembagaan dapat juga menunjuk pada
upaya yang mendukung kemampuan dan keberlanjutan sumber daya manusia,
organisasi, dan sistem dalam kerangka kelembagaan sehingga mampu
mempertahankan eksistensinya dalam menghadapi tantangan eksternal dan dapat
memberikan kontribusi dalam mencapai alternatif pembangunan.

2.4 Definisi Konsep
Konsep adalah abstraksi yang dibentuk untuk menggeneralisasikan hal-hal
yang bersifat khusus. Menurut Singarimbun (1999:24), menyatakan bahwa
kerangka konsep merupakan defenisi untuk menggambarkan secara abstrak suatu
fenomena sosial ataupun alami. Berdasarkan kerangka teori yang dikemukakan
sebelumnya, dapat disusun defenisi konsep sebagai berikut :
1. Optimalisasi Tupoksi Maujana Nagori adalah proses memaksimalkan
kemampuan Maujana Nagori agar dapat berfungsi dengan baik sesuai
dengan tugas pokok dan fungsinya meliputi fungsi legislasi, fungsi
pengawasan terhadap kinerja Pangulu dan representatif sehingga dapat
mencapai tujuan lembaga sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

27
Universitas Sumatera Utara

2. Pengembangan

Kapasitas

(capacity

building)

adalah

proses

mengembangkan kemampuan individu, kelompok, organisasi dan institusi
untuk menghasilkan kinerja pelaksanaan tugas pokok dan fungsi,
memecahkan permasalahan, merumuskan dan mewujudkan pencapaian
tujuan yang telah ditetapkan serta memahami dan memenuhi kebutuhan
pembangunan secara berkelanjutan.
Adapun operasionalisasi dari konsep Optimalisasi Tupoksi Maujana
Nagori yaitu menggunakan pendekatan konsep pengembangan kapasitas yang
dapat dianalisis dengan indikator sebagai berikut:
1) Kapasitas Individu
a. Pengetahuan
b. Keterampilan
c. Etika
2) Kapasitas Kelembagaan
d. Sumber daya
e. Ketatalaksanaan
f. Struktur organisasi
g. Sistem pengambilan keputusan
3) Kapasitas Sistem
a. Peraturan perundang-undangan
b. Kebijakan pendukung

28
Universitas Sumatera Utara

2.5 Kerangka Pemikiran
Kehadiran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan sebuah
lembaga yang diformat sebagai mitra bagi pemerintah desa dalam melaksanakan
fungsi pemerintahan dan penyelenggaraan pembangunan sekaligus sebagai sebuah
lembaga representasi dalam mengartikulasikan aspirasi masyarakat kepada
pemerintah desa. Dalam proses pembentukannya, BPD mempunyai tugas pokok
dan fungsi yang melekat kepadanya sebagaimana yang telah ditetapkan dalam
Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa, bahwa fungsi BPD meliputi :
(1) Membahas dan menyepakati rancangan peraturan desa bersama kepala
desa.
(2) Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa.
(3) Melakukan pengawasan kinerja kepala desa.
Adapun tugas pokok Badan Permusyawarata Desa (BPD) meliputi :
1. Meminta pertanggungjawaban kepala desa atas nama rakyat pada setiap
akhir tahun anggaran.
2. Menyalurkan aspirasi masyarakat kepada instansi yang berwenang.
3. Memberikan saran dan pendapat dalam rangka pembangunan desa.
4. Memberikan saran dan pendapat dalam rangka pembinaan perekonomian
masyarakat desa.
5. Memberikan saran dan pendapat dalam rangka ketertiban dan ketentraman
masyarakat desa.
6. Memberikan saran dan pendapat dalam rangka penyelesaian
perseisihan/permasalahan antara warga masyarakat desa.
7. Melaksanakan pengawasan kerjasama antar desa.
8. Bekerjasama dengan masyarakat dan aparat keamanan dan pemberantasan
narkoba, perjudian, HAM, dan kriminalitas.
Berdasarkan hasil tinjauan literatur yang telah dikemukakan sebelumnya,
bahwa optimalisasi Tupoksi Maujana Nagori dapat dilakukan dengan
menggunakan pendekatan konsep Capacity building (pengembangan kapasitas)
sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya oleh Dwipayana dkk (2003:97)
dari hasil penelitiannya tentang eksistensi BPD di beberapa desa yang ada di
Kabupaten Bantul. Secara singkat Dwipayana dkk (2003) menyimpulkan bahwa
29
Universitas Sumatera Utara

Capacity building merupakan serangkaian strategi yang dapat digunakan untuk
menguatkan institusi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) agar dapat
meningkatkan kemampuannya dalam melaksanakan fungsi normatifnya.
Keterkaitan konsep Capacity building dengan optimalisasi Tupoksi
Maujana Nagori yaitu memperhatikan tujuan Capacity building itu sendiri yakni
meningkatkan kinerja lembaga agar dapat efektif melaksanakan fungsinya, maka
tuntutan agar BPDberfungsi secara optimal haruslah didukung dengankapasitas
yang memadai sehingga upaya pengembangan kapasitas BPD menjadi perhatian
yang sangat penting dilakukan pada tingkatan terkecil yang merupakan proses
pembelajaran dalam diri individu , kemudian pada tingkat organisasi dan sistem
kebijakan

tentang

BPD,

dimana

faktor-faktor

tersebut

saling

terkait.

Pengembangan kapasitas pada dimensi individu dilakukan dengan tujuan agar
BPDmemiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas mengenai rincian
Tupoksinya,

sedangkan

pengembangan

kapasitas

pada

level

lembaga

dimaksudkan agar pengetahuan yang dimiliki BPD dapat diaplikasikan dalam
lingkungan kerjanya, sementara pada pengembangan kapasitas pada dimensi
sistem dimaksudkan agar kebijakan yang menghambat kinerja BPD dapat
diperbaharui. Pengembangan kapasitas tentu perlu difasilitasi oleh faktor eksternal
yang merupakan lingkungan pembelajarannyasehingga diharapkan Maujana
Nagori dapat berdaya dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dengan
optimal.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka penulis membuat kerangka
pemikiran penelitian sebagai berikut:

30
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2. 2 Kerangka Pemikiran
(Diadopsi dari leavit dalam Djamiko 2004, sebagaimana dikutip oleh Rino
Arnold , 2016: 106)

2.6 Hipotesis Kerja
Hipotesis kerja disusun berdasarkan atas teori yang dipandang handal.
Oleh karena itu berdasarkan teori-teori dan kerangka pemikiran yang telah
dikemukakan di atas, penulis merumuskan hipotesis kerja, yaitu “Pengembangan
kapasitas Maujana Nagori sebagai upaya optimalisasi tugas pokok dan fungsi
Maujana Nagori atau BPD dalam pembangunan desa di Nagori Mekar Sari Raya
Kecamatan Panei Kabupaten Simalungun” sebagaimana teori yang dikemukakan
oleh Leavit tentang dimensi pengembangan kapasitas meliputi: Pengembangan
kapasitas Maujana Nagori pada sisi individu,kelembagaan dan sistem.”

31
Universitas Sumatera Utara