Strategi Komunikasi Pemasaran Pariwisata Arung Jeram Kabupaten Aceh Tenggara

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Pariwisata sebagai sebuah produk yang dipasarkan kepada para wisatawan
memerlukan strategi komunikasi agar dapat dikenal luas ditengah-tengah
masyarakat. Promosi suatu destinasi dan brand kepariwisataanyang dimiliki oleh
suatu daerah tujuan wisata (DTW) dilakukan agar target kunjungan wisatawan
dapat tercapai. Meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan secara signifikan
akan menambah pendapatan suatu daerah, mampu menggerakkan roda ekonomi
serta bisa menjadi katalisator dalam pembangunan. Ada beragam kegiatan yang
dapat dilakukan sebagai bahagian dalam upaya kegiatan promosi, seperti
penyebarluasan informasi daerah tujuan wisata (DTW) dengan menonjolkan
keindahan alam,keunikan ragam budaya dan ekspose kekayaan kuliner. Selain itu
promosi pariwisata juga dapat dilakukan dengan berpartisipasi
beragam pameran kepariwisataan baik di dalam maupun

mengikuti


diluar daerah atau

menyelenggarakan event pariwisata.
Promosi objek wisata dimaksudkan agar mampu merangsang kedatangan
wisatawan dengan memberikan informasi yang lengkap tentang keunikan yang
ditawarkan bagi wisatawan. Dalam hal ini pariwisata membutuhkan strategi
komunikasi pemasaran pariwisata agar dikenal lebih luas. Strategi komunikasi
pemasaran pariwisata merupakan bagian dari promosi objek wisata kepada
wisatawan. Kesuksesan penerapan strategi komunikasi pemasaran pariwisata
harus didukung oleh kesiapan dan keseriusan stakeholder kepariwisataan dalam

1
Universitas Sumatera Utara

2

mengelola informasi destinasi wisata. Stakeholder pariwisata meliputi pemerintah,
organisasi kepariwisataan di daerah, para pegiat wisata dan masyarakat sekitar.
Perkembangan pariwisata sebagai perpelancongan atau turisme sudah
diakui sebagai industri terbesar saat ini, dilihat dari berbagai indikator, seperti

sumbangan

terhadap

pendapatan

dunia

dan

penyerapan

tenaga

kerja(Poerwadarminta, 2015: 712). Melihat tren pariwisata tahun 2020, perjalanan
wisata dunia akan mencapai 1,6 milyar orang. Diantaranya 438 juta orang akan
berkunjung ke kawasan Asia-Pasifik, dan 100 juta orang ke Cina. Jumlah
wisatawan yang sedemikian besar, maka Indonesia umumnya dan Kabupaten
Aceh Tenggara secara khusus dapat menawarkan segala daya tariknya untuk
mendatangkan wisatawan dan merebut pangsa pasarnya. Namun sayangnya

dengan perolehan sebesar USD 4, 496 miliar pada tahun 2002, penerimaan devisa
dari pariwisata Indonesia hanya memperoleh 0,95% dari pengeluaran wisatawan
dunia (USD 474 miliar).
Setiap daerah di Indonesia diharapkan berpartisipasi agar mampu
menyerap potensi pariwisata dunia saat ini. Pentingnya pariwisata sebagai sumber
penghasilan negara sebagai katalisator pembangunan tidak dapat dipandang
sebelah mata. Cohen (dalam Jupir, 2013: 29) menjelaskan “Kategori dampak
pariwisata di bidang ekonomi, antara lain adalah dampak terhadap devisa,
pendapatan masyarakat, kesempatan kerja, harga, distribusi manfaat, kepemilikan
dan kontrol; pembangunan dan pendapatan pemerintah”.Keppres No. 38 Tahun
2005 mengamanatkan bahwa seluruh sektor harus mendukung pembangunan
pariwisata

Indonesia.

Hal

ini

merupakan


peluang

bagi

pembangunan

kepariwisataan Indonesia secara umum dan peningkatan pariwisata di

Universitas Sumatera Utara

3

Kabupaten/kota pada khususnya. Apalagi pemerintah sudah mencanangkan bahwa
pariwisata harus menjadi andalan pembangunan Indonesia sejak tahun 2008
melalui program “Visit Indonesia Year 2008”.
Program Visit Indonesia Year (VIY) 2008 dan diteruskan pada tahun
2009, 2010, 2011 dengan program yang sama, yakni: 1) kunjungan jurnalis luar
negeri, 2) Familiarization Tour (Fam Tour) dari sumber utama pariwisata
internasional, 3) mengaktifkan perwakilan pariwisata internasional, 4) roadshow

pemulihan citra pariwisata Indonesia, dan 5) kampanye iklan citra Indonesia. Pada
1 Januari 2011 Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia menggunakan
tageline, logo (brand destinasi) pariwisata baru yaitu Wonderful Indonesia (WI).
Akan tetapi kegiatan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia, kurang
tepat sasaran, hal ini berdasarkan pendapat Fanggy dan Richardson (2011): ...
kebanyakan responden mengatakan telah melihat kampanye di internet, manakala
Menteri menyatakan mereka lebih suka untuk membuat pengiklanan di televisi
Destinasi pariwisata modern sangat kompleks dan sangat kapitalistik,
dengan

penggunaan manajemen bisnis yang akurat dan terukur. Perubahan

tageline, logo (brand destinasi) pariwisata Indonesia baru yang telah dikenal luas
di masyarakat sebagai brand yang tidak terlalu berhasil mengantarkan pesan
produk destinasi Indonesia, kecuali pesan artistik kepada pengguna pariwisata.
Akan tetapi “Pihak Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia
menganggap hal ini penting karena Brand Destinasi Indonesia (BDI) sebelumnya
pada VIY 2008 Ultimate and Diversity, dirasa lebih buruk dan hampir tidak
pernah digunakan dalam kampanye pariwisata selama ini (Bungin, 2015: 148).


Universitas Sumatera Utara

4

Pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia
memandang

pariwisata

berdasarkan

program

pemerintah

secara

sepihakmengabaikan analisis kebutuhan khalayak, hal ini berdampak pada kurang
objektifnya perumusan masalah, pemilihan media massa yang kurang tepat,
pengembangan pesan yang one side issue, yakni teknik penyampaian pesan yang

menonjolkan sisi kebaikan saja. Pengabaian pertimbangan publik tentang
BrandDestinasiIndonesia dari VIY tahun 2008 menjadi WI tahun 2011 dinilai
kurang mampu memperkenalkan destinasi wisata tanah air. Publikasi hasil
penelitian Tita (2008) menyimpulkan bahwa: “... destinasi Indonesia Ultimate in
Diversity (IUiD) sejak tahun 2007 dikurangi aplikasi dan sosialisasinya karena
ada rencana brand tersebut akan diganti dengan brand lain”.
Kemauan dan kemampuan pemerintah sebagai penanggung jawab bidang
kepariwisataan mulai dari tingkat nasional dan tingkat daerah, sebagai tugas dan
fungsi pemerintahan tidak dapat dilepaskan dari membangun sinergisitas dengan
masyarakat. Keadaan yang menunjukkan bahwa pemerintah dalam hal ini
pemerintah daerah tidak dapat mengabaikan keinginan masyarakat dalam
pengelolaan

kepariwisataan

di

daerah.

Manajemen


dalam

pelaksanaan

kepariwisataan saat ini mensyaratkan koneksitas antara berbagai pihak baik itu
pemerintah, masyarakat, dan lembaga pariwisata terkait. Hal ini dijelaskanoleh
Bungin (2015: 86):
Manajemen pariwisata modern mensyaratkan pemetaan pariwisata
berdasarkan jenis usaha yang dikelola dengan baik, sehingga
manajemennya menjadi baik dan dibangun koneksitas antar jenis-jenis
pariwisata itu. Saat ini seluruh kompleksitas pariwisata dapat
dikelompokkan menjadi manajemen pariwisata modern, yang
menunjuk pada; (1) Destinasi, (2) transportasi, (3) pemasaran
pariwisata, (4) sumber daya. Dalam perspektif lain, Pemerintah
Indonesia mengklasifikasikan komponen pariwisata ke dalam

Universitas Sumatera Utara

5


beberapa bagian penting seperti; (1) industri pariwisata, (2) destinasi
pariwisata, (3) pemasaran pariwisata, dan (4) kelembagaan pariwisata.
Jhonpaul (2015) mengatakan komponen utama pariwisata terdiri dari; “(1)
aksesibilitas, (2) akomodasi, dan (3) atraksi. Ramesh (2015) menambahkan:
fasilitas dan aktivitas sebagai bagian yang tidak bisa diabaikan dalam
pembangunan industri pariwisata dengan manajemen modern”. Popy (2007)
secara khsusus menyebutkan bahwa “Brand Indonesia memiliki beberapa
kekurangan, yaitu: 1) koordinasi pejabat dan lembaga kepariwisataan belum
optimal, 2) minimnya pembiayaan kepariwisataan, dan 3) kendala rendahnya
rekomendasi dari lembaga-lembaga dunia tentang destinasi wisata Indonesia”.
Hingga menurut Larsen dan George (2004), dibutuhkan pemasaran yang sering
dilakukan oleh para pelaku pariwisata agar brandsebagai destinasi wisata berhasil.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Arief Yahya, melalui harian
Kompas, Selasa, 16-06-2015 menyebutkan potensi pariwisata bisa dikembangkan
dalam ekonomi Indonesia selain gas, minyak bumi, batu bara dan kelapa sawit,
pernyataan tersebut secara lengkap dikutip sebagai berikut:
... potensi wisata sangat besar di mana sebagai penyumbang devisa
terbesar keempat setelah minyak dan gas, batubara, serta kelapa
sawit. Untuk itu ke depan, pemerintah ingin pariwisata menjadi

penyumbang devisa nasional yang terbesar. Pariwisata Indonesia
dinilai memiliki keunggulan dari sisi detinasi dan harga. Dalam lima
tahun ke depan pemerintah menetapkan target kunjungan 20 juta
wisatawan asing, dengan target pemasukan devisa Rp. 260 triliun.
Angka tersebut sangat wajar, mengingat selama 2014 saja sektor
pariwisata mampu menyumbang devisa sebesar Rp. 136 triliun.
Dengan capaian target kunjungan wisata tersebut diprediksi
Indonesia akan mampu bersaing secara ekonomi dengan negaranegara maju.
Keinginan pemerintah menjadikan sektor pariwisata menjadi penyumbang
devisa terbesar setelah minyak dan gas, batubara, dan kelapa sawit mengalami

Universitas Sumatera Utara

6

peningkatan karena keterbatasan sumber daya yang tidak terbarukan seperti
minyak dan gas, serta batubara dengan cadangan semakin menipis, dan dampak
lingkungan dari perkebunan kelapa sawit yang semakin menjadi kajian serius oleh
pemerintah. Berbeda halnya dengan sektor pariwisata yang tidak mengeksploitasi
alam, bahkan menjadi sumber daya alam yang terbaharukan melalui pengelolan

sektor keperiwisataan yang berpihak pada keberlasungan kehidupan alam hingga
menjadi daya tarik wisatawan.
Pengembangan sektor pariwisata menjadi salah satu sektor penghasil
devisa di negeri ini bukan tanpa hambatan karena belum maksimalnya dan masih
kurang serius memahami sektor pariwisata menjadi salah satu sektor unggulan
dalammenghasilkan

devisa.

Hambatan

lingkungan

ekonomi,

lingkungan

teknologi, lingkungan politik dan hukum, lingkungan sosial dan budaya serta
keamanan, menurut Bungin (2015: 227), menjadi kendala dalam “memasarkan
objek-objek pariwisata itu”.
Hambatan ekonomi ditunjukkan oleh minimnya dana pemasaran
pariwisata dengan objek pemasaran yang begitu luas. Apalagi kedudukan
pariwisata Indonesia terus menerus dihadapkan dengan kesulitan ekonomi global,
mengingat sasaran pemasaran periwisata nasional berkaitan dengan negara-negara
internasional, terutama negara-negara Amerika dan Eropa. Bahkan dana
pemasaran Indonesia saat ini untuk bidang pariwisata sekitar 10 persen dari dana
yang digunakan negara tetangga, yakni Malaysia untuk memasarkan objek-objek
pariwisatanya.
Kendala infrastruktur komunikasi dan teknologi pengangkutan menjadikan
Indonesia tidak memiliki sistem komunikasi murah yang mendukung pariwisata,

Universitas Sumatera Utara

7

seperti telepon free call bagi wisatawan, telepon murah dan tersebar sampai di
pelosok daerah untuk wisatawan. Internet dan telepon belum digunakan secara
maksimal sebagai infrastruktur pemasaran pariwisata nasional. Seharusnya,
kemajuan teknologi informasi dan transportasi saat ini menyebabkan berbagai
destinasi dapat disatukan menjadi destinasi wisata yang dikemas menjadi paket
wisata. Data tentang jumlah kunjungan wisata belum akurat, baik domestik
maupun wisata mancanegara.
Masalah teknologi pengangkutan, juga menjadi masalah tersendiri, baik
frekuensi maupun persiapan alat pengangkutan. Ketidaknyamanan angkutan darat,
bahkan ketidakamanan angkutan udara dan laut menjadi gambaran yang
menunjukkan

dibutuhkan

kesungguhan

dalam

penanganannya

oleh

pemerintah.Garuda Indonesia sebagai angkutan publik, misalnya, belum mampu
memberikan dukungan terhadap sektor pariwisata dengan biaya akomodasi murah
yang ditawarkan kepada para wisatawan, seperti AirAsia di Malaysia yang
memberikan kemudahan dan kemurahan sebagai daya tarik untuk berkunjung ke
negeri jiran tersebut. Termasuk pemberian tiket promosi mudah dipesan dan
murah bagi wisatawan ke Malaysia.
Kondisi politik dan hukum menjadi kendala luar biasa menghambat
pemasaran pariwisata Indonesia. Investasi dan hak milik investor asing menjadi
kendala bagi penanaman modalasing di tanah air. Sebagai perebandingan
Investor asing belum diberikan hak memiliki aset di Indonesia seperti yang
dilakukan Malaysia dengan program investasi asing. Masalah politik dalam negeri
ditinjau dari sisi daya dukung terhadap sektor pariwisata juga dilihat masih
negatif, menjadi penghalang bagi pemasaran pariwisata nasional. Seperti bekas

Universitas Sumatera Utara

8

daerah konflik di Aceh, menjadi daerah-daerah rentan terhadap isu-isu politik,
berdampak pada ancaman keselamatan dan keamanan wisatawan. Isu-isu
keamanan yang berbahaya bagi keselamatan jiwa dan harta wisatawan berakibat
pada pembatalan rancangan melancong ke destinasi itu dengan segera
meninggalkan kawasan tujuan bahkan meninggalkan Indonesia. Maraknya
pemboman yang dikaitkan dengan terorisme, terutama di Jakarta dan Bali,
memberikan citra tidak aman bagi Indonesia untuk dikunjungi.
Masalah sosial budaya menjadi salah satu kendala pariwisata yang tidak
bisa dianggap ringan. Bagaimana warga asing yang berwisata tidak aman dan
tidak nyaman dengan ulah pemerasan dilakukan oknum tertentu, pengemis,
kebersihan yang dipertanyakan, juga prasangka buruk terhadap orang asing.
Walau Indonesia memiliki kekayaan sosial budaya yang beragam dan bernilai
tinggi untuk dipasarkan pada sektor pariwisata, namun masalah sosial dan budaya
juga harus menjadi daya dukung tersendiri untuk kemajuan sektor pariwisata
nasional.
Otonomi daerah sebagaimana diundangkan dalam Undang-undang Nomor
32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menyebutkan:
Pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintah menurut asas yang berlaku dan tugas
pembantuan. Pemberian wewenang pemerintah pusat kepada daerah
diarahkan untuk mempercepat terjadinya perubahan guna mencapai
kesejahteraan masyarakat melalui kualitas pelayanan yang juga
melibatkan peran serta masyarakat.
Melalui kewenangan pemerintah daerah dalam tugas pembantuan,
pemerintah pusat berupaya menyamakan arah pembangunan pariwisata secara
nasional yang diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
2009 tentang Pariwisata. Mendorong daerah secara aktif dalam kepariwisataannya

Universitas Sumatera Utara

9

melalui penyusunan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA)
bersinergi

dengan

Rencana

Induk

Pengembangan

Pariwisata

Nasional

(RIPPNAS).
Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2011, pasal 2 angka 6 tentang
RIPPNAS untuk tahun 2010-2025, bahwa:
a. Peningkatan kualitas dan kuantitas Destinasi Pariwisata.
b. Mengkomunikasikan Destinasi Pariwisata Indonesia dengan
menggunakan media pemasaran secara efektif, efisien dan
bertanggung jawab.
c. Mewujudkan Industri Pariwisata yang mampu menggerakkan
perekonomian nasional, dan
d. Mengembangkan Kelembagaan Kepariwisataan dan tata kelola
pariwisata yang mampu mensinergikan pembangunan Destinasi
Pariwisata, Pemasaran Pariwisata, dan Industri Pariwisata secara
profesional, efektif dan efisien. Kelembagaan tersebut harus
mencakup unsur Kementrian, Pemerintah Daerah (Propinsi mapun
Kabupaten) dan masyarakat (Akademisi).
Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara, menanggapi amanat undangundang dan peraturan pemerintah Republik Indonesia, dengan melakukan promosi
pariwisata daerah. Pengembangan sektor pariwisata di Aceh Tenggara diarahkan
pada pemanfaatan sektor pariwisata sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah
(PAD) dengan penekanan pada pariwisata alam (natural tourism)dan Budaya.
Sasaran dari pariwisata adalah meningkatkan arus kunjungan wisatawan
mancanegara

dan

wisatawan

domestik

dari

tahun

ke

tahun

(http://wisataleuseragara.blogspot.co.id).
Berdasarkan ekspos Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Tenggara
tahun 2016, keunggulan tujuan wisata daerah juga meliputi:
Objek wisata alam yang menawarkan pemandangan alam yang
indah. Tujuan wisata Taman Leuser, Wisata Gurah, Gunung Leuser,
Gunung Bendahara, Gua Semung, Bunga Raflesia, Orang Hutan
Katambe, Arung Jeram, Air Terjun Gurah, Air Terjun Lawe Dua,

Universitas Sumatera Utara

10

Pemandian Air Panas Uning Segugur dan Pemandian Air Panas
Lawe Ger-ger.
Namun demikian, kepemilikan kelebihan sumber daya tersebut perlu
diiringi dengan upaya dan usaha yang lebih terarah, agar sumber daya tersebut
mampu memiliki daya saing dalam menarik kunjungan wisatawan. Sehingga
sektor pariwisata mampu menjadi sektor unggulan dalam membangun ekonomi
masyarakat dengan ciri khas berhubungan dengan: 1) Something to see adalah
obyek wisata tersebut harus mempunyai sesuatu yang bisa dilihat atau dijadikan
tontonan oleh pengunjung wisata, 2) Something to do adalah agar wisatawan yang
melakukan pariwisata di sana bisa melakukan sesuatu yang berguna untuk
memberikan perasaan senang, bahagia, relax berupa fasilitas rekreasi baik itu
arena bermain ataupun tempat makan, terutama makanan khas dari tempat
tersebut sehingga mampu membuat wisatawan lebih betah untuk tinggal di sana,
dan 3) Something to buy adalah fasilitas untuk wisatawan berbelanja yang pada
umumnya adalah ciri khas atau icon dari daerah tersebut, sehingga bisa dijadikan
sebagai oleh-oleh (Yoeti, 1985: 164).
Kebijakan ini memberikan beberapa implikasi antara lain perlu adanya
pembenahan yang menyeluruh diberbagai sektor. Namun tentunya agar lebih
efisien dan efektifnya pembangunan kepariwisataan tersebut diperlukan suatu
flatform pembangunan pariwisata yang berorientasi kepada trend kepariwisataan
global masa kini dan masa depan. Akan tetapi, realitas empiris pariwisata yang
beroperasi di Kabupaten Aceh Tenggara belum mampu berperan optimal dalam
menopang pembangunan walaupun terdapat banyak program ataupun kekayaan
aset pontensial bagi pengembangan pariwisata berbasis wisata kuliner, wisata
keluarga, wisata budaya dan pengembangan promosi pariwisata arung jeram yang

Universitas Sumatera Utara

11

pada tahun 2015 dialokasikan dana mencapai angka 1 milyar rupiah yang
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten
Aceh Tenggara. Hal ini menggambarkan adanya pengimplementasian yang
problematik.
Peran pemerintah melalui Dinas Pariwisata Kabupaten Aceh Tenggara
sebagai aktor utama dalam implementasi kebijakan publik terlalu dominan,
sehingga pariwisata terkesan hanya terpampang sebatas keindahan eksotik secara
defenitif di ruang publik, yakni kehadiran pariwisata dimaknai sebatas keindahan
semata yang tidak berpengaruh terhadap sektor-sektor yang lain dan bergerak
pada pseudo (semu) profit buat masyarakat setempat. Seharusnya implementasi
kebijakan itu mencakup tiga aktor utama, yakni pemerintah (state), swasta
(private) dan masyarakat sipil (civil society) yang belum optimal dalam sinergi
membangun sektor pariwisata daerah saat ini.
Kesemua aktor tersebut berafiliasi pada upaya memajukan dan
menyukseskan kebijakan. Untuk mengoptimalkan implementasi kebijakan yang
menggunakan pendekatan top-down, maka ketersedian sumber daya implementasi
harusoptimal dari keberadaan kebijakan pariwisata berbasis wisata kuliner, wisata
keluarga, dan bahkan wisata budaya merupakan reflektif dari ketidakefektifan
kebijakan tersebut pada tataran implementasi. Ketidakefektifan implementasi
kebijakan tersebut berakar pada hambatan-hambatan yang bervariasi, yang salah
satunya adalah kegagalan dalam mengkomunikasikan tujuan wisata kepada para
wisatawan.
Motif wisatawan melakukan wisata ke daerah tertentu dilatarbelakangi
oleh motif: “Wisata rekreasi, wisata olahraga, wisata jiarah, wisata kesehatan.

Universitas Sumatera Utara

12

Selain itu ada juga kebiasaan untuk menentukan perjalanan wisata berdasarkan
modal atraksi wisata, seperti wisata alam, wisata bahari, wahana wisata”
(Soekadijo,

1996).Keunikan

menjadi

salah

satu

pendorong

wisatawan

mancanegara untuk datang ke negara lain melalui budaya masyarakat dan
kerajinan khas yang tentu berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya.Motif
atraksi wisata menjadi tujuan wisata unggulan yang dikembangkan Pemerintah
Kabupaten Aceh Tenggara, melalui eventarung jeram berupa Festival Rafting
International yang sudah dilaksanakan tahun 2015 di mana sebelumnya pada
tahun 2011 sudah pernah diselenggarakan, akan tetapi dihentikan sementara
karena alasan keamanan, baru dilaksanakan kembali tahun 2015.
Kegiatan arung jeram melalui event arung jeram tingkat nasional dan
internasional secara berkala akan dijadikan EventRafting Championship sebagai
kegiatan pariwisata dalam kalender eventtahunan (calender of event) berskala
internasional. Upaya ini ditempuh sebagai strategi dalam memperkenalkan arung
jeram Kabupaten Aceh Tenggara kepada masyarakat luas baik wisatawan
mancanegara ataupun wisatawan domestik.
Data kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara di
Kabupaten Aceh Tenggara menunjukkan trend positif dari tahun 2014 ke tahun
2015 yang dapat dilihat pada data berikut :
Tabel 1.1
Kunjungan Wisatawan Ke Aceh Tenggara

Tahun
2011
2012
2013
2014
2015

Wisatawan Mancanegara
408
490
544
261
1.376

Wisatawan Nusantara
4.778
8.601
14.740
20.634
20.756

Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh, Tahun 2016.

Universitas Sumatera Utara

13

Kegiatan event arung jeram bersekala internasional pada tahun 2015
mempengaruhi kenaikan kunjungan wisatawan mancanegara, sehingga menjadi
alasan pemerintah daerah Kabupaten Aceh Tenggara untuk terus mempertahankan
event arung jeram sebagai kegiatan Calender of event. Potensi arung jeram
kabupaten Aceh Tenggara didukung oleh letak strategis yang berbatasan langsung
dengan Sumatera Utara sebagai pintu gerbang masuk ke Propinsi Aceh melalui
jalur tengah. Aceh Tenggara merupakan jalur wisatawan sehingga menjadi nilai
tambah dalam pengembangan kepariwisataan.
Upaya Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara dengan mengandalkan daya
tarik objek wisata semata belumlah cukup. Faktor penghambat yang perlu
diselesaikan segera berdasarkan penelitian Hanafi (2016), adalah: “Belum adanya
kerja sama dengan pihak ketiga (swasta) dalam mengelola objek wisata,
minimnya intensitas promosi oleh pemerintah daerah dalam mempromosikan
objek wisata, profesionalisme, pengetahuan dalam memajukan kepariwisataan
daerah masih minim, dan persaingan objek wisata yang sama”.
Besarnya potensi pariwisata Arung Jeram di Kabupaten Aceh Tenggara
membutuhkan strategi komunikasi pemasaran yang tepat untuk mengenalkan nya
kepada wisatawan mancanegara dan wisatawan domestik. Strategi komunikasi
pemasaran dengan publisitas, periklanan dan penggunaan media promosi untuk
meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan ke Kabupaten Aceh Tenggara
dianggap masih belum optimal mengingat masih minimnya promosi yang
dilakukan oleh Pemerintahan Kabupaten Aceh Tenggara melalui Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Aceh Tenggara dan masih rendahnya
angka kunjungan wisatawan ke wilayah ini. Berdasarkan uraian diatas peneliti

Universitas Sumatera Utara

14

melakukan penelitian dengan

Fokus

pada

Strategi Komunikasi Pemasaran

Pariwisata Arung Jeram Kabupaten Aceh Tenggara.

1.2. FokusMasalah
Adapun fokus masalah dalam tesis ini adalah bagaimana Strategi
Komunikasi Pemasaran Pariwisata Arung Jeram Kabupaten Aceh Tenggara.
Pendekatan strategi pemasaran yang akan dilihat menggunakan strategi bersaing
(competitive strategy).Secara khusus masalah yang diangkat adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana perencanaan promosi pariwisata arung jeram di Kabupaten Aceh
Tenggara?
2. Bagaimana strategi komunikasi pemasaran pariwisata arung jeram di
Kabupaten Aceh Tenggara?
3. Bagaimana pelaksanaan promosi pariwisata arung jeram di Kabupaten Aceh
Tenggara?

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan daripenelitian ini adalah untuk menjawab fokus masalah penelitian
yakni untuk mengetahui:
1. Perencanaan promosi pariwisata arung jeram di Kabupaten Aceh Tenggara.
2. Strategi komunikasi pemasaran pariwisata arung jeram di Kabupaten Aceh
Tenggara.
3. Pelaksanaan promosi pariwisata arung jeram di Kabupaten Aceh Tenggara.

Universitas Sumatera Utara

15

1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Manfaat akademik: penelitian ini dapat digunakan mengembangkan kajiankajian strategi komunikasi pemasaran di bidang pariwisata dalam perspektif
ilmu komunikasi. Khususnya berkaitan dengan Strategi Komunikasi Pemasaran
Pariwisata (SKPP) di Kabupaten Aceh Tenggara.
2. Kegunaan praktis:
a. Bagi masyarakat, penelitian ini sebagai upaya untuk memperkenalkan
pariwisata arung jeram di Kabupaten Aceh Tenggara sebagai event tahunan
dalam promosi pariwisata.
b. Bagi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Aceh Tenggara,
penelitian ini menjadi informasi yang berguna dalam implementasi
kebijakan pariwisata dengan pendekatan komunikasi pariwisata di
Kabupaten Aceh Tenggara.

Universitas Sumatera Utara