Pergeseran Tren Proliferasi Senjata Nukl

Pergeseran Tren Proliferasi Senjata Nuklir

Oleh:
Budi Hartono

Senjata nuklir merupakan salah satu senjata yang paling
berbahaya di dunia. Dampak dari ledakan satu bom nuklir adalah
hancurnya satu kota, meninggalnya jutaan orang (secara langsung
maupun tidak secara langsung karena radiasi), dan pencemaran terhadap
udara, tanah serta air sejauh bermil-mil dari titik lokasi ledakan. Apabila
perang nuklir terjadi, maka seluruh peradaban akan terancam oleh efek
ledakan seperti radiasi dan nuclear winter (zat kimia nuklir yang menguap
setelah ledakan – berubah menjadi awan) (Melissa Gillis, 2009, p.15).
Dampak yang mematikan dari senjata nuklir membuat senjata ini dinilai
tidak rasional apabila digunakan, karena dampaknya yang sangat
menghancurkan.
Negara pertama yang menggunakan teknologi nuklir (pada saat itu
berbentuk bom atom) sebagai senjata adalah Amerika Serikat (AS). AS
pertama kali menggunakan nuklir pada era Perang Dunia II, dimana AS
menjatuhkan dua bom ke dua kota di Jepang, yaitu Hiroshima dan
Nagasaki pada tahun 1945. Dampak dari penggunaan ini adalah jatuhnya

korban jiwa secara masif. Di Hiroshima, 66,000 orang terbunuh dan
69,000 terluka ( Rumki Basu, 2012, p. 140). Sementara itu, di Nagasaki,
39,000 orang terbunuh dan 25,000 terluka (Rumki Basu, 2012, p. 140).
Selain itu, dampak dari penggunaan bom tersebut adalah jatuhnya korban
jiwa akibat terkena radiasi ledakan dan juga pencemaran lingkungan di
lokasi ledakan.
Tingginya tingkat kehancuran infrastruktur dan korban jiwa
membuat Jepang menyerah terhadap sekutu yang membuat berakhirnya
Perang Dunia II berakhir. Namun, seluruh dunia terkejut dengan ledakan



1

bom atom dan dampak kehancurannya. Penggunaan senjata nuklir dalam
Perang Dunia II telah merubah konsep perang yang pada awalnya bersifat
terbatas menjadi penghancuran secara keseluruhan/masif (total war). Di
sisi lain, kepemilikan senjata nuklir dan penggunaannya telah merubah
sifat hubungan internasional pada era pasca Perang Dunia II. Pada
perkembangannya, beberapa negara turut melakukan pengembangan

senjata nuklir yang ditujukan untuk meningkatkan kekuatan nasionalnya
dimana nantinya senjata tersebut dapat memberikan efek penggentar
(deterrence) terhadap negara lain, khususnya negara yang dianggap
sebagai kompetitor (Rumki Basu, 2012, p. 140).
Pada era pasca Perang Dunia II beberapa negara telah
mengembangkan kemampuan untuk membuat senjata nuklir. Gillis (2009,
p. 17) memberikan istilah pada situasi ini sebagai horizontal nuclear
proliferation. Selain AS, negara yang berhasil memecahkan rumus atom
dan mengembangkan senjata nuklir adalah Uni Soviet (sekarang Rusia).
Penggunaan senjata nuklir pada Perang Dunia II dan pengembangan
teknologi senjata tersebut telah membuat AS tampil menjadi negara
terkuat dalam politik internasional (Rumki Basu, 2012, p. 140). Situasi ini
merupakan ancaman bagi Soviet, sehingga pengembangan senjata nuklir
menjadi opsi yang dipilih dalam rangka melakukan perimbangan kekuatan
(balance of power) yang akhirnya terbentuk sistem internasional bersifat
bipolar (dua negara menguasai/mendominasi sistem). Persaingan dua
ideologi antara AS dan Soviet memunculkan suatu situasi yang dikenal
dengan era Perang Dingin. Persaingan yang terjadi antara AS dan Soviet
terjadi di berbagai aspek, dimana salah satunya adalah persaingan dalam
pengembangan teknologi senjata nuklir.

Untuk memperebutkan pengaruh dalam lingkungan internasional,
kedua super power saling membentuk aliansi masing-masing. AS
menancapkan

pengaruh

ke

negara-negara

Eropa

barat

dengan

membentuk North Atlantic Treaty Organization (NATO), sedangkan Soviet
menancapkan pengaruh dengan beberapa negara Eropa timur dengan




2

membentuk Warsawa. Tiap aliansi dalam rangka menjaga keamanannya,
saling berlomba dalam mengembangkan senjata nuklir. Melalui aliansi
tersebut, akhirnya Inggris dan Prancis dapat mengembangkan senjata
nuklir (Rumki Basu, 2012, p. 140). Jumlah senjata nuklir di seluruh dunia
memuncak pada pertengahan 1980-an dari 70.000 hulu ledak – menjadi
80.000 hulu ledak. Pasca Perang Dingin, kuantitas senjata nuklir
cenderung menurun, namun bukan berarti menghilang. Beberapa negara
tetap memiliki senjata nuklir, bahkan senjata ini menjadi salah satu
andalan dalam doktrin pertahanan negara (Melissa Gillis, 2009, p. 17).
Untuk

menurunkan

maupun

menghilangkan


munculnya

perlombaan senjata nuklir dan penyebaran senjata nuklir ke negaranegara baru (dikenal dengan istilah negara dunia ketiga), entitas
internasional menginisiasi pembentukan rezim internasional terhadap
senjata nuklir seperti Nuclear Nonproliferation Treaty (NPT) dan
Comprehensive Test Ban Treaty (CTBT). Namun, perjanjian ini tidak
dapat berjalan maksimal karena dinilai diskriminatif – hanya 5 negara
yang memiliki hak supremasi atas kepemilikan senjata nuklir yaitu negara
anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
(Rumki Basu, 2012, p. 141).
Pasca Perang Dingin, terdapat dua tren yang muncul dalam isu
senjata nuklir. Pertama, proliferasi senjata nuklir ke negara-negara
berkembang yang juga bukan anggota NPT seperti India, Pakistan, Korea
Utara, dan Israel. India dan Pakistan merupakan dua negara yang belum
bergabung dengan NPT. Kedua negara ini telah melakukan uji coba
senjata nuklir dan diyakini terus mengembangkan bahan nuklir dan sistem
rudal yang dapat mengantarkan senjata nuklir (Melissa Gillis, 2009, p.
18). Selain India dan Pakistan, Israel juga bukan merupakan anggota
rezim NPT. Meskipun terdapat sedikit informasi mengenai negara ini
terkait nuklir, namun Israel diyakini memiliki senjata nuklir (Melissa Gillis,

2009, p. 18). Israel juga diyakini saat ini mampu memproduksi bahanbahan yang digunakan untuk senjata nuklir (Melissa Gillis, 2009, p. 18).



3

Korea Utara pada awalnya merupakan anggota NPT, namun keluar
dari rezim tersebut pada tahun 2003. Hal ini membuat Korea Utara
sebagai satu-satunya negara di dunia yang keluar dari NPT. Korea Utara
pada tahun 2005 menyatakan telah mengembangkan senjata nuklir dan
turut melakukan uji coba nuklir pada tahun 2006 dan 2009 (Melissa Gillis,
2009, p. 18). Sangat sedikit publikasi Korea Utara terhadap program
senjata nuklirnya. Akan tetapi, The Center for Defense Information
melaporkan di tahun 2009, Korea Utara memiliki kuantitas plutonium yang
dapat dijadikan senjata nuklir sebanyak 5 hingga 12 buah. Negara-negara
sangat sulit untuk mencari titik temu dalam menghadapi isu uji coba
senjata nuklir yang dilakukan Korea Utara. Akhirnya, pada 12 Juni 2009,
Dewan Keamanan PBB memberikan sanksi berdasarkan Resolusi 1874
(2009) kepada Korea Utara karena melakukan uji coba senjata nuklir.
Kedua, proliferasi senjata nuklir ke aktor non-negara seperti

pemberontak, separatis, maupun teroris. Penyebaran senjata nuklir ke
aktor non-negara dapat terjadi karena banyak penyimpanan nuklir di dunia
yang tidak dijaga secara ketat - sehingga nuklir tersebut dapat dicuri oleh
pihak lain (Melissa Gillis, 2009, p. 19-20). Meskipun belum ada fakta
empiris terhadap penggunaan senjata nuklir oleh aktor non-negara,
namun kekhawatiran tetap muncul mengingat daya hancur dari senjata ini
apabila digunakan oleh aktor non-negara di lokasi perkotaan/urban.
Penggunaan senjata nuklir di daerah urban oleh aktor non-negara akan
membuat kehancuran berkali lipat dibandingkan serangan 9/11 (Paul D.
Williams, 2008, p. 184).
Pasca 9/11, negara-negara yang tidak memiliki senjata nuklir
mendorong perlucutan senjata terhadap negara-negara pemilik senjata
nuklir. Negara-negara non-senjata nuklir hirau karena negara-negara yang
memiliki senjata nuklir cenderung dapat memberikan senjata nuklirnya ke
rogue states. Mayoritas negara non-senjata nuklir cemas terhadap
ancaman teroris yang menggunakan senjata nuklir, sehingga beberapa
pertemuan terkait pembahasan disarmament selalu dikaitkan dengan isu




4

terorisme. Pada April 2002, di sidang NPT, AS menyatakan komitmennya
dalam menjaga senjata nuklir yang dimiliki sehingga tidak jatuh ke tangan
teroris. Selain itu, terdapat dorongan dari kelompok 7 negara non-nuklir
(Brazil, Mesir, Irlandia, Meksiko, Selandia Baru, Afrika Selatan, dan
Swedia) untuk membentuk kepastian keamanan yang bersifat legally
binding (Richard M. Price & Mark W. Zacher, 2004, p. 5).
Meskipun terdapat mekanisme perlucutan dan non-proliferasi,
faktanya senjata nuklir masih banyak disimpan oleh beberapa negara
seperti AS, Rusia, Inggris, Prancis, China, dan negara-negara lain (Rumki
Basu, 2012, p. 14). Disamping itu, masih terdapat proliferasi senjata nuklir
ke negara-negara seperti Israel, Afrika Selatan, India, Pakistan, Libya,
Korea Utara, dll (Rumki Basu, 2012, p. 14). Kepemilikan senjata nuklir
oleh negara-negara tersebut lebih berbahaya mengingat kondisi internal
maupun kawasan yang cenderung tidak stabil, yang mana membuat
senjata nuklir dapat digunakan dalam perang lokal. Selain itu, kondisi
lingkungan internal yang tidak stabil membuat aktor non-negara
cenderung


lebih

mudah

mencuri

senjata

nuklir

dari

negara

(di

penyimpanan). Dapat dikatakan bahwa tren proliferasi senjata nuklir
pasca Perang Dingin cenderung terjadi dari negara maju ke negara
berkembang (West to South), maupun antara negara-negara berkembang
(South to South), dan juga dikhawatirkan masuk ke tangan aktor nonnegara.


Sumber
Basu, Rumki. (2012). International Politics: Concepts, Theories, and
Issues.
New Delhi: Sage Publications.
Gillis, Melissa. (2009). Disarmament: A Basic Guide. New York: United
Nations.
Price, Richard M. & Zacher, Mark W. (2004). The United Nations and
Global
Security. New York: Palgrave Macmillan.



5

Williams, Paul D. (2008). Security Studies: An Introduction. New York:
Routledge.




6