Peran Pemerintah Kota dalam Proses Regio

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Fenomena globalisasi telah memperbarui pemahaman kita mengenai peran kota dalam

sistem internasional. Setelah runtuhnya era Perang Dingin, kajian hubungan internasional pun
kini mulai memfokuskan perhatian mereka kepada kemunculan aktor-aktor non-negara—di mana
kota adalah salah satunya. Menurut Bontenbal dalam bukunya yang berjudul Cities as Partners:
The Challenge to Strengthen Urban Governance through North-South City Partnership—setelah
sebelumnya terjebak dalam pemahaman yang state-centric—saat ini para pengkaji hubungan
internasional mulai menelaah peranan kota di dalam mengatasi sejumlah permasalahan global
seperti penanggulangan kemiskinan, demokrasi, serta pencanangan Millenium Development
Goals (MDGs). Selain itu, konsep seperti good governance juga menjadikan kota sebagai objek
yang menarik untuk diteliti.
Selain itu, globalisasi telah menjadikan batas-batas relasi internasional menjadi kian
kabur, dan sebagai hasilnya, aktor-aktor non-negara seperti kota pun mendapatkan porsi yang
cukup signifikan pula di dalam proses transformasi sosial ini. Dalam konsep globalisasi, dapat
kita temukan pula sebuah fenomena yang oleh Mareike Oldemeinen disebut sebuah stepping
stone dari globalisasi, yakni regionalisme.1 Secara istilah, regionalisme dapat kita maknai

sebagai: “the impact of rising levels of regional social and economic exchange, and the links
between economic integration, institutions, and identity.” 2 Salah satu wujud regionalisme yang
dapat diambil sebagai contoh adalah Uni Eropa. Sebagai sebuah institusi regional, Uni Eropa
adalah satu-satunya yang telah mencapai tahap integrasi ekonomi—tahapan tertinggi dari
regional economic integration setelah free trade area, customs union, dan common market.
Meskipun telah mencapai tahapan tertinggi dari regionalisme, Uni Eropa masih
dihadapkan pada sejumlah permasalahan, khususnya mengenai ketimpangan pembangunan yang
terjadi antara negara-negara di kawasan Eropa Barat (Britania Raya, Prancis, Jerman, dan
sebagainya) dengan negara-negara transisi yang berasal dari Eropa Timur (kawasan Balkan dan
1

Oldemeinen, Mareike. “Does Regionalism Challenge Globalisation or Build on it?”. EInternational Relations (daring) diakses pada 20 Oktober 2013.
2
Hurell, Andrew. “One World? Many Worlds? The Place of Regions in the Study of
International Society”. International Affairs; Vol 83, No.1 (2007); p.130

1

negara-negara ex-Yugoslavia). Di satu sisi, negara-negara di kawasan barat tersebut lebih
terfokus kepada liberalisasi, sementara negara-negara di kawasan timur cenderung masih

terfokus kepada bagaimana merevitalisasi asetnya agar dapat mengikuti perkembangan regional.
Demi menyelesaikan dualisme pembangunan ini, Komisi Uni Eropa pun mencanangkan sebuah
rencana pembangunan yang disebut sebagai Cohesion Policy, rencana ini diharapkan mampu
mempermudah proses integrasi negara-negara transisi tersebut menuju pembangunan regional
yang seragam.
Selain menganalisis perilaku kota di dalam menangani masalah internalnya, adalah suatu
hal menarik pula untuk meneliti lebih lanjut bagaimanakah kota memiliki peran di dalam
regionalisme. Dalam kasus ini, penulis akan mengangkat bagaimanakah peran kota Riga, Latvia,
di dalam Cohesion Policy yang dicanangkan oleh Uni Eropa.
1.2

Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan penulis angkat dalam makalah ini adalah: “bagaimanakah

pemerintah kota memegang peranan di dalam lingkup regional, berkaca dari kasus kota Riga,
Latvia, dalam Cohesion Policy di Uni Eropa?”
1.3

Landasan Konseptual
Dalam menulis makalah ini, penulis menggunakan konsep multi-layered diplomacy


sebagai landasan. Konsep ini menekankan kepada bagaimana diplomasi dalam level sub-negara
mulai memainkan peran penting. Selain itu, konsep ini juga membahas bagaimana politik
domestik memiliki linkage terhadap politik internasional, sebagai salah satu agen dari
globalisasi.
Kemudian, konsep lain yang akan penulis gunakan adalah the government triangle.
Konsep ini penulis manfaatkan sebagai kerangka untuk meneliti peran-peran tiap layer dalam
sebuah alur kebijakan. Tiga unsur penyusun dari the government triangle adalah pemerintah
regional, yang dalam hal ini diwakili oleh Uni Eropa; pemerintah negara, yang dalam hal ini
diwakili oleh pemerintah Latvia; dan pemerintah kota, yang dalam hal ini diwakili oleh
pemerintah kota Riga. Dengan adanya segitiga ini, penulis ingin menganalisis bagaimanakah
keterkaitan antara ketiga unsur pemerintahan tersebut.

2

1.4

Hipotesis
Penulis beranggapan bahwa pemerintah kota Riga tetap memiliki peranan di dalam


Cohesion Policy, namun sebatas sebagai penerima kebijakan. Menurut penulis, negara tetaplah
sebagai unit utama dari kebijakan regional, sehingga alur kebijakan yang terjadi adalah top-down
ketimbang bottom-up. Komisi Eropa berlaku sebagai penyedia regulasi utama, sedangkan negara
menerima kebijakan tersebut dengan melakukan penyesuaian dengan kondisi politik lokal, dan
akhirnya kota hanya sekedar menerima kebijakan tersebut.

BAB II
COHESION POLICY UNI EROPA
2.1

Overview

3

Sejak terbentuknya Uni Eropa melalui Maastricht Treaty, organisasi ini dikenal sebagai
sebuah organisasi regional yang multilayer dengan pemerintah regional, nasional, dan lokal
(kota) sebagai penyusunnya.3 Sehingga, pemerintahan yang efektif diwujudkan lewat integrasi
yang kuat antara ketiga unsur penyusun tersebut.
Namun, Uni Eropa masih menghadapi sejumlah masalah, utamanya adalah pembangunan
yang bersifat dualistik antara negara-negara di kawasan barat dan timur. Disebut sebagai

dualistik, karena kedua kawasan ini memiliki fokus pembangunan yang berbeda. Di daerah barat
—yang notabene memiliki kondisi perekonomian lebih stabil—pembangunan diarahkan kepada
meningkatkan liberalisasi. Sedangkan, di kawasan timur—yang dihuni oleh mayoritas negaranegara transisi—pembangunan masih berkutat kepada bagaimana mereka membangun kembali
perekonomian dari puing-puing, khususnya setelah runtuhnya rezim Uni Soviet pada akhir
decade 1980-an.
Demi menanggulangi permasalahan ketimpangan ini, Uni Eropa memiliki sebuah
mekanisme kebijakan untuk meratakan pertumbuhan di kawasan. Kebijakan tersebut bernama
Cohesion Policy. Kebijakan ini bertujuan menghilangkan disparitas dengan membantu negaranegara dengan GDP kurang dari 90% Uni Eropa, sehingga dapat mempercepat pembangunan di
kawasan.
Meskipun sejumlah negara—yang dahulunya dengan GDP di bawah 90% Uni Eropa—
kini telah memiliki GDP di atas rata-rata karena menurunnya GDP Uni Eropa (akibat
bertambahnya anggota), negara-negara tersebut masih memerlukan bantuan dari cohesion policy.
Sehingga, negara-negara tersebut akan masih mendapatkan suntikan bantuan hingga 2013.
Negara-negara yang tergabung di dalam kebijakan ini adalah Bulgaria, Siprus, Republik Ceko,
Estonia, Yunani, Hungaria, Latvia, Lithuania, Malta, Polandia, Portugal, Romania, Slovakia and
Slovenia.
Empat Prinsip Cohesion Policy:


Concentration (sumber daya, usaha, penggunaan)




Programming



Partnership

3

Yuana, Suci Lestari. Local Governments in EU and ASEAN. 2013. P.4. Dipresentasikan pada
KIKE’s Special Panel, Konferensi AIHII 12-14 November 2013, Padang, Indonesia.

4



Additionality


2.2

Cohesion Policy dan Kebijakan Perkotaan
Di dalam Cohesion Policy 2014-2020, Uni Eropa juga menyertakan pentingnya kebijakan

perkotaan yang berkelanjutan melalui cetakan proposal berjudul Integrated Sustainable Urban
Development. Di dalam proposal ini, tercantum pula sebuah mekanisme pendanaan yang
bernama European Regional Development Fund. Proposal ini dikeluarkan oleh Komisi Eropa
pada Oktober 2011 menyusul Cohesion Policy 2014-2020. Adapun, sektor yang diwacanakan
dalam proposal ini adalah:
1. Pembentukan strategi investasi yang terintegrasi
Sebagai sebuah prinsip, European Regional Development Fund (ERDF) harus
mendukung pembangunan kota yang berkelanjutan melalui sejumlah strategi integratif yang
mampu melampaui tantangan ekonomi, lingkungan, iklim and sosial dari sebuah kota (Article 7,
paragraph 1 of the proposed ERDF regulation). Arti dari prinsip ini adalah: ia menekankan
bahwa segenap sumber daya harus dikonsentrasikan secara integratif kepada area-area target
dengan tantangan yang spesifik; dan dalam waktu yang sama, bahwa program-program yang
didanai ERDF harus diintegrasikan kepada tujuan program yang lebih luas. Anggota negara Uni
Eropa juga harus menggunakan European Social Fund (ESF), dalam sinergi dengan ERDF, untuk
mendukung sektor-sektor yang terkait dengan lapangan pekerjaan, pendidikan, kapasitas

kelembagaan, sehingga mampu diimplementasikan dalam strategi yang integratif.
2. Pendanaan yang terjamin untuk pembangunan kota yang berkelanjutan
Setidaknya 5% dari dana ERDF yang dialokasikan untuk negara anggota harus
diinvestasikan

dalam

proyek

integratif.

Program

pembangunan

berkelanjutan

ini

diimplementasikan lewat Integrated Territorial Investment (ITI), dengan manajemen dan

implementasi yang didelegasikan kepada masing-masing pemerintah (Article 7 paragraph 2 of
the proposed ERDF regulation). Bentuk dan tingkat pendelegasian manajemen kota ini bisa
berbeda berdasarkan penyusunan kelembagaan dari negara-negara anggota. Kota-kota yang
mengimplementasikan aksi ini harus dilibatkan di dalam daftar yang menyertai kontrak
kerjasama dan program operasional (Article 87, paragraph 2 [c]). Daftar-daftar ini harus
menyeluruh, meskipun dapat dimodifikasi selama berjalannya program.
3. Pembentukan Urban Development Platform
5

Berdasarkan daftar kota yang diajukan oleh negara-negara anggota, komisi akan
mendirikan Urban Development Platform yang terdiri dari 300 kota dari seluruh Eropa, yang
akan memicu dialog yang lebih policy-oriented tentang urban development di antara kota-kota
dalam level Uni Eropa—khususnya Eropa secara keseluruhan. Urban Development Platform
sendiri bukanlah bagian dari pendanaan, melainkan lebih kepada sebuah mekanisme agar
kontribusi tiap kota terhadap cohesion policy lebih nampak. Landasan ini juga diharapkan
mampu memfasilitasi aksi-aksi inovatif bagi perkembangan berkelanjutan, sehingga hasil yang
dicapai lebih maksimal. (Article 8 of the proposed ERDF regulation)
4. Proyek-proyek berbasis perkotaan yang inovatif
ERDF dipersilakan untuk mendukung proyek-proyek inovatif dengan alokasi dana 0,2%
dari total. Ini bertujuan untuk mengajak para anggota untuk lebih memikirkan solusi terhadap

permasalahan kota. Wacana-wacana yang diajukan harus berupa proyek pelopor yang terkait
dengan studi Eropa. Lingkup program dapat juga mencakup segala tema dan prioritas investasi.
(Article 9 of the proposed ERDF regulation).
5. Fokus yang lebih dalam terhadap pembangunan kota pada level strategis
Berdasarkan aturan dari Common Strategic Framework (CSF), kontrak kerjasama harus
disusun sedemikian rupa. Hal ini untuk mewujudkan pendekatan yang integral atas pemakaian
dana CSF untuk program pembangunan berkelanjutan. Program-program operasional juga harus
disusun untuk memastikan terintegrasinya pembangunan teritorial, termasuk pembangunan area
urban (Articles 11, 14, and 87 of the proposed Common Provisions for CSF Funds 2014-2020).
Diharapkan juga bahwa pendekatan ini secara dekat terhubung kepada kebutuhan spesifik area—
misalnya kemiskinan, diskriminasi, dan sebagainya.
6. Peningkatan sarana untuk menjamin aksi yang terintegrasi
Untuk hal ini, Uni Eropa memiliki The Integrated Territorial Investment (ITI). Hal ini
adalah sebuah metode pendanaan baru bagi sejumlah prioritas program operasional yang bersifat
multidimensi dan lintas-sektoral. ITI adalah sebuah alat yang ideal untuk mendukung aksi
regional yang integratif, karena ia menawarkan kemungkinan untuk menggabungkan pendanaan
yang berkaitan dengan target proyek berbeda. Dalam hal ini termasuk juga gabungan dana dari
program yang didukung oleh ERDF, ESF, dan Cohesion Fund. (Article 99 of the proposed
Common Provisions for CSF Funds 2014-2020).
7. Peningkatan kesempatan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan perkotaan


6

Tujuan-tujuan yang ditargetkan oleh Cohesion Funds memiliki prioritas investasi yang
terkait dengan pembangunan berkelanjutan (Article 5 of the proposed ERDF regulation). Sangat
disarankan bagi kota-kota untuk menggabungkan aksi-aksi yang didukung oleh aksi investasi
sektoral (misal: mencanangkan low-carbon strategies bagi wilayah kota, meningkatkan
lingkungan perkotaan, mencanangkan mobilitas kota yang minim polusi, dan membantu
regenerasi bagi kota yang dilanda keterpurukan) dan menanamkannya di dalam strategi tata kota
dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (Article 7 paragraph 1 of the proposed ERDF
regulation). Pemerintah kota dapat juga menggabungkan proyek ini dengan proyek investasi
yang didanai oleh ESF. (listed under Article 3 of the proposed ESF regulation)
8. Himbauan penggunaan instrumen keuangan dalam sektor pembangunan perkotaan
Para negara anggota sangat disarankan untuk memaksimalkan anggarannya untuk
mempromosikan pembangunan kota berkelanjutan. Lingkup dalam hal iniharus luas, dan
mencakup semua tujuan-tujuan objektif dari tema program dan prioritas investasi. Tak terkecuali
pula dengan mempertimbangkan pihak terlibat, proyek, and aktivitas yang terjadi di dalamnya
(Articles 32-40 of the proposed Common Provisions for CSF Funds 2014-2020).
9. Kesempatan memperluas jaringan
Di bawah tujuan-tujuan yang telah ditentukan European Territorial Cooperation (ETC),
terdapat pula program pertukaran dan pembelajaran bagi kota-kota. Hal ini akan terus membuka
kesempatan mereka untuk memperluas jaringan. Tujuannya adalah untuk membagi serta
mengembangkan praktik-praktik pembangunan kota yang telah sukses (Article 2 of the proposed
ETC regulation).

2.3

Posisi Pemerintah Regional, Pusat, dan Kota
Menurut situs resmi European Development Development Fund, peran dari ketiga

komponen pemerintahan dalam Cohesion Policy dapat kita lihat lewat flowchart berikut:

7

.
Figur 1.0: Alur kebijakan dalam Cohesion Policy

1. Pada level regional, Komisi Uni Eropa—melalui ERDF—mematok sejumlah regulasi
mengenai bagaimana negara-negara anggota mengelola program mereka. Hal ini
termasuk pula mengenai bagaimana mereka mendistribusikan dana pembangunan
tersebut kepada negara yang bersangkutan.
2. Pemerintah nasional memiliki peran dalam mengotorisasi program, yang sebelumnya
telah dikonsultasikan terlebih dahulu agar sesuai dengan kebijakan regional dari Komisi
Uni Eropa. Kemudian, mereka juga memiliki kewenangan untuk mengelola dana proyek
dengan Holding Fund Manager (HF).
3. Setelah penggunaan dana telah disinergiskan dengan program yang diwacanakan oleh
pemerintah dalam level negara, maka dana tersebut kini siap untuk diberikan kepada
pemerintah kota dalam bentuk Urban Development Fund.
4. Pada level yang paling rendah—yakni level lokal—otoritas perkotaan memiliki
wewenang untuk mengimplementasi proyek, yang—menurut kebijakan regional Uni
Eropa—disebut sebagai The Sustainable Urban Development Plan.
BAB III
STUDI KASUS: RIGA4
4

EU Regional Policy. A Former Soviet Military Base Turns into the City’s Cultural Scene –

Riga,

Latvia.

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

ANALISIS PENGARUH PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Kabupaten Jember)

37 330 20

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

OPTIMASI FORMULASI dan UJI EFEKTIVITAS ANTIOKSIDAN SEDIAAN KRIM EKSTRAK DAUN KEMANGI (Ocimum sanctum L) dalam BASIS VANISHING CREAM (Emulgator Asam Stearat, TEA, Tween 80, dan Span 20)

97 464 23

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15

Kekerasan rumah tangga terhadap anak dalam prespektif islam

7 74 74

Kesesuaian konsep islam dalam praktik kerjasama bagi hasil petani desa Tenggulun Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan Jawa Timur

0 86 111

Upaya guru PAI dalam mengembangkan kreativitas siswa pada mata pelajaran pendidikan agama islam Kelas VIII SMP Nusantara Plus Ciputat

48 349 84