Ringkasan buku Victor M. Situmorang S.H.

Nama Pengarang

: Victor M. Situmorang, S.H.
Hendri Soekarso, S.H.

Judul buku

: Pengantar Hukum Kepailitan Di Indonesia

Penerbit

: Rineka Cipta

Kota

: Jakarta

Tahun

: 1993
BAB I

PENDAHULUAN

A. Hukum Kepailitan Dalam Dunia Usaha
Dalam dunia usaha, suatu perusahaan tidak selalu berjalan dengan baik dan acapkali
keadaaan keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga perusahaan tersebut tidak sanggup
lagi membayar hutang-hutangnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kehidupan suatu
perusahaan dapat saja dalam kondisi untung ataupun rugi. Dlaam rangka pengembangan
suatu perusahaan mungkin atau pasti mempunyai hutang. Bagi suatu perusahaan hutang
bukanlah sutu hal yang buruk asal perusahaan itu masih dapat membayar kembali.
Perusahaan begini biasa disebut sebagai solvable, artinya perusahaan yang mampu
membayar hutang-hutangnya. Sebaliknya, perusahaan yang tidak mampu membayar hutanghutangnya disebut dissolvable, artinya tidak mampu membayar.
Dalam peraturan kepailitan hanya mensyaratkan “seseorang telah berhenti membayar hutanghutangnya”, tanpa menyebutkan sebab-sebabnya, sehingga ada kemungkinan bahwa keadaan
berhenti membayar itu disebabkan oleh karena debitur memang tidak mampu atau karena ia
(debitur) hanya tidak mau membayar hutang atau hutang-hutangnya.
Jika kita berbicara mengenai masalah hukum, maka kita akan mengenai adanya subyek dan
obyek hukum. Subyek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. Sedangkan obyek
hukum adalah dapat berupa benda atau segala sesuatu yang menjadi intisari dan perikatan.
Mengnai subyek hukum ada 2 macam yaitu :
-


Manusia (Naturlijk Person) adalah subyek hukum yang utama. Menurut hukum yang
berlaku di Indonesia diakui sebagai manusia pribadi, artinya diakui sebagai orang atau

person menurut hukum. Jadi setiap manusia dianggap sebagai pendukung hak dan
kewajiban dalam lalu lintas hukum dan merupakan subyek hukum.
-

Badan Hukum (Recht Person) adalah buatan manusia, yang mendorong terbentuknya
suatu pengertian badan hukum adalah manusia didslam hubungan-hubungan hukum
privat tidak hanya dengan sesamanya tetapi jugs terhadap persekutuan. Dalam
melaksanakan hak dan kewajibannya badan hukum diwakili oleh direksi atau
pegawainya, akan tetapi orang yang bertindak tidak untuk dirinya melainkan untuk dan
atas pertanggung gugat badan hukum.

Pada pasal 1234 KUHPerdata menentukan bahwa prestasi dapa berupa memberikan sesuatu,
berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Pada azasnya dengan berlakunya sistem hukum
maupun seorang yang berhutang (debitur) berkewajiban untuk memenuhi prestasinya
terhadap orang yang berpiutang (kreditur), dengan demikian maka dibentuklah UU oleh
pembentuk UU.
Dalam rangka mencegah tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh kreditur yang

beritikad buruk yang akan mengambil barang-barang debitur dengan harapan sebagai
pelunasan dari piutangnya dengan merugikan para kreditur yang lain termaksud termaksud
pilih kasih oleh debitur kepada kreditur lainnya, maka diberlakukannya peraturan kepailitan
yang berusaha mengadakan peraturan yang adil. Dengan adanya peraturan kepailitan,
penyelesaian urusan-urusan yang berkepentingan dalam hal hutang piutang dengan cara
keseimbagan, artinya, sesuai dengan imbalan jumlah-jumlah piutang yang dimiliki. Tanpa
adanya azas keseimbangan ini jelas bahwa dengan terdapatnya sejumlah kreditur terhadap
seorang debitur, maka akan terjadi kreditur yang terdahulunya yang mendapat pelunasan
penuh sebab harta debitur sudah habis. Hal rangka mencegah hal demikian, peraturan
kepailitan berusaha menciptakan tata yang adil demi memenuhi beberapa syarat kepailitan
yang essensial yaitu :
1. Adanya keadaan berhenti membayar oleh seorang debitur,
2. Terdapa sejumlah kreditur, yang salah seorang dari kreditur tersebut piutangnya sudah
dapat ditagih,
3. Harus melalui putusan hakim pengadilan negeri.
Sehingga dengan demikian, dapat menjamin keadilan dan ketertiban yaitu supaya semua
orang (kreditur) mendapat pembayaran menurut imbalan besar kecilnya piutang masing-

masing dan para kreditur itu pula menerima sesuai dengan hak atau kedudukannya masingmasing.
B. Maksud dan Tujuan Hukum Kepailitan

Hukum kepailitan bukan suatu lembaga yang sederhana dan berdiri sendiri, karena mengatur
hubungan berbagai pihak sehingga mempunyai berbagai kaitan dan aspek yang merupakan
masalah yang perlu diperhatikan.
Adapun maksud kepailitan ialah untuk mencegah sitaan dan eksekusi oleh seroang kreditur
atau lebih secara perseorangan atau untuk menghentikan sitaan atau eksekusi dengan sitaan
atau eksekusi secara bersama-sama, hasil penjualan semua kekayaan tersebut lazim disebut
“budel”, dapa dibagikan secara adil antara seluruh kreditu dengan mengingat akan hak-hak
pemegang hak-hak istimewa, gadai dan hipotik, selanjutnya tujuan kepailitan tersebut ialah
untuk mencegah sitaan dan eksekusi oleh seorang kreditur atau lebih secara perorangan.
Dengan demikian pernyataan pailit pada hakikatnya bertujuan untuk mendapatkan penyitaan
umum atas seluruh kekayaan si beruntang yaitu seluruh kekayaan si berutang disita dan
dibekukan untuk kepentingan semua kreditur.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepailitan tidak berakibat bahwa orang yang
dinyatakan pailit itu menjadi orang yang berada dibawah pengampuan, si pailit tetap berhak
dan cakap untuk mengadakan persetujuan-persetujuan, sehingga pihak lawannya daapt
menuntutnya dimuka pengadilan, apabila si pailit melakukan cidera janji (wanprestasi). Akan
tetapi putusan-putusan hakim yang dijatuhkan atas dirinya tidak dapat dilaksanakan terhadap
kekayaannya yang telah dijatuhi atas dirinya tidak dapat dilaksanakan terhadap kekayaannya
yang telah dijatuhi sitaan kepailitan, sebab sitaan tersebut tidak dapat “diganggu gugat” oleh
perbuatan-perubatan si pailit. Oleh karena itu kepailitan hanya semata-mata mengenai

kekayaan si pailit dan bukan pribadinya, maka si pailit dapat tetap melakukan atau
melaksanakan hak-hak lainnya, artinya hak-hak tidak mengenai kekayaannya, seperti hakhak yang ia miliki sebagai kepala keluarga, hak yang timbul dari kedudukannya sebagai
orangtua anak-anaknya, dsb. Meskipun demikian, oleh karena kepailitannya diumumkan,
kepailitan tersebut sangat merugikannya baik terhadap nama baiknya, mapun keuangannya.
Selanjutnya terhadapa moril si pailit pun keadaaan kepailitan itu mempunyai akibat yang
tidak diinginkan.

BAB II
PENGERTIAN TENTANG KEPAILITAN
A. Istilah dan Pengertian Kepailitan
Secara itimologi istilah kepailitan berasal dari kata pailit. Selanjutnya isilah “pailit”
berasaldari kata Belanda yaitu failliet yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda
dan kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari kata Perancisyaitu Faillite yang berarti
pemogokan atau kemacetan pembayaran, sedangkan orang yang mogok atau berhenti
membayar dalam bahasa Perancis disebut La Faili. Kata kerja Faillir artinya ialah gagal.
Sedagkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata to fail dengan arti yang sama, dan dalam
bahasa latin disebut failure. Kemudian istilah kepailitan dalam pengertian hukum
menggunakan istilah faillet yang mengandung unsure-unsur tersendiri yang dibatasi secara
tajam, namun definisi tersebut tidak terdaapt dalam UU.
Dengan berbagai definisi maka unsure-unsur dari kepailitan yakni :

-

Adanya sita dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitur,

-

Sita itu semata-mata mengenai harta kekayaan,

-

Sita dan eksekusi tersebut untuk kepentingan para kreditu secara bersama-sama.

B. Subyek dari Kepailitan
Sebelum dihapuskannya Buku III KUHD, UU masih membedakan kepailitan pedagang dan
kepailitan bukan dagang. Untuk kepailitan par pedagan diatur dalam Buku III KUHD
berjudul “perihal ketentuan-ketentuan dalam keadaan pedagang tidak mampu”. Sedangkan
untuk kepailitan bukan pedagang diatur dalam WVK dalam bab tersendiri. Setelah
dihapusnya Buku III KUHD dan dengan diundangnya UU Kepailitan, UU tidak lagi
membedakan kepailitan untuk pedagang dan bukan pedagang. Berikut ini ialah yang dapat
dinyatakan pailit :

1. Wanita yang bersuami
Pernyataan pailit terhadap seorang istri yang menikah dengan persatuan bulat antara harta
kekayaan suani dan istri,tanpa perjanjian pisah harta tak ada artinya, sebab menurut pasal
62 ayat (1) PK, bahwa kepailitan seorang suami atau istri yang kawin dalam sesuatu
ahrta,diberlakukan sebagai kepailitan persatuan tersebut. Sedangkan si suami sebagai
kepala persatuan tersebut selalu merupakan oknum yang pertama-tamaharus dinyatakan

pailit. Lain halnya jika hutang tersebut ialah hutang si istri sendiri dan tidak menjdai
tanggungjawab suami.
Dari ketentuan pasal 3 peratan kepailitan bahwa kepailitan terhadap istri yang bersuami
hanya dapat dinyatakan pailit berdasarkan :
-

Hutang istri itu sendiri yang secara pribadi harus bertanggungjawab karena adanya izin
dari suaminya (pasal 108 KUHPerdata)

-

Hutang istri dalam hal istri dengan izin yang tegas atau izin secara diam-diam dari suami
atau atas usahanya sendiri yang melakukan sesuatu mata pencaharian (pasal 113

KUHPerdata)

-

Hutang istri, dalam hal ini istri tersebut sebelum ia kawin dan hutang rumah tangga istri
itu sendiri (pasal 121, pasal 109 KUHPerdata)

2. Kepailitan harta peninggalan
Mengenai harta peninggalan dari seseorang yang sudsh meninggal dunia dapat pula
dinyatakan pailit berdasarkan peraturan kepailitan pasal 197. Untuk selanjutnya ahli
waris si mati harus dipanggil melalui jalur sita untuk didengar tentang adanya
permohonan itu. Pernyataan pailit oleh hakim berakibat demi hukum terpisahnya harta
kekayaan si mati dengan harta kekayaan para ahli waris.
3. Kepailitan Firma dan Commanditier Vennootschap
Mengenai kepailitan tersebut diatur dalam pasal 4 ayat (2) peraturan kepailitan (PK) yang
dapat disimpulkan bahwa firma dan CV dipandang atau diperlakukan sebagai suatu badan
hukum sehingga perseroang tersebut dapat dinyatakan pailit. Apabila suatu firma
dinyatakan pailit berarti kepailitan dari para perseronya yang masing-masing
bertanggungjawab sepenuhnya untuk perikatan-perikatan dari firma. Kemudian apabila
terdapat hutang-hutang yang tidak dibayar oleh suatu firma adalah hutang dari perseroan

firma itu sendiri, sedangkan kepailitan sebuah CV adalah juga kepailitan dari para
perseroannya.
4. Kepailitan Perseoran Terbatas (PT)
Kepailitan sebuah PT ialah kepailitan perseroan sedangkan para pengurus perusahaan
perseroan tersebut hanya bertanggungjawab terhadap perbuatan-perbuatan atas nama
perseroan sebagai pengurus sepanjang dalam pengurusannya tidak bertentangan dengan

anggaran dasar perseroan tersebut, sedangkan para perseronya hanya bertanggungjawab
secara terbatas yaitu sebagai modal yang mereka masukan.
C. Sejarah Hukum Perseroan
Sejak tanggal 1 oktober 1838 Belanda telah memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(WUK). Dan pada saat itu Belanda masih menjajah Indonesia. Karena itu berdasarkan azas
konkordasi hukum dagang Belanda diberlakukan di Indonesia mulai tanggal 1 Mei 1848.
Yang termuat dalam pengumuman pemerintah Belanda tanggal 30 April 1847 LN Stb 1847
No.23. Kemudian dengan adanya 2 peraturan yang masing-masing ditentukan berlaku bagi
pedagang dan bukan pedagang hal tersebut dinyatakan tidaklha praktis dalam penerapannya.
Bertitik tolak pada hal tersebut maka dipandang perlu adanya perubahan maupun
penyempurnaannya. Oleh karena itu pada tahun 1893 dikelaurkannya peraturan baru dalam
bentuk Faillissmentswet atau UU Kepailitan yang tidak membedakan lagi antara pedagang
dan bukan pedagang. Kemudiaa peraturan ini diikuti oleh Hindia Belanda dalam bentuk

Faillissmentsverordening (peraturan kepailitan) yang diundangkan dengan Stbl.1905 No.217
yang mulai berlaku tanggal 1 November 1906 berdasarkan Stbl. 1906 No.348 sehingga sejak
tahun 1905 kepailitan diatur diluar KUHD.
Dengan demikian peraturan kepailitan yang berlaku sebelum tahun 1906 dan setelah 1906
terlihat adanya perbedaan mengenai peraturannya, keadaan insolvensi dan kedudukan hukum
orang pailit. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peraturan kepailitan dapat
diberlakukan terhadap orang Indonesia berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.
Pasal II Aturan Peralihan tersebut sangat besar fungsinya untuk menghindari adanya
kefakuman atau kekosongan hukum yang sekaligus memberikan landasan hukum terhadap
peraturan pemerintah colonial yang masih tetap diberlakukan sepanjang tidak bertentangan
dengan Pancasila dan UUD 1945.
D. Peraturan Tentang Hukum Kepailitan
Sebagaiamana dikeatahui bahwa UU Kepailitan yang lebih dikenal sebagai istilah Peraturan
Kepailitan yang mulai berlaku di Indonesia sejak 1 November 1906. Pada mulanya peraturan
ini khusus berlaku untuk golongan bangsa Eropa, Timur Asing, lain dari China dan untuk
golongan China. Bagi golongan bangsa Indonesia peraturan kepailitan dapat diberlakukan
berdasarkan pasal 131 Indische Staatsregeling ayat 4 dan selanjutnya diatur dalam Lembaran

Negara 1917 Nomor 12 Jo Nomor 528 tentang penundukan sukarela pada hukum perdata
Eropa, yakni penundukan padal :

-

Keseluruhan hukum perdata barat

-

Sebagian hukum perdata barat

-

Suatu perbuatan hukum tertentu

-

Penundukan secara diam-diam
BAB III
KEADAAAN DAN PROSEDUR PERMOHONAN PAILIT

A. Keadaan Berhenti Membayar
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) PK, UU tidak memberikan penjelasan ukuran
apa yang dipakai bahwa debitur berada dalam keadaan berhenti membayar dan kapan hal itu
dapat dibuktikan.
Berikut ini merupakan unsure-unsur dari keadaan berhenti membayar sebagai berikut :
-

Debitur tidak berprestasi, adapun bentuk prestasi disini dapat berupa uang maupun
barang

-

Adanya bukti nyata yang menunjukkan tidak dibayarnya utang yang telah jatuh tempo.

B. Para Pihak yang Boleh Mengajukan Permohonan Kepailitan
Menurut ketentuan pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) peraturan kepailitan, bahwa para pihak yang
boleh mengajukan permohonan kepailitan adalah :
-

Debitur sendiri

-

Seorang kreditur atau lebih

-

Jaksa demi kepentingan umum

Menentukan tentang siapa yang dapat mengajukan permohonan kepailitan adalah sangat
penting sekali untuk adanya kepastian hukum sehingga mencegah penyalahgunaan hak.
1. Debitur Sendiri
Permohonan kepailitan dapat juga diajukan oleh debitur sendiri, permohonan yang
diajukan oleh debitur memang sangat jarang terjadi sebab seperti yang diketahui bahwa
akibat dari kepalitan adalah akan membawa aspek tercemar nama baiknya dimasyarakat.
2. Seorang Kreditur Atau Lebih

Jika seorang kreditur atau lebih mengajukan permohonan kepailitan harus memenuhi
syarat bahwa hak menuntutnya terbukti. Walau menurut peraturan kepailitan bersifat
sumir atau sederhana yaitu sistem pembuktian yang tidak terkait pasal kepada pasal 1866
BW, yaitu bukti tertulis, saksi , prasangka, pengakuan dan sumpah, kaan tetapi tidak
tertutup kemungkinan untuk melewati jalur hukum.
3. Kejaksaan Demi Kepentingan Hukum
Pihak kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepailitan debitur bilamana dipenuhi
syarat-syarat adanya keadaaan berhenti membayar dari yang bersangkutan dan
berdasarkan alasan kepentingan umum. Apa yang dimaksud dengan kepentingan umum
diserahkan kepada pendapat hakim/pengadilan yang bersangkutan.
C. Tata Cara Mengajukan Permohonan Pailit
Undang-undang tidak mengharuskan bahwa permohonan pailit dilakukan oleh perantara
seorang pengacara, demikian pula dalam praktek, juga UU tidak mengharuskan bahwa
permohonan harus secara tertulis. Selanjutnya bilamana permohonan itu dilakukan secara
lisan, maka dari permohonan itu akan dibuat akte yang ditandatangani oleh panitera.
1. Kewenangan Mengadili
Mengenai peradilan yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkaranya
tergantung pada siapa yang dimohonkan kepailitan. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan
sebagai berikut :
-

Menurut pasal 3 Peraturan kepailitan pengadilan yang berwenang menjatuhkan
kepailitan adalah Road Van Justice ditempat kediaman debitur. Namun, oada tahun
1942 Road Van Justice dihapuskan dan ditugaskan kepada Pengadilan Negeri.

-

Untuk debitur yang pergi keluar Indonesia, maka pengadilan yang berwenang adalah
hakim Pengadilan Negeri ditempat kedudukan balai harta peninggalan yang
diwilayah hukumhya tempat kediaman terakhir dari si debitur

-

Untuk debitur yang tidak mempunyai tempat kediaman di Indonesia, pengadilan yang
berwenang adalah pengadilan negeri ditempat kedudukan balai harta peninggalan
yang didalam wilayah hukumnya terletak tempat kantornya.

-

Untuk perkumpulan-perkumpulan yang berbadan hukum berlaku ketentuan dalam
pasal 2 ayat (7) PK Jo pasal 11 ayat (1) peraturan darurat kepailitan 1947.

-

Untuk perkumpulan-perkumpulan yang tidak berbadan hukum pengadilan yang
berwenang adala pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) peraturan
kepailitan jo pasal 11 ayat (1) peratutan darurat kepailitan.

-

Untuk wanita yang bersuami yang menjalankan pekerjaan perusahaan maka
berlakunya ketentuan dalam pasal 3 peraturan kepailitan jo pasal 11 ayat (1) peraturan
darurat kepailitan 1947 yaitu pengadilan negeri ditempat ia menjalankan usahanya
atau dimana ia berkediaman.

2. Pemeriksaan Kepailitan
Permohonan kepailitan dilakukan dalan sidang tertutup, sedangkan putusannya diucapkan
dalam sidang tertutup untuk umum. Pernyataan pailit baru terbukti bahwa keadaaan
berhenti membayar itu ada , kemudian hakim akan memanggil debitur menghadap secara
pribadi atau dengan kuasanya uuntuk didengar. Kemudian dengan adanya putusan
kepailitan, maka kekuasaan pengurusan harta kekayaan debitur beralih pada balai harta
peninggalan dan putusan kepalitan bersifat konstitutif artinya putusan yang meniadakan
atau menciptakan suatu badan hukum yang baru, perubahan hubungan atau keadaaan
hukum itu sekaligus terjadi pada saat putusan itu diucapkan tanpa memerlukan paksaan.
3. Putusan kepailitan
Disamping memuat hal-hal yang lazim terdapat putusan pengadilam seperti identitas
penggugat, tergugat, pertimbagan, dictum, juga pengangkatan seorang hakim pengadilan
sebagai hakim komisaris dan pengangkatan panitia sementara para kreditur kalau
kepentingan bundle menghendakinya.
Hakim pengawas tersebut memperhatikan semua kepentingan-kepentingan para keditur
dan debitur.
4. Panitia Para Kreditur
Adanya panitia para kreditur bersifat fakultatif sebab panitia ini hanya dibentuk bilamana
keadaan atau kepentingan bundle menghendakinya. Dalam peraturan kepailitan
dibedakan antara panitia sementara dan panitia para kreditur. Panitia sementara diangkat
oleh pengadilan negeripadasaat putusan kepailitan diucapkan atau kemudian dengan
penetapan lain. Panitia sementara diambil dari para kreditur dengan jumlah 1 atau 3
orang. Panitia sementara berkewajiban untuk memberika saran/nasihat kepada kuratris
salama belum diangkat panitia tetap.

Sedangkan panitia tetap para kreditur daingkat oleh hakim komisaris yang dipilih oleh
para kreditur pada akhir rapat verifikasi, kemudia panitia tetap yang telah disetujui oleh
para kreditur lalu diangkat oleh hakim komisaris.
5. Rapat Para Kreditur
Setelah panitia para kreditur terbentuk, kemudian diadakannya rapat-rapat antara lain :
-

Rapat verifikasi
Tujuan dan maksud dari rapat ini ialah :


Menetapkan siapa yang dianggap kreditu yang sah



Membuka kemungkinan bagi para kreditur untuk memasukkan penagihan, paling
lambat 2 hari sebelum rapat verifikasi


-

Membuka kemungkinan diadakannya perukunan

Rapat untuk membicarakan akur bila ini diajukan oleh si pailit dan belum sempat
dibicarakan pada rapat verifikasi.
BAB IV
BEBERAPA AKIBAT HUKUM TERHADAP PUTUSAN KEPAILITAN

Kepailitan memiliki akibat-akibat penting terutama bagi debitur baik material maupun moril.
Berikut ini adalah beberspa akibat oleh beberapa pihak
A. Terhadap Diri Si Pailit
Seorang debitur yang dinyatakan pailit kehilangan nama baiknya, dalam masyarakat pada
umumnya dan khususnya bagi pengusaha dalam lingkungan usahnaya. Menurut huukum
kepailitan tidak menyebabkan debitur yang pailit itu kehilangan kecakapannya untuk
melakukan perbuatanSeorang debitur yang dinyatakan pailit kehilangan nama baiknya, dalam
masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi pengusaha dalam lingkungan usahnaya.
Menurut huukum kepailitan tidak menyebabkan debitur yang pailit itu kehilangan
kecakapannya untuk melakukan perbuatanSeorang debitur yang dinyatakan pailit kehilangan
nama baiknya, dalam masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi pengusaha dalam
lingkungan usahnaya. Menurut huukum kepailitan tidak menyebabkan debitur yang pailit itu
kehilangan kecakapannya untuk melakukan perbuatan dan tetap dalam turut serta dalam lalu

lintas hukum, pendek kata putusan kepailitan tidak mempengaruhi martabat sebagai manusia,
akan tetapi baru akan tampak apabila ia ingin memperoleh kredit.
B. Terhadap Harta Kekayaan Si Pailit
Kepailitan meliputi seluruh harta kekayaan si berutang pada saat pernyataan pailit, serta apa
yang diperoleh selama kepailitan. Barang-barang yang dikenakan pialit haruslah milik si
pailit sendiri, sedangkan barang-barang pihak ketiga yang berada pada tangan si pailit tidak
terkena oleh kepailitan.
Setiap pelaksanaan hukum atas harta kekayaan debitur sebelum adanya putusan pailit segera
berakhir dengan adanya putusan pailit. Selanjutnya dalam pelaksanaan hukum tersebut antara
lain :
-

Penyitaan, yang mana aa 3 jenis sita yakni sita revindikasi, sita consevatoir dan sita
exsecutoir.

-

Paksaan badan (sandera), bilamana debitur dalam penyaderaan pada waktu putusan pailit
diucapkan maka ia segera dikeluarkan.

-

Uang paksa, uang ini yang dibebankan kepada si debitur tidak hapus melainkan ditunda
dan setelah diselesainya kepailitan uang paksa itu hidup kembali.

-

Penjulaan barang untuk melunasi hutang, jika debitur sebelum kepailitan menjual harta
kekayaannya maka balai harta peninggalan atas kuasahakim komisaris dapat
melangsungkan penjualan itu dan hasilnya dimasukkan dalam budel pailit.

-

Persetujuan timbal balik, beberapa tuntutan yang bertujuan dipenuhinya suatu perikatan
timbal balik menurut sifatnya tidak terpengaruhi sama sekali dengan adanya putusan
pernyataan pailit.

-

Pengembalian nama

-

Lampau waktu

C. Pengaruh Kepailitan Terhadap Harta Perkawinan
Menurut KUHPerdata, apabila tidak diperjanjikan lain sebelumnya, maka dengan
dilangsungkannya perkawinan, semua harta suami dan istri pada umumnya menjadi milik
bersama. Sebelum perkawinan dilangsungkan, calon suami/istri dapat memperjanjikan akan
adanya kebersamaan terbtas, yaitu kebersamaan untung rugi, pendapatan dan penghasilan
atau tidak adanya kebersamaan harta sama sekali.

Apabila seorang yang kawin dalam suatu kebersamaan harta jatuh pailit, maka pailit itu
diperlakukan sebagai kepailitan dari kebersaaam tersebut. Apabila seorang pailit yang kawin
dalam suatu kebersamaan mempunyai benda-benda pribadi, maka benda-benda tersebut juga
terkena kepailitan akan tetapi benda-benda itu tidak bertanggungjawab atas tagihan-tagihan
terhadap harta kebersamaan. Apabila seorang suami pailit, istri berhak mengambil semua
benda-benda bergerak dan tidak bergerak yang menjadi miliknya yang tidak masuk dalam
kebersamaan. Apabila ada barang-barang bergerak yang selama perkawinan karena warisan,
penghibaan jatuh pada si istri, maka jika kelak terjadi perselisihan, harus dibuktikan dengan
salah satu cara yakni :
-

Pertelaan (daftar keterangan, rincian)

-

Surat-surat yang memperlihatkan jenis dan harga masing-masing barang

-

Saksi-saksi

-

Dengan pengetahuan umum (pasal 166 KUHPerdata)

D. Terhadap Pihak Ketiga
Segala perbuatan yang dilakukan debitur terhadap pihka ketiga sebelum putusan kepailitan
dapat tampil sebagai penagih bersaing, kecuali perbuatan tersebut dilakukan 40 hari sebelum
putusan kepailitan atau tenggang waktu ini dapat dikalikan dua apabila perbuatan
penghibahan dilakukan oleh debitur kepada keluarga sedarah atau semenda samapi derajat
ketiga. Apabila perbuatan tersebut dilakukan oleh debitur kepada pihak ketiga setelah adanya
putusan kepailitan diakui sepanjang dapat dibuktikan ia tidakmengetahui pernyataan pailit
oleh debitur.
E. Saat berakhirnya Kepailitan
Mengenai berakhirnya kepailitan ini terdapat 2 cara yakni dengan cara akor/Accord dan cara
Insolvensi.
-

Akor/Accord
Akor penting bagi debitur karena dengan adanya akor ini dihindarilah pemberesan
dengan perantaraan hakim. Keuntungan bagi kreditur adalah dengan dihindarinya
pemberesan melalui perantara hakim itu merupakan dorongan dari debitur danahli
warisnya untuk menawarkan lebih banyak kepada para kreditur daripada apa yang akan
mereka terima apabila kepailitan berakhir dengan insolvensi. Bilamana suatu akor tidak

diterima, maka pengadilan negeri dapat menjatuhkan pernyataan paillit (pasal 274 PK),
terhadap putusan pailit tersebut maak si debitur dapat naik banding (pasal 275 PK).
-

Insolvensi
Insolvensi dapat terjadi bilaman dalam suatu kepailitan tidak ditawarkan akur, atau akur
dipecahkan karena tidak dipenuhi sebagaimana yang telah disetujui. Dengan timbulnya
insolvensi ini, maka dimulailah penjualan barang-barang yang masih ada, yang mana
hasilnya kemudian dibagikan kepada para kreditur. Umumnya penjualan ini dilakukan
dimuka umum (lelang), tetapi mungkin pula bahwa suatu likwidasi berangsur-angsur
akan membawa hasil yang lebih banyak yang akan menguntungkan baik para kreditur
maupun debitur itu sendiri.
Apabila sudah tidak ada lagi kreditur yang merasa keberatan atau semua keberatan telah
diselesaikan, maka daftar pembagian dapat mempunyai kekuatan pasti (pasal182 ayat (4)
PK). Daftar pembagian itu dapat dikeluarkan berkali-kali seseuai dengan penerimaan
sejumlah uang yang akan dibagi melunasi kekurangan sampai kepada daftar pembagian
yang terakhir. Apabila daftar pembagian yang terakhir sudah mempunyai kekuatan pasti
maka berakhirlah masa kepailitan (pasal 187, pasal 188 PK)

F. Status Hukum Si Pailit
Tentang masa status atau kedudukan hukum si pailit setelah berakhirnya pemberesan yang
dilaksanakan oleh balai harta peninggalan, diatur dalam Bab I Bagian Kedelapan Peraturan
Kepailitan. Mengenai pengertian pemberesan tidak selalu berarti bahwa para kreditur telah
memperoleh kembali piutang mereka secara penuh. Bilamana terjadi bahwa piutangnya para
kreditur masih tersisa, maka sisa tersebut tetap merupakan tagihan yang harus dilunasi oleh
seorang pailit, dan kreditur tersebut beerhak untuk menuntutnya.
Meskipun orang tersebut telah dinyatakan pailit, orang tersebut mash mendapat perlindungan
hukum.
G. Harta Benda Si Pailit
Mengenai harta benda si pailit diatur berdasarkan hukum kebendaan bahwa suatu hak
kebendaan ialah suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda. Dengan
adanya peraturan kepailitan maka menjamin harta benda si pailit dari gangguan-gangguan
yang mengarah kapada usaha menguntungkan diri.
H. Rehabilitasi

Menurut pasal 205 si debitur atau para ahli warisnya, setelah berakhirnya kepailitan berhak
untuk mendapatkan rehabilitasi atau pemulihan nama baik kepada keadaan semula sebelum
adanya pernyataan pailit kepada PN yang dulu memeriksa pernyataan pailit. Yang mana
pemulihan tersebut harus disebarluaskan kepada masyarakat luas melalui iklan disruat kabar
yang telah mendapat persetujuan PN.
BAB V
BEBERAPA UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PAILIT
A. Pengertian Mengenai Upaya Hukum
Upaya hukum merupakan langkah atau usaha yang diperlukan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan untuk memperoleh keputusan yang adil. Dalam peraturan kepailitan dikenal
beberapa upaya hukum yakni : perlawanan (verset), banding (hogerberoep) dan kasasi
(cassatie).
B. Perlawanan
Mengenai perlawanan menurut pasal 8 ayat (2) PK, apabila debitur tidak deidengar tentang
pernyataaan kepailitannya tersedia bagi debitur upaya hukum perlawanan dengan tenggang
waktu 14 hari setelah putusan diucapkan.
C. Banding (Hogerberoep)
Mengenai banding peraturan kepailitan mengsturnya dalam pasal 8 ayat (4) dan ayat (5).
Debitur dapat memohon banding dalam hal si debitur telah didengar keterangannya dalam
kepailitan akan tetapi debitur tidak puas dengan putusan tersebut, maka debitur dapat
meminta banding pada Pengadilan Tinggi, dan peromohonan banding dapat diajukan dalam
waktu 8 hari setelah putusan diucapkan oleh PN yang berwenang.
D. Kasasi
Permohonan kasasi dapat diajukan dalam tenggang waktu 8 hari setelah putusan pailit
dijatuhkan. Selambat-lambatnya 2 minggu setelah mengajukan permohonan kasasi dan
dilengkapi dengan alasan-alasan kasasi (memori kasasi).
E. Para Pihak yang Berperan Dalam Pengurusan Budel
Adapun para pihak yang berperan dalam pengurusan bundle yakni :
1. Hakim komisaris

2. Balai harta peninggalan
3. Panitia para kreditur
4. Rapat para kreditur
BAB VI
PENUNDAAN PEMBAYARAN
A. Pengertian Penundaan Pembayaran
Acapkali debitur lalai memenuhi atau membayar hutang-hutangnya kepada kreditur. Dalaam
hal ini kelalaian dari debitur dapat terjadi karena factor kesengajaan atau ketidakmauan
ataupun karena keadaan yang sangat sulit. Menghadapai hal ini hukum telah menyediakan 2
pintu untuk menyelesaiakan hal ini yakni debgan cara penundaan pembayaran dan dengan
cara kepailitan. Dasar utama peraturan penundaan pembayaran hutang terdapat dalam pasal
212PK yang menegaskan bahwadebitur yang menduga bahwa dia tidak akan dapat
melanjutkan membayar hutang-hutangnya yang sudah dapat ditagih, bisa mengajukan
permohonan penundaan pembayaran hutang-hutangnya kepada hakim.
B. Keuntungan dan Akibat dari Adanya Lembaga Penundaan Pembayaran
Pengadaan lembaga penundaan pembayaran ini berguna bagi :
-

Debitur, karena ia dalam jangka waktu yang cukup dapat memperbaiki kesulitannya dan
akhirnya ia dapat membayar hutang-hutangnya denganpenuh

-

Kreditur, karena dengan diberikannya penundaan pembayaran tersebut, ada kemungkinan
besar si debitur dapat membayar hutang-hutangnya secara penuh sehingga tidak
merugikan para kreditur.

Akibat-akibat dari penundaan pembayaran adalah sbb :
-

Debitur tidak boleh dipaksa untuk membayar hutang-hutangnya selama berlangsungnya
penundaan pembayaran.

-

Debitur masih berhak dan berwenang mengurus dan menguasai harta bendanya. Tetapi
setiap perbuatan hukum yang dilakukan terhadapa harta bendanya itu harus mendapatkan
izin dari pemelihara.

-

Harus ditangguhkan dari segala tindakan eksekusi yang telah dimulai untuk mendapatkan
pelunasan hutang

-

Debitur masih diberikan keleluasaan untuk membayar hutangnya, tetapi apabila ia
membayar harus dilakukan secara berimbang dan merata pada semua krediturnya.

-

Selama waktu penundaan pembayaran, debitur tidak boleh dimintakan pernyataan pailit
begitu saja.

Perbedaan antara penundaan pembayaran dengan kepailitan adalah sbb :
1. Waktu Pemberian
Meskipun permohonan penundaan pembayaran mendapat perioritas utamauntuk diperiksa
dipersidangan tidak berarti permohonan itu harrus selalu ada, artinya apabila debitur tidak
mengajukan permohonan penundaan pembayaran maka hakim dapat langsung menyatakan
debitur dalam keadaan pailit apabial ada permohonan pailit dari para kreditur.
2. Kedudukan Tertunda
Dalam penundaan pembayaran nasib tertunda yakni orang yang mendapat izin dari hakim
untuk menunda pembayaran hutang-hutangnya, tidak sejelek si pailit. Berbeda dengan si
pailit yang kehilangan kecakapan berbuat terhadap harta bendanya, maka si tertunda tidak
kehilangan hak atas harta bendanya.
3. Lembaga “Pemeliharaan”
Dalam penundaan pembayaran, si tertunda masih cakap berbuat terhadap harta bendanya,
hanya tiap-tiap tindakan yang mengenai harta bendanya, dia harus mendapat izin dari
seseorang atau lebih yang disebut dengan “pemeliharaan” yang diangkat oleh hakim.
4. Balai Harta Peninggalan
Jika dalam kepailitan dibutuhkan campur tangan dari balai Harta Peninggalan untuk
mengurus harta benda si pailit, maka dalampenundaan pembayaran Balai Harta Peninggalan
tidak diperlukan lagi.
5. Hakim Komisaris
Tidak ditetapkannya hakim komisaris dalam penundaan pembayaran. Apabila terdapat
kesulitan dalam pelaksanaan penundaan pembayaran maka dapat diselesaikan oleh hakim
pemutus penundaan pembayaran itu sendiri.
C. Tata Cara Permohonan Penundaan Pembayaran
Cara memajukan permohonan dan prosedur selanjutnya dapat dibaca dalam pasal 213 PK
dan pasal lainnya.

-

Debitur mengajukan permohonan penundaan pembayaran kepada PN, dan permohonan
tersebut harus dilampirkan dengan surat-surat

-

Surat tersebut dan lampirannya diletakkan di Kepaniteraan PN agak dapat dilihat oleh
semua pihak yang berkepentingan

-

Setelah PN menerima permohonan tersebut, untuk sementara memberikan izin
penundaan pembayaran, seiring dengan penerimaan tersebut pengadilan akan
mengangkat seorang atau lebih pemelihara yang bersama-sama debitur mengurus
kepentingan debitur dan krediturnya

-

Hakim PN melalui paniteranya memanggil para kreditur yang bersangkutan, debitur dan
pemelihara untuk diadakannya musyawarah pada hari,jam dan tempat tertentu.

D. Pencabutan Penundaan Pembayaran
Sehubungan dengan ketentuan dalam pasal 240 dan pasal 244 PK, maka pengunduran
pembayaran baik yang telah diberikan sementara maupun definitive dapat dicabut :
-

Atas permintaan pengurus harta (pasal 240 PK)

-

Atas permintaan seorang kreditur atau lebih (pasal 240 PK)

-

Karena jabatan oleh pengadilan negeri (pasal 240 PK)

-

Atas permintaan si debitur itu sendiri (pasal 244 PK)

-

Para pengurus harta dan apabila mengenia suatu pengunduran tetap, para kreditur harus
didengar atau dipanggil sepatutnya (pasal 244 ayat (1) PK)

E. Akor Pada Penundaan Pembayaran
Perbedaan antara akor pada kepailitan dan akor pada penundaan pembayaran adalah sbb:
1. Dari segi waktu
Dari segi waktu , akor penudaan pembayaran diajukan pada saat atau setelah permohonan
penundaan pembyaran, sedangkan akor pada kepailitan diajukan setelah adanya putusan
hakim.
2. Dari segi penyelesaian
Penyelesaian akor dilakukan padasidang pengadilan yang memeriksa permohonan
penundaan pembayaran, sedangkan akor kepailitan dibicarakan pada saat verifikasi, yaitu
setelah adanya putusan kepailitan.
3. Dari segi syarat penerimaan

Syarat penerimaan akor pada penundaan pembayaran haruslah disetujui oleh 2/3 jumlah
kreditur yang diakui dan mewakili ¾ dari jumlah piutang yang diakui. Sedangkan akor
pada kepailitan harus disetujui oleh 2/3 dari jumlah kreditur konkuren, yang mewakili ¾
jumlah semua tagihan yang tidak mempuyai kedudukan istimewa.
4. Dari segi kekuatan mengikat
Kekuatan mengikatnya akor pada penundaan pembayaran berlaku pada semua kreditur
(baik konkuren maupun preveren), sedangkan akor kepailitan hanya berlaku bagi kreditu
konkuren.