Gambaran Pengetahuan Mengenai Amebiasis pada Penyaji Makanan di Kecamatan Medan Baru

4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengetahuan
2.1.1 Definisi pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah seseorang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek, baik melalui indra penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa, dan raba (Notoatmodjo, 2003).

2.1.2 Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2010), pengetahuan dibagi dalam 6 tingkat
pengetahuan secara garis besar, yaitu:
a.

Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai memanggil (recall) memori yang telah ada sebelumnya
setelah mengamati sesuatu.

b. Memahami (comprehension)
Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak

sekedar dapat menyebutkan, tetapi harus dapat menginterprestasikan tentang
objek yang diketahui tersebut secara benar.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan apabila seseorang yang telah memahami objek yang
dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang telah
diketahui tersebut pada situasi yang lain.
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan memisahkan,
dan mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu
masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang
telah sampai pada tingkat analisis adalah apabila orang tersebut telah dapat
membedakan, atau mengelompokan, membuat diagram (bagan) terhadap
pengetahuan atas objek tersebut.
e. Sintesis (synthesis)

Universitas Sumatera Utara

5

Sintesis menunjukan kepada suata kemampuan seseorang untuk merangkum

atau meletakan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen
pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan
untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap sesuatu objek tertentu. Penilaian ini dengan
sendirinya didasarkan pada suatu criteria yang ditemukan sendiri.

2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu :
a. Pengalaman
Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun pengalaman
orang lain. Pengalaman yang diperoleh dapat memperluas pengetahuan
seseorang.
b. Pendidikan
Secara umum, orang yang berpendidikan lebih tinggi akan memiliki
pengetahuan yang lebih luas daripada orang yang berpendidikan lebih rendah.
c. Keyakinan
Biasanya keyakinan diperoleh secara turun-menurun, baik keyakinan yang

positif maupun keyakinan yang negatif, tanpa adanya pembuktian terlebih
dahulu.
d. Fasilitas
Sumber informasi yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah
majalah, radio, koran, televisi, buku, dan lain-lain.
e. Penghasilan
Tidak berpengaruh secara langsung terhadap pengetahuan seseorang. Namun,
jika seseorang berpenghasilan cukup besar, maka dia mampu menyediakan
fasilitas yang lebih baik.
f. Kebudayaan

Universitas Sumatera Utara

6

Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga dapat mempengaruhi
pengetahuan, persepsi, dan sikap seseorang terhadap sesuatu.

2.2 Keamanan Pangan (Food Safety)
Menurut WHO SEA, keamanan pangan merupakan suatu kondisi atau

usaha supaya makanan tidak berisiko mengandung bahan biologis, kimia atau
fisik yang bahaya (hazards) dan dapat menyebabkan efek samping pada kesehatan
manusia (Dewanti, 2011). 5 kunci untuk keamanan pangan termasuk menjaga
kebersihan pribadi maupun lingkungan, pisahkan pangan mentah dari pangan
matang, memasak pangan dengan benar yaitu dengan suhu internal 70°C, menjaga
pangan pada suhu aman yaitu dibawah 5°C atau di atas 60°C, serta menggunakan
air dan bahan baku yang aman (WHO, 2006).
Bahaya (hazards) didefinisikan sebagai suatu kejadian atau peristiwa yang
berhubungan dengan suatu kegitan atau proses yang dapat mengakibatkan
konsekuensi negatif sehingga membentuk sumber risiko untuk lingkungan atau
populasi sebagai penerima. Menurut Safe Food Australia , tiga jenis bahaya dasar
yang dapat menyebakan penyakit bawaan makanan adalah faktor mikrobiologis
seperti parasit, bahan kimia yang berkaitan dengan penggunaan bahan tambahan
dalam proses dan kontrol makanan seperti peptisida serta faktor fisik seperti
makanan yang mengandung partikel kaca, logam, plastik dan lain-lain.
Penyakit bawaan makanan (food borne diseases) didefinisikan sebagai dua
atau lebih kasus berkaitan dengan penyakit yang disebabkan oleh konsumsi
makanan atau minuman yang mengandung agen infeksius, atau satu kasus
keracunan kimia atau toksik jika terdapat bukti laboratorium bahwa makanan
tersebut dikontaminasi oleh bahan kimia atau toksik (Thio, 2008).

Penyaji makanan adalah seseorang yang bertanggugjawab menyajikan
makanan. Warung makan tradisional adalah satu jenis usaha jasa pangan yang
dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan untuk proses pembuatan,
penyimpanan dan penjualan makanan dan minuman bagi umum di tempat
usahanya (Depkes, 1990).
Satu penelitian di USA menunjukkan bahwa sekitar 97% dari wabah

Universitas Sumatera Utara

7

(outbreaks) bawaan makanan adalah karena pelayanan makanan yang tidak tepat
dalam bidang pelayanan makanan (Siow & Sani, 2011). Oleh karena itu,
kepentingan edukasi untuk memperbaiki perilaku penyaji makanan dalam
penanganan makanan telah semakin meningkat selama 10-20 tahun terakhir ini.
Penyaji makanan harus memiliki pengetahuan dan keterampilan terhadap
keamanan dan higienitas makanan untuk memastikan makanan tersebut aman
untuk dikonsumsi oleh pemakan (Thio, 2008).

2.3 Amebiasis

2.3.1 Definisi Amebiasis
Amebiasis adalah infeksi protozoa Entamoeba histolytica (ameba tissuelysing). Sebagian besar infeksi pada manusia bersifat asimtomatik, bila gejala

muncul, akan berkisar dari disentri hingga infeksi ekstraintestinal, termasuk abses
hati (Longo et al, 2011). Sinonim termasuk entamoebiasis, amoebiosis, disentri
amuba atau fluks berdarah. Catatan paling awal tentang diare berdarah lender
ditemukan di Bhrigu Samhita (1000 BC). Fredrich Losch (1875) menemukan
amoeba di St Petersburg (Russia). Deskripsi akurat tentang bentuk amebiasis yang
invasif dan tidak invasif dibuat oleh James Annersley di abad ke-19 (Tilak, 2013).

2.3.2 Epidemiologi
Di

seluruh

dunia,

sekitar

50


juta

kasus

penyakit

Entamoeba

histolytica yang bersifat invasif terjadi setiap tahun, sehingga menyebabkan

sebanyak 100.000 kematian. Ini merupakan puncak gunung es karena hanya 1020% individu yang terinfeksi bersifat simtomatik.
Prevalensi infeksi Entamoeba histolytica adalah setinggi 50% di daerah
Amerika tengah dan selantan, Afrika dan Asia. Di area endemik, sebanyak 25%
pasien terdapat antibodi terhadap Entamoeba histolytica ini sebagai akibat dari
infeksi sebelumnya, yang sebagian besarnya asimtomatik. Prevalensi infeksi
Entamoeba histolytica yang asimtomatik tergantung wilayah. Di Brazil, misalnya,

adalah setinggi 11% (Alexandre, 2013).
Transmisi amebiasis adalah melalui konsumsi makanan atau minuman


Universitas Sumatera Utara

8

yang terkontaminasi. Area dengan sanitasi buruk dan dimana feses manusia
digunakan sabagai pupuk menampilkan prevalensi yang tertinggi pada infeksi
manusia. Sumber utama infeksi amebiasis merupakan pasien kronik atau
pembawa asimtomatik yang bersifat cyst-passing. Infeksi pada individu ini
disebut amebiasis luminal. Amebiasis ini sering bersifat tidak patogenik dan
dalam bentuk luminal pada manusia di daerah beriklim sedang. Di daerah tropis
dan subtropics, bentuk invasif lebih umum (Burtonet al, 2013).
Amebiasis usus yang simtomatik terjadi pada semua kelompok umur.
Abses hati karena amebiasis terjadi 10 kali lebih sering pada orang dewasa
dibandingkan pada anak-anak. Anak yang sangat muda cenderung mengalami
kolitis fulminan. Di Jepang dan Taiwan, hasil seropositif HIV merupakan faktor
risiko untuk amebiasis ekstraintestinal yang bersifat invasif. Asosiasi ini belum
diamati di tempat lain (Alexandre, 2013).
Kejadian amebiasis lebih umum pada laki-laki dibandingkan dengan
wanita, meskipun prevalensi infeksi oleh Entamoeba histolytica tidak berbeda

antara kedua jenis kelamin. Hal ini adalah oleh sebab prevalensi abses hati
amoeba (invasif) yang 7 kali lebih tinggi pada pria dibanding dengan wanita
(Longo et al, 2011).

2.3.3 Daun Hidup dan Cara Penularannya
Entamoeba histolytica dibagi dalam dua tahap, yaitu bentuk kista yang

bersifat multinucleate dan keras serta bentuk trofozoit yang motil. Pada manusia
yang sebagai host alami, infeksi ini disebabkan oleh termakan kista yang
terkandung di dalam makanan atau minuman terkontaminasi oleh tinja atau
melalui kontak seksual oral-anal yang lebih jarang (Longo et al, 2011).
Setelah ditelan, kista melewati lambung dan dilindungi dari lingkungan
yang asam oleh dinding kista, hingga ke ileum, dimana eksistasi terjadi. Proses
eksistasi ini terjadi di ileum terminal dan kolon dalam waktu 5-6 jam. Lingkungan
netral atau sedikit basa di dalam usus diperlukan untuk proses ini. Setelah
eksistasi, organisme dengan tetranucleate tunggal segera mengalami mitosis
sehingga menghasilkan delapan trofozoit yang kecil dan metakistik, yang akan

Universitas Sumatera Utara


9

menuju ke kolon untuk tahap selanjutnya. Penurunan aktivitas peristaltik usus
memungkinkan trofozoit lebih mapan di daerah caecum. Sebaliknya, peningkatan
motilitas usus

atau volume makanan akan mengurangi potensi pembentukan

amoeba (Burtonet al, 2013).
Inhabitasi trofozoit Entamoeba histolytica terjadi di kolon dan rektum.
Diameter trofozoit yang motil berukuran rata-rata 25mm (kisaran, 15-60mm) dan
biasanya monopodial dengan memproduksikan satu pseudopodium yang besar
dan fingerlike. Sitoplasmanya dibagi menjadi dua zona, yaitu ektoplasme yang
jelas dan refraktil dan endoplasme yang bergranular halus dimana vakuola
makanan berada. Vakuola tersebut berisi eritrosit, leukosit dan sel epitel, serta
bacteria dan bahan usus lain. Trofozoit berproliferasi secara mitotic dengan
carabinary fission di dalam usus (Burtonet al, 2013).
Selanjutnya, ensistasi dimulai dengan sekresi membrane hialin yang tipis
oleh trofozoit pre-kista untuk membentuk dinding kista. Pada tahap ini, kista
berbentuk bulat dengan diameter rata-rata 12mm (kisaran, 10-20mm) dan

mengandung satu nukleus. Massa glikogen dan chromatoidal bar dapat diamati.
Nukelus kista akan mengalami dua kali pembelahan mitotik untuk memproduksi
empat inti vesikuler di dalam kista matang dari Entamoeba histolytica . Kista
tersebut merupakan bentuk infektif yang akan keluar dari tubuh manusia melalui
tinja, dimana glikogen dan substansi chromatoidal akan dimetabolisme (Burtonet
al, 2013).

Kista matang di dalam kolon meninggalkan host dalam jumlah besar dan
dapat bertahan hidup dan infektif di lingkungan yang lembab dan dingin selama
12 hari. Kista ini dapat hidup sepanjang 30 hari di dalam air. Kista matang juga
resisten terhadap tingkat klorin yang biasa digunakan untuk disinfeksi air.
Meskipun demikian, kista ini tidek resisten dan cepat dibunuh oleh pengeringan
dan suhu dibawah 5 °C atau di atas 40 °C (Raza et al, 2013).

2.3.4 Patogenesis
Sebagian besar infeksi Entamoeba histolytica bersifat asimtomatik atau
dengan gejala yang sangat ringan. Pasien dengan infeksi non-invasif

Universitas Sumatera Utara

10

mengeksresikan kista dalam waktu yang singkat dan tidak infektif dalam waktu 12
bulan. Manifestasi klinis amebiasis yang paling sering merupakan kolitis dan
abses hati (Raza et al, 2013).
Lektin yang merupakan protein permukaan trofozoit berikatan dnegan Nacetylgalaktosamine (GalNAc) dan galaktosa pada permukaan sel. Penyakit tetap

bersifat non-invasif jika lektin melekat ke glikoprotein musin kolon (Raza et al,
2013).
Kolitis terjadi ketika trofozoit penetrasi melalui lapisan musin dimana
lektin melekat sehingga ke epitel usus. Penetrasi ini tergantung pada faktor
genetik parasit untuk menghasilkan enzim proteolitik dan resistansi terhadap lisis
yang dimediasi oleh komplemen (Raza et al, 2013). Trofozoit meningkatkan
sekresi mukus, mengubah komposisinya dan menurunkan kadar sel goblet di
dalam musin, sehingga menyebabkan permukaan epitel lebih rentan terhadap
invasi. Selanjutnya, trofozoit melekat pada sel epitel interglandular dengan
bantuan lektin. Dengan bantuan enzim proteolitik terutamanya proteinase sistein,
fosfolipase dan hemolisin yang akan mendegradasi elastin, kolagen dan
fibronektin, trofozoit menginvasi epitel kolon melalui gangguan terhadap matriks
ekstrasel (Tilak, 2013). Setelah terjadi invasi, ensistasi tidak akan terjadi dan
siklus hidup Entamoeba histolytica tidak akan sempurna lagi (Raza et al, 2013).
Amoebapores

yang

dihasilkan

oleh

Entamoeba

histolytica akan

menyebabkan lisis sel dengan membentukkan pori-pori pada membrane sel target.
Setelah beberapa detik kontak dengan sel target, kadar kalsium meningkat dan
kematian sel terjadi dalam waktu 15 menit (Raza et al, 2013). Lisis leukosit
polimorfonuklear dan monosit akan melepaskan enzim lisosom yang dimediasi
peptida yang menyebabkan destruksi jaringan dan melebarkan lesi (Tilak, 2013).
Proteinase

sistein

menghancurkan

molekul

pertahanan

tubuh

termasuk

komplemen dan antibodi untuk menghindari respons inflammasi dari tubuh
(Longo et al, 2011). Dengan pelebaran lanjutan, trofozoit menginvasi submukosa
dan menyebar secara lateral, sehingga menghasilkan ulkus berbentuk flask yang
klasik (Tilak, 2013).
Invasi vaskular menyebabkan penyebaran sistemik. Lobus kanan hati

Universitas Sumatera Utara

11

paling sering terlibat karena darah dari caecum mengalir ke lobus kanan hati
melalui vena portal, sehingga menyebabkan abses hati (Tilak, 2013). Reaksi di
dalam hati tidak hanya disebabkan oleh trofozoit dan sekresinya, tetapi juga oleh
bahan toksik oleh karena perubahan ulseratif di kolon (Burtonet al, 2013). Abses
hati amebik berbentuk bulat dengan nekrosis di tengah dan dikelilingi oleh sel
inflammatori, fibrosis dan kadang-kadang beberapa trofozoit amoeba (Longo et
al, 2011).
Entamoeba histolytica memiliki kapasitas untuk menghancurkan hampir

semua jaringan tubuh manasia misalnya mukosa kolon, hati atau lebih jarang otak,
kulit dan tulang (Tilak, 2013). Virulensi Entamoeba histolytica ini tergantung pada
kemampuan

apoptosis dan fagositosis sel, yang akan membatasi respons

inflamasi tubuh (Raza et al, 2013). Faktor virulensi ini, meskipun tidak diketahui
dengan pasti, merupakan molekul adhesi, protease, hemolisin, sitolisis tergantung
kontak, selain dari aktivitas fagositosisnya (Tilak, 2013).

2.3.5 Gejala Klinis
Gejala amebiasis bervariasi di antara intestinal dan ekstraintestinal. Gejala
amebiasis intestinal umumnya terjadi 2-6 minggu setelah konsumsi kista parasit
(Longo et al, 2011). Pasien yang bersifat simtomatik mengalami nyeri abdomen
bawah, diare dan seterusnya disentri (tinja dengan darah dan mukus). Kolitis
amebik tanpa disentri bermanifestasi sebagai perubahan kebiasaan bowel, tinja
berlumuran darah, perut kembung dan nyeri kolik, serta nyeri di fossa iliaka kanan
atau daerah kolon yang lain. Gejala ini mungkin hilang atau berkembang menjadi
disentri. Kolitis amebik dengan disentri mempunyai gejala mencret dengan darah
segar dan nyeri abdomen ringan atau sedang pada satu atau kedua fossa iliaka atau
secara generalisir.Gejala ini sering berfluktuasi selama beberapa minggu atau
bahkan berbulan-bulan. Distensi abdomen dapat terjadi pada pasien yang
mengeluarkan jumlah tinja yang relatif kecil (Knott, 2013).
Kolitis fulminan mempunyai prevalensi lebih tinggi pada anak-anak dan
pasien yang memakai steroid. Gejalanya merupakan demam tinggi, nyeri
abdomen yang parah, distensi abdomen disertai muntah, bunyi usus hilang dan

Universitas Sumatera Utara

12

diare berair (Knott, 2013). Perforasi usus terjadi pada >75% pasien dengan colitis
fulminan ini (Longo et al, 2011). Perforasi terlokalisir dan appendisitis dapat
terjadi secara mendadak dari ulkus yang dalam sehingga menyebabkan peritonitis,
abses perikolik atau infeksi retroperitoneal (Knott, 2013). Komplikasi kolitis
amebik termasuk toksik megakolon (0,5%) dengan dilatasi usus yang parah dan
udara intramural, serta ameboma yang bermanifastasi sebagai massa pseudotumor
yang inflammatori (Longo et al, 2011).
Amebiasis hepatik terjadi dalam waktu delapan minggu sehingga satu
tahun setelah terinfeksi. Abses hati ini bersifat akut sepanjang