Karakterisitik Penderita Stroke Rawat Inap di RSUD. Sibuhuan Kabupaten Padang Lawas Tahun 2014-2015
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Stroke
Strok (bahasa Inggris: stroke) adalah suatu kondisi yang terjadi ketika
pasokan darah ke suatu bagian otak tiba-tiba terganggu. Dalam jaringan otak,
kurangnya aliran darah menyebabkan serangkaian reaksi bio-kimia yang dapat
merusakkan atau mematikan sel-sel otak (Shadine, M., 2010).
Kurikulum Inti Pendidikan Dokter di Indonesia (KIPD) mengistilahkan
stroke sebagai Gangguan Peredaran Darah Otak (GPDO), merupakan suatu
sindrom yang diakibatkan oleh adanya gangguan aliran darah pada salah satu
bagian otak yang menimbulkan gangguan fungsional otak berupa defisit
neurologik atau kelumpuhan saraf (Bustan, M.N., 2007).
Stroke adalah kerusakan jaringan otak yang disebabkan karena
berkurangnya atau terhentinya suplai darah secara tiba-tiba. Jaringan otak yang
mengalami hal ini akan mati dan tidak dapat berfungsi lagi. Di dalam praktik,
stroke umum digunakan sebagai sinonim Cerebro Vascular Disease (CVD).
Orang awam cenderung menganggap stroke sebagai penyakit. Sebaliknya, para
dokter justru menyebutnya sebagai gejala klinis yang muncul akibat pembuluh
darah jantung (kardiovaskular) yang bermasalah, penyakit jantung atau keduanya
secara bersamaan (Shadine, M., 2010).
Stroke adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal
maupun menyeluruh (global) yang berlangsung dengan cepat atau berlangsung
lebih dari 24 jam yang berakhir dengan cacat atau kematian (Shadine, M., 2010;
Bustan, M.N., 2007).
9
Universitas Sumatera Utara
10
Didefinisikan sebagai stroke jika pernah didiagnosis menderita penyakit
stroke oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau
belum pernah
didiagnosis menderita penyakit stroke oleh tenaga kesehatan tetapi pernah
mengalami secara mendadak keluhan kelumpuhan pada satu sisi tubuh atau
kelumpuhan pada satu sisi tubuh yang disertai kesemutan atau baal satu sisi tubuh
atau mulut menjadi mencong tanpa kelumpuhan otot mata atau bicara pelo atau
sulit bicara/komunikasi dan atau tidak mengerti pembicaraan (Kemenkes RI,
2014).
2.2 Anatomi Pembuluh Darah Otak
Otak merupakan organ vital yang bertanggung jawab atas fungsi mental
dan intelektual seperti berfikir, menafsirkan apa yang diterima oleh indra kita
serta mengontrol gerakan-gerakan sadar kita. Otak terdiri dari 2 belahan otak
besar, serebrum yang dihubungkan oleh struktur seperti jembatan yang disebut
korpus kalosum, 2 belahan otak kecil, serebelum, yang dihubungkan oleh vermis
dan batang otak yang terdiri dari bawah ke atas terdiri dari medulla oblongata,
pons varoli, mesensefalon dan diensefalon menyambung ke otak besar. Medulla
oblongata ke bawah menyambung ke sumsum belakang (Markam, S., 2003).
Terdapat dua hemisfer serebri, yaitu hemisfer serebri sinistra (kiri) dan
hemisfer serebri dextra (kanan). Hemisfer serebri sinistra berfungsi dalam
mengendalikan gerakan sisi kanan tubuh, bicara, berhitung dan menulis,
sedangkan hemisfer serebri dextra berfungsi dalam mengendalikan gerakan sisi
kiri tubuh, perasaan, kemampuan seni dan keterampilan (Thomas, J., 1995;
Markam, S., 2003).
Universitas Sumatera Utara
11
Berat otak seluruhnya sekitar 2,5% dari berat badan total. Otak terdiri dari
sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang dikenal sebagai sel glia,
cairan serebrospinal dan pembuluh darah. Arteri adalah pembuluh yang
mengangkut darah yang kaya oksigen dan nutrient seperti glukosa ke otak. Vena
adalah pembuluh yang membawa darah yang telah digunakan dan zat sisa
menjauhi otak. Semua orang memiliki jumlah neuron yang sama sekitar 1.00
miliar, tetapi jumlah koneksi diantara berbagai neuron berbeda-beda. Pasokan
aliran darah ke otak dilakukan oleh dua pembuluh arteri utama, yaitu sepasang
arteri karotis interna dan sepasang arteri vertebrobasilaris (Junaidi, I., 2004).
Otak merupakan organ tubuh yang paling banyak menerima darah dari
jantung. Otak membutuhkan banyak oksigen yaitu 20% dari oksigen tubuh.
Dalam keadaan normal darah yang mengalir ke dalam otak adalah 50-60 ml/1.00
gram jaringan otak/ menit, selain itu otak juga memerlukan 70% glukosa yang
tersedia. Otak masih dapat bekerja dengan normal bila suplai oksigen terganggu
selama 8-10 detik, setelah waktu tersebut terjadi gangguan pada peredaran darah
otak. Kekurangan glukosa tidak begitu mengkuatirkan dibandingkan dengan
kekurangan oksigen, karena otak masih dapat berfungsi dengan baik dengan
kekurangan glukosa selama 30-60 menit. Oleh karena itu, masa hidup jaringan
otak yang menghadapi kekurangan oksigen cukup singkat. Hal ini berarti jaringan
otak akan mudah mati jika pasokan aliran darah terhenti atau tersumbat (Thomas,
J., 1995; Ginanjar, G., 2009).
2.3 Klasifikasi Stroke
Stroke dapat dibagi menjadi dua kategori utama yaitu stroke hemoragik
dan stroke non hemoragik/iskemik.
Universitas Sumatera Utara
12
2.3.1 Stroke Hemoragik
Pada stroke hemoragik (pendarahan), pembuluh darah pecah sehingga
menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu
daerah di otak dan merusaknya. Meski kasusnya lebih sedikit, stroke hemoragik
lebih sering menyebabkan kematian sekitar 50%, sedangkan pada kasus iskemik
hanya sekitar 20%. Hampir 70% kasus stroke hemoragik terjadi pada penderita
hipertensi. Menurut WHO tahun 1998, dalam International Statistical
Classification of Disease and Related Health Problem 10th, stroke hemoragik
dibagi atas:
1. Perdarahan Intraserebral (PIS)
Perdarahan Intraserebral (PIS) primer meliputi 10% dari seluruh kasus
stroke, terjadi di hemisfer serebri (80%) dan batang otak serta serebelum (20%).
Perdarahan Intraserebral adalah perdarahan yang terjadi di dalam otak karena
adanya pembuluh darah yang pecah sehingga darah keluar dan masuk ke jaringan
dalam otak dan menyerap ke dalamnya. Perdarahan Intraserebral terutama
disebabkan oleh hipertensi. Selain itu, beberapa faktor penyebab lainnya adalah
aneurisma, hemoragik yang menyertai embolus, penyakit darah seperti leukemia,
hemophilia, trombositopenia, gangguan koagulasi (akuisita atau oleh obat), tumor
otak (primer dan metastasis) (Smeltzer, C; Brenda G.B, 2001).
2. Perdarahan Subaraknoid (PSA)
Perdarahan subaraknoid (PSA) adalah perdarahan yang terjadi di ruang
subaraknoid (ruang sempit antara permukaan otak dan lapisan jaringan yang
menutupi otak. Penyebab utamanya adalah pecahnya aneurisma intrakrania
Universitas Sumatera Utara
13
sehingga darah masuk ke dalam jaringan otak, merusak neuron sehingga bagian
yang terkena tidak dapat berfungsi dengan benar (Sudoyo, A.W., dkk. 2007).
2.3.2 Stroke Iskemik
Pada stroke iskemik, aliran darah ke otak terhenti karena aterosklerosis
(penumpukan kolesterol pada dinding pembuluh darah) atau bekuan darah yang
menyumbat suatu pembuluh darah ke otak. Hampir sebagian besar pasien atau
sebesar 83% mengalami stroke jenis ini. Secara non hemoragik/ iskemik, stroke
dapat dibagi berdasarkan proses patologik (kausal) dan manifestasi klinik
(Ginsberg, L., 2008).
1. Berdasarkan Kausal
a. Stroke Trombotik
Stroke trombotik merupakan jenis stroke yang disebabkan adanya
penyumbatan akibat terbentuknya trombus yang terbentuk pada dinding arteri
otak yang menyebabkan penggumpalan. Jika trombosis ini terjadi di dalam
pembuluh darah menuju otak, maka bekuan darah tadi menyumbat aliran darah
yang akan mensuplai otak sehingga terjadi stroke iskemik. Trombotik/trombosis
ini dapat terjadi akibat proses penyempitan pembuluh nadi otak (arteriosklerosis),
dapat juga ditimbulkan oleh tekanan darah tinggi, kolesterol, diabetes serta kadar
lemak yang tinggi dalam darah (Lumbantobing, S.M., 2001) .
b. Stroke Emboli
Stroke emboli merupakan jenis stroke yang disebabkan tertutupnya
pembuluh arteri oleh bekuan darah yang terbentuk di tempat lain, misalnya dalam
jantung atau salah satu pembuluh nadi utama yang memperdarahi otak dan
terlepas dari tempatnya melekat kemudian membentuk embolus, terbawa darah ke
Universitas Sumatera Utara
14
dalam otak dan akhirnya macet di dalam salah satu pembuluh nadi otak
(Ginsberg, L., 2008).
2. Berdasarkan Manifestasi Klinis
a. Transient Ischaemic Attack (TIA)
Merupakan stroke yang ringan, gejala neurologik timbul dan menghilang
dalam jangka waktu kurang dari 24 jam yang disebabkan oleh iskemik otak.
b. Reversibel Ischaemic Neurological Deficit (RIND)
Gejala neurologis yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih dari 24
jam, tapi tidak lebih dari seminggu.
c. Stroke in Evolution
Kelainan neurologis yang menunjukkan perburukan secara tahap demi
tahap dalam waktu beberapa jam.
d. Complete Stroke
Kelainan neurologis yang sudah menetap dan tidak berkembang lagi yang
timbul dalam waktu beberapa menit hingga beberapa jam yang diakibatkan oleh
kurangnya atau tidak adanya aliran darah pada salah satu arteri otak atau cabangcabangnya secara mendadak.
2.4 Gejala-Gejala Stroke
2.4.1 Gejala Stroke Hemoragik
a. Gejala Perdarahan Intraserebral
Gejala klinis perdarahan intraserebral ini beragam, defisit neurologis
timbul mendadak dan memburuk dengan cepat (dalam beberapa menit atau jam),
sering sampai koma, nyeri kepala berat, nausea dan muntah. Dengan pemeriksaan
CT Scan ditunjukkan bahwa pasien dengan perdarahan yang kecil gejalanya dapat
Universitas Sumatera Utara
15
serupa dengan pasien infark otak. Gejala atau defisit yang banyak berkurang
selama 24 jam pertama hampir selalu disebabkan oleh iskemia daripada
hemoragik. Penyebab yang paling penting dari perdarahan pada lansia setelah
hipertensi ialah hemoragik yang menyertai embolus, robeknya aneurisma,
malformasi vascular, tumor, gangguan koagulasi (akuisita atau oleh obat) dan
idiopatis (Lumbantobing, S.M., 2004)
b. Gejala Perdarahan Subarakhnoid
Pada penderita perdarahan subarakhnoid akan dijumpai gejala seperti
penderita mengeluhkan nyeri kepala yang hebat, nyeri di kuduk dan punggung,
rasa enek, mual, muntah, fotofobia dan gejala intrakranial yang meninggi
(Lumbantobing, S.M., 2004)
2.4.2 Gejala Stroke Iskemik
Gejala-gejala dapat muncul untuk sementara, lalu menghilang atau lalu
memberat bahkan ada yang menetap atau permanen. Gejala ini muncul akibat
daerah otak tertentu tak berfungsi yang disebabkan oleh terganggunya aliran darah
ke tempat tersebut. Gejala yang muncul bervariasi, bergantung bagian otak yang
terganggu (Sudoyo, A.W., dkk. 2007) dibedakan atas:
a.Gejala Penyumbatan Arteri Serebri Anterior (otak bagian depan)
1. Kelumpuhan pada salah satu tungkai dan gangguan saraf perasa
2. Pingsan secara tiba-tiba
3. Tidak sadar buang air kecil
4. Secara tidak sadar ikut-ikutan meniru omongan orang lain
5. Sulit untuk mengungkapkan maksud hati
Universitas Sumatera Utara
16
b. Gejala Penyumbatan Arteri Serebri Media (otak bagian tengah)
1. Dapat terjadi gangguan gerak/ kelumpuhan dari tingkat ringan sampai
kelumpuhan total pada lengan dan tungkai
2. Gangguan untuk berbicara baik berupa sulit untuk mengeluarkan kata-kata
atau sulit mengerti pembicaraan orang lain (afasia)
3. Gangguan penglihatan dapat berupa kebutaan satu sisi, atau separuh
lapangan pandangan (hemianopsia)
4. Tidak dapat membedakan antara kiri dan kanan
5. Tidak mengenal orang-orang yang pernah dikenalnya sebelumnya
6. Sudah tampak tanda-tanda kelainan namun tak sadar kalau dirinya
mengalami kelainan
(misalnya, jalan
sudah menabrak-nabrak
tapi
mengatakan tak apa-apa)
c. Gejala Penyumbatan Arteri Serebri Posterior (otak bagian belakang)
1. Kebutaan seluruh lapangan pandangan satu sisi atau separuh lapang pandang
pada kedua mata, bila bilateral disebut cortial blindness
2. Rasa nyeri spontan atau hilangnya rasa nyeri dan rasa getar pada separuh sisi
tubuh
3. Kesulitan memahami barang yang dilihat, namun dapat mengerti jika
meraba atau mendengar suaranya
4. Kehilangan kemampuan mengenal warna
d. Gejala pada Pembuluh Darah Vertebrobasilaris
1. Gangguan gerak bola mata, hingga terjadi diplopia jalan menjadi
sempoyongan
2. Kehilangan keseimbangan
Universitas Sumatera Utara
17
3. Kedua kaki lemah/ hipotoni, tak dapat berdiri (paraparesis inferior)
4. Vertigo, nistagmus dan muntah
2.5 Onset Serangan
Penderita yang mengalami stroke sebaiknya langsung dibawa ke rumah
sakit agar dapat diberikan penanganan yang optimal. Penyumbatan akibat emboli,
kerusakan sel dimulai setelah 3-6 jam dan penyumbatan akibat trombosis yang
timbul secara pelan-pelan, kerusakan sel mulai 8-12 jam. Semakin cepat
pertolongan diberikan semakin baik hasil yang dicapai, sebaiknya jangan sampai
lewat 6 jam sejak terjadinya stroke. Obat-obatan seperti kalsium antagonis,
antikoagulansia, obat penghancur trombus akan memberikan hasil yang lebih baik
bila diberikan lebih dini (Ginsberg, L., 2008).
2.6 Stroke Berulang
Stroke berulang adalah gangguan neurologis yang terjadi akibat kurangnya
suplai darah ke otak setelah sebelumnya pernah mengalami stroke. Data
epidemiologi menyebutkan risiko untuk timbulnya serangan ulang stroke adalah
30% dan populasi yang pernah menderita stroke memiliki kemungkinan serangan
ulang adalah 9 kali dibandingkan populasi normal.
Menurut Jacob (2001) yang dikutip oleh Ratnasari (2014) diperkirakan
25% orang yang sembuh dari stroke yang pertama akan mendapatkan stroke
berulang dalam kurun waktu 1-5 tahun. Perth Community Stroke Study
menyatakan kematian pada 30 hari setelah stroke berulang adalah 41% yang
secara signifikan lebih besar daripada kasus kematian pada 30 hari setelah stroke
pertama kalinya (20%). Berdasarkan studi tersebut terlihat bahwa serangan stroke
berulang memiliki risiko kematian yang lebih tinggi dari serangan pertama.
Universitas Sumatera Utara
18
2.7 Letak Kelumpuhan
Untuk dapat melakukan kegiatan sehari-hari, semua alat-alat tubuh harus
bekerja sama dengan rapi. Ini dapat berjalan karena ada alat yang mengaturnya,
yaitu otak dan sambungannya sumsum tulang belakang atau medula spinalis.
Setiap bagian dari otak menangani fungsi yang spesifik seperti untuk memori,
berfikir kreatif, berbicara, memahami pembicaraan dan menuliskan kata,
kemampuan-kemampuan motorik (gerakan) dan sebagainya. Apabila sel-sel otak
bagian tertentu mengalami kerusakan atau hancur, tentunya akan sekaligus
berpengaruh terhadap fungsi spesifik yang diembannya, karena gangguan
peredaran darah otak atau stroke ini dapat mengakibatkan kelumpuhan (Markam,
S., 2003).
2.7.1 Kelumpuhan sebelah Kiri (Hemiparesis Sinistra)
Apabila stroke merusak belahan otak sebelah kanan (hemisfer serebri
dextra) maka sisi tubuh yang sebelah kiri yang terkena pengaruhnya. Penderita
dengan kelumpuhan sebelah kiri sering memperlihatkan ketidakmampuan
persepsi visuomotor, yaitu tidak mampu menggambar atau membuat copy gambar
dan tidak mampu mengenakan pakaian (apraksia). Penderita juga mengalami
gangguan visuospasial, yaitu gangguan pengenalan tempat dan pengenalan wajah.
Penderita
mengalami pelemahan ingatan dan menunjukkan perilaku yang
impulsif, seringkali salah satu sisi tubuhnya terabaikan, dalam hal ini penderita
tidak lagi menyadari keberadaan sisi sebelah kiri tubuhnya yang disebut juga
sebagai hemineglect. Dia mungkin tanpa menyadarinya menangkap lengannya
sendiri yang berada di atas roda kursi rodanya, atau bertanya-tanya kaki siapakah
yang ada di sebelahnya saat dia tidur di atas tempat tidur (Shimberg,1998).
Universitas Sumatera Utara
19
2.7.2 Kelumpuhan sebelah Kanan (Hemiparesis Dextra)
Apabila serangan stroke menyerang belahan otak sebelah kiri (hemisfer
serebri sinintra) dapat mengakibatkan kelumpuhan atau kelemahan motorik (daya
gerak otot) yang ada pada sisi tubuh sebelah kanan, juga menunjukkan perilaku
yang penuh kehati-hatian dan mengalami kesulitan-kesulitan dalam berbahasa
(afasia), kehilangan kemampuan berhitung (aleksia) namun persepsi dan memori
visuomotornya sangat baik, sehingga dalam melatih perilaku tertentu harus
dengan cermat diperlihatkan tahap demi tahap secara visual. Dalam komunikasi
kita harus lebih banyak menggunakan body language (bahasa tubuh)
(Shimberg,1998).
2.7.3 Kelumpuhan Kedua Sisi (Hemiparesis Duplex)
Karena adanya sclerosis pada banyak tempat, penyumbatan dapat terjadi
pada dua sisi belahan otak hemisfer serebri yang mengakibatkan kelumpuhan satu
sisi diikuti sisi lain. Timbul gangguan pseudobulber (biasanya hanya pada
vaskuler) dengan tanda-tanda hemiplegi dupleks, sukar menelan, sukar berbicara
dan juga mengakibatkan kedua kaki sulit untuk digerakkan dan mengalami
hipereduksi (Shimberg, 1998).
2.8 Epidemiologi Stroke
2.8.1 Berdasarkan Orang
Pria memiliki kecenderungan lebih besar terkena stroke pada usia dewasa
awal dibandingkan dengan wanita, tetapi para wanita akan menyusul setelah
mereka mencapai menopause. Insiden stroke lebih tinggi terjadi pada laki-laki
daripada perempuan dengan rata-rata 25-30%. Namun kematian akibat stroke
lebih banyak dijumpai pada perempuan karena umumnya perempuan terserang
Universitas Sumatera Utara
20
stroke pada usia yang lebih tua. Stroke dapat ditemukan pada semua golongan
umur, akan tetapi sebagian besar ditemukan pada golongan umur di atas 55 tahun.
Usia yang rentan menderita stroke adalah lanjut usia (lansia) karena dengan
seiringnya waktu, tekanan darah cenderung meningkat atau hipertensi sebagai
salah satu faktor risiko utama terjadinya stroke. Dalam hal ini secara demografi
struktur umur penduduk Indonesia bergerak ke arah struktur penduduk yang
semakin menua (ageing population). Peningkatan umur harapan hidup (UHH)
akan menambah jumlah lanjut usia (lansia) yang akan berdampak pada pergeseran
pola penyakit di masyarakat dari penyakit infeksi ke penyakit degenerasi.
Penyakit degenerasi akan menambah tingginya angka penyakit tidak menular
(Shadine, M., 2010; Noor, N., 2008).
Prevalensi penyakit stroke pada kelompok yang didiagnosis tenaga
kesehatan serta yang didiagnosis tenaga kesehatan atau gejala meningkat seiring
dengan bertambahnya umur, tertinggi pada umur ≥75 tahun (43,1‰ dan 67,0‰).
Prevalensi
stroke
yang terdiagnosis tenaga kesehatan maupun berdasarkan
diagnosis atau gejala sama tinggi pada laki-laki dan perempuan. Prevalensi stroke
cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah baik yang
didiagnosis tenaga kesehatan (16,5‰) maupun diagnosis tenaga kesehatan atau
gejala (32,8‰). Prevalensi lebih tinggi pada masyarakat yang tidak bekerja baik
yang didiagnosis tenaga kesehatan (11,4‰) maupun yang didiagnosis tenaga
kesehatan atau gejala (18‰) ( Kemenkes RI, 2014).
2.8.2 Berdasarkan Tempat
Survei Departemen Kesehatan RI pada 987.205 subjek dari 258.366 rumah
tangga di 33 provinsi mendapatkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian
Universitas Sumatera Utara
21
utama pada usia >45 tahun (15,4% dari seluruh kematian). Prevalensi Stroke
berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan tertinggi di Sulawesi Utara (10,8‰),
diikuti DI Yogyakarta (10,3‰), Bangka Belitung dan DKI Jakarta masing-masing
9,7 per mil (Kemenkes RI, 2014).
Prevalensi stroke di kota lebih tinggi dari di desa, baik berdasarkan
diagnosis tenaga kesehatan (8,2‰) maupun berdasarkan diagnosis tenaga
kesehatan atau gejala (12,7‰) (Kemenkes RI, 2014). Menurut Susalit yang
dikutip oleh Yeni,Y., dkk (2009) saat ini terdapat kecenderungan pada masyarakat
perkotaan lebih banyak menderita stroke dibandingkan masyarakat pedesaan. Hal
ini antara lain dihubungkan dengan adanya gaya hidup masyarakat kota yang
berhubungan dengan risiko hipertensi, stress, obesitas, kurangnya olahraga,
merokok, alkohol dan makan-makanan yang tinggi kadar lemaknya. Perubahan
gaya hidup seperti perubahan pola makan siap saji yang mengandung banyak
lemak, protein dan garam tinggi tetapi rendah serat pangan membawa
konsekuensi sebagai salah satu faktor berkembangnya penyakit degeneraif salah
satunya adalah stroke.
2.8.3 Berdasarkan Waktu
Pada tahun 2013 jumlah penderita penyakit stroke berdasarkan diagnosis
tenaga kesehatan sebanyak 1.236.825 orang (7,0%), sedangkan berdasarkan
diagnosis/gejala sebanyak 2.137.941 orang (12,1%). Berdasarkan diagnosis
tenaga kesehatan maupun diagnosis/gejala, provinsi Jawa Barat memiliki jumlah
penderita terbanyak yaitu sebanyak 238.001 orang (7,4%) dan 533.895 orang
(16,6%), sedangkan provinsi Papua Barat memiliki jumlah penderita paling
Universitas Sumatera Utara
22
sedikit yaitu sebanyak 2.007 orang (3,6%) dan 2.955 orang (5,3%) (Kemenkes RI,
2014).
2.9 Patofisiologi Stroke
Otak merupakan jaringan yang memiliki tingkat metabolisme paling
tinggi. Meskipun yang dimiliki hanya sekitar 2,5% dari massa keseluruhan tubuh,
jaringan otak menggunakan hingga 20% dari total curah jantung. Aliran darah
yang membawa glukosa dan oksigen ke otak sangat penting bagi kehidupan dan
metabolisme sel-sel otak. Sel otak yang tidak dialiri darah yang membawa
glukosa dan oksigen dapat rusak bahkan menjadi mati. Ada beberapa kelainan
yang diduga merupakan penyebab stroke pada dewasa muda, akan tetapi
aterosklerosis
Aterosklerosis
diduga
sebagai
merupakan
penyebab
bentuk
primer
pengerasan
dari
penyakit
pembuluh
darah
stroke.
arteri.
Aterosklerosis merupakan kumpulan perubahan patologis pada pembuluh darah
arteri, seperti hilangnya elastisitas dan menyempitnya lumen pembuluh darah.
Aterosklerosis ini merupakan respon normal terhadap injury yang terjadi pada
lapisan endotel pembuluh darah arteri. Proses aterosklerosis ini lebih mudah
terjadi pada pembuluh darah arteri karena arteri lebih banyak memiliki sel otot
polos dibandingkan vena, dan sel otot polos tadi lebih banyak membentuk
kumpulan plak aterosklerosis. Proses aterosklerosis ditandai oleh penimbunan
lemak yang terjadi secara lambat pada dinding-dinding arteri yang disebut plak,
sehingga dapat memblokir atau menghalangi sama sekali aliran darah ke jaringan.
Bila sel-sel otot arteri tertimbun lemak maka elastisitasnya akan menghilang dan
kurang dapat mengatur tekanan darah. Akibat lain dari aterosklerosis ini adalah
terbentuknya bekuan darah atau trombus yang melekat pada dinding arteri dan
Universitas Sumatera Utara
23
dapat menyebabkan sumbatan yang lebih berat. Apabila bagian trombus tadi
terlepas dari dinding arteri dan ikut terbawa aliran darah menuju ke arteri yang
lebih kecil, maka hal ini dapat menyebabkan sumbatan pada arteri tersebut.
Bagian dari trombus yang terlepas tadi disebut emboli. Proses aterosklerosis ini
dapat terjadi di semua pembuluh darah organ tubuh, baik pembuluh darah ke
jantung, ginjal maupun otak. Oleh karena itu, aterosklerosis dapat mengakibatkan
serangan jantung, hipertensi dan stroke. Serangan stroke ini dapat terjadi apabila
proses penyempitan atau aterosklerosis ini terjadi pada pembuluh darah yang
menuju ke otak (Wahjoepramono, E.J., 2005).
Arteri yang lebih mudah terkena kerusakan akibat proses aterosklerosis ini
adalah aorta, arteri koronaria dan arteri-arteri yang mensuplai otak dan ginjal. Hal
ini menunjukkan bahwa betapa mudahnya aterosklerosis ini terjadi pada
pembuluh darah yang mensuplai otak, sehingga dapat mengakibatkan stroke.
Risiko aterosklerosis ini berhubungan dengan kadar LDL dalam darah yang
meningkat, yang berasal dari katabolisme VLDL dan mengangkut 70% kolesterol
serum total. Risiko berhubungan terbalik dengan kadar HDL, karena HDL
membantu membersihkan kolesterol dari dinding pembuluh darah. Prevalensi
aterosklerosis pada arteri meningkat sesuai dengan pertambahan usia, maka tidak
mengherankan jika stroke pada usia dewasa muda yang disebabkan oleh
aterosklerosis lebih banyak terjadi pada usia >30 tahun.
Serangan stroke dapat terjadi secara fokal (sebagian) maupun global
(keseluruhan) pada otak. Gejala fokal dan tanda-tanda gangguan fungsi otak pada
stroke akan muncul sesuai dengan area dari jaringan otak yang mengalami
gangguan aliran darah. Pada sebagian besar kasus stroke iskemik dapat diperoleh
Universitas Sumatera Utara
24
informasi yang jelas mengenai lokasi di lesi bagian otak., akan tetapi pada stroke
hemoragik seringkali terjadi berbagai komplikasi perdarahan otak yang
menyebabkan gangguan fungsi otak juga di daerah selain daerah yang terjadi
perdarahan. Komplikasi ini disebabkan oleh peningkatan tekanan intra kranial,
edema otak, kompresi jaringan otak dan pembuluh darah dan terdispersinya darah
yang keluar ke berbagai arah. Oleh karena itu, gejala fokal terlokalisasi biasanya
terjadi pada stroke iskemik, sedangkan pada stroke hemoragik gejala fokal tidak
begitu jelas terlihat dan kurang memberikan prediksi lokal tertentu.
2.10 Faktor Risiko Stroke
Stroke merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh banyak faktor
risiko atau biasa disebut multikausal. Faktor risiko yang berhubungan dengan
kejadian stroke dibagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi dan faktor yang dapat dimodifikasi. Interaksi faktor-faktor tersebut
dapat menimbulkan penyakit-penyakit pendukung atau penyakit yang dapat
memperberat faktor risiko untuk terkena stroke (Wahjoepramono, E.J., 2005)
2.10.1 Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah faktor risiko yang tidak
dapat dilakukan intervensi, karena sudah merupakan karakteristik dari seseorang
dari awal mula kehidupannya. Berikut ini merupakan faktor risiko stroke yang
tidak dapat dimodifikasi.
1. Usia
Usia merupakan faktor risiko stroke, dimana stroke dapat menyerang
semua usia namun semakin bertambah umur seseorang maka semakin lebih
berisiko terkena stroke. Setelah berusia 55 tahun, risikonya berlipat ganda setiap
Universitas Sumatera Utara
25
kurun waktu sepuluh tahun. Dua pertiga dari semua serangan stroke terjadi pada
orang yang berusia di atas 65 tahun (Shadine, M., 2010).
2. Jenis Kelamin
Kejadian stroke diamati lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan
pada wanita, tetapi penelitian menyimpulkan bahwa justru lebih banyak wanita
yang meninggal karena stroke. Risiko stroke pria 1,25 lebih tinggi daripada
wanita, tetapi serangan stroke pada pria terjadi di usia lebih muda sehingga
tingkat kelangsungan hidup juga lebih tinggi. Dengan perkataan lain, walau lebih
jarang terkena stroke pada umumnya wanita terserang pada usia lebih tua,
sehingga kemungkinan risiko meninggal lebih besar terjadi pada wanita (Junaidi,
I., 2004).
3. Riwayat Penyakit Keluarga
Stroke terkait dengan keturunan. Riwayat penyakit keluarga sebagai faktor
genetik yang sangat berperan dengan kejadian stroke antara lain tekanan darah
tinggi, penyakit jantung, diabetes dan cacat pada pembuluh darah. Gaya hidup dan
pola suatu keluarga juga dapat mendukung risiko terjadinya serangan stroke.
Cacat pada bentuk pembuluh darah (cadasil) mungkin faktor genetik yang paling
berpengaruh dibandingkan faktor risiko stroke yang lain (Shadine, M., 2010).
4. Ras/ suku
Orang kulit hitam, hispanik Amerika, Cina dan Jepang memiliki insiden
stroke yang lebih tinggi dibandingkan orang kulit putih (Wahjoepramono, E.J.,
2005). Di Indonesia sendiri, suku Batak dan Padang lebih rentan terserang stroke
dibandingkan dengan suku Jawa. Hal ini disebabkan oleh pola dan jenis makanan
yang lebih banyak mengandung kolesterol (Depkes, 2007).
Universitas Sumatera Utara
26
2.10.2 Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi
1. Tekanan Darah
Tekanan darah merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam
kejadian stroke. Tekanan darah yang tinggi atau lebih sering dikenal dengan
istilah hipertensi merupakan faktor risiko utama, baik pada stroke iskemik
maupun stroke hemoragik. Tekanan darah terdiri dari dua komponen yang disebut
tekanan sistolik dan diastolik. Apabila tekanan darah sistolik melebihi 160 mmHg
dan/ atau tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg maka tekanan darah yang
demikian tadi harus benar-benar diwaspadai. Hal ini disebabkan oleh hipertensi
memicu proses aterosklerosis oleh karena tekanan yang tinggi dapat mendorong
Low Density Lipprotein (LDL) kolesterol untuk lebih mudah masuk ke dalam
lapisan intima lumen pembuluh darah dan menurunkan elastisitas dari pembuluh
darah tersebut (Lumongga F., 2007).
Hipertensi merupakan faktor risiko stroke yang potensial. Hipertensi dapat
mengakibatkan pecahnya maupun menyempitnya pembuluh darah otak. Apabila
pembuluh darah otak pecah maka timbullah perdarahan otak, dan apabila
pembuluh darah otak menyempit maka aliran darah ke otak terganggu dan sel-sel
otak akan mengalami kematian. Penderita hipertensi memiliki faktor risiko stroke
4-6 kali lipat dibandingkan orang yang tanpa hipertensi, sekitar 40-90% pasien
stroke ternyata menderita hipertensi sebelum terkena stroke. Pada hasil
Farmingham Study ditemukan bahwa hipertensi lebih sering ditemukan 1,5 kali
lebih banyak pada stroke dibandingkan dengan yang tanpa hipertensi (Bustan,
M.N., 2007). Pada penelitian oleh 187.000 dokter, peningkatan tekanan darah
Universitas Sumatera Utara
27
sistolik perbatasan (140-159 mmHg) berhubungan dengan peningktan kejadian
stroke sebanyak 42% (Lawrence dkk, 2002)
Pemeriksaan tekanan darah merupakan cara mudah untuk mendeteksi ada
tidaknya hipertensi pada seseorang. Berdasarkan hasil dari berbagai penelitian
diperoleh bukti yang jelas bahwa pengendalian hipertensi baik sistolik, diastolik
maupun keduanya menurunkan angka kejadian stroke. Pengendalian hipertensi
tidak cukup dengan minum obat teratur, faktor-faktor lainnya yang sekiranya
berkaitan dengan hipertensi harus diperhatikan pula. Penurunan berat badan yang
berlebihan, minum obat-obatan anti hipertensi, diet rendah garam dan olah raga
secara teratur akan menambah tingkat keberhasilan pengendalian hipertensi
(Shadine, M., 2010).
2. Penyakit Jantung
Penyakit atau kelainan pada jantung dapat mengakibatkan iskemia pada
otak terutama penyakit yang disebut atrial fibrillation, yakni penyakit jantung
dengan denyut jantung yang tidak teratur di bilik kiri atas. Denyut jantung di
atrium kiri ini mencapai empat kali lebih cepat dibandingkan di bagian-bagian
lain jantung. Ini menyebabkan aliran darah menjadi tidak teratur dan secara
insidentil terjadi pembentukan gumpalan darah. Gumpalan-gumpalan inilah yang
kemudian dapat mencapai otak dan menyebabkan stroke pada orang-orang berusia
di atas 80 tahun, atrial fibrillation merupakan penyebab utama kematian pada satu
di antara kasus stroke (Hull, 1993).
Penyakit jantung lainnya adalah cacat pada bentuk katup jantung (mitral
valve stenosis atau mitral valve calcification). Juga cacat pada bentuk otot
jantung, misalnya PFO (patent foramen ovale) atau lubang pada dinding jantung
Universitas Sumatera Utara
28
yang memisahkan kedua bilik atas. Secara alami gumpalan darah biasanya
disaring dalam paru-paru, tetapi karena berlubang dinding jantung dapat
meloloskan gumpalan darah itu sehingga tidak melalui paru-paru tetapi langsung
menuju pembuluh di otak sehingga menyebabkan stroke. Cacat katup jantung
lainnya adalah ASA (atrila septal aneurysm) atau cacat bentuk kongenital pada
jaringan jantung, yakni penggelembungan dinding jantung ke arah salah satu bilik
jatung. PFO dan ASA seringkali terjadi bersamaan sehingga memperbesar risiko
stroke. Seseorang dengan penyakit atau kelainan pada jantung mendapatkan risiko
untuk terkena stroke lebih tinggi 3 kali lipat dari orang yang tidak memiliki
penyakit atau kelainan jantung (Shadine, M., 2010).
3. Diabetes Melitus
Diabetes melitus merupakan faktor risiko untuk terjadinya stroke. Diabetes
melitus digolongkan menjadi dua tipe, yaitu diabetes tipe 1 (akibat insulin
absolute akibat destruksi sel beta yang disebabkan oleh autoimun ataupun
idiopatik) dan diabetes tipe 2 (defisiensi insulin relative yang disebabkan oleh
defek sekresi insulin lebih dominan daripada resistensi insulin atapun dapat
sebaliknya). Diabetes melitus tipe 2 lebih dipengaruhi oleh gaya hidup seseorang
(Depkes, 2008).
Menurut WHO seseorang disebut sebagai penderita diabetes melitus
apabila kadar glukosa darah vena dalam keadaan puasa lebih dari 140 mg/dl dan
kadar glukosa darah vena 2 jam setelah diberi minum 75 mg glukosa lebih dari
200 mg/dl. Kadar glukosa darah utuh (whole blood) biasanya 15% lebih rendah
daripada kadar glukosa plasma. Sementara itu kadar glukosa darah kapilaris
biasanya lebih tinggi 7-10% dibandingkan dengan kadar glukosa darah vena.
Universitas Sumatera Utara
29
Penderita diabetes melitus memiliki risiko tiga kali lipat terkena stroke dan
mencapai tingkat tertinggi pada usia 50-60 tahun. Setelah itu, risiko tersebut akan
menurun, namun ada faktor penyebab lain yang dapat memperbesar risiko stroke
karena sekitar 40% penderita diabetes pada umumya juga mengidap hipertensi
(Shadine, M., 2010).
4. Hiperkolesterolemia
Meningginya kadar kolesterol dalam darah disebut hiperkolesterolemia.
Kadar kolesterol di bawah 200 mg/dl dianggap aman, sedangkan di atas 240
mg/dl sudah berbahaya dan menempatkan seseorang pada risiko terkena penyakit
jantung dan stroke ((Wahjoepramono, E.J., 2005).
Kolesterol LDL berfungsi membawa kolesterol dari hati ke dalam sel. Jika
kadar kolesterol ini tinggi dapat mengakibatkan terjadinya penimbunan kolesterol
di dalam sel yang dapat memicu terjadinya pengerasan dinding pembuluh darah
arteri yang disebut sebagai proses aterosklerosis. Kolesterol HDL memiliki kerja
yang berlawanan dengan kolesterol LDL, yaitu membawa kolesterol dari sel ke
hati. Kadar HDL yang rendah justru memiliki efek buruk, memicu timbulya
pembentukan plak di dinding pembuluh darah arteri. Peningkatan kadar LDL dan
penurunan kadar HDL merupakan faktor risiko untuk terjadinya penyakit jantung
koroner dan penyakit jantung seperti ini merupakan faktor risiko terjadinya
serangan stroke. Oleh karena itu pemeriksaan kadar kolesterol darah sangat
penting dilakukan, karena tingginya kadar kolesterol dalam darah merupakan
faktor risiko untuk terjadinya stroke (Shadine, M., 2010).
Universitas Sumatera Utara
30
5. Obesitas
Obesitas adalah kondisi dimana Body Mass Indec (BMI) ≥ 31 kg/m2.
Obesitas juga didefinisikan sebagai kelebihan berat badan sebesar 20% dari berat
badan idealnya. Obesitas merupakan faktor predisposisi penyakit kardiovaskuler
dan stroke. Hal ini disebabkan keadaan obesitas berhubungan dengan tingginya
tekanan darah dan kadar gula darah. Jika seseorang memiliki berat badan berlebih
maka jantung bekerja lebih keras untuk memompa darah ke seluruh tubuh
sehingga dapat meningkatkan tekanan darah. Orang obesitas akan meningkatkan
risiko stroke karena obesitas merupakan faktor risiko untuk terjadinya hipertensi,
penyakit jantung, ateriosklerosis dan diabetes melitus (Wahjoepramono, E.J.,
2005).
6. Merokok
Rokok merupakan salah satu faktor yang signifikan untuk meningkatkan
risiko terjadinya stroke. Orang yang memiliki kebiasaan merokok cenderung lebih
berisiko untuk terkena penyakit jantung dan stroke dibandingkan orang yang tidak
merokok. Hal ini disebabkan oleh zat-zat kimia beracun dalam rokok, seperti
nikotin dan karbonmonoksida yang dapat merusak lapisan endotel pembuluh
darah arteri, meningkatkan tekanan darah dan menyebabkan kerusakan pada
sistem kardiovaskuler melalui berbagai macam mekanisme tubuh. Rokok juga
berhubungan dengan meningkatnya kadar fibrinogen (faktor penggumpal darah),
peningkatan agregasi trombosit, menurunnya HDL dan meningkatnya hematokrit
yang dapat mempercepat proses aterosklerosis yang menjadi faktor risiko untuk
terkena stroke. Nikotin dalam rokok menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah
yang dapat mengakibatkan naiknya tekanan darah. Arteri juga mengalami
Universitas Sumatera Utara
31
penyempitan dan dinding pembuluh darah menjadi mudah robek yang
mengakibatkan produksi trombosit meningkat sehingga darah mudah membeku.
Selain itu, merokok dapat mengakibatkan hal buruk bagi lemak darah dan
menurunkan kadar HDL dalam darah. Semua efek nikotin dari rokok dapat
mempercepat proses aterosklerosis dan penyumbatan pada pembuluh darah.
Karbonmonoksida dari rokok juga dapat mengurangi jumlah oksigen yang dibawa
oleh darah, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan antara oksigen yang
dibutuhkan dengan oksigen yang dibawa oleh darah (Stroke Association, 2010).
Rokok merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya infark jantung
terutama kaum pria. Apabila dibandingkan dengan yang bukan perokok, maka
perokok mempunyai faktor risiko dua kali lipat untuk mengalami jantung koroner.
Penyakit ini dapat mengakibatkan mati mendadak maupun stroke (Junaidi, I.,
2004).
7. Konsumsi Alkohol Berlebihan
Secara umum peningkatan konsumsi alkohol meningkatkan tekanan darah
sehingga memperbesar risiko stroke, baik yang iskemik maupun hemoragik.
Konsumsi alkohol yang tidak berlebihan dapat mengurangi daya penggumpalan
platelet dalam darah, seperti halnya asnirin. Dengan demikian, konsumsi alkohol
yang cukup justru dianggap dapat melindungi tubuhnya dari bahaya stroke
iskemik (Shadine, M., 2010).
Pada edisi 18 November, 2000 dari The New England Journal of
Medicine, dilaporkan bahwa Physicians Health Study memantau 22.000 pria yang
selama rata-rata 12 tahun mengkonsumsi alkohol satu kali sehari ternyata hasilnya
menunjukkan adanya penurunan risiko stroke secara menyuluruh. Klaus Berger
Universitas Sumatera Utara
32
M.D. dari Brigham and Women`s Hospital di Boston beserta rekan-rekan juga
menemukan bahwa manfaat ini masih terlihat pada konsumsi seminggu satu
minuman. Walaupun demikian, disiplin menggunakan manfaat alkohol dalam
konsumsi cukup sulit dikendalikan dan efek samping alkohol justru lebih
berbahaya (Shadine, M., 2010).
8. Stress
Stress dan kecemasan memengaruhi fungsi biologis tubuh. Pada saat stress
peningkatan respon saraf simpatik memicu peningkatan tekanan darah dan
terkadang disertai dengan kadar kolesterol darah, sehingga orang yang mudah
stress akan berisiko terkena hipertensi dibandingkan seseorang yang tidak mudah
mengalami stress. Selain itu jika stress berkombinasi dengan faktor risiko lain
seperti ateriosklerosis berat, penyakit jantung akan memicu dan membuat risiko
penderita stroke semakin berat. Stress meningkatkan risiko terkena stroke hampir
dua kali lipat (Notoatmodjo, S., 2011).
9. Infeksi
Di Indonesia infeksi masih merupakan penyakit yang sangat mengganggu
kesehatan masyarakat. Infeksi virus maupun bakteri dapat bergabung dengan
faktor risiko lain dan membentuk risiko terjadinya stroke. Di antara sekian banyak
penyakit infeksi maka yang mampu berperan sebagai faktor risiko stroke adalah
tuberculosis, malaria, lues, leptospirosis dan infestasi cacing. Secara alami, sistem
kekebalan tubuh biasanya melakukan perlawanan terhadap infeksi dalam bentuk
meningkatkan peradangan dan sifat penangkalan infeksi pada darah. Sayangnya,
reaksi kekebalan ini juga meningkatkan faktor penggumpalan dalam darah yang
memicu risiko stroke embolik-sistemik (Shadine, M., 2010).
Universitas Sumatera Utara
33
11. Cedera Kepala dan Leher
Cedera pada kepala atau cedera otak traumatik dapat menyebabkan
pendarahan di dalam otak dan menyebabkan kerusakan yang sama seperti pada
stroke hemoragik. Cedera pada leher, bila terkait dengan robeknya tulang
punggung atau pembuluh karotid akibat peregangan atau pemutaran leher secara
berlebihan atau adanya tekanan pada pembuluh merupakan penyebab stroke yang
cukup berperan terutama pada orang dewasa usia muda (Shadine, M., 2010).
12. Penggunaan Kontrasepsi Oral
Faktor risiko stroke ini berkaitan dengan terjadinya fluktuasi dan
perubahan hormonal yang memengaruhi seorang wanita dalam berbagai tahapan
dalam kehidupannya. Peneliti memerlihatkan bahwa kontrasepsi oral jenis lama
dengan kandungan estrogen yang tinggi dapat memperbesar risiko stroke pada
wanita, tetapi kontrasepsi oral jenis baru dengan kandungan estrogen lebih rendah
secara nyata tidak meningkatkan risiko stroke pada wanita (Shadine, M., 2010).
2.11 Pencegahan Stroke
Tujuan umum pencegahan stroke adalah menurunkan kecacatan dini,
kematian serta memperpanjang hidup dengan kualitas yang baik. Menurut
Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia, upaya yang dilakukan
untuk pencegahan penyakit stroke yaitu;
2.11.1 Pencegahan Primordial
Tujuan pencegahan primordial adalah mencegah timbulnya faktor risiko
stroke bagi individu yang belum mempunyai faktor risiko. Sasaran
dari
pencegahan primordial adalah orang-orang yang masih sehat dan belum memiliki
faktor risiko timbulnya kejadian stroke. Contohnya dengan menjaga pola makan
Universitas Sumatera Utara
34
sehat dan teratur, mempertahankan berat badan ideal, tidak merokok, tidak
mengkonsumsi alkohol dan memperbanyak aktivitas fisik diawali dengan berjalan
kaki dan berolahraga secara teratur (Bustan, M.N., 2007).
2.11.2 Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mencegah atau mengurangi timbulnya
faktor risiko stroke bagi individu yang sudah mempunyai faktor risiko.
Sasarannya adalah orang-orang yang termasuk kelompok risiko tinggi yaitu
orang-orang yang belum terkena stroke, tetapi berpotensi untuk menderita
terjadinya stroke. Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain (Bustan, M.N.,
2007):
1. Menghindari: rokok, stress mental, minum kopi dan alkohol, obesitas dan
golongan obat-obatan yang dapat memengaruhi cerebrovaskuler (amfetamin,
kokain dan sejenisnya).
2. Mengurangi: asupan lemak, kalori, garam dan kolesterol yang berlebihan.
3. Mengontrol atau mengendalikan: hipertensi, diabetes melitus, penyakit
jantung dan aterosklerosis, kadar lemak darah, konsumsi makanan seimbang,
serta olahraga teratur 3-4 kali seminggu.
4. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan penemuan
dini faktor risiko penyakit tidak menular (PTM), yaitu dengan mengikuti
program pemerintah salah satunya adalah Program Pos Pembinaan Terpadu
Penyakit Tidak Menular (Posbindu PTM). Posbindu PTM merupakan peran
serta masyarakat dalam melakukan kegiatan deteksi dini dan pemantauan
faktor risiko PTM utama yang dilaksanakan secara terpadu, rutin, dan
periodik. Faktor risiko penyakit tidak menular (PTM) meliputi merokok,
Universitas Sumatera Utara
35
konsumsi minuman beralkohol, pola makan tidak sehat, kurang aktifitas fisik,
obesitas, stres, hipertensi, hiperglikemi, hiperkolesterol serta menindak
lanjuti secara dini faktor risiko yang ditemukan melalui konseling
kesehatan dan segera merujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan dasar.
Tujuannya adalah meningkatkan peran serta masyarakat dalam pencegahan
dan penemuan dini faktor risiko PTM, yang menjadi sasaran utama adalah
kelompok masyarakat sehat, berisiko dan penyandang PTM berusia 15
tahun ke atas (Kemenkes RI, 2012).
2.11.3 Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder lebih ditujukan kepada masyarakat yang sudah
pernah menderita stroke. Pada tahap ini ditekankan melakukan diagnosis dini dan
pengobatan yang tepat terhadap penderita stroke agar tidak berlanjut menjadi
kronis atau terjadi stroke berulang. Jika seseorang mengalami serangan stroke,
segera melakukan pemeriksaan untuk menentukan apakah penyebabnya dan
kemudian mengobati penyakit lain yang merupakan faktor risiko terjadinya stroke
seperti hipertensi, jantung, diabetes melitus dan secara teratur berobat ke dokter
(Lumbantobing, S.M., 2004).
Penyakit stroke dapat didiagnosis melalui tiga langkah yaitu dengan
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik penderita stroke, serta pemeriksaan
penunjang diagnostik (Ginanjar, G., 2009).
1. Anamnesis
Anamnesis biasanya dilakukan dokter terhadap penderita dan keluarga
penderita. Anamnesis ditujukan untuk menentukan faktor risiko stroke yang
dimiliki oleh penderita seperti kebiasaan merokok, meminum alkohol, riwayat
Universitas Sumatera Utara
36
hipertensi dan sebagainya. Selain itu, anamnesis juga diperlukan untuk
mendiagnosis riwayat keluarga, tipe stroke yang diderita serta perencanaan
pengelolaan stroke yang tepat
2. Pemeriksaan Fisik
Adapun pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain pemeriksaan fisik
secara umum, pemeriksaan fungsi saraf pusat, serta pemeriksaan fisik lainnya
sesuai indikasi.
a. Pemeriksaan fisik secara umum
Pemeriksaan fisik secara umum meliputi kesadaran penderita, denyut nadi,
tekanan darah dan irama jantung. Pemeriksaan kesadaran penderita stroke dinilai
berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian GCS dilakukan melalui
sistem scoring.
b. Pemeriksaan fungsi saraf pusat
Pemeriksaan fungsi saraf pusat ini diperlukan untuk menentukan gangguan
saraf yang terjadi, lokasi kerusakan saraf dan memperkirakan jenis terapi yang
sesuai bagi penderita stroke. Contohnya, jika penderita stroke mengalami
gangguan fungsi kognitif, misalnya kehilangan kemampuan menghitung angkaangka yang sederhana, maka lokasi kerusakan sarafnya adalah di daerah korteks
otak yang mungkin disebabkan oleh gangguan sirkulasi darah dari arteri karotis
interna.
c. Pemeriksaan fisik lainnya sesuai indikasi
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan fisik lanjutan yang dilakukan jika
ditemukan adanya kelainan fisik yang spesifik, misalnya gangguan dalam
memahami isi pembicaraan.
Universitas Sumatera Utara
37
3. Sistem Skoring Stroke Berdasarkan Klinis
Membedakan stroke hemoragik dan stroke iskemik merupakan langkah
pertama yang terpenting untuk manajemen kedua jenis stroke tersebut. Penegakan
diagnosis memerlukan alat penunjang CT (Computerized Tomo-graphy) Scan
kepala sebagai pemeriksaan baku emas. Selain itu, juga dapat berguna untuk
mengetahui lokasi lesi dan menentukan luas atau beratnya penyakit. Di Indonesia
alat CT Scan ini hanya terdapat di kota-kota besar terutama di beberapa ibukota
provinsi karena harga alat dan biaya perawatannya yang mahal. Oleh karena itu,
dikembangkan berbagai sistem skoring berdasarkan gambaran klinis dengan
akurasi yang tidak jauh berbeda dengan CT Scan kepala sebagai gold standard,
agar dapat membedakan antara stroke non hemoragik dan stroke hemoragik. Ada
beberapa sistem skoring untuk membedakan stroke hemoragik atau strok
eiskemik, antara lain: skor Siriraj, skor Allen, skor Greek, dan lainnya. Skor
Siriraj telah banyak digunakan di Thailand, serta telah divalidasi di berbagai
negara dan memiliki ringkat sensivitas tinggi, baik untuk stroke hemoragik
maupun stoke iskemik yang masing-masing sebesar 89,3% dan 93,2%, sehingga
tingkat akurasi rata-rata 90,3% (Widiastuti, P., 2015).
Universitas Sumatera Utara
38
Tabel 2.1 Skor Siriraj
A.
Derajat Kesadaran
Koma
:2
Apatis
:1
Sadar
:0
B. Muntah
(+)
(-)
:1
:0
C. Sakit Kepala
(+)
:1
(-)
:0
D. Tanda-Tanda Ateroma
1. Angina Pectoris
(+)
:1
(-)
:0
2. Claudicatio Intermitten
(+)
:1
(-)
:0
3. DM
(+)
(-)
:1
:0
Score Siriraj = (2,5 x kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x sakit kepala) + (0,1 x
diastol) – (3xfaktor ateroma) – 12
Jika hasilnya:
>1
= stroke hemoragik
< -1
= stroke iskemik
-1 < x < 1 = butuh evaluasi CT Scan
4. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
a. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah rutin dalam kasus stroke perlu dilakukan untuk
mencari faktor-faktor risiko agar dapat mencegah terjadinya stroke yang berulang
di kemudian hari dan untuk mencari kemungkinan penyebab lain dari stroke.
b. Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan ini ditujukan untuk menilai adanya kelainan aritmia jantung
dan penyakit jantung yang mungkin pernah diderita seperti penyakit infark
miokardium (kematian sel-sel otot jantung). Kelainan aritmia merupakan faktor
Universitas Sumatera Utara
39
risiko
terjadinya
emboli
yang
dapat
menimbulkan
stroke
tipe
infark
tromboemboli.
c. Pemeriksaan Pemindai Terkomputerisasi
Pemeriksaan Pemindai Terkomputerisasi dilakukan dengan Computierized
Tomografi Scanning (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). CT
Scan dan MRI digunakan untuk memvisualkan beberapa kelainan atau penyakit
seperti tumor, perdarahan di otak dan beberapa penyakit degeneratif. CT Scan
mendiagnosa dengan memanfaatkan sinar x, sedangkan MRI menggunakan
pancaran gelombang radio dan medan elektromagnetik. CT Scan sangat handal
untuk mendeteksi perdarahan tetapi kurang peka untuk mendeteksi stroke iskemik
dan MRI lebih sensitive dibandingan CT Scan untuk mendeteksi stroke iskemik.
d. Pemeriksaan Cairan Otak (Pungsi Lumbal)
Pemeriksaan cairan otak dilakukan jika ada kemungkinan terjadinya tipe
stroke perdarahan subaraknoid (PSA). Pada penderita stroke perdarahan
subaraknoid, cairan otak yang normalnya benih dan jernih berubah menjadi agak
kemerahan (xantokromatis) karena bercampur dengan darah akibat stroke.
e. Pemeriksaan Angiografi
Angiografi merupakan suatu prosedur pemeriksaan yakni suatu zat warna
(cairan kontraspen) disuntikkan melalui arteri kemudian di rontgen. Hasilnya akan
terlihat kondisi pembuluh darah yang mengalami kerusakan, penyempitan ataupun
tersumbat. Selain berfungsi untuk kepentingan diagnostik, angiografi juga
berperan dalam perencanaan terapi stroke.
Universitas Sumatera Utara
40
f. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi (USG) Doppler sangat bermanfaat untuk mendiagnosa
berbagai kelainan pada arteri karotis termasuk penyempitan, peradangan maupun
penyumbatan dinding arteri sebagai penyebab stroke. Selain itu, pemeriksaan
USG juga bermanfaat untuk mendeteksi suatu spasme pembuluh darah setelah
penderita mengalami stroke perdarahan subaraknoid akibat pecahnya aneurisme.
2.11.4 Pencegahan Tersier
Tujuan pencegahan tersier adalah untuk mereka yang telah menderita
stroke agar kelumpuhan yang dialami tidak bertambah berat dan mengurangi
ketergantungan pada orang lain dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Pencegahan tersier dapat dilakukan dalam bentuk rehabilitasi fisik, mental dan
sosial. Rehabilitasi akan diberikan oleh tim yang terdiri dari dokter, perawat, ahli
fisioterapi, ahli terapi wicara dan bahasa, ahli okupasional, petugas sosial dan
peran serta keluarga (Lumbantobing, S.M., 2004).
a. Rehabilitasi Fisik
Adapun terapi yang diberikan yaitu yang pertama adalah fisioterapi,
diberikan untuk mengatasi masalah gerakan dan sensoris penderita seperti
masalah kekuatan otot, duduk, berdiri, berjalan, koordinasi dan keseimbangan
serta mobilitas ditempat tidur. Terapi yang kedua adalah terapi okupasional
(Occupational Therapist atau OT), diberikan untuk melatih kemampuan penderita
dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi, memakai baju, makan dan
buang air. Terapi yang ketiga adalah terapi wicara dan bahasa, diberikan untuk
melatih kemampuan penderita dalam menelan makanan dan minuman dengan
aman serta dapat berkomunikasi dengan orang lain (Lumbantobing, S.M., 2004).
Universitas Sumatera Utara
41
b. Rehabilitasi Mental
Sebagian besar penderit
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Stroke
Strok (bahasa Inggris: stroke) adalah suatu kondisi yang terjadi ketika
pasokan darah ke suatu bagian otak tiba-tiba terganggu. Dalam jaringan otak,
kurangnya aliran darah menyebabkan serangkaian reaksi bio-kimia yang dapat
merusakkan atau mematikan sel-sel otak (Shadine, M., 2010).
Kurikulum Inti Pendidikan Dokter di Indonesia (KIPD) mengistilahkan
stroke sebagai Gangguan Peredaran Darah Otak (GPDO), merupakan suatu
sindrom yang diakibatkan oleh adanya gangguan aliran darah pada salah satu
bagian otak yang menimbulkan gangguan fungsional otak berupa defisit
neurologik atau kelumpuhan saraf (Bustan, M.N., 2007).
Stroke adalah kerusakan jaringan otak yang disebabkan karena
berkurangnya atau terhentinya suplai darah secara tiba-tiba. Jaringan otak yang
mengalami hal ini akan mati dan tidak dapat berfungsi lagi. Di dalam praktik,
stroke umum digunakan sebagai sinonim Cerebro Vascular Disease (CVD).
Orang awam cenderung menganggap stroke sebagai penyakit. Sebaliknya, para
dokter justru menyebutnya sebagai gejala klinis yang muncul akibat pembuluh
darah jantung (kardiovaskular) yang bermasalah, penyakit jantung atau keduanya
secara bersamaan (Shadine, M., 2010).
Stroke adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal
maupun menyeluruh (global) yang berlangsung dengan cepat atau berlangsung
lebih dari 24 jam yang berakhir dengan cacat atau kematian (Shadine, M., 2010;
Bustan, M.N., 2007).
9
Universitas Sumatera Utara
10
Didefinisikan sebagai stroke jika pernah didiagnosis menderita penyakit
stroke oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau
belum pernah
didiagnosis menderita penyakit stroke oleh tenaga kesehatan tetapi pernah
mengalami secara mendadak keluhan kelumpuhan pada satu sisi tubuh atau
kelumpuhan pada satu sisi tubuh yang disertai kesemutan atau baal satu sisi tubuh
atau mulut menjadi mencong tanpa kelumpuhan otot mata atau bicara pelo atau
sulit bicara/komunikasi dan atau tidak mengerti pembicaraan (Kemenkes RI,
2014).
2.2 Anatomi Pembuluh Darah Otak
Otak merupakan organ vital yang bertanggung jawab atas fungsi mental
dan intelektual seperti berfikir, menafsirkan apa yang diterima oleh indra kita
serta mengontrol gerakan-gerakan sadar kita. Otak terdiri dari 2 belahan otak
besar, serebrum yang dihubungkan oleh struktur seperti jembatan yang disebut
korpus kalosum, 2 belahan otak kecil, serebelum, yang dihubungkan oleh vermis
dan batang otak yang terdiri dari bawah ke atas terdiri dari medulla oblongata,
pons varoli, mesensefalon dan diensefalon menyambung ke otak besar. Medulla
oblongata ke bawah menyambung ke sumsum belakang (Markam, S., 2003).
Terdapat dua hemisfer serebri, yaitu hemisfer serebri sinistra (kiri) dan
hemisfer serebri dextra (kanan). Hemisfer serebri sinistra berfungsi dalam
mengendalikan gerakan sisi kanan tubuh, bicara, berhitung dan menulis,
sedangkan hemisfer serebri dextra berfungsi dalam mengendalikan gerakan sisi
kiri tubuh, perasaan, kemampuan seni dan keterampilan (Thomas, J., 1995;
Markam, S., 2003).
Universitas Sumatera Utara
11
Berat otak seluruhnya sekitar 2,5% dari berat badan total. Otak terdiri dari
sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang dikenal sebagai sel glia,
cairan serebrospinal dan pembuluh darah. Arteri adalah pembuluh yang
mengangkut darah yang kaya oksigen dan nutrient seperti glukosa ke otak. Vena
adalah pembuluh yang membawa darah yang telah digunakan dan zat sisa
menjauhi otak. Semua orang memiliki jumlah neuron yang sama sekitar 1.00
miliar, tetapi jumlah koneksi diantara berbagai neuron berbeda-beda. Pasokan
aliran darah ke otak dilakukan oleh dua pembuluh arteri utama, yaitu sepasang
arteri karotis interna dan sepasang arteri vertebrobasilaris (Junaidi, I., 2004).
Otak merupakan organ tubuh yang paling banyak menerima darah dari
jantung. Otak membutuhkan banyak oksigen yaitu 20% dari oksigen tubuh.
Dalam keadaan normal darah yang mengalir ke dalam otak adalah 50-60 ml/1.00
gram jaringan otak/ menit, selain itu otak juga memerlukan 70% glukosa yang
tersedia. Otak masih dapat bekerja dengan normal bila suplai oksigen terganggu
selama 8-10 detik, setelah waktu tersebut terjadi gangguan pada peredaran darah
otak. Kekurangan glukosa tidak begitu mengkuatirkan dibandingkan dengan
kekurangan oksigen, karena otak masih dapat berfungsi dengan baik dengan
kekurangan glukosa selama 30-60 menit. Oleh karena itu, masa hidup jaringan
otak yang menghadapi kekurangan oksigen cukup singkat. Hal ini berarti jaringan
otak akan mudah mati jika pasokan aliran darah terhenti atau tersumbat (Thomas,
J., 1995; Ginanjar, G., 2009).
2.3 Klasifikasi Stroke
Stroke dapat dibagi menjadi dua kategori utama yaitu stroke hemoragik
dan stroke non hemoragik/iskemik.
Universitas Sumatera Utara
12
2.3.1 Stroke Hemoragik
Pada stroke hemoragik (pendarahan), pembuluh darah pecah sehingga
menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu
daerah di otak dan merusaknya. Meski kasusnya lebih sedikit, stroke hemoragik
lebih sering menyebabkan kematian sekitar 50%, sedangkan pada kasus iskemik
hanya sekitar 20%. Hampir 70% kasus stroke hemoragik terjadi pada penderita
hipertensi. Menurut WHO tahun 1998, dalam International Statistical
Classification of Disease and Related Health Problem 10th, stroke hemoragik
dibagi atas:
1. Perdarahan Intraserebral (PIS)
Perdarahan Intraserebral (PIS) primer meliputi 10% dari seluruh kasus
stroke, terjadi di hemisfer serebri (80%) dan batang otak serta serebelum (20%).
Perdarahan Intraserebral adalah perdarahan yang terjadi di dalam otak karena
adanya pembuluh darah yang pecah sehingga darah keluar dan masuk ke jaringan
dalam otak dan menyerap ke dalamnya. Perdarahan Intraserebral terutama
disebabkan oleh hipertensi. Selain itu, beberapa faktor penyebab lainnya adalah
aneurisma, hemoragik yang menyertai embolus, penyakit darah seperti leukemia,
hemophilia, trombositopenia, gangguan koagulasi (akuisita atau oleh obat), tumor
otak (primer dan metastasis) (Smeltzer, C; Brenda G.B, 2001).
2. Perdarahan Subaraknoid (PSA)
Perdarahan subaraknoid (PSA) adalah perdarahan yang terjadi di ruang
subaraknoid (ruang sempit antara permukaan otak dan lapisan jaringan yang
menutupi otak. Penyebab utamanya adalah pecahnya aneurisma intrakrania
Universitas Sumatera Utara
13
sehingga darah masuk ke dalam jaringan otak, merusak neuron sehingga bagian
yang terkena tidak dapat berfungsi dengan benar (Sudoyo, A.W., dkk. 2007).
2.3.2 Stroke Iskemik
Pada stroke iskemik, aliran darah ke otak terhenti karena aterosklerosis
(penumpukan kolesterol pada dinding pembuluh darah) atau bekuan darah yang
menyumbat suatu pembuluh darah ke otak. Hampir sebagian besar pasien atau
sebesar 83% mengalami stroke jenis ini. Secara non hemoragik/ iskemik, stroke
dapat dibagi berdasarkan proses patologik (kausal) dan manifestasi klinik
(Ginsberg, L., 2008).
1. Berdasarkan Kausal
a. Stroke Trombotik
Stroke trombotik merupakan jenis stroke yang disebabkan adanya
penyumbatan akibat terbentuknya trombus yang terbentuk pada dinding arteri
otak yang menyebabkan penggumpalan. Jika trombosis ini terjadi di dalam
pembuluh darah menuju otak, maka bekuan darah tadi menyumbat aliran darah
yang akan mensuplai otak sehingga terjadi stroke iskemik. Trombotik/trombosis
ini dapat terjadi akibat proses penyempitan pembuluh nadi otak (arteriosklerosis),
dapat juga ditimbulkan oleh tekanan darah tinggi, kolesterol, diabetes serta kadar
lemak yang tinggi dalam darah (Lumbantobing, S.M., 2001) .
b. Stroke Emboli
Stroke emboli merupakan jenis stroke yang disebabkan tertutupnya
pembuluh arteri oleh bekuan darah yang terbentuk di tempat lain, misalnya dalam
jantung atau salah satu pembuluh nadi utama yang memperdarahi otak dan
terlepas dari tempatnya melekat kemudian membentuk embolus, terbawa darah ke
Universitas Sumatera Utara
14
dalam otak dan akhirnya macet di dalam salah satu pembuluh nadi otak
(Ginsberg, L., 2008).
2. Berdasarkan Manifestasi Klinis
a. Transient Ischaemic Attack (TIA)
Merupakan stroke yang ringan, gejala neurologik timbul dan menghilang
dalam jangka waktu kurang dari 24 jam yang disebabkan oleh iskemik otak.
b. Reversibel Ischaemic Neurological Deficit (RIND)
Gejala neurologis yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih dari 24
jam, tapi tidak lebih dari seminggu.
c. Stroke in Evolution
Kelainan neurologis yang menunjukkan perburukan secara tahap demi
tahap dalam waktu beberapa jam.
d. Complete Stroke
Kelainan neurologis yang sudah menetap dan tidak berkembang lagi yang
timbul dalam waktu beberapa menit hingga beberapa jam yang diakibatkan oleh
kurangnya atau tidak adanya aliran darah pada salah satu arteri otak atau cabangcabangnya secara mendadak.
2.4 Gejala-Gejala Stroke
2.4.1 Gejala Stroke Hemoragik
a. Gejala Perdarahan Intraserebral
Gejala klinis perdarahan intraserebral ini beragam, defisit neurologis
timbul mendadak dan memburuk dengan cepat (dalam beberapa menit atau jam),
sering sampai koma, nyeri kepala berat, nausea dan muntah. Dengan pemeriksaan
CT Scan ditunjukkan bahwa pasien dengan perdarahan yang kecil gejalanya dapat
Universitas Sumatera Utara
15
serupa dengan pasien infark otak. Gejala atau defisit yang banyak berkurang
selama 24 jam pertama hampir selalu disebabkan oleh iskemia daripada
hemoragik. Penyebab yang paling penting dari perdarahan pada lansia setelah
hipertensi ialah hemoragik yang menyertai embolus, robeknya aneurisma,
malformasi vascular, tumor, gangguan koagulasi (akuisita atau oleh obat) dan
idiopatis (Lumbantobing, S.M., 2004)
b. Gejala Perdarahan Subarakhnoid
Pada penderita perdarahan subarakhnoid akan dijumpai gejala seperti
penderita mengeluhkan nyeri kepala yang hebat, nyeri di kuduk dan punggung,
rasa enek, mual, muntah, fotofobia dan gejala intrakranial yang meninggi
(Lumbantobing, S.M., 2004)
2.4.2 Gejala Stroke Iskemik
Gejala-gejala dapat muncul untuk sementara, lalu menghilang atau lalu
memberat bahkan ada yang menetap atau permanen. Gejala ini muncul akibat
daerah otak tertentu tak berfungsi yang disebabkan oleh terganggunya aliran darah
ke tempat tersebut. Gejala yang muncul bervariasi, bergantung bagian otak yang
terganggu (Sudoyo, A.W., dkk. 2007) dibedakan atas:
a.Gejala Penyumbatan Arteri Serebri Anterior (otak bagian depan)
1. Kelumpuhan pada salah satu tungkai dan gangguan saraf perasa
2. Pingsan secara tiba-tiba
3. Tidak sadar buang air kecil
4. Secara tidak sadar ikut-ikutan meniru omongan orang lain
5. Sulit untuk mengungkapkan maksud hati
Universitas Sumatera Utara
16
b. Gejala Penyumbatan Arteri Serebri Media (otak bagian tengah)
1. Dapat terjadi gangguan gerak/ kelumpuhan dari tingkat ringan sampai
kelumpuhan total pada lengan dan tungkai
2. Gangguan untuk berbicara baik berupa sulit untuk mengeluarkan kata-kata
atau sulit mengerti pembicaraan orang lain (afasia)
3. Gangguan penglihatan dapat berupa kebutaan satu sisi, atau separuh
lapangan pandangan (hemianopsia)
4. Tidak dapat membedakan antara kiri dan kanan
5. Tidak mengenal orang-orang yang pernah dikenalnya sebelumnya
6. Sudah tampak tanda-tanda kelainan namun tak sadar kalau dirinya
mengalami kelainan
(misalnya, jalan
sudah menabrak-nabrak
tapi
mengatakan tak apa-apa)
c. Gejala Penyumbatan Arteri Serebri Posterior (otak bagian belakang)
1. Kebutaan seluruh lapangan pandangan satu sisi atau separuh lapang pandang
pada kedua mata, bila bilateral disebut cortial blindness
2. Rasa nyeri spontan atau hilangnya rasa nyeri dan rasa getar pada separuh sisi
tubuh
3. Kesulitan memahami barang yang dilihat, namun dapat mengerti jika
meraba atau mendengar suaranya
4. Kehilangan kemampuan mengenal warna
d. Gejala pada Pembuluh Darah Vertebrobasilaris
1. Gangguan gerak bola mata, hingga terjadi diplopia jalan menjadi
sempoyongan
2. Kehilangan keseimbangan
Universitas Sumatera Utara
17
3. Kedua kaki lemah/ hipotoni, tak dapat berdiri (paraparesis inferior)
4. Vertigo, nistagmus dan muntah
2.5 Onset Serangan
Penderita yang mengalami stroke sebaiknya langsung dibawa ke rumah
sakit agar dapat diberikan penanganan yang optimal. Penyumbatan akibat emboli,
kerusakan sel dimulai setelah 3-6 jam dan penyumbatan akibat trombosis yang
timbul secara pelan-pelan, kerusakan sel mulai 8-12 jam. Semakin cepat
pertolongan diberikan semakin baik hasil yang dicapai, sebaiknya jangan sampai
lewat 6 jam sejak terjadinya stroke. Obat-obatan seperti kalsium antagonis,
antikoagulansia, obat penghancur trombus akan memberikan hasil yang lebih baik
bila diberikan lebih dini (Ginsberg, L., 2008).
2.6 Stroke Berulang
Stroke berulang adalah gangguan neurologis yang terjadi akibat kurangnya
suplai darah ke otak setelah sebelumnya pernah mengalami stroke. Data
epidemiologi menyebutkan risiko untuk timbulnya serangan ulang stroke adalah
30% dan populasi yang pernah menderita stroke memiliki kemungkinan serangan
ulang adalah 9 kali dibandingkan populasi normal.
Menurut Jacob (2001) yang dikutip oleh Ratnasari (2014) diperkirakan
25% orang yang sembuh dari stroke yang pertama akan mendapatkan stroke
berulang dalam kurun waktu 1-5 tahun. Perth Community Stroke Study
menyatakan kematian pada 30 hari setelah stroke berulang adalah 41% yang
secara signifikan lebih besar daripada kasus kematian pada 30 hari setelah stroke
pertama kalinya (20%). Berdasarkan studi tersebut terlihat bahwa serangan stroke
berulang memiliki risiko kematian yang lebih tinggi dari serangan pertama.
Universitas Sumatera Utara
18
2.7 Letak Kelumpuhan
Untuk dapat melakukan kegiatan sehari-hari, semua alat-alat tubuh harus
bekerja sama dengan rapi. Ini dapat berjalan karena ada alat yang mengaturnya,
yaitu otak dan sambungannya sumsum tulang belakang atau medula spinalis.
Setiap bagian dari otak menangani fungsi yang spesifik seperti untuk memori,
berfikir kreatif, berbicara, memahami pembicaraan dan menuliskan kata,
kemampuan-kemampuan motorik (gerakan) dan sebagainya. Apabila sel-sel otak
bagian tertentu mengalami kerusakan atau hancur, tentunya akan sekaligus
berpengaruh terhadap fungsi spesifik yang diembannya, karena gangguan
peredaran darah otak atau stroke ini dapat mengakibatkan kelumpuhan (Markam,
S., 2003).
2.7.1 Kelumpuhan sebelah Kiri (Hemiparesis Sinistra)
Apabila stroke merusak belahan otak sebelah kanan (hemisfer serebri
dextra) maka sisi tubuh yang sebelah kiri yang terkena pengaruhnya. Penderita
dengan kelumpuhan sebelah kiri sering memperlihatkan ketidakmampuan
persepsi visuomotor, yaitu tidak mampu menggambar atau membuat copy gambar
dan tidak mampu mengenakan pakaian (apraksia). Penderita juga mengalami
gangguan visuospasial, yaitu gangguan pengenalan tempat dan pengenalan wajah.
Penderita
mengalami pelemahan ingatan dan menunjukkan perilaku yang
impulsif, seringkali salah satu sisi tubuhnya terabaikan, dalam hal ini penderita
tidak lagi menyadari keberadaan sisi sebelah kiri tubuhnya yang disebut juga
sebagai hemineglect. Dia mungkin tanpa menyadarinya menangkap lengannya
sendiri yang berada di atas roda kursi rodanya, atau bertanya-tanya kaki siapakah
yang ada di sebelahnya saat dia tidur di atas tempat tidur (Shimberg,1998).
Universitas Sumatera Utara
19
2.7.2 Kelumpuhan sebelah Kanan (Hemiparesis Dextra)
Apabila serangan stroke menyerang belahan otak sebelah kiri (hemisfer
serebri sinintra) dapat mengakibatkan kelumpuhan atau kelemahan motorik (daya
gerak otot) yang ada pada sisi tubuh sebelah kanan, juga menunjukkan perilaku
yang penuh kehati-hatian dan mengalami kesulitan-kesulitan dalam berbahasa
(afasia), kehilangan kemampuan berhitung (aleksia) namun persepsi dan memori
visuomotornya sangat baik, sehingga dalam melatih perilaku tertentu harus
dengan cermat diperlihatkan tahap demi tahap secara visual. Dalam komunikasi
kita harus lebih banyak menggunakan body language (bahasa tubuh)
(Shimberg,1998).
2.7.3 Kelumpuhan Kedua Sisi (Hemiparesis Duplex)
Karena adanya sclerosis pada banyak tempat, penyumbatan dapat terjadi
pada dua sisi belahan otak hemisfer serebri yang mengakibatkan kelumpuhan satu
sisi diikuti sisi lain. Timbul gangguan pseudobulber (biasanya hanya pada
vaskuler) dengan tanda-tanda hemiplegi dupleks, sukar menelan, sukar berbicara
dan juga mengakibatkan kedua kaki sulit untuk digerakkan dan mengalami
hipereduksi (Shimberg, 1998).
2.8 Epidemiologi Stroke
2.8.1 Berdasarkan Orang
Pria memiliki kecenderungan lebih besar terkena stroke pada usia dewasa
awal dibandingkan dengan wanita, tetapi para wanita akan menyusul setelah
mereka mencapai menopause. Insiden stroke lebih tinggi terjadi pada laki-laki
daripada perempuan dengan rata-rata 25-30%. Namun kematian akibat stroke
lebih banyak dijumpai pada perempuan karena umumnya perempuan terserang
Universitas Sumatera Utara
20
stroke pada usia yang lebih tua. Stroke dapat ditemukan pada semua golongan
umur, akan tetapi sebagian besar ditemukan pada golongan umur di atas 55 tahun.
Usia yang rentan menderita stroke adalah lanjut usia (lansia) karena dengan
seiringnya waktu, tekanan darah cenderung meningkat atau hipertensi sebagai
salah satu faktor risiko utama terjadinya stroke. Dalam hal ini secara demografi
struktur umur penduduk Indonesia bergerak ke arah struktur penduduk yang
semakin menua (ageing population). Peningkatan umur harapan hidup (UHH)
akan menambah jumlah lanjut usia (lansia) yang akan berdampak pada pergeseran
pola penyakit di masyarakat dari penyakit infeksi ke penyakit degenerasi.
Penyakit degenerasi akan menambah tingginya angka penyakit tidak menular
(Shadine, M., 2010; Noor, N., 2008).
Prevalensi penyakit stroke pada kelompok yang didiagnosis tenaga
kesehatan serta yang didiagnosis tenaga kesehatan atau gejala meningkat seiring
dengan bertambahnya umur, tertinggi pada umur ≥75 tahun (43,1‰ dan 67,0‰).
Prevalensi
stroke
yang terdiagnosis tenaga kesehatan maupun berdasarkan
diagnosis atau gejala sama tinggi pada laki-laki dan perempuan. Prevalensi stroke
cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah baik yang
didiagnosis tenaga kesehatan (16,5‰) maupun diagnosis tenaga kesehatan atau
gejala (32,8‰). Prevalensi lebih tinggi pada masyarakat yang tidak bekerja baik
yang didiagnosis tenaga kesehatan (11,4‰) maupun yang didiagnosis tenaga
kesehatan atau gejala (18‰) ( Kemenkes RI, 2014).
2.8.2 Berdasarkan Tempat
Survei Departemen Kesehatan RI pada 987.205 subjek dari 258.366 rumah
tangga di 33 provinsi mendapatkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian
Universitas Sumatera Utara
21
utama pada usia >45 tahun (15,4% dari seluruh kematian). Prevalensi Stroke
berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan tertinggi di Sulawesi Utara (10,8‰),
diikuti DI Yogyakarta (10,3‰), Bangka Belitung dan DKI Jakarta masing-masing
9,7 per mil (Kemenkes RI, 2014).
Prevalensi stroke di kota lebih tinggi dari di desa, baik berdasarkan
diagnosis tenaga kesehatan (8,2‰) maupun berdasarkan diagnosis tenaga
kesehatan atau gejala (12,7‰) (Kemenkes RI, 2014). Menurut Susalit yang
dikutip oleh Yeni,Y., dkk (2009) saat ini terdapat kecenderungan pada masyarakat
perkotaan lebih banyak menderita stroke dibandingkan masyarakat pedesaan. Hal
ini antara lain dihubungkan dengan adanya gaya hidup masyarakat kota yang
berhubungan dengan risiko hipertensi, stress, obesitas, kurangnya olahraga,
merokok, alkohol dan makan-makanan yang tinggi kadar lemaknya. Perubahan
gaya hidup seperti perubahan pola makan siap saji yang mengandung banyak
lemak, protein dan garam tinggi tetapi rendah serat pangan membawa
konsekuensi sebagai salah satu faktor berkembangnya penyakit degeneraif salah
satunya adalah stroke.
2.8.3 Berdasarkan Waktu
Pada tahun 2013 jumlah penderita penyakit stroke berdasarkan diagnosis
tenaga kesehatan sebanyak 1.236.825 orang (7,0%), sedangkan berdasarkan
diagnosis/gejala sebanyak 2.137.941 orang (12,1%). Berdasarkan diagnosis
tenaga kesehatan maupun diagnosis/gejala, provinsi Jawa Barat memiliki jumlah
penderita terbanyak yaitu sebanyak 238.001 orang (7,4%) dan 533.895 orang
(16,6%), sedangkan provinsi Papua Barat memiliki jumlah penderita paling
Universitas Sumatera Utara
22
sedikit yaitu sebanyak 2.007 orang (3,6%) dan 2.955 orang (5,3%) (Kemenkes RI,
2014).
2.9 Patofisiologi Stroke
Otak merupakan jaringan yang memiliki tingkat metabolisme paling
tinggi. Meskipun yang dimiliki hanya sekitar 2,5% dari massa keseluruhan tubuh,
jaringan otak menggunakan hingga 20% dari total curah jantung. Aliran darah
yang membawa glukosa dan oksigen ke otak sangat penting bagi kehidupan dan
metabolisme sel-sel otak. Sel otak yang tidak dialiri darah yang membawa
glukosa dan oksigen dapat rusak bahkan menjadi mati. Ada beberapa kelainan
yang diduga merupakan penyebab stroke pada dewasa muda, akan tetapi
aterosklerosis
Aterosklerosis
diduga
sebagai
merupakan
penyebab
bentuk
primer
pengerasan
dari
penyakit
pembuluh
darah
stroke.
arteri.
Aterosklerosis merupakan kumpulan perubahan patologis pada pembuluh darah
arteri, seperti hilangnya elastisitas dan menyempitnya lumen pembuluh darah.
Aterosklerosis ini merupakan respon normal terhadap injury yang terjadi pada
lapisan endotel pembuluh darah arteri. Proses aterosklerosis ini lebih mudah
terjadi pada pembuluh darah arteri karena arteri lebih banyak memiliki sel otot
polos dibandingkan vena, dan sel otot polos tadi lebih banyak membentuk
kumpulan plak aterosklerosis. Proses aterosklerosis ditandai oleh penimbunan
lemak yang terjadi secara lambat pada dinding-dinding arteri yang disebut plak,
sehingga dapat memblokir atau menghalangi sama sekali aliran darah ke jaringan.
Bila sel-sel otot arteri tertimbun lemak maka elastisitasnya akan menghilang dan
kurang dapat mengatur tekanan darah. Akibat lain dari aterosklerosis ini adalah
terbentuknya bekuan darah atau trombus yang melekat pada dinding arteri dan
Universitas Sumatera Utara
23
dapat menyebabkan sumbatan yang lebih berat. Apabila bagian trombus tadi
terlepas dari dinding arteri dan ikut terbawa aliran darah menuju ke arteri yang
lebih kecil, maka hal ini dapat menyebabkan sumbatan pada arteri tersebut.
Bagian dari trombus yang terlepas tadi disebut emboli. Proses aterosklerosis ini
dapat terjadi di semua pembuluh darah organ tubuh, baik pembuluh darah ke
jantung, ginjal maupun otak. Oleh karena itu, aterosklerosis dapat mengakibatkan
serangan jantung, hipertensi dan stroke. Serangan stroke ini dapat terjadi apabila
proses penyempitan atau aterosklerosis ini terjadi pada pembuluh darah yang
menuju ke otak (Wahjoepramono, E.J., 2005).
Arteri yang lebih mudah terkena kerusakan akibat proses aterosklerosis ini
adalah aorta, arteri koronaria dan arteri-arteri yang mensuplai otak dan ginjal. Hal
ini menunjukkan bahwa betapa mudahnya aterosklerosis ini terjadi pada
pembuluh darah yang mensuplai otak, sehingga dapat mengakibatkan stroke.
Risiko aterosklerosis ini berhubungan dengan kadar LDL dalam darah yang
meningkat, yang berasal dari katabolisme VLDL dan mengangkut 70% kolesterol
serum total. Risiko berhubungan terbalik dengan kadar HDL, karena HDL
membantu membersihkan kolesterol dari dinding pembuluh darah. Prevalensi
aterosklerosis pada arteri meningkat sesuai dengan pertambahan usia, maka tidak
mengherankan jika stroke pada usia dewasa muda yang disebabkan oleh
aterosklerosis lebih banyak terjadi pada usia >30 tahun.
Serangan stroke dapat terjadi secara fokal (sebagian) maupun global
(keseluruhan) pada otak. Gejala fokal dan tanda-tanda gangguan fungsi otak pada
stroke akan muncul sesuai dengan area dari jaringan otak yang mengalami
gangguan aliran darah. Pada sebagian besar kasus stroke iskemik dapat diperoleh
Universitas Sumatera Utara
24
informasi yang jelas mengenai lokasi di lesi bagian otak., akan tetapi pada stroke
hemoragik seringkali terjadi berbagai komplikasi perdarahan otak yang
menyebabkan gangguan fungsi otak juga di daerah selain daerah yang terjadi
perdarahan. Komplikasi ini disebabkan oleh peningkatan tekanan intra kranial,
edema otak, kompresi jaringan otak dan pembuluh darah dan terdispersinya darah
yang keluar ke berbagai arah. Oleh karena itu, gejala fokal terlokalisasi biasanya
terjadi pada stroke iskemik, sedangkan pada stroke hemoragik gejala fokal tidak
begitu jelas terlihat dan kurang memberikan prediksi lokal tertentu.
2.10 Faktor Risiko Stroke
Stroke merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh banyak faktor
risiko atau biasa disebut multikausal. Faktor risiko yang berhubungan dengan
kejadian stroke dibagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi dan faktor yang dapat dimodifikasi. Interaksi faktor-faktor tersebut
dapat menimbulkan penyakit-penyakit pendukung atau penyakit yang dapat
memperberat faktor risiko untuk terkena stroke (Wahjoepramono, E.J., 2005)
2.10.1 Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah faktor risiko yang tidak
dapat dilakukan intervensi, karena sudah merupakan karakteristik dari seseorang
dari awal mula kehidupannya. Berikut ini merupakan faktor risiko stroke yang
tidak dapat dimodifikasi.
1. Usia
Usia merupakan faktor risiko stroke, dimana stroke dapat menyerang
semua usia namun semakin bertambah umur seseorang maka semakin lebih
berisiko terkena stroke. Setelah berusia 55 tahun, risikonya berlipat ganda setiap
Universitas Sumatera Utara
25
kurun waktu sepuluh tahun. Dua pertiga dari semua serangan stroke terjadi pada
orang yang berusia di atas 65 tahun (Shadine, M., 2010).
2. Jenis Kelamin
Kejadian stroke diamati lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan
pada wanita, tetapi penelitian menyimpulkan bahwa justru lebih banyak wanita
yang meninggal karena stroke. Risiko stroke pria 1,25 lebih tinggi daripada
wanita, tetapi serangan stroke pada pria terjadi di usia lebih muda sehingga
tingkat kelangsungan hidup juga lebih tinggi. Dengan perkataan lain, walau lebih
jarang terkena stroke pada umumnya wanita terserang pada usia lebih tua,
sehingga kemungkinan risiko meninggal lebih besar terjadi pada wanita (Junaidi,
I., 2004).
3. Riwayat Penyakit Keluarga
Stroke terkait dengan keturunan. Riwayat penyakit keluarga sebagai faktor
genetik yang sangat berperan dengan kejadian stroke antara lain tekanan darah
tinggi, penyakit jantung, diabetes dan cacat pada pembuluh darah. Gaya hidup dan
pola suatu keluarga juga dapat mendukung risiko terjadinya serangan stroke.
Cacat pada bentuk pembuluh darah (cadasil) mungkin faktor genetik yang paling
berpengaruh dibandingkan faktor risiko stroke yang lain (Shadine, M., 2010).
4. Ras/ suku
Orang kulit hitam, hispanik Amerika, Cina dan Jepang memiliki insiden
stroke yang lebih tinggi dibandingkan orang kulit putih (Wahjoepramono, E.J.,
2005). Di Indonesia sendiri, suku Batak dan Padang lebih rentan terserang stroke
dibandingkan dengan suku Jawa. Hal ini disebabkan oleh pola dan jenis makanan
yang lebih banyak mengandung kolesterol (Depkes, 2007).
Universitas Sumatera Utara
26
2.10.2 Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi
1. Tekanan Darah
Tekanan darah merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam
kejadian stroke. Tekanan darah yang tinggi atau lebih sering dikenal dengan
istilah hipertensi merupakan faktor risiko utama, baik pada stroke iskemik
maupun stroke hemoragik. Tekanan darah terdiri dari dua komponen yang disebut
tekanan sistolik dan diastolik. Apabila tekanan darah sistolik melebihi 160 mmHg
dan/ atau tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg maka tekanan darah yang
demikian tadi harus benar-benar diwaspadai. Hal ini disebabkan oleh hipertensi
memicu proses aterosklerosis oleh karena tekanan yang tinggi dapat mendorong
Low Density Lipprotein (LDL) kolesterol untuk lebih mudah masuk ke dalam
lapisan intima lumen pembuluh darah dan menurunkan elastisitas dari pembuluh
darah tersebut (Lumongga F., 2007).
Hipertensi merupakan faktor risiko stroke yang potensial. Hipertensi dapat
mengakibatkan pecahnya maupun menyempitnya pembuluh darah otak. Apabila
pembuluh darah otak pecah maka timbullah perdarahan otak, dan apabila
pembuluh darah otak menyempit maka aliran darah ke otak terganggu dan sel-sel
otak akan mengalami kematian. Penderita hipertensi memiliki faktor risiko stroke
4-6 kali lipat dibandingkan orang yang tanpa hipertensi, sekitar 40-90% pasien
stroke ternyata menderita hipertensi sebelum terkena stroke. Pada hasil
Farmingham Study ditemukan bahwa hipertensi lebih sering ditemukan 1,5 kali
lebih banyak pada stroke dibandingkan dengan yang tanpa hipertensi (Bustan,
M.N., 2007). Pada penelitian oleh 187.000 dokter, peningkatan tekanan darah
Universitas Sumatera Utara
27
sistolik perbatasan (140-159 mmHg) berhubungan dengan peningktan kejadian
stroke sebanyak 42% (Lawrence dkk, 2002)
Pemeriksaan tekanan darah merupakan cara mudah untuk mendeteksi ada
tidaknya hipertensi pada seseorang. Berdasarkan hasil dari berbagai penelitian
diperoleh bukti yang jelas bahwa pengendalian hipertensi baik sistolik, diastolik
maupun keduanya menurunkan angka kejadian stroke. Pengendalian hipertensi
tidak cukup dengan minum obat teratur, faktor-faktor lainnya yang sekiranya
berkaitan dengan hipertensi harus diperhatikan pula. Penurunan berat badan yang
berlebihan, minum obat-obatan anti hipertensi, diet rendah garam dan olah raga
secara teratur akan menambah tingkat keberhasilan pengendalian hipertensi
(Shadine, M., 2010).
2. Penyakit Jantung
Penyakit atau kelainan pada jantung dapat mengakibatkan iskemia pada
otak terutama penyakit yang disebut atrial fibrillation, yakni penyakit jantung
dengan denyut jantung yang tidak teratur di bilik kiri atas. Denyut jantung di
atrium kiri ini mencapai empat kali lebih cepat dibandingkan di bagian-bagian
lain jantung. Ini menyebabkan aliran darah menjadi tidak teratur dan secara
insidentil terjadi pembentukan gumpalan darah. Gumpalan-gumpalan inilah yang
kemudian dapat mencapai otak dan menyebabkan stroke pada orang-orang berusia
di atas 80 tahun, atrial fibrillation merupakan penyebab utama kematian pada satu
di antara kasus stroke (Hull, 1993).
Penyakit jantung lainnya adalah cacat pada bentuk katup jantung (mitral
valve stenosis atau mitral valve calcification). Juga cacat pada bentuk otot
jantung, misalnya PFO (patent foramen ovale) atau lubang pada dinding jantung
Universitas Sumatera Utara
28
yang memisahkan kedua bilik atas. Secara alami gumpalan darah biasanya
disaring dalam paru-paru, tetapi karena berlubang dinding jantung dapat
meloloskan gumpalan darah itu sehingga tidak melalui paru-paru tetapi langsung
menuju pembuluh di otak sehingga menyebabkan stroke. Cacat katup jantung
lainnya adalah ASA (atrila septal aneurysm) atau cacat bentuk kongenital pada
jaringan jantung, yakni penggelembungan dinding jantung ke arah salah satu bilik
jatung. PFO dan ASA seringkali terjadi bersamaan sehingga memperbesar risiko
stroke. Seseorang dengan penyakit atau kelainan pada jantung mendapatkan risiko
untuk terkena stroke lebih tinggi 3 kali lipat dari orang yang tidak memiliki
penyakit atau kelainan jantung (Shadine, M., 2010).
3. Diabetes Melitus
Diabetes melitus merupakan faktor risiko untuk terjadinya stroke. Diabetes
melitus digolongkan menjadi dua tipe, yaitu diabetes tipe 1 (akibat insulin
absolute akibat destruksi sel beta yang disebabkan oleh autoimun ataupun
idiopatik) dan diabetes tipe 2 (defisiensi insulin relative yang disebabkan oleh
defek sekresi insulin lebih dominan daripada resistensi insulin atapun dapat
sebaliknya). Diabetes melitus tipe 2 lebih dipengaruhi oleh gaya hidup seseorang
(Depkes, 2008).
Menurut WHO seseorang disebut sebagai penderita diabetes melitus
apabila kadar glukosa darah vena dalam keadaan puasa lebih dari 140 mg/dl dan
kadar glukosa darah vena 2 jam setelah diberi minum 75 mg glukosa lebih dari
200 mg/dl. Kadar glukosa darah utuh (whole blood) biasanya 15% lebih rendah
daripada kadar glukosa plasma. Sementara itu kadar glukosa darah kapilaris
biasanya lebih tinggi 7-10% dibandingkan dengan kadar glukosa darah vena.
Universitas Sumatera Utara
29
Penderita diabetes melitus memiliki risiko tiga kali lipat terkena stroke dan
mencapai tingkat tertinggi pada usia 50-60 tahun. Setelah itu, risiko tersebut akan
menurun, namun ada faktor penyebab lain yang dapat memperbesar risiko stroke
karena sekitar 40% penderita diabetes pada umumya juga mengidap hipertensi
(Shadine, M., 2010).
4. Hiperkolesterolemia
Meningginya kadar kolesterol dalam darah disebut hiperkolesterolemia.
Kadar kolesterol di bawah 200 mg/dl dianggap aman, sedangkan di atas 240
mg/dl sudah berbahaya dan menempatkan seseorang pada risiko terkena penyakit
jantung dan stroke ((Wahjoepramono, E.J., 2005).
Kolesterol LDL berfungsi membawa kolesterol dari hati ke dalam sel. Jika
kadar kolesterol ini tinggi dapat mengakibatkan terjadinya penimbunan kolesterol
di dalam sel yang dapat memicu terjadinya pengerasan dinding pembuluh darah
arteri yang disebut sebagai proses aterosklerosis. Kolesterol HDL memiliki kerja
yang berlawanan dengan kolesterol LDL, yaitu membawa kolesterol dari sel ke
hati. Kadar HDL yang rendah justru memiliki efek buruk, memicu timbulya
pembentukan plak di dinding pembuluh darah arteri. Peningkatan kadar LDL dan
penurunan kadar HDL merupakan faktor risiko untuk terjadinya penyakit jantung
koroner dan penyakit jantung seperti ini merupakan faktor risiko terjadinya
serangan stroke. Oleh karena itu pemeriksaan kadar kolesterol darah sangat
penting dilakukan, karena tingginya kadar kolesterol dalam darah merupakan
faktor risiko untuk terjadinya stroke (Shadine, M., 2010).
Universitas Sumatera Utara
30
5. Obesitas
Obesitas adalah kondisi dimana Body Mass Indec (BMI) ≥ 31 kg/m2.
Obesitas juga didefinisikan sebagai kelebihan berat badan sebesar 20% dari berat
badan idealnya. Obesitas merupakan faktor predisposisi penyakit kardiovaskuler
dan stroke. Hal ini disebabkan keadaan obesitas berhubungan dengan tingginya
tekanan darah dan kadar gula darah. Jika seseorang memiliki berat badan berlebih
maka jantung bekerja lebih keras untuk memompa darah ke seluruh tubuh
sehingga dapat meningkatkan tekanan darah. Orang obesitas akan meningkatkan
risiko stroke karena obesitas merupakan faktor risiko untuk terjadinya hipertensi,
penyakit jantung, ateriosklerosis dan diabetes melitus (Wahjoepramono, E.J.,
2005).
6. Merokok
Rokok merupakan salah satu faktor yang signifikan untuk meningkatkan
risiko terjadinya stroke. Orang yang memiliki kebiasaan merokok cenderung lebih
berisiko untuk terkena penyakit jantung dan stroke dibandingkan orang yang tidak
merokok. Hal ini disebabkan oleh zat-zat kimia beracun dalam rokok, seperti
nikotin dan karbonmonoksida yang dapat merusak lapisan endotel pembuluh
darah arteri, meningkatkan tekanan darah dan menyebabkan kerusakan pada
sistem kardiovaskuler melalui berbagai macam mekanisme tubuh. Rokok juga
berhubungan dengan meningkatnya kadar fibrinogen (faktor penggumpal darah),
peningkatan agregasi trombosit, menurunnya HDL dan meningkatnya hematokrit
yang dapat mempercepat proses aterosklerosis yang menjadi faktor risiko untuk
terkena stroke. Nikotin dalam rokok menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah
yang dapat mengakibatkan naiknya tekanan darah. Arteri juga mengalami
Universitas Sumatera Utara
31
penyempitan dan dinding pembuluh darah menjadi mudah robek yang
mengakibatkan produksi trombosit meningkat sehingga darah mudah membeku.
Selain itu, merokok dapat mengakibatkan hal buruk bagi lemak darah dan
menurunkan kadar HDL dalam darah. Semua efek nikotin dari rokok dapat
mempercepat proses aterosklerosis dan penyumbatan pada pembuluh darah.
Karbonmonoksida dari rokok juga dapat mengurangi jumlah oksigen yang dibawa
oleh darah, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan antara oksigen yang
dibutuhkan dengan oksigen yang dibawa oleh darah (Stroke Association, 2010).
Rokok merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya infark jantung
terutama kaum pria. Apabila dibandingkan dengan yang bukan perokok, maka
perokok mempunyai faktor risiko dua kali lipat untuk mengalami jantung koroner.
Penyakit ini dapat mengakibatkan mati mendadak maupun stroke (Junaidi, I.,
2004).
7. Konsumsi Alkohol Berlebihan
Secara umum peningkatan konsumsi alkohol meningkatkan tekanan darah
sehingga memperbesar risiko stroke, baik yang iskemik maupun hemoragik.
Konsumsi alkohol yang tidak berlebihan dapat mengurangi daya penggumpalan
platelet dalam darah, seperti halnya asnirin. Dengan demikian, konsumsi alkohol
yang cukup justru dianggap dapat melindungi tubuhnya dari bahaya stroke
iskemik (Shadine, M., 2010).
Pada edisi 18 November, 2000 dari The New England Journal of
Medicine, dilaporkan bahwa Physicians Health Study memantau 22.000 pria yang
selama rata-rata 12 tahun mengkonsumsi alkohol satu kali sehari ternyata hasilnya
menunjukkan adanya penurunan risiko stroke secara menyuluruh. Klaus Berger
Universitas Sumatera Utara
32
M.D. dari Brigham and Women`s Hospital di Boston beserta rekan-rekan juga
menemukan bahwa manfaat ini masih terlihat pada konsumsi seminggu satu
minuman. Walaupun demikian, disiplin menggunakan manfaat alkohol dalam
konsumsi cukup sulit dikendalikan dan efek samping alkohol justru lebih
berbahaya (Shadine, M., 2010).
8. Stress
Stress dan kecemasan memengaruhi fungsi biologis tubuh. Pada saat stress
peningkatan respon saraf simpatik memicu peningkatan tekanan darah dan
terkadang disertai dengan kadar kolesterol darah, sehingga orang yang mudah
stress akan berisiko terkena hipertensi dibandingkan seseorang yang tidak mudah
mengalami stress. Selain itu jika stress berkombinasi dengan faktor risiko lain
seperti ateriosklerosis berat, penyakit jantung akan memicu dan membuat risiko
penderita stroke semakin berat. Stress meningkatkan risiko terkena stroke hampir
dua kali lipat (Notoatmodjo, S., 2011).
9. Infeksi
Di Indonesia infeksi masih merupakan penyakit yang sangat mengganggu
kesehatan masyarakat. Infeksi virus maupun bakteri dapat bergabung dengan
faktor risiko lain dan membentuk risiko terjadinya stroke. Di antara sekian banyak
penyakit infeksi maka yang mampu berperan sebagai faktor risiko stroke adalah
tuberculosis, malaria, lues, leptospirosis dan infestasi cacing. Secara alami, sistem
kekebalan tubuh biasanya melakukan perlawanan terhadap infeksi dalam bentuk
meningkatkan peradangan dan sifat penangkalan infeksi pada darah. Sayangnya,
reaksi kekebalan ini juga meningkatkan faktor penggumpalan dalam darah yang
memicu risiko stroke embolik-sistemik (Shadine, M., 2010).
Universitas Sumatera Utara
33
11. Cedera Kepala dan Leher
Cedera pada kepala atau cedera otak traumatik dapat menyebabkan
pendarahan di dalam otak dan menyebabkan kerusakan yang sama seperti pada
stroke hemoragik. Cedera pada leher, bila terkait dengan robeknya tulang
punggung atau pembuluh karotid akibat peregangan atau pemutaran leher secara
berlebihan atau adanya tekanan pada pembuluh merupakan penyebab stroke yang
cukup berperan terutama pada orang dewasa usia muda (Shadine, M., 2010).
12. Penggunaan Kontrasepsi Oral
Faktor risiko stroke ini berkaitan dengan terjadinya fluktuasi dan
perubahan hormonal yang memengaruhi seorang wanita dalam berbagai tahapan
dalam kehidupannya. Peneliti memerlihatkan bahwa kontrasepsi oral jenis lama
dengan kandungan estrogen yang tinggi dapat memperbesar risiko stroke pada
wanita, tetapi kontrasepsi oral jenis baru dengan kandungan estrogen lebih rendah
secara nyata tidak meningkatkan risiko stroke pada wanita (Shadine, M., 2010).
2.11 Pencegahan Stroke
Tujuan umum pencegahan stroke adalah menurunkan kecacatan dini,
kematian serta memperpanjang hidup dengan kualitas yang baik. Menurut
Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia, upaya yang dilakukan
untuk pencegahan penyakit stroke yaitu;
2.11.1 Pencegahan Primordial
Tujuan pencegahan primordial adalah mencegah timbulnya faktor risiko
stroke bagi individu yang belum mempunyai faktor risiko. Sasaran
dari
pencegahan primordial adalah orang-orang yang masih sehat dan belum memiliki
faktor risiko timbulnya kejadian stroke. Contohnya dengan menjaga pola makan
Universitas Sumatera Utara
34
sehat dan teratur, mempertahankan berat badan ideal, tidak merokok, tidak
mengkonsumsi alkohol dan memperbanyak aktivitas fisik diawali dengan berjalan
kaki dan berolahraga secara teratur (Bustan, M.N., 2007).
2.11.2 Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mencegah atau mengurangi timbulnya
faktor risiko stroke bagi individu yang sudah mempunyai faktor risiko.
Sasarannya adalah orang-orang yang termasuk kelompok risiko tinggi yaitu
orang-orang yang belum terkena stroke, tetapi berpotensi untuk menderita
terjadinya stroke. Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain (Bustan, M.N.,
2007):
1. Menghindari: rokok, stress mental, minum kopi dan alkohol, obesitas dan
golongan obat-obatan yang dapat memengaruhi cerebrovaskuler (amfetamin,
kokain dan sejenisnya).
2. Mengurangi: asupan lemak, kalori, garam dan kolesterol yang berlebihan.
3. Mengontrol atau mengendalikan: hipertensi, diabetes melitus, penyakit
jantung dan aterosklerosis, kadar lemak darah, konsumsi makanan seimbang,
serta olahraga teratur 3-4 kali seminggu.
4. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan penemuan
dini faktor risiko penyakit tidak menular (PTM), yaitu dengan mengikuti
program pemerintah salah satunya adalah Program Pos Pembinaan Terpadu
Penyakit Tidak Menular (Posbindu PTM). Posbindu PTM merupakan peran
serta masyarakat dalam melakukan kegiatan deteksi dini dan pemantauan
faktor risiko PTM utama yang dilaksanakan secara terpadu, rutin, dan
periodik. Faktor risiko penyakit tidak menular (PTM) meliputi merokok,
Universitas Sumatera Utara
35
konsumsi minuman beralkohol, pola makan tidak sehat, kurang aktifitas fisik,
obesitas, stres, hipertensi, hiperglikemi, hiperkolesterol serta menindak
lanjuti secara dini faktor risiko yang ditemukan melalui konseling
kesehatan dan segera merujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan dasar.
Tujuannya adalah meningkatkan peran serta masyarakat dalam pencegahan
dan penemuan dini faktor risiko PTM, yang menjadi sasaran utama adalah
kelompok masyarakat sehat, berisiko dan penyandang PTM berusia 15
tahun ke atas (Kemenkes RI, 2012).
2.11.3 Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder lebih ditujukan kepada masyarakat yang sudah
pernah menderita stroke. Pada tahap ini ditekankan melakukan diagnosis dini dan
pengobatan yang tepat terhadap penderita stroke agar tidak berlanjut menjadi
kronis atau terjadi stroke berulang. Jika seseorang mengalami serangan stroke,
segera melakukan pemeriksaan untuk menentukan apakah penyebabnya dan
kemudian mengobati penyakit lain yang merupakan faktor risiko terjadinya stroke
seperti hipertensi, jantung, diabetes melitus dan secara teratur berobat ke dokter
(Lumbantobing, S.M., 2004).
Penyakit stroke dapat didiagnosis melalui tiga langkah yaitu dengan
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik penderita stroke, serta pemeriksaan
penunjang diagnostik (Ginanjar, G., 2009).
1. Anamnesis
Anamnesis biasanya dilakukan dokter terhadap penderita dan keluarga
penderita. Anamnesis ditujukan untuk menentukan faktor risiko stroke yang
dimiliki oleh penderita seperti kebiasaan merokok, meminum alkohol, riwayat
Universitas Sumatera Utara
36
hipertensi dan sebagainya. Selain itu, anamnesis juga diperlukan untuk
mendiagnosis riwayat keluarga, tipe stroke yang diderita serta perencanaan
pengelolaan stroke yang tepat
2. Pemeriksaan Fisik
Adapun pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain pemeriksaan fisik
secara umum, pemeriksaan fungsi saraf pusat, serta pemeriksaan fisik lainnya
sesuai indikasi.
a. Pemeriksaan fisik secara umum
Pemeriksaan fisik secara umum meliputi kesadaran penderita, denyut nadi,
tekanan darah dan irama jantung. Pemeriksaan kesadaran penderita stroke dinilai
berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian GCS dilakukan melalui
sistem scoring.
b. Pemeriksaan fungsi saraf pusat
Pemeriksaan fungsi saraf pusat ini diperlukan untuk menentukan gangguan
saraf yang terjadi, lokasi kerusakan saraf dan memperkirakan jenis terapi yang
sesuai bagi penderita stroke. Contohnya, jika penderita stroke mengalami
gangguan fungsi kognitif, misalnya kehilangan kemampuan menghitung angkaangka yang sederhana, maka lokasi kerusakan sarafnya adalah di daerah korteks
otak yang mungkin disebabkan oleh gangguan sirkulasi darah dari arteri karotis
interna.
c. Pemeriksaan fisik lainnya sesuai indikasi
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan fisik lanjutan yang dilakukan jika
ditemukan adanya kelainan fisik yang spesifik, misalnya gangguan dalam
memahami isi pembicaraan.
Universitas Sumatera Utara
37
3. Sistem Skoring Stroke Berdasarkan Klinis
Membedakan stroke hemoragik dan stroke iskemik merupakan langkah
pertama yang terpenting untuk manajemen kedua jenis stroke tersebut. Penegakan
diagnosis memerlukan alat penunjang CT (Computerized Tomo-graphy) Scan
kepala sebagai pemeriksaan baku emas. Selain itu, juga dapat berguna untuk
mengetahui lokasi lesi dan menentukan luas atau beratnya penyakit. Di Indonesia
alat CT Scan ini hanya terdapat di kota-kota besar terutama di beberapa ibukota
provinsi karena harga alat dan biaya perawatannya yang mahal. Oleh karena itu,
dikembangkan berbagai sistem skoring berdasarkan gambaran klinis dengan
akurasi yang tidak jauh berbeda dengan CT Scan kepala sebagai gold standard,
agar dapat membedakan antara stroke non hemoragik dan stroke hemoragik. Ada
beberapa sistem skoring untuk membedakan stroke hemoragik atau strok
eiskemik, antara lain: skor Siriraj, skor Allen, skor Greek, dan lainnya. Skor
Siriraj telah banyak digunakan di Thailand, serta telah divalidasi di berbagai
negara dan memiliki ringkat sensivitas tinggi, baik untuk stroke hemoragik
maupun stoke iskemik yang masing-masing sebesar 89,3% dan 93,2%, sehingga
tingkat akurasi rata-rata 90,3% (Widiastuti, P., 2015).
Universitas Sumatera Utara
38
Tabel 2.1 Skor Siriraj
A.
Derajat Kesadaran
Koma
:2
Apatis
:1
Sadar
:0
B. Muntah
(+)
(-)
:1
:0
C. Sakit Kepala
(+)
:1
(-)
:0
D. Tanda-Tanda Ateroma
1. Angina Pectoris
(+)
:1
(-)
:0
2. Claudicatio Intermitten
(+)
:1
(-)
:0
3. DM
(+)
(-)
:1
:0
Score Siriraj = (2,5 x kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x sakit kepala) + (0,1 x
diastol) – (3xfaktor ateroma) – 12
Jika hasilnya:
>1
= stroke hemoragik
< -1
= stroke iskemik
-1 < x < 1 = butuh evaluasi CT Scan
4. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
a. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah rutin dalam kasus stroke perlu dilakukan untuk
mencari faktor-faktor risiko agar dapat mencegah terjadinya stroke yang berulang
di kemudian hari dan untuk mencari kemungkinan penyebab lain dari stroke.
b. Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan ini ditujukan untuk menilai adanya kelainan aritmia jantung
dan penyakit jantung yang mungkin pernah diderita seperti penyakit infark
miokardium (kematian sel-sel otot jantung). Kelainan aritmia merupakan faktor
Universitas Sumatera Utara
39
risiko
terjadinya
emboli
yang
dapat
menimbulkan
stroke
tipe
infark
tromboemboli.
c. Pemeriksaan Pemindai Terkomputerisasi
Pemeriksaan Pemindai Terkomputerisasi dilakukan dengan Computierized
Tomografi Scanning (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). CT
Scan dan MRI digunakan untuk memvisualkan beberapa kelainan atau penyakit
seperti tumor, perdarahan di otak dan beberapa penyakit degeneratif. CT Scan
mendiagnosa dengan memanfaatkan sinar x, sedangkan MRI menggunakan
pancaran gelombang radio dan medan elektromagnetik. CT Scan sangat handal
untuk mendeteksi perdarahan tetapi kurang peka untuk mendeteksi stroke iskemik
dan MRI lebih sensitive dibandingan CT Scan untuk mendeteksi stroke iskemik.
d. Pemeriksaan Cairan Otak (Pungsi Lumbal)
Pemeriksaan cairan otak dilakukan jika ada kemungkinan terjadinya tipe
stroke perdarahan subaraknoid (PSA). Pada penderita stroke perdarahan
subaraknoid, cairan otak yang normalnya benih dan jernih berubah menjadi agak
kemerahan (xantokromatis) karena bercampur dengan darah akibat stroke.
e. Pemeriksaan Angiografi
Angiografi merupakan suatu prosedur pemeriksaan yakni suatu zat warna
(cairan kontraspen) disuntikkan melalui arteri kemudian di rontgen. Hasilnya akan
terlihat kondisi pembuluh darah yang mengalami kerusakan, penyempitan ataupun
tersumbat. Selain berfungsi untuk kepentingan diagnostik, angiografi juga
berperan dalam perencanaan terapi stroke.
Universitas Sumatera Utara
40
f. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi (USG) Doppler sangat bermanfaat untuk mendiagnosa
berbagai kelainan pada arteri karotis termasuk penyempitan, peradangan maupun
penyumbatan dinding arteri sebagai penyebab stroke. Selain itu, pemeriksaan
USG juga bermanfaat untuk mendeteksi suatu spasme pembuluh darah setelah
penderita mengalami stroke perdarahan subaraknoid akibat pecahnya aneurisme.
2.11.4 Pencegahan Tersier
Tujuan pencegahan tersier adalah untuk mereka yang telah menderita
stroke agar kelumpuhan yang dialami tidak bertambah berat dan mengurangi
ketergantungan pada orang lain dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Pencegahan tersier dapat dilakukan dalam bentuk rehabilitasi fisik, mental dan
sosial. Rehabilitasi akan diberikan oleh tim yang terdiri dari dokter, perawat, ahli
fisioterapi, ahli terapi wicara dan bahasa, ahli okupasional, petugas sosial dan
peran serta keluarga (Lumbantobing, S.M., 2004).
a. Rehabilitasi Fisik
Adapun terapi yang diberikan yaitu yang pertama adalah fisioterapi,
diberikan untuk mengatasi masalah gerakan dan sensoris penderita seperti
masalah kekuatan otot, duduk, berdiri, berjalan, koordinasi dan keseimbangan
serta mobilitas ditempat tidur. Terapi yang kedua adalah terapi okupasional
(Occupational Therapist atau OT), diberikan untuk melatih kemampuan penderita
dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi, memakai baju, makan dan
buang air. Terapi yang ketiga adalah terapi wicara dan bahasa, diberikan untuk
melatih kemampuan penderita dalam menelan makanan dan minuman dengan
aman serta dapat berkomunikasi dengan orang lain (Lumbantobing, S.M., 2004).
Universitas Sumatera Utara
41
b. Rehabilitasi Mental
Sebagian besar penderit