Perbandingan Efek Analgesi Infiltrasi Morfin 10 Mg Dan Bupivakain 0.5% 2mg Kgbb Pada Pasca Bedah Sesar Dengan Teknik Anestesi Spinal

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Nyeri
2.1.1 Fisiologi Nyeri
Nyeri adalah fenomena multi dimensional meliputi komponen sensori,
afektif, motivasi, lingkungan dan kognitf. Definisi nyeri menurut “ The
International Ascociation for The Study of Pain” adalah suatu
pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang
berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan baik yang bersifat
aktual maupun potensial atau yang digambarkan dalam bentuk
kerusakan tersebut.19
Beberapa tahun terakhir, perhatian lebih ditempatkan pada kebutuhan
pemeriksaan nyeri pada pemeriksaan mendasar. Nyeri saat ini juga
diperhitungkan sebagai “tanda vital ke-5” (JCAHO 2011) dengan
menggunakan skor nyeri untuk menilainya. Melakukan monitoring
onset awal dari nyeri, efek samping terapi (opioid menyebabkan
depresi nafas) atau hal yang berpotensi untuk menjadi penyebab
komplikasi yang buruk (paraplegia permanen akibat epidural anestesi)
adalah kewajiban bagi para klinisi dalam manajemen nyeri.20
Nyeri selalu bersifat subjektif. Setiap individu belajar

menggunakan kata nyeri berdasarkan pengalaman yang berhubungan
dengan cedera atau sakit sejak ia mulai dilahirkan. Tidak diragukan
lagi, nyeri merupakan sensasi dari tubuh tetapi juga sering merupakan
perasaan tidak menyenangkan sehingga nyeri disebut juga pengalaman
emosional. Banyak orang melaporkan nyeri dari tidak adanya
kerusakan jaringan atau yang disebabkan oleh patofisiologis, hal ini
sering terjadi dengan alasan psikologis. Jika kita menerima laporan
11
Universitas Sumatera Utara

subjektif ini, tidak mungkin kita dapat menyingkirkan pengalaman
yang dirasakan dari kerusakan jaringan itu.19
Nyeri akut (contoh: prosedur pembedahan, cedera, dan
melahirkan) seringkali menunjukkan adanya proses penyakit, cedera,
atau

perlukaan

yang


memerlukan

terapi

sementara

nyerinya

dihilangkan. Hal tersebut merupakan tanda dari kerusakan jaringan
yang sedang atau akan berlangsung, yang mendesak organisme untuk
keluar dari jaringan yang rusak dan mencari pengobatan. Nyeri akut
biasanya merupakan hasil dari kerusakan jaringan lunak atau inflamasi
(yang biasanya terlihat pasca operasi). Pada nyeri akut, sangat jarang
tidak diketahui secara pasti bagian dari tubuh yang mengalami
perlukaan, karena tubuh mempunyai fungsi untuk menyembuhkan dan
memperbaiki perlukaan yang terjadi agar tidak terganggu. Hal ini
dilakukan dengan membuat area yang perlukaan atau inflamasi
sehingga

jaringan


sekitarnya

menjadi

lebih

sensitif

terhadap

rangsangan. Dengan demikian segala jenis kontak yang akan terjadi
dihindari dan dapat membuat pergerakan menjadi berkurang untuk
membantu

proses

penyembuhan.

Karena


nyeri

akut

bersifat

memperbaiki dan menyembuhkan, maka akan lebih baik jika nyeri
yang terjadi diturunkan sampai kepada tahapan yang tidak membuat
stres tetapi fungsi untuk melindungi masih dapat dijalankan dengan
baik.19
Prosedur pembedahan menghasilkan kerusakan jaringan dan
menyebabkan aktivasi dari nosiseptor aferen perifer, termasuk serabut
saraf delta A dan serabut saraf C. Sensasi nyeri dihasilkan dari trauma
langsung pada ujung saraf atau dapat disebabkan inflamasi yang terjadi
karena perlukaan pada jaringan. Mediator inflamasi – seperti natrium,
prostaglandin, dan bardikinin dari sel yang perlukaan – merangsang
nosiseptor untuk mengirimkan impuls aferen melalui dorsal root
ganglion ke korda spinalis, yang mana hasilnya mengeluarkan


12
Universitas Sumatera Utara

neuropeptida sensori, seperti substansi P, neurokinin A dan kalsium
yang berhubungan secara genetik dengan peptida. Neuropeptida ini
mengeluarkan efeknya secara perifer maupun sentral.5
Pada perifer, mediator inflamasi mensensitisasi serabut
sensoris dan menyebabkan aktivasi dari serabut saraf sensoris yang
berdekatan. Sebagai tambahan, peningkatan pelepasan katekolamin
dari serabut saraf simpatik dapat lebih lanjut mensensitisasi nosiseptor
perifer, menghasilkan hiperalgesia perifer. Pada sentral, masukan
perifer yang berulang ke dorsal horn akan meningkatkan transmisi
yang diperantarai oleh glutamate dengan meningkatkan up-regulation
reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) dan pengeluaran lebih lanjut
dari prostanoid.5
2.1.2. Pembagian Nyeri
Tiap individu mengalami nyeri yang berbeda, walau dengan perlukaan
atau fisik yang sama. Adanya perasaan takut, marah, cemas, depresi,
dan lelah dapat mempengaruhi bagaimana nyeri diterima. Subjektivitas
dari nyeri membuat sulit untuk mengkategorikan nyeri dan memahami

mekanisme

nyeri.

Salah

satu

pendekatan

adalah

dengan

mengkelompokkan nyeri berdasarkan durasinya (akut dan kronik) dan
patofisiologinya (nosiseptif dan neuropatik).22
Nyeri akut biasanya dihubungkan dengan kerusakan jaringan
yang diketahui dan batas waktu yang terbatas hingga nosiseptor
kembali kepada ambang rangsang istirahat yang normal.22 Nyeri akut
disebabkan oleh stimulasi berbahaya karena perlukaan, proses penyakit

atau gangguan fungsi dari otot dan visceral. Nyeri jenis ini biasanya
dihubungkan dengan respon stress neuroendokrin yang berhubungan
dengan intensitas nyerinya. Bentuk umum dari nyeri akut adalah pasca
trauma, pasca operasi, nyeri melahirkan dan juga nyeri yang
berhubungan

dengan

penyakit

akut,

seperti

infark

miokard,

13
Universitas Sumatera Utara


pankreatitis, dan batu ginjal. Dengan pengobatan, biasanya nyeri akut
dapat sembuh dan hilang sendiri dalam beberapa hari atau minggu.
Ketika nyerinya tidak dapat sembuh, baik karena pengobatan yang
tidak memadai dan penyembuhan yang abnormal, nyeri akut berubah
menjadi nyeri kronik.24
Nyeri kronik bisa dikategorikan sebagai malignan (kanker, end
stage organ dysfunction) atau nonmalignan (nyeri punggung, migrain,
artritis, diabetik neuropati) yang dialami pasien paling tidak 1 – 6
bulan.22,24 Nyeri kronik malignan biasanya disertai kelainan patologis
dan memiliki indikasi sebagai penyakit yang membatasi kehidupan
seperti kanker, disfungsi organ tahap akhir, atau infeksi HIV. Nyeri
kronik mungkin mempunyai elemen nosiseptif dan neuropatik atau
bahkan keduanya. Nyeri kronik nonmalignan (nyeri punggung, migrain,
artritis, diabetik neuropati) sering tidak disertai patologis yang
terdeteksi, dan perubahan neuroplastik yang terjadi pada lokasi sekitar
(dorsal horn pada spina kordalis) membuat pengobatan menjadi lebih
sulit. Yang paling menonjol dan paling sering berperan dari nyeri
kronik adalah faktor lingkungan dan mekanisme psikologis. Pasien
dengan nyeri kronik sering menguatkan atau bahkan menghilangkan

respon stres neuroendokrin, seperti tidur yang tidak nyenyak dan
suasana hati yang terganggu.22, 24Pasien dengan nyeri akut atau kronik
bisa memperlihatkan tanda dan gejala sistem saraf otonom (takikardi,
tekanan darah yang meningkat, diaforesis, nafas cepat) pada saat nyeri
muncul.22
Nyeri organik dapat dibagi lagi menjadi nyeri neuropatik atau
nyeri nosiseptif. Nyeri neuropatik melibatkan jalur aferen saraf sentral
ataupun perifer dan biasanya dideskripsikan sebagai nyeri seperti
terbakar dan menusuk. Pasien yang mengalami nyeri neuropatik
biasanya kurang respon dengan analgesik opioid.22 Riwayat dari
perlukaan atau penyakit yang mengakibatkan kepada kerusakan

14
Universitas Sumatera Utara

susunan saraf perifer atau susunan saraf pusat, misalnya: avulsi pleksus
brakhialis, amputasi daripada tungkai, perlukaan pada tulang belakang,
herpes zoster akut, stroke. Adanya bukti kerusakan dari sistem saraf
perifer atau sistem saraf pusat (termasuk hilangnya kemampuan
sensorik, kelemahan motorik, abnormalitas spinter lambung dan

kandung kemih, perubahan reflek), nyeri pada daerah yang sudah tidak
dapat merasa, meningkatnya aktivitas simpatis (perubahan warna kulit,
suhu dan tekstur, berkeringat), dan nyeri yang berbeda sumbernya dari
nyeri nosiseptif (nyeri terbakar, tertembak dan perlukaan tusuk).20 Nyeri
nosiseptif termasuk nyeri viseral dan somatik, yang mengacu kepada
nyeri disebabkan oleh stimulasi perifer dari nosiseptor di struktur
viseral atau somatik. Nyeri nosiseptif biasanya direspon dengan
pemberian analgesik opioid atau analgesik non-opioid. Gambaran klinis
nyeri somatik adalah nyeri yang bersifat tajam, panas atau menyengat
pada lokasi daerah perlukaan. Nyeri viseral mempunyai gambaran
klinis berupa nyeri yang bersifat tumpul, kram atau nyeri kolik yang
sering tidak terlokalisir (nyeri pada daerah yang luas) disertai dengan
gejala mual dan berkeringat.20,24
Nyeri pasca bedah sesar terdiri dari komponen nyeri somatik
dan nyeri viseral. Nyeri somatik berasal dari nosiseptor pada perlukaan
operasi. Nyeri viseral berasal dari kontraksi uterus dan perlukaan
operasi pada uterus. Nyeri ini diperantarai oleh saraf pada dinding
anterior abdomen yang berasal dari T6 hingga L1 dan berjalan melewati
dasar antara lapisan otot abdominus transversus dengan otot oblik
internal.23 Nyeri viseral adalah nyeri yang diperantarai oleh serabut

saraf C (serabut saraf untuk nyeri yang konduksinya lebih pelan dan
kronik).

Serabut

saraf

C

berjalan

melalui

jalur

asenden

paleospinothalamic yang memang terbentuk untuk serabut saraf
berdiameter kecil yang menghantarkan nyeri secara perlahan, dan tidak
memiliki bagian somatotopik. Hal ini menyebar secara luas pada

15
Universitas Sumatera Utara

tingkatan batang otak, yang menyebabkan terjadinya dua hal, yaitu:
mempertahankan aktifitas pada susunan saraf pusat dengan sistem
retikular ascending dan yang kedua adalah aktivasi dari beberapa nuklei
pada batang otak yang membuat jalur kontrol nyeri descenden menjadi
aktif.25
2.1.3. Mekanisme Nyeri Akut Pasca Operasi
Ada 4 komponen fenomena klinis dari nyeri, yaitu nosisepsi, nyeri,
keluhan nyeri dan perilaku nyeri yang berperan dalam menentukan
terapi nyeri. Nosisepsi adalah deteksi dari kerusakan jaringan yang
disebabkan oleh panas, mekanik atau kimia (ditransmisikan ke susunan
saraf pusat oleh serabut saraf Delta A dan serabut saraf C). Nyeri adalah
persepsi atau stimulus berbahaya yang timbul ketika informasi nosisepsi
mencapai susunan saraf pusat atau ketika kerusakan susunan saraf pusat
mengarah kepada proses sentral atau masukan aferen yang berubah,
maka terjadilah nyeri tanpa nosisepsi. Keluhan nyeri merupakan respon
afektif negatif yang dihasilkan pada pusat saraf yang lebih tinggi
(contoh: lobus limbik) oleh rasa sakit atau oleh keadaan-keadaan afektif
(depresi, isolasi, ketakutan dan kecemasan). Perilaku nyeri adalah hal
yang dikatakan pasien, atau apa yang dilakukan atau tidak dilakukan,
yang menunjukkan kerusakan jaringan yang telah terjadi.19
Nyeri dihasilkan dari proses stimulus dari jaringan yang rusak
atau yang dapat merusak jaringan. Stimulus yang merusak itu disebut
“noksius” dan dideteksi oleh sensori spesifik yang disebut dengan
nosiseptor. Nosiseptor diidentifikasi oleh serabut saraf C (konduksi
yang lebih lambat, untuk respon yang tertunda) dan serabut saraf delta
A (konduksi yang lebih cepat, respon yang lebih cepat). Per definisi,
nosiseptor merespon secara selektif kepada rangsangan noksius.
Nosiseptor ini adalah ujung saraf bebas dengan sel tubuh di dorsal root
ganglia dan berakhir pada lapisan superfisial dari dorsal horn korda

16
Universitas Sumatera Utara

spinalis. Di korda spinalis nyeri disampaikan dengan melepaskan
neurotransmitter seperti glutamat (salah satu neurotransmitter dalam
nyeri, berinteraksi dengan reseptor asam amino eksitatori jenis nMDA
dan non-nMDA), dan substansi P (berinteraksi dengan reseptor GProtein Coupled) dan calcitonin gene related peptide (CGRP).
Neurotransmitter nyeri ini akan menghasilkan pengaktifan neuron tahap
kedua

melalui reseptor

korespondennya. Neuron

tahap

kedua

menyeberangi korda spinalis ke sisi berlawanan dan berjalan naik ke
traktus spinotalamikus sampai mencapai ke talamus. Dari sana neuron
tahap

tiga

diaktivasi,

berjalan

melalui

thalamus

ke

korteks

somatosensori, dan menghasilkan persepsi daripada nyeri. Harus
diterangkan bahwa pada level korda spinalis, neuron tahap kedua
dihasilkan dari aktivasi lower motor neuron di ventral horn dari korda
spinalis, yang memamncing reflek penarikan dari rangsangan noksius.
Begitu juga sebaliknya, ada interneuron pada level korda spinalis yang
akan memodulasi informasi nyeri yang diterima.26

17
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1.3.1. Mekanisme Nyeri Akut
Selama terjadinya inflamasi pada jaringan perifer, banyak
mediator yang dihasilkan oleh sel endothelial, sel residen, dan leukosit
yang dibutuhkan oleh tempat per perlukaanan. Banyak dari mediator
(contoh: proton, sitokin, dan nerve growth factor) diketahui dapat
menghasilkan nyeri dengan aktivasi dari neuron aferen utama yang
khusus disebut nosiseptor. Nyeri inflamasi ditandai dari meningkatnya
respon terhadap rangsangan mekanik atau panas yang pada keadaan
normal hanya menyebabkan nyeri yang ringan (hiperalgesia termal atau
mekanik). Setelah perlukaan jaringan, mediator inflamasi dihasilkan
pada sirkulasi (contoh: bradikinin) dan oleh sel residen lokal (contoh:
tisu makrofag dan sel dendritik). Respon inflamasi diperbanyak oleh
migrasi leukosit ke jaringan yang mengalami inflamasi, dengan

18
Universitas Sumatera Utara

produksi dari sitokin, kemokin, faktor pertumbuhan (contoh: nerve
growth factor), dan pengasaman jaringan. Leukosit tidak hanya sebagai
penyebab hiperalgesik tetapi juga sebagai mediator analgesik. Hal
terbaik dari leukosit yang berhubungan secara klinis adalah peptida
endogen opioid dan reseptor.27
Berikut ini beberapa tahapan yang dapat diidentifikasi pada
proses persarafan dari sinyal noksius yang dapat membuat terjadinya
nyeri.
1) Transduksi, adalah proses dimana rangsangan noksius diubah
menjadi sinyal elektrik pada nosiseptor. Nosiseptor ada dalam
bentuk ujung saraf bebas, tidak dikhususkan dalam suatu struktur
tertentu. Nosiseptor secara cepat memberikan respon kepada
rangsangan noksius yang berbeda-beda, seperti rangsangan suhu,
mekanik atau kimiawi, tetapi nosiseptor tidak memberikan respon
kepada rangsangan yang bukan noksius. Berlawanan dengan
reseptor sensori jenis lain, nosiseptor tidak beradaptasi. Sehingga
stimulasi yang terus menerus menghasilkan sinyal yang terus
menerus atau berulang, dan pada beberapa kasus stimulasi yang
berulang menghasilakn penurunan ambang rangsang yang direspon
oleh nosiseptor (contoh: sensitisasi dari nosiseptor).26
2) Transmisi, adalah tahap kedua dalam memproses sinyal noksius.
Informasi dari perifer diteruskan ke korda spinalis, lalu menuju ke
talamus dan terakhir ke kortek. Utamanya, informasi noksius
diteruskan melalui dua tipe dari saraf aferen nosiseptor yang
berjalan pada kecepatan yang berbeda.26
3) Modulasi, adalah proses ketiga dan aspek yang sangat penting dari
rangsangan noksius. Proses ini menunjukkan perubahan yang terjadi
pada sistem saraf dalam respon terhadap rangsangan noksius. Proses
ini membuat sinyal noksius diterima pada dorsal horn untuk

19
Universitas Sumatera Utara

diinhibisi secara selektif sehingga transmisi dari sinyal ke pusat
yang lebih tinggi diubah.26
4) Persepsi, adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut sudah
mencapai korteks sehingga mencapai tingkat kesadaran, selanjutnya
diterjemahkan dan ditindaklanjuti berupa tanggapan terhadap nyeri
tersebut.28

Gambar 2.1.2. Jalur Nyeri
2.1.4. Skala dan Cara Pengukuran Nyeri
Pada orang dewasa, ada tiga metode pengukuran intensitas nyeri
dimana pasien melaporkan dan menilai sendiri apa yang dirasakan
yaitu: Visual Analog Score (VAS), Verbal Numeric Rating Scale (VNRS)
dan Verbal Descriptor Scale (VDS). Setiap metode ini secara beralasan
dapat digunakan selama titik akhir dan adjektif dipenuhi dan dipilih
secara hati-hati dan distandarisasi. Walaupun sering digunakan untuk
membandingkan tingkatan nyeri antara pasien, metode skoring mungkin
yang paling sering digunakan sebagai pengukuran perubahan tingkatan
nyeri pada pasien yang sama dan keefektifan pengobatan nyeri
tersebut.20
20
Universitas Sumatera Utara

1) Visual Analog Scale (VAS) menggunakan garis sepanjang 10 cm
dengan keterangan titik akhir seperti “tidak nyeri” ditandai pada
ujung tangan kiri dan “nyeri terburuk yang dapat dibayangkan”
pada ujung tangan kanan. Tidak ada petunjuk lain yang digunakan
sepanjang garis itu. Pasien diminta untuk menandai titik dimana
pasien dapat memberikan gambaran terbaik mengenai nyeri yang
dirasakan. Jarak dari “tidak nyeri” kepada garis yang ditandai
pasien lalu diukur dalam millimeter, inilah skor VAS (1-100).
Untuk mempermudah pengukuran ini, lembaran skor VAS telah
dikembangkan. Pada bagian depan lembaran adalah garis 10 cm
dengan titik akhir seperti “tidak nyeri” dan “nyeri terburuk yang
dapat dirasakan”. Pada sisi berlawanan menunjukkan garis yang
sama ditandai dalam interval millimeter. Selanjutnya, pasien
menggeser lembaran sepanjang garis pada bagian depan untuk
menentukan titik mana yang paling memberikan gambaran terbaik
mengenai nyeri yang dirasakan. Lalu, pengukuran VAS dibaca
pada bagian belakang yang ditunjuk. Kerugian dari sistem
penilaian VAS ini adalah lebih memakan waktu daripada metode
skoring yang lebih mudah, peralatan yang spesifik dibutuhkan, dan
pada beberapa pasien mungkin akan mengalami kesulitan dalam
memahami atau melakukan penilaian ini ini, terutama pada periode
pasca operasi. Satu keuntungan dari metode ini adalah kata yang
digunakan dapat ditulis dengan banyak bahasa. Skala VAS juga
dapat diadaptasi untuk mengukur variabel lain, seperti kepuasan
pasien, efek samping seperti mual dan muntah, dan tingkat
hilangnya nyeri. Titik akhir yang digunakan VAS untuk mengukur
hilangnya nyeri adalah “tidak hilang” dan “hilang secara
sempurna”. 18 Nilai VAS 0 -

Dokumen yang terkait

Perbandingan efek analgesia dan kejadian hipotensi akibat anestesia spinal pada operasi bedah sesar dengan bupivakain 0.5% hiperbarik 10 mg dan 15 mg

0 88 157

Perbandingan Tramadol 0.5 Dan 1 Mg/Kgbb Iv Dalam Mencegah Menggigil Dengan Efek Samping Yang Minimal Pada Anestesi Spinal

0 51 87

Perbandingan Penilaian Visual Analog Scale dari Injeksi Subkutan Morfin 10 mg dan Bupivakain 0,5% pada Pasien Pascabedah Sesar dengan Anestesi Spinal | Fadinie | Jurnal Anestesi Perioperatif 826 3046 1 PB

0 0 7

Perbandingan Efek Analgesi Infiltrasi Morfin 10 Mg Dan Bupivakain 0.5% 2mg Kgbb Pada Pasca Bedah Sesar Dengan Teknik Anestesi Spinal

0 1 17

Perbandingan Efek Analgesi Infiltrasi Morfin 10 Mg Dan Bupivakain 0.5% 2mg Kgbb Pada Pasca Bedah Sesar Dengan Teknik Anestesi Spinal

0 1 3

Perbandingan Efek Analgesi Infiltrasi Morfin 10 Mg Dan Bupivakain 0.5% 2mg Kgbb Pada Pasca Bedah Sesar Dengan Teknik Anestesi Spinal

0 0 10

Perbandingan Efek Analgesi Infiltrasi Morfin 10 Mg Dan Bupivakain 0.5% 2mg Kgbb Pada Pasca Bedah Sesar Dengan Teknik Anestesi Spinal

1 1 3

Perbandingan Efek Analgesi Infiltrasi Morfin 10 Mg Dan Bupivakain 0.5% 2mg Kgbb Pada Pasca Bedah Sesar Dengan Teknik Anestesi Spinal

0 0 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 REGIONAL ANESTESIA - Perbandingan efek analgesia dan kejadian hipotensi akibat anestesia spinal pada operasi bedah sesar dengan bupivakain 0.5% hiperbarik 10 mg dan 15 mg

0 0 48

PERBANDINGAN LAMA ANALGESIA BUPIVAKAIN HIPERBARIK + MORFIN INTRATEKAL DENGAN BUPIVAKAIN HIPERBARIK + NaCl INTRATEKAL PADA PASIEN YANG MENJALANI OPERASI DENGAN ANESTESI SPINAL - Repository UNRAM

0 0 12