Analisis Konversi Limbah Ternak Sapi Ke Biogas Terhadap Pendapatan Masyarakat (Studi Kasus Kabupaten Karo dan Kabupaten Deli Serdang)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Kotoran Ternak
Sebagian besar limbah organik alami, seperti kotoran manusia, kotoran hewan, tanaman,

sisa proses makanan dan sampah dapat diproses menjadi gas bio kecuali lignin. Lignin adalah
molekul komplek yang memiliki bentuk rigid dan struktur berkayu dari tanaman dimana bakteri
hampir tidak mampu mencernanya. Jerami mengandung lignin dan dapat menjadi masalah
karena akan mengapung dan membentuk lapisan keras (kerak) (Meynell, 1976).
Kotoran ternak segar dari seluruh populasi ternak di Indonesia tahun 2009 sebanyak
88.714.888.170 juta ton/tahun, apabila diproses menjadi gas bio (asumsi secara keseluruhan)
akan menghasilkan gas bio yang setara dengan minyak tanah sebanyak 4.331 juta liter/tahun dan
menghasilkan pupuk organik kering sebanyak 34,6 juta ton/tahun (Direktorat Budidaya Ternak
Ruminansia, 2010). Jumlah kotoran ternak segar ini akan meningkat setiap tahun seiring
meningkatnya laju pertumbuhan ternak penduduk di Indonesia.
Kotoran hewan lebih sering dipilih sebagai bahan pembuat gas bio karena
ketersediaannya sangat besar. Bahan ini memiliki keseimbangan nutrisi, mudah diencerkan dan
relatif dapat diproses secara biologi (Tarigan, 2009). Selain itu, kotoran segar lebih mudah
diproses dibandingkan dengan kotoran yang lama atau telah dikeringkan, disebabkan karena

hilangnya substrat volatil solid selama waktu pengeringan (Fischer dan Krieg, 2000).
Berikut rincian kandungan zat hara dari beberapa jenis kotoran hewan dapat dilihat pada
Tabel 2.1.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1 Kandungan zat hara beberapa kotoran ternak padat dan cair
Nama
Ternak

Bentuk
Kotoran

Nitrogen
(%)

Fosfor
(%)

Kalium

(%)

Air
(%)

Kuda

Padat
Cair

0.55
1.40

0.30
0.02

0.40
1.60

75

90

Kerbau

Padat
Cair
Padat
Cair
Padat
Cair
Padat
Cair

0.60
1.00
0.40
1.00
0.60
1.50
0.75

1.35

0.30
0.15
0.20
0.50
0.30
0.13
0.50
0.05

0.34
1.50
0.10
1.50
0.17
1.80
0.45
2.10


85
52
85
92
60
85
60
85

Padat
Cair
Padat dan Cair
Padat dan Cair

0.95
0.40
1.00
2.72

0.35

0.10
0.80
1.10

0.40
0.45
0.40
0.50

80
87
55
55.3

Sapi
Kambing
Domba

Babi
Ayam

Kelinci

Sumber: Kartadisastra, 2001

Bahan yang dimasukkan ke dalam digester sebaiknya dalam bentuk slurry. Pada kondisi
tersebut padatan anorganik seperti pasir akan terpisah karena gravitasi (pengendapan), Hal ini
memungkinkan bahan tersebut dipisahkan sebelum dimasukkan ke dalam digester (Fry, 1974).
Jenis kotoran kandang memiliki sejumlah kelebihan seperti kemampuannya untuk
merangsang aktivitas biologi tanah dan memperbaiki sifat fisik tanah. Hanya saja kelemahannya
adalah bentuknya yang kamba (bulky) dan tidak steril, bisa mengandung biji – bijian gulma dan
berbagai bibit penyakit atau parasit tanaman (alamtani.com/pupuk-kandang.html)
Pada Tabel 2.2 dapat dilihat produksi kotoran dari beberapa jenis hewan ternak.
Walaupun tidak sepenuhnya tepat, tabel ini dapat digunakan untuk memperkirakan jumlah bahan
yang masuk ke dalam digester.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2 Potensi produksi gas dari berbagai tipe kotoran

Jenis Ternak


Bobot
Ternak (kg)

Kotoran
Basah
(kg/hari/ekor)

Kotoran
Kering (%)

Gas yang
Dihasilkan
(m3/kg)

Sapi Pedaging

520

29


17

0,025

Sapi Perah

640

50

14

0,025

Babi Dewasa

90

7


9

0,044

Kambing

40

2

26

0,025

Ayam Petelur

2

0,1


26

0,06

Ayam Broiler

1

0,06

20

0,06

Manusia

60

0,25

11

0,04

Sumber: Wahyuni, 2011

2.2

Biogas
Gas bio adalah gas yang dihasilkan oleh makhluk hidup (bio = hidup), yaitu:

mikroorganisme berupa bakteri yang melakukan aktivitas penguraian bahan – bahan organik
dalam kondisi anaerob (tanpa udara) kemudian menghasilkan suatu gas. Contoh bahan – bahan
organik yang dimaksud adalah kotoran hewan, kotoran manusia, limbah rumah tangga, limbah
pertanian (Tarigan, 2009).
Kandungan utama dari gas bio adalah gas metana (CH4) dan karbon dioksida (CO2).
Proporsi kandungan gas metana dalam gas bio ditentukan oleh jenis bahan organik yang
dijadikan input (bahan baku) dan tingkat efisiensi dari proses (metode) pembentukan gas bio
(Hendriani, 2008). Secara umum komposisi gas bio dapat dilihat pada tabel 2.3.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.3 Komposisi Gas Bio dari Bahan Kotoran Sapi
Jenis Gas

Persentase

Gas Metana ( CH4)

50 – 70 %

Gas Karbon Dioksida (C02)

30 – 40 %

Hidrogen (H2)

5 – 10 %

Gas lainnya

Dalam jumlah sedikit

Sumber: Yadava and Glases 1981 (dalam Teguh & Asori, 2009)

Apabila terdapat keberadaan gas oksigen dan nitrogen pada kandungan gas bio,
menandakan indikasi adanya kontaminasi udara di dalam digester, karena seharusnya proses
dalam digester adalah anaerob.
Kotoran sapi merupakan substrat yang dianggap paling cocok sebagai sumber pembuatan
gas bio, karena substrat tersebut telah mengandung bakteri penghasil gas metan yang terdapat
pada perut hewan ruminansia (Kadarwati, 2003). Keberadaan bakteri di dalam usus besar
ruminansia tersebut membantu proses fermentasi, sehingga proses pembentukan gas bio pada
tangki pencerna (reaktor digester) dapat dilakukan lebih cepat. Walaupun demikian, bila kotoran
tersebut akan langsung diproses di dalam tangki pencerna, perlu dilakukan pembersihan terlebih
dahulu. Kotoran tersebut harus bersih dari jerami dan bahan asing lainnya untuk mencegah
terbentuknya buih (The Pembina Institute, 2006).
Gas bio termasuk dalam kategori bahan bakar biologis (biofuel) yang berguna, karena
mempunyai nilai kalor yang cukup tinggi, yaitu kisaran 4800 – 6700 kkal/m. Hal ini merupakan
konsekuensi dari dominannya kandungan metana dalam gas bio yang merupakan jenis gas
dengan karakteristik mudah terbakar (flammable) dan dapat mengakibatkan ledakan.
Biogas merupakan energi terbarukan yang dapat dijadikan bahan bakar alternatif untuk
menggantikan bahan bakar yang berasal dari fosil seperti minyak tanah dan gas alam. Melihat

Universitas Sumatera Utara

kondisi perkembangan dunia peternakan sapi di Indonesia saat ini, energi biogas sangat potensial
untuk dikembangkan. Kenaikan tarif listrik, kenaikan harga minyak tanah atau gas LPG,
kenaikan bensin dan minyak solar telah mendorong pengembangan sumber energi alternatif yang
murah, berkelanjutan dan ramah lingkungan.
2.3

Unit Produksi Biogas
Untuk memanfaatkan limbah ternak sapi menjadi biogas diperlukan suatu unit produksi

dengan ruangan anaerob (kedap udara), seperti tangki atau bangunan sebagai tempat pencernaan
atau tempat terjadinya fermentasi. Proses penguraian bahan organik secara anaerob ini disebut
sebagai pencernaan anaerob (anaerob digestion) dan peralatan yang memfasilitasi prosesnya
disebut sebagai digester (Aguilar, 2001).
Menurut Susi Irmalawati (2012), yang menjadi penghambat tidak adanya proses produksi
biogas di pinggiran kota Batam hingga saat ini adalah dikarenakan :
1.

Kurangnya pengetahuan masyarakat yang ada di pinggiran kota Batam tentang proses
pengolahan limbah ternak menjadi biogas.

2.

Tidak seperti masyarakat desa Air Raja (seberang Kota Batam) yang sudah menerapkan
biogas, masyarakat di pinggiran kota Batam khususnya di daerah sentra sapi lainnya tidak
memiliki niat dan motivasi seperti yang dimiliki oleh masyarakat Air Raja, dalam hal
penerapan teknologi biogas.

3.

Kurangnya dana untuk pembelian digester.
Begitu juga di Sumatera Utara, pemanfaatan biogás masih relatif sedikit. Pemerintah

masih minim dalam penyediaan pengadaan unit – unit gas bio, seperti Demplot biogas.
Penggunaan demontrasi plot (demplot) biogás ditujukan untuk daerah yang belum memanfaatkan

Universitas Sumatera Utara

atau belum memahami penggunaan biogás. Demplot biogás merupakan unit peraga dan
sosialisasi pemanfaatan biogás dari limbah kotoran hewan untuk skala rumah tangga.
Faktor yang menjadi kendala tersebut, di antaranya investasi awal yang mahal. Untuk itu,
dalam aplikasinya diperlukan konstruksi bio-reaktor yang sederhana dan murah dengan
dukungan SDM yang memadai, serta kajian ekonomi yang menguntungkan untuk lebih
meyakinkan calon penggunanya.
Dua macam tipe bio-reaktor yang dikembangkan di India dan Cina, seperti dapat dilihat
pada Gambar 2.1 dan Gambar 2.2 dan Gambar 2.3 adalah bio-reaktor tipe aliran kontinyu yang
sering dipakai di Indonesia.

Penampung
gas

Pengeluaran
Gas

Lubang
Pengadukan

Pipa
Pemasukan

Lubang
Pengeluaran

Slurry

Dinding
Pemisah

Gambar 2.1
Bio-reaktor tipe floating dome/ tipe terapung (India)

Universitas Sumatera Utara

Lubang
Pengisian

Lubang geser
Penutup dilapisi
tanah lempung

Pengeluaran
Gas

Gas

Penutup
mudah dilepas

1000 mm
Max.

Slurry

Lubang
Pengeluaran

Gambar 2.2
Bio-reaktor tipe fixed dome/ tipe kubah tetap (China)

Gambar 2.3
Bio-reaktor tipe aliran kontinyu

ada reaktor biogas tipe terapung, di atas tumpukan bahan biogas diletakkan drum terbalik
dalam posisi terapung. Pada tipe kubah tetap, digester diletakkan di dalam tanah dan di bagian
atasnya dibuat ruangan dengan atap seperti kubah terbalik. Fungsi drum terbalik atau kubah
terbalik ini untuk menampung gas yang dihasilkan.
Tipe biodigester umumnya yang digunakan adalah tipe aliran kontinyu. Pada tipe aliran
kontinyu bahan dimasukkan ke dalam digester secara teratur pada satu ujung dan setelah melalui

Universitas Sumatera Utara

jarak tertentu, keluar di ujung yang lain. Tipe ini mengatasi masalah pada proses pemasukan dan
pengosongan pada tipe batch (Waskito, 2011).
Tempat terbaik dan teraman sangat penting untuk meletakkan unit produksi biogas adalah
sekurang – kurangnya 10 meter dari rumah. Terpisah dari tempat memasak dan sumber air,
sehingga limbah ikutannya tidak mencapai sumber air bersih dan tidak mencemari kehidupan
keluarga dan tempat pengolahan pangan ketika memasukkan limbah ternak ke unit biogas.
Namun dianjurkan juga menempatkan unit biogas tidak terlalu jauh dari rumah agar
tidak mengeluarkan lebih banyak biaya karena membutuhkan pipa gas yang lebih panjang. Pipa
gas harus dijaga dan dicegah jangan bocor. Jika dipasang menyeberang jalan, sebaiknya dibenam
kedalam tanah untuk menghindari benturan atau kerusakan.
2.4

Teknologi Pembuatan Biogas
Prinsip pembuatan biogas secara teknologis yaitu memanfaatkan gas metana (gas yang

mudah terbakar) yang terdapat di dalam kotoran sapi sebagai bahan bakar, terutama untuk
konsumsi rumah tangga. Dengan demikian, diperlukan adanya ternak sebagai pemasok kotoran,
juga diperlukan sarana penampungan kotoran agar dapat berproses menghasilkan gas metana.
Pada prinsipnya teknologi biogas adalah teknologi yang memanfaatkan proses fermentasi
(pembusukan) dari sampah organik secara anaerobik (tanpa udara) oleh bakteri metan sehingga
dihasilkan gas metan. Proses pencernaan anaerobik merupakan dasar dari reaktor biogas yaitu
proses pemecahan bahan organik oleh aktivitas bakteri metanogenik dan bakteri asidogenik pada
kondisi tanpa udara, bakteri ini secara alami terdapat dalam limbah yang mengandung bahan
organik (Haryati, 2002).

Universitas Sumatera Utara

Proses fermentasi memerlukan kondisi tertentu seperti rasio C:N, temperatur, keasaman
juga jenis digester yang dipergunakan. Kondisi optimum yaitu C/N 30:1, temperatur sekitar 32 –
35°C atau 50 – 55°C dan pH antara 6,8-8. Pada kondisi ini proses pencernaan mengubah bahan
organik dengan adanya air menjadi energi gas (Waskito, 2011).
Beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi optimasi pembentukan biogas adalah
bentuk limbah, kandungan air, keasaman media, bahan baku isian ﴾zat-zat makanan﴿ dan suhu
pertumbuhan bakteri metana serta pengadukan pada wadah. Faktor-faktor tersebut diuraikan
secara singkat sebagai berikut :
a.

Kondisi anaerob atau kedap udara

Biogas dihasilkan dari proses fermentasi bahan organik oleh mikroorganisme anaerob. Karena
itu, instalasi pengolah biogas harus kedap udara tanpa ada selang/pipa yang bocor.
b.

Bentuk limbah
Gas metana akan terjadi paling banyak pada limbah padatan yang berbentuk bubur halus

atau butiran kecil-kecil. Oleh karena itu limbah harus dikomposkan (digiling/dirajang) terlebih
dahulu agar metana yang terjadi optimum ﴾banyak).
c.

Kandungan air
Bentuk bubur hanya akan diperoleh bila bahan yang dihancurkan mempunyai kandungan

air yang tinggi. Untuk menambah kadungan air limbah dapat dilakukan dengan menambahkan
air dengan perbandingan yang sama antara limbah dan airnya. Terlalu banyak atau terlalu sedikit
dapat mengakibatkan pembentukan biogas tidak optimal.
d.

Pengenceran bahan baku isian
Isian yang paling baik untuk penghasil gas bio mengandung 7 – 9 % bahan kering. Nilai

rata-rata bahan kering dari beberapa kotoran hewan berkisar dari 11 – 25 %. Berikut ini potensi

Universitas Sumatera Utara

produksi gas dari berbagai tipe kotoran sebagai bahan baku penghasil biogas. Oleh karena itu
untuk setiap jenis kotoran hewan, dilakukan pengenceran isian berbeda-beda agar diperoleh isian
dengan kandungan bahan kering yang optimum (Tarigan, 2009).
e.

Derajat keasaman (pH)
Bakteri-bakteri metana selain tidak menghendaki suasana asam juga tidak menghendaki

suasana lingkungan yang terlalu basah. Suasana netral atau sedikit asam ﴾7 – 8,5﴿ adalah suasana
yang paling baik untuk menghasilkan biogas (Waskito, 2011). Pada tahap awal fermentasi bahan
organik akan membentuk asam (asam organik yang akan menurunkan pH).
f.

Bahan baku isian ﴾faktor C/N ratio bahan﴿
Bakteri anaerob mengkonsumsi karbon sekitar 30 kali lebih cepat dari pada nitrogen.

Hubungan antara jumlah karbon dan nitrogen dinyatakan dengan rasio karbon/nitrogen (C/N).
Rasio optimum untuk digester anaerobik berkisar 20-30 (Haryati, 2002). Terlalu tinggi atau
rendahnya C/N akan mengakibatkan produksi biogas tidak maksimal. Berikut rasio perbandingan
C/N beberapa jenis kotoran ternak disajikan pada Tabel 2.4.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.4 Perbandingan rasio Karbon dan Nitrogen (C/N)
Jenis Kotoran

Rasio C/N

Kotoran bebek

8

Kotoran manusia

8

Kotoran ayam

10

Kotoran kambing

12

Kotoran babi

18

Kotoran domba

19

Kotoran sapi/kerbau

24

Eceng gondok

25

Kotoran Gajah

43

Batang Jagung

60

Jerami padi

70

Jerami gandum

90

Serbuk gergaji

Di atas 200

Sumber: Karki dan Dixit (1984)

g.

Suhu Pertumbuhan (Temperatur)
Bakteri-bateri metana pada umumnya adalah bakteri golongan mesofil yaitu bakteri yang

hidupnya dapat subur hanya pada suhu di sekitar suhu kamar (Waskito, 2011). Produksi biogas
akan menurun secara cepat akibat perubahan temperatur yang mendadak di dalam digester. Suhu
digester yang baik berkisar 25-30o C.
Upaya yang praktis untuk menstabilkan temperatur adalah dengan memberikan penutup
di atas digester. Hal ini bertujuan agar digester tidak terkena sinar matahari secara langsung,

Universitas Sumatera Utara

tetapi pada daerah dingin akan menyebabkan masalah. Temperatur digester yang tinggi akan
lebih rentan terhadap kerusakan karena fluktuasi temperatur, untuk itu diperlukan pemeliharaan
yang seksama.
h.

Starter (Pembibitan)
Starter yang mengandung bakteri metana diperlukan untuk mempercepat proses

fermentasi anaerob. Penggunaan starter biasanya digunakan untuk digester tipe batch terutama
untuk bahan yang tidak mengandung bakteri metana seperti jerami, eceng gondok, dan sisa-sisa
tanaman lainnya. Oleh karena itu pembentukan biogas harus disesuaikan dengan suhu kehidupan
bakteri metana. Suhu pembentukan biogas antara 20 - 40 oC (Waskito, 2011).
2.5

Pemanfaatan Biogas
Biogas sebagai salah satu sumber energi yang dapat diperbaharui dapat menjawab

kebutuhan akan energi sekaligus menyediakan kebutuhan hara tanah dari pupuk cair dan padat
yang merupakan hasil sampingannya serta mengurangi efek rumah kaca. Biogas menghasilkan
api biru yang bersih dan tidak menghasilkan asap.
Limbah biogas dari kotoran ternak yang telah hilang gas karbonnya merupakan pupuk
organik (slurry) yang sangat kaya akan unsur – unsur yang sangat dibutuhkan tanaman. Bahkan,
unsur – unsur tertentu seperti protein, selulosa dan lignin tidak bisa digantikan oleh pupuk
kimia. Dengan demikian kita tidak perlu lagi membeli pupuk kimia untuk tanaman.
Pemanfaatan biogas sebagai sumber energi alternatif juga dapat mengurangi penggunaan
kayu bakar. Dengan demikian dapat mengurangi usaha penebangan pohon sehingga ekosistem
hutan terjaga.
Menurut Santi (2006), beberapa keuntungan penggunaan kotoran ternak sebagai penghasil

Universitas Sumatera Utara

biogas sebagai berikut :
1.

Mengurangi pencemaran lingkungan terhadap air dan tanah, pencemaran udara (bau).

2.

Memanfaatkan limbah ternak tersebut sebagai bahan bakar biogas yang dapat digunakan
sebagai energi alternatif untuk keperluan rumah tangga.

3.

Mengurangi biaya pengeluaran peternak untuk kebutuhan energi bagi kegiatan rumah
tangga yang berarti dapat meningkatkan kesejahteraan peternak.

4.

Melaksanakan pengkajian terhadap kemungkinan dimanfaatkannya biogas untuk menjadi
energi listrik untuk diterapkan di lokasi yang masih belum memiliki akses listrik.

2.6.

Perhitungan Dan Analisis Laba – Rugi
Untuk melihat kelayakan ekonomi unit produksi biogas dalam jangka panjang, hal

pertama yang harus diperhitungkan dalam menghitung jumlah energi yang dihasilkan adalah
berapa banyak jumlah bahan baku yang dihasilkan. Jumlah bahan baku gas ini didapatkan
dengan menjumlahkan banyak feses. Jumlah bahan baku ini akan menentukan berapa jumlah
energi dan volume alat pembentuk biogas.
Parameter yang digunakan adalah pengukuran volume biogas (slurry) biasanya dengan
menggunakan pipa jenis tertentu biasanya PVC 3 inch, dengan cara memasukkan biogas ke
dalam pipa dan mengukur volume gas yang mengisi pipa tersebut. Gas yang dihasilkan dari
dalam biodigester akan disalurkan ke dalam tabung alat ukur volume gas. Gas akan mulai diukur
setelah lewat masa HRT (High Tension Ratio) selama 25 hari.
Volume penampung gas dapat dihitung dengan rumus volume silinder, sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

� = ��ℎ

Dimana :

V = volume penampung gas berbentuk silinder, m

3

π = 3,14
r = jari – jari pipa
h = tinggi pipa di atas permukaan air.
Untuk melihat keuntungan (laba) dari konversi limbah ternak sapi ke biogas dapat diperoleh
dengan rumus sebagai berikut:

Dimana :

���� = ����� ���������� − ����� �����������

Laba = Keuntungan bersih yang didapat yang telah dikurang dengan beban biaya (Rp/bulan)
Total Penerimaan = seluruh hasil pendapatan kotor yang diterima dari suatu mata pencaharian
(Rp/bulan)
Total Pengeluaran = seluruh biaya yang dikeluarkan untuk suatu mata pencaharian (Rp/bulan)
Laba/Keuntungan dari pekerjaan responden sehari – hari dapat meningkat bila konversi
limbah ternak sapi ke biogas mampu menghemat biaya dari penggunaan energi sebelumnya dan
mampu meningkatkan pendapatan responden melalui penjualan sisa hasil olahan limbah ternak
sapi yang dijadikan biogas.

Universitas Sumatera Utara

2.7

Penelitiaan Terdahulu
Tabel 2.5 merupakan penelitian yang berhubungan dengan program pemanfaatan limbah

ternak menjadi biogas yang pernah dilakukan. Berikut ini beberapa Jurnal Penelitiaan
sebelumnya yang disusun dalam bentuk Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Orisinalitas Penelitian

Peneliti
Daru
Mulyono
(2000)

Bentuk

Judul Penelitian

Jurnal

Pemanfaatan
Kotoran Ternak
Sebagai Sumber
Energi Alternatif
dan Peningkatan
Sanitasi
Lingkungan

Sinung
Jurnal
Rustijarno
(2008)

Hasil Penelitian

Pembuatan biogas dapat dilakukan
dengan menggunakan bahan dasar
berupa kotoran ternak, di samping
murah dan mudah didapat, ada
manfaat ganda yang dapat diperoleh
dari pembuatan biogas tersebut,
yaitu berupa: gas sebagai sumber
energi, pupuk sebagai penyubur
tanah, sludge sebagai makanan
ternak dan meningkatkan sanitasi
lingkungan.
Dengan
berbagai
manfaat tersebut, pembuatan biogas
ini
patut
dimasyarakatkan,
khususnya di daerah pedesaan, di
mana bahan baku cukup banyak
tersedia, sedang hasil fermentasi
yang diperoleh dapat langsung
dimanfaatkan. Bagi Indonesia yang
sebagian besar rakyatnya bermukim
di pedesaan, pengembangan sistem
biogas ini dapat memberikan
sumbangan dalam meningkatkan
taraf hidup manusia
Pemanfaatan
Hasil pengkajian menunjukkan
Biogas
Sebagai bahwa jumlah ternak sapi sebanyak
Sumber Energi
18 ekor dengan kepemilikan ternak
Alternatif
1 ekor/orang dan dikelola dengan
Terbarukan
di sistem
kelompok,
sumber
Lokasi Prima Tani permodalan senilai Rp 117 juta
Kabupaten Kulon berasal dari pemerintah daerah
Progo
kabupaten dengan sistem kredit.
Pembuatan
instalasi
biogas

Universitas Sumatera Utara

Sugi
Rahayu,
dkk
(2009)

Jurnal

Pemanfaatan
Kotoran Ternak
Sapi
Sebagai
Sumber
Energi
Alternatif Ramah
Lingkungan
Beserta
Aspek
Sosio Kulturalnya

Teguh
Jurnal
Wikan W
dan Ana
N
(2004)

Kajian
Teknis
Teknologi Biogas
dan Potensi
Pengembangannya
di Indonesia

merupakan program hibah dari
pemerintah provinsi. Pemanfaatan
biogas
skala
rumah
tangga
menggunakan kotoran ternak dari 6
ekor sapi sudah dimanfaatkan untuk
kebutuhan rumah tangga yaitu
memasak. Limbah hasil biogas
telah dimanfaatkan sebagai pupuk
tanaman, sementara kotoran ternak
diolah sebagai pupuk organik.
Pemanfaatan
biogas
masih
berpeluang dikembangkan untuk
penyedia penerangan dan industri
pengolahan
makanan
skala
rumahtangga
Berdasarkan pengamatan terhadap
proses
kegiatan
pengabdian
masyarakat berupa pemanfaatan
kotoran ternak sebagai sumber
bahan bakar alternatif dan aspek
sosiokulturalnya
di
lapangan
diperoleh hasil bahwa Masyarakat
petani dan atau peternak sapi di
Desa Jatisarono menjadi paham dan
mengetahui pemanfaatan residu
biogas dari kotoran ternak. Selain
itu, dilihat dari aspek sosio-kultural
penerapan teknologi biogas dalam
rangka perintisan wirausaha baru
telah dipahami masyarakat petani
dan atau peternak sapi di desa
Jatisarono.
Masyarakat
juga
mengetahui prospek apa saja yang
dapat dikembangkan berkaitan
dengan penerapan teknologi biogas
di desa Jatisarono dalam rangka
community development untuk
jangka yang lebih panjang
Dari hasil kajian didapatkan
kesimpulam bahwa banyak faktor
yang menjadi sebab penghambat
perkembangan biogas di Indonesia,
di antaranya investasi awal yang
mahal. Untuk itu dalam aplikasinya
diperlukan konstruksi bio-reaktor
yang sederhana dan murah dengan

Universitas Sumatera Utara

Tuti
Haryati
(2006)

Jurnal

dukungan SDM yang memadai,
serta
kajian
ekonomi
yang
menguntungkan
untuk
lebih
meyakinkan calon penggunanya.
Proses pembuatan biogas memiliki
banyak
keuntungan,
selain
menghasilkan gas metana juga
dapat mengurangi pencemaran
lingkungan berupa bau yang tidak
sedap, pencemaran biologis dan air,
hasil samping berupa kompos dan
slurry untuk pupuk tanaman.
Pemanfaatan energi alternatif ini
memiliki peluang besar karena
sejalan dengan program pemerintah
di bidang peternakan, yaitu
kawasan
agribisnis
berbasis
peternakan
Biogas : Limbah
Teknologi
biogas
merupakan
Peternakan Yang pilihan yang tepat untuk mengubah
Menjadi
limbah organik peternakan untuk
Sumber
Energi menghasilkan energi dan pupuk
Alternatif
sehingga diperoleh keuntungan
secara sosio ekonomi maupun dari
segi lingkungan. Biogas telah lama
digunakan di negara seperti India,
Cina dan negara-negara di Afrika
juga Eropa dan Amerika Serikat.
Potensi penggunaannya akan terus
meningkat karena teknologi proses
dan peralatannya masih dapat
dikembangkan agar mendapatkan
hasil
yang
lebih
maksimal.
Teknologi biogas di Indonesia
masih belum populer tetapi dengan
upaya sosialisasi dan penelitian
agar
biaya
konstruksi
dan
pengoperasian lebih murah dan
sederhana akan meningkatkan
minat
masyarakat
untuk
menggunakannya

Universitas Sumatera Utara

2.8

Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual dan kerangka berpikir merupakan gambaran tentang hubungan antara

variabel yang akan diteliti, yang disusun dari berbagai teori yang telah dideskripsikan
(Sugiyono,2008 : 49). Berdasarkan uraian di atas, model kerangka konseptual, sebagai berikut:

Waktu Penggunaan Biogas

Harga Kotoran Sapi

Pendapatan

Jumlah Tanggungan
Gambar 2.4
Kerangka Konseptual Penelitian
Melalui diagram jalur diatas, secara teoritis dapat dilihat bahwa terdapat beberapa
variabel yang saling berhubungan. Secara keseluruhan baik waktu penggunaan biogas (X1),
harga kotoran sapi (X2) dan jumlah tanggungan (X3) memiliki hubungan terhadap pendapatan
masyarakat (Y).
2.9

Hipotesis Penelitiaan
Berdasarkan perumusan masalah dan penelitian sebelumnya, dapat ditarik hipotesis,

yaitu:
1.

Baik waktu penggunaan biogas, harga kotoran sapi dan jumlah tanggungan secara
keseluruhan berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat di Kabupaten Karo dan
Kabupaten Deli Serdang.

Universitas Sumatera Utara

2.

Setiap variabel yakni waktu penggunaan biogas, harga kotoran sapi dan jumlah
tanggungan memberi pengaruh yang signifikan terhadap pendapatan masyarakat di
Kabupaten Karo dan Kabupaten Deli Serdang.

Universitas Sumatera Utara