Kajian Semiotika Budaya Terhadap Syair Dendang Siti Fatimah Pada Upacara Mengayun Anak Masyarakat Melayu Tanjung Pura

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Puisi
Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang
artinya berati penciptaan. Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini adalah poetry
yang erat dengan –poet dan -poem. Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan, 1986:4)
menjelaskan bahwa kata poet berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta.
Dalam bahasa Yunani sendiri, kata poet berarti orang yang mencipta melalui
imajinasinya, orang yang hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada
dewa-dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus
merupakan filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang
tersembunyi.
Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:6) mengumpulkan definisi puisi yang pada
umumnya dikemukakan oleh para penyair romantik Inggris sebagai berikut.
(1)

Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah
dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun
secara baik, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat
erat berhubungannya, dan sebagainya.


(2)

Carlyle mengatakan bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal.
Penyair menciptakan puisi itu memikirkan bunyi-bunyi yang merdu seperti musik
dalam puisinya, kata-kata disusun begitu rupa hingga yang menonjol adalah rangkaian
bunyinya yang merdu seperti musik, yaitu dengan mempergunakan orkestra bunyi.

Universitas Sumatera Utara

(3)

Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang
imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden
mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang
bercampur-baur.

(4)

Dunton berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia
secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya, dengan

kiasan, dengan citra-citra, dan disusun secara artistik (misalnya selaras, simetris,
pemilihan kata-katanya tepat, dan sebagainya), dan bahasanya penuh perasaan, serta
berirama seperti musik (pergantian bunyi kata-katanya berturu-turut secara teratur).

(5)

Shelley mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah
dalam hidup. Misalnya saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan
menimbulkan keharuan yang kuat seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak,
percintaan, bahkan kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai. Semuanya
merupakan detik-detik yang paling indah untuk direkam.
Dari definisi-definisi di atas memang seolah terdapat perbedaan pemikiran, namun

tetap terdapat benang merah. Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:7) menyimpulkan
bahwa pengertian puisi di atas terdapat garis-garis besar tentang puisi itu sebenarnya.
Unsur-unsur itu berupa emosi, imajinas, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindera,
susunan kata, kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur-baur.

Universitas Sumatera Utara


2.1.1Unsur-unsur Puisi
Berikut ini merupakan beberapa pendapat mengenai unsur-unsur puisi.
(1)

Richards (dalam Tarigan, 1986) mengatakan bahwa unsur puisi terdiri dari (1)
hakikat puisi yang melipuiti tema (sense), rasa (feeling), amanat (intention), nada
(tone), serta (2) metode puisi yang meliputi diksi, imajeri, kata nyata, majas, ritme,
dan rima.

(2)

Waluyo (1987) yang mengatakan bahwa dalam puisi terdapat struktur fisik atau
yang disebut pula sebagai struktur kebahasaan dan struktur batin puisi yang berupa
ungkapan batin pengarang.

(3)

Altenberg dan Lewis (dalam Badrun, 1989:6), meskipun tidak menyatakan secara
jelas tentang unsur-unsur puisi, namun dari outline buku mereka bisa dilihat adanya
(1) sifat puisi, (2) bahasa puisi: diksi, imajeri, bahasa kiasan, sarana retorika, (3)

bentuk: nilai bunyi, verifikasi, bentuk, dan makna, (4) isi: narasi, emosi, dan tema.

(4)

Dick Hartoko (dalam Waluyo, 1987:27) menyebut adanya unsur penting dalam
puisi, yaitu unsur tematik atau unsur semantik puisi dan unsur sintaksis puisi. Unsur
tematik puisi lebih menunjuk ke arah struktur batin puisi, unsur sintaksis menunjuk ke
arah struktur fisik puisi.

(5)

Meyer (Badrun, 1989:6) menyebutkan unsur puisi meliputi (1) diksi, (2) imajeri, (3)
bahasa kiasan, (4) simbol, (5) bunyi, (6) ritme, (7) bentuk.

Universitas Sumatera Utara

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur puisi
meliputi (1) tema, (2) nada, (3) rasa, (4) amanat, (5) diksi, (6) imaji, (7) bahasa figuratif,
(8) kata konkret, (9) ritme dan rima. Unsur-unsur puisi ini, menurut pendapat Richards
(dalam Waluyo, 2007:95) dapat dipilah menjadi dua struktur, yaitu struktur batin puisi

(tema, nada, rasa, dan amanat) dan struktur fisik puisi (diksi, imajeri, bahasa figuratif,
kata konkret, ritme, dan rima).
Berdasarkan pendapat Richards (dalamRoekhandan Siswanto, 1991:55-65)
menjelaskan unsur-unsur puisi sebagai berikut.

2.1.1.1 Struktur Fisik Puisi
Adapun struktur fisik puisi dijelaskan sebagai berikut.
(1)

Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi
kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu
dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat
menentukan pemaknaan terhadap puisi.

(2)

Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya.
Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan
banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata
dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata.

Geoffrey (dalam Waluyo, 19987:68-69) menjelaskan bahwa bahasa puisi mengalami
9 (sembilan) aspek penyimpangan, yaitu penyimpangan leksikal, penyimpangan

Universitas Sumatera Utara

semantis, penyimpangan fonologis, penyimpangan sintaksis, penggunaan dialek,
penggunaan register (ragam bahasa tertentu oleh kelompok/profesi tertentu),
penyimpangan historis (penggunaan kata-kata kuno), dan penyimpangan grafologis
(penggunaan kapital hingga titik)
(3)

Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman
indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi
tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh
(imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, medengar,
dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.

(4)

Kata kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan

munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal kata
kongkret “salju: melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll., sedangkan
kata kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi,
kehidupan, dll.

(5)

Bahasa figuratif, yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek
dan menimbulkan konotasi tertentu (Soedjito, 1986:128). Bahasa figuratif
menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya
akan makna (Waluyo, 1987:83). Bahasa figuratif disebut juga majas. Adapaun
macam-amcam majas antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi,
sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks,
antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.

Universitas Sumatera Utara

(6)

Versifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan

bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup (1)
onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis pada puisi
Sutardji C.B.), (2) bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir,
persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata],
dan sebagainya [Waluyo, 187:92]), dan (3) pengulangan kata/ungkapan. Ritma
merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma sangat
menonjol dalam pembacaan puisi.

2.1.1.2 Struktur Batin Puisi
Adapun struktur batin puisi akan dijelaskan sebagai berikut.
(1)

Tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan
tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait,
maupun makna keseluruhan.

(2)

Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat
dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang

sosial dan psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis
kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan
psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam
menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyair memilih katakata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak bergantung pada

Universitas Sumatera Utara

wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar
belakang sosiologis dan psikologisnya.
(3)

Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan
dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui,
mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan
masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan
rendah pembaca, dll.

(4)

Amanat/tujuan/maksud (itention); sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong

penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan
puisi, maupun dapat ditemui dalam puisinya.

2.2 Syair Sebagai Struktur, Sistem Tanda, dan Jalinan Teks yang Fungsional
Syair adalah salah satu jenis puisi lama. Ia berasal dari Persia (sekarang Iran) dan
telah dibawa masuk ke Nusantara bersama-sama dengan kedatangan Islam. Kata syair
berasal dari bahasa Arab syu’ur yang berarti perasaan. Kata syu’ur berkembang menjadi
kata syi’ru yang berarti puisi dalam pengertian umum.
Syair dalam kesusastraan Melayu merujuk pada pengertian puisi secara umum.
Akan tetapi, dalam perkembangannya syair tersebut mengalami perubahan dan modifikasi
sehingga menjadi khas Melayu, tidak lagi mengacu pada tradisi sastra syair di negeri
Arab. Penyair yang berperan besar dalam membentuk syair khas Melayu adalah Hamzah

Universitas Sumatera Utara

Fansuri dengan karyanya, antara lain: Syair Perahu, Syair Burung Pingai, Syair Dagang,
dan Syair Sidang Fakir.
Menurut isinya, syair dapat dibagi menjadi lima golongan, sebagai berikut.
1. Syair Panji
Syair panji menceritakan tentang keadaan yang terjadi dalam istana dan keadaan

orang-orang yang berada atau berasal dari dalam istana. Contoh syair panji adalah Syair
Ken Tambuhan yang menceritakan tentang seorang putri bernama Ken Tambuhan yang
dijadikan persembahan kepada Sang Ratu Kauripan.
2. Syair Romantis
Syair romantis berisi tentang percintaan yang biasanya terdapat pada cerita pelipur
lara, hikayat, maupun cerita rakyat. Contoh syair romantis yakni Syair Bidasari yang
menceritakan tentang seorang putri raja yang telah dibuang ibunya. Setelah beberapa lama
ia dicari Putra Bangsawan (saudaranya) untuk bertemu dengan ibunya. Pertemuan pun
terjadi dan akhirnya Bidasari memaafkan ibunya, yang telah membuang dirinya.
3. Syair Kiasan
Syair kiasan berisi tentang percintaan ikan, burung, bunga atau buah-buahan.
Percintaan tersebut merupakan kiasan atau sindiran terhadap peristiwa tertentu. Contoh
syair kiasan adalah Syair Burung Pungguk yang isinya menceritakan tentang percintaan
yang gagal akibat perbedaan pangkat, atau seperti perumpamaan “seperti pungguk
merindukan bulan”.
4. Syair Sejarah

Universitas Sumatera Utara

Syair sejarah adalah syair yang berdasarkan peristiwa sejarah. Sebagian besar
syair sejarah berisi tentang peperangan. Contoh syair sejarah adalah Syair Perang
Mengkasar (dahulu bernama Syair Sipelman), berisi tentang perang antara orang-orang
Makassar dengan Belanda. Syair berbahasa Arab yang tercatat paling tua di Nusantara
adalah catatan di batu nisan Sultan Malik al Saleh di Aceh, bertarikh 1297 M.
5. Syair Agama
Syair agama merupakan syair terpenting. Syair agama dibagi menjadi empat yaitu:
(a) syair sufi, (b) syair tentang ajaran Islam, (c) syair riwayat cerita nabi, dan (d) syair
nasihat. Perlu diketahui, setiap syair pasti mengandung pesan tertentu. Pesan tersebut
dapat kita simpulkan setelah memahami isi sebuah syair.
Dalam perkembangan sastra dewasa ini, istilah syair dipersamakan dengan
gurindam. Kedua istilah itu dapat dipadankan dengan istilah puisi sebagaimana yang
terdapat dalam konvensi sastra pada umumnya. Meskipun demikian, kasidah memiliki
karakteristik tersendiri yang menjadi identitasnya. Di antara karakteristik tersebut ialah
bahwa syair merupakan struktur yang terdiri atas unsur-unsur pembentuknya, sebagai
sistem tanda yang menunjukkan makna tertentu dari sebuah kasidah, karya yang memiliki
keterkaitan dengan teks lain yang dijadikan pijakan, referensi, atau penguat, dan sebagai
karya yang memiliki fungsi tertentu bagi para pembaca atau penikmatnya. Untuk
memahami karakteristik tersebut dalam rangka memahami Syair Dendang Siti Fatimah,
berikut ini akan dibahas masalah syair sebagai struktur, sistem tanda, dan jalinan teks
yang fungsional.

Universitas Sumatera Utara

2.2.1 Struktur Fisik Syair
Yang dimaksud dengan struktur fisik syair ialah unsur-unsur yang membentuk
sebuah syair. Unsur tersebut dapat dirasakan melalui indra. Istilah struktur fisik ini sama
dengan istilah metode puisi sebagaimana yang dikatakan oleh Tarigan (1984: 9). Pendapat
ini sejalan dengan pendekatan struktural yang dikemukakan Culler (1983: 259). Dia
memandang karya sastra sebagai unsur-unsur yang tidak otonom, tetapi bersistem dan
koheren. Unsur tersebut beroleh makna dari sistem hubungan tadi. Selanjutnya Tarigan
menjelaskan bahwa unsur struktur fisik puisi itu terdiri atas diksi, imaji, kata konkret,
majas, ritme, dan irama. Unsur-unsur tersebut pun terkandung dalam sebuah Syair.
Jika ditinjau dari segi jumlah baitnya, syair terdiri atas beberapa jenis. Menurut
Al-Kina', dalam buku Majmu' Muhimmatil Mutun, syair yang terdiri atas satu bait disebut
”mufrad", yang terdiri atas 2 bait disebut "nutfah" yang terdiri dari 3 hingga 6 bait disebut
"qit'ah", dan yang terdiri atas 7 bait atau lebih disebut "gurinda," (Piah, 1989:125-130).
Struktur syair sebelum periode modern hanya menganut struktur terikat. Struktur ini
mengikuti pola tertentu dan sistem yang baku. Pola yang diikuti penyair ialah dalam hal
pembaitan, jenis sampiran dan isi.

2.2.2 Struktur Batin Syair
Struktur batin syair (puisi) disebut juga hakikat syair merupakan pasangan struktur
fisik atau metode syair. Yang dimaksud dengan struktur isi ialah unsur-unsur yang

Universitas Sumatera Utara

membentuk kesatuan makna sebuah karya sastra. Tarigan (1984: 10) menyimpulkan
pendapat Richards bahwa unsur struktur isi puisi itu adalah tema, rasa, nada, dan amanat.
Tema merupakan konsep sentral yang dikembangkan di dalam sebuah puisi.
Dengan ungkapan lain, tema merupakan konsep abtsrak yang kemudian menjadi konkret
melalui sarana retorika dan pencitraan. Tema ini merupakan refleksi dari gagasan, citacita, keinginan, dan harapan penyair. Dengan demikian, tema itu dipengaruhi oleh
berbagai unsur yang meliputi seluruh kehidupan penyair.
Adapun rasa merupakan sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang ada
dalam puisinya (Tarigan, 1984: 11). Tentu saja sikap penyair yang satu berbeda dengan
penyair lainnya. Bagi seseorang, kematian anak dihadapinya dengan sikap tabah. Tidak
demikian halnya dengan Ibnu Rumi yang menuduh Allah telah membunuh buah hatinya
dengan sengaja dan melemparkannya dari kerumunan orang. Jadi, sikap Ibnu Rumi
terhadap kematian anaknya yang diungkapkan dalam sya’irnya disebut rasa di dalam
hakikat puisi.
Adapun nada ialah sikap penyair terhadap pembacanya (Tarigan, 1094: 18). Sikap
itu berupa nada mencela, memuji, sinis, dan menasihati. Karya yang dibuat penyair
memiliki nada tertentu terhadap pembacanya. Nada dalam sebuah sya’ir akan
menimbulkan suasana tertentu. Antara nada dan suasana ada hubungan yang erat.
Unsur terakhir dari struktur batin puisi ialah amanat yang ingin disampaikan
penyair. Amanat ini dapat diketahui setelah orang membaca puisinya dan mengetahui rasa
dan nadanya. Amanat inilah yang mendorong si penyair untuk menciptakan syairnya.

Universitas Sumatera Utara

2.2.3 Syair sebagai Sistem Tanda
Eco (2004: 7) mengartikan tanda sebagai sesuatu yang menggantikan sesuatu atau
sesuatu sebagai pengganti sesuatu. Dengan demikian, di balik sesuatu itu, yaitu tanda,
senantiasa ada sesuatu yang lain yang disebut arti. Sesuatu yang menjadi tanda disebut
penanda atau signifier, dan sesuatu yang menjadi arti tanda disebut petanda atau signified.
Menurut Pierce (Sudjiman dan Zoest, 1992: 7) makna tanda yang sebenarnya ialah
mengemukakan sesuatu (representamen). Sesuatu yang dikemukakan, diacu dan
ditunjukan oleh tanda diistilahkannya dengan objek. Tanda tersebut berfungsi
merepresentasikan sesuatu.
Adapun sistem tanda utama yang menggunakan simbol adalah bahasa. Arti simbol
tersebut ditentukan oleh konvensi masyarakat penuturnya. Kemudian Pradopo (1990:
122) mengemukakan bahwa bahasa pada umumnya merupakan sistem tanda tingkat
pertama. Dalam kajian semiotik, arti bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertama itu
disebut meaning (arti). Adapun karya sastra merupakan sistem tanda tingkat kedua dan
artinya ditentukan oleh konvensi sastra. Oleh karena itu, muncullah arti baru yakni arti
sastra. Arti sastra ini merupakan arti dari bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertama.
Meskipun demikian seorang satrawan tidak boleh melepaskan diri dari sistem tanda
tingkat pertama atau dari konvensi bahasa karena hal itu dapat membuat karyanya tidak
dapat dipahami.

2.2.4 Syair sebagai Jalinan Teks

Universitas Sumatera Utara

Pendekatan yang mengasumsikan karya sastra sebagai jalinan teks disebut
intertekstual. Pendekatan ini dipandang efektif untuk mengungkapkan makna suatu karya.
Bahkan Riffaterre (1978: 149) menegaskan bahwa ketuntasan interpretasi terhadap sebuah
puisi hanya dapat dicapai melalui cara interteks. Culler (dalam Riffaterre, 1978: 139)
menatakan

sebuah

karya

hanya

dapat

dipahami

oleh

pembacanya

dengan

mempertentangkkannya dengan karya lain.
Intertekstual dipandang oleh Beckson dan Gauz (dalam Riffaterre, 1978: 129)
sebagai sebuah istilah yang digunakan untuk menunjukkan beberapa persoalan seperti
pengaruh, sumber, sitiran, dan arketipe. Persoalan tersebut mengemukakan "gaung"
beberapa teks yang terdapat dalam sebuah karya. Tidaklah mengherankan apabila Julia
Cristeva, yang telah menggunakan istilah tersebut secara luas, memandang sebuah teks itu
sebagai bangunan mosaik kutipan; "setiap teks merupakan serapan dan transformasi dari
teks lain".

2.3 Teori Semiotik
Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani
semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya diturunkan dari kedokteran
hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik
inferensial. Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya
hal lain. Secara terminologis, semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan dengan
pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda
dan proses yang berlaku bagi tanda (van Zoest, 1993:1). Semiotik merupakan ilmu yang

Universitas Sumatera Utara

mempelajari sederetan luas obyek-obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan
sebagai tanda.
Ahli sastra Teeuw (1984:6) mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak
komunikasi

dan

kemudian

disempurnakannya

menjadi

model

sastra

yang

mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala
susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat mana pun. Semiotik
merupakan cab ang ilmu yang relatif masih baru. Penggunaan tanda dan segala sesuatu
yang berhubungan dengannya dipelajari secara lebih sistematis pada abad kedua puluh.
Para ahli semiotik modern mengatakan bahwa analisis semiotik modern telah diwarnai
dengan dua nama yaitu seorang linguis yang berasal dari Swiss bernama Ferdinand de
Saussure (1857 - 1913) dan seorang filsuf Amerika yang bernama Charles Sanders Peirce
(1839 -1914). Peirce menyebut model sistem analisisnya dengan semiotik dan istilah
tersebut telah menjadi istilah yang dominan digunakan untuk ilmu tentang tanda.
Semiologi de Saussure berbeda dengan semiotik Peirce dalam beberapa hal, tetapi
keduanya berfokus pada tanda. Seperti telah disebutkan di depan bahwa de Saussure
menerbit -kan bukunya yang berjudul A Course in General Linguistics (1913).
Dalam buku itu de Saussure membayangkan suatu ilmu yang mempelajari tandatanda dalam masyarakat. Ia juga menjelas -kan konsep-konsep yang dikenal dengan
dikotomi linguistik. Salah satu dikotomi itu adalah signifier dan signified (penanda dan
petanda). Ia menulis… the linguistics sign unites not a thing and a name,but a concept
and a sound image a sign . Kombinasi antara konsep dan citra bunyi adalah tanda ( sign).
Jadi de Saussure mem-bagi tanda menjadi dua yaitu komponen, signifier (atau citra bunyi)

Universitas Sumatera Utara

dan signified (atau konsep) dan dikatakannya bahwa hubungan antara keduanya adalah
arbitrer.
Semiologi didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku
manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakang
sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda, di
sana ada sistem (Sudjiman dan Zoest, 1991:26). Sekalipun hanyalah merupakan salah satu
cabangnya, namun linguistik dapat berperan sebagai model untuk se-miologi.
Penyebabnya terletak pada ciri arbiter dan konvensional yang dimiliki tanda bahasa.
Tanda -tanda bukan bahasa pun dapat dipandang sebagai fenomena arbiter dan
konvensional seperti mode, upacara, kepercayaan dan lain-lainya. Dalam perkembangan
terakhir kajian mengenai tanda dalam masyarakat didominasi karya filsuf Amerika.
Charles Sanders Peirce (1839 - 1914). Kajian Peirce jauh lebih terperinci daripada tulisan
de Saussure yang lebih programatis. Oleh karena itu istilah semiotika lebih lazim dalam
dunia Anglo-Sakson, dan istilah semiologi lebih dikenal di Eropa Kontinental.
Charles Sanders Peirce adalah seorang filsuf Amerika yang paling orisinal dan
multidimensioanl. Bagi teman-teman sejamannya ia terlalu orisional. Dalam kehidupan
bermasyarakat, teman-temannya membiarkannya dalam kesusahan dan meninggal dalam
kemiskinan Perhatian untuk karya-karyanya tidak banyak diberikan oleh teman-temannya.
Peirce banyak menulis, tetapi kebanyakan tulisannya bersifat pendahuluan, sketsa dan
sebagian besar tidak diterbitkan sampai ajalnya. Baru pada tahun 1931-1935 Charles
Hartshorne dan Paul Weiss menerbitkan enam jilid pertama karyanya yang berjudul

Universitas Sumatera Utara

Collected Papers of Charles Sanders Pierce. Pada tahun 1957, terbit jilid 7 dan 8 yang
dikerjakan oleh Arthur W Burks.
Jilid yang terakhir berisi bibliografi tulisan Pierce. Peirce selain seorang filsuf juga
seorang ahli logika dan Peirce memahami bagaimana manusia itu bernalar. Peirce
akhirnya sampai pada keyakinan bahwa manusia ber pikir dalam tanda. Maka
diciptakannyalah ilmu tanda yang ia sebut semiotik. Semiotika baginya sinonim dengan
logika. Secara harafiah ia mengatakan “Kita hanya berpikir dalam tanda”. Di samping itu
ia juga melihat tanda sebagai unsur dalam komunikasi.
Pierce (dalam Van Zoest, 1996: 8-9) membagi hubungan penanda dan acuannya
atas tiga konsep: (1) ikon, yakni hubungan antara tanda dan acuannya yang memiliki
hubungan kemiripan. Kemiripan yang dimaksudkan adalah kemiripan secara alamiah.
Misalnya, kesamaan potret dengan orang yang diambil fotonya, kesamaan peta dengan
wilayah geografi yang digambarkannya, dan gambar kuda menandai kuda yang nyata; (2)
indeks, yakni hubungan antara tanda dan acuannya yang timbul karena ada kedekatan
eksistensi. Dapat dikatakan terdapat hubungan kausalitas (sebab-akibat) yang bersifat
alamiah. Misalnya, asap menandakan adanya api, dan arah angin menunjukkan cuaca; (3)
simbol, yakni hubungan yang sudah terbentuk secara konvensional. Maksudnya, tanda itu
mengacu pada sesuatu yang telah mendapat kesepakatan masyarakat. Misalnya, lampu
merah menandakan berhenti, dan mengangguk mena ndakan menyetujui atau
membenarkan.
Menurut Peirce kata „semiotika‟, kata yang sudah digunakan sejak abad kedelapan
belas oleh ahli filsafat Jerman Lambert, merupakan sinonim kata logika. Logika harus

Universitas Sumatera Utara

mempelajari bagaimana orang bernalar. Penalaran, menurut hipotesis Pierce yang
mendasar dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda memungkinkan manusia berfikir,
berhubungan dengan orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh
alam semesta. Semiotika bagi Pierce adalah suatu tindakan (action), pengaruh (influence)
atau kerja sama tiga subyek yaitu tanda (sign), obyek (object) dan interpretan
(interpretant).
Pendekatan semiotika Pierce yang menekankan pada jenis-jenis tanda yang utama
yaitu ikon, indeks, dan simbol dapat diterapkan pula untuk mengamati gejala-gejala yang
nampak dalam kehidupan sehari-hari, termasuk tanda-tanda yang dipalsukan. Pemalsuan
tanda-tanda dalam kaitannya dengan aktivitas kehidupan manusia pada dasarnya
mempunyai dua sisi, sisi baik dan sisi tidak baik. Sisi baik dari pemalsuan tanda-tanda
umumnya adalah untuk tujuan kebaikan bersama sedangkan sisi tidak baik umumnya
bertujuan untuk kepentingan pihak pertama saja.

2.3.1 Semiotika Sastra
Strukturalisme dan semiotik umumnya dipandang termasuk dalam suatu bukan
teoretis yang sama. Sebetulnya apa yang dinamakan semiotik sastra bukan merupakan
suatu aliran ilmu sastra. Berbagai aliran seperti strukturalisma dan ilmu sastra linguistik
dapat dinamakan semiotik (Van Luxemburg dkk, 1984: 4446). Semiotik adalah ilmu yang
mempelajari tanda-tanda, sistem-sistem tanda, dan proses suatu tanda diartikan (Hartoko
dan B. Rahmanto, 1986: 131). Dengan kata lain, ilmu yang mempelajari berbagai objek,
peristiwa, atau seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco, 1979: 6). Tanda itu sendiri

Universitas Sumatera Utara

diartikan sebagai sesuatu yang bersifat representatif, mewakili sesuatu yang lain
berdasarkan konvensi tertentu. Konvensi yang memungkinkan suatu objek, peristiwa, atau
gejala kebudayaan menjadi tanda itu disebut juga sebagai kode sosial.
Bila diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat tidak memiliki
arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti(signifiant) dalam
kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa
yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang
bersangkutan. Dalam penelitian sastra biasanya diperhatikan hubungan sintaksis antara
tanda-tanda (strukturalisme) dan hubungan antara tanda dan apa yang ditandakan
(semantik).
Ada beberapa aliran semiotik dalam ilmu sastra, yang diwakili oleh Saussure
(Perancis), Jurij Lotman (Rusia), dan C.S. Pierce (Amerika). Kesamaan utama pandangan
mereka adalah bahwa bahasa merupakan salah satu di antara sekian banyak sistem tanda.
Ada kalanya ditekankan bahwa bahasa merupakan sistem tanda yang paling fundamental.
Pokok-pokok pandangan ketiga teoretisi itu diuraikan berikut ini.
Pierce (1839-1914) adalah seorang filsuf Amerika yang meletakkan dasar bagi
sebuah bidang studi yang disebtu semiotik. Pierce menyebutkan tiga macam tanda sesuai
dengan jenis hubungan antara tanda dan apa yang ditandakan.
1.

Ikon, yaitu tanda yang secara inheren memiliki kesamaan dengan arti yang
ditunjuk. Misalnya, foto dengan orang yang difoto, atau pera dengan wilayah
geografisnya.

Universitas Sumatera Utara

2.

Indeks, yaitu tanda yang mengandung hubungan kausal dengan apa yang
ditandakan. Misalnya asap menandakan adanya api, mendung menandakan
bakal turun hujan.

3.

Simbol atau tanda, yaitu suatu tanda yang memiliki hubungan makna dengan
yang ditandakan bersifat arbitrer, manasuka, sesuai dengan konvensi suatu
lingkungan sosial tertentu. Misalnya bahasa.

Saussure adalah ahli linguistik asal Swiss yang memperkenalkan studi tentang
tanda sebagai semiologi. Menurut Saussure, bahasa adalah sistem tanda, dan tanda
merupakan kesatuan antara dua aspek yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya, yakni
penanda dan petanda. Penanda adalah aspek formal atau bunyi pada tanda itu. Sedangkan
petanda adalah aspek makna atau konseptual dari suatu penanda. Tanda memiliki ciri
arbitrer, konvensional, dan sistematik. Arbitrer atau manasuka misalnya dalam urutan
bunyi k-a-c-a-n-g tidak ada pemikiran atau motif menghubungkan bunyi itu dengan
tanaman tertentu. Kombinasi aspek formal dan konseptual (bunyi “kacang” dengan wujud
kacang sebenarnya) hanya terjadi berdasarkan konvensi sosial yang berlaku dalam bahasa
tertentu saja. Jika kita menyebut “kacang”, orang Inggris menyebutnya “bean” sesuai
dengan konvensi bahasa masing-masing.
Jurij Lotman, seorang ahli semiotik Rusia menyebut bahasa sebagai system tanda
primer yang membentuk model dunia bagi pemakaiannya. Model ini mewujudkan sarana
konseptual bagi manusia untuk menafsirkan segala sesuatu di dalam dan di luar dirinya.
Sastra disebutnya sebagai sistem tanda sekunder. Sastra dan semua cabang seni lainnya

Universitas Sumatera Utara

mempergunakan sistem tanda primer seperti terdapat dalam bahasa alamiah tetapi tidak
terbatas pada tanda-tanda primer saja.
Menganalisis sajak adalah usaha menangkap dan memberi makna kepada teks
sajak. Karya sastra merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang
mempergunakan medium bahasa. Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan
sistem semiotik atau ketandaan , yaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti.
Dalam lapangan semiotik, yang penting yaitu lapangan sistem tanda, adalah
pengertian tanda itu sendiri. Dalam pengertian tanda ada dua prinsip, yaitu penanda
(signifier) atau yang menandai, yang merupakan bentuk tanda, dan petanda (signified)
atau yang ditandai, yang merupakan arti tanda. Berdasarkan hubungan antara penanda dan
petanda, ada tiga jenis tanda pokok yaitu ikon, indeks dan simbol. Hubungan antara ketiga
tanda ini bersifat arbitrer berdasarkan konvensi masyarakat. Sebuah sistem tanda yang
menggunakan lambang adalah bahasa.
Karya sastra merupakan sistem tanda yang berdasarkan konvensi sastra. Karena
sastra merupakan sistem tanda tingkat kedua. Dalam sastra konvensi bahasa disesuaikan
dengan konvensi sastra.dalam karya sastra kata-kata ditentukan oleh konvensi sastra,
sehingga timbul arti baru yaitu arti sastra. Jadi arti sastra itu merupakan arti dari arti,
untuk membedakan arti bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertamadsisebut meaning dan
arti sastra disebut makna (significance).
Makna sajak bukan semata-mata arti bahasanya, melainkan arti bahasa dan
suasana, perasaan, intensitas arti, arti tambahan, daya liris, pengertian yang timbul oleh

Universitas Sumatera Utara

konvensi sastra, misalnya tipografi, enjabement, sajak, barik sajak, ulangan, dan lainnya
lagi.
Makna sajak adalah arti yang timbul oleh bahasa yang disusun berdasarkan
struktur sastra menurut konvensinya, yaitu arti yang bukan semata arti bahasa, melainkan
berisi arti tambahan berdasarkan konvensisastra yang bersangkutan. Memberi makna
sajak berarti mencari tanda-tanda yang memungkinkan timbulnya makna sajak, maka
menganalisis sajak itu tidak lain adalah memburu tanda-tanda, dikemukakan oleh Culler.
Studi semiotik sastra adalah usaha untuk menganalisis sebuah sistem tanda-tanda
dan karena itu menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra
mempunyai arti (Preminger, 1974: 981). Maka dalam menganalisis sajak terutama dicari
tanda-tanda yang lain yang merupakan konvensi tambahan dalam puisi.

2.3.2 Tanda: Penanda dan Petanda
Wardoyo (2005: 1) mengatakan semiotics is the science of signs. Masalahnya
adalah bagaimana tanda (sign) dapat diidentifikasikan. Untuk dapat mengidentifikasi
sebuah tanda, terlebih dahulu harus dipahami hakikat dari sebuah tanda (sign). Dalam
semiotik, tanda bisa berupa kata-kata, kalimat, atau gambar yang bisa menghasilkan
makna.
Dalam hubungannya dengan tanda, Saussure mempunyai peranan penting dalam
mengidentifikasikan sebuah tanda. Saussure dalam Pilliang (2003: 90) menjelaskan
“tanda” sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari dua bidang seperti halnya
selembar kertas, yaitu bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi

Universitas Sumatera Utara

dan bidang petanda (signified) untuk menjelaskan konsep atau makna. Saussure
meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan pemilahan antara penanda
(signifier) dan petanda (signified). Penanda wujud materi tanda tersebut. Petanda adalah
konsep yang diwakili oleh penanda yaitu artinya. Contohnya, kata ‘ayah’ merupakan
tanda berupa satuan bunyi yang menandai arti ‘orang tua laki-laki’.
Berkaitan dengan proses pertandaan seperti di atas, Saussure menekankan
perlunya semacam konvensi sosial (social convention) di kalangan komunitas bahasa,
yang mengatur makna sebuah tanda. Satu kata mempunyai makna tertentu disebabkan
adanya kesepakatan sosial di antara komunitas pengguna bahasa (Pilliang, 2004: 90).
Sementara itu, seorang tokoh semiotik lain, Charles Sanders Peirce (1839–1914)
mengemukakan pendapatnya mengenai tanda. Menurut Peirce, dalam pengertian tanda
terdapat dua prinsip, yaitu penanda (signifier) atau yang menandai dan petanda (signified)
atau yang merupakan arti tanda. Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda,
tanda terdiri atas tiga jenis. Jenis-jenis tanda tersebut adalah ikon, indeks, dan simbol
(Zoest, 1993:23-24). Ikon adalah tanda yang memperlihatkan adanya hubungan yang
bersifat alami antara penanda dengan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan
persamaan. Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat)
antara penanda dengan petandanya. Simbol adalah tanda yang tidak memiliki hubungan
alamiah antara penanda dengan petandanya, melainkan hubungan yang ada bersifat
arbitrer. Ketiga tanda tersebut merupakan peralatan semiotik yang fundamental.
Lebih lanjut, Peirce mengemukakan bahwa proses semiosis terjadi karena adanya
tiga hal, yaitu ground, representamen, dan interpretan. Peirce melihat tanda dengan mata

Universitas Sumatera Utara

rantai tanda yang tumbuh. Oleh karena itu, Peirce sengat lekat dengan konsep
pragmatisme.
Pragmatisme sebagai teori makna menekankan hal-hal yang dapat ditangkap dan
mungkin berdasarkan pengalaman subjek. Dasar pemikiran tersebut didasarkan dijabarkan
dalam bentuk tripihak (triadic) yakni setiap gejala secara fenomenologis mencakup tiga
hal. Pertama, bagaimana sesuatu menggejala tanpa harus mengacu pada sesuatu yang lain
(qualisigns, firstness, in-itselfness). Kedua, bagaimana hubungan gejala tersebut dengan
realitas

di

luar

dirinya

yang

hadir

dalam

ruang

dan

waktu

(sinsigns,

secondness/overagainstness).
penanda + petanda = tanda

Ketiga, bagaimana gejala tersebut dimediasi, direpresentasi, dikomunikasikan, dan
“ditandai” (legisigns, thirdness/in-betweenness) (Lihat Christomy, 2004: 115-116).

2.4 Semiotika Budaya
Semiotik berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotik
memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure dan Charles Sander Peirce. Kedua
tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika dalam bidang yang berbeda secara
terpisah. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan
Saussure adalah linguistik, sedangkan Peirce dikenal sebagai ahli filsafat. Saussure
menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi. Hal ini sesuai dengan pernyataan
berikut. Adapun semiotik itu (kadang-kadang juga dipakai istilah semiologi) ialah ilmu

Universitas Sumatera Utara

yang secara sistematik mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang (semeion, bahasa
Yunani = tanda), sistem-sistem lambang dan proses-proses perlambangan (luxemburg,
1984:44).
Tokoh yang dianggap pendiri semiotik adalah dua orang yang hidup sezaman,
yang bekerja dalam bidang yang terpisah dan dalam lapangan yang tidak sama (tidak
saling mempengaruhi), yang seorang ahli linguistik yaitu Ferdinand de Saussure (18571913) dan seorang ahli filsafat yaitu Charles Sander Peirce (1839-1914). Saussure
menyebut ilmu semiotik dengan nama semiologi, sedangkan Pierce menyebutnya
semiotik (semiotics). Kemudian hal itu sering dipergunakan berganti-ganti dengan
pengertian yang sama. Di Perancis dipergunakan nama semiologi untuk ilmu itu, sedang
di Amerika lebih banyak dipakai nama semiotik (Pradopo, 2005:119).
The core of Saussurres contribution to semiotics is the project for a general
theory of sign systems which he called semiology. The term semiologie
was apparently coined by Saussure himself to designate the “not yet
exiting” general science of sign (cf. Engler 1980). An alternative term
suggested in a different context was signologie. Semiology is not to be
confounded with semantics, the study of meaning in language. Saussurre
gave the following out line of his project of a future semiology: a science
that studies the life of sign within society is conceivable:[….] I shall call it
semiology (from Greek semeion „sign). Semiology would show what
constitutes signs, what laws govern them. Since the science does not yet
exist, no one can say what it would be: but it has a right to existence, a
place staked out in advance (North, 1990:57).
Inti dari kontribusi semiotik Saussure adalah rancanan bagi teori umum
tentang system tanda yang disebut semiologi. Istilah semiologi muncul
diciptakan oleh Saussure sendiri untuk menandai belum adanya ilmu
pengetahuan umum tentang tanda. Sebuah istilah alternatif yang
diperkirakan dalam konteks yang berbeda adalah signologi. Semiologi
tidaklah menjadi hal yang luar biasa daripada semantik, yang mempelajari
arti dalam bahasa. Saussure memberikan kerangka pemikirannya mengenai
masa depan semiologi, yakni: sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari
tentang kehidupan sebuah tanda dalam masyarakat yang dapat dipikirkan

Universitas Sumatera Utara

[……] saya akan menyebutnya sebagai semiologi (berasal dari bahasa
Yunani semion “tanda”) semiologi akan menunjukkan apakah yang
mendasari tanda-tanda itu, apakah hukum/undang-undang yang
mengaturnya. Semenjak ilmu pengetahuan belum eksis tidak ada seorang
pun yang dapat mengatakan apakah yang akan terjadi: tapi dia memiliki
eksistensi yang bagus, sebuah tempat yang mengintai kemajuan (North,
1990: 57).

Menurut Saussure, tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat
dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda di sana ada sistem. Artinya,
sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh
indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk dan aspek lainnya
yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung
di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan
oleh aspek pertama. Lebih lanjut dikatakannya bahwa penanda terletak pada tingkatan
ungkapan (level of expression) dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti
bunyi, huruf, kata, gambar, warna, obyek dan sebagainya. Petanda terletak pada level of
content (tingkatan isi atau gagasan) dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan
ungkapan. Hubungan antara kedua unsur melahirkan makna.
Peirce, semiotic is the doctrine of the essential nature and fundamental
varieties of possible semiosis the term semiosis is derived from a treatise
of the Epicurean philoshoper Philodemus. Pierce explained that “semiosis
mean the action of almost any kind of sign and my definition confers on
anything that so act the title of sign (North,1990:42)
Menurut Peirce, semiotik adalah pembelajaran mengenai sifat-sifat dasar
dan variasi asas-asas yang memungkinkan dalam semiosis. Istilah semiosis
berasal dari risalah Epicurean filosofis Philodemus. Pierce menjelaskan
bahwa semiosis mengandung makna perbuatan yang hampir terdapat
dalam berbagai macam tanda dan pengertian saya ini merujuk pada sesuatu
perbuatan yang berlabel tanda (North, 1990:42)

Universitas Sumatera Utara

Menurut Pierce, tanda (representamen) ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu
yang lain dalam batas-batas tertentu. Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain,
oleh Pierce disebut objek (denotatum). Mengacu berarti mewakili atau menggantikan.
Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui
interpretant. Jadi interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima
tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap dan
pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu
masyarakat.
Peirce: signs the axiom that cognition, thought, and even man are semiotic
in their essence.. like a sign, a thought refers to other thoughts and objects
of the word so that „all which is reflected upon has [a] past”. Peirce even
went so far as to conclude that “the fact that every thought is a sign, taken
in conjunction with the fact that life is a train of thought, proves that man
is a sign” (North, 1990: 41)
Menurut Peirce, pada intinya tanda-tanda dasar kognisi, pikiran, dan
bahkan seseorang merupakan semiotic mereka…sebuah tanda misalnya.
Pikiran akan mengacu kepada pikiran yang lain dan begitu juga objek pada
sebuah kata, karena „semua yang digambarkan memiliki [sebuah] masa
lalu. Peirce bahkan pergi jauh-jauhnya untuk menyimpulkan bahwa
“kenyataan yang ada di dalam setiap pikiran itu merupakan sebuah tanda,
diterima bersama dengan kenyataan bahwa hidup merupakan sebuah
jalannya pikiran, membuktikan bahwa seseorang itu adalah tanda” (North,
1990: 41)

Semiotik (semiotika) adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap
bahwa fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik
mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan
tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam kritik sastra, penelitian semiotik meliputi
analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada (diukan)

Universitas Sumatera Utara

konvensi- konvensi tambahan dan meneliti ciri-ciri (sifat-sifat) wacana yang mempunyai
makna (Pradopo, 2005:119). ”Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda
(sign), berfungsinya tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi
seseorang berarti sesuatu yang lain ”(Zoest, 1993:18).
Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati
dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa,
tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua
ini dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu
keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa
memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkai
bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, berbicara cepat, berjalan sempoyongan,
menatap, api, putih, bentuk, bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan,
kekhawatiran, kelengahan, semuanya itu dianggap sebagai tanda.
Tanda dalam hubungan dengan acuannya dibedakan menjadi tanda yang dikenal
dengan ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang antara tanda dengan acuannya
ada hubungan kemiripan dan biasa disebut metafora. Contoh ikon adalah potret. Bila ada
hubungan kedekatan eksistensi, tanda demikian disebut indeks. Contoh indeks adalah
tanda panah petunjuk arah bahwa di sekitar tempat itu ada bangunan tertentu. Simbol
adalah tanda yang diakui keberadaannya berdasarkan hukum konvensi. Contoh simbol
adalah bahasa tulisan. Ikon, indeks, simbol merupakan perangkat hubungan antara dasar
(bentuk), objek (referent) dan konsep (interpretan atau reference). Bentuk biasanya

Universitas Sumatera Utara

menimbulkan persepsi dan setelah dihubungkan dengan objek akan menimbulkan
interpretan. Hal ini dijelaskan Pradopo (2005:120) sebagai berikut.
”Tanda itu tidak hanya satu macam saja, tetapi ada beberapa berdasarkan
hubungan antara penanda dan petandanya. Jenis-jenis tanda yang utama
ialah ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang menunjukkan
adanya hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan petandanya.
Hubungan itu adalah hubungan persamaan, misalnya gambar kuda sebagai
penanda yang menandai kuda (petanda) sebagai artinya. Potret menandai
orang yang dipotret, gambar pohon menandai pohon. Indeks adalah tanda
yang menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara penanda dan
petandanya, misalnya asap menandai api, alat penanda angin menunjukkan
arah angin, dan sebagainya. Simbol adalah tanda yang menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya,
hubungannya bersifat arbitrer (semau-maunya). Arti tanda itu ditentukan
oleh konvensi. 'Ibu' adalah simbol, artinya ditentukan oleh konvensi
masyarakat bahasa (Indonesia). Orang Inggris menyebutnya mother,
Perancis menyebutnya la mere, dsb. Adanya bermacam-macam tanda
untuk satu arti itu menunjukkan "kesemena-menaan" tersebut. Dalam
bahasa, tanda yang paling banyak digunakan adalah simbol.” Selanjutnya
dikatakan Pradopo (2005) bahwa dalam penelitian sastra dengan
pendekatan semiotik, tanda yang berupa indekslah yang paling banyak
dicari (diburu), yaitu berupa tanda-tanda yang menunjukkan hubungan
sebab-akibat (dalam pengertian luasnya). Semiotik merupakan lanjutan
dari penelitian strukturalisme. Hubungan antara semiotik dan
strukturalisme adalah sebagai berikut. ”

Keterangan ini akan menjelaskan bagaimana sebenarnya hubungan antara
semiotik dan strukturalisme.
a) Semiotik digunakan untuk memberikan makna kepada tanda-tanda sesudah suatu
penelitian struktural.
b) Semiotik hanya dapat dilaksanakan melalui penelitian strukturalisme yang
memungkinkan kita menemui tanda-tanda yang dapat memberi makna (Junus,
1988: 98).

Universitas Sumatera Utara

Lebih lanjut Junus (1988: 98) menjelaskan bahwa pada (a) semiotik merupakan
lanjutan dari strukturalisme. Pada (b) semiotik memerlukan untuk memungkinkan ia
bekerja. Pada (a), semiotik seakan apendix ’ekor‟, kepada strukturalisme. Tapi tidak
demikian halnya pada (b). Untuk menemukan tanda, sesuai dengan pengertian sebagai
ilmu mengenai tanda. Semiotik tidak dapat memisahkan diri dari strukturalisme, ia
memerlukan strukturalisme . dan sekaligus, semiotik juga menolong memahami suatu
teks secara strukturalisme.” Keterangan di atas menunjukkan bahwa strukturalisme tidak
dapat dipisahkan dengan semiotik, karena sastra itu merupakan struktur tanda-tanda yang
bermakna.
Dalam perkembangan ilmu sastra, beberapa teoritisi sastra menganggap bahwa
semiotik dapat dijadikan sebagai salah satu alat untuk memperkuat sebuah analisis karya
sastra setelah sebelumnya dilakukan terlebih dahulu analisis secara struktural. Seperti
dikemukakan oleh Zaimar (1990 : 24) bahwa analisis struktural akan berhasil
menampilkan bentuk karya, serta pelanggaran-pelanggaran terhadap konvensi karya sastra
yang terdapat di dalamnya, namun analisis struktural tidak dapat memecahkan masalah
pemahaman karya. Itulah sebabnya dilakukan analisis semiotik.
Berdasarkan uraian di atas, maka analisis semiotik prosa fiksi yang harus
dilakukan adalah melihat semua struktur sebagai tanda. Penganalisis harus selalu bertanya
apakah tokoh, latar, alur, dan pengaluran, dan penceritaan di dalamnya itu merupakan
sebuah tanda/simbol atau bukan. Setelah melihat unsur-unsur itu sebagai simbol, simbolsimbol tersebut dideskripsikan berdasarkan konteksnya. Kemudian dilakukan klasifikasi
berdasarkan deskripsi tadi dan ditafsirkan maknanya. Ketika melihat tanda-tanda tersebut,

Universitas Sumatera Utara

adakalanya tanda-tanda tersebut berkaitan dengan teks-teks yang lain. Oleh karena itu,
untuk memahami makna teks tersebut harus selalu dikaitkan dengan teks yang dirujuknya
tadi.
Dalam bukunya, Semiotics of Poetry, Reffaterre (1978) menjelaskan teorinya
tentang semiotika budaya dalam puisi. Buku ini terbagi ke dalam lima bab: The Poem s
Significance , Sign Production , Text Production , Interpretant , Textual Semiotics , dan
Conclusion . Untuk keperluan makalah ini empat bab yang pertama sudah mencukupi.
Empat bab tersebut dapat diringkas sebagai berikut.
a. Significance
Reffaterre membedakan antara meaning (arti) dan significance (makna). Ciri-ciri
puisi adalah kepaduannya, secara formal dan semantik. Dia menyebut kepaduan formal
dan semantik ini significance. From the standpoint of significance text is one semantic
unit. From the standpoint of meaning text conveys a string of successive information
units, the language is referential . Arti adalah yang dirujuk oleh teks pada tataran mimetic.
Ciri dasar mimesis adalah bahwa ia menghasilkan urutan semantik yang terus-menerus
berubah. Puisi mentranrsformasikan teks pada tataran ini ke tataran yang tinggi, yaitu ke
tataran semiosis yang di dalamnya yang semula merupakan kompleks pemaknaan
ditransformasikan ke unit pemaknaan.
Puisi merupakan transformasi matrix, sebuah kalimat minimal dan literal, menjadi
periphrases yang compleks dan nonliteral. Matriks itu dapat dinyatakan dalam satu kata
.yang mungkin tidak muncul dalam teks. Kata itu selalu diaktualisasikan ke dalam varian
yang berturut-turut; bentuk-bentuk dari varian ini ditentukan oleh aktualisasi yang

Universitas Sumatera Utara

pertama atau yang utama yang menjadi model aktualisasi. Matrix, model, dan teks adalah
varian dari struktur yang sama. Matriks merupakan motor, generator bagi derivasi
tekstual, sementara model menentukan cara (manner) derivasi itu
Pendeknya, pada tataran mimetik arti kata bergantung sepenuhnya pada sintaks
dan posisi, kata-kata itu menambahkan informasi ke informasi sebelumnya, dan satusatunya rujukan umumnya paling-paling adalah sistem deskriptif yang melayani distribusi
representasi yang sesuai (compatible) sepanjang kalimat. Pada tataran semiotik,
kebalikannya, kata-kata mengulang informasi yang sama, b