Mitologi Melayu Dalam Syair Dendang Siti Fatimah Pada Masyarakat Melayu Binjai Timur: Kajian Strukturalisme
MITOLOGI MELAYU DALAM SYAIR DENDANG SITI
FATIMAH PADA MASYARAKAT MELAYU BINJAI TIMUR:
KAJIAN STRUKTURALISME
Tesis
Oleh
107009030/LNG
ASMAN , S.S.
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012
(2)
MITOLOGI MELAYU DALAM SYAIR DENDANG SITI
FATIMAH PADA MASYARAKAT MELAYU BINJAI TIMUR:
KAJIAN STRUKTURALISME
TESIS
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Megister Sains Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
107009030/LNG
ASMAN , S.S.
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012
(3)
Telah diuji pada
Tanggal 31 Agustus 2012
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.. Anggota : 1. Dr. Asmyta Surbakti, M.Si
2. Dr. Masdiana Lubis, M.Hum 3. Dr. T.Thyrhaya Zein, M.A.
(4)
Judul Tesis :MITOLOGI MELAYU DALAM SYAIR DENDANG SITI FATIMAH PADA MASYARAKAT MELAYU
BINJAI TIMUR: KAJIAN STRUKTURALISME
Nama Mahasiswa : A s m a n
Nomor Pokok : 107009030
Program Studi : Linguistik
Konsentrasi : Analisis Wacana Kesusastraan
Menyetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. Dr. Asmyta Surbakti, M.Si
Ketua Anggota
Ketua Program Studi, Direktur,
Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. Prof.Dr.Ir.H.A.Rahim Matondang, MSIE
(5)
PERNYATAAN
TESIS
MITOLOGI MELAYU DALAM SYAIR DENDANG SITI
FATIMAH PADA MASYARAKAT MELAYU BINJAI TIMUR:
KAJIAN STRUKTURALISME
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Program Studi Lingusitik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah merupakan hasil karya sya sendiri.
Adapaun pengutipan yang saya lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan Tesis ini, telah saya cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian Tesis ini bukan hasil karya saya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Medan. Oktober 2012
(6)
RIWAYAT HIDUP
Nama : A s m a n
Tempat, Tanggal Lahir : Binjai, 01 Desember 1969
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : I s l a m
Alamat : Jln. Pintu Air IV Gg. Ternak nomor 5B Kwala
Bekala, Medan Johor 20155
Pendidikan Formal : 1. 1977-1983 SD Inpres Binjai
2. 1983-1986 SMP N 2 Binjai
4. 1986-1989 SMA N 1 Binjai
5. 1991-1995 Fakultas Sastra Sastra Melayu
Universitas Sumatera Utara (Sarjana/S1)
6. 2010-2012 Sekolah Pasca Sarjana USU Medan
Pekerjaan : 1.Guru Bahasa Indonesia di SMA Perguruan Al-
Azhar Medan (1999-2005)
2. Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMA
Al- Azhar Medan (2005-2008)
3. Kepala Sekolah SD Al-Azhar Medan (2008-1010)
4. Guru Bahasa Indonesia di SMA Plus Perguruan
Al-Azhar Medan (2010-2012)
(7)
ABSTRAK
Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang Mitologi Melayu dalam Syair Dendang Siti Fatimah pada masyarakat Melayu Binjai Timur Sumatera Utara. Tradisi Syair Dendang Siti Fatimah merupakan identitas budaya etnik Melayu Binjai Timur yang di dalamnya banyak terkandung nilai-nilai luhur dan religi, seharusnya tetap dilestarikan oleh masyarakat Binjai Timur. Akan tetapi, kenyataannya dalam kemajuan iptek dan budaya saat ini, tradisi Syair Dendang Siti Fatimah ini sudah mulai ditinggalkan.
Semua nilai-nilai yang terkandung dalam syair ini sangat perlu sekali diterapkan dan dikembangkan dalam kehidupan kita khususnya masyrakat Melayu sehingga dapat menjadi kearifan lokal sekaligus menjadi resistensi budaya dari pengaruh asing yang tidak sesuai dengan norma masyarakat kita.
Masalah yang diteliti dirumuskan dalam dua pertanyaan berikut ini. (1) Bagaimanakah bentuk-bentuk mitos Melayu yang terdapat pada teks Syair Dendang Siti Fatimah ini sebagai resistensi budaya di Kecamatan Binjai Timur?.(2) Bagaimanakah bentuk-bentuk Ideologi dari Syair Dendang Siti Fatimah saat ini di Kecamatan Binjai Timur? Tesis ini menggunakan pendekatan strruktural-semiotik, artinya sebuah syair dapat dikaji dengan menghubungkan aspek-aspek struktural dangan tanda-tanda. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori semiotika budaya untuk menganalisis permasalahan pertama dan kedua. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik observasi, wawancara, dan studi pustaka. Hasil penelitian ini menunjukkan bentuk-bentuk mitos Melayu dan ideologi Islam dalam masyarakat Melayu Binjai Timur. Masyarakat Binjai Timur menjalankan tradisi Syair Dendang Siti Fatimah ini dengan satu keyakinan, bahwa semua mitos yang dikandungnya adalah sebuah kebenaran yang patut diyakini kebenarannya. yang ditemukan dalam Syair Dendang Siti Fatimah ini seluruhnya adalah mitos pengukuhan (myth of concern).
Terdapat beberapa bentuk mitos dalam syair ini, yakni mempercayai akan kebenaran adanya Allah sebagai pencipta alam semesta, kemudian percaya akan adanya Malaikat Allah, kemudian percaya akan adanya Rasul Allah dan Muhammad adalah rasul akhir zaman, lalu percaya kepada adanya Kitab-Kitab Suci Allah (taurat, injil, dan Al-quran), kemudian percaya akan adanya hari akhir atau hari kiamat (hari pembalasan), dan terakhir percaya akan adanya takdir Allah (ketetapan yang tidak dapat dirubah oleh siapapun). Selain itu disebutkan juga tentang mitos tentang kejadian asal usul manusia di dalam rahim ibu berkat kuasa Allah sebagi Tuhan yang Maha mencipta.
Sedangkan ideologi yang ditemukan dalam Syair Dendang Siti Fatimah ini adalah ideologi pengarang dan ideologi Islamisme yang terdiri dari ideologi Islam manusiawi dan ideologi Islam Fitrah manusia, serta ideologi sosialis.
(8)
ABSTRACT
This thesis is the result of research on Malay mythology in the poem Dendang Siti Fatimah's Malay community Binjai in Eastern North Sumatra. Siti Fatimah Dendang poem tradition is the cultural identity of ethnic Malay East Binjai in which are contained the noble values and religion, should remain preserved by the people of East Binjai.However, the facts in the progress of science and technology and culture today, the tradition of Poetry Dendang Siti Fatimah is already becoming obsolete.
The purpose of the poem Dendang Siti Fatimah tradition is to provide instruction and education of the science of divinity and devotion to parents who have instilled early on to our children to always love God and his mother and father. All of the values contained in this verse is very essential to be applied and developed in our lives especially the Malay society so that local knowledge can be both a cultural resistance from foreign influences that do not conform to the norms of our society.
The problem under study is formulated in the following two questions. (1) How Malay myth forms contained in the text of this poem Dendang Siti Fatimah as cultural resistance in the Eastern District of Binjai?. (2) How Ideology forms of verse Dendang Siti Fatimah today in the District of East Binjai? This thesis strruktural-semiotic approach, meaning that a poem can be assessed by linking the structural aspects of the view of the signs. The theory used in this research is the theory of cultural semiotics to analyze the first and second issues. This study used qualitative methods. Data collection in this study was done by using observation, interviews, and literature. The results of this study indicate the forms of myth and ideology in Malay Malay society Binjai East. Community East Binjai running tradition Dendang Siti Fatimah's poem with the belief that all myths it contains is believed to be a truth that deserves the truth. found in the poem is entirely Dendang Siti Fatimah was the inaugural myth (myth of concern).
Here are some myths in the form of this poem, which believe in the truth of God as creator of the universe, then believe in the existence of angels of God, and believed in the Messenger of Allah and Muhammad is the apostle of the end times, and believe in the Scriptures of God (the law , gospel, and the Qur'an), and believed in the hereafter or the Hour (day of Judgment), and the last believed in destiny Allah (provision can not be changed by anyone). n addition it also mentioned about the myth of the origin of human events in the womb due to the power of the Lord God Almighty As with creation.
Hile ideology is found in verse Dendang Siti Fatimah is the ideology of the author and the ideology of Islamism that consists of Islamic ideology and the ideology of Islamic human Human nature, as well as the socialist ideology.
(9)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur bagi Allah yang telah memberi kemudahan dan kemurahan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
Tesis ini penulis beri judul “Mitologi Melayu Dalam Syair Dendang Siti Fatimah Pada Masyarakat Melayu Binjai Timur: Kajian Strukturalisme.” Tesis ini membicarakan bentuk-bentuk mitos Melayu dan bentuk-bentuk ideologi yang terkandung dalam Syair Dendang Siti Fatimah pada masyarakat Melayu Binjai Timur. Tesis ini merupakan tugas akhir untuk memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik Konsentrasi Analisis Wacana
Kesusastraanpada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Apa yang penulis lakukan ini adalah sedikit sumbangan bagi kelangsungan
puisi Melayu lama dalam bentuk Syair. Sekaligus pelestarian sebuah tradisi lisan
pada masyarakat Melayu Binjai Timur yang selama ini sudah kurang mendapat
perhatian dari masyarakat. Kemudian kajian ini juga merupakan suatu wadah untuk
memperkenalkan Syair Dendang Siti Fatimah kepada masyarakat luas agar lebih
dikenal. Di sisi lain penulisan tesis ini merupakan realisasi dari pengetahuan penulis
khususnya bidang Konsentrasi Analisis Wacana Kesusastraan pada Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Dalam penyelesaian penulisan tesis ini sudah jelas penulis mengalami
(10)
lapangan yang jelas mengalami benturan pendanaan. Di lapangan penulis harus
bekerja keras untuk mendapatkan keterangan dan sumber data yang lengkap. Namun,
semua hambatan dan rintangan itu dapat penulis atasi berkat usaha dan tekad penulis
yang sungguh-sunguh. Semuanya itu tentu tidak terlepas dari bimbingan dan arahan
dari dosen pembimbing penulisan tesis ini. Selain itu penyelesaian tesis ini juga tidak
terlepas dari bantuan para informan dan aparat Kelurahan dan Kecamatan Binjai
Timur yang telah memberikan izin kepada penulis serta dorongan semangat dari
orang tua penulis sendiri.
Penulis telah berusaha untuk menjaga keilmiahan tesis ini, namun tidak ada
gading yang tak retak. Demikian jugalah penulisan tesis ini tidak luput dari kelemahan dan kekurangan. Kelemahan dan kekurangannya itu sudah menjadi
tanggung jawab penulis. Namun begitu, demi untuk penyempurnaan tesis ini penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pihak yang ingin menyumbangkan pemikirannya.
Semoga penulisan tesis ini bermanfaat bagi penulis dan bagi masyarakat Melayu
Binjai Timur khususnya dan pembaca umumnya.
Akhirnya, penulis mengucapkan terima kepada semua pihak yang telah
membantu penyelesaian tesis ini. Wassaalamualaikum warahmatullahi wabarakatu.
Medan, Agustus 2012
Penulis
(11)
UCAPAN TERIMA KASIH
Di dalam penyelesaikan tesis ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik moril maupun material. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada pihak-pihak berikut ini.
1. Prof.Dr.Syahril Pasaribu,DTMH,M.Sc (CTM), SpA(K)
2. Prof.Dr.Ir.H.A.Rahim Matondang,MSIE. selaku Direktur Pascasarjana USU beserta Staf Akademik dan Administrasinya.
selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.
3. Prof.T.Silvana Sinar,M.A.,Ph.D. selaku Ketua Program Studi Magister Linguistik Konsentrasi Analis Wacana Kesusastraan USU beserta Dosen dan Staf Administrasinya..
4. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. selaku Dosen Pembimbing I 5. Dr. Asmyta Surbakti, M.Si. selaku Dosen Pembimbing II
6. Dr. Drs. Syahron Lubis, M.A. selaku Dosen yang menjabat Dekan Fakultas Sastra USU Medan.
7. Dr. T.Thyrhaya Zein, M.A. selaku dosen penguji 8. Dr. Masdiana Lubis, M.Hum. selaku dosen penguji
9. Segenap Dosen Di Program Studi Magister Linguistik, Sekolah Pascasarjana USU Medan
10.Sahabat mahasiswa Program Studi Magister Linguistik, Sekolah Pascasarjana USU angkatan 2010/2012. Antara lain Syaiful Hidayat yang berwibawa, Meri Hutagaol yang kocak, Sri Khairani yang polos, Zahra, Qisti, Syafii yang kreatif,
(12)
kak Rospita Uli yang rajin, Nurul Azmi yang pintar, Dona, Tolha, Adi, Rani, Mutia, dan lain –lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
11.Teman seprofesi penulis SMA perguruan Al-Azhar Medan.
12.Ibunda dan ayahanda tercinta( Maliah dan Nurali) yang selalu mendoakan Penulis 13.Mertua Tercinta Sapon yang selalu mendukung secara moral dan material kepada
penulis
14.Istri Tercinta Sri Muliani yang terus memberikan dukungan moral dan material kepada penulis.
15.Anak-anak tercinta Balqis Melza Asri, Zaid Mukshit, Umam Rasid Tifada sebagai jambangan mata penulis, dan memberikan memotivasi penulis.
16.Abang Dariantto yang mendukung secara moral dan makaterial kepada penulis. 17.Pihak-pihak yang tidak disebutkan dalam tesis ini.
Penulis tidak dapat membalas semua kebaikan dan bantuan yang telah diberikan, sehingga selesainya tesis ini. Untuk itu penulis hanya dapat berserah diri kepada Allah Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang, untuk membalas semua kebaikan dengan pahala yang berlipat ganda. Semoga Allah SWT memberikan kemurahan rezeki dan kemudahan jalan hidup bagi kita. Amin.
Medan, Agustus 2012 Penulis,
(13)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK...i
ABSTRACT...ii
KATA PENGANTAR...iii
UCAPAN TERIMA KASIH...v
DAFTARISI...vii
DAFTAR LAMPIRAN...xi
BAB PENDAHULUAN...1
1.1 Latar Belakang...1
1.2 Rmusan Masalah...14
1.3 Tujuan Penelitian... 15
1.4 Manfaat Penelitian...15
1.4.1 Manfaat Teoretis...15
1.4.2 Manfaat Praktis...16
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, dan LANDASAN TEORI...17
2.1 Kajian Pustaka...17
2.2 Konsep...21
2.2.1 Mitologi...21
2.2.2 Budaya Melayu.Langkat...25
2.3 Landasan Teori...28
(14)
2.3.2 Teori Semiotika... 32
BAB III METODOLOGI PENELITIAN...38
3.1 Data dan Sumber Data...38
3.2 Prosedur Pengumpulan dan Perekaman Data ...39
3.3 Pendekatan dan Metode Yanng digunakan...39
3.4 Analisa Data...41
3.5 Pemeriksaan dan Pengecekan Keabsahan Data...45
3.6 Lokasi Penellitian dan Waktu Penelitian...46
BAB IV GAMBARAN UMUM TENTANG SYAIR DENDANG SITI FATIMAH DAN MELAYU BINJAI TIMUR 4.1 Gambaran Umum Melayu Binjai Timur...48
4.1.1 Letak Geografis...48
4.1.2 Demografi...50
4.1.3 Agama ...56
4.1.4 Bahasa dan Kesenian...57
4.1.4.1. Bahasa...57
4.1.4.2 Kesenian...59
4.2 Pengenalan Syair Dendang Siti Fatimah...60
4.2.1 Pengertian...60
4.2.2 Asal Usul... 63
4.2.3 Tipografi ...67
(15)
Timur…...70
4.4 Transkrip Syair Dendang Siti Fatimah...75
BAB V PEMBAHASAN DATA TEMUAN PENELITIAN...80
5.1 Menganalisis Bentuk-bentuk Mitos Melayu dalam Syair Dendang Siti Fatimah Pada masyarakat Melayu Binjai Timur Dengan Pendekatan Semiotika Riffaterre... ….80
5.1.1 Pembacaan Heuristik...81
5.1.2 Pembacaan Hermeneutik...93
5.1.3 Bentuk-bentuk Mitos-mitos Melayu dalam Syair Dendang Siti Fatimah Kecamatan Binjai...…...115
5.2 Bentuk-bentuk Ideologi dalam Syair Dendang Siti Fatimah di Kecamatan BinjaiTimur…………...………...……...133
5.2.1 Ideologi Pengarang, yakni Idiologi yang Berdasarkan Penutur Karya SubjekatauPenuturkaryaSastra...135
5.2.2 Ideologi Islamisme, yakni Ideologi yang Berdasarkan Konsep Pemikirannya...144
5.3.3 Idiologi Sosialis, yakni Idiologi yang Berdasarkan Konsep Pemikiranya...148
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN……...149
6.1 Simpulan...149
6.2 Saran...150
(16)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Daftar Informan...157
2. Daftar Pertanyaan...160
3. Peta Binjai Timur...162
(17)
ABSTRAK
Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang Mitologi Melayu dalam Syair Dendang Siti Fatimah pada masyarakat Melayu Binjai Timur Sumatera Utara. Tradisi Syair Dendang Siti Fatimah merupakan identitas budaya etnik Melayu Binjai Timur yang di dalamnya banyak terkandung nilai-nilai luhur dan religi, seharusnya tetap dilestarikan oleh masyarakat Binjai Timur. Akan tetapi, kenyataannya dalam kemajuan iptek dan budaya saat ini, tradisi Syair Dendang Siti Fatimah ini sudah mulai ditinggalkan.
Semua nilai-nilai yang terkandung dalam syair ini sangat perlu sekali diterapkan dan dikembangkan dalam kehidupan kita khususnya masyrakat Melayu sehingga dapat menjadi kearifan lokal sekaligus menjadi resistensi budaya dari pengaruh asing yang tidak sesuai dengan norma masyarakat kita.
Masalah yang diteliti dirumuskan dalam dua pertanyaan berikut ini. (1) Bagaimanakah bentuk-bentuk mitos Melayu yang terdapat pada teks Syair Dendang Siti Fatimah ini sebagai resistensi budaya di Kecamatan Binjai Timur?.(2) Bagaimanakah bentuk-bentuk Ideologi dari Syair Dendang Siti Fatimah saat ini di Kecamatan Binjai Timur? Tesis ini menggunakan pendekatan strruktural-semiotik, artinya sebuah syair dapat dikaji dengan menghubungkan aspek-aspek struktural dangan tanda-tanda. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori semiotika budaya untuk menganalisis permasalahan pertama dan kedua. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik observasi, wawancara, dan studi pustaka. Hasil penelitian ini menunjukkan bentuk-bentuk mitos Melayu dan ideologi Islam dalam masyarakat Melayu Binjai Timur. Masyarakat Binjai Timur menjalankan tradisi Syair Dendang Siti Fatimah ini dengan satu keyakinan, bahwa semua mitos yang dikandungnya adalah sebuah kebenaran yang patut diyakini kebenarannya. yang ditemukan dalam Syair Dendang Siti Fatimah ini seluruhnya adalah mitos pengukuhan (myth of concern).
Terdapat beberapa bentuk mitos dalam syair ini, yakni mempercayai akan kebenaran adanya Allah sebagai pencipta alam semesta, kemudian percaya akan adanya Malaikat Allah, kemudian percaya akan adanya Rasul Allah dan Muhammad adalah rasul akhir zaman, lalu percaya kepada adanya Kitab-Kitab Suci Allah (taurat, injil, dan Al-quran), kemudian percaya akan adanya hari akhir atau hari kiamat (hari pembalasan), dan terakhir percaya akan adanya takdir Allah (ketetapan yang tidak dapat dirubah oleh siapapun). Selain itu disebutkan juga tentang mitos tentang kejadian asal usul manusia di dalam rahim ibu berkat kuasa Allah sebagi Tuhan yang Maha mencipta.
Sedangkan ideologi yang ditemukan dalam Syair Dendang Siti Fatimah ini adalah ideologi pengarang dan ideologi Islamisme yang terdiri dari ideologi Islam manusiawi dan ideologi Islam Fitrah manusia, serta ideologi sosialis.
(18)
ABSTRACT
This thesis is the result of research on Malay mythology in the poem Dendang Siti Fatimah's Malay community Binjai in Eastern North Sumatra. Siti Fatimah Dendang poem tradition is the cultural identity of ethnic Malay East Binjai in which are contained the noble values and religion, should remain preserved by the people of East Binjai.However, the facts in the progress of science and technology and culture today, the tradition of Poetry Dendang Siti Fatimah is already becoming obsolete.
The purpose of the poem Dendang Siti Fatimah tradition is to provide instruction and education of the science of divinity and devotion to parents who have instilled early on to our children to always love God and his mother and father. All of the values contained in this verse is very essential to be applied and developed in our lives especially the Malay society so that local knowledge can be both a cultural resistance from foreign influences that do not conform to the norms of our society.
The problem under study is formulated in the following two questions. (1) How Malay myth forms contained in the text of this poem Dendang Siti Fatimah as cultural resistance in the Eastern District of Binjai?. (2) How Ideology forms of verse Dendang Siti Fatimah today in the District of East Binjai? This thesis strruktural-semiotic approach, meaning that a poem can be assessed by linking the structural aspects of the view of the signs. The theory used in this research is the theory of cultural semiotics to analyze the first and second issues. This study used qualitative methods. Data collection in this study was done by using observation, interviews, and literature. The results of this study indicate the forms of myth and ideology in Malay Malay society Binjai East. Community East Binjai running tradition Dendang Siti Fatimah's poem with the belief that all myths it contains is believed to be a truth that deserves the truth. found in the poem is entirely Dendang Siti Fatimah was the inaugural myth (myth of concern).
Here are some myths in the form of this poem, which believe in the truth of God as creator of the universe, then believe in the existence of angels of God, and believed in the Messenger of Allah and Muhammad is the apostle of the end times, and believe in the Scriptures of God (the law , gospel, and the Qur'an), and believed in the hereafter or the Hour (day of Judgment), and the last believed in destiny Allah (provision can not be changed by anyone). n addition it also mentioned about the myth of the origin of human events in the womb due to the power of the Lord God Almighty As with creation.
Hile ideology is found in verse Dendang Siti Fatimah is the ideology of the author and the ideology of Islamism that consists of Islamic ideology and the ideology of Islamic human Human nature, as well as the socialist ideology.
(19)
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang
Menurut Koentjaraningrat (2002:190), sistem nilai budaya adalah suatu
rangkaian konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar
dari warga suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap mempunyai makna
penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa yang dianggap remeh dan tidak
berharga dalam hidup. Dalam kehidupan masyarakat, sistem nilai ini berkaitan erat
dengan sikap dan tingkah laku manusia. Sistem nilai adalah bagian terpadu dalam
etika moral, yang dalam manifestasinya dijabarkan dalam norma-norma sosial, sistem
hukum dan adat yang berfungsi sebagai tata kelakuan untuk mengatur masyarakat.
Selanjutnya Koentjaraningrat (2002:190) juga menambahkan bahwa nilai
budaya daerah tentu saja lebih bersifat partikularistik, artinya khas berlaku umum
dalam wilayah budaya suku bangsa tertentu saja. Sejak kecil individu telah diresapi
oleh nilai budaya masyarakatnya, sehingga nilai budaya itu telah berakar dalam
mentalitasnya dan sukar digantikan oleh nilai budaya lain dalam waktu yang singkat.
Secara konkret, manifestasi nilai budaya tersebut dapat mencerminkan streotipe
tertentu, misalnya orang Melayu diidentifikasikan sebagai orang-orang yang santun,
lemah lembut, bertutur kata halus, dan sebagainya.
Eppink dalam mengatakan,“Kebudayaan
mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan
(20)
suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang
dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya adalah suatu pola hidup
menyeluruh. Herkovits dan Malinawski
bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaaan
yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Herkovits memandang kebudayaan sebagai
sesuatu yang diwariskan secara turun-temurun .
Perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia
sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku, bahasa, peralatan, hidup,
organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain. Yang kesemuanya ditujukan untuk
membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. kebudayaan
adalah seperangkat kompleksitas keyakinan, nilai,dan konsep, yang memungkinkan
bagi suatu kelompok untuk kehidupannya atau sebagai pandangan hidup (world
view). Dalam sebuah kebudayaan tiap-tiap anggota pendukungnya secara mental memiliki suatu kerangka pikiran tertentu.
Suku-suku atau etnik-etnik yang tersebar di seluruh Nusantara ini, memiliki
dua kemungkinan yang tidak dapat disangkal. Kemungkinan pertama, suku mayoritas
dengan dukungan populasi yang besar dan kedua, suku minoritas dengan dukungan
populasi yang kecil. Namun, suku minoritas tersebut tetap memperlihatkan ciri-ciri
kebudayaannya, baik yang universal maupun yang unik sifatnya. Ketika kebudayaan
(21)
Identitas suku atau etnik tersebut dapat dilihat dari bahasa yang digunakan,
tradisi, cara makan, cara berpakaian, cara bersopan santun, standar etika, dan moral
yang berbeda antarkomunitas. Perbedaan itu tampak kontradiktif. Namun, sejarah
menunjukkan adanya inti budaya yang sama (sharing of culture) yang dapat saling
menerima dan saling mengerti perbedaan itu (Purwasito,2003:224). Hal ini dapat
ditemukan dalam suku Melayu yang bermukim di Lingkungan IX Kelurahan
Mencirim Kecamatan Binjai Timur, Binjai. Suku Melayu memiliki tradisi budaya
tersendiri yang menjadi identitasnya dalam hidup berdampingan dengan suku-suku
lain di lokasi pemukimannya, yakni di Binjai Timur yang dihuni oleh beberapa etnik
di setiap kelurahan.
Suku Melayu di lingkungan IX Kelurahan Mencirim Kecamatan Binjai
Timur ini memiliki budaya atau tradisi yang disebut dengan Syair Dendang Siti
Fatimah . Syair ini merupakan syair budi pekerti dan pendidikan yang telah disadur dari kesusastraan Arab Parsi atau Islam (Waluyo, 1991:131). Pendapat ini diperkuat
lagi oleh Sinar dan Syaifuddin (2002:17) yang mengatakan bahwa hubungan Islam
dan Melayu di abad ke -15 adalah masa peng-Islaman di alam Melayu. Sehingga
yang dikatakan Melayu itu adalah beragama Islam, berbahasa Melayu, dan
menjalankan adat resam budaya Melayu. Kemudian lahirlah falsafah suku Melayu,
yakni,”Adat bersendikan hukum syarak dan syarak bersendikan Kitabullah”. Dengan
demikian jelaslah bagi kita bahwa syair ini mutlak mengandung konsep Islam.
Kemudian, Braginsky dalam (Teeuw, 1984: 354) mengatakan bahwa sastra
(22)
seniman pada teladan yang agung, yakni semesta sebagai ciptaan Tuhan: Pencipta
yang Maha Esa. Ini artinya Syair ini tergolog ke dalam sastra Melayu Klasik yang
mendapat pengaruh estetika Arab di zaman abad pertengahan, yakni peneladanan
seniman pada ciptaan Tuhan yang Maha Agung.
Syair Dendang Siti Fatimah ini adalah tradisi milik masyarakat Melayu khususnya Melayu Binjai Timur. Syair ini biasa dipakai pada acara atau ritual
pemberian nama seorang anak yang baru beberapa hari dilahirkan bagi masyarakat
Melayu Binjai. Tradisi ini disebut juga pelengkap ritulan penabalan nama seorang
anak Melayu dan Islam secara umum.
Bait-bait syair ini melantunkan nilai-nilai religi yang mengisahkan tentang
sejarah asal usul kejadian umat manusia secara umum sebagai ciptaan Allah Tuhan
semesta alam ketika berada di dalam kandungan atau rahim setiap ibu. Bila kita
simak baik-baik maka dapat menambah kecintaan kepada ibu yang telah melahirkan
dan membesarkan setiap manusia. Konsep ini sesuai dengan ajaran Islam yang
tertuang dalam Kitab Suci Al-Quran tentang ajaran perintah taat pada kedua orang
tua terutama pada ibu dan taat kepada Allah dan rasulnya. Kemudian dikuatkan juga
dengan hadis Nabi Muhammd S.A.W. bahwa derajat kehormatan ibu itu tiga tingkat
di atas bapak. Artinya ketaatan pada ibu tiga kali lipat dari ketaatan pada bapak.
Dengan demikian, Syair ini adalah perwujudan konsep Islam dan bagi
(23)
ketuhanan dan bakti kepada kedua orang tua yang sejak dini harus ditanamkan
kepada anak kita agar senantiasa mencintai Allah dan ibu bapaknya. Semua nilai-nilai
yang terkandung dalam syair ini sangat perlu sekali diterapkan dan dikembangkan
dalam kehidupan kita khususnya masyrakat Melayu sehingga dapat menjadi kearifan
lokal sekaligus menjadi resistensi budaya dari pengaruh asing yang tidak sesuai
dengan norma masyarakat.
Tradisi ini sebenarnya juga dimiliki oleh masyarakat Melayu yang berada di
beberapa tempat yang berbeda seperti Asahan, Serdang, Langkat, Deli, dan di belahan
bumi lainya seperti Malaysia. Hanya saja terdapat perbedaan nama dan jenisnya
sedangkan konten dan isinya sama. Di Malaysia kita mengenal Dodoi, dan Syair
Dendang Siti Fatimah juga. Di asahan dikenal Senandung walaupun di Langkat dan
Deli dikenal nama yang sama.
Tradisi ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh
masyarakat Melayu Binjai Timur. Namun, sayangnya tradisi ini khususnya di Binjai
Timur belum didokumentasikan dan belum dikembangkan sebagaimana layaknya.
Syair Dendang Siti Fatimah ini digolongkan dengan tradisi lisan karena dikembangkan secara lisan dari mulut ke mulut, diwariskan turun-temurun.
Sedangkan para penuturnya semakin lama semakin berkurang. Jika hal ini dibiarkan
tanpa ada langkah-langkah ke arah pelestarianya maka jelaslah syair ini akan lenyap
ditelan zaman.
Situasi inilah yang melatarbelakangi penulis untuk mengangkat atau
(24)
syair ini di tengah perkembangan zaman yang terus maju. Atas kekhawatiran itu
muncul keinginan penulis untuk melanjutkan penelitian sebelumnya yang sudah
penulis lakukan atas syair ini untuk judul skripsi pada saat meneyelesaikan sarjana di
Fakultas Sastra USU medan tahun 1995. Hal ini tentu sebagai upaya untuk
pelestarian sebuah karya sastra Melayu lama yang dimiliki oleh Melayu Binjai Timur.
Dengan harapan syair ini akan tetap ada dan dikenal oleh masyarakat umum maupun
masyarakat Melayu khusunya karena bentuknya sudah tertulis.
Alasan lain pengkajian ini adalah masih minimnya para peneliti khususnya di
Sekolah Pascasarjana Linguistik USU pengkajian syair ini walaupun ada hanya
beberapa orang saja yang sudah melakukan itu. Itupun, Khusus Sayir Dendang Siti
Fatimah Binjai Timur baru penulis sendiri. Sedangkan Syair Dendang Siti Fatimah
daerah Langkat sudah dilakukan pengkajiannya oleh Edi Siswanto di tahun 2012.
Di sisi lain, Masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia sedang berubah
karena bersentuhan langsung dengan kemajuan global. Suku Melayu Kecamatan
Binjai Timur juga memiliki dinamika sosial, yaitu gerak masyarakat secara
terus-menerus yang menimbulkan perubahan dalam tata masyarakat. Hal ini diakibatkan
oleh globalisasi yang mengagungkan rasionalitas dan menghapus hal-hal yang
bersifat ritual, sehingga, globalisasi yang diidentikkan dengan kemajuan dan
kesejahteraan masyarakat, dapat dikatakan sebagai silet yang bermata dua. Selain
memajukan masyarakat, globalisasi ikut merusak tatanan hidup sosial suatu
(25)
Menurut Giddens (2003:67), globalisasi membawa prinsip budaya modernitas
sehingga memunculkan berbagai permasalahan sosial dalam peradaban manusia.
Melalui ideologibudaya konsumerisme, globalisasi telah banyak menimbulkan
konflik, kesenjangan dan bentuk-bentuk stratifikasi baru. Globalisasi telah
membersihkan hampir semua jenis tatanan sosial tradisional dan menggiring umat
manusia umumnya dan masyarakat Melayu khususnya pada pola persamaan budaya
atau homogenitas budaya yang menentang nilai-nilai dan identitas kelompok. Hal ini
mengancam eksistensi budaya lokal menjadi rusak atau bahkan mengantarkan budaya
lokal menuju kepunahan.
Hal yang sama dikemukakan oleh Kleden (1996:239) bahwa kalau sistem
budaya itu tidak cukup kuat lagi untuk menjadi landasan sistem sosial, sistem sosial
terpaksa berubah karena didesak oleh perubahan. Di lapisan material kebudayaan,
maka yang terjadi ialah dua kemungkinan. Kemungkinan yang pertama, muncul
semacam entropi kebudayaan, yaitu sistem nilai kebudayaan bersangkutan tidak mati,
tetapi kehilangan dayanya untuk memotivasi dan mengontrol sistem sosial yang ada.
Kemungkinan yang kedua, bisa terjadi bahwa kekuatan kebudayaan sebagai sistem
kognitif dan sistem normatif memang telah berakhir, dan tinggal peranannya sebagai
embel-embel yang berfungsi sebagai hiasan lahiriah (paraphernalia) yang tidak
fungsional pada cara pikir dan cara bertingkah laku.
Kondisi di atas, dapat ditemukan dalam masyarakat Suku Melayu Kelurahan
Binjai Timur, Binjai. Pelaksanaan ritual Syair Dendang Siti Fatimah pada penabalan
(26)
pemahaman makna dan fungsi para generasi muda terhadap ritual syair itu sendiri
juga pengaruh arus globalisasi yang telah meluluhlantahkan
pengetahuan-pengetahuan tradisional yang dianggap mitos dan digantikan dengan mengagungkan
pemikiran rasional. Sementara ritual Syair Dendang Siti Fatimah ini sangat penting
bagi masyarakat suku Melayu Lingkungan IX kelurahan Binjai Timur karena hal itu
dapat menjadi kearifan lokal dalam mewujudkan resistensi budaya yang tangguh di
abad modern ini.
Apakah hal ini berpengaruh langsung pada kehidupan masyarakat Melayu
Binjai Timur? Menurut pengamatan penulis dan pengakuan informan hal ini tentu
memberikan pengaruh yang signifikan karena secara tidak sadar generasi Binjai
Timur telah mengalami degradasi moral. Generasi Binjai Timur sekarang kurang
menaati dan kurang menghormati orang tuanya dan jika demikian halnya ketaatan
kepada Allah pun pasti berkurang. Hal ini sebenarnya cukup beralasan, karena
hakikatnya Syir Dendang Siti Fatimah ini selain hiburan juga sebagai alat pengajaran
moral, agama yang mengajarkan tentang keharusan, kewajiban kita sebagai manusia
untuk menaati orang tua dan menaati Allah sebagai pencipta. Jadi sangat kental
dengan ilmu keesaan Allah. Kenyataanya, ajaran moral dan ketuhanan yang
terkandung dalam Syair Dendang Siti Fatimah ini sudah mulai jarang dilakukan. Hal
ini menjadi sesuatu yang menarik untuk diteliti.
Tradisi Syair Dendang Siti Fatimah ini adalah salah satu bentuk sastra
Melayu Lama yang berbentuk puisi. Sebagai bentuk karya Sastra, syair ini
(27)
sosial sebagai bagian dari kebudayaan yang menyiratkan masalah tradisi, konvensi,
norma, genre, simbol, dan mitos. Hal itu terjadi karena sastrawan dipengaruhi dan
mempengaruhi masyarakat (Wellek dan Austin, 1985:120). Sastra yang ditulis pada
suatu waktu kurun tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat
zaman itu. Sastra pun dipergunakan sebagai sumber untuk menganalisis sistem
masyarakat. Ini sesuai dengan pendapat Luxemburg, dkk. (1989:26) menyatakan
bahwa sastra dipergunakan sebagai sumber dalam menganalisis sistem masyarakat.
Nasution (2009:2) mengatakan bahwa karya sastra yang ditulis atau
diciptakan oleh sastrawan tidak hanya untuk dinikmati sendiri, melainkan ada ide,
gagasan, pengalaman, dan amanat yang ingin disampaikan kepada pembaca. Dengan
harapan amanat yang disampaikan lewat karya itu dapat menjadi pencerahan dan nilai
yang berguna bagi kelangsungan hidupnya. Hal ini membuktikan, bahwa karya sastra
merupakan wadah bagi pengembangan nilai-nilai kebudayaan. Dengan kata lain,
karya sastra berfungsi sosial budaya. Sedangkan Damono (1998:234) mengatakan
bahwa karya sastra adalah benda budaya; ia tidak jatuh dari langit, tetapi diciptakan
manusia yang merupakan individu sekaligus bagian yang tidak terpisahkan dari
masyarakat.
Selanjutnya Damono juga mengatakan, bahwa perkembangan sastra yang
sehat akan mengarah kepada usaha sastrawan untuk semakin menyangkutkan dalam
(28)
kebudayaan sendiri itu, sastrawan tidak merasa ragu memanfaatkan ungkapan, nilai,
norma, pengertian, dan gagasan yang terwujud dalam mitologi, untuk mengutarakan
maksudnya.
Bagaimanapun mitologi adalah alat yang paling efektif untuk menyampaikan
maksud dalam sastra, sebab sastra merupakan hasil sulingan, perasaan, atau rekaman
dari kebudayaan. Agar bisa menjadi alat komunikasi yang efektif, sastra harus
menyangkutkan diri pada mitologi, tidak bisa dibayangkan adanya sastra yang sama
sekali lepas dari mitologi (Damono, 1998). Dari pernyataan ini dapatlah di simpulkan
bahwa, mitos adalah sisi penting dalam menghasilkan nilai keindahan sebuah karya
sastra. Bahkan dikatakan mustahil sebuah karya sastra tanpa mitos. Demikian jugalah
puisi Syair Dendang Siti Fatimah ini tentu syarat dengan mitos - mitos.
Mitologi Melayu yang menjadi tumpuan dalam penelitian ini hendaknya
ditafsirkan sebagai pengetahuan tentang dunia mite orang Melayu. Beberapa mite itu
menjadi mitos bagi kelayakan hidup perseorangan dalam masyarakat yang mewakili
mite tersebut. Mite orang Melayu khususnya di Sumatera Utara merupakan kekayaan
budaya yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi dasar laku budaya
daerah Melayu dalam menyikapi alam dan kehidupan mereka. Hal ini juga sebagai
kearifan lokal yang menjadi pengendali sikap dan prilaku pemiliknya (Nasution dan
(29)
Mitologi Melayu menjadi tumpuan dalam penelitian ini ingin dilihat dan
dikaji sejauh mana kandungannya dalam Syair Dendang Siti Fatimah yang
merupakan ekspresi budaya masyarakat Melayu Binjai Timur. Bagaimana korelasi
antara teks dan konteks, seni menyatu dalam wujud mitos Melayu terdapat dalam
Syair Dendang Siti Fatimah ini. Unsur-unsur mitos tentu sarat dalam lirik syair tersebut.
Selain itu syair ini mengandung unsur pendidikan untuk mendidik anak –
anak agar jangan durhaka kepada ibunya, sehingga hal ini menjadi mitos pengukuhan
(myth of concern
Tradisi lisan menurut Pudentia (dalam Nasution dan Sinar, 2011:1) dalam
berbagai bentuknya sangat kompleks dan mengandung, tidak hanya berupa cerita ,
mitos, dan dongeng tetapi juga mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup
dan kehidupan komunitas pemiliknya seperti kearifan lokal, sistem nilai kepercayaan
dan eligi serta berbagai hasil seni lainya.
). Oleh karena itu penulis mencoba membahas tradisi Syair Dendang
Siti Fatimah ini terutama kandungan mitosnya sebagai upaya untuk memberikan
kontribusi pada pembentukan generasi yang bermoral dan berbudi pekerti. Syair
biasanya digunakan untuk melukiskan sebuah cerita yang panjang, nasihat, falsafah,
agama, dan lain – lain (Syarif dan Ahmad, 1993: 116). Mengacu kepada pendapat di
atas maka jelaslah, bahwa Syair Dendang Siti Fatimah ini mengandung falsafah.
Falsafah adalah hasil pemikiran kebenaran untuk mencari kebenaran hidup. Sebagai
hasil pemikiran dan karya syair ini tentu mengandung tuntunan, pandangan hidup
(30)
Ritual Tradisi Syair Dendang Siti Fatimah merupakan tradisi lisan folklor,
yaitu folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan.
Yang termaksud folklor sebagian lisan adalah kepercayaan rakyat, adat-istiadat,
permainan rakyat, upacara pesta rakyat, (Dananjaja,1986:22). Unsur lisan dari ritual
Syair Dendang Siti Fatimah terletak dalam doa pada lirik-liriknya. Unsur bukan lisan dapat dilihat dalam perlengkapan, pemotongan kambing.
Tradisi lisan menghubungkan generasi masa lalu, sekarang dan masa depan.
Tradisi lisan itu diturunkan dari generasi ke generasi, dalam kehidupan sehari-hari,
pemikiran, perkataan, dan perilaku secara individu dan kelompok adalah implemtasi
senyatanya dari teks-teks tulisan itu. J.J. Kusni (1994) menegaskan bahwa tradisi
lisan bisa dipandang sebagai rangkaian berkesinambungan dari dokumen sejarah,
yang kemudian dapat dijadikan sebagai bukti sejarah; sejarah keberlangsungan hidup
dan kehidupan sebuah suku bangsa.
Menkaji bahasa dan sastra adalah suatu hal yang menarik. Sebagai alat
komunikasi dan repleksi budaya, bahasa dan sastra bagai ladang yang sangat luas
untuk digarap dan menjadi hal yanh bermanfaat bagi kita. Bahasa dan sastra adalah
dua hal yang saling melengkapi ; bahasa adalah system tanda , dan tanda merupakan
kesatuan antara dua aspek yang tadak terpisahkan satu sama lain.
Demikian juga halnya dengan sastra sebagai repleksi budaya juga berfungsi
(31)
terkandung bahasa- bahasa komunikasi yang ingin disampaikan dari pencipta kepada
penikmat. Untuk mengkaji sastra adalah tidak mungkin jika kita mengabaikan bahwa
sastra adalah sistem tanda atau yang lebih kita kenal dengan semiotika atau
semiologi, yakni ilmu yang membahas tentang tanda. Selanjutnya, juga tidak
mungkin jika kita ingin menelaah suatu karya sastra tetapi menafikan fungsinya
sebagai gejala kemasyarakatan dan budaya. Dan juga, kajian ilmiah tidak mungkin
dilakukan tanpa mengikutsertakan aspek kemasyarakatnya, yakni sastra sebagai
tindak komunikasi (Teeuw, 1984: 43).
Komunikasi sastra adalah bukan sekedar komunikasi biasa yang
menggunakan bahasa biasa; komunikasi sastra adalah komunikasi luar biasa jika
dibandingkan dengan komunikasi biasa. Pemahaman komunikasi sastra tidak
mungkin didapatkan tanpa memperhatikan asfek komunikatifnya, sastra sebagai
tanda, sign, atau dengan istilah sekarang kita kenal dengan gejala semiotika. Ini
pulalah salah satu daya tarik yang melatarbelakangi tulisan ini.
Karya sastra adalah repleksi dari pemikiran, perasaan, dan keinginan
pengarang lewat bahasa. Bahasa itu sendiri tidak sembarang bahasa, melainkan
bahasa khas. Yakni, bahasa yang memuat tanda–tanda atau semiotik. Bahasa itu akan
membentuk sistem ketandaan yang dinamakan semiotik dan ilmu yang mempelajari
masalah ini adalah semiologi. Semiologi juga sering dinamakan semiotik, artinya
ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam karya sastra (Endraswara, 2008:63).
Model ini muncul sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap kajian
(32)
demikian halnya, karena semiotik memaklumi bahwa karya sastra memiliki sistem
tersendiri. Itulah sebabnya muncul kajian strruktural-semiotik, artinya sebuah syair
dapat dikaji dengan menghubungkan aspek-aspek struktural dangan tanda-tanda.
Kajian srtuktural dan semiotika dapat diterapkan untuk menemukan konsep dan
makna yang terdapat dalam Syair Dendang Siti Fatimah di Kecamatan Binjai Timur.
Teori semiotika menurut Riffaterre (dalam Endraswara, 2008:67) yang
menggunakan langkah pembacaan heuristik dan hermeneutik (retroaktif) dianggap
layak digunakan untuk menemukan konsep dan makna sebuah syair tersebut. Konsep
itu dapat merupakan sebuah mitos ataupun ideologi tertentu. Mitos dan ideologi ini
adalah sebuah indikasi nilai estetika sebuah syair atau puisi. Dengan kata lain tiada
keindahan sebuah syair atau puisi tanpa diwarnai oleh mitos tertentu. Mitos dan
ideologi dalam sebuah syair merupakan hal yang baru dalam sebuah kajian
menyebabkan kajian ini menjadi sangat menarik untuk dikaji.
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah :
1. Bagaimanakah bentuk-bentuk mitos Melayu yang terdapat pada teks Syair
Dendang Siti Fatimah ini sebagai resistensi budaya di Kecamatan Binjai Timur sesuai dengan teori semiotika Riffaterre ?
2. Bagaimanakah bentuk-bentuk Ideologidari Syair Dendang Siti Fatimah saat
(33)
1.3Tujuan Penelitian
1. Menganalisis bentuk-bentuk mitos Melayu yang terdapat pada teks Syair
Dendang Siti Fatimah ini sebagai resistensi budaya lokal dari budaya asing sesuai dengan teori semiotika Riffaterre.
2. Menganalisis bentuk-bentuk ideologi dari Syair Dendang Siti Fatimah saat
ini di kecamatan Binjai Timur sesuai dengan dengan teori semiotika
Riffaterre.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai salah satu rujukan untuk
merangsang penelitian sastra Indonesia yang selama ini berfokus pada
penelitian intrinsik dan struktural.
2. Penelitian ini diharapkan dapat membantu penelitian selanjutnya yang
berhubungan dengan kajian budaya/tradisi lisan Syair Dendang Siti Fatimah
di Kecamatan Binjai Timur
3. Sebagai salah satu sumbangan pemikiran untuk menambah khazanah
pengetahuan tentang perkembangan sastra Indonesia dan puitika sastra
Indonesia.
4. Menambah khasanah kepustakaan atau bahan bacaan dalam bidang bahasa
(34)
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Membantu masyarakat untuk memahami mitos Melayu sebagai resistensi
budaya Melayu di Kecamatan Binjai Timur dari pengaruh budaya asing yang
tidak sesuai dengan kepribadian bangsa kita .
2. Menumbuhkan semangat masyarakat untuk mencintai dan melestarikan
kebudayaan daerah masing-masing.
3. Bahan pertimbangan bagi pemerintah Kecamatan Binjai Timur dalam
pembinaan , pengembangan dan pelestarian sastra lisan yang menyatu dalam
upacara adat penabalan nama anak.
(35)
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI
2.5 Kajian Pustaka
Penelitian Syair Dendang Siti Fatimah sudah dilakukan oleh penulis dalam
menyusun skripsi S1, Bahasa dan Sastra, Universitas Sumatera Utara (1995) yakni
“Analisis Struktural Syair Dendang Siti Fatimah di Kecamatan Binjai Timur”. Hal
yang dikaji adalah hakikat puisi( tema, rasa, nada, amanat) dan metode puisi
(diksi, imajinasi, gaya bahasa, rima dan ritma).
Edi Siswanto (2010) Program Studi Linguistik Konsentrasi Wacana
Kesusastraan Sekolah Pasca Sarjana USU, dengan judul Kajian Semiotika Budaya
Terhadap Syair Dendang Siti Fatimah Pada Upacara Mengayun Anak Masyarakat
Melayu Tanjung Pura. Teori yang digunakan adalah teori semiotika Charles Sanders Peirce.
Erma Satifa (2009), Program Studi Linguistik Pasca Sarjana USU dengan
judul Syair Mahidin pada Adat Perkawinan Banjar di langkat: Kajian Prosodi dan
Fungsi. Penelitian itu menggunakan teori fonetik akustik dan fungsional. Lokasi penelitiannya adalah Desa Tanjung Ibus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat.
Prosodi yang menjadi kajian meliputi, frekuensi , durasi, dan notasi, dan fungsinya.
Hal yang menarik dalam penelitian syair Madihin ini ternyata ada juga yang
(36)
Suzan Ahmad (dalam
Kesyukuran. Dalam artikel Harian Bintang Populer membahas sebuah nyayian
“Berendoi” Tanda Kesukuran yang juga menggunakan nama Dendang Siti Fatimah.
Lirik-lirik yang berlaku di sana berbeda dengan lirik syair yang ada di Binjai Timur
ini, namun konsep utamanya sama yakni sebuah nyanyian tanda kesyukuran yang
dibawakan dalam acara bercukur seorang bayi yang berusia tujuh hari. Biasanya
buaian akan dihiasi indah. Bayi yang dicukur rambutnya akan diletakkan di dalam
buaian, dan mulailah nyanyian berendoi yang sarat dengan bait lirik yang memuji
Rasullullah.
Ketika adat berendoi, bayi akan diletakkan di dalam buaian dengan
menggunakan kain songket atau batik dan dihias indah dengan bunga-bungaan.
Selendang akan diikat di kiri kanan buaian dan ditarik perlahan-lahan ketika upacara
berlangsung. Ketika itu juga nazam atau marhaban dialunkan oleh sekumpulan lelaki
atau wanita (Ical dalam
Melayu menjalankan adat ini serentak dengan adat memberi nama dan adat cukur
rambut. Berendoi masih bergerak aktif sampai hari ini dan boleh ditonton paling
banyak di Perlis, Kedah, Selangor dan Perak. Di Perak, nyanyian berendoi
menggunakan nama “Dendang Siti Fatimah “dan senikatanya berlainan dengan
senikata yang dibawa kumpulan Berendoi di Perlis dan Kedah.
Adat berendoi atau buai bayi ini dipersembahkan sebagai tanda keriangan
atau kesyukuran menyambut kelahiran cahaya mata. Lagu”Berendoi” atau “Dendang
(37)
menceritakan perihal susah payah ibu mengandung dan melahirkan anak, selain juga
nasihat kepada anak-anak. Antara lain liriknya, "Ayuhai anak didalam buaian,
Pejamkan mata jangan tangiskan, Lagu Berendoi kami dendangkan, Di dalam majlis
tanda kesyukuran ... Lamalah sudah kami menanti, Namun engkau tak kunjung tiba,
Dengan takdir Ilahi rabbi, Kini engkau sudah menjelma."
Dalam sebuah Artikel
Anak atau ﻖﻧﺃ ﻍﺪﻨﻳﺩ merupakan sebuah Kumpulan Muzik Kesenian adalah Duta Kebudayaan Terengganu yang ditetapkan sebagai satu gerakan kesenian yang
membawa imej
kecil
penggiat seni dan ahli pengkaji sejarah ( dikenali sebagai "Raqeem" selaku nama pena
nya), berawal di sebuah perkampungan yang letaknya di Hulu Kuala Terengganu
seawal tahun 1997.
Dendang Anak telah dimulai dengan membawa pelbagai jenis konsep atau
genre muzik namun yang jelasnya adalah nama "Dendang Anak" itu sendiri begitu
sinonim dengan irama muzik yang diproklamirkan sebagai "Rentak
menggabungkan irama tradisional seperti Jawa, Sunda, berteraskan rentak serta
penyusunan lagu yang mempunyai sentuhan-sentuhan yang menggambarkan
kemelayuan yang meluas atau global seperti Zapin, Djikir Barat, rentak Samaniah,
Inang, Masri, dan lain-lain. Pada artikel tersebut nama”Dendang Anak” diambil dari
(38)
Dalam sejarah Melayu itu juga ada ditulis tentang rombongan Sultan Malaka
dan rombongan Inderagiri yang di utus sultan untuk meminang. Dari pernyataan itu
dapatlah disimpulkan bahwa, riwayat dendang anak juga ditulis dalam sejarah
Melayu. Itu artinya bahwa dendang anak bukanlah semata-mata sebuah kesenian
belaka yang hanya mementingkan seni hiburan atau unsur utilenya saja lebih dari itu
dendang anak adalah sebuah amanah dari sejarah untuk tetap kita pertahankan karena
mengandung ajaran moral bagi generasi selanjutnya. Dengan demikian akan
terwujudlah sebuah negara yang bermartabat, bermoral, dan berbudaya
(wikipedia.org/wiki/Dendang_anak, 2010)
Penelitian Syair Dendang Siti Fatimah ini adalah mencoba membahas dan
meneliti kandungan bentuk mitos dan ideologi pada teks dan konteks Syair Dendang
Siti Fatimah dengan menggunakan teori semiotik Riffatere dan pendekatan struktural. Jadi, penelitian ini menggunakan kajian strruktural-semiotik, artinya penelitian ini menghubungkan aspek-aspek struktural dangan tanda-tanda.
Makalah tentang mitos juga penulis temukan pada hasil tulisan Hamza
Mustafa Njozi dari Malaysia tahun 1993. Makalah itu berjudul “ Mystic Numbers in
Sejarah Melayu.” Hamza Mustafa menulis bahwa Spekulasi dan kepercayaan terhadap nomor-nomor yang dianggap `ajaib’ (mistik) telah ada sejak di zaman silam
dan merupakan sesuatu yang universal. Artikel ini bertujuan untuk mengenal pasti
beberapa angka yang dianggap `ajaib’ yang terdapat dalam buku Sejarah Melayu.
(39)
ini di dalam Sejarah Melayu serta kemungkinannya kepercayaan ini hingga
mempengaruhi persepsi dan pemahaman seseorang terhadap alam di sekelilingnya.
Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa konsep mitos yakni sesuatu
yang dipercayai kebenaranya telah ada di alam Melayu sejak dahulu kala. Walaupun
yang dimitoskan itu berupa angka yang membawa kebaikan dan keburukan. Bila
dikaitkan hubunganya dengan kajian ini adalah konsep mitosnya. Syair Dendang Siti
Fatimah ini sarat dengan mitos–mitos yang diyakini oleh penganutnya yaitu masyarakat Melayu Binjai Timur. Mitos-mitos itu disakralkan sebagai sesuatu yang
suci, baik dan luhur serta membawa kebaikan, keselamatan. Justru apabila
ditinggalkan maka membawa keburukan bagi masyarakat pendukungnya.
2.2.Konsep 2.2.1 Mitologi
Mitologi berasal dari bahasa Inggris mytology dan bahasa Prancis mythologie,
yang bermakna kumpulan mitos yang berasal dari sumber yang sama, atau yang
pokok ceritanya sama; studi tentang mitos. Mitos juga berasal dari kata myth
(Inggris), mythe (Prancis), dan mythos (Yunani). Mitos dalam pengertian tradisional
memiliki kesejajaran dengan fabel dan legenda. Tetapi dalam pengertian modern,
mitos memiliki hubungan dengan masa lampau sebagai citra primordial dan arketipe
(Ratna, 2004:67). Mitos adalah cerita anonim yang berakar dalam kebudayaan
(40)
primitif untuk menyusun suatu cerita, maka dalam pengertian modern mitos adalah
struktur cerita itu sendiri. Mitos sebagai cerita yang mempunyai struktur berarti mitos
dibangun oleh satuan-satuan minimal yang bermakna. Satuan minimal yang
membangun struktur cerita mitologis sehingga struktur itu sendiri mengandung
makna.
Frye (Junus, 1981:92) membagi mitos atas dua bagian yaitu, mitos
pengukuhan (myth of concern) dan mitos pembebasan (myth of freedom). Yang
pertama, mempertahankan apa yang terwujud, sedangkan yang kedua menginginkan
sesuatu yang baru dengan melepaskan diri dari apa yang telah terwujud. Dengan
begitu, karya sastra juga bukan sesuatu yang rasional, yang melihat segalanya dengan
suatu pertimbangan yang jernih, segala sesuatu dalam karya sastra dapat bersifat
mitos. Kalau karya sastra tersebut merupakan mitos pembebasan, segala sesuatu yang
telah terwujud dan mapan akan dilihat sebagai sesuatu yang buruk, sesuatu yang
mesti dilawan dan ditiadakan. Sebaliknya, bila karya sastra itu merupakan mitos
pengukuhan maka segala yang baru akan dianggap tidak baik dan jahat.
Lebih lanjut, Sikana (2008:140) mendefinisikan mitologi sebagai himpunan
cerita yang mengisahkan asal usul ; termasuk keturunan manusia, spekulasi kejadian
alam, penciptaan cakrawala, kisah-kisah fantasi, keajaiban, magik, heroisme,
tragedisme, dan juga aspek kepercayaan. Aspek kepercayaan ini termasuk agama,
adat istiadat, pantang larang, kebiasaan-kebiasaan, amalan budaya, dan corak
(41)
Junus (1981:90) mengatakan bahwa hubungan antara mitos dan realitas itu
sangat dekat, bergantung pada cara pandang seseorang. Beliau menambahkan bahwa
mustahil ada kehidupan tanpa mitos. Manusia itu hidup dengan mitos-mitos yang
membatasi segala tindak-tanduknya. Ketakutan dan keberanian terhadap sesuatu
ditentukan oleh mitos-mitos di sekelilingnya. Banyak hal yang sukar dipercayai dapat
berlaku hanya karena penganutnya mempercayai sebuah mitos. Ketakutan manusia
akan sesuatu lebih disebabkan ketakutan akan suatu mitos, bukan ketakutan yang
sebenarnya. Kehadiran suatu mitos merupakan keharusan terutama pada hal-hal yang
bersifat abstrak, sesuatu yang tidak jelas tentang baik dan buruknya, sesuatu yang
ambiguous. Suatu mitos dari masa lampau akan tetap berlaku dalam masanya. Sekali ditinggalkan masa itu, ia tak akan berlaku lagi.
Cassirer (1987:114) mengatakan bahwa mitos adalah sebuah kepercayaan
bahwa objeknya nyata, tanpa kepercayaaan maka mitos kehilangan hakikatnya. Mitos
bagi masyarakat primitif merupakan suatu sejarah kudus yang terjadi pada waktu
permulaan yang menyingkap tentang aktivitas supranatural hingga saat ini. Namun,
mitos penciptaannya tidak mengantarkan manusia pada sebab pertama atau dasar
eksistensi manusia, melainkan sebagai jaminan eksistensinya. Berkaitan dengan
aktivitas yang supranatural mitos dianggap sebagai yang benar, suci, dan bermakna,
serta menjadi pedoman berharga bagi yang mempercayai dari lingkungan tempat
tinggalnya.
Mitos adalah cerita anonim yang berakar dalam kebudayaan primitif. Apabila
(42)
menyusun suatu cerita, maka dalam pengertian modern mitos adalah struktur cerita
itu sendiri. Barthes (2004:152) menyebutkan bahwa mitos adalah tipe wicara, segala
sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana. Karya sastra jelas
bukan mitos, tetapi sebagai bentuk estetis karya sastra adalah manifestasi mitos itu
sendiri. Mitos adalah sebuah bahasa. Bahasa membutuhkan syarat khusus untuk dapat
menjadi mitos yang harus ditekankan kuat-kuat adalah bahwa mitos adalah sebuah
sistem komunikasi, yakni sebuah pesan. Segala sesuatu dapat menjadi mitos asalkan
disajikan oleh sebuah wacana . Mitos tidak disajikan oleh sebuah objek pesannya,
namun oleh cara mengutarakan pesan itu sendiri.
Dengan demikian, realitas mitos Melayu diwujudkan manusia melalui bentuk
upacara ritual. Pengulangan kembali mitos dalam upacara-upacara ritual berarti
menghidupkan kembali dimensi kudus pada waktu permulaan. Sehingga bagi
masyarakat Melayu, mengetahui mitos adalah sesuatu yang penting karena mitos
tidak hanya mengandung tafsiran tentang dunia dengan segala isinya dan contoh
model tentang keberadaannya di dunia, tetapi mereka harus menjalankan dan
mengulangi kembali apa yang telah diperintahkan oleh Tuhan dan alam pada waktu
permulaan. Jadi, jelaslah bahwa mitos bagi masyarakat Melayu bukan merupakan
pemikiran intelektual dan bukan pula hasil logika, melainkan lebih merupakan
orientasi spiritual dan mental untuk menjali hubungan yang ideal dan sebaik-baiknya
(43)
2.2.2 Budaya Melayu Langkat
Kata ‘kebudayaan’ berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak
dari buddhi yang berarti ‘budi’ atau ‘akal’. Dengan demikian kebudayaan dapat
diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Ada sebagian ahli berpendapat
bahwa kata budaya sebagai suatu perkembangan dari budi-daya, yang berarti ‘daya
dari budi’. Oleh karena itu, mereka membedakan ‘budaya’ dengan ‘kebudayaan’.
Demikianlah, budaya adalah ‘daya dari budi’ yang berupa cipta, rasa, dan karsa.
Sementara itu, kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa itu. Dalam istilah
antropologi budaya, perbedaan itu ditiadakan. Kata ‘budaya’ di sini hanya dipakai
sebagai suatu singkatan saja dari ‘kebudayaan’ dengan arti yang sama.
Suku Melayu adalah salah satu suku yang berdiam di Sumatra Utara. Dalam
ensiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu (1991) disebutkan bahwa Melayu
adalah kelompok masyarakat yang berbahasa Melayu, mengamalkan Adat Melayu
dan bergama Islam. Kesan perjalanan sejarah yang menjadikan nama Melayu sebagai identitas kelompok beragama Islam berbeda dengan kelompok yang masih beragama
tradisi. Maka identitas Islam itu bersamaan dengan nama Melayu sebagai ciri
ke-Melayu-annya.
Selanjutnya, Syaifuddin dan Sinar (2002:6) mengatakan, bahwa kategori orang
Melayu tidak lagi terikat pada faktor genealogis (hubungan darah) tetapi ditentukan
oleh faktor kultural (budaya) yang sama, yakni kesamaan agama Islam, Bahasa
(44)
mengatakan hal yang sama tentang orang Melayu, yakni menggunakan bahasa
Melayu, beragama Islam, dan menjalankan adat Istiadat Melayu.
Menurut Sinar dalam
bahwa budaya Melayu di Sumatera Utara adalah berasal dari daerah yang sama yakni
Melayu Sumatera Timur yang beribukota di Medan (1915). Kemudian, dalam sejarah
tersebut disebutkan bahwa daerah Binjai Timur adalah termasuk dalam wilayah
Kesultanan Langkat. Kesultana Langkat terbagi dua daerah lagi yakni Langkat Hulu
dan Langkat hilir. Maka, Kecamatan Binjai Timur adalah termasuk dalam wilayah
Langkat Hulu yang berpusat di Binjai. Dengan demikian Syair Dendang Siti Fatimah
di Kecamatan Binjai Timur ini merupakan hasil karya dari masyarakat Melayu
Langkat.
Berangkat dari definisi Melayu di atas maka dapatlah kita katakan, bahwa
budaya masyarakat Melayu secara umum memiliki kesamaan. Hal ini mungkin
disebabkan karena bangsa Melayu itu sudah pasti menjalankan adat istiadat Melayu
selain beragama Islam dan menggunakan bahasa Melayu. Oleh karena itu tidak salah
jika di negeri jiran seperti Malaysia pun memiliki tradisi yang sama dalam
penyambutan kelahiran anak.
Menurut Admin dalam
Melayu di negeri jiran Malaysia juga dikenal tradiri dan sastra yang sama yakni,
Dodoi / Nyanyi Budak. Lagu dodoi (lullabies) adalah bagian dari genre tradisi lisan
(45)
nyanyian rakyat paling tua, yang lahir dari tengah kehidupan rakyat biasa, karena itu,
tema-tema lagu juga berkaitan dengan kehidupan harian mereka. Dalam lagu dodoi
tercermin kepercayaan, pikiran, keinginan dan harapan rakyat. Secara umum, terdapat
empat aspek utama dalam lagu dodoi yaitu: pembelajaran bahasa; permainan
anak-anak; pesan nilai dan norma kehidupan; dan aspek keagamaan.
Dalam masyarakat Melayu, lagu ini dinyanyikan oleh seorang ibu (terkadang
kakak atau saudara) dengan suara yang lemah-lembut, merdu, mendayu-dayu dan
berulang-ulang sambil mengayun atau membuai anak yang berada dalam ayunan
(buaian) hingga tertidur. Usia anak yang ditidurkan dengan lagu dodoi ini biasanya
masih bayi, belum mengerti bahasa formal.
Ketika mendendangkan lagu dodoi, pergerakan tangan, mimik muka dan nada
suara sang ibu menggambarkan seolah-olah ia sedang bercakap-cakap dengan
anaknya. Terkadang, ibu juga mencium dan menepuk-nepuk punggung anaknya,
mengangguk-anggukkan kepala dan mengeluarkan suara tertentu yang sudah dikenal
dengan baik oleh anaknya, sehingga anak akan cepat tertidur. Bisa dikatakan bahwa,
lagu ini adalah simbol dari limpahan kasih sayang dan keikhlasan orang tua terhadap
anaknya; media komunikasi antara anak dan ibu bapak; media perdidikan perdana
(46)
2.3 Landasan Teori
Dalam penelitian ini, untuk membedah masalah diapresiasikan secara ekletik
digunakan pendekatan dan teori struktural secara bersamaan. Adapun teori yang
digunakan adalah pendekatan struktural dan teori semiotika.
2.3.1 Pendekatan Struktural
Teeuw (1988:135) berpendapat, “Analisis struktural bertujuan untuk
membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, dan semendetail serta semendalam
Mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang
secara bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh “. Analisis struktural
bukanlah merupakan penjumlahan anasir-anasir itu, namun yang lebih penting lagi
adalah justru sumbangan yang diberikan oleh gejala pada keseluruhan makna dalam
keterkaitan dan keterjalinannya (antara fonemik, morfologi, sintaksis, semantik).
Dengan kata lain tujuan analisis struktur justru ingin mengupas semendetail mungkin
keseluruhan makna dari anassir-anasir yang membangun struktur tersebut.
Abraham (dalam Teeuw, 1988:120) mengambil istilah lain dari analisis
struktural ini, yaitu pendekatan objektif; suatu pendekatan yang menekankan, bahwa
karya sastra sebagai struktur yang bersifat otonom. Otonom dalam arti pendekatan ini
hanya berpusat pada karya sastra tanpa mempperhatikan penyair sebagai pencipta
maupun pembaca sebagai penikmat sastra serta unsur-unsur intrinsik lainya seperti:
(47)
struktural ini adalah bersifat close reading; pembacaan karya sasstra sebagai ciptaan
bahasa.
Apa yang diuraikan di atas sangat berkaitan dengan pernyataan Hartoko
(1982:36), “ ... kebanyakan penganut aliran struktural secara langsung atau tidak
langsung berkiblat pada strukturalisme dalam ilmu bahasa yang dirintis oleh
Desasure”. Strukturalis ala Desausure itu menekankan dua aspek yang sangat penting
dalam bahasa. Pertama adalah signifiant yang berarti aspek bentuk dalam lambang
atau tanda. Sedangkan yang kedua adalah signifie yang berarti yang diartikan atau
petanda. Dengan menggabungkan kedua unsur ini (tanda dan petanda) maka kita
dapat mengatakan sesuatu hal dalam kenyataan. Hubungan antara arti dan yang
diartikan umumnya dilakukan secara konvensional dan sewenang-wenang; jadi tidak
menurut kodrat alam yang sudah ditetapkan. Umumnya pula konvensi itu berbeda
dari suatu tempat ke tempat lainya karena sudah dipengaruhi oleh lattar belakang
sosial budaya serta geografis tertentu.
Konsep teori analisis struktural ini sangat berkaitan dengan istilah
hermeneutik dalam sastra, yakni ilmu atau keahlian dalam menginterpretasikan
sebuah karua sastra dengan ungkapan bahasa yang lebih luas menurut maksudnya
(Teeuw: 1988:123). Interpretasi ini tidak dapat diandalkan kecuali telah dimulai
menginterpretasikan secara keseluruhan terhadap karya sasstra tersebut. Walaupun
demikian interpretasi ini bersifat sementara bersamaan dengan menafsirkan
anasir-anasir karya itu sebaik mungkin. Setelah itu, pemahaman atau penafsiran ini
(48)
mencapai tahap penafsiran puncak, yakni diperoleh intergrasi makna secara total dan
makna bagian-bagian yang maksimal.
Proses bagian ini biasanya bagi pembaca awam berlaku secara implisit dan
tidk sadar; hanya penafsiran secara akademis yang profesionalah yang berhasil
memahami sebuah karya sastra. Sebaliknya jika seseorang tidak berhasil mencapai
interpretasi intergral dan total maka, hanya ada dua kemungkinan; karya itu gagal
atau pembaca bukanlah seorang pembaca yang baik.
Konsep Aristoteles mengenai karya sastra yang otonom tidak pernah
menghilang dari dunia sastra Barat bahkan tetap dipertahankan cukup setia oleh
npenulis maupun pembaca sebagai konvensi dasar sastra. Konvensi ini dianggap
wajar, alamiah, dan universal. Namun begitu, apa yang dianggap umum pada suatu
zaman bisa saja berubah untuk waktu yang akan datang.
Konsep Aristoteles yang terkenal dengan otonomi sastranya mengalami
pergeseran, yakni dari struktur karya yang objektif bergeser ke pendekatan ekspresif
yang melibatkan pembaca. Kemudian bergeser lagi ke arah karya sastra dipahami
untuk melihat aspek-aspek kebudayaan yang lebih luas lagi; terutama agama, sejarah,
atau aspek kemasyarakatn lainya. Perubahana ini terkenal dengan pendekatan
diakronik ke penmdekatan sinkronik. Karya sastra tadinya dianggap sibagai sarana
untuk mencapai pengetahuan lain, kini sastra dianggap sebagai bidang kebudayaan
yang otonom. Konsep ini dimulai oleh Ferdinand de Sausure (dalam Teeuw,
1988:126) yang cukup radikal membawa perubahan pendekatan diakronik ke
(49)
Sifat utama bahasa sebagai sistem tanda ialah sifat rasionalnya; berarti
keseluruhan relasi atau oposisi anatara unsur-unsurnya harus dipahami terlebih
dahulu, kemudian secara efektif dapat ditelusuri perubahannya dalam sejarah. Konsep
inilah awal mula aliran atau mazhab ilmu bahasa yang disebut teori strukturalis yang
selama berpuluh-puluh tahun menjadi dominan dalam ilmu bahasa di Eropah; seperti
di Paris, Genewa, Praha, Amsterdam, maupun di Amerika Serikat.
Aliran sruktural ini dirintis oleh kaum formalis Rusia ini yang ingin
membebaskan karya sastra dari kungkunga ilmu-ilmu lain: psikologi, sejarah,
ataupun kebudayaan. Kaum formalis menganggaap bahwa syair atau puisi secara
umum adalah pemakaian bahasa yang mengarah kepada tenda-tanda bukan mengarah
kepada kenyataan. Dengan kata lain konsep pemahaman formalis ini adalah
memahami karya sastra menggunakan prosede atau sarana yang secara distingkif
dimanfaatkan oleh penyair. Sarana yang dimaksud tentu bunyi bahasa (rima, matra,
irama, aliterasi, asonansi). Kemudian, bidang morfologi, sintaksis, dan semantik.
Dengan begitu karya sastra dengan perangkat unsur-unsurnya adalah sebagai sistem
tanda yang lepas dari fungsi reprensial atau mikmetiknya.
Dalam perjalannannya aliran strukturalis ini mengalami ketegangan.
Ketegangan itu muncul antara otonomi sastra yang struktur dan pendekatan ekpresif
dari pembaca sebagai penikmat sastra yang memiliki latar budayanya masing masing.
Namun dengan ketegangan itu justru pendekatan strukturalis menjadi berkembang ke
arah yang lebih baik dalam dunia sastra. Ketegangan itu akhirnya menimbulkan
(50)
menghasilkan bahwa pendekatan struktural terhadap karya sastra sungguh tidak dapat
dimutlakkan. Pendekatan ini harus harus ditempatkan dalam keseluruhan model
semiotik sastra; pembaca, penulis, kenyataan, serta sejarah sastra. Semua itu
memberikan peranan dalam menginterpretasikan sastra secara menyeluruh. Namun
begitu, analisis struktur dalam rangka semiotik tetap dipentingkan dan sangat perlu,
sebab analisis struktur adalah sarana atau jembatan ke arah proses pembaca
memahami karya sastra (Teeuw, 1988: 145)
2.3.2 Teori Semiotika
Semiotik berasal dari kata Yunani: semeion yang berarti tanda. Semiotik
adalah model penelitian sastra dengan memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut
dianggap mewakili sesuatu objek secara representatif. Istilah semiotik sering
digunakan bersama dengan istilah semiologi. Istilah pertama, merujuk pada sebuah
disiplin sedangkan istilah kedua merujuk pada ilmu tentangnya. Baik semiotik
maupun semiologi sering digunakan secara bersama-sama, tergantung di mana istilah
itu dipopulerkan. Biasanya istilah semiotik lebih mengarah pada tradisi Saussurean.
Tradisi ini diikuti oleh Piercean. Sedangkan istilah semiologi banyak digunakan oleh
Barthes (Endraswara, 2008: 64).
Baik semiotik atau pun semiologi sebenarnya merupakan cabang penelitian
sastra atau sebuah model pendekatan keilmuan. Keduanya merupakan ilmu yang
mempelajari hubungan antra sign(tanda-tanda) berdasarkan kode-kode tertentu.
(51)
baik lisan maupun juga bahasa isyarat. Semiotik juga menganut dikotomi bahasa
yang dikembangkan De Saussure, yakni karya sastra memiliki hubungan dengan
penanda (signifiant) dan petanda (signifie). Penanda adalah asfek formal atau bentuk
tanda itu, sedangkan petanda adalah makna atau konsep dari penanda itu. Dengan
kata lain, semiotik adalah penelitian sastra yang mendasarkan semiologi . Semiologi
adalah ilmu yang membicarakan tentang tanda–tanda bahasa dalam karya sastra. Pada
prinsipnya, melalui ilmu ini karya sastra akan terpahami arti di dalamnya. Namun,
arti dalam pandangan semiotik adalah meaning of meaning atau disebut juga makna
(significance).
Substansinya, karya sastra adalah repleksi dari pemikiran, perasaan, dan
keinginan pengarang lewat bahasa. Bahasa itu sendiri tidak sembarang bahasa,
melainkan bahasa khas. Yakni, bahasa yang memuat tanda–tanda atau semiotik.
Bahasa itu akan membentuk sistem ketandaan yang dinamakan semiotik dan ilmu
yang mempelajari masalah ini adalah semiologi. Semiologi juga sering dinamakan
semiotik, artinya ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam karya sastra(Endraswara,
2008:63). Model ini muncul sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap kajian
srtuktural. Jika struktural sekedar menitikberatkan aspek intrinsik, semiotik tidak
demikian halnya, karena semiotik memaklumi bahwa karya sastra memiliki sistem
tersendiri. Itulah sebabnya muncul kajian strruktural-semiotik, artinya penelitian ini
menghubungkan aspek-aspek struktural dangan tanda-tanda.
Penelitian sastra dengan pendekatan semiotik itu sesungguhnya merupakan
(52)
Jabrohim, 2001:70) bahwa semiotik itu merupakan lanjutan atau perkembangan
strukturalisme. Alasanya adalah karya sastra itu merupakan struktur tanda-tanda yang
bermakna. Tanpa memperhatikan sistem tanda , tanda dan maknanya, dan konvensi
tanda , struktur karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara optimal.
Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini mengaanggap bahwa
fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu
mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan
tanda-tanda tersebut memiliki arti-arti.(Pradopo dalam Wulandari dan Jabrohim,
2001:71).
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa penelitian semiotik adalah
studi tentang tanda. Karya sastra akan di bahas sebagai tanda–tanda . Tentu saja ,
tanda tanda itu telah ditata oleh pengarang sehingga ada sistem, konvensi, dan
aturan-aturan tertentu yang dimengerti oleh peneliti. Tanpa memperhatikan hal-hal
yang terkait dengan tanda-tanda, maka pemaknaan karya sastra tidaklah lengkap.
Hoed (2011:3) mengatakan, “ Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda
dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat
sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna”. Selanjutnya dikatakan
bahwa Semiotik pada perkembangannya menjadi perangkat teori yang digunakan
untuk mengkaji kebudayaan manusia. Jadi, mengacu pada paham semiotika struktural
maka semiotik dapat digunakan untuk mengkaji kebudayaan. Kebudayaan dipandang
(53)
cara memahami makna yang ada di dalamnya.Namun demikian, keterkaitan itu
bersifat konvensional.
Semiotika sebagai ilmu terdiri dari semiotika strukturalis dan semiotika
pragmatis. Semiotika strukturalis melihat tanda sebagai hubungan dua komponen
yang terstruktur . Sedangkan semiotik pragmatis melihat tanda sebagai suatu proses
semiosis tiga tahap melalui pancaindra. Kemudian, kedua jenis semiotik ini
mengarahkan perhatiannya pada kajian tentang budaya. Dengan demikian, semiotik
melihat kebudayaan sebagai tanda yang diberi makna oleh masyarakat sesuai dengan
konvensi yang berlaku.
Syair Dendang Siti Fatimah ini merupakan hasil budaya masyarakat Melayu
Binjai Timur. Untuk itu, tepat sekali jika digunakan ilmu semiotik untuk memberi
makna pada syair itu sesuai dengan konvensi yang berlaku pada masyarakat Binjai
Timur. Semiotika yang digunakan tentu semiotika budaya sebab objek kajiannya
adalah sebuah hasil budaya dari kebudayaan masyarakat Melayu Binjai Timur.
Walaupun begitu tentu tidak bisa melepaskan unsur semiotika strukturalis yang
dikotomis antara tanda dan petanda. Upaya memahami kebudayaan- Syair Dendang
Siti Fatimah- dengan menggunakan semiotika adalah sebuah usaha untuk menjelaskan gejala-gejala dalam kehidupan sosial, dan budaya masyarakat Melayu
Binjai Timur itu sendiri ( Hoed, 2011:49).
Selanjutnya Hoed (2011:107) juga menjelaskan bahwa, semiotika dan
hermeneutika sebagai dua pendekatan dengan cara yang berbeda dari fenomena
(54)
sebagai tanda yang bersifat representatif dan interpretatif. Sedangkan hermeneutika
memberikan penekanan pada teks sebagai fenomena budaya tidak terlepas dari
produksi teks dan lingkungannya. Hal ini menjadi menarik karena kadar interpretasi
pembaca diharapkan lebih besar dari penulisnya sendiri (Gedamer dalam Hoed,
2011:107). Hal ini sejalan dengan pendapat Eco (dalam Hoed, 2011: 107) yang
mengatakan bahwa teks adalah sesuatu karya yang bersifat terbuka. Hal ini sesuai
denga pola kehidupan dan dinamika budaya masyarakat kita.
Pendekatan hermeneutika dan pendekatan semotik terhadap gejala budaya
adalah sebuah pencarian makna yang terkandung dalam budaya itu. Pencarian makna
ini dalam dunia sastra seakan tidak ada akhirnya. Dimulai dari teori konotasi Barthes
teori pascastruktural de Sausure hingga foucault dan Derrida. Pemikiran mereka
akhirnya tidak hanya ingin mencari makna tetapi lebih dari itu apa ideologi di
belakang teks tersebut. Dengan demikian faktor interpretasi peneliti semakin
menonjol dalam sebuah penelitian
Menganalisis syair yang termasuk genre puisi melayu lama itu bertujuan
memahami makna syair. Menganalisis syair adalah usaha menangkap dan memberi
makna kepada teks syair. Karya sastra itu merupakan struktur yang bermakna. Karya
sastra itu merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan
medium bahasa. Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem
semiotik atau ketandaan yang mempunyai arti, medium karya sastra bukanlah bahan
(55)
teori semiotika menurut Riffaterre (dalam Endraswara, 2008:67) yang menggunakan
langkah pembacaan ( heuristik) dan (2) hermeneutik (retroaktif) dalam aplikasinya.
Teks atau puisi menurut Michael Riffaterre adalah pemikiran yang dibakukan
melalui mediasi bahasa. Dalam semiotik,Riffaterre memperlakukan semua kata
menjadi tanda. Langkah-langkah dalam memahami sebuah teks dalam hal ini
puisi menurut Michael Riffaterre ada 4, yaitu:
1. Pembaca harus menemukan kata kunci atau matriks yang terdapat dalam
sebuah sajak atau teks.
2. Pembaca juga harus melakukan pembacaan secara heuristik, yaitu sesuai
dengan kompetensi bahasa dan struktur kebahasaannya
3. Seorang pembaca dituntut untuk melakukan pembacaan hermeneutik yaitu
pembacaan pada tingkat makna.
Teori ini digunakan untuk mempertajam analisis dalam upaya menjawab rumusan
masalah pertama dan kedua, yaitu bagaimanakah bentuk-bentuk mitos Melayu dan
bagaimana bentuk-bentuk ideologi dalam Syair Dendang Siti Fatimah saat ini di
(56)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Data dan Sumber Data
Data utama atau data primer penelitian ini adalah berbentuk transkrip teks
Syair Dendang Siti Fatimah yang di dapat dari hasil wawancara dengan informan kunci. Sedangkan data sekunder atau data tambahan ditemukan melalui sumber
tertulis berupa buku maupun hasil tulisan para penulis lain yang berupa artikel, jurnal,
makalah dan lain-lain termasuk data online. Data yang kedua ini adalah data
penunjang untuk melengkapi tesis ini.
Kemudian sumber kualitatif berupa informan kunci adalah Ibu Nurhalimah ,
dan informan tambahan yakni Ibu Elvarida, dan juga para penutur Syair itu yang
juga dapat melantunkan Syair tersebut (data terlampir). Selain Informan kunci juga
ada informasi pangkal (awal) yakni Bapak Abdul Rahman yang merupakan Kepala
Lingkung IX kelurahan Mencirim Kecamatan Binjai Timur yang memberikan
penjelasan mengenai komposisi dan kedudukan, kebudayaan, dan konteks
pemeliharaan kebudayaan masyarakat Melayu di kecamatan Binjai Timur kota Binjai.
Alamat dan tempat tinggal para informan kunci, tambahan, dan informan pangkal
semuanya beralamat yang sama yakni, di lingkungan IX kelurahan Mencirim
(57)
3.2 . Prosedur Pengumpulan dan Perekaman Data
Data utama atau data primer ini ditemukan melalui teknik wawancara
mendalam tetapi terbuka (in-depth interview), pengamatan atau observasi tidak
berstruktur. Ketika melakukan wawancara peneliti menggunakan alat bantu tape
rekorder. Sedangkan dalam melakukan pengamatan tidak berstruktur peneliti juga
menggunakan alat bantu pengamatan, yakni berupa, kamera untuk melakukan
pengambilan gambar (visual) dan suara yang berupa video pada kegiatan yang
diamati. Kamera yang digunakan adalah kamera digital Canon IXUS 980 IS (Bungin,
2007:108-119).
3.3 Pendekatan dan Metode yang Digunakan
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif adalah
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa data tertulis atau lisan
dari orang-orang yang diamati. Berdasarkan filsafat rasionalisme bahwa suatu ilmu
yang valid diperoleh dari pemahaman intelektual dan kemampuan berargumentasi
secara logis. Dalam realitas empirik adalah tunggal (sama dengan positivism
penganut paham monism) tetapi realitas tersebut tidak diinterpretasikan dari
prespektif (Muhadjir, 1995 : 83-84).
Metode kualitatif adalah metode pengumpulan data melalui pengamatan,
wawancara atau penelaahan dokumen. Metode ini digunakan karena beberapa
pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila
(58)
langsung hakikat hubungan antara peneliti dan informan. Ketiga, metode kualitatif ini
lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman dengan
pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Maleong, 2004:9).
Metode kualitatif adalah sebuah paradigma Naturalistic inquiry atau inkuiri
alamiah. Metode ini menekankan pada teknik kualitatif. Sebagai paradigma alamiah
metode kualitatif menggunakan kriteria relevansi. Relevansi ini adalah signifikasi
dari pribadi terhadap lingkungan senyatanya. Usaha menemukan kepastian dan
keaslian merupakan hal yang penting dalam penelitian ilmiah. Paradigma alamiah ini
mencoba menemukan dengan menganalisis data yang diperoleh secara sistematis.
Model penelitian alamiah ini mencoba menemukan data empiris dari hasil wawancara
dan pengamatan atau observasi di lapangan (Denzin, 2009:2).
Penelitian ini bersifat deskriptif-kualitatif karena ingin menggambarkan
konstruksi teks yang mengandung ideologi dan mitos dalam Syair Dendang Siti
Fatimah ini dihubungkan dengan konteks sosial budaya masyarakat yang menciptakan syair tersebut.
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.
Tanda-tana adalah perangkat yang kita pakai untuk memaknai sesuatu di alam ini, di
tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika atau semiologi pada
dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan memaknai sesuatu hal
(59)
berarti tidak hanya menyampaikan informasi tetapi juga menggali sistem yang
terstruktur dari tanda.
Metode semiotika digunakan dalam menganalisis syair (puisi) ini, yaitu
dengan menganalisis syair-syair ke dalam unsur-unsur yang memperhatikan
hubungan keseluruhan unsur-unsur yang ada. Kemudian setiap unsur syair diberi
makna sesuai dengan konvensi syair tersebut. Setelah itu memberi makna terhadap
keseluruhan syair tersebut. Metode semiotik ini digunakan untuk menganalisis
bentuk-bentuk ideologi yang terdapat dalam syair ini. Sedangkan untuk menggali dan
menganalisis bentuk-bentuk mitos dalam Syair Dendang Siti Fatimah ini penulis
menggunakan pendekatan struktural.
3.4 Analisis Data
. Pengetahuan adalah hasil konstruksi interpretatif, kebenaran berdasarkan
perspektif/paradigma peneliti. Oleh sebab itu kajian ini sangat bergantung pada
interpretasi. Sebagaimana pendapat Ricour (dalam Bungin, 2007b:193) mengatakan
bahwa hermeneutika sebagai ilmu yang secara operasional membahas teori
pemahaman dan interpretasi yaitu interpretasi teks. Sebagai kajian karya sastra hal ini
berarti mengacu pada penerjemahan dan penafsiran dan tidak bermuara pada
kebenaran objektif dan universal.
Berdasarkan pemahaman tersebut tidak tertutup kemungkinan bahwa sebuah
(1)
3. Informan Kunci
Nama :Nuraini
Alamat : Lingkungan IX Kelurahan Binjai Timur
Umur :56 Tahun
Jenis Kelamin :Perempuan Agama : Islam
Suku : Melayu
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Pendidikan : SD
4. Informan Tambahan
Nama : Elvarida
Alamat : Lingkungan IX Kelurahan Binjai Timur
Umur : 45Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku : Melayu
Agama : Islam Pendidikan : SD
(2)
5. Informan Tambahan
Nama : Maliah
Alamat : Lingkungan IX Kelurahan Binjai Timur
Umur : 65 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku : Melayu
Agama : Islam Pendidikan : SR
(3)
Lampiran 2
DAFTAR PERTANYAAN
1. Dari Siapa ibu mendapatkan Syair Dendang Siti Fatimah ini? 2. Bagaimana ibu mengembangkan Syair Dendang Siti Fatimah ini? 3. Mengapa syair ini dinamakan dendang Siti Fatimah?
4. Mengapa menggunakan nama Siti Fatimah?
5. Apakah ada hubungannya dengan Fatimah Anak Nabi Muhammad SAW? 6. Apa tujuan pertama sebenarnya dari tradisi ini?
7. Bagaimana perkembangan Syair Dendang Siti Fatimah untuk saat ini? 8. Bagaimana respon masyarakat kepada Syair Dendang Siti Fatimah ini? 9. Apakah ada niat ibu untuk melestarikan Syair Dendang Siti Fatimah ini? 10.Jika ada bagaimana caranya ibu mengajarkan Syair Dendang Siti Fatimah ini? 11.Pada saat apa sebenarnya Syair ini dinyanyikan?
12.Apakah ada acara ritual khusus untuk menyanyikan syair ini?
13.Apakah setiap acara penabalan nama anak seorang bayi, ibu dipanggil untuk menyayikan syair ini?
14.Apa pengaruh yang ibu lihat bagi seorang anak yang dinyanyikan syair ini dengan yang tidak mendapat nyanyian syair ini?
15.Menurut ibu apakah ada manfaatnya lirik-lirik syair ini bagi seorang anak bayi yang belum bisa mendengar dan melihat?
16.Mengapa syair ini tidak diiringi musik ketika dinyanyikan?
(4)
17.Apakah ada usaha ibu untuk memperkenalkan syair ini kepada masyarakat ? 18.Apa harapan ibu untuk kelangsungan Syair ini bagi generassi selanjutnya? 19.Bagaimana tanggapan generasi sekarang atas syair ini
20.Menurut Ibu apakah Syair Dendang Siti Fatimah ini mengandung mitos? 21.Jika ada, seberapa besar mitos –mitos itu diyakini kebenarannya?
22.Kemudian dapatkah ibu contohkan salah satu bentuk mitos yang terkandung dalam Syair Dendang Siti Fatimah ini?
23.Menurut Ibu selain mitos apakah Syair Dendang Siti Fatimah ini juga mengandung ideologi?
24.Jika ada , ideologi apakah yang terkandung dalam Syair Dendang Siti Fatimah ini? Dan bagaimanakah bentuknya?
25.Apakah ada hubungan ideologi pemilik tradisi ini yakni Fatimah anak Nabi Muhammad SAW dengan penyebaran agama Islam?
(5)
(6)