Analisis Putusan Mahkamah Agung Atas Pembuktian Itikad Tidak Baik Dalam Pendaftaran Merek

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada era globalisasi ini perkembangan industri dan perdagangan yang pesat
memberikan gambaran dunia usaha nasional menjadi arena persaingan yang ketat dan
selektif. Teknologi modern yang mampu mempersingkat jarak, waktu, serta
komunikasi membuat negara-negara di dunia bersatu, dalam perdagangan saling
ketergantungan serta saling mempengaruhi. Dunia industri dan perdagangan nasional
sendiri dewasa ini menunjukkan berbagai gejala persaingan yang cukup berat. Hal ini
diperlihatkan oleh tingkat pemanfaatan kapasitas barang-barang produk nasional yang
rendah dan perebutan pasar yang tidak sehat, tidak simpatik, serta tidak
mengindahkan nilai-nilai etis dalam perdagangan. Keadaan ini sering kali bukan
hanya merugikan para pedagang atau produsen, tetapi juga merugikan masyarakat
luas khususnya konsumen.
Merek berguna untuk memperkenalkan produk suatu perusahaan, merek
mempunyai peranan yang sangat penting bagi pemilik suatu produk. Hal ini
disebabkan oleh fungsi merek itu sendiri untuk membedakan dalam memperkenalkan
suatu barang dan/atau jasa dengan barang dan/atau jasa lainnya yang mempunyai
kriteria dalam kelas barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi oleh perusahaan
yang berbeda.


1

1

Pendaftaran suatu merek yang terdaftar berarti telah dapat diterapkan salah
satu strategi pemasaran, yaitu strategi pengembangan produk kepada masyarakat
pemakai atau kepada masyarakat konsumen, dimana kedudukan suatu merek
dipengaruhi oleh baik atau tidaknya mutu suatu barang yang bersangkutan. Jadi,
merek akan selalu dicari apabila produk atau jasa yang menggunakan merek
mempunyai kualitas yang baik dan dapat digunakan untuk mempengaruhi pasar. 1
Untuk itu diperlukan pengaturan yang memadai mengenai merek untuk memberikan
peningkatan layanan bagi masyarakat. Jadi yang dikedepankan adalah pelayanan bagi
masyarakat. Tujuan dan Pembangunan Nasional ini adalah terciptanya masyarakat
yang adil, makmur, maju, dan mandiri sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
Pengaturan masalah merek di Indonesia sebenarnya bukanlah hal yang baru,
karena Indonesia mengenal Hak Merek pertama kali pada saat dikeluarkannya
Undang-Undang Hak Milik Perindustrian yaitu dalam “Reglement Industrieele
Eigendom Kolonien” Staatblad 545 Tahun 1912, yang kemudian diganti dengan

Undang-Undang Merek Nomor 21 Tahun 1961. Kemudian diganti pula dengan
Undang-Undang Nomor 19 tahun 1992 tentang Merek dan diubah dengan UndangUndang Merek Tahun 1997 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1992 tentang Merek.2 Kemudian Undang-Undang tersebut dinyatakan tidak berlaku

1

Sudaryat, Hak Kekayaan Intelektual, Koase Media, Bandung, 2010, hal. 32
RM.Djumhana. Hak Milik Inteleklual, Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal.150.
2

2

lagi dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek,
yang tercantum dalam Lembaran Negara Nomor 110 Tahun 2001.
Penyempurnaan ini dilakukan setelah Indonesia tunduk kepada persetujuan
General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang bersama 116 negara lainnya
telah meratifikasinya di Maroko pada tanggal 15 April 1994, serta menyetujui
berlakunya Trade Related Aspects Of Intellectual Property Rights (TRIPs) , yaitu
aspek-aspek perdagangan yang bertalian dengan Hak Milik Intelektual. Saat ini

Undang-Undang Merek Nomor 14 Tahun 1997 juga dirasa tidak mampu lagi
mengatasi permasalahan-permasalahan seputar merek, maka pemerintah telah
mengesahkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.3
Merek merupakan alat untuk membedakan barang dan jasa yang diproduksi
oleh suatu perusahaan dengan maksud unrak menunjukkan ciri dan asal usulnya
(indication of origin) suatu barang atau jasa yang sekaligus juga menjadi pembeda
bagi barang-barang dan jasa-jasa yang lain. 4 Pemberian merek terhadap barangdan
jasa ini akan mempengaruhi citra suatu perusahaan di mata para konsumen, atau
dapat dikatakan akan menaikkan citra perusahaan.5 Pemberian merek ini juga akan
memberikan kualitas (mutu) dari barang dan jasa tersebut serta mencegah terjadinya
peniruan. Dalam hal ini merek memberikan nilai atau kualitas dari barang dan jasa
yang bersangkutan.Hal ini tidak hanya berguna bagi produsen pemilik merek
3
Achmadi Miru, Hukum Merek (Cara Mudah Mempelajari Undang-Undang Merek), Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 32
4
Ibid, hal. 152
5
Haris Munandar, Mengenal HaKI, Hak Cipta Paten dan Merek Serta Seluk Beluknya,
Erlangga, Jakarta, 2008, hal. 52


3

tersebut, tetapi juga memberikan jaminan dan perlindungan mutu barang dan jasa
kepada konsumen.6
Namun dalam kehidupan dunia usaha sehari-hari dalam rangka mencapai
pemasaran bagi produk usaha tidak jarang terjadi perbuatan melanggar hukum dan
persaingan tidak sehat seperti peniruan, pemalsuan atau pemakaian merek tanpa hak
terhadap merek-merek tertentu dan perbuatan-perbuatan tidak jujur lainnya yang
merupakan perbuatan melawan hukum yang dapat menimbulkan kerugian. Perbuatan
melawan hukum yang dilakukan terhadap hak merek terdaftar sebagai bentuk usaha
persaingan yang tidak jujur (unfair competition) itu antara lain berupa praktek
peniruan merek dagang, serta praktek atau tindakan-tindakan yang dapat merugikan
dengan memakai merek tanpa hak terutama terhadap merek oleh produsen yang tidak
bertanggung jawab.7
Masalah unfair competition ini berkaitan erat dengan unsur itikad tidak baik.
Bertitik tolak dari Penjelasan Pasal 57 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 tentang Merek No. 19 Tahun 1992 yang sudah diadopsi menjadi Pasal 69 ayat
(2) dala Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek No 15 Tahun 2001,
dimana dinyatakan pengajuan gugatan pembatalan tanpa batas waktu, terdiri dari dua

alasan:8

6

Ibid, hal. 153
Citra Citrawinda Priapanjta, Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia, Biro Oktroi
Rooseno, 2000, hal. 50
8
Gatot Supramono, Pendaftaran Merek Berdasarkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2001,
Djambatan, Jakarta, 2005, hal. 64
7

4

1. Berdasarkan alasan bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, dan
2. Berdasarkan alasan "itikad tidak baik " (bad faith).
Sulit untuk menentukan definisi yang pasti dan konkret. Dari pendekatan teori
dan praktek terdapat pengertian yang sangat luas. Misalnya, meniru, memproduksi
atau mencontoh maupun membonceng kemasyuran merek orang lain secara itikad
tidak baik. Setiap orang tahu, itikad tidak baik "(bad faith) merupakan lawan kata dari

"itikad baik" (good faith). Secara umum, jangkauan pengertian itikad tidak baik,
meliputi perbuatan "penipuan" (fraud) . Termasuk juga rangkaian yang "menyesatkan
" (misleading) orang lain. Meliputi juga tingkah laku yang mengabaikan kewajiban
hukum untuk mendapat keuntungan. Atau bisa juga diartikan melakukan perbuatan
yang tidak dibenarkan secara sadar untuk mencapai suatu tujuan yang tidak jujur
(dishonesthy purpose) .9
Dalam pengkajian Merek, setiap perbuatan peniruan, reproduksi, mengkopi,
membajak atau membonceng kemasyuran merek orang lain, dianggap perbuatan :10
1. Pemalsuan (fraud)
2. Penyesatan (deception,misleading)
3. Memakai merek orang lain tanpa hak (unauthorized use)
Setiap perbuatan Pemalsuan, penyesatan atau memakai merek orang lain
tanpa hak, secara harmonisasi dalam perlindungan merek, dikualifikasi sebagai :

9

Agus Riswandi, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, Raja Grafindo, Jakarta,
2005, hal. 19
10
Rachmadi Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual (Perlindungan dan Dimensi

Hukum di Indonesia), Alumni, Bandung, 2003, hal. 67

5

1. Persaingan curang (unfair competition),
2. Serta dinyatakan sebagai perbuatan mencari kekayaan secara tidak jujur
(unjust enrichment)11.
Atas dasar kondisi global yang demikian itu, Indonesia telah melakukan
upaya-upaya penyesuaian dengan memperbaharui tiga undang-undang yang mengatur
tentang Merek, Paten dan Hak Cipta. Sebelumnya terlebih dahulu Indonesia juga
telah meratifikasi (lima) konvensi-konvensi/Traktat Intemasional yang berkaitan
dengan Hak Milik Intelektual. Langkah tersebut merupakan suatu keseriusan dalam
menghadapi perdagangan bebas di era globalisasi.
Peraturan perundang-undangan tentang Merek di Indonesia telah mengalami
perkembangan yang sangat pesat, sebagaimana terbukti dalam satu dekade ini
telah terjadi beberapa kali perubahan atas Undang-Undang Merek tersebut.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek digantikan oleh
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997, dan selanjutnya Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1997 disempurnakan oleh Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 tentang Merek.12

Beberapa tahun belakangan ini, permasalahan hak atas kekayaan intelektual
(intelectual property right) semakin banyak mendapatkan perhatian, baik dan
pemerintah, kalangan akademis maupun masyarakat luas. Hal ini tidak terlepas dari
mulai berkembangnya kesadaran untuk memberikan perlindungan bagi karya
intelektual seseorang dengan memberikan hak-hak khusus kepada mereka.
Penghargaan terhadap karya intelektual ini diperlukan untuk menumbuhkan dan
mengembangkan daya kreativitas serta sikap inovatif masyarakat. Semangat

11
12

Ibid, hal. 71
Ibid, hal. 154

6

kreativitas tersebut akan sangat berarti bagi kelancaran pembangunan khususnya
dalam upaya untuk memenuhi segala kebutuhan hidup masyarakat modem yang
semakin kompleks.
Permasalahan mengenai hak atas kekayaan intelektual akan menyentuh

berbagai aspek seperti aspek teknologi, industri, sosial, budaya dan berbagai
aspek lainnya, Namun aspek terpenting jika dihubungkan dengan upaya
perlindungan bagi karya intelektual adalah aspek hukum, Hukum diharapkan
mampu mengatasi berbagai permasalahan yang timbul berkaitan dengan hak
atas kekayaan intelektual tersebut. Hukum harus dapat memberikan
perlindungan bagi karya intelektual, sehingga mampu mengembangkan daya
kreasi masyarakat yang akhirnya bermuara pada tujuan berhasilnya
pembangunan yang sedang dilaksanakan.13
Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dikenal adanya
pendaftaran merek yang maksudnya untuk mengatur ketertiban dalam
menggunakan merek. Pendaftaran merek merupakan suatu keharusan bagi
pemilik merek, karena tanpa melakukan pendaftaran, pemilik merek tidak
mempunyai hak atas merek. Merek yang tidak terdaftar di Kantor Merek tidak
dilindungi oleh Undang-Undang.Yang berarti jika terjadi peniruan atau
pemalsuan merek, maka pihak pemilik merek yang tidak terdaftar tidak dapat
melakukan tuntutan hukum.14
Namun

di


pasaran

banyak

barang

yang

diperdagangkan

dengan

mempergunakan merek yang meniru merek terkenal yang telah terdaftar. Peniruan
merek terkenal atau penggunaan merek yang mirip dengan merek terkenal merupakan
penyesatan pada konsumen dan merugikan bagi pemilik yang sah atas merek terkenal
yang sudah terdaftar tersebut. Banyak pengusaha dengan itikad tidak baik meniru
merek terkenal dan bahkan mendaftarkannya ke direktorat hak atas kekayaan
intelektual.

13

14

Gatot Supramono, 1996, Pendaftaran Merek, Djambatan, Jakarta, hal. 2
Ibid, hal. 4

7

Merek dibutuhkan oleh konsumen untuk melakukan pemilihan barang yang
akan dibeli berdasarkan merek dagang yang akan dipasarkan yang menunjukkan
kualitas dari merek tersebut. Apabila barang yang dipilih berdasarkan merek yang
diinginkan sudah sesuai dengan keinginannya, mereka tidak memperdulikan apakah
merek yang digunakan oleh pengusaha tersebut asli atau tiruan dan didaftarkan atau
tidak. Pendaftaran merek dagang di Indonesia dilakukan di Direktorat Jenderal HaKI
yang dilakukan dengan dasar itikad baik. Apabila pendaftaran merek dilakukan
dengan itikad tidak baik maka Direktorat Jenderal HaKI akan menolak pendaftaran
merek tersebut. Dan apabila merek tersebut telah didaftarkan dengan itikad tidak baik
maka pihak pemilik merek yang sah yang merasa dirugikan atas pendaftaran merek
tersebut dapat melakukan gugatan ke Pengadilan Niaga hingga mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung.
Dalam sengkeat merek yang dilaksanakan melalui jalur litigasi (pengadilan)
putusan Pengadilan Niaga maupun Pengadilan Tinggi hingga Mahkamah Agung pada
dasarnya akan memutuskan untuk membatalkan merek yang didaftarkan dengan
itikad tidak baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang Merek
Nomor 15 Tahun 2001 dimana pendaftaran merek yang dilakukan dengan itikad tidak
baik wajib di tolak dan apabila telah didaftarkan wajib dibatalkan oleh pengadilan
dalam hal ini adalah Pengadilan Niaga.
Dalam sengketa merek dagang Lotto yang memproduksi jenis pakaian jadi
berupa kemeja, baju kaos, jacket, celana panjang, tas, coper, sepatu olahraga, baju
dan kaos kaki olahraga, jaring (net) untuk tenis meja maupun bulu tangkis, milik

8

Newk Plus Four Far East (PTE) Ltd Singapura sebagai pemakai pertama merek
dagang Lotto tersebut sejah tahun 1975. Pada tahun 1985 Direktorat Jenderal HaKI
telah menerima pendaftaran merek dagang Loto yang didaftarkan dengan No.137430
tanggal 4 Maret 1945 oleh Hadi Darsono yang mengandung prinsip sama pada
pokoknya terhadap merek dagang Lotto milik PTE Ltd Singapura. Atas pendaftaran
merek Loto oleh Hadi Darsono tersebut maka pihak PTE LTd Singapura
mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga Jakarta dan sampai mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung. Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan mengabulkan
gugatan penggugat untuk seluruhnyai dan menyatakan penggugat sebagai pemakai
pertama di Indonesia atas merek dagang Lotto dan karena itu mempunyai hak tunggal
/ khusus untuk memakai merek tersebut di Indonesia.
Selanjutnya dalam putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan bahwa
merek Loto milik tergugat yang didaftarkan dengan No. Register 187824 adalah sama
pada pokoknya dengan merek penggugat baik dalam tulisan, ucapan kata maupun
suara, dan oleh karena itu dapat membingungkan, meragukan serta memperdaya
khalayak ramai tentang asal usul dan kualitas barang merek Lotto tersebut.
Menyatakan membatalkan pendaftaran merek dagang Loto dengan Register No.
187824 dalam daftar umum merek atas nama tergugat dengan segala akibat
hukumnya.

Memerintahkan

Direktorat

Jenderal

HaKI

untuk

membatalkan

pendaftaran merek dagang Loto atas nama Hadi Darsono. Dari putusan Mahkamah
Agung tersebut di atas dapat dikatakan bahwa Mahkamah Agung memiliki
pandangan bahwa pelaksanaan pendaftaran merek harus dilakukan dengan itikad

9

baik. Apabila pendaftaran merek dengan tidak itikad baik maka merek tersebut wajib
dibatalkan pendaftarannya apabila sudah terjadi di Direktorat Jenderal HaKI. Namun
demikian perlindungan hukum yang diberikan oleh Mahkamah Agung terhadap
pemegang merek yang sah tidak selamanya konsisten.
Di dalam kasus sengketa merek Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga dengan
Lukisan Badak Antara Wen Ken Drug Co ( PTE ) Ltd Lawan PT. Sinde Budi Sentosa
(Putusan Mahkamah Agung RI No.595 K/Pdt.Sus/2011 tanggal 17 Oktober 2011),
Mahkamah Agung justru memenangkan PT Sinde Budi Sentosa sebagai pemilik
merek yang sah dari Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga dengan Likisan Badak.
Meskipun, Wen Ken Drug Co ( PTE ) Ltd adalah merupakan pengguna merek
Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga dengan Lukisan Badak sejak tahun 1937 dan telah
di daftarkan di Direktorat Jenderal HaKI sejak tahun 1978. Pertimbangan hukum
Mahkamah Agung adalah bahwa PT Sinde Budi Sentosa adalah pemilik merek
Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga dengan lukisan Badak yang telah didaftarkan di
Direktorat merek untuk pertama kalinya sehingga PT Sinde Budi Sentosa adalah
pemilik merek yang sah Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga dengan lukisan Badak dan
menyatakan PT Sinde Budi Sentosa adalah pendaftar merek dengan itikad baik.
Inkonsistensi Putusan Mahkamah Agung dalam sengketa merek dalam rangka
memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang merek yang sah dan telah
terdaftar di Direktorat Jenderal HaKI di Indonesia menarik untuk diteliti lebih lanjut
khususnya mengenai konsistensi Mahkamah Agung atas pembuktian itikad tidak baik
dalam pendaftaran merek.

10

Undang-Undang Merek harus disosialisasikan agar pengusaha mengetahui arti
pentingnya dasar itikad baik dalam pendaftaran merek. Situasi dan kondisi yang
menimbulkan kerugian di pihak produsen pemilik merek. Para konsumen dan
pemerntah ini membutuhkan suatu pengaturan yang baik agar dapat memberikan
perlindungan dan kepastian hukum dalam dunia merek.15
Jika Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dilihat secara
keseluruhan maka tampak bahwa undang-undang ini berupaya memberikan
perlindungan kepada pemegang hak atas merek terdaftar semaksimal
mungkin. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang
Merek ini diharapkan pelanggaran-pelanggaran hak atas merek terdaftar dapat
dikurangi, mengingat sanksi yang akan dijatuhkan semakin diperberat16
Oleh karena itu pemilik merek terkenal yang sudah didaftarkan secara sah
untuk pertama kalinya harus memperoleh perlindungan hukum yang memadai.
Selama ini masalah perlindungan hukum terhadap pemilik merek terkenal

yang

sudah terdaftar di rasa masih lemah. Hal ini terbukti masih ada produk dari merek
terkenal dengan kepemilikan ganda (berbeda). Seharusnya terhadap permasalahan ini
aparat penegak hukum tidak boleh membiarkan terjadinya peniruan merek-merek
yang telah dikenal oleh masyarakat secara luas tersebut. Tindakan peniruan merek
terkenal yang dilakukan oleh pengusaha dengan itikad tidak baik akan merugikan
pengusaha yang memiliki atau memegang hak atas merek terdaftar tersebut. Di
samping itu peniruan merek terkenal dengan itikad tidak baik akan merugikan

15
Ibe Maulana, Sukses Bisnis Melalui Merek, Paten dan Hak Cipta, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2007, hal. 46
16
Insan Budi Maulana, Kompilasi Undang-Undang Hak Cipta, Paten, Merek dan Terjemahan
Konvensi-Konvensi di Bidang Hak Atas Kekayaan Intelectual, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,
hal.7

11

konsumen pengguna produk dari merek terkenal tersebut. Hal ini disebabkan karena
masyarakat pengguna produk dari merek terkenal tersebut telah mengetahui kualitas
dan reputasi produk, sehingga apabila terjadi peniruan atau bahkan pemalsuan dari
merek terkenal tersebut maka kualitas dan reputasi produk yang seharusnya dijamin
dengan baik menjadi berkualitas tidak baik / rendah.17
Ketika suatu merek telah di tiru oleh pengusaha lain, maka pemegang hak atas
merek terkenal yang telah terdaftar tersebut akan berusaha mendapatkan kembali hak
atas merek dagangnya itu. Usaha ini memerlukan biaya yang tidak sedikit. Salah satu
cara upaya mendapatkan kembali hak atas dagang merek tersebut adalah melalui jalur
litigasi (pengadilan) dengan mengajukan gugatan pembatalan merek yang sama
dengan merek terkenal yang sudah terdaftar tersebut. Banyak kasus pembatalan
merek yang melibatkan sejumlah merek terkenal yang masih tertunda proses
hukummnya di Mahkamah Agung.18
Di dalam suatu masyarakat yang sedang berkembang seperti Indonesia, maka
hak atas kekayaan intelektual harus mampu untuk menampung kebutuhan-kebutuhan
masyarakat dan selanjutnya mengarahkannya. Merek sebagai salah satu wujud karya
intelektual, juga memiliki peranan penting bagi kelancaran dan peningkatan
perdagangan barang dan jasa di Indonesia. Merek merupakan “suatu alat yang
digunakan untuk membedakan barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu

17

Adi Sumarto, Hak Milik Perindustrian, Akademika Presindo, Jakarta, 2006, hal. 67
Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, Undang-Undang Merek Baru, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2002, hal. 47
18

12

perusahaan dengan maksud untuk menunjukkan ciri dan asal usul barang (Indication
of Origin)”.
Selain itu pemberian merek dapat menunjukkan kualitas dan mutu dari barang
dan jasa. Tetapi dalam prakteknya atau dalam kenyataannya tak jarang perbuatan
melawan hukum yang dilakukan terhadap hak merek barang terdaftar sebagai usaha
persaingan yang tidak jujur seperti peniruan, pemalsuan atau pemakaian merek tanpa
hak terhadap merek-merek tertentu.19
Dalam hal ini merek memberikan jaminan nilai atau kualitas barang dan jasa
yang bersangkutan. Selanjutnya merek juga berfungsi sebagai sarana promosi (means
of trade promotion) dan reklame bagi produsen atau pengusaha-pengusaha yang
memperdagangkan barang dan jasa yang bersangkutan.
“Pemakaian sesuatu merek dalam praktek juga membawa pengaruh terhadap
sikap keberterimaan masyarakat tentang keberadaan merek itu.Jika suatu merek
sudah cukup dikenal dalam masyarakat, maka merek tersebut dianggap telah
mempunyai daya pembedaan yang cukup hingga dapat diterima sebagai merek”.20

Konsumen dapat memilih merek yang disukai dan jika mereka puas dengan
satu merek, mereka selanjutnya akan membeli atau memesan barang tersebut dengan
menyebut mereknya saja. Pemilihan merek berawal dari munculnya keburuhan dalam

19
20

hal. 376.

Sudargo Gaulama dan Rizawanlo Winala, Op. Cit., hal. 19.
OK Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002,

13

diri konsumen. Kemudian berdasarkan informasi yang tersedia, konsumen melakukan
evaluasi dan berikutnya memilih merek yang paling sesuai.
Di pasaran banyak ditemui barang produk dan jasa yang diperdagangkan
dengan memalsukan merek yang terdaftar. Banyak pengusaha produk barang dan jasa
(selanjutnya disebut pengusaha) yang tidak mendaftarkan mereknya, atau
mendaftarkan merek yang mirip dengan merek terkenal tersebut. Bagi konsumen
merek diperlukan unluk mengadakan pilihan barang yang akan dibeli. Apabila barang
yang dipilih sudah sesuai dengan keinginannya, mereka tidak memperdulikan apakah
merek yang digunakan oleh pengusaha didaftarkan atau tidak.21
Merek memberikan fungsi untuk membedakan suatu produk dengan produk
lain dengan memberikan tanda, seperti yang didefinisikan pada Pasal 1 Undang
Undang Merek (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001). Tanda tersebut harus
memiliki daya pembeda dan digunakan dalam perdagangan barang atau jasa. Dalam
prakteknya merek digunakan untuk membangun loyalitas konsumen. Hak atas Merek
adalah hak eksklusif yang diberikan Negara kepada pemilik merek yang terdaftar
dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu menggunakan sendiri merek
tersebut atau memberi ijin kepada seseorang atau beberapa orang secara bersamasama atau badan hukum untuk menggunakannya.22

21

Kusnarto Ismail, Masalah Perlindungan Hak Milik Intelektual, Hukum dan Ekonomi,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hal. 12
22
Yenni Sumaida, Perlindungan Bisnis Merek di Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
2008, hal. 75

14

Untuk melindungi para pengusaha atau pemegang hak merek dari perbuatan
melawan hukum yang dilakukan terhadap produk merek terkenal yang telah terdaftar,
maka perlu diberikan perlindungan hukum terhadap hak merek barang terdaftar.
Perlindungan hukum dapat berupa pemberian sanksi hukum terhadap pelanggar hak
merek, baik dalam bentuk ganti rugi maupun dalam bentuk tuntutan pidana.
Adanya kepastian hukum guna melindungi merek terdaftar, dapat
menghilangkan suatu pandangan buruk terhadap hukum.Selama ini banyak
orang beranggapan adanya pelanggaran terhadap hak merek menunjukkan
bahwa hukum itu seolah-olah tidak mempunyai kekuatan untuk memberikan
jaminan perlindungan terhadap hak seseorang, dalam hal ini hak merek dapat
dimiliki oleh seseorang atau badan hukum.23
Lahirnya Undang-Undang Merek Nomor 15 tahun 2001 diharapkan dapat
melindungi konsumen pemakai barang dan produsen pemilik barang dari
perbuatan-perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum yang
dilakukan terhadap bak merek terdaftar sebagai bentuk usaha persaingan yang
tidak jujur (unfair competition) itu antara lain berupa praktek peniruan merek
barang, serta indikasi-indikasi yang dapat mengacaukan publik berkenaan
dengan sifat dan asal-usul dari suatu merek.24
Adanya perlindungan hukum tersebut berupa pemberian sanksi hukum
terhadap pelanggar hak merek baik dalam bentuk ganti rugi perdata maupun hukum
pidana. Untuk dapat menegakkan sanksi hukum ini dalam Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 tentang Merek itu juga diberikaji perlindungan hukum dalam bentuk
gugatan ganti rugi perdata yakni dalam bentuk pemberian ganti rugi materiil dan
immateriil, ketentuan pidana denda serta tuntutan pidana badan.
Merek yang didaftarkan di Indonesia masih terbatas sebagaimana dimaksud
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. dalam sistem
hukum merek Indonesia, kemasan atau aroma suatu produk tidak dapat
23
24

Ibid, hal. 78
Gatot, Supramono, Op. Cit, hal. 15

15

dikategorikan sebagai merek. Hal ini berbeda dengan sistem perlindungan
merek di negara-negara Uni Eropa yang membolehkan kemasan dan aroma
diterima pendaftarannya sebagai merek apabila memiliki daya pembeda
dengan merek lainnya.25
Beberapa Putusan Mahkamah Agung tentang sengketa merek :
1. Putusan Mahkamah Agung RI No. 048 K/N/HaKI/2005 tanggal 20 Januari 2005
2. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 026 K/N/HaKI/2005 tanggal 25 Juli 2005
3. Putusan Mahkamah Agung RI No. 028K/N/HKI/2005 tanggal 12 September 2005
4. Putusan Mahkamah Agung RI No.595 K/Pdt.Sus/2011 tanggal 17 Oktober 2011
Hukum berfungsi salah satunya sebagai pelindung manusia. Agar kepentingan
manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat
berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran
hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui
penegakan hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan.26
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka menarik untuk diteliti dan dikaji
tentang Analisis Putusan Mahkamah Agung Atas Pembuktian Itikad Tidak Baik
Dalam Pendaftaran Merek.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka perumusan masalah yang
dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

25

Insan Budi Maulana, Sukses Bisnis Melalui Merek, Paten dan Hak Cipta, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1997, hal. 53.
26

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999, hal 145.

16

1. Bagaimana penerapan asas itikad tidak baik sebagai salah satu alasan
pembatalan Merek berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
tentang Merek?
2. Bagaimana konsistensi putusan Mahkamah Agung atas pembuktian itikad
tidak baik dalam pendaftaran Merek di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang tersebut di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui penerapan asas itikad tidak baik sebagai salah satu alasan
pembatalan Merek berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
tentang Merek.
2. Untuk mengetahui konsistensi putusan Mahkamah Agung atas pembuktian
itikad tidak baik dalam pendaftaran Merek di Indonesia
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun
secara praktis dibidang hukum pasar modal yaitu :
1.

Secara Teoritis.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membertikan sumbangan pemikiran

terhadap akademisi, pengemban disiplin ilmu hukum bidang HaKI, terutama praktisi
hukum merek dalam rangka menunjang pelaksanaan tugas sesuai dengan UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.

17

2.

Secara Praktis.
Mengharapkan hasil penelitian ini dapat diserap dan dimanfaatkan oleh pelaku

bisnis maupun pelaksanaan penegakan hukum bidang Merek sebagai kerangka acuan
dalam penyelesaian penanganan perkara yang berkaitan dengan tuntutan ganti rugi
atau pemalsuan merek dagang terdaftar.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas
Sumatera Utara khususnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Magister
Kenotariatan Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul ini belum
pernah dilakukan. Akan tetapi, ditemukan beberapa judul tesis yang berhubungan
dengan topik dalam tesis ini antara lain:
1. Erly Sulanjani, NIM. 037011023/MKn, dengan judul tesis “Penggunaan
Merek Dagang Tidak Terdaftar : Studi Mengenai Faktor-faktor Penyebab
Tidak Didaftarkannya Merek Dagang di Kawasan Industri Medan (KIM)”.
Subtansi permasalahan adalah :
a.

Bagaimana akibat hukum penggunaan merek dagang tidak terdaftar yang
dipasarkan di Indonesia?

b. Apa alasan tidak didaftarkannya merek dagang oleh pengusaha di
kawasan industri Medan?
c.

Bagaimana sanksi pidana yang dijatuhkan atas tidak didaftarkannya
merek dagang di kawasan industri Medan tersebut?

18

2. Dewi Femi Nasution, NIM. 047011014/MKn, dengan judul tesis “Aspek
Hukum perjanjian Lisensi Merek Dagang”.
Subtansi permasalahan adalah :
a.

Bagaimana ruang lingkup perjanjian lisensi merek dagang berdasarkan
peraturan perundang-undangan di Indonesia?

b. Bagaimana akibat hukum dari pelaksanaan perjanjian lisensi merek
dagang bagi para pihak yang membuatnya?
3. Vania

Sitepu,

NIM.

117011120/MKn,

dengan

judul

tesis

“Proses

Penyelesaian Sengketa dan Sanksi Hukum Atas Merek Dagang Asing (Studi
Kasus Tentang Gugatan Pencabutan Hak Merek “Toast Box” Oleh Bread Talk
PT. LTd No. 02/Merek / 2011/PN Niaga.Medan)”.
Subtansi permasalahan adalah :
a.

Bagaimana prosedur hukum pendaftaran merek dagang asing di
Indonesia?

b. Bagaimana perlindungan hukum terhadap merek dagang asing yang telah
terdaftar di Indonesia?
c.

Bagaimana penyelesaian sengketa dan sanksi hukum atas gugatan merek
dagang asing di Indonesia?

Berdasarkan karya-karya ilmiah yang telah disebutkan di atas tidak satupun
penelitian tersebut yang sama dengan penelitian ini baik dari segi judul maupun dari
segi subtansi permasalahan yang di bahas. Oleh karena itu penelitian ini secara
akademis dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.

19

F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori,

thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi dasar perbandingan,
pegangan teoritis. 27 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan
pedoman/ petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.28
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum.
Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu adanya aturan yang
bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak
boleh dilakukan dan keamanan hukum bagi individu dari kewenangan pemerintah
karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap
individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang
melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang
satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang sama yang telah diputuskan
(yurisprudensi).
Hukum memang pada hakikatnya adalah sesuatu yang bersifat abstrak,
meskipun dalam manifestasinya bisa berwujud konkret. Oleh karenanya pertanyaan
tentang apakah hukum itu senantiasa merupakan pertanyaan yang jawaban yang tidak
mungkin satu. Dengan kata lain resepsi orang mengenai hukum itu beraneka ragam

27

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994. hal. 80

28

Lexy Molloeng, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993. hal. 35

20

tergantung dari sudut mana yang mereka memandang. Kalangan hakim akan
memandang hukum itu dari sudut profesi keilmuan mereka. Di samping itu hakim
juga memandang hukum tersebut sebagai sarana untuk menegakkan kebenaran dan
keadilan serta kepastian hukum melalui putusan-putusan hakim di pengadilan.
Dalam memutus suatu perkara di pengadilan, hakim harus memperhatikan
bukti-bukti yang diajukan dan memutus berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di masyarakat. Di samping itu hakim juga harus memperhatikan nilainilai kepatutan dan keadilan yang diakui umum, sehingga dalam setiap putusan hakim
melalui badan peradilan dapat mencerminkan suatu kepastian hukum dalam
melindungi para pihak yang benar. Namun apabila dalam suatu perkara yang
ditangani oleh hakim di pengadilan belum memiliki peraturan perundang-undang
maka hakim dapat pula melakukan penemuan hukum untuk memutuskan perkara
tersebut. Hakim dapat melakukan penemuan hukum dengan memperhatikan nilainilai kebenaran dan keadilan yang hidup di masyarakat. Hal ini bertujuan untuk
mengharmonisasikan antara kepastian hukum, kebenaran dan keadilan dalam setiap
putusan yang dikeluarkan oleh hakim melalui badan peradilan sehingga setiap
putusan hakim tersebut dapat sesuai dengan nilai-nilai kepatutan dan keadilan yang
diakui oleh masyarakat.
Konsep penyelesaian perkara merek yang mempunyai suatu nilai yang bersifat
ekonomi di pengadilan wajib memperoleh kepastian hukum dan keadilan terhadap
pemilik merek sah. Dalam Pasal 90 sampai dengan 95 Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 tentang Merek. Alternatif penyelesaian sengketa pemalsuan merek

21

merupakan bentuk penyelesaian bersifat publik, dimana pemeriksaan sengketa /
peristiwa pidana dilakukan di pengadilan umum.
Merek telah dipergunakan sejak ratusan tahun yang lalu untuk memberikan
tanda dari produk yang dihasilkan dengan maksud untuk menunjukan asal-usul
barang (indication of original). Merek atau sejenisnya dikembangkan oleh para
pedagang sebelum adanya industrialisasi. Bentuk merek mulai dikenal dari bentuk
tanda resmi (hall mark) di Inggris bagi tukang emas, tukang perak dan alat-alat
pemotong.Sistem tanda resmi seperti itu terus dipakai karena bisa membedakan dari
barang sejenis lainnya.29
Merek sebagai salah satu hak intelektual memiliki peranan

penting bagi

kelancaran dan peningkatan perdagangan barang atau jasa dalam kegiatan
perdagangan dan penanaman modal. Merek dengan

brand image-nya dapat

memenuhi kebutuhan konsumen akan tanda pengenal atau tanda pembeda yang
teramat penting dan merupakan jaminan kualitas produk atau jasa dalam suasana
persaingan bebas. Tanpa adanya Merek maka akan sulit bagi konsumen untuk
membedakan kualitas dari suatu produk. Itulah sebabnya Merek merupakan salah
satu.30
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek di dalam Pasal 1 angka
1 dicantumkan tentang rumusan Merek yaitu “Merek adalah tanda yangberupa
gambar, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur29

Muhammad Djumhana, Op. Cit, hal. 117
Cita Citrawinda Priapantja, Perlindungan Merek Terkenal Di Indonesia, Biro Oktroi
Rooseno, Bogor, 2000, hal.1.
30

22

unsur tersebut yang memiliki daya pembedaan yang digunakan dalam keadaan
kegiatan perdagangan barang atau jasa.”
Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dapat
diambil unsur-unsur merek sebagai berikut:31
a. Adanya tanda berupa gambar atau nama, kata, huruf-huruf, angka-angka,
susunan wama, atau kombinasi dari semuanya.
b. Adanya daya pembeda atau ciri khas tertentu;
c. Digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Jadi tanda atau merek barang dan jasa tersebut haruslah mampu mempunyai
daya beda yang cukup tinggi (capable of distinguishing) atau ciri khas tertentu
sehingga ia beda dari yang lainnya agar dapat diterima pendaftarannya sebagai
merek. Namun rumusan merek tersebut juga harus dibedakan pula dengan “logo
yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia juga berarti huruf atau lambang yang
mengandung makna terdiri atas satu kata atau lebih sebagai lambang atau nama
perusahaan dan lain-lain.Walaupun mirip, logo tidak harus dikaitkan dengan kegiatan
perdagangan barang atau jasa seperti merek. “Dalam praktek, bentuk merek dan logo
memang bisa sama tetapi pengaturan hukumnya amat berbeda, logo tidak diatur
dalam Undang-Undang merek tapi secara implisit masuk dalam kategori hak cipta.”32
Didalam peranannya yang demikian ini hukum hanya mempertahankan saja
apa yang telah menjadi sesuatu yang tetap dan diterima didalam masyarakat atau

31
32

Harsono Hadisumarto, Hak Milik Perindustrian, Akademi Pressindo, Jakarta, 1990. hal. 44
Saidin, Op. Cit, hal. 343

23

hukum sebagai penjaga status quo. Diluar itu hukum masih dapat menjalankan
fungsinya yang lain, yaitu dengan tujuan untuk mengadakan perubahan-perubahan di
dalam mayarakat.33
Hukum sebagai sarana melakukan Social Enginering antara lain ada dua hal
yang dapat dijalankan oleh hukum didalam masyarakat, pertama yaitu sebagai sarana
kontrol sosial dan kedua sebagai sarana untuk melakukan Social Enginering. Sebagai
sarana kontrol sosial masyarakat, maka hukum bertugas untuk menjaga agar
masyarakat berada di dalam pola-pola tingkah laku yang telah diterima olehnya.34
Bahkan persepsi terhadap merek merupakan gengsi bagi kalangan tertentu.
Gengsi seseorang terletak pada barang dan jasa yang digunakannya dengan alasan
yang sering muncul adalah karena kualitas, bonafiditas, atau investasi sehingga merek
sudah menjadi gaya hidup. Merek juga dapat membuat seseorang menjadi percaya
diri atau bahkan menentukan kelas sosialnya. Beragamnya merek-merek produk yang
ditawarkan produsen kepada konsumen menjadikan konsumen fanatik terhadap
merek-merek tertentu. Sebab konsumen dihadapkan pada berbagai macam pilihan,
bergantung kepada daya beli atau kemampuan konsumen. Dimana masyarakat
menengah ke bawah dalam menggunakan barang-barang merek terkenal dengan cara
membeli barang palsunya. Walaupun barangnya palsu, imitasi, dan bermutu rendah,
tidak menjadi masalah asalkan dapat membeli barang yang mirip dengan merek
barang terkenal. Tujuan bagi pemilik merek dalam menggunakan merek atas barang33

Mulyantno, Sisi Lain Berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang
Merek.Varia Peradilan No.III, Tahun X Desember 1994, hal. 152
34
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung, Angkasa, 1979, hal. 117.

24

barang produksinya adalah untuk memantapkan pertanggungjawaban pihak produsen
atas kualitas barang yang diperdagangkan selain itu dimaksudkan untuk mengawasi
batas-batas teritorial perdagangan suatu jenis barang tertentu dengan merek tersebut,
nilai suatu barang menjadi penting di mata konsumen. Oleh sebab itu, suatu produk
tanpa identitas atau merek maka dapat dipastikan akan menemui kesulitan dalam
pemasaran, karena dengan merek merupakan ”penjual awal” bagi suatu produk untuk
dijual kepada konsumen.
Para konsumen biasanya untuk membeli produk tertentu dengan melihat dari
mereknya, karena menurut konsumen bahwa merek yang dibeli berkualitas tinggi dan
aman untuk dikonsumsi sebagai reputasi dari merek. Merek merupakan suatu basis
dalam perdagangan modern di era perdagangan bebas saat ini. Dikatakan demikian,
karena merek dapat menjadi dasar perkembangan perdagangan modern yang ruang
lingkupnya mencakup reputasi penggunaan merek (goodwill), lambang kualitas,
standar mutu, sarana menembus segala jenis pasar, dan diperdagangkan dengan
jaminan guna menghasilkan keuntungan besar. Terdapatnya merek dapat lebih
memudahkan konsumen membedakan produk yang akan dibeli oleh konsumen
dengan produk lain sehubungan dengan kualitasnya, kepuasan, kebanggaan, maupun
atribut lain yang melekat pada merek.
Dalam hal ini Dirjen HKI sebagai pihak yang berwenang harus berpedoman
kepada ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek
yang menentukan bahwa merek tidak dapat didaftar atas dasar permohonan yang
diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik (bad faith). Sehubungan dengan itu,

25

Dirjen HKI seharusnya melakukan pemeriksaan substantif terhadap pemohon
pendaftaran merek selama 3 (tiga) bulan dan paling lama 9 (sembilan) bulan dan
didasarkan kepada Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 tentang Merek.
Penerapan itikad tidak baik dalam pendaftaran merek dijadikan sebagai alasan
pembatalan merek menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek,
bertujuan untuk mengetahui adanya penerapan persamaan pada pokoknya dan itikad
tidak baik dalam suatu gugatan pembatalan pendaftaran merek. Alasan terjadinya
suatu pembatalan pendaftaran merek yang didasarkan pada persamaan pada pokoknya
dan itikad tidak baik serta hal-hal yang dibuktikan pada persamaan pada pokoknya
sama dengan yang dibuktikan pada itikad tidak baik dalam suatu gugatan pembatalan
terhadap pendaftaran merek.35
2.

Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi

diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang
konkrit, yang disebut dengan operasional defenition.

36

Pentingnya definisi

operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran
mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk menjawab
permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar

35

Ibid
Sutan Reny Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para
Pihak Dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, Institut Bankir Indonesiai, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1993, hal. 10
36

26

secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah
ditentukan, yaitu :
a. Konsistensi adalah ketetapan dan kemantapan dalam bertindak. Melakukan
kegiatan secara terus menerus dengan tekun dan benar tanpa keluar dari jalur
atau batasan yang telah ditentukan, memegang teguh prinsip atau pendirian
dari segala yang telah ditentukan.
b. Pendaftaran merek adalah pencatatan nama, alamat dan sebagainya dalam
daftar mengenai tanda yang dikenalkan oleh pengusaha pada barang yang
dihasilkan sebagai tanda pengenal.
c. Merek terdaftar adalah tanda yang dikenalkan oleh pengusaha pada barang
yang dihasilkan sebagai tanda pengenal yang sudah didaftar atau dicatat
d. Merek tidak terdaftar adalah tanda yang dikenalkan oleh pengusaha pada
barang yang dihasilkan sebagai tanda pengenal yang tidak dicatat
e. Itikad tidak baik dalam merek adalah pemakaian merek yang mempunyai
persamaan pada pokoknya yang dapat menimbulkan kebingungan yang nyata
yang

menyesatkan

masyarakat

konsumen

yang

mengandung

unsur

membonceng ketenaran merek milik orang lain.
G. Metode Penelitian
1.

Sifat dan Jenis Penelitian
Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu

masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas

27

terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia. Dengan demikian
metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk
memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.37
Jenis penelitian ini adalah penelitian ilmu hukum normatif, dimana
pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji ketentuan perundangundangan yang berlaku mengenai peraturan perundangan-undangan tentang merek
yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 yang membahas tentang
prosedur dan tata cara pendaftaran merek dan juga membatalan merek yang berlaku
di Indonesia.38 Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, maksudnya adalah dari
penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang
permasalahan yang akan diteliti. Analisis dilakukan berdasarkan gambaran, fakta
yang diperoleh dan akan dilakukan secara cermat bagaimana menjawab permasalahan
dalam menyimpulkan suatu solusi sebagai jawaban dari permasalahan tersebut.
2.

Sumber Data
Data penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum

primer, sekunder maupun tertier yang dikumpulkan melalui studi dokumen dan
kepustakaan yang terdiri dari :
a.

Bahan Hukum Primer
Sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya
adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.

37

Sutrisno Hadi, Metodologi Riset, ANDI, Yogyakarta, 2000, hal. 4

38

Bambang Sunggono, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 2006, hal. 27

28

b.

Bahan Hukum Sekunder
Bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti
misalnya Rancangan Undang-Undang, hasil-hasil penelitian serta penelitian yang
relevan dengan penelitian ini

c.

Bahan Hukum Tertier
Bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terbadap bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder yang berupa kamus umum, kamus hukum, majalah,
surat kabar dan jurnal-jurnal hukum, laporan ilmiah.39

3.

Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang

dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut
mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi,
buku-buku harian, buku-buku, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang
dikeluarkan oleh pemerintah.
Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah meliputi
penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau
doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahuluan yang
berhubungan dengan objek yang diteliti dapat berupa peraturan perundang-undangan
dan karya ilmiah, dan kasus-kasus yang terjadi melalui putusan pengadilan yang telah

39

Soerdjono Soekanto dan Sri Mamudji,
Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 2000, hal. 18

Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan

29

berkekuatan hukum tetap pembatalan pendaftaran merek yang dibuktikan dengan
itikad tidak baik dari pendaftaran.40
4.

Analisis Data
Setelah diperoleh data sekunder yakni berupa bahan hukum primer, sekunder

dan tertier, kemudian diolah dan dianalisa dengan menggunakan metode kualitatif,
yakni pemaparan kembali dengan kalimat yang sistematis secara komprehensif
integral yang pada akhirnya dinyatakan dalam bentuk deduktif.41

40
41

Burhan Ashshofh, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2006, hal. 30
Soerdjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op, Cit, hal. 19