Attachment to God Mahasiswa Angkatan 2014 yang Menjadi Anggota di Lembaga Pelayanan "X" Bandung.

(1)

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tipe attachment to God dan faktor-faktor yang memengaruhi mahasiswa baru yang menjadi anggota di lembaga pelayanan “X” Bandung. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan menggunakan metode kuantitatif. Penelitian tidak menggunakan teknik pengambilan sampel karena seluruh anggota populasi menjadi responden.

Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner attachment to God yang disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Beck & McDonald (2004). lat ukur ini terdiri atas 28 item yang terbagi dalam dua bagian, yaitu bagian satu item dari dimensi avoidance (14 item) dan bagian kedua item dari dimensi anxiety (14 item). Kuesioner attachment to God memiliki validitas diantara 0,319 sampai 0,780. Serta memiliki reliabilitas dimensi anxiety 0,887 dan dimensi avoidanve 0,808. Validitas alat ukur dilakukan dengan menggunakan construct validity dan reliabilitas alat ukur dilakukan dengan menggunakan koefisien Alpha Cronbach. Faktor-faktor yang memengaruhi attachment to God dijaring melalui beberapa pernyataan dalam data penunjang.

Berdasarkan analisis yang dilakukan dalam penelitian ini disimpulkan bahwa sebagian besar mahasiswa anggota lembaga pelayanan “X” memiliki tipe attachment to God fearful (39,4%). Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh pihak lembaga pelayanan “X” sebagai bahan evaluasi untuk melakukan pelatihan dan bimbingan bagi pembimbing rohani mengenai pemberian pendalaman Alkitab yang efektif. Kemudian hasil penelitian ini dapat digunakan untuk melakukan pembinaan character building bagi para pembimbing rohani.


(2)

Abstrack

The aim of this study is to investigate how the type of attachment to God and several factors influence new university students becoming members of “X” ministry in Bandung city. This design of study uses descriptive qualitative method. Then The study does not conduct sampling technique but the respondens are all member of its organization. sampling techniques since all members of the population were respondents.

The measurement tool of the study is questioner form based on research of Beck and McDonald (2004). This measurement tool consist of 28 items and all item are divided into 2 parts. The avoidance dimension which has 14 items and the second parts is anxiety dimension which has 14 items too. The validity of this questioner is from 0,319 to 0,780. Then the reliability of the anxiety dimension is 0,887 and the reliability of avoidance dimension is 0,808. The validity assessment of study conducts construct validity and the realiability assessment of study conducts Alpha Cronbach coefficient. Moreove, the factors affected to attachment to God are collected from statements on supporting data.

The conclusion of the study points out that most of new university students becoming “X” ministry members tend to has attachment to God fearful (39,4%). The result of this research is able to use for evaluation to “X” ministry to support the spiritual counselo’s training and counseling in orders to find the effective Bible learning. In addition, the result of study is also purposeful developing spiritual counselor spiritual and character building.


(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...iv

DAFTAR LAMPIRAN...viii

DAFTAR TABEL...xi

DAFTAR BAGAN...xii

BAB 1 PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Identifikasi Masalah...9

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian...9

1.4 Kegunaan Penelitian...10

1.4.1 Kegunaan Teoritis...10

1.4.2 Kegunaan Praktis...10


(4)

1.6 Asumsi Penelitian...20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...21

2.1 Attachment 2.1.1 Pengertian Attachment...21

2.1.2 Internal Working Model...23

2.2 Attachment to God...24

2.2.1 Pengertian Attachment to God...24

2.2.2 Dimensi dan Model Attachment to God...25

2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Attachment to God...27

2.3 Masa Transisi dari masa remaja menuju masa dewasa...30

2.3.1 Masa Transisi dari Sekolah Menengah ke Perguruan Tinggi...32

2.4 Masa Dewasa Awal...33

2.4.1 Definisi Dewasa Awal...33

2.4.2 Perkembangan Sosioemosional Di Masa Dewasa Awal...34

BAB III METODOLOGI PENELITIAN...43

3.1 Prosedur Penelitian...43

3.2 Variabel dan Definisi Operasional...44

3.2.1 Variabel Penelitian...44

3.2.2 Definisi Konseptual...44

3.2.3 Definisi Operasional... 44


(5)

3.3.1 Sistem Penilaian...47

3.3.2 Data Pribadi dan Penunjang...47

3.3.2.1 Data Pribadi...47

3.3.2.2 Data Penunjang...47

3.3.3 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur...48

3.3.3.1 Validitas Alat Ukur...48

3.3.3.2 Reliabilitas Alat Ukur...49

3.4 Karakteristik Populasi...50

3.5 Analisa Data...50

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...52

4.1 Gambaran Umum Subyek Penelitian...52

4.1.1 Gambaran Subyek Berdasarkan Umur...52

4.1.2 Gambaran subyek berdasarkan jenis kelamin...53

4.2 Gambaran Hasil Penelitian...53

4.3 Pembahasan...54

BAB V SIMPULAN DAN SARAN...66

5.1 Simpulan...66


(6)

5.2.1 Saran Teoritis...67

5.2.2 Saran Praktis...67

DAFTAR

PUSTAKA...68

DAFTAR

RUJUKAN...69


(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi-kisi Alat ukur...46

Tabel 3.2 Tabel Sistem Penilaian...47

Tabel 4.1 Gambaran subyek berdasarkan umur...52

Tabel 4.2 Gambaran subyek berdasarkan jenis kelamin...53


(8)

VI. DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Tabel L1 Keterkaitan antara faktor mencari orang tua dengan tipe

attachment to God

Lampiran 2 : Tabel L2 Keterkatian antrara faktor merasa lega dan puas dengan orang tua dengan tipe attachment to God

Lampiran 3 : Tabel L3 Keterkaitan antara faktor rutin mengikuti kegiatan ibadah raya dengan tipe attachment to God

Lampiran 4 : Tabel L4 Keterkaitan antara faktor rutin mengikuti pendalaman Alkitab dengan tipe attachment to God

Lampiran 5 : Tabel L5 Keterkaitan antara mengalami masalah dalam perkuliahan dengan attachment to God

Lampiran 6 : Tabel L6 Keterkaitan antara mengalami permasalahan dalam lembaga pelayanan “X” dengan attachment to God

Lampiran 7 : Tabel L7 Keterkaitan antara mengalami sakit dengan attachment to God

Lampiran 8 : Tabel L8 Keterkaitan antara beberapa kali dirawat di rumah sakit dengan attachment to God

Lampiran 9 : Tabel L9 Keterkaitan antara kehilangan orang terdekat dengan tipe

attachment to God

Lampiran 10 : Tabel L10 Penghayatan keterkaitan faktor hubungan dengan orang tua dengan attachment to God


(9)

Lampiran 11 : Tabel L11 Penghayatan keterkaitan faktor sosialisasi dengan

attachment to God

Lampiran 12 : Tabel L12 Penghayatan keterkaitan faktor masalah dengan attachment to God

Lampiran 13 : Tabel L13 Penghayatan keterkaitan faktor penyakit dengan attachment to God

Lampiran 14 : Tabel L14 Penghayatan keterkaitan faktor kehilangan orang-orang terdekat

Lampiran 15 : Tabel L15 Penghayatan mahasiswa terhadap kegiatan pendalaman Alkitab

Lampiran 16 : Tabel L16 Tipe attachment to God pada mahasiswa angkatan 2014 yang menjadi anggota lembaga pelayanan “X”

Lampiran 17 : L17 Validitas dan Reliabilitas

Lampiran 18 : L18 Biografi Lembaga Pelayanan “X”

Lampiran 19 : L19 Surat Pernyataan Kesediaan

Lampiran 20 : L20 Kata Pengantar Kuesioner Attachment to God

Lampiran 21 : L21 Kuesioner Attachment to God

Lampiran 22 : L22 Data Penunjang


(10)

Lampiran 24 :L23 Kuesioner Survey Awal

Lampiran 25 : L25 Tabel alat ukur


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Menurut Arnett (dalam Santrock, 2011) masa transisi dari remaja ke dewasa disebut sebagai beranjak dewasa (emerging adulthood) yang terjadi dari usia 18 sampai 25 tahun. Masa ini ditandai oleh eksperimen dan eksplorasi, banyak individu masih mengeksplorasi jalur karier yang ingin mereka ambil. Individu ingin menjadi seperti apa, gaya hidup seperti apa yang mereka inginkan, hidup melajang, hidup bersama, atau menikah.

Mahasiswa merupakan individu yang berada pada rentang usia 18 sampai 23 tahun. Individu diusia 18 tahun berada pada masa remaja akhir yang beralih ke masa dewasa awal. Kemudian menurut Erikson, individu diusia 19 tahun sampai 40 tahun berada pada masa dewasa awal ( http://www.ocfcpacourts.us/assets/files/list-758/file-1038.pdf). Menurut Arnett (dalam Santrock, 2011) individu yang berada pada masa peralihan dari remaja akhir ke dewasa awal memiliki beberapa ciri yaitu individu mengeksplorasi idenditas khususnya dalam relasi romantis dan pekerjaan, ketidakstabilan dalam relasi romantis, dan pendidikan, terfokus pada diri sendiri,

feeling in between, dan masa dimana ada banyak kemungkinan/peluang untuk mengubah kehidupan mereka.

Menurut Erikson (dalam Papalia, 2012) pada masa ini individu menghadapi tugas untuk membentuk relasi yang intim dengan orang lain. Erikson menggambarkan keintiman sebagai penemuan diri sendiri pada diri orang lain tanpa kehilangan diri


(12)

2

sendiri. Intimacy merupakan hal yang penting dalam kehidupan orang dewasa untuk membangun pertemanan, romantic love, dan affectional love. Saat anak muda membentuk persahabatan yang sehat dan relasi yang akrab serta intim dengan orang lain, keintiman akan dicapai, jika tidak individu akan mengalami isolasi. Isolasi dapat membuat individu menolak, mengabaikan, atau menyerang orang-orang yang membuat mereka kesal sehingga membahayakan kepribadian individu.

Erikson (dalam Crain, 2011) mengemukakan bahwa pada masa dewasa awal individu dihadapkan pada intimacy yaitu menjalin relasi yang akrab dan komitmen pribadi yang mendalam dengan orang lain. Ciri perkembangan eksplorasi relasi romantis di masa peralihan dari remaja akhir ke dewasa awal ini terbentur dengan aturan yang diberlakukan oleh lembaga pelayanan “X”. Demikian hal nya dengan tugas perkembangan individu di masa dewasa awal untuk mencapai intimacy

terbentur oleh peraturan lembaga yang didasarkan pada nilai-nilai lembaga pelayanan “X”. Individu yang menjadi anggota lembaga pelayanan “X” dilarang untuk menjalin relasi romantis dan pacaran dalam kurun waktu tertentu. Hal ini menghambat pencapaian intimacy dalam diri individu dan membuat anggota pelayanan “X” harus menunda pemenuhan tugas perkembangan tersebut.

Lembaga pelayanan “X” adalah salah satu lembaga kerohanian yang berada di bawah naungan Persekutuan Mahasiswa Kristen di Universitas “X” Bandung. Di dalam lembaga ini diberlakukan aturan bagi anggotanya untuk tidak menjalin relasi romantis apalagi berpacaran sampai pada tahun ke empat masa studi mereka. Aturan


(13)

3

ini diterapkan demi menjaga fokus mahasiswa anggota lembaga pelayanan “X” dalam mencapai visi dan misi lembaga.

Dalam rangka pengembangan iman kepada Tuhan, lembaga pelayanan “X” memiliki misi untuk menjangkau mahasiswa agar lebih mengenal dan dekat kepada Tuhan dengan berangkat dari kota asal pelayanan, ke kota lain, untuk merintis cabang pelayanan baru disana atau mengunjungi cabang perintisan yang sudah ada. Lembaga pelayanan “X” memiliki visi ”menjadi tempat persemaian bagi mahasiswa untuk memberkati almamater, kampus-kampus lain, Indonesia, dan sampai kepada bangsa-bangsa. Individu-individu dalam lembaga pelayanan “X” diharapkan taat dan berkomitmen melayani sesuai dengan nilai-nilai yang dipegang lembaga. Individu dilarang berpacaran supaya mereka dapat fokus menjalankan visi dan misi, selain itu juga untuk mencegah individu jatuh dalam dosa seks yang akan menghambat mereka dalam melakukan pelayanan kepada sesama.

Ada enam nilai yang dipegang oleh lembaga pelayanan “X”yaitu Radical (rooted in the Bible), Commited (devoted), Servanthood (somebody who serves another), Submissive (ready to submit to others), Integrity, dan Compassion. Nilai-nilai lembaga pelayanan “X” disampaikan kepada jemaatnya melalui beberapa kegiatan antara lain ibadah raya untuk mahasiswa-mahasiswa baru, pendalaman Alkitab untuk mahasiswa baru yang datang menjadi anak rohani dan terlihat di acara-acara lembaga pelayanan “X”. Selanjutnya melalui persekutuan doa Selasa untuk mahasiswa yang telah menjadi anak rohani dan terlihat diacara-acara lembaga pelayanan “X” serta telah mengikuti training untuk menjadi pekerja. Ada satu kegiatan yang dinamakan


(14)

4

ibadah komsel yaitu kegiatan yang diadakan secara berkelompok khusus untuk mahasiswa baru, untuk menyampaikan peraturan melalui khotbah dan memperjelas visi dan misi lembaga pelayanan “X”.

Individu berada pada tahap perkembangan yang membuat mereka memiliki ketertarikan dan ingin menjalin relasi dengan lawan jenis. Disisi lain, lembaga pelayanan “X” melarang individu untuk berpacaran sampai pada tahap tertentu. Hal ini bersifat kontradiktif dan tidak mudah untuk dihadapi. Kenyataan yang terlihat beberapa dari individu di lembaga tersebut ada yang menjalin kedekatan yang romantis seperti penjajakan dan ada yang berpacaran yang kemudian ditegur oleh pemimpin lembaga. Mahasiswa yang ditegur oleh pemimpin ada yang taat dan kemudian menjauh dari pasangan, namun ada pula yang mundur secara perlahan sampai akhirnya menghilang dari lembaga.

Dalam wawancara yang dilakukan kepada seorang pemimpin lembaga pelayanan “X” terungkap bahwa masalah berpacaran ditemukan di kalangan individu yang merupakan angkatan baru. Dari 40 individu yang menjadi jemaat, terdapat 10 orang yang berpacaran maupun yang menjalin kedekatan ke arah berpacaran. Masalah lain adalah masalah ketaatan untuk menghadiri kegiatan pendalaman Alkitab dan kegiatan-kegiatan lembaga pelayanan “X”. Individu dinilai kurang taat, mereka sering tidak hadir dalam kegiatan lembaga pelayanan “X. Beberapa individu tidak memenuhi harapan kehadiran minimal 60% dalam kegiatan-kegiatan lembaga pelayanan “X”. Individu yang melakukan pelanggaran akan menerima konsekuensi berupa teguran langsung dari pemimpin.


(15)

5

Demi mempertahankan komitmen dan memahami dengan sunguh-sungguh visi dan misi lembaga, mengerjakan visi dan misi, serta mau menunda pemenuhan kebutuhan untuk pacaran, individu memerlukan kedekatan dengan Tuhan. Individu yang memiliki kedekatan dengan Tuhan akan mengandalkan dan mencari Tuhan saat menemui masalah. Individu yang dekat dengan Tuhan akan merasa bahwa Tuhan adalah figur yang setia dan mengasihi mereka tanpa syarat. Tuhan tetap setia dan dengan kasih yang begitu besar mengampuni mahasiwa baru yang melakukan pelanggaran. Ketika individu melanggar aturan, mareka bukannya pergi menjauhi Tuhan karena merasa tidak layak, namun justru meskipun merasa tidak layak mereka tetap datang minta ampun dan minta pertolongan Tuhan untuk tetap dapat menjalankan missi nya di lembaga ini.

Dalam konteks psikologi, kedekatan antara individu dengan Tuhan disebut sebagai attachment to God. Menurut Okozi (2006) attachment to God adalah ikatan

afeksi yang terjadi antara individu dengan Tuhan sebagai sosok attachment. Attachment to God dibentuk dari dua dimensi yaitu avoidance of intimacy dan anxiety about abandonment (Beck& McDonald 2004). Anxiety about abandonment adalah kekhawatiran ditolak oleh Tuhan, kebencian atau frustrasi karena merasa kurang disayang oleh Tuhan, kecemburuan akan kedekatan orang lain dengan Tuhan, takut Tuhan tidak menyayanginya, dan kekhawatiran mengenai hubungannya dengan Tuhan. Avoidance of intimacy adalah kebutuhan untuk bergantung kepada dirinya sendiri dari pada Tuhan, kesulitan untuk bergantung kepada Tuhan, dan ketidakmauan untuk dekat secara emosional dengan Tuhan.


(16)

6

Ada empat tipe attachment to God yaitu secures, preoccupied, dismissing, dan

fearful. Tipe secures ditandai oleh derajat anxiety about abandonment dan avoidant of intimacy yang rendah. Cirinya adalah adanya keyakinan pada diri mahasiswa angkatan 2014 yang menjadi anggota di lembaga pelayanan “X”, bahwa Tuhan secara konsisten responsif dan hadir. Kedua, preoccupied ditandai dengan derajat anxiety

about abandonment yang tinggi dan derajat avoidant of intimacy yang rendah. Mahasiswa yang preoccupied menghayati bahwa Tuhan responsif bila diperlukan, namun mahasiswa sering menghayati dirinya tidak layak menerima kasih Tuhan, mereka sering merasa cemas Tuhan akan meninggalkan mereka (Karen, 1998; Solomon & George, 1999). Ketiga, dismissing ditandai dengan derajat anxiety about abandonment yang rendah dan derajat avoidant of intimacy yang tinggi. Mahasiswa menghayati dirinya sebenarnya layak dihadapan Tuhan, namun Tuhan secara konsisten tidak responsif dan tidak hadir dalam hidup mereka, mereka merasa doa-doa mereka tidak dijawab oleh Tuhan, sehingga mereka merasa lebih baik mengandalkan kekuatan sendiri dari pada bergantung kepada Tuhan. (Karen, 1998; Solomon & George, 1999). Keempat, fearful ditandai dengan derajat anxiety about abandonment dan avoidant of intimacy yang tinggi. Mahasiswa yang menunjukkan ketidakteraturan atau kebingungan dengan hubungan dan attachment dari Tuhan (Cassidy & Shaver, 1999; Solomon & George, 1999).

Demi mengembangkan kedekatan mahasiswa dengan Tuhan, mahasiswa membutuhkan pengembangan religiusitas. Menurut Glock &Stark (1986) religiusitas


(17)

7

adalah suatu bentuk kepercayaan adi kodrati yang di dalamnya terdapat penghayatan dalam kehidupan sehari – hari dengan menginternalisasikannya ke dalam kehidupan sehari-harinya.

Individu pada masa dewasa awal berada pada tahap individuatif-reflektif dari perkembangan religiusitas (dalam Scarlet; Warren, 2012). Menurut James W.Fowler dalam buku (Hasan, 2006) pada masa dewasa dini individu mulai bertanggung jawab atas kepercayaan, sikap, komitmen, serta gaya hidup mereka. Individu juga mulai mengembangkan tanggung jawab pribadi terhadap kepercayaan dan perasaannya. Melalui pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang mengembangkan religiusitas dalam diri mahasiswa, dapat mengembangkan kedekatan mahasiswa dengan Tuhan.

Berdasarkan survei awal yang dilakukan kepada 10 orang mahasiswa baru diperoleh data bahwa 60% mahasiswa setuju dengan peraturan lembaga untuk tidak berpacaran, dan 40% mahasiswa kurang setuju dengan peraturan lembaga. Dari 60% mahasiswa baru yang setuju untuk tidak berpacaran, memiliki penghayatan yang

secure, fearful, dan preoccupied kepada Tuhan. Mahasiswa secure yang setuju dengan aturan tidak berpacaran menghayati bahwa doa mereka kepada Tuhan sangat emosional. Ketika mahasiswa berdoa dengan sangat emosional, mereka menghayati kedekatan dengan Tuhan. Kedekatan membuat mereka merasa nyaman dan tidak merasa takut untuk mengekspresikan perasaan ke dalam doanya kepada Tuhan, sehingga mahasiswa mengahayati bahwa Tuhan merupakan figur yang available


(18)

8

berpacaran. Mahasiswa fearful menghayati adanya ketakutan ketika mahasiswa berbuat salah, maka mereka tidak di terima Tuhan. Mahasiswa menghayati dirinya negatif, tidak layak untuk dikasihi dan tidak berharga di hadapan Tuhan ketika mereka melanggar aturan tidak berpacaran yang merupakan visi lembaga dan mereka menghayati bahwa Tuhan tidak responsif terhadap masalah mereka, sehingga mereka memilih untuk tidak bergantung terlalu banyak kepada Tuhan. Preoccupied yang setuju untuk tidak berpacaran menghayati bahwa mereka merasakan iri ketika tidak dapat merasakan kehadiran Tuhan, sedangkan orang lain dapat. Mereka yang tidak menaati aturan untuk tidak berpacaran menghayati dirinya negatif dan tidak layak di hadapan Tuhan sehingga menimbulkan kecemasan bahwa Tuhan tidak konsisten hadir available saat dibutuhkan. Mahasiswa yang setuju dengan peraturan lembaga menghayati bahwa visi dalam diri mereka sesuai dengan aturan lembaga, mahasiswa merasa bahwa mereka belum waktunya untuk berpacaran.

Kemudian dari 40% mahasiswa baru yang kurang setuju untuk tidak berpacaran, memiliki penghayatan yang preoccupied dan secure. Mahasiswa preoccupied yang kurang setuju dengan aturan tidak berpacaran menghayati ketakutan tidak diterima Tuhan ketika berbuat salah. Berbuat salah yang dimaksud adalah ketika mereka melakukan hal-hal yang tidak membangun dan negatif dalam berpacaran. Mahasiswa

secure yang kurang setuju dengan peraturan lembaga mendiskusikan semua masalah dan pergumulan mereka setiap hari dengan Tuhan. Mereka berusaha untuk mencari


(19)

9

Tuhan dan mendapatkan jawaban doa melalui kegiatan doa pribadi mereka setiap hari untuk membuat mereka menerima aturan tidak berpacaran itu dengan lebih sungguh. Mahasiswa yang kurang setuju dengan peraturan lembaga tersebut, mengatakan bahwa mereka akan tetap berdoa agar memperoleh pengertian dan penerimaan yang sungguh-sungguh mengenai aturan tersebut dan ada pula yang mengatakan bahwa merasa bingung untuk keluar atau tidak dari lembaga pelayanan “X”. Mahasiswa yang setuju dengan peraturan lembaga pelayanan “X” memandang Tuhan itu baik. Melalui kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menyosialisasikan Tuhan di dalam lembaga pelayanan “X”, mahasiswa menghayati bahwa Tuhan itu baik walaupun ada tuntutan dari lembaga untuk menunda pemenuhan tugas perkembangannya yang bertujuan untuk mencapai visi demi menjalankan firman Tuhan. Mahasiswa yang kurang setuju ini berupaya untuk meminta pemahaman dan pengertian dari Tuhan melalui kegiatan doa mereka untuk dapat menerima aturan lembaga dan menjalankan visi serta misi lembaga demi menjalankan firman Tuhan. Supaya mahasiswa mampu mempunyai attachment to God yang secure dan memiliki gaya hidup yang sesuai dengan lembaga pelayanan “X”, mahasiswa didampingi oleh kakak pembimbing. Kakak pembimbing bertanggung jawab untuk membimbing, mengingatkan, menegur, dan mendoakan mahasiswa yang menjadi anak bimbingnya. Selain pengembangan religiusitas, lembaga pelayanan “X” ini juga berupaya mengembangkan karakter dan talenta/bakat mahasiswa lewat kegiatan pendalaman Alkitab. Karakter yang lebih matang dan dewasa akan membuat mahasiswa lebih bijak dalam menjalani perkuliahannya, kehidupan pribadi, hubungan pribadi dengan Allah, dan


(20)

10

eksistensinya dalam lembaga pelayanan “X”. Kakak pembimbing memegang peranan penting seperti yang telah di sebutkan di atas untuk menimbulkan penghayatan bahwa Tuhan adalah figur attachment yang responsif dan available setiap saat dibutuhkan. Setiap aspek kehidupan mahasiswa memiliki tantangan masing-masing dan mahasiswa perlu sadar bahwa mereka butuh Tuhan dan menghayati bahwa Tuhan merupakan figur attachment yang secara konsisten hadir dan responsif saat mereka membutuhkan.

Berdasarkan fenomena di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Attachment to God mahasiswa angkatan 2014 yang menjadi anggota di lembaga pelayanan “X” Bandung”.

1.2Identifikasi Masalah

Berdasarkan permasalahan yang diungkapkan pada bagian latar belakang masalah, dalam penelitian ini yang ingin diteliti adalah seperti apakah tipe attachment to God mahasiswa angkatan 2014 yang menjadi anggota di lembaga pelayanan “X” Bandung.

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud penelitian ini ialah ingin mengetahui tipe attachment to God yang dihayati oleh mahasiswa angkatan 2014 yang menjadi anggota di lembaga pelayanan “X” Bandung.


(21)

11

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana tipe attachment to God dan faktor-faktor yang memengaruhi mahasiswa angkatan 2014 yang menjadi anggota di lembaga pelayanan “X” Bandung.

1.4Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoretis

• Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi untuk bidang Psikologi integratif tentang attachment to God.

• Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pengembangan penelitian lain yang berkaitan dengan attachment to God.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini secara praktis merupakan bahan masukan kepada lembaga pelayanan “X” berkaitan dengan pembinaan dan pengembangan attachment to God

mahasiswa angkatan 2014 yang menjadi anggota di lembaga pelayanan “X” Bandung.

1.1Kerangka Pikir

Mahasiswa angkatan 2014 yang melayani di lembaga pelayanan “X” berusia 18-20 tahun berada di masa transisi dari remaja akhir menuju ke dewasa awal dan ada juga yang berada di masa dewasa awal. Di tahap perkembangan ini, individu


(22)

12

mengeksplorasi idenditas khususnya dalam relasi romantis dan pekerjaan, ketidakstabilan dalam relasi romantis, pekerjaan, dan pendidikan, terfokus pada diri sendiri, feeling in between, dan masa dimana ada banyak kemungkinan dan peluang untuk mengubah kehidupan mereka.

Menurut Erikson (dalam Papalia, 2012) pada masa ini individu menghadapi tugas untuk membentuk relasi yang intim dengan orang lain. Erikson menggambarkan keintiman sebagai penemuan diri sendiri pada diri orang lain tanpa kehilangan diri sendiri. Intimacy merupakan hal yang penting dalam kehidupan orang dewasa untuk membangun pertemanan, romantic love, dan affectional love. Pada masa dewasa awal mahasiswa juga diharapkan mendapat pekerjaan dan pasangan hidup. Masa kerja merupakan masa yang penting untuk dipersiapkan dengan matang mulai dari awal perkuliahan. Mahasiswa harus mampu menyelesaikan setiap tugas perkuliahan mereka dan pada akhirnya menyelesaikan studi dengan tepat waktu.

Salah satu karakteristik penting pada masa transisi dari remaja akhir menuju dewasa awal dan dewasa awal adalah membangun relasi yang romantis dan intim dengan lawan jenis. Individu di masa transisi sering mengalami ketidakstabilan dalam relasi romantis, pekerjaan, dan pendidikan. Selain itu menurut Arnett (Santrock, 2011), individu terfokus pada dirinya sendiri, mereka belum mampu memenuhi kewajiban sosial dan membangun komitmen dengan orang lain Sebagai anggota lembaga pelayanan “X” mereka harus memenuhi komitmen terhadap lembaga “X”. Menurut James W.Fowler (dalam Hasan, 2006) pada masa dewasa awal mahasiswa baru mulai bertanggung jawab atas kepercayaan, sikap, komitmen, serta gaya hidup


(23)

13

mereka. Selain mengembangkan komitmen, mahasiswa baru mulai aktif mengikuti kegiatan kerohanian untuk mengembangkan religiusitas mereka.

Salah satu lembaga yang mengadakan kegiatan kerohanian untuk mengembangkan religiusitas mahasiswa baru adalah lembaga pelayanan “X”. Lembaga pelayanan “X” adalah lembaga pelayanan yang berfokus melakukan pemberitaan Injil ke kampus-kampus. Selain itu mahasiswa baru dituntut menaati aturan tidak berpacaran terlebih dahulu sampai pada tahun keempat. Aturan ini di berlakukan untuk mengarahkan fokus mahasiswa pada pencapaian visi dan misi, agar konsentrasi mahasiswa tidak terpecah oleh pikiran tentang relasi romantis. Anggota yang terlibat di dalam lembaga ini ini adalah mahasiswa-mahasiswa dari berbagai universitas di kota Bandung.

Aturan tidak boleh berpacaran menghambat pencapaian intimacy dan menimbulkan isolasi. Mahasiswa baru berada di tahap dewasa awal memiliki kebutuhan berpacaran, namun di sisi lain harus memiliki komitmen menunda kebutuhan berpacaran sampai tahun ke empat. Mahasiswa baru yang melanggar aturan dan tidak mengerjakan visi merasakan kecemasan (anxiety) dan rasa kuatir ditolak Tuhan. Mahasiswa baru bisa menghindari (avoidance) Tuhan karena menganggap aturan lembaga pelayanan itu menghambat pencapaian tugas perkembangan intimacy mereka dan merasa tidak layak dihadapan Tuhan. Jika mereka dekat dengan Tuhan, mereka merasa nyaman dalam berhubungan dengan Tuhan dan merasa diterima oleh Tuhan, maka ketika mengalami kesulitan dalam menjalankan visi yang berkontradiksi dengan pemenuhan kebutuhannya sebagai


(24)

14

individu di masa dewasa awal dan masa peralihan, mereka cenderung akan mencari dan mengandalkan Tuhan dalam masalah yang mereka hadapi. Mahasiswa yakin bahwa Tuhan available dan responsif terhadap kebutuhan mereka.

Dalam konteks psikologi, kedekatan individu dengan Tuhan disebut attachment to God. Attachment to God adalah ikatan afeksi yang terjadi antara manusia dengan Tuhan sebagai sosok attachment (Okozi, 2006). Menurut Kirkpatrick (2005)

attachment to God adalah persepsi tentang availability dan responsivity figur

attachment yang supernatural. Menurut Kirkpatrick (2005) terbentuknya attachment to God dibentuk oleh internal working model. Internal working model adalah hasil internalisasi individu tentang semua pengalaman aktual selama berinteraksi dengan orang tua atau pengasuh utama. Hasil dari internalisasi ini adalah penghayatan akan diri dan lingkungan, yang disebut sebagai internal working model tentang diri dan lingkungan. IWM terbagi menjadi dua dimensi, yaitu IWM tentang diri dan lingkungan. Pada awal kehidupan, IWM berkaitan dengan sejauh mana pengasuh utama dapat diandalkan, mencintai, care, dan melindungi disebut IWM tentang orang lain (others). IWM ini juga berkaitan dengan sejauh mana dirinya layak, berharga untuk dicintai, dipedulikan dan dilindungi, ini adalah IWM tentang diri (self).

Beck dan McDonald (2004) mengembangkan pengukuran attachment to God

berdasarkan dua dimensi yaitu avoidance of intimacy dan anxiety about abandonment. Anxiety about abandonment. yang tinggi menggambarkan IWM diri yang negatif, yaitu individu mencemaskan dirinya yang tidak layak dihadapan Tuhan.


(25)

15

Anxiety about abandonment. rendah menggambarkan IWM diri yang positif, artinya individu tidak cemas karena merasa dirinya cukup berharga di hadapan Tuhan.

Avoidance of intimacy menggambarkan IWM tentang Tuhan. Avoidance of intimacy

yang tinggi menggambarkan IWM tentang Tuhan yang negatif, Tuhan dipandang sebagai figur yang tidak responsif dan tidak available ketika dibutuhkan, sehingga individu menghindari kedekatan dan kebergantungan kepada Tuhan, dan bergantung kepada dirinya sendiri. Sebaliknya avoidance of intimacy rendah menggambarkan IWM terhadap Tuhan yang positif, individu tidak menghindari Tuhan.

Kedua dimensi IWM dapat menghasilkan empat tipologi yaitu secure, preoccupied, fearful, dan avoidant attachment (Bartholomew, 1990). Mahasiswa yang securely attached to God pada umumnya memahami dan mengalami Tuhan dalam pengertian positif, misalnya caring dan protective (memiliki internal working model yang positif tentang Tuhan). Individu tahu bahwa dirinya layak dicintai dan berharga untuk mendapat kasih Tuhan (internal working model tentang diri yang positif).

Insecure avoidant (dismissing) adalah mahasiswa menghayati bahwa dirinya layak dicintai dan berharga, namun Tuhan dianggap menarik diri, Tuhan mengabaikan, khususnya saat dibutuhkan. Mahasiswa merasa bahwa Tuhan tidak dapat dipercaya, Tuhan tidak available ketika dibutuhkan, dan Tuhan tidak mudah dijangkau ketika sedang ada masalah. Mereka mengembangkan internal working model yang negatif tentang Tuhan dan internal working model positif tentang diri.


(26)

16

Anxious ambivalent atau preoccupied adalah mahasiswa yang merasa cemas, bingung, atau terpaku pada keinginan yang sangat besar untuk mendapatkan respons dari Tuhan dalam situasi ancaman, direfleksikan dalam keyakinan bahwa Tuhan itu tidak konsisten available dan responsif untuk dirinya, karena merasa dirinya tidak layak menerima cinta kasih Tuhan. Mereka mengembangkan internal working model

yang positif tentang Tuhan dan internal working model yang negatif tentang diri.

Fearful avoidant adalah mahasiswa memandang dirinya negatif (internal working model of self) dan Tuhan (internal working model of God) yang ditunjukkan dalam penghayatan berjarak dan atau tidak tertarik untuk dekat dengan Tuhan, keyakinan bahwa Tuhan tidak available dan tidak responsif dalam situasi ancaman, mengganggap Tuhan menarik diri dan mengabaikan, khususnya saat dibutuhkan, tidak menganggap penting hubungan dengan Tuhan, dan meminimalisasi hubungan dengan Tuhan di dalam kehidupannya, serta menghindari kebergantungan kepada Tuhan.

Tipe attachment to God dipengaruhi oleh beberapa faktor, faktor yang pertama yaitu attachment antara mahasiswa dan orang tua (caregiver) yang dilihat dari the correspondence hypothesis dan the compensation hypothesis. The correspondence hypothesis mengatakan bahwa attchment to God pada dasarnya merupakan “cermin” yang dimiliki seseorang dalam hubungannya dengan caregiver. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Granqvist dan Hagekull (1999) individu yang

attachment dengan orang tuanya insecure, akan insecure pula dengan Tuhan (Granqvist dan Hagekull, 2001). Individu yang pada kanak-kanaknya memiliki


(27)

17

hubungan bermasalah dengan orang tua, cenderung akan meningkatkan kemungkinan untuk mencoba-coba beberapa keyakinan dalam jangka waktu singkat, seolah-olah melihat keyakinan mana yang paling cocok. Menurut hipotesis korespondensi individu yang secure dengan orang tuanya akan secure pula dengan Tuhan. Orang tua sebagai fasilitator bagi individu pada masa kanak-kanak untuk mengenal agama dan cenderung menimbulkan keyakinan yang konsisten kepada Tuhan.

The compensation hypothesis mengatakan bahwa relasi dengan Tuhan membantu individu untuk mengkompensasikan kurangnya ikatan afeksi dengan

caregiver. Pada hipotesis kompensasi individu yang memiliki attachment dengan

caregiver secure, akan menghasilkan attachment to God yang secure pula. The compensation hypothesis mengatakan, kurangnya attachment individu mungkin dapat memotivasi kepercayaan kepada Tuhan. Anak-anak yang gagal membangun

attachment yang secure dengan orang tua cenderung untuk mencari tokoh attachment

pengganti. Pengganti yang dimaksud yang lebih kuat, bijaksana, handal dan terbukti dapat diakses serta responsif terhadap individu yaitu Tuhan (Ainsworth, 1985). Hipotesis kompensasi akan memprediksi bahwa bahwa orang yang masa kanak-kanaknya insecure, kemungkinan besar akan mencari Tuhan untuk memperoleh keselamatan dan kenyamanan yang tidak diperoleh saat masa kecil dengan orang tua.

Faktor kedua yaitu sosialisasi tentang Tuhan melalui kegiatan-kegiatan di dalam lembaga pelayanan “X”. Serangkaian kegiatan pendalaman Alkitab, Komsel, Korps, Herritage Camp, Herritage Workshop, Ibadah Raya, dan persekutuan doa Selasa merupakan bentuk pensosialisasian tentang Tuhan dalam lembaga.


(28)

18

Serangkaian kegiatan dalam lembaga tersebut bertujuan untuk membuat mahasiswa saling menguatkan, mendukung, membangun, memperdalam visi dan misi lembaga yang dilakukan dengan beberapa cara yaitu doa dan sharing serta didasarkan pada firman Tuhan. Mahasiswa diwajibkan untuk hadir minimal 60% dalam setiap kegiatan pelayanan agar lebih memahami visi dan misi. Kegiatan tersebut akan memengaruhi tipe attachment to God pada mahasiswa baru di lembaga. Kegiatan tersebut berisi pengenalan mengenai Tuhan, setelah melalui kegiatan tersebut mahasiswa menghayati dan mengenal Tuhan. Penghayatan setiap mahasiswa kepada Tuhan akan berbeda-beda dan ini mempengaruhi kedekatan dengan Tuhan. Ketika mahasiswa mengikuti kegiatan didalam lembaga pelayanan ‘X” maka akan menumbuhkan attachment to God pada diri mahasiswa. Mahasiswa yang lebih aktif mengikuti kegiatan tersebut berpeluang memiliki attachment to God yang secure

dibandingkan mahasiswa yang kurang aktif mengikuti kegiatan di lembaga pelayanan “X”.

Faktor yang ketiga adalah faktor situasional yang terdiri atas krisis dan distress. Argyle dan Beit Hallahmi (1975) mengatakan individu lebih banyak berdoa dibandingkan pergi ke gereja saat mengalami stress. Situasi sulit yang dialami mahasiswa berpeluang membuat mahasiswa mencari Tuhan sehingga berpeluang menimbulkan attachment to God yang secure. Dalam faktor ketiga ketika mahasiswa menghadapi penyakit dan cedera, doa adalah metode coping yang paling umum dilakukan saat menghadapi penyakit serius. Penyakit dan cedera yang dihadapi


(29)

19

mahasiswa berpeluang mendorong mahasiswa untuk mencari Tuhan dan hal ini berpeluang menimbulkan attachment to God yang secure.

Berikutnya kematian dan griefing ada tiga faktor yang berkorelasi nyata dengan

attchment pada respons dalam menghadapi kehilangan. Pertama, kehilangan orang yang dicintai karena sakit. Kedua, kehilangan yang disertai dengan sejumlah stressor.

Ketiga kehilangan figur attachment utama mengakibatkan individu mencari figur

attachment pengganti, yakni Tuhan. Loveland (dalam Kirkpatrick, 2005) mengatakan bahwa mahasiswa yang kehilangan figur orang tua akan banyak berdoa. Aktifitas berdoa tersebut berpeluang untuk menimbulkan attachment to God yang secure.

Faktor-faktor di atas dapat menimbulkan ketegangan emosional, sebagai manusia dalam kelompok usia dewasa dini, mahasiswa mungkin merasakan keresahan emosional dan bingung dalam menghadapi hal-hal diatas. Dari sudut pandang

attachment, alasan kematian dari figur attachment itu traumatik karena menyebabkan perpisahan permanen dengan orang tua. Tuhan dapat menjadi pengganti figur


(30)

20

Bagan 1.1 Kerangka pikir 1. Attachment dengan orang tua (caregiver)

2. Sosialisasi tentang Tuhan melalui kegiatan-kegiatan diLembaga pelayanan “X”

3. Faktor-faktor situasional :

• Krisis dan Distress • Penyakit dan cedera

• Kematian dan griefing

Mahasiswa baru yang melayani di Pelayanan ”X”

Attachment to God

Secure Preoccupied

Dismissing Fearfull Anxiety


(31)

21

1.6 Asumsi

• Banyak tantangan yang ditemui oleh mahasiswa angkatan 2014 yang menjadi anggota di lembaga pelayanan “X” Bandung dalam melaksanakan tanggung jawabnya untuk mewujudkan visi lembaga pelayanan “X”.

• Salah satu tantangan tersebut adalah mahasiswa baru yang berada pada masa dewasa awal memiliki kebutuhan untuk berpacaran, namun di sisi lain aturan lembaga pelayanan “X” melarang berpacaran.

• Tantangan di atas, membuat mahasiswa penting untuk memiliki

attachment to God yang secure.

• ATG dapat diukur melalui dua dimensi yaitu anxiety dan avoidance

• Dari dimensi anxiety dan avoidance, diperoleh empat model attachment to God yaitu secure attachment, avoidant attachment, fearfull attachment,

dan dismissing attachment.

Atachment mahasiswa dengan orang tua, sosialisasi yang diterima mahasiswa mengenai Tuhan melalui rangkaian kegiatan di dalam lembaga pelayanan “X” dan faktor situasional merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi tipe Attachment to God pada diri mahasiswa.


(32)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Dari pembahasan mengenai attachment to God pada mahasiswa angkatan 2014 yang menjadi anggota di lembaga pelayanan “X” dapat ditarik simpulan sebagai berikut :

1) Tipe attachment to God pada mahasiswa angkatan 2014 yang menjadi anggota di lembaga pelayanan “X” bervariasi dari secure, preoccupied, dissmiding,

and fearful, danyang paling terlihat menonjol adalah tipe secure dan fearful.

2) Faktor situasional yang diduga memiliki keterkaitan dengan tipe attachment to God adalah faktor sosialisasi yang dilakukan melalui kegiatan ibadah raya.

5.2 Saran

Beberapa saran dari peneliti disajikan berikut ini.

5.2.1 Saran Teroritis

1) Bagi peneliti berikutnya, hasil penelitian ini dapat menjadi masukan jika ingin melakukan penelitian korelasionalantara keaktifan dalam mengikuti kegiatan keagamaan yang dilaksanakan oleh lembaga pelayanan “X” dengan attahment to God


(33)

67

2) Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan jika ingin melakukan penelitian korelasional antara peran pembimbing rohani terhadap

attachment to God pada mahasiswa yang menjadi anggota di lembaga pelayanan “X”.

3) Bagi peneliti yang akan melakukan penelitian kontribusi dan korelasi sarankan untuk menggunakan alat ukur berupa kuesioner yang telah teruji validitasnya.

5.2.2 Saran Praktis

Bagi pihak koordinator dan pimpinan lembaga pelayanan “X” hasil penelitian ini dapat digunakan dalam kegiatan pelatihan dan bimbingan bagi pembimbing rohani mengenai pemberian pendalaman Alkitab yang efektif kepada mahasiswa angkatan 2014 yang menjadi anggota di lembaga pelayanan “X” dan hasil penelitian ini juga dapat digunakan untuk melakukan pembinaan character building bagi para pembimbing rohani.


(34)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2011). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Singarimbun, Masri & Efendi, Sofian. (1989). Metode Penelitian Survey. Jakarta : LP3ES

Beck, Richard. (2006). “God a Secure Base : “Attachment to God and Theological Exploration”. Journal of Psychology and Theology, 34, (2), 125-132.

Beck, Richard. & McDonald, Angie. (2004). “Attachment to God : Inventory: The Attachment to God Inventory, Test of working Model Correspondence, and an Exploration of Faith Group Differences”. Journal of psychology and theology, 32, (2),92-103.

Cooper, L.B., Jerry, B.A., Marsha, J.H., & Marcus, T.B. (2009). ” Differentiated Styles of Attachment to God and Varying Religious Coping Effort”. Journal of Psychology and Theology, 37, (2), 134 – 141.

Crain. William. (2011). Theories of Development : Concepts and Application.

USA : Pretince Hall Pearson Higher Education.

Jenay, S.C. (2010). Attachment to God as source of struggle and strength : Exploring the association between christian’s relationship with God and their emotional well being. Disertasi Doktor. Albany : Filosophy in Psychology Massey University.

Kirkpatrick, L.A. (2005). Attachment, Evolution, and The Psychology of Religion.

New York-London : The Guildford Press.

McDevitt, T. & Omrod, J. (2010). Child Development and Education. New Jersey : Pearson Education, Inc.

Michael. Alexandra. & Richard. (2010). The Handbook of Live Span Development Vol 2: Social and Emotional Development. Kanada : John Wiley & Sons. Nasikhah & Prihastuti. (2013). “Hubungan Antara Tingkat Religiusitas dengan

Perilaku Kenakalan Remaja pada Masa Remaja Awal”. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan, 02, (1), 2.

Papalia & Feldman. (2012). Experience Human Development twelfth edition.

New York : Mc Graw-Hill International Edition.


(35)

69

Rowatt & Kirkpatrick. (2002). “Two Dimension of Attachment to God and Their Relation to Affect, Religiosity, and Personality Constructs”. Journal for The Scientific Study of Religion, 41 : 4. 637-651.

Santrock, J. W. (2011). Life-Span Development : Perkembangan Masa Hidup

(edisi ketigabelas). Jakarta : Erlangga.

Sugiyono, (2005). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: Alfabeta


(36)

DAFTAR RUJUKAN

http://puslit.depsos.go.id/upload/post/files/0b882f9035fc154d3c95ec97d6959b38.pdf

(Diakses pada tanggal 11 November 2014)

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23450/4/Chapter%20II.pdf (Diakses pada tanggal 11 November 2014)

(http://scholar.googleusercontent.com/scholar?q=cache:PeCk9GnMhoYJ:scholar. google.com/+jurnal+pengertian+sosialisasi&hl=en&as_sdt=0,5 (Diakses pada tanggal 15 Agustus 2014)

(http://www.ocfcpacourts.us/assets/files/list-758/file-1038.pdf) (Diakses pada tanggal 20

Juni 2015)

(digilib.uinsby.ac.id/154/3/Bab%202.pdf). (Diakses pada tanggal 8 Juli 2015)

(psychology.about.com/od/psychosocialtheories/fl/psychosocial-Stages-Summary-Chart.htm) (Diakses pada tanggal 20 Juni 2015)


(1)

21

1.6 Asumsi

• Banyak tantangan yang ditemui oleh mahasiswa angkatan 2014 yang menjadi anggota di lembaga pelayanan “X” Bandung dalam melaksanakan tanggung jawabnya untuk mewujudkan visi lembaga pelayanan “X”. • Salah satu tantangan tersebut adalah mahasiswa baru yang berada pada

masa dewasa awal memiliki kebutuhan untuk berpacaran, namun di sisi lain aturan lembaga pelayanan “X” melarang berpacaran.

• Tantangan di atas, membuat mahasiswa penting untuk memiliki attachment to God yang secure.

• ATG dapat diukur melalui dua dimensi yaitu anxiety dan avoidance

• Dari dimensi anxiety dan avoidance, diperoleh empat model attachment to God yaitu secure attachment, avoidant attachment, fearfull attachment, dan dismissing attachment.

Atachment mahasiswa dengan orang tua, sosialisasi yang diterima mahasiswa mengenai Tuhan melalui rangkaian kegiatan di dalam lembaga pelayanan “X” dan faktor situasional merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi tipe Attachment to God pada diri mahasiswa.


(2)

5.1 Simpulan

Dari pembahasan mengenai attachment to God pada mahasiswa angkatan 2014 yang menjadi anggota di lembaga pelayanan “X” dapat ditarik simpulan sebagai berikut :

1) Tipe attachment to God pada mahasiswa angkatan 2014 yang menjadi anggota di lembaga pelayanan “X” bervariasi dari secure, preoccupied, dissmiding, and fearful, danyang paling terlihat menonjol adalah tipe secure dan fearful.

2) Faktor situasional yang diduga memiliki keterkaitan dengan tipe attachment to God adalah faktor sosialisasi yang dilakukan melalui kegiatan ibadah raya.

5.2 Saran

Beberapa saran dari peneliti disajikan berikut ini.

5.2.1 Saran Teroritis

1) Bagi peneliti berikutnya, hasil penelitian ini dapat menjadi masukan jika ingin melakukan penelitian korelasional antara keaktifan dalam mengikuti kegiatan keagamaan yang dilaksanakan oleh lembaga pelayanan “X” dengan attahment to God


(3)

67

2) Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan jika ingin melakukan penelitian korelasional antara peran pembimbing rohani terhadap attachment to God pada mahasiswa yang menjadi anggota di lembaga pelayanan “X”.

3) Bagi peneliti yang akan melakukan penelitian kontribusi dan korelasi sarankan untuk menggunakan alat ukur berupa kuesioner yang telah teruji validitasnya.

5.2.2 Saran Praktis

Bagi pihak koordinator dan pimpinan lembaga pelayanan “X” hasil penelitian ini dapat digunakan dalam kegiatan pelatihan dan bimbingan bagi pembimbing rohani mengenai pemberian pendalaman Alkitab yang efektif kepada mahasiswa angkatan 2014 yang menjadi anggota di lembaga pelayanan “X” dan hasil penelitian ini juga dapat digunakan untuk melakukan pembinaan character building bagi para pembimbing rohani.


(4)

Singarimbun, Masri & Efendi, Sofian. (1989). Metode Penelitian Survey. Jakarta : LP3ES

Beck, Richard. (2006). “God a Secure Base : “Attachment to God and Theological Exploration”. Journal of Psychology and Theology, 34, (2), 125-132.

Beck, Richard. & McDonald, Angie. (2004). “Attachment to God : Inventory: The Attachment to God Inventory, Test of working Model Correspondence, and an Exploration of Faith Group Differences”. Journal of psychology and theology, 32, (2),92-103.

Cooper, L.B., Jerry, B.A., Marsha, J.H., & Marcus, T.B. (2009). ” Differentiated Styles of Attachment to God and Varying Religious Coping Effort”. Journal of Psychology and Theology, 37, (2), 134 – 141.

Crain. William. (2011). Theories of Development : Concepts and Application. USA : Pretince Hall Pearson Higher Education.

Jenay, S.C. (2010). Attachment to God as source of struggle and strength : Exploring the association between christian’s relationship with God and their emotional well being. Disertasi Doktor. Albany : Filosophy in Psychology Massey University.

Kirkpatrick, L.A. (2005). Attachment, Evolution, and The Psychology of Religion. New York-London : The Guildford Press.

McDevitt, T. & Omrod, J. (2010). Child Development and Education. New Jersey : Pearson Education, Inc.

Michael. Alexandra. & Richard. (2010). The Handbook of Live Span Development Vol 2: Social and Emotional Development. Kanada : John Wiley & Sons. Nasikhah & Prihastuti. (2013). “Hubungan Antara Tingkat Religiusitas dengan

Perilaku Kenakalan Remaja pada Masa Remaja Awal”. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan, 02, (1), 2.

Papalia & Feldman. (2012). Experience Human Development twelfth edition. New York : Mc Graw-Hill International Edition.


(5)

69

Rowatt & Kirkpatrick. (2002). “Two Dimension of Attachment to God and Their Relation to Affect, Religiosity, and Personality Constructs”. Journal for The Scientific Study of Religion, 41 : 4. 637-651.

Santrock, J. W. (2011). Life-Span Development : Perkembangan Masa Hidup (edisi ketigabelas). Jakarta : Erlangga.

Sugiyono, (2005). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: Alfabeta


(6)

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23450/4/Chapter%20II.pdf

(Diakses pada tanggal 11 November 2014)

(http://scholar.googleusercontent.com/scholar?q=cache:PeCk9GnMhoYJ:scholar.

google.com/+jurnal+pengertian+sosialisasi&hl=en&as_sdt=0,5 (Diakses

pada tanggal 15 Agustus 2014)

(http://www.ocfcpacourts.us/assets/files/list-758/file-1038.pdf) (Diakses pada tanggal 20

Juni 2015)

(digilib.uinsby.ac.id/154/3/Bab%202.pdf). (Diakses pada tanggal 8 Juli 2015)

(psychology.about.com/od/psychosocialtheories/fl/psychosocial-Stages-Summary-Chart.htm) (Diakses pada tanggal 20 Juni 2015)