Self-Compassion pada Siswa SMA "X" dan "Y" Bandung dengan Latar Belakang Keluarga Bercerai.

(1)

v

Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran derajat self-compassion pada siswa SMA “X” dan “Y” Bandung dengan latar belakang keluarga bercerai. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Penarikan sampel menggunakan teknik purposive sampling dengan jumlah sampel 35 siswa. Alat ukur yang digunakan merupakan alat ukur yang dibuat oleh Neff (2003) yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Riasnugrahani, setelah itu, alat ukur tersebut diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Inggris oleh Sarintohe pada tahun 2012 dan telah disetujui oleh Neff. Setelah dilakukan uji validitas dengan SPSS Statistics 22.0, maka diperoleh 26 item yang valid dengan validitas item berkisar 0,314 – 0,847 dan reliabilitas yang tergolong tinggi, yaitu 0,889. Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh bahwa siswa dengan latar belakang keluarga bercerai memiliki derajat compassion tinggi sebanyak 51,4%, sementara 48,6% dengan derajat self-compassion yang rendah. Kesimpulan dari penelitian ini adalah siswa yang memiliki self-compassion tinggi juga memiliki komponen yang tinggi, dan begitu pula sebaliknya. Saran untuk penelitian self-compassion selanjutnya adalah dengan menggunakan variabel lain seperti tipe personality openness to experience, kemudian juga disarankan agar menjaring data sosiodemografis yang lebih komprehensif. Sebagai tambahan, untuk siswa dengan derajat self-compassion rendah untuk diberikan sesi konseling.


(2)

vi

Universitas Kristen Maranatha ABSTRACT

This study aims to determine the degree of self-compassion of high school students with divorced family background. This study was done at two private high schools initialized as “X” and “Y” in Bandung, Indonesia. The technique used in this research is the descriptive method, distributed to 35 people, with an purposive sampling technique. The instrument used was made by Neff (2003), translated and modified by Riasnugrahani and Sarintohe (2012). Using SPSS Statistics 22.0, researcher obtained 26 valid items with the validity of the items ranged from 0.314 to 0.847, while the reliability is 0.889. The results found that high school students with divorced family background showed majority of high score 51.4%, while 48.6% displayed low score of self-compassion. In short, it can be concluded that both of self compassion and the component are directly propotional. Further study can be done by correlating to another variable such as type of personality openness to experience, and also collecting more comprehensive socio-demographic data. In addition, students who showed a low score of self-compassion are advised to attend counseling session.


(3)

xii

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN ... iii

PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR BAGAN ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 8

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian ... 8

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 8

1.4Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 9


(4)

xiii

Universitas Kristen Maranatha

1.5Kerangka Pikir ... 10

1.6Asumsi ... 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Self-Compassion 2.1.1 Definisi ... 23

2.1.2 Komponen-Komponen Self-Compassion 2.1.2.1 Self Kindness ... 26

2.1.2.2 Common Humanity ... 28

2.1.2.3 Mindfulness ... 29

2.1.3 Korelasi Antar Komponen ... 31

2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi 2.1.4.1 Faktor Internal 2.1.4.1.1 Jenis Kelamin ... 33

2.1.4.1.2 Personality ... 34

2.1.4.1.3 Attachment ... 37

2.1.4.2 Faktor Eksternal 2.1.4.2.1 The Role of Culture ... 39

2.1.4.2.2 The Role of Parents ... 40

2.1.5 Manfaat Self-Compassion 2.1.5.1 Emotional and Psychological Well Being ... 42

2.1.5.2 Motivasi ... 44


(5)

xiv

Universitas Kristen Maranatha

2.1.5.4 Hubungan Interpersonal ... 47

2.1.5.5 Empati ... 47

2.2 Tahap Perkembangan 2.2.1 Periode Perkembangan ... 48

2.2.2 Tahap Perkembangan Psikososial Menurut Erik Erikson ... 49

2.3 Remaja 2.3.1 Definisi Remaja ... 53

2.3.2 Klasifikasi Masa Remaja ... 54

2.3.3 Tahap Perkembangan Remaja ... 56

2.3.4 Masalah Umum pada Remaja ... 58

2.4 Keluarga 2.4.1 Definisi Keluarga ... 60

2.4.2 Fungsi Keluarga ... 61

2.4.3 Bentuk-Bentuk Keluarga 2.4.3.1 Keluarga Utuh ... 62

2.4.3.2 Keluarga Bercerai ... 62

2.4.4 Pengaruh Keluarga Bercerai pada Anak ... 63

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Prosedur Penelitian ... 66

3.2 Bagan Rancangan Penelitian ... 67

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 3.3.1 Variabel Penelitian ... 67


(6)

xv

Universitas Kristen Maranatha

3.3.2 Definisi Konseptual ... 67

3.3.3 Definisi Operasional ... 68

3.4 Alat Ukur 3.4.1 Alat Ukur Self-Compassion ... 69

3.4.2 Data Penunjang ... 71

3.4.3 Validitas dan Reliabilitas ... 71

3.5 Populasi Sasaran 3.5.1 Populasi Penelitian ... 72

3.5.2 Teknik Penarikan Sampel ... 72

3.5.3 Karakteristik Sampling ... 73

3.6 Teknik Analisis Data ... 73

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Subjek Penelitian 4.1.1 Gambaran Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin ... 75

4.1.2 Gambaran Sampel Berdasarkan Usia ... 76

4.1.3 Gambaran Sampel Berdasarkan Usia Responden saat Orang Tua Bercerai ... 76

4.2 Gambaran Hasil Penelitian 4.2.1 Derajat Self-Compassion ... 77

4.2.2Gambaran Derajat Self-Compassion Beserta dengan komponennya ... 78


(7)

xvi

Universitas Kristen Maranatha

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan ... 92

5.2 Saran 5.2.1 Saran Teoretis ... 93

5.2.2 Saran Praktis ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 95

DAFTAR RUJUKAN ... 97


(8)

xvii

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi-Kisi Alat Ukur ... 69

Tabel 3.2 Sistem Penilaian Alat Ukur ... 70

Tabel 4.1 Deskripsi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin ... 75

Tabel 4.2 Deskripsi Sampel Berdasarkan Usia ... 76

Tabel 4.3 Deskripsi Sampel Berdasarkan Usia Responden saat Orang Tua Bercerai ... 76

Tabel 4.4 Tabel Gambaran Derajat Self-Compassion Sampel Penelitian..77

Tabel 4.5 Tabel Gambaran Derajat Self-Compassion yang Tinggi Beserta dengan Komponennya ... 78

Tabel 4.6 Tabel Gambaran Derajat Self-Compassion yang Rendah Beserta dengan Komponennya ... 78


(9)

xviii

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Bagan Kerangka Pikir ... 21


(10)

xix

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Kisi-kisi Kuesioner Self-Compassion Lampiran 2 : Kisi-kisi Data Penunjang

Lampiran 3 : Alat Ukur (Kuesioner Self-Compassion dan Data Penunjang) Lampiran 4 : Profil Sekolah “X”

Lampiran 5 : Profil Sekolah “Y”

Lampiran 6 : Validitas dan Realibilitas Kuesioner Self-Compassion Lampiran 7 : Identitas Subjek

Lampiran 8 : Skor Subjek dengan Item Self-Compassion Lampiran 9 : Skor Subjek dengan Komponen Self-Compassion Lampiran 10 : Skor Subjek dengan Kuesioner Data Penunjang

Lampiran 11 : Crosstab Self-Compassion dengan Komponen dan Data Penjunjang

Lampiran 12 : Kuesioner Survei Awal Lampiran 13 : Biodata Peneliti


(11)

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pernikahan adalah ikatan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal didasarkan Ke-Tuhanan yang Maha Esa (undang-undang pernikahan 1974 pasal 1). Pernikahan yang dibentuk oleh pasangan ini akan menjadi suatu keluarga. Menurut Departemen Kesehatan RI (1998), keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan, yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak, baik itu hubungan darah ataupun melalui proses pengangkatan yang saling berinteraksi, memiliki perannya masing-masing, dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan (Salvicion dan Ara Celis, 1989, dalam Effendy, 1997)

Menurut Haryanto (2010), keluarga memiliki dampak yang besar dalam pembentukan perilaku anak serta pembentukan vitalitas dan ketenangan dalam benak anak-anak karena melalui keluarga anak-anak mendapatkan bahasa, nilai-nilai, serta pengalaman pertama mereka (http://belajarpsikologi.com/keluarga-sebagai-wadah-pendidikan-pertama/). Peran orang tua bagi kehidupan anak seperti memberikan ikatan dan hubungan emosional, hubungan yang erat ini merupakan bagian penting dari perkembangan fisik dan emosional yang sehat dari


(12)

2

Universitas Kristen Maranatha seorang anak, membimbing dan mengendalikan perilaku dengan nilai-nilai normatif, mengajarkan cara berkomunikasi, keluarga yang baik mengajarkan anak agar mampu menuangkan pikiran ke dalam kata-kata, mengutarakan gagasan-gagasan yang rumit dan berbicara tentang hal-hal yang terkadang sulit untuk dibicarakan seperti ketakutan dan amarah, orang tua menjadi sahabat bagi anak, orang tua berkomunikasi dengan guru di sekolahnya terutama wali kelas dan guru pembimbingnya, dan juga memberikan nilai-nilai keteladanan. (http://www.untukku.com/artikel-untukku/peran-keluarga-bagi-tumbuh-kembang-remaja-untukku.html)

Menurut Gunarsa (2012), peran keluarga merupakan bagian terpenting untuk anak, karena melalui keluarga, seorang anak dapat memenuhi kebutuhannya akan keakraban dan kehangatan, dan juga dapat memupuk kepercayaan diri serta perasaan aman untuk tumbuh mandiri serta bergaul dengan orang lain. Namun pada kenyataannya, tidak semua keluarga dapat memenuhi hal tersebut. Banyak konflik yang dihadapi beberapa pihak di dalam keluarga terutama orang tua, konflik yang terjadi menjadi rumit, berkepanjangan, dan sudah tidak dapat diatasi oleh kedua belah pihak yang sedang mengalami konflik

(http://www.konselingkeluarga.com/index.php/articles/45-konseling-untuk-mengatasi-konflik-pernikahan). Perkara-perkara yang terjadi pada umumnya akan berakhir pada suatu keputusan maupun penyelesaian, tetapi tidak jarang pula berakhir pada perceraian. Perceraian adalah putusnya ikatan legal yang menyatukan pasangan suami-istri dalam satu rumah tangga (Bell, 1979 dalam buku Marriage and Family Interaction).


(13)

3

Universitas Kristen Maranatha Menurut Pengadilan Agama se-Indonesia pada tahun 2012 terdapat 346.446 perkara yang berakhir dengan perceraian. Perkara ini naik 11,52 persen dari tahun sebelumnya yang menerima 363.041 perkara (Dirjen Badan Urusan Peradilan Agama Mahkamah Agung (MA), 2013). PTA (Pengadilan Tinggi Agama) Bandung menempati posisi pertama dengan memutuskan 84.084 kasus dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Jumlah perkara perceraian di Kota Bandung yang masuk ke Pengadilan Agama juga meningkat sebanyak 5.441 perkara sampai akhir November 2011, dibandingkan dengan tahun 2010, sebanyak 5.278 (http://republika.co.id:8080/koran).

Perceraian memiliki dampak positif dan negatif bagi anak-anak (Heri Widodo, 2013 dalam http://m.liputan6.com/health/read/688573/ini-dampak-positif-dan-negatif-perceraian-ke-anak). Menurut Heri Widodo (2013), beberapa dampak positif dari anak yang menjadi korban perceraian yaitu anak jadi lebih mandiri, anak cepat dewasa, memiliki rasa tanggung jawab yang baik, dan dapat berprestasi dengan gemilang. Sebaliknya, dampak negatif bagi anak yang menjadi korban perceraian yaitu anak menjadi minder dan tidak percaya diri, menimbulkan perasaan bersalah dalam diri karena melihat dirinya sebagai penyebab dari berpisahnya kedua orang tuanya, dan anak berubah menjadi pembangkang, melawan orang tua, serta bertindak seenaknya sendiri.

Ternyata ditemukan juga dampak positif dan negatif serupa pada siswa-siswi dari korban perceraian di sekolah “X” dan “Y”. Peneliti kemudian melakukan survei awal dengan mewawancarai guru Bimbingan Konseling (BK) di kedua sekolah yang bersangkutan. Ditemukan fenomena bahwa siswa yang


(14)

4

Universitas Kristen Maranatha berasal dari keluarga bercerai seringkali menunjukkan perilaku positif dan negatif. Beberapa dari perilaku positif yang muncul adalah para siswa menjadi juara kelas, lebih aktif melakukan pelayanan di Gereja, aktif dalam kegiatan-kegiatan organisasi di sekolah seperti OSIS atau ekstrakurikuler. Perilaku negatif yang muncul antara lain para siswa mudah terpengaruh melakukan hal-hal buruk seperti merokok, siswa pria menindik telinga, atau terkadang menghabiskan waktunya untuk bermain di warnet sehingga mendapat label sebagai ‘anak nakal’ di dalam lingkungan pergaulan sekolah. Siswa-siswi yang berasal dari keluarga bercerai juga seringkali menangis dan bercerita kepada guru BK serta mengatakan bahwa mereka iri kepada teman-teman lain yang masih memiliki keluarga utuh ketika ada acara sekolah yang membutuhkan partisipasi orang tua.

Melalui guru BK di sekolah “Y”, peneliti melakukan survei awal dengan memberikan kuesioner kepada siswa-siswi yang mengalami perceraian keluarga. Didapatkan 10 responden yang terdiri dari lima siswa dan lima siswi yang menjadi korban perceraian saat responden berada dalam rentang usia 5-12 tahun. Dari hasil survei tersebut didapatkan sebanyak 60% (6 responden) menghayati bahwa sampai saat ini mereka masih merasakan kesedihan mendalam, merasa kecewa, dan terkadang juga merasa bingung serta mempertanyakan kondisi keluarga yang tidak utuh dan tidak harmonis, siswa merasa tidak memiliki sosok ibu yang dapat diajak bicara saat berada di rumah. Selain itu juga terkadang mereka merasa kesepian, merasa hidup tidak adil, merasa malu karena melihat diri mereka berbeda dari siswa lain dengan keluarga yang utuh, pada awal perceraian orang tuanya siswa berubah menjadi pendiam, tidak suka bermain, memilih-milih


(15)

5

Universitas Kristen Maranatha dalam menjalin pertemanan, dan juga membina relasi yang buruk dengan kedua orang tuanya. Sementara 40% (4 responden) sisanya menghayati bahwa saat ini mereka sudah dapat menerima perceraian orang tuanya, terkadang mereka bertemu dengan orang tua yang sudah tidak tinggal serumah dengan mereka. Mereka juga merasa sudah cukup mampu mengendalikan emosi dan perasaan sedih yang dulu pernah dirasakannya, bersyukur karena masih memiliki figur signifikan lain yang menemani hari-hari mereka, dan memiliki keyakinan bahwa Tuhan memiliki rencana yang indah bagi mereka.

Siswa dengan keluarga bercerai di sekolah “Y” memiliki cara tersendiri untuk menanggapi pikiran-pikiran negatif yang muncul dari dampak perceraian yang terjadi, didapat hasil bahwa sebanyak 30% (3 responden) bermain dengan teman, bermain games, mendengarkan musik, dan menonton televisi, 30% (3 responden) memilih untuk mengikuti kegiatan OSIS dan aktif di kegiatan Ekstrakurikuler, 20% (2 responden) berdoa dan menanggapinya dengan tenang karena percaya semua adalah rencana Tuhan, 10% (1 responden) diam dan tidak berbicara apa pun dan kepada siapa pun, 10% (1 responden) belajar untuk memaafkan dan menerima keadaan yang ada serta tetap tersenyum.

Dari hasil survei mengenai perasaan siswa yang melihat teman-teman dengan keluarga utuh, terdapat 80% (8 responden) merasa iri dan berpikir teman-teman mereka lebih bahagia dengan keluarga yang utuh, berandai-andai jika ayah masih bersama dengan dirinya, siswa merasa marah dan berpikir buruk kepada ayah yang meninggalkan anak-anak dan ibu, siswa mengatakan ingin bertamasya bersama dengan keluarga yang utuh, mereka masih sedih dan menangis sampai


(16)

6

Universitas Kristen Maranatha saat ini ketika ingat bahwa keluarganya sudah tidak utuh lagi. Terdapat 20% (2 responden) yang mengatakan bahwa di awal perceraian mereka merasa iri kepada teman yang memiliki keluarga utuh, tetapi mereka berpikir bahwa tidak semua keluarga bahagia, pasti ada masalah yang harus mereka hadapi, dan memiliki pikiran positif bahwa perceraian yang terjadi adalah pilihan dari orang tua dan ada rencana lain dari Tuhan.

Didapatkan hasil survei mengenai penyesuaian dalam keadaan keluarga saat ini, terdapat 70% (7 responden) mengatakan masih belum terbiasa dengan tidak adanya sosok ayah atau ibu, masih menutupi kondisi keluarganya kepada teman-teman sehingga teman-teman-teman-teman yang lain tidak tahu dan memilih untuk tidak berbicara tentang keluarga sekalipun dengan teman dekat. Karena perceraian orang tuanya siswa merasa aspek kehidupannya terganggu, seperti mudah tersinggung terhadap ibu, di sekolah menjadi anak yang pendiam, tidak termotivasi dalam belajar karena merasa tidak nyaman dengan lingkungan keluarga dan tidak ada dorongan dari keluarga. Terdapat 30% (3 responden) yang dapat menerima bahwa keluarganya sudah tidak utuh lagi tanpa menutupi kepada teman-teman dan guru. Siswa merasa mendapat hikmah dari perceraian yang terjadi dalam keluarganya dan membagikan kepada orang lain. Siswa dapat menerima keputusan yang diambil oleh kedua orang tuanya dan mengerti alasan perceraian orang tua.

Menurut hasil survei di atas, peneliti mendapatkan gambaran bahwa 60% siswa yang berasal dari keluarga bercerai masih belum dapat mengakui masalah dan kekurangan tanpa menghakimi diri sendiri. Terdapat 80% siswa yang berasal


(17)

7

Universitas Kristen Maranatha dari keluarga bercerai merasa bahwa perceraian ini hanya mereka saja yang mengalami dan merasa dirinya tidak beruntung. Ditemukan juga sebanyak 70% siswa yang berasal dari keluarga bercerai belum dapat menerima dan menghadapi kenyataan yang terjadi. Sikap yang menggambarkan penyesuaian psikologis siswa-siswi dalam memberikan perhatian dan kebaikan pada dirinya sendiri sehingga tidak merasa sedih berkepanjangan atas perceraian yang terjadi dalam keluarganya disebut sebagai self-compassion.

Neff (2011) mendefinisikan self-compassion sebagai sikap memiliki perhatian dan kebaikan terhadap diri sendiri saat menghadapi berbagai kesulitan dalam hidup ataupun terhadap kekurangan dalam dirinya serta memiliki pengertian bahwa penderitaan, kegagalan, dan kekurangan merupakan bagian dari kehidupan manusia. Self-compassion memiliki tiga komponen yaitu self-kindness adalah kemampuan individu untuk mengakui masalah dan kekurangan tanpa menghakimi diri sendiri, common humanity adalah bagian dari pengalaman hidup setiap manusia, sesuatu yang dialami oleh semua manusia dan bukan hanya dialami oleh semua individu, dan mindfulness adalah individu dapat menerima dan menghadapi kenyataan tanpa menghakimi terhadap apa yang terjadi.

Jika seseorang memiliki self-compassion, ia tidak mengkritik diri sendiri secara berlebihan atas ketidaksempurnaan dan kelemahan diri karena semua manusia dilahirkan tidak harus sempurna (Neff, 2011). Siswa dengan latar belakang keluarga bercerai, jika mereka memiliki self-compassion tinggi, siswa mampu melihat perceraian orang tuanya sebagai pengalaman dari kehidupannya, siswa juga mampu untuk menghibur diri dan peduli kepada dirinya sendiri


(18)

8

Universitas Kristen Maranatha walaupun mereka mengalami penderitaan. Dari hasil survei awal dan membandingkan teori yang ada, maka peneliti tertarik untuk meneliti self-compassion pada siswa SMA “X” dan “Y” Bandung dengan keluarga yang bercerai.

1.2 Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui bagaimana gambaran mengenai self-compassion pada siswa dengan latar belakang keluarga bercerai di SMA “X” dan “Y” Bandung.

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Untuk memeroleh gambaran mengenai self-compassion pada siswa dengan latar belakang keluarga bercerai di SMA “X” dan “Y” Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Untuk memeroleh gambaran mengenai tiga komponen dari self-compassion, yaitu self-kindness, common humanity, dan mindfulness, serta faktor-faktor yang memengaruhi, diantaranya jenis kelamin, personality, attachment, dan role of parents (maternal support and maternal criticsm, modelling positif, dan


(19)

9

Universitas Kristen Maranatha modelling negatif) pada siswa dengan latar belakang keluarga bercerai di SMA “X” dan “Y” Bandung.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis

• Memberikan informasi bagi ilmu Psikologi Keluarga, Psikologi Perkembangan, dan Psikologi Positif mengenai self-compassion pada siswa dengan latar belakang keluarga bercerai di SMA “X” dan “Y” Bandung.

• Memberikan tambahan informasi bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai self-compassion.

1.4.2 Kegunaan Praktis

• Memberikan informasi kepada Kepala Sekolah, Guru-guru, dan Guru BK di SMA “X” dan “Y” Bandung mengenai self-compassion pada siswa dengan latar belakang keluarga bercerai. Informasi ini dapat digunakan untuk bahan evaluasi pihak sekolah untuk dapat meningkatkan self-compassion pada siswa yang terkait dan menjadi informasi internal untuk guru BK agar dapat menyikapi tiap individu yang bersangkutan dengan bijak.


(20)

10

Universitas Kristen Maranatha • Memberikan informasi kepada siswa dengan latar belakang keluarga

bercerai SMA “X” dan “Y” Bandung mengenai self-compassion yang mereka miliki. Diharapkan agar siswa memiliki self-compassion yang tinggi dalam menjalani kehidupannya sehari-hari, dengan cara diberikan waktu konseling kepada siswa yang bersangkutan.

1.5 Kerangka Pikir

Pernikahan adalah hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan yang diakui secara sosial, menyalurkan hubungan seksual dan pengasuhan anak yang sah, dan di dalamnya terjadi pembagian hubungan kerja yang jelas bagi masing-masing pihak baik suami maupun istri. (Duvall dan Miller, 1985 dalam Marriage and Family Development). Pernikahan yang dibangun akan membentuk suatu keluarga. Menurut Duvall dan Logan (1986 dalam Marriage and Family Development) keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial dari setiap anggota. Ketika pernikahan yang dibangun di dalam keluarga menghadapi permasalahan, dapat menyebabkan pemutusan hubungan pernikahan dan keluarga, dan pasangan suami-istri memutuskan untuk bercerai. Pengertian perceraian adalah terputusnya ikatan antara pasangan suami istri sebagai akibat dari kegagalan mereka menjalankan peran masing-masing sehingga memutuskan untuk saling meninggalkan dan berhenti untuk melakukan kewajibannya sebagai


(21)

11

Universitas Kristen Maranatha suami-istri yang secara resmi diakui oleh hukum (Erna, 1999 dalam Pendekatan Perceraian dari Perspektif Sosiologi).

Keluarga yang tidak utuh karena perceraian dapat menyebabkan perubahan secara struktural dan fungsional. Salah satu bentuk dari perubahan struktural adalah hilangnya keanggotaan pada salah satu atau bahkan kedua orang tua dalam keluarga yang akan berdampak pada perubahan fungsional yaitu, hilangnya peran salah satu anggota yang sudah terbentuk karena adanya perceraian yang terjadi dalam keluarga tersebut. Perceraian dan konflik pernikahan dapat mengarahkan anak pada keadaan yang sulit dan memberikan dampak yang beragam karena anak-anak menjadi korban utama. Anak-anak yang mampu beradaptasi dengan baik atas perceraian orang tuanya menunjukkan perilaku yang memuaskan di sekolah, menjadi aktif dalam kegiatan sosial dan rekreasi, serta mampu memiliki hubungan yang baik dengan teman sebaya (Amato, 2000; Sutton & Sprenkle, 1985 dalam Family Interaction : A Multigenerational Development Perspective). Sebaliknya, anak-anak yang mengalami masalah dalam beradaptasi atas perceraian orang tua mereka menunjukkan perilaku yang agresif, tidak patuh, dan menunjukkan perilaku yang buruk (Amato,2000; Bray, 1998; Hanson, 1999 dalam Family Interaction : A Multigenerational Development Perspective).

Leslie (1967 dalam Bunga Rampai Sosiologi Keluarga) mengemukakan bahwa anak-anak yang orang tuanya bercerai hidupnya sering menderita, khususnya dalam hal keuangan dan secara emosional kehilangan rasa aman di dalam keluarga. Dampak perceraian lain yang terlihat bila anak berada dalam


(22)

12

Universitas Kristen Maranatha asuhan dan perawatan ibu adalah anak merasa memiliki perasaan yang dekat dengan ibu dan menjadi jauh dengan ayah. Menurut Pryor dan Rodgers (2001 dalam Karina 2014) anak-anak memiliki perasaan tidak aman (insecurity), merasa tidak diinginkan atau ditolak oleh orang tuanya yang meninggalkan mereka, merasa sedih, kesepian, marah, kehilangan, dan menyalahkan diri. Menurut Hetherington (1993 dalam Adolescence Perkembangan Remaja), pada awal masa remaja, kebanyakan anak dari keluarga bercerai mengalami kesulitan dalam mengenai kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya, mereka pun mengalami penurunan nilai-nilai akademik yang drastis, dan kesulitan dalam berelasi dengan lawan jenis.

Anak-anak dari keluarga yang bercerai ditemukan menderita depresi, kepuasan hidup yang rendah, tingkat prestasi pendidikan yang rendah, kurangnya prestasi kerja, dan adanya masalah kesehatan fisik (Amato & Keith, 1991 dalam Family Interaction : A Multigenerational Development Perspective). Hal-hal ini akan membuat anak-anak sulit untuk mengalami kebahagiaan dalam hidupnya karena mereka merasa orang yang paling menderita, sehingga mereka sulit mencari cara untuk menghibur diri dan peduli ketika diri sendiri menghadapi penderitaan terkait dengan perceraian yang terjadi dalam keluarganya. Anak-anak dengan keluarga bercerai memerlukan self-compassion agar mereka tidak mengkritik diri sendiri secara berlebihan atas perceraian yang terjadi, menyadari bahwa hal ini tidak hanya dialami oleh dirinya sendiri, serta siswa harus menghadapi kenyataan ini tanpa menghakimi dirinya secara berlebihan.


(23)

13

Universitas Kristen Maranatha Neff (2011) mendefinisikan self-compassion sebagai sikap memiliki perhatian dan kebaikan terhadap diri sendiri saat menghadapi berbagai kesulitan dalam hidup ataupun terhadap kekurangan dalam dirinya serta memiliki pengertian bahwa penderitaan, kegagalan, dan kekurangan merupakan bagian dari kehidupan manusia dan setiap orang termasuk diri sendiri adalah berharga. Self-compassion memiliki tiga komponen, yaitu self-kindness, common humanity, dan mindfulness. Ketiga komponen ini saling berkaitan, sehingga dapat dikatakan apabila salah satu dari komponen tersebut tinggi, maka dua komponen lainnya pun akan tinggi.

Self-kindness adalah kemampuan individu untuk memahami dan menerima diri apa adanya serta memberi kelembutan bukan menyakiti dan menghakimi diri sendiri (Neff, 2011). Para siswa dengan keluarga bercerai di SMA “X” dan “Y” yang memiliki self-kindness tinggi, tidak akan menyalahkan diri terus menerus, dapat melihat perceraian yang terjadi bukan karena dirinya melainkan keputusan dari orang tua, dan dapat menerima perceraian yang terjadi. Para siswa dengan keluarga bercerai di SMA “X” dan “Y” yang memiliki self-kindness rendah (self-judgement), merasa bersalah, marah, dan mengatakan kata-kata kasar pada dirinya sendiri secara terus menerus atas perceraian yang terjadi pada keluarganya.

Komponen yang kedua adalah common humanity yaitu kesadaran individu untuk memandang kesulitan, kegagalan, dan tantangan sebagai bagian dari pengalaman semua manusia dan tidak hanya dialami dirinya sendiri (Neff, 2011). Para siswa dengan keluarga bercerai di SMA “X” dan “Y” yang memiliki common humanity yang tinggi, berpikir bahwa semua keluarga memiliki


(24)

14

Universitas Kristen Maranatha permasalahannya sendiri, sadar bahwa masih banyak orang lain yang mengalami permasalahan seperti mereka dan siswa masih dapat menjalani hidupnya dengan baik tanpa merasa tertekan. Akan tetapi, para siswa dengan keluarga bercerai di SMA “X” dan “Y” yang memiliki common humanity rendah (self-isolation), merasa gagal karena perceraian yang terjadi membuat mereka tidak sama seperti teman-teman lain dengan keluarga yang utuh, merasa dirinya paling tidak beruntung, dan menghayalkan keutuhan keluarga mereka kembali meskipun kemungkinannya kecil.

Komponen yang terakhir adalah mindfulness yaitu keadaan pikiran yang tidak menghakimi, pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan diamati sebagaimana adanya, tanpa menekan atau menyangkalnya (Neff, 2011). Para siswa dengan keluarga bercerai di SMA “X” dan “Y” yang memiliki mindfulness tinggi, tidak menutupi keadaan keluarganya saat berbicara dengan teman-temannya, mendapat hikmah dari peristiwa yang terjadi, dan tidak merasa malu atas perceraian keluarganya. Sementara, para siswa dengan keluarga bercerai di SMA “X” dan “Y” yang memiliki mindfulness rendah (over-identification), tidak membicarakan mengenai keluarga kepada teman-temannya karena merasa malu.

Ketiga komponen itu akan membentuk self-compassion pada anak dan akan berbeda satu anak dengan anak yang lainnya, hal ini terjadi karena ada beberapa faktor yang memengaruhi yaitu faktor internal, yaitu jenis kelamin, personality, dan attachment, serta faktor eksternal, role of culture dan role of parents. Faktor jenis kelamin akan memengaruhi self-compassion siswa-siswi dengan keluarga bercerai di SMA “X” dan “Y”. Perempuan cenderung memiliki


(25)

15

Universitas Kristen Maranatha pemikiran depresi, kecemasan dua kali lipat dibandingkan laki-laki karena perempuan memikirkan kejadiaan negatif di masa lalu (Neff, 2011). Para siswa SMA “X” dan “Y” memiliki pikiran yang lebih positif mengenai perceraian yang terjadi dibandingkan dengan para siswi SMA “X” dan “Y”, sehingga para siswi memiliki kecenderungan lebih mudah merasa frustrasi dengan keadaan yang dialaminya saat ini dibandingkan dengan para siswa. Hal ini akan membuat siswi SMA “X” dan “Y” dengan latar belakang keluarga bercerai memiliki self-compassion rendah.

Terdapat penelitian bahwa self-compassion memiliki hubungan dengan Big Five Personality, dikatakan bahwa individu yang memiliki self-compassion tinggi dikaitkan dengan faktor agreeableness, extraversion, serta conscientiousness yang tinggi dan faktor neuroticism yang rendah, namun tidak ada kaitan dengan openness to experience (Neff, 2011). Menurut Costa dan Mc Crae (1996 dalam Hutapea 2012) kepribadian extraversion dapat berinteraksi dengan banyak orang, dapat memegang kontrol, dan keintiman dengan orang lain serta memiliki antusias dalam menjalani suatu kegiatan. Para siswa dengan keluarga bercerai di SMA “X” dan “Y” dengan kepribadian extraversion memiliki karakteristik antusiasme yang tinggi untuk menjalani rutinitas sehari-hari, senang bergaul dengan orang lain, memiliki tingkah laku yang ramah dan menyenangkan, serta tertarik dengan banyak hal. Siswa dengan kepribadian extraversion cenderung memiliki self-compassion yang tinggi karena mereka bersikap ramah, sehingga memiliki banyak teman untuk berbagi cerita dengan teman lain mengenai masalahnya, melepaskan bebannya, dan mendapatkan perhatian dari


(26)

16

Universitas Kristen Maranatha orang lain. Perhatian dari teman-temannya membuat mereka tidak merasa sendiri dalam menjalani kehidupan, dapat menerima keadaan dirinya, dan dapat melihat perceraian melalui sudut pandang secara obyektif.

Faktor kepribadian agreeableness menurut Costa dan Mc Crae (1996 dalam Hutapea 2012), seseorang yang memiliki kepribadian mengalah kepada orang lain, menghindari konflik, dan cenderung untuk mengikuti orang lain. Para siswa SMA “X” dan “Y” dengan kepribadian agreeableness cenderung lebih mudah untuk menerima perceraian yang terjadi dan memaafkan kedua orang tuanya, sehingga mereka lebih mampu untuk menghibur dirinya sendiri dan siswa mampu untuk mengakui dan menerima perceraian yang terjadi pada keluarganya tanpa menghakimi diri sendiri, mereka juga tidak mau memiliki konflik dengan orang tua, maka dari itu siswa ikut pada keputusan orang tuanya.

Faktor kepribadian conscientiousness menurut Costa dan Mc Crae (1996 dalam Hutapea 2012), seseorang yang memiliki disiplin tinggi, ambisius, mengikuti peraturan dan norma, serta mengutamakan tugas. Para siswa dengan keluarga bercerai di SMA “X” dan “Y” yang memiliki kepribadian conscientiousness, cenderung akan terencana, patuh pada peraturan, tekun, dan bertanggung jawab pada tugas-tugas yang diberikan. Siswa dengan kepribadian conscientiousness cenderung menghargai keputusan orang tua mengenai perceraian yang terjadi, dan melihat kegagalan yang terjadi pada keluarganya secara objektif sehingga membuat mereka tetap dapat menghargai dirinya sendiri.

Faktor kepribadian neuroticism menurut Costa dan Mc Crae (1996 dalam Hutapea 2012), seseorang yang memiliki masalah dengan emosi yang negatif


(27)

17

Universitas Kristen Maranatha seperti mudah merasa khawatir dan merasa tidak aman, sulit menjalin hubungan dan berkomitmen, dan memiliki kecenderungan reaktif. Para siswa dengan keluarga bercerai di SMA “X” dan “Y” dengan kepribadian neuroticism cenderung memandang secara subyektif perceraian orang tuanya, mereka menyalahkan dirinya sendiri atas perceraian orang tuanya sehingga mereka merasa mudah depresi ketika menghadapi suatu kegagalan, dan merasa perceraian yang terjadi hanya dialami oleh keluarganya saja.

Selain kedua faktor di atas, faktor internal yang memberikan pengaruh pada self-compassion para siswa adalah attachment. Para siswa dengan keluarga bercerai di SMA “X” dan “Y” yang mendapatkan secure attachment dengan orang tua, merasa layak menerima cinta, lebih dapat memberikan perhatian dan kasih kepada dirinya sendiri, serta memiliki pandangan yang positif kepada diri sendiri dan orang lain. Tetapi jika para siswa dengan keluarga bercerai di SMA “X” dan “Y” mendapatkan insecure attachment, mereka cenderung merasa tidak layak dan tidak dicintai, tidak dapat memercayai orang lain, dan siswa memiliki perasaan tidak aman yang menetap pada lingkungan. Siswa yang mendapatkan insecure attachment cenderung memiliki self-compassion yang lebih rendah daripada mereka yang mendapatkan secure attachment. Saat siswa mendapatkan secure attachment mereka lebih mudah untuk menerima perceraian yang terjadi karena siswa memiliki emosi lebih positif, merasa dirinya berharga, dan memiliki pandangan bahwa perceraian yang terjadi tidak hanya dialami oleh keluarganya saja.


(28)

18

Universitas Kristen Maranatha Self-compassion memiliki keterkaitan dengan role of culture. Budaya dibagi menjadi dua macam, yaitu budaya individualis dan budaya collectivist. Siswa SMA “X” dan “Y” dengan latar belakang keluarga bercerai memiliki status sebagai warga negara Indonesia yang berada di Asia, maka negara Asia termasuk budaya collectivist. Collectivism adalah suatu pandangan filosofi, religus, ekonomi, atau sosial yang menekankan keadaan saling tergantung dari setiap manusia dan memprioritaskan tujuan kelompok atau golongan di atas tujuan individu (Triandis, 2001 dalam Individualism-Collectivism and Personality. Journal of Personality). Masyarakat dengan Budaya Asia lebih mengkritik diri sendiri dibandingkan masyarakat dengan Budaya Barat (Kitayama & Markus, 2000; Kitayama, Markus, Matsumotoo, & Norasakkunkit, 1997 dalam Riasnugrahani, 2014). Cara pandang ini akan memengaruhi self-compassion siswa dengan keluarga bercerai di SMA “X” dan “Y”, siswa merasa bahwa mereka berbeda dari siswa lain, mulai memberikan komentar-komentar negatif pada dirinya, dan pada akhirnya siswa merasa tidak berharga dengan cara menutupi diri dari lingkungan.

Faktor yang terakhir adalah role of parents, dipandang dari sudut maternal criticsm dan maternal support. Para siswa dengan keluarga bercerai di SMA “X” dan “Y” yang memiliki derajat self-compassion rendah kemungkinan besar memiliki ibu yang selalu mengkritik dengan memberikan kata-kata negatif, dan menampilkan kegelisahan. Para siswa dengan keluarga bercerai di SMA “X” dan “Y” yang tumbuh dengan orang tua yang selalu memberikan kata-kata menyudutkan atau negatif ketika masa kecilnya akan menjadi pribadi yang


(29)

19

Universitas Kristen Maranatha pesimis ketika dewasa, dengan pengalaman seperti ini dari usia dini akan menginternalisasikan kata-kata negatif orang tuanya ke dalam pikiran mereka. Siswa SMA “X” dan “Y” cenderung merasa tidak berharga karena orang tua yang selalu memberikan kata-kata negatif kepada dirinya, sehingga siswa-siswi terus menerus memberikan komentar-komentar negatif pada dirinya sendiri. Para siswa dengan keluarga bercerai di SMA “X” dan “Y” yang memiliki derajat self-compassion tinggi kemungkinan besar memiliki ibu yang memberikan dukungan dengan cara memberikan kata-kata positif dan siswa yang merasakan kedekatan dengan keluarganya. Siswa yang mendapatkan dukungan positif dari keluarga cenderung memiliki perasaan layak untuk dicintai orang lain, mampu menerima diri apa adanya, dan berpikir positif mengenai keluarganya saat ini.

Pada bagian akhir dari faktor ini adalah faktor role of parents bagian modelling. Model dari orang tua juga dapat memengaruhi self-compassion yang dimiliki individu, apabila orang tua siswa sering memberikan kritik pada dirinya sendiri saat mengalami kegagalan, maka tidak jarang para siswa akan mengikuti cara orang tuanya bila mengalami kegagalan. Begitu juga sebaliknya, apabila orang tua mereka berpikiran positif mengenai kegagalan yang terjadi pada dirinya, maka para siswa pun akan meniru cara orang tuanya. Siswa dengan keluarga bercerai di SMA “X” dan “Y” yang memiliki derajat self-compassion rendah mengikuti contoh dari orang tuanya yang mengkritik diri sendiri saat mengalami kegagalan. Saat orang tuanya bercerai, siswa tidak mampu menerima perceraian yang terjadi sehingga mereka menyangkal pada orang lain karena siswa merasa malu untuk mengakuinya, siswa tidak dapat berbicara dengan nyaman kepada


(30)

20

Universitas Kristen Maranatha orang lain sehingga menutup diri dan lebih memberikan fokus pada kekurangan dirinya sendiri dengan cara menghakimi dan memberikan kata-kata negatif pada dirinya, serta siswa merasa bahwa perceraian ini hanya terjadi pada keluarganya saja.

Siswa SMA “X” dan “Y” dengan keluarga bercerai yang memiliki self-compassion tinggi dapat menerima diri apa adanya dengan keadaan keluarga saat ini tanpa memberikan komentar negatif kepada dirinya sendiri, tidak menutupi keadaan keluarganya pada orang lain, dan memiliki pandangan bahwa semua keluarga memiliki permasalahannya sendiri. Sementara siswa SMA “X” dan “Y” dengan keluarga bercerai yang memiliki self-compassion rendah tidak dapat menerima diri apa adanya dan memberikan komentar negatif kepada dirinya sendiri secara terus menerus, merasa malu dan minder sehingga mereka menutupi keadaan keluarga di depan orang lain, dan merasa dirinya tidak berharga.


(31)

21

Universitas Kristen Maranatha Bagan 1.1 Kerangka Pikir

Tiga Komponen: Self-Kindness

Common Humanity Mindfulness

Faktor-faktor yang memengaruhi : 1. Faktor Internal

Jenis Kelamin Personality Attachment 2. Faktor Eksternal

Role of Culture Role of Parents

Siswa-siswi dengan latar belakang keluarga bercerai

Self-Compassion

Tinggi


(32)

22

Universitas Kristen Maranatha

1.6 Asumsi

• Siswa SMA “X” dan “Y” dengan latar belakang keluarga bercerai membutuhkan self-compassion agar mereka dapat memberikan perhatian kepada diri sendiri saat menghadapi penderitaan dalam hidupnya.

Self-compassion pada siswa di SMA ”X” dan “Y” Bandung dapat dilihat dari tiga komponen, yaitu self-kindness, common humanity, dan mindfulness yang berbeda-beda namun saling berkaitan.

Self-compassion pada siswa di SMA “X” dan “Y” Bandung dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal, faktor internalnya yaitu jenis kelamin, personality, dan attachment, dan untuk faktor eksternalnya adalah role of culture dan role of parents.


(33)

92 Universitas Kristen Maranatha

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini, akan dipaparkan simpulan hasil penelitian, yang bertitik-tolak dari paparan bab sebelumnya.

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang self-compassion pada 35 siswa SMA “X” dan “Y” Bandung dengan latar belakang keluarga bercerai, diperoleh simpulan sebagai berikut :

1. Siswa SMA “X” dan “Y” Bandung dengan latar belakang keluarga bercerai yang memiliki derajat self-compassion tinggi juga memiliki komponen self-kindness, common humanity, dan mindfulness yang tinggi. Begitu pula siswa SMA “X” dan “Y” Bandung dengan latar belakang keluarga bercerai yang memiliki derajat self-compassion rendah juga memiliki komponen self-kindness, common humanity, dan mindfulness yang rendah.

2. Faktor-faktor yang memiliki kecenderungan keterkaitan dengan self-compassion pada siswa SMA “X” dan “Y” Bandung dengan latar belakang keluarga bercerai adalah attachment, personality, dan role of parents.


(34)

93

Universitas Kristen Maranatha 3. Faktor demografis yang memiliki kecenderungan keterkaitan dengan self-compassion pada siswa SMA “X” dan “Y” Bandung dengan latar belakang keluarga bercerai adalah jenis kelamin responden, usia responden saat ini, dan usia responden saat orang tua mereka bercerai.

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai self-compassion terhadap siswa SMA “X” dan “Y” Bandung, maka beberapa saran yang dapat diberikan peneliti adalah sebagai berikut :

5.2.1 Saran Teoretis

Bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai self-compassion, disarankan :

1. Bagi peneliti lain yang berminat untuk memeroleh penghayatan yang lebih komprehensif mengenai self-compassion pada siswa SMA dengan latar belakang keluarga bercerai disarankan untuk melakukan pengambilan data gabungan, yakni melakukan wawancara dan kuesioner.

2. Bagi peneliti lain yang berminat untuk memerdalam teori self-compassion dapat menggunakan variabel psikologi lainnya seperti tipe personality openness to


(35)

94

Universitas Kristen Maranatha experience untuk memerkaya dan memberikan informasi tambahan bagi ilmu psikologi bidang lain.

3. Bagi peneliti lain yang berminat untuk melanjutkan penelitian ini dapat melakukan perbandingan pada siswa SMA dengan keluarga utuh untuk melengkapi dan memerkaya informasi.

5.2.2 Saran Praktis

1. Bagi siswa SMA “X” dan “Y” Bandung dengan latar belakang keluarga bercerai yang memiliki derajat self-compassion yang rendah disarankan untuk diberikan kegiatan ekstrakurikuler yang beragam agar siswa dapat mengalihkan perhatiannya pada hal lain yang mereka suka atau diberikan waktu konseling kepada guru Bimbingan Konseling (BK).

2. Bagi guru BK SMA “X” dan “Y” Bandung disarankan untuk memberikan waktu konseling kepada siswa yang bersangkutan agar siswa mampu untuk menjalani kehidupan sehari-hari dengan lebih positif atau dengan cara membentuk kelompok antara siswa perempuan dan siswa laki-laki.


(36)

95 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

Allen, Elaine dan Christopher A. Seamen. 2007. Statistics Roundtable Likert Scales and Data Analyses. USA : University of New York

Anderson, Stephen A. Dan Ronald M. Sabatelli. 1948. Family Interaction : A Multigenerational Development Perspective. Edisi ketiga. USA : Pearson Education, Inc.

Azwar, Saifuddin. 2010. Penyusunan Skala Psikologi. Cetakan ke-15. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Azwar, Saifuddin. 2010. Metode Penelitian. Cetakan ke-11. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Bastaman, H.D. 1996. Meraih Makna Hidup. Jakarta : Airlangga

Bell, R. R. (1979). Marriage and Family Interaction. Edisi ke-5. Illinois : The Dorsey Press

D. Gunarsa.Yulia Singgih. 2012. Psikologi Anak Bermasalah. Edisi kesatu. Jakarta : Libri

D. Gunarsa.Yulia Singgih dan Singgih D. Gunarsa. 2012. Psikologi Remaja. Edisi kesatu. Jakarta : Libri

Duvall, Evelyn Millis. 1906. Marriage and Family Development. Edisi kelima. USA : Lippincott Company

Effendy, Nasrul. 1997. Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Gosling, Samuel D., Peter J. Rentfrow, and William B. Swann. A very brief measure of the Big-Five personality domains. USA : Department of Psychology, University of Texas

Gulӧ, W. 2010. Metodologi Penelitian. Cetakan ke-6. Jakarta : PT. Gramedia Hardiyanti, Ranny. 2013. Burnout ditinjau dari Big Five Factors Personality pada

Karyawan Kantor Pos Pusat Malang. Indonesia : Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang. 2301-8267


(37)

96

Universitas Kristen Maranatha Hetherington, E. Mavis, Ross D. Parke, Mary Gauvain & Virginia Otis Locke,.

2006. 6-th ed. Child Psychology, A Contemporary Viewpoint. Singapore : McGraw-Hill.

Ihromi,T.O. 1999. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Cetakan pertama. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Karim, Erna. 1999. “Pendekatan Perceraian dari Perspektif Sosiologi”. Dalam Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Neff, Kristin. 2003. The Development and Validation of a Scale to Measure Self-Compassion. USA : Taylor and Francis Group. 223-250

Neff, Kristin. 2003. Self-Compassion: An Alternative Conceptualization of a Healthy Attitude Toward Oneself. USA : Taylor and Francis Group. 85-101 Neff, Kristin L. Kirkpatrick, dan Stephanie S. Rude. 2006. Self-compassion and

adaptive psychological functioning. Journal of Research in Persobality. USA : Eastern Kentucky University. 139-154

Neff, Kristin. 2011. Self Compassion: Stop Beating Yourself Up and Leave Insecurity Behind. William Morrow : HarperCollins Publishers.

Prameswari, Irene dan Vida Handayani. 2011. Pengantar Psikologi Perkembangan. Edisi kesatu. Grafika : PT. Danamartha Sejahtera Utama Santrock, John W. 2003. Adolescence. Edisi ke-6. Jakarta : Erlangga

Santrock, John W. 2012. Life-Span Development, Perkembangan Masa Hidup Jilid 1. Edisi ke-13. Jakarta : Erlangga

Sugiyono, 2010. Metode Penelitian Administrasi. Edisi ke-18. IKAPI : Alfabeta Triandis, Harry C. 2001. Individualism-Collectivism and Personality. Journal of


(1)

22

Universitas Kristen Maranatha

1.6 Asumsi

• Siswa SMA “X” dan “Y” dengan latar belakang keluarga bercerai membutuhkan self-compassion agar mereka dapat memberikan perhatian kepada diri sendiri saat menghadapi penderitaan dalam hidupnya.

Self-compassion pada siswa di SMA ”X” dan “Y” Bandung dapat dilihat

dari tiga komponen, yaitu self-kindness, common humanity, dan mindfulness yang berbeda-beda namun saling berkaitan.

Self-compassion pada siswa di SMA “X” dan “Y” Bandung dipengaruhi

oleh faktor internal dan faktor eksternal, faktor internalnya yaitu jenis kelamin, personality, dan attachment, dan untuk faktor eksternalnya adalah role of culture dan role of parents.


(2)

92 Universitas Kristen Maranatha

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini, akan dipaparkan simpulan hasil penelitian, yang bertitik-tolak dari paparan bab sebelumnya.

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang self-compassion pada 35

siswa SMA “X” dan “Y” Bandung dengan latar belakang keluarga bercerai, diperoleh

simpulan sebagai berikut :

1. Siswa SMA “X” dan “Y” Bandung dengan latar belakang keluarga bercerai yang

memiliki derajat self-compassion tinggi juga memiliki komponen self-kindness,

common humanity, dan mindfulness yang tinggi. Begitu pula siswa SMA “X” dan

“Y” Bandung dengan latar belakang keluarga bercerai yang memiliki derajat

self-compassion rendah juga memiliki komponen self-kindness, common humanity, dan mindfulness yang rendah.

2. Faktor-faktor yang memiliki kecenderungan keterkaitan dengan self-compassion pada siswa SMA “X” dan “Y” Bandung dengan latar belakang keluarga bercerai adalah attachment, personality, dan role of parents.


(3)

93

Universitas Kristen Maranatha 3. Faktor demografis yang memiliki kecenderungan keterkaitan dengan

self-compassion pada siswa SMA “X” dan “Y” Bandung dengan latar belakang

keluarga bercerai adalah jenis kelamin responden, usia responden saat ini, dan usia responden saat orang tua mereka bercerai.

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai self-compassion terhadap siswa SMA “X” dan “Y” Bandung, maka beberapa saran yang dapat diberikan peneliti adalah sebagai berikut :

5.2.1 Saran Teoretis

Bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai self-compassion, disarankan :

1. Bagi peneliti lain yang berminat untuk memeroleh penghayatan yang lebih komprehensif mengenai self-compassion pada siswa SMA dengan latar belakang keluarga bercerai disarankan untuk melakukan pengambilan data gabungan, yakni melakukan wawancara dan kuesioner.

2. Bagi peneliti lain yang berminat untuk memerdalam teori self-compassion dapat menggunakan variabel psikologi lainnya seperti tipe personality openness to


(4)

94

Universitas Kristen Maranatha experience untuk memerkaya dan memberikan informasi tambahan bagi ilmu psikologi bidang lain.

3. Bagi peneliti lain yang berminat untuk melanjutkan penelitian ini dapat melakukan perbandingan pada siswa SMA dengan keluarga utuh untuk melengkapi dan memerkaya informasi.

5.2.2 Saran Praktis

1. Bagi siswa SMA “X” dan “Y” Bandung dengan latar belakang keluarga bercerai

yang memiliki derajat self-compassion yang rendah disarankan untuk diberikan kegiatan ekstrakurikuler yang beragam agar siswa dapat mengalihkan perhatiannya pada hal lain yang mereka suka atau diberikan waktu konseling kepada guru Bimbingan Konseling (BK).

2. Bagi guru BK SMA “X” dan “Y” Bandung disarankan untuk memberikan waktu konseling kepada siswa yang bersangkutan agar siswa mampu untuk menjalani kehidupan sehari-hari dengan lebih positif atau dengan cara membentuk kelompok antara siswa perempuan dan siswa laki-laki.


(5)

95 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

Allen, Elaine dan Christopher A. Seamen. 2007. Statistics Roundtable Likert Scales and Data Analyses. USA : University of New York

Anderson, Stephen A. Dan Ronald M. Sabatelli. 1948. Family Interaction : A Multigenerational Development Perspective. Edisi ketiga. USA : Pearson Education, Inc.

Azwar, Saifuddin. 2010. Penyusunan Skala Psikologi. Cetakan ke-15. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Azwar, Saifuddin. 2010. Metode Penelitian. Cetakan ke-11. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Bastaman, H.D. 1996. Meraih Makna Hidup. Jakarta : Airlangga

Bell, R. R. (1979). Marriage and Family Interaction. Edisi ke-5. Illinois : The Dorsey Press

D. Gunarsa.Yulia Singgih. 2012. Psikologi Anak Bermasalah. Edisi kesatu. Jakarta : Libri

D. Gunarsa.Yulia Singgih dan Singgih D. Gunarsa. 2012. Psikologi Remaja. Edisi kesatu. Jakarta : Libri

Duvall, Evelyn Millis. 1906. Marriage and Family Development. Edisi kelima. USA : Lippincott Company

Effendy, Nasrul. 1997. Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Gosling, Samuel D., Peter J. Rentfrow, and William B. Swann. A very brief measure of the Big-Five personality domains. USA : Department of Psychology, University of Texas

Gulӧ, W. 2010. Metodologi Penelitian. Cetakan ke-6. Jakarta : PT. Gramedia Hardiyanti, Ranny. 2013. Burnout ditinjau dari Big Five Factors Personality pada

Karyawan Kantor Pos Pusat Malang. Indonesia : Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang. 2301-8267


(6)

96

Universitas Kristen Maranatha Hetherington, E. Mavis, Ross D. Parke, Mary Gauvain & Virginia Otis Locke,.

2006. 6-th ed. Child Psychology, A Contemporary Viewpoint. Singapore : McGraw-Hill.

Ihromi,T.O. 1999. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Cetakan pertama. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Karim, Erna. 1999. “Pendekatan Perceraian dari Perspektif Sosiologi”. Dalam Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Neff, Kristin. 2003. The Development and Validation of a Scale to Measure Self-Compassion. USA : Taylor and Francis Group. 223-250

Neff, Kristin. 2003. Self-Compassion: An Alternative Conceptualization of a Healthy Attitude Toward Oneself. USA : Taylor and Francis Group. 85-101 Neff, Kristin L. Kirkpatrick, dan Stephanie S. Rude. 2006. Self-compassion and

adaptive psychological functioning. Journal of Research in Persobality. USA : Eastern Kentucky University. 139-154

Neff, Kristin. 2011. Self Compassion: Stop Beating Yourself Up and Leave Insecurity Behind. William Morrow : HarperCollins Publishers.

Prameswari, Irene dan Vida Handayani. 2011. Pengantar Psikologi Perkembangan. Edisi kesatu. Grafika : PT. Danamartha Sejahtera Utama Santrock, John W. 2003. Adolescence. Edisi ke-6. Jakarta : Erlangga

Santrock, John W. 2012. Life-Span Development, Perkembangan Masa Hidup Jilid 1. Edisi ke-13. Jakarta : Erlangga

Sugiyono, 2010. Metode Penelitian Administrasi. Edisi ke-18. IKAPI : Alfabeta Triandis, Harry C. 2001. Individualism-Collectivism and Personality. Journal of