Studi Deskiptif Mengenai Derajat Culture Shock pada Mahasiswa Semester Dua yang Berasal dari Kota Medan di Universitas "X" Bandung.

(1)

Universitas Kristen Maranatha

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui mengenai derajat culture shock mahasiswa semester dua yang berasal dari kota Medan di Universitas “X” Bandung, melalui gambaran mengenai aspek-aspek culture shock. Dalam lingkungan Universitas “X”, banyak mahasiswa yang berasal dari luar daerah dan salah satunya adalah mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari kota Medan.

Adanya perpindahan dari daerah asal kota Medan ke Bandung untuk menempuh pendidikan di Universitas “X” Bandung akan menciptakan kontak antara dua budaya atau lebih ditempat yang baru. Penelitian ini dilakukan pada 36 orang mahasiswa yang berasal dari kota Medan, menggunakan metode deskriptif, dengan teknik pengumpulan data melalui kuesioner.

Dari hasil penelitian pada mahasiswa semester dua yang berasal dari Medan diperoleh sebanyak 36,1% memiliki derajat culture shock tinggi, 33,3% culture shock rendah dan 30,6% culture shock sedang. Aspek culture shock yang memiliki derajat culture shock dominan tinggi yaitu pada aspek penolakan terhadap dan dari orang di lingkungan yang baru dan juga aspek merasa tidak berdaya yang disebabkan oleh ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Peneliti menyarankan agar Bagian Kemahasiswaan Universitas “X” Bandung mengadakan kegiatan untuk meningkatkan kebersamaan para mahasiswa baru yang berasal dari luar daerah dan juga mengadakan kegiatan pengenalan budaya Bandung.


(2)

v

Lembar Judul ... i

Lembar Pengesahan ... ii

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi ... v

Daftar Bagan ... ix

Daftar Tabel ... x

Daftar Lampiran ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 7

1.3 Maksud dan Tujuan ... 8

1.3.1 Maksud Penelitian ... 8

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Kegunaan Penelitian... 8

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 8

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 9

1.5 Kerangka Pikir ... 9

1.6 Skema Kerangka Pikir... 19


(3)

Universitas Kristen Maranatha BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Culture Shock ... 21

2.1.1 Definisi Culture Shock ... 21

2.1.2 Aspek-Aspek dan Komponen Culture Shock ... 22

2.1.3 Faktor Penyebab Culture Shock ... 24

2.1.4 Tahap Culture Shock ... 24

2.2 Sojourner ... 26

2.2.1 Definisi Sojourner ... 26

2.2.2 Sojourner Students ... 26

2.2.3 Masalah yang Dihadapi Mahasiswa Sebagai Sojourner ... 27

2.3 Psikologi Budaya ... 27

2.3.1 Definisi Psikologi Budaya ... 27

2.4 Masa Dewasa Awal ... 27

2.4.1 Transisi dari Sekolah Menengah Atas Menuju Universitas ... 27

2.4.2 Perkembangan Kognitif ... 28

2.4.3 Perkembangan Sosio-Emosional ... 30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 35

3.2 Bagan Rancangan Penelitian ... 36

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 36


(4)

3.3.2 Definisi Konseptual ... 36

3.3.3 Definisi Operasional ... 37

3.4 Alat Ukur ... 39

3.4.1 Alat Ukur Culture Shock ... 39

3.4.1.1 Kuesioner ... 39

3.4.2 Data Pribadi ... 43

3.4.3 Validitas dan Reabilitas Alat Ukur ... 43

3.4.3.1 Validitas Alat Ukur ... 44

3.4.3.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 43

3.5 Populasi Sasaran dan Teknik Penarikan Sampel ... 44

3.5.1 Populasi Sasaran ... 44

3.5.2 Karakteristik Populasi ... 45

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel ... 45

3.6 Teknik Analisis Data ... 45

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 47

4.1.2 Hasil Pengolahan Data Culture Shock ... 48

4.2 Pembahasan ... 56

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 66

5.2 Saran ... 67


(5)

Universitas Kristen Maranatha

5.2.2 Saran Praktis ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 70

DAFTAR RUJUKAN ... 71


(6)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Kerangka Pikir ... 19 Bagan 3.2 Rancangan Penelitian ... 36


(7)

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Pembagian Item-Item dalam Alat Ukur ... 42 Tabel 3.2 Suggested Reliability and Validity Standards ... 44 Tabel 4.1 Responden berdasarkan Suku Bangsa ... 46 Tabel 4.2 Responden berdasarkan lama tinggal dalam bulan di Kota Bandung .. 46 Tabel 4.3 Responden berdasarkan Culture Shock ... 48 Tabel 4.4 Krostabulasi antara ketegangan karena adanya usaha beradaptasi

secara psikis ... 49 Tabel 4.5 Krostabulasi antara perasaan kehilangan dan kekurangan keluarga dan

teman ... 50 Tabel 4.6 Krostabulasi antara penolakan terhadap dan dari orang di lingkungan yang baru ... 51 Tabel 4.7 Krostabulasi antara adanya kebingungan mengenai harapan, harapan

terhadap peran tersebut, nilai yang dianut, dll ... 52 Tabel 4.8 Krostabulasi antara tidak menyukai kenyataan adanya perbedaan ... 53 Tabel 4.9 Krostabulasi antara perasaan tidak berdaya ... 54


(8)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Kuesioner Culture shock Lampiran II Data Mentah

Lampiran III Validitas dan Reliabilitas Lampiran IV Hasil Statistik

Lampiran V Skor Total dan Kategori Derajat Culture Shock Lampiran VI Analisis Item


(9)

1

Universitas Kristen Maranatha PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Zaman era globalisasi seperti saat ini, pendidikan menjadi sangatlah penting, baik untuk mengembangkan potensi dalam diri maupun untuk mencapai impian masa depan. Biasanya masyarakat di Indonesia mengikuti pendidikan dasar yang berupa Taman Kanak-Kanak hingga Sekolah Menengah Atas dilaksanakan di lembaga atau sekolah yang lokasinya dekat dengan rumah atau dikota masing-masing. Masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa anak umur sekolah belum bisa mandiri dan mengatur kehidupan mereka sendiri. Berbeda dengan anak yang menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi, orang tua cenderung membolehkan dan mendukung anak mereka untuk menjalani pendidikan, baik di daerah mereka masing-masing maupun diluar daerah, karena sebagai orang tua menginginkan anak-anak mereka mendapatkan kualitas pendidikan terbaik, yang mungkin tidak selalu mereka dapatkan di daerah mereka sendiri walaupun dengan biaya yang tidak murah.

Perkembangan dunia pendidikan di Pulau Jawa lebih pesat, ditandai dengan tersedianya lembaga pendidikan yang lebih maju dan berkualitas, seperti adanya universitas-universitas yang terkemuka, baik negeri maupun swasta, yang dinilai berkualitas baik dan memiliki banyak pilihan fakultas. Bandung


(10)

merupakan salah satu sasaran yang dituju dan Bandung juga dijuluki sebagai kota pelajar.

Memasuki dunia universitas membuat mahasiswa lebih tumbuh berkembang dan lebih mandiri. Mahasiswa memiliki kesempatan untuk membina hubungan sosial yang baik dengan teman maupun dosen, mempunyai waktu yang lebih banyak dengan teman sebaya, memiliki kesempatan untuk menggali gaya hidup dan nilai-nilai yang berbeda, dan menikmati kebebasan dari orang tua. Dalam menghadapi perubahan-perubahan kondisi diatas dibutuhkan penyesuaian diri dari mahasiswa yang bersangkutan dengan lingkungan belajar yang baru, tempat tinggal yang baru, pergaulan yang berbeda dimana terdapat perbedaan kebiasaan dari budaya baru dengan budaya dari tempat asalnya.

Dari sekian banyak universitas swasta dikota Bandung, Universitas “X” merupakan salah satu universitas yang banyak dipilih untuk menimba ilmu. Sejak berdirinya pada tahun 1965 Universitas "X" telah menghasilkan banyak sarjana yang berkualitas, yang telah mengabdikan ilmunya bagi bangsa dan negara. Universitas "X" berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Di Universitas “X” terdapat tujuh fakultas dengan dua puluh dua program studi, serta program

pascasarjana dengan tiga program studi. Banyaknya pilihan program studi pada

Universitas “X” menjadikan Universitas “X” sebagai pilihan yang tepat bagi pelajar untuk belajar (www.”X”.edu) dan dengan didukungnya berbagai fasilitas terbaik yang diberikan oleh Universitas “X”.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Administrasi dan Akademis Universitas "X", mahasiswa yang menuntut ilmu di Universitas “X” bertambah


(11)

Universitas Kristen Maranatha dari waktu ke waktu. Universitas “X” Bandung terdiri dari mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari berbagai kota, suku dan dengan latar belakang budaya yang beragam. Badan Administrasi Akademis Universitas “X” Bandung mencatat pada tahun 2012 mahasiswa yang berasal dari kota Medan merupakan jumlah terbanyak dari tahun-tahun sebelumnya.

Mahasiswa yang berasal dari Medan mempunyai kesempatan untuk mempelajari dan menyesuaikan diri dengan budaya yang baru di kota Bandung. Saat seseorang harus meninggalkan lingkungan yang familiar dan kemudian tinggal di lingkungan yang baru tidak menutup kemungkinan untuk mengalami tekanan-tekanan tertentu yang dapat menimbulkan suatu perasaan tidak nyaman ketika mempelajari budaya yang baru, begitu juga yang dialami oleh mahasiswa yang berasal dari Medan yang berpindah dari kota Medan ke kota Bandung. Keadaan tersebut dikenal dengan culture shock, istilah culture shock pertama kali diperkenalkan oleh Kalervo Oberg pada tahun 1958 mengatakan bahwa setiap manusia yang bepergian dan hidup disuatu negara atau daerah dengan kebiasaan masyarakat yang berbeda dengan kebiasaan masyarakat ditempat tinggal asalnya, akan mengalami culture shock.

Menurut Kalervo Oberg (dalam Ward, Bochner, & Furnham; 2001)

culture shock menggambarkan suatu keadaan negatif yang berhubungan dengan

aksi yang diderita oleh individu yang secara tiba-tiba harus berpindah ke suatu lingkungan baru yang berbeda dengan lingkungan asalnya. Culture shock adalah suatu keadaan yang diderita karena secara tiba-tiba berpindah atau dipindahkan ke lingkungan yang baru. Culture shock terjadi karena perasaan cemas yang


(12)

ditimbulkan oleh adanya kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang dalam pergaulan sosial, culture shock termasuk juga gaya hidup, cara berpakaian, tempat tinggal, makanan termasuk cara memasak, menyajikannya hingga menikmati hidangan, kendala komunikasi (bahasa) karena akan sulit untuk memulai berinteraksi di lingkungannya. Individu akan kehilangan pegangan lalu mengalami frustrasi dan kecemasan. Sebelum individu yang pindah ke lingkungan baru dapat menyesuaikan diri ada empat tahapan culture shock. Tahapan-tahapan

culture shock adalah tahapan honeymoon, crisis, recovery dan adjustment. Culture shock berada pada tahapan crisis dimana perbedaan mulai memunculkan

kebingungan pada individu dan membuat individu merasa terisolasi dan tidak nyaman. Culture shock mengacu pada saat individu menetap kurang lebih 18 bulan kedatangannya. Mahasiswa semester dua masuk dalam tahapan crisis (culture shock) dimana mahasiswa Medan menetap di kota Bandung pada semester dua yaitu pada 12 bulan dari kedatangannya.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti pada 10 orang mahasiswa semester dua yang berasal dari kota Medan di Universitas “X”. Dari hasil wawancara diperoleh bahwa sebanyak 100% mengatakan mereka memilih kuliah di Bandung karena terdapat universitas-universitas unggulan dan memiliki banyak pilihan fakultas yang disukai. Sebanyak 60% memilih kuliah di Bandung karena ingin mandiri dan sebanyak 40% karena mengikuti teman yang juga melanjutkan kuliah di Bandung.

Sebanyak 100% mengatakan ketika pindah kuliah ke Bandung mereka merasa makanan di Bandung manis-manis dan sangat berbeda dengan makanan di


(13)

Universitas Kristen Maranatha tempat asalnya yang makanannya lebih pedas dan juga makanan disini ada yang setengah matang dan ada lalapan. Mereka merasa malas makan namun mereka harus makan karena apabila tidak makan mereka takut sakit. Mereka sering memilih-milih makanan karena ada makanan yang tidak cocok yang dapat menyebabkan sakit perut. 90% merasa rindu masakan rumah dan apabila makan bersama dengan teman yang berasal dari Bandung mereka lebih memilih tempat makan yang menjual makanan yang halal, karena kebanyakan mahasiswa yang berasal dari Medan adalah agama Kristen.

Sebanyak 90% mengalami masalah dengan perbedaan cara bicara masyarakat Sunda yang berbeda dengan budaya mereka dan 10% tidak mngalami masalah dengan perbedaan cara bicara masyarakat Sunda. Menurut mereka cara berbicara masyarakat Sunda lembut dan volume suaranya pelan berbeda dengan budaya mereka yang tegas dan keras sehingga mereka merasa sedikit kesulitan karena harus mengatur cara berbicara ketika berbicara dengan masyarakat ataupun teman-teman yang berasal dari Sunda.

Sebanyak 90% mengalami kesulitan dengan bahasa, mahasiswa Medan tidak mengerti bahasa Sunda sehingga kesulitan untuk mengerti dan juga sering menjadi masalah komunikasi dan 10% tidak mengalami kesulitan dengan bahasa Sunda. Beberapa kali Mahasiswa yang mengalami kesulitan dengan bahasa Sunda mengalami salah pengertian, misalnya merasa tersindir, merasa teman-temannya yang berasal dari Bandung membicarakan atau menjelek-jelekan mereka. Mahasiswa Medan ketika berbicara suaranya keras dan lantang. Ketika teman-temannya yang berasal dari Bandung berbicara dan juga beberapa kali


(14)

mengatakan kata “anjing” mereka merasa tersinggung. Mahasiswa asal Medan lebih cepat tersinggung dan mudah marah karena perbedaan karakteristik dan kebiasaan berbicara misalnya juga seperti intonasi bicara masyarakat Bandung. Mereka juga ada yang merasa hilang percaya diri, mereka merasa seperti orang asing dan tidak memahami bahasa ditempat yang baru (bahasa Sunda) sehingga mereka merasa kurang percaya diri untuk bergaul dengan lingkungan sekitarnya yang baru. Di daerah tempat asal di Medan menyebutkan “motor” dengan “kereta” sedangkan di Bandung dan ditempat lain menyebutkan kereta adalah kereta api. Begitu juga ketika di Bandung mahasiswa asal Medan merasa aneh dengan kata “punten” dan dibalas dengan kata“mangga” , di Bandung “mangga” diartikan dengan silahkan sedangkan untuk didaerah lain mangga artinya buah mangga.

Sebanyak 60% mengatakan mereka ingin berinteraksi dengan masyarakat dilingkungan sekitar dan 40% mengatakan tidak ingin berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Mereka ingin mencari teman-teman baru di Bandung dan ingin berinteraksi dengan orang lain dilingkungan sekitar mereka. Sebanyak 70% mengatakan budaya Sunda itu ramah, dan juga mempunyai kebiasaan yang baik misalnya mengatakan “punten” setiap kali lewat. Sebanyak 90% mengatakan ingin mempelajari Bahasa Sunda dan mulai belajar dan meminta teman-temannya mengajarkan mereka bahasa Sunda dan juga mereka mulai untuk menyesuaikan dengan makanan dan budaya disini dan 10% mengatakan belajar bahasa Sunda perlahan-lahan. Namun semua tetap bangga dengan budaya asalnya dan masih mengikuti perkumpulan gabungan mahasiswa Sumatera Utara.


(15)

Universitas Kristen Maranatha Sebanyak 50% mengatakan merasa tidak bersemangat melakukan aktifitas, karena mereka belum mempunyai banyak teman sehingga mereka juga belum mempunyai banyak kegiatan bersama teman-temannya sedangkan 50% semangat melakukan aktifitas. Mereka sering merasa kesepian dan lebih sering merindukan teman-teman dari daerah tempat asalnya sehingga mereka merasa ingin pulang ketempat asalnya. 100% mengatakan transportasinya tertib akan tetapi lalu lintas di Bandung macet berbeda dengan tempat asalnya. Ada juga yang mengatakan pergaulan disini individual berbeda dengan orang tempat asal yang berkelompok dan setia kawan.

Sebanyak 90% tidak mengalami sulit tidur dan 10% mengatakan pada malam hari mereka sulit tidur dan kadang-kadang menjelang pagi hari barulah bisa tidur sehingga sering terlambat bangun pagi padahal ada kuliah pagi dan merasa badan malas untuk pergi ke kampus. Mahasiswa dari Medan merasa sulit tidur pada malam hari karena pada siang hari mereka tidur, mereka sebenarnya ingin melakukan kegiatan namun karena belum memiliki teman yang cocok karena cara bergaul yang berbeda sehingga mereka menghabiskan waktu di tempat kos dan tidur.

Pada awalnya mahasiswa yang berasal dari kota Medan mengalami hambatan karena perbedaan budaya tempat asal yaitu kota Medan dan budaya ditempat yang baru yang adalah budaya Sunda. Perbedaan diataranya dalam hal makanan, bahasa, kondisi lalu lintas, dan lain sebagainya. Perbedaan karaktersitik dan adat istiadat budaya yang menjadikan peneliti tertarik untuk meneliti culture


(16)

“X” Bandung. Berdasarkan fenomena di atas peneliti ingin melihat derajat culture

shock pada mahasiswa yang berasal dari kota Medan.

1.2.Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka identifikasi masalah penelitian ini mengenai derajat culture shock mahasiswa semester dua yang berasal dari kota Medan di Universitas “X” Bandung.

1.3.Maksud dan Tujuan

1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai

culture shock yang dialami oleh mahasiswa semester dua yang berasal dari kota

Medan di Universitas “X” Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai derajat culture shock yang dialami oleh mahasiswa semester dua yang berasal dari kota Medan di Universitas “X” Bandung berdasarkan aspek-aspek culture shock yaitu strains, a sense of loss and feeling of deprivation, rejection, confusion,


(17)

Universitas Kristen Maranatha 1.4.Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

Memberikan informasi mengenai culture shock untuk memperluas wawasan ilmu psikologi lintas budaya di Indonesia.

 Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai culture shock.

1.4.2 Kegunaan Praktis

 Memberikan masukan pada Bagian Kemahasiswaan Universitas “X” Bandung tentang mahasiswa yang mengalami culture shock sebagai bahan bagi Bagian Kemahasiswaan untuk menyusun program ekstra kurikuler bagi mahasiswa agar mahasiswa dapat berinteraksi dengan baik di kampus.

 Sebagai masukan bagi mahasiswa baru yang berasal dari kota Medan mengenai gambaran culture shock dan aspek-aspek dari culture shock, dengan harapan akan mengurangi dampak negatif dari culture shock yang dialami oleh mahasiswa yang akan melanjutkan pendidikannya di Universitas “X” Bandung.

1.5. Kerangka Pikir

Dalam kehidupan akan banyak tuntutan hidup yang muncul, salah satu diantaranya adalah tuntutan untuk memiliki pendidikan yang setinggi-tingginya. Sebagian besar memilih merantau untuk mendapatkan pendidikan yang lebih


(18)

layak dan sebagian lagi memilih untuk melanjutkan pendidikan dikota asalnya. Banyak mahasiswa yang berasal dari luar daerah yang menempuh pendidikan di Universitas ”X” Bandung dan salah satunya adalah mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari kota Medan.

Mahasiswa asal dari kota Medan yang berada diperantauan tergolong ke dalam sojourner, yaitu inidividu yang tinggal sementara waktu di luar daerah asalnya dalam periode waktu tertentu (Ward,Bochner, Furnham,2001,p.142). Adanya perpindahan dari daerah asal kota Medan ke Bandung untuk menempuh pendidikan di Universitas “X” Bandung akan menciptakan kontak antara dua budaya atau lebih ditempat yang baru. Saat pertama kali berada ditempat yang baru mahasiswa Medan merasa perbedaan budaya asal dengan budaya di Bandung merupakan sesuatu yang menantang sehingga membuat mahasiswa Medan merasa antusias menghadapi perbedaan budaya Medan dan budaya di Bandung.

Mahasiswa baru berada pada masa dewasa adalah suatu fase dimana individu mengatur pemikiran formal operasionalnya. Individu mungkin merencanakan dan membuat hipotesis tentang masalah-masalah seperti layaknya remaja, tetapi mereka menjadi lebih sistematis ketika mendekati atau menghadapi suatu masalah sebagai seorang dewasa. Sementara beberapa orang dewasa lebih mampu menyusun hipotesis daripada remaja dan menurunkan suatu pemecahan masalah dari suatu permasalahan, banyak orang dewasa yang tidak berpikir dengan cara formal operasional sama sekali. Ada dua faktor yang dimiliki individu yang dapat membuat individu tersebut mengalami culture shock ketika dalam proses akulturasi, diantaranya ialah bagaimana perkembangan kognitifnya


(19)

Universitas Kristen Maranatha dan perkembangan sosial emosionalnya ketika individu tersebut mengalami proses akulturasi (Keating, dalam Santrock;2003). Mahasiswa baru tersebut diharapkan dapat berpikir secara formal operasional dan mampu menyusun hipotesis dari pada remaja dan menurunkan suatu pemecahan masalah dari suatu permasalahan. Ketika mahasiswa tidak mampu untuk menyusun hipotesis dan memecahkan suatu masalah maka individu tersebut akan terus menganggap masalah-masalah tersebut sebagai beban dalam dirinya, sehingga hal tersebut dapat menjadi pemicu pada diri seseorang untuk mengalami culture shock. Transisi sosial ke perguruan tinggi adalah waktu ketika kesepian mungkin terbentuk ketika individu meninggalkan dunia tempat tinggal dan keluarga yang dikenal. Banyak mahasiswa baru yang merasa cemas bertemu dengan orang baru dan membangun kehidupan sosial yang baru. Pada umumnya kita tertarik dengan individu yang memiliki karakteristik yang sama daripada karakteristik yang berbeda (Berndt & Perry dalam Santrock; 1990).

Pada tahap pertama, awal perpindahan di kota Bandung mahasiswa Medan berada pada tahapan honeymoon atau bulan madu, berlangsung dari awal kedatangannya sampai 6 bulan dimana kebanyakan dari mereka senang melihat hal-hal baru. Pada tahap ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru. Tahap ini adalah saat pertama kali individu datang ke tempat yang baru. Pada masa ini individu masih terpesona dengan segala sesuatu yang baru. Periode ini ditandai dengan perasaan bersemangat dan antusias terhadap budaya baru dan orang-orangnya. Pada masa ini perbedaan-perbedaan budaya masih dianggap sebagai sesuatu yang menarik


(20)

dan menyenangkan. Hal ini bisa dikatakan sebagai masa pengalaman menjadi turis atau pendatang. Biasanya turis akan pulang sebelum masa honeymoon selesai, sehingga yang tersisa dalam kenangannya adalah berbagai hal menyenangkan yang ditemui di tempat barunya. Namun bila seseorang tinggal di tempat ini lebih lama, bisa jadi keadaan ini akan diikuti dengan menurunnya suasana hati ketika individu sudah mulai mengalami persoalan-persoalan yang muncul karena adanya perbedaan budaya dan disebut dengan culture shock.

Dengan adanya budaya Sunda sebagai budaya mainstream di Bandung, maka para mahasiswa yang berasal dari kota Medan sebagai kelompok minoritas di Universitas “X” Bandung. Kontak sosial dengan budaya Sunda yang tentunya berbeda dengan budaya asal seringkali membuat mahasiswa asal kota Medan mengalami stress dan hambatan (Ward, Bochner, Furnham,2001:9), keadaan ini disebut dengan culture shock. Menurut Kalervo Oberg, culture shock menggambarkan suatu keadaan negatif yang berhubungan dengan aksi yang diderita oleh mahasiswa asal Medan yang secara tiba-tiba harus berpindah ke suatu lingkungan baru yang berbeda dengan lingkungannya selama ini. Dalam hal ini, respon yang diberikan terhadap budaya di lingkungan yang baru merupakan suatu proses yang berlangsung terus menerus sehubungan dengan perubahan budaya yang terjadi.

Culture shock mengacu pada proses transisional dimana individu merasa

adanya ancaman pada keberadaannya dalam satu lingkungan yang secara budaya baru baginya. Dalam lingkungan yang kurang akrab baginya itu, identitas individu tersebut tampak tidak terlindungi. Culture shock menghasilkan harapan yang tidak


(21)

Universitas Kristen Maranatha sesuai dengan keadaan yang kemudian memunculkan kerapuhan emosional pada individu. Culture shock pada awalnya merupakan fenomena emosional, lalu muncul disorientasi kognitif dan disonansi identitas.

Menurut Oberg, individu dalam penyesuaian diri di lingkungan yang baru akan mengalami culture shock dan menghasilkan keadaan tidakseimbang fisik maupun psikologis. Culture shock tidak dapat dihindari dan merupakan satu pengalaman yang menekan dan memunculkan disorientasi. Culture shock dapat memunculkan efek negatif dan juga efek positif. Efek culture shock yang termasuk dalam implikasi negatif adalah masalah psikosomatik akibat stres berkepanjangan; disorientasi kognitif akibat kesulitan-kesulitan dalam membuat atribusi yang akurat; letupan afektif yang terdiri dari perasaan kesepian, depresi, dan perubahan mood yang drastis; dan kecanggungan dalam interaksi sosial akibat ketidakmampuan untuk tampil optimal dalam bahasa dan latar baru. Sebaliknya apabila dikelola dengan penuh pertimbangan, culture shock dapat menimbulkan efek positif pada mahasiswa pendatang yaitu: rasa tenteram dan meningkatnya harga diri; fleksibilitas dan keterbukaan kognitif; kompetensi dalam interaksi sosial dan meningkatnya kepercayaan diri dan rasa percaya pada orang lain.

Culture shock mengacu pada proses transisional dimana individu yang

telah menetap selama kurang lebih 18 bulan (dalam Ward, Bochner, & Furnham; 2001) merasa adanya ancaman pada keberadaannya dalam satu lingkungan yang secara budaya baru baginya. Mahasiswa Medan yang telah menetap di Bandung kurang lebih 18 bulan merasakan adanya ancaman-ancaman pada lingkungannya yang baru yaitu kota Bandung dengan budaya Sunda. Dalam lingkungan yang


(22)

kurang akrab baginya itu, identitas mahasiswa asal Medan tersebut merasa tidak terlindungi.

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan culture shock adalah makanan,tipe pakaian, tingkat ekonomi, tipe perilaku, bahasa, kesempatan untuk melakukan kontak sosial, sikap terhadap agama yang dianut, standar kehidupan umum, topik-topik percakapan, jumlah orang yang dikenal. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan culture shock pada mahasiwa asal Medan misalnya makanan di Bandung lebih manis daripada daerah tempat asalnya yang lebih pedas, perbedaan bahasa yang menggunakan bahasa Sunda dan juga perbedaan standar kehidupan yaitu aturan-aturan dan kebiasaan ataupun adat istiadat di Bandung yang juga berbeda dengan tempat asalnya, kondisi lalu lintas kota Bandung yang macet dan berbeda dengan kota Medan, keadaan cuaca atau iklim di Bandung yang lebih sejuk, beragamnya tempat hiburan dan lain sebagainya. (J.P. Spradley and M. Philips (1972) dalam Ward, Bochner, Furnham, 2001,p.74).

Kondisi yang serba baru dan berbeda di Bandung, serta hilangnya segala hal yang selama ini dikenal dengan baik didaerah asal dapat memunculkan gejala-gejala gangguan culture shock. Saat mahasiswa mengalami culture shock maka proses tersebut melibatkan komponen afektif, behavioral dan kognitif dalam dirinya, yaitu bagaimana mahasiswa merasa, berperilaku, serta berpikir saat berinteraksi dengan budaya baru di Bandung.

Komponen afektif yaitu bagaimana keadaan emosi yang muncul saat mahasiswa asal Medan menghadapi lingkungan dengan budaya baru meliputi perasaan curiga, kecemasan, kebingungan pada saat berada di tempat yang baru,


(23)

Universitas Kristen Maranatha perasaan kehilangan dan kekurangan keluarga dan teman, kurang mampu mengendalikan emosi,tidak menyukai kenyataan adanya perbedaan budaya.

Aspek behavioral berhubungan dengan proses pembelajaran budaya merupakan perluasan dari kemampuan sosial meliputi bagaimana mahasiswa menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang berlaku, perjanjian, serta asumsi yang mengatur interaksi interpersonal termasuk komunikasi verbal maupun non verbal yang ditampilkan saat berinteraksi dengan lingkungannya, perasaan tidak berdaya yang disebabkan oleh ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Bagaimana mahasiswa melatih diri dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. (Oberg dalam Ward, Bochner, Furnham, 2001 :48,270-272).

Aspek kognitif, bagaimana mahasiswa asal Medan menginterpretasikan mahasiswa lain yang berbeda budaya, maupun peristiwa baik spiritual atau eksistensial dilingkungan dengan budaya baru. Aspek ini menekankan bahwa budaya merupakan “shared meaning” (berbagi arti) diantara masyarakat. Dalam hal ini apakah mahasiswa akan mempertahankan atau mengubah identitas budayanya dengan adanya stereotip dari masyarakat, serta bagaimana mahasiswa mempertahankan harga dirinya. Penolakan terhadap dan dari orang-orang di lingkungan yang baru, adanya kebingungan mengenai peran, harapan terhadap peran tersebut maupun nilai yang dianut.

Pada tahap kedua yaitu tahapan crisis dimulai ketika orang mulai menghadapi kondisi nyata dalam hidupnya, ditandai dan dimulai dengan suatu sikap memusuhi dan agresif terhadap negeri pribumi yang berasal dari kesulitan


(24)

pendatang dalam menyesuaikan diri. Misalnya kesulitan transportasi dan fakta bahwa masyarakat di tempat yang baru tidak menghiraukan kesulitan mereka. Pendatang menjadi agresif kemudian bergerombol dengan teman-teman yang berasal dari satu suku yang sama dan mulai mengkritik budaya di tempat yang baru, adat-istidatnya, dan orang-orangnya. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Orang menjadi bingung dan terkejut dengan sekitarnya, dan dapat menjadi frustrasi dan mudah tersinggung, bersikap permusuhan, mudah marah, tidak sabaran, dan bahkan menjadi tidak kompeten.

Culture shock termasuk pada tahap krisis, agresif/ regresi/ flight. Pada

tahap ini individu seringkali dihadapkan pada berbagai macam perbedaan budaya yang ternyata dapat memicu persoalan-persoalan yang belum pernah dihadapi sebelumnya. Persoalan-persoalan yang nyata ini biasanya menimbulkan perasaan agresif, marah pada kultur barunya karena dianggapnya aneh, tidak masuk akal. Biasanya individu-individu akan berpaling kepada teman-teman satu sukunya yang dianggap lebih bisa diajak bicara dengan cara pandang yang sama karena memiliki budaya yang sama. Seringkali muncul pendewaan terhadap budaya asal, menganggap budaya asalnya adalah budaya yang paling baik dan mengkritik budaya di tempat yang baru sebagai budaya yang tidak masuk akal, tidak menyenangkan dan aneh. Kondisi mengkritik budaya baru ini bisa termanifestasi dalam kebencian terhadap budaya baru, menolak belajar bahasanya, tidak ingin terlibat dengan orang-orang di budaya baru tsb. Pada masa ini juga muncul stereotip-stereotip tentang orang-orang di tempat yang baru bisa menghalangi interaksi yang efektif dengan penduduk asli. Menurut Oberg pada tahap ini


(25)

Universitas Kristen Maranatha sebagai masa krisis yang akan menentukan apakah individu akan tinggal atau meninggalkan tempat barunya. Pada masa ini pula bisa muncul keinginan regresi, keinginan-keinginan untuk pulang ke rumah, rindu dengan kondisi-kondisi yang ada di tempat asalnya serta mendapatkan perlindungan dari orang-orang yang memiliki budaya yang sama.

Semakin besar perbedaan budaya antara budaya asal (Medan) dengan budaya di Bandung maka mahasiswa asal Medan akan semakin sulit untuk melakukan penyesuaian diri. Ketika individu berada dalam lingkungan yang baru ataupun budaya yang berbeda, individu tersebut bisa mengalami kesulitan dengan situasi baru yang mungkin berbeda dengan lingkungan ataupun budaya asalnya. Hal ini terjadi pula pada mahasiswa asal Medan saat memasuki Universitas “X”. Ditambah lagi, mereka juga harus menyesuaikan diri dengan keragaman budaya yang dimiliki oleh mahasiswa lainnya yang dapat dikatakan memiliki perbedaan cukup besar dengan budaya ditempat asal mereka.

Apabila mahasiswa asal Medan di Universitas “X” tidak berhasil menyesuaikan diri dengan budaya Sunda maka akan mengalami culture shock. Gejala munculnya culture shock derajatnya bisa berbeda-beda antara mahasiswa asal Medan yang satu dengan yang lainnya, ada yang derajatnya tinggi, sedang dan rendah. Ada mahasiswa yang mengalami masalah sulit makan karena perbedaan makanan, ada yang merasa sulit dengan bahasa Sunda, ada juga yang sulit berelasi dengan teman dan lingkungan barunya karena kebiasaan yang berbeda tetapi ada juga mahasiswa yang mudah menyesuaikan diri dengan teman-teman budaya baru namun mengalami masalah dengan makanan dan merasa rindu


(26)

dengan teman-teman dan keluarga yang berasal dari daerah asalnya, ada juga yang bermasalah dengan lalu lintas di kota Bandung yang macet namun angkutan umumnya lebih tertib berbeda dengan di kota Medan yang asal berhenti dan

ngebut-ngebutan, ada juga yang merasa nyaman karena iklim di Bandung yang

sejuk.

Individu dapat dikatakan mengalami culture shock yang tinggi jika individu tersebut merasakan simptom-simptom yang dialaminya menjadi beban, membuatnya merasa tertekan, memiliki kesulitan dalam beradaptasi atau menyesuaikan dirinya di lingkungan yang baru, dan individu tersebut pun tidak dapat mengatasinya. Individu yang dikatakan mengalami culture shock yang sedang, jika individu tersebut mengalami simptom-simptom culture shock dan merasa bahwa simptom tersebut membuat dirinya kesulitan dalam menyesuaikan dirinya di tempat yang baru, akan tetapi dalam hal ini individu tersebut masih dapat mengatasinya. Individu dapat dikatakan memiliki culture shock yang rendah jika individu tersebut mengalami simptom-simptom culture shockyang tidak begitu banyak atau signifikan dan tidak menjadikannya masalah yang berarti, serta tidak mempengaruhi subjek dalam menyesuaikan dirinya di tempat yang baru.

Culture shock yang dialami mahasiswa asal Medan tergantung dari

seberapa banyak simptom-simptom yang dialaminya dan bagaimana respon mahasiswa asal Medan dalam mengalami serta mengatasi crisisnya. Simptom-simptom culture shock yang dikarenakan oleh perbedaan-perbedaan antara lingkungan barunya saat ini dengan daerah asalnya.


(27)

Universitas Kristen Maranatha 1.1 Skema Kerangka Pikir

Mahasiswa semester dua berasal dari kota

Medan dengan Budaya Medan

Crossing Culture ke

budaya Sunda (honeymoon stage)

Culture Shock (crisis stage)

Tinggi

Rendah Sedang

Aspek-aspek culture shock :

1. Ketegangan karena adanya usaha beradaptasi secara psikis. 2. Perasaan kehilangan dan kekurangan keluarga dan teman.

3. Perasaan tidak berdaya karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.

 Penolakan terhadap dan dari orang-orang di lingkungan baru.

 Tidak menerima adanya perbedaan peran, harapan terhadap peran tersebut, nilai yang dianut, perasaan, dan identitas diri.

 Tidak memahami adanya perbedaan bahasa, kebiasaan, nilai/norma, sopan. santun. Aspek Culture Shock :

1. Afektif 2. Behavior 3. Kognitif


(28)

1.6 Asumsi

Berdasarkan uraian di atas, dapat diasumsikan bahwa :

1. Mahasiswa semester dua yang berasal dari kota Medan di Universitas “X” Bandung akan mengalami kontak dengan budaya Sunda dan multikulturalnya.

2. Mahasiswa yang berasal dari kota Medan akan mengalami culture

shock ketika tinggal di Bandung, namun derajat culture shock yang

dialaminya akan berbeda-beda.

3. Culture shock memiliki 3 komponen yaitu komponen Afektif,

Behavioral dan Kognitif.

4. Culture shock memiiki 6 aspek, yaitu ketegangan karena adanya usaha

untuk beradaptasi secara psikis, perasaan kehilangan dan kekurangan keluarga dan teman, perasaan tidak berdaya karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, penolakan terhadap dan dari orang-orang di lingkungan baru, tidak menerima kenyataan adanya perbedaan peran, harapan terhadap peran tersebut, nilai yang dianut, perasaan dan identitas diri, tidak memahami adanya perbedaan bahasa kebiasaan, nilai/ norma, sopan.


(29)

64

Universitas Kristen Maranatha BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengolahan data dan pembahasan terhadap 36 mahasiswa semester dua yang berasal dari kota Medan di Universitas “X” Bandung, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Dari hasil penelitian kepada mahasiswa semester dua yang berasal dari kota Medan di Universitas “X” Bandung diperoleh 36,1 memiliki derajat

culture shock tinggi, 33,3% culture shock rendah dan 30,6 culture shock

sedang.

2. Mahasiswa yang memiliki derajat culture shock dominan tinggi yaitu pada aspek penolakan terhadap dan dari orang di lingkungan yang baru dan juga aspek merasa tidak berdaya yang disebabkan oleh ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.

3. Mahasiswa yang memiliki derajat culture shock tinggi sering menghabiskan waktu seorang diri ketika berada di Bandung dan juga para mahasiswa merasa lebih sensitif dan mudah tersinggung ketika orang lain mengatakan hal yang tidak disukai dan juga para mahasiswa merasa psikosomatis setelah tinggal di Bandung sehingga apabila mahasiswa memiliki masalah mahasiswa akan jatuh sakit.


(30)

4. Suku Batak Toba dan Batak Karo memiliki derajat culture shock yang tinggi.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diajukan beberapa saran yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan:

5.2.1 Saran Teoritis

1. Disarankan kepada peneliti dalam bidang ilmu psikologi lintas budaya untuk meneliti lebih lanjut mengenai dampak culture

shock terhadap prestasi akademik pada mahasiswa semester

dua yang berasal dari kota Medan di Universitas “X” Bandung. Untuk peneliti selanjutanya dapat menambahkan berbagai instrument data penunjang yang bertujuan untuk dapat melihat pengaruh dari berbagai situasi yang ada dalam situasi lingkungan individu yang diteliti. Dalam peneliti ini, peneliti hanya mencantumkan suku dan lama tinggal di kota Bandung, dan menyarankan untuk dapat menambah item-item data penunjang. Hal ini ditujukan sehingga hasil penelitian selanjutnya dapat menjadi semakin kaya dan bervariasi dalam membahas culture shock.


(31)

Universitas Kristen Maranatha 2. Disarankan bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini dapat

di jadikan masukan jika ingin melakukan penelitian korelasional antara derajat culture shock dengan strategi akulturasi pada mahasiswa tahun pertama yang berasal dari kota Medan.

5.2.2 Saran Praktis

Bagi pihak Universitas “X”, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam menyusun materi ataupun kegiatan W2M agar mahasiswa dapat berinteraksi dengan mahasiswa yang berasal dari budaya yang berbeda. Dari hasil penelitian, didapat bahwa sebagian besar responden yang berasal dari kota Medan masih membutuhkan upaya penyesuaian diri untuk menghindari culture shock tinggi yang mereka alami. Diharapkan Universitas secara umum dan fakultas-fakultas secara khusus dapat membantu atau memfasilitasi munculnya penyesuaian diri pada mahasiswa baru dengan mengadakan berbagai kegiatan yang ditujukan untuk memperkenalkan mereka tentang budaya, adat istiadat, dan berbagai tata kelola yang ada di kota Bandung dan Jawa Barat atau dengan kegiatan kelompok yang di dalam suatu kelompok terdiri dari berbagai macam budaya.


(32)

Baker, C., Nancy, P., and Elliott, R, (2002). Research Methods in Clinical

Psychology: An Introduction for Students and Practitioners. Second Edition.

England: John Wiley & Sons, Ltd.

Berry, John W; Poortinga, Ype H; Segall, Marshall H; Dasen, Pierre R (2002),

Cross-cultural psychology: Research and applications, Second Ed, Cambridge:

Cambridge University Press.

Ekadjati, Edi S. 1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah), Jakarta: Pustaka Jaya.

Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. 2007. Panduan Penulisan Skripsi

Sarjana. Bandung.

Furnham, Adrian & Bochner. 1986. Culture Shock : Psychological Reactions to

Unfamiliar Environment, London: Taylor & Francis.

Hurlock, Elizabeth. 1973, Adolescence Development, 4th Ed, Tokyo : McGraw-Hill.

Santrock, John W. 2003. Adolescence, 9th Ed, Dallas : McGraw-Hill.

Ward, Collen., Bochner, Stephen., & Furnham, Adrian. 2001. The Psychology of


(1)

Universitas Kristen Maranatha

1.1 Skema Kerangka Pikir Mahasiswa semester

dua berasal dari kota Medan dengan Budaya Medan

Crossing Culture ke budaya Sunda (honeymoon stage)

Culture Shock (crisis stage)

Tinggi

Rendah Sedang

Aspek-aspek culture shock :

1. Ketegangan karena adanya usaha beradaptasi secara psikis. 2. Perasaan kehilangan dan kekurangan keluarga dan teman.

3. Perasaan tidak berdaya karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.

 Penolakan terhadap dan dari orang-orang di lingkungan baru.

 Tidak menerima adanya perbedaan peran, harapan terhadap peran tersebut, nilai yang dianut, perasaan, dan identitas diri.

 Tidak memahami adanya perbedaan bahasa, kebiasaan, nilai/norma, sopan. santun. Aspek Culture Shock :

1. Afektif 2. Behavior 3. Kognitif


(2)

20

1.6 Asumsi

Berdasarkan uraian di atas, dapat diasumsikan bahwa :

1. Mahasiswa semester dua yang berasal dari kota Medan di Universitas “X” Bandung akan mengalami kontak dengan budaya Sunda dan multikulturalnya.

2. Mahasiswa yang berasal dari kota Medan akan mengalami culture shock ketika tinggal di Bandung, namun derajat culture shock yang dialaminya akan berbeda-beda.

3. Culture shock memiliki 3 komponen yaitu komponen Afektif,

Behavioral dan Kognitif.

4. Culture shock memiiki 6 aspek, yaitu ketegangan karena adanya usaha

untuk beradaptasi secara psikis, perasaan kehilangan dan kekurangan keluarga dan teman, perasaan tidak berdaya karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, penolakan terhadap dan dari orang-orang di lingkungan baru, tidak menerima kenyataan adanya perbedaan peran, harapan terhadap peran tersebut, nilai yang dianut, perasaan dan identitas diri, tidak memahami adanya perbedaan bahasa kebiasaan, nilai/ norma, sopan.


(3)

64

Universitas Kristen Maranatha

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengolahan data dan pembahasan terhadap 36 mahasiswa semester dua yang berasal dari kota Medan di Universitas “X” Bandung, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Dari hasil penelitian kepada mahasiswa semester dua yang berasal dari kota Medan di Universitas “X” Bandung diperoleh 36,1 memiliki derajat culture shock tinggi, 33,3% culture shock rendah dan 30,6 culture shock sedang.

2. Mahasiswa yang memiliki derajat culture shock dominan tinggi yaitu pada aspek penolakan terhadap dan dari orang di lingkungan yang baru dan juga aspek merasa tidak berdaya yang disebabkan oleh ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.

3. Mahasiswa yang memiliki derajat culture shock tinggi sering menghabiskan waktu seorang diri ketika berada di Bandung dan juga para mahasiswa merasa lebih sensitif dan mudah tersinggung ketika orang lain mengatakan hal yang tidak disukai dan juga para mahasiswa merasa psikosomatis setelah tinggal di Bandung sehingga apabila mahasiswa memiliki masalah mahasiswa akan jatuh sakit.


(4)

65

4. Suku Batak Toba dan Batak Karo memiliki derajat culture shock yang tinggi.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diajukan beberapa saran yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan:

5.2.1 Saran Teoritis

1. Disarankan kepada peneliti dalam bidang ilmu psikologi lintas budaya untuk meneliti lebih lanjut mengenai dampak culture shock terhadap prestasi akademik pada mahasiswa semester dua yang berasal dari kota Medan di Universitas “X” Bandung. Untuk peneliti selanjutanya dapat menambahkan berbagai instrument data penunjang yang bertujuan untuk dapat melihat pengaruh dari berbagai situasi yang ada dalam situasi lingkungan individu yang diteliti. Dalam peneliti ini, peneliti hanya mencantumkan suku dan lama tinggal di kota Bandung, dan menyarankan untuk dapat menambah item-item data penunjang. Hal ini ditujukan sehingga hasil penelitian selanjutnya dapat menjadi semakin kaya dan bervariasi dalam membahas culture shock.


(5)

Universitas Kristen Maranatha

2. Disarankan bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini dapat di jadikan masukan jika ingin melakukan penelitian korelasional antara derajat culture shock dengan strategi akulturasi pada mahasiswa tahun pertama yang berasal dari kota Medan.

5.2.2 Saran Praktis

Bagi pihak Universitas “X”, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam menyusun materi ataupun kegiatan W2M agar mahasiswa dapat berinteraksi dengan mahasiswa yang berasal dari budaya yang berbeda. Dari hasil penelitian, didapat bahwa sebagian besar responden yang berasal dari kota Medan masih membutuhkan upaya penyesuaian diri untuk menghindari culture shock tinggi yang mereka alami. Diharapkan Universitas secara umum dan fakultas-fakultas secara khusus dapat membantu atau memfasilitasi munculnya penyesuaian diri pada mahasiswa baru dengan mengadakan berbagai kegiatan yang ditujukan untuk memperkenalkan mereka tentang budaya, adat istiadat, dan berbagai tata kelola yang ada di kota Bandung dan Jawa Barat atau dengan kegiatan kelompok yang di dalam suatu kelompok terdiri dari berbagai macam budaya.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Baker, C., Nancy, P., and Elliott, R, (2002). Research Methods in Clinical Psychology: An Introduction for Students and Practitioners. Second Edition. England: John Wiley & Sons, Ltd.

Berry, John W; Poortinga, Ype H; Segall, Marshall H; Dasen, Pierre R (2002), Cross-cultural psychology: Research and applications, Second Ed, Cambridge: Cambridge University Press.

Ekadjati, Edi S. 1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah), Jakarta: Pustaka Jaya.

Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. 2007. Panduan Penulisan Skripsi Sarjana. Bandung.

Furnham, Adrian & Bochner. 1986. Culture Shock : Psychological Reactions to Unfamiliar Environment, London: Taylor & Francis.

Hurlock, Elizabeth. 1973, Adolescence Development, 4th Ed, Tokyo : McGraw-Hill. Santrock, John W. 2003. Adolescence, 9th Ed, Dallas : McGraw-Hill.

Ward, Collen., Bochner, Stephen., & Furnham, Adrian. 2001. The Psychology of Culture Shock , 2nd Ed, Canada: Routledge & Kegan Paul.