Studi Deskriptif Mengenai Derajat Culture Shock Pada Mahasiswa Baru Yang Berasl Dari Luar Jakarta di STT "X" Jakarta.

(1)

ABSTRACT

Jakarta is a province that has a lot of college. Many people from outside of the province , or even Java island, comes to Jakarta to take a college there. One of the college is Jakarta STT ”X”, which more than 50% of its student comes from outside of Jakarta. Because of that, this research was undertaken to found out the culture shock degree of the Jakarta STT “X” that comes form outside of Jakarta.

The sample selection on this research are using purposive sampling technique, on track with sample characteristic that has been decided, which is new student that comes from outside of Jakarta with age criteria scales from 17 to 28, and has been staying in Jakarta for 1 year maximum length. This research design are using descriptive study method.

The scale that has been used are designed by the researcher herself. The scale has 84 items in total, which is 40 positive item and 44 negative item. Those item are divided to component, aspect, and indicator. The validity and reliability of this item has been tested using Alpha Cronbach with SPSS 17.0 program. Based on the validity result, there are 84 valid item with value from 0,3 until 0,8 and 0,980 reliability (Very High).

This research conclude that the majority of the Jakarta STT “X” new college student that comes from outside of Jakarta have low culture shock degree. Based on this conclusion, researcher suggest that corelational studies about culture shock degree and acculturation strategy should be undertaken.


(2)

ii Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK

Jakarta merupakan provinsi yang memiliki banyak perguruan tinggi. Banyak sekali orang yang berasal dari luar Jakarta atau bahkan luar pulau Jawa datang ke Jakarta untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi Jakarta, dan salah satunya adalah STT”X” Jakarta yang tiap tahunnya lebih dari 50 % mahasiswanya berasal dari luar Jakarta. Oleh karena itu, penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui derajat culture shock pada mahasiswa baru yang berasal dari luar Jakarta di STT “X” Jakarta.

Pemilihan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling sesuai dengan karakteristik sampel yang sudah ditentukan yaitu merupakan mahasiswa baru yang berasal dari luar Jakarta, berusia 17 sampai 28 tahun, dan telah menetap di Jakarta dalam jangka waktu maksimal 1 tahun. Rancangan penelitian ini menggunakan metode studi deskriptif.

Alat ukur yang di gunakan di rancang sendiri oleh peneliti, yang terdiri dari 84 item, 40 item positif dan 44 item negatif. Item tersebut terbagi lagi ke dalam komponen, aspek, dan indikator. Validitas dan reliabilitas item di uji menggunakan uji Alpha Cronbach dengan program SPSS 17.0. Berdasarkan hasil uji validitas, terdapat 84 item yang valid dengan nilai 0,3 sampai 0,8 dan reliabilitas 0,980 (sangat tinggi).

Kesimpulan yang diperoleh adalah, mayoritas mahasiswa baru yang berasal dari luar Jakarta di STT”X” Jakarta memiliki derajat culture shock yang rendah. Peneliti mengajukan saran agar dilakukan penelitian korelasional mengenai derajat culture shock dengan strategi akulturasi pada mahasiswa baru yang berasal dari luar Jakarta di STT “X” Jakarta.


(3)

DAFTAR ISI

Lembar Judul Lembar Pengesahan

Pernyataan Orisinalitas Laporan Penelitian Pernyataan Publikasi Laporan Penelitian

Abstrak...i

Kata Pengantar...iii

Daftar Isi...v

Daftar Bagan...viii

Daftar Tabel...ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Identifikasi Masalah...8

1.3 Maksud dan Tujuan...8

1.3.1 Maksud Penelitian...8

1.3.2 Tujuan Penelitian...9

1.4 Kegunaan Penelitian...9

1.4.1 Kegunaan Teoritis...9

1.4.2 Kegunaan Praktis...9

1.5 Kerangka Pikir...10


(4)

iv Universitas Kristen Maranatha BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Culture Shock...22

2.1.1 Definisi Culture Shock...22

2.1.2 Simptom Culture Shock...22

2.1.3 Faktor Penyebab Culture Shock...23

2.1.4 Tahap Culture Shock...23

2.1.5 Komponen Culture Shock...25

2.2 Sojourner...27

2.2.1 Pengertian Sojourner...27

2.2.2 Tipe Sojourner...27

2.2.3 Masalah yang dihadapi mahasiswa sebagai sojourner...27

2.3 Kebudayaan...28

2.3.1 Definisi Kebudayaan...28

2.3.2 Wujud Kebudayaan...28

2.4 Masa Dewasa Awal...28

2.5.1 Transisi Dari SMA Menuju Universitas...28

2.5.2 Perkembangan kognitif...30

2.5.3 Perkembangan Sosio-Emosional...32

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian...36

3.2 Bagan Rancangan Penelitian...36

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional...37


(5)

3.3.2 Definisi Konseptual & Definisi Operasional...37

3.4 Alat Ukur...40

3.4.1 Kuesioner...40

3.4.2 Data Pribadi dan Data Penunjang...42

3.4.3 Validitas Alat Ukur...42

3.4.3.1 Validitas Alat Ukur...42

3.4.3.2 Reliabilitas Alat Ukur...43

3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel...44

3.5.1 Populasi Sasaran...44

3.5.2 Karakteristik Sampel...44

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel...44

3.6 Teknik Analisis Data...44

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian...46

4.2 Pembahasan...65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan...77

5.2 Saran...78

5.2.1 Saran Teoritis...78

5.2.2 Saran Praktis...78

Daftar Pustaka...xi

Daftar Rujukan...xii Lampiran


(6)

vi Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Bagan Kerangka Pikir...20 Bagan 2. Bagan Rancangan Penelitian...36


(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Tabel hasil derajat Culture Shock...46 Tabel 4.2 Tabulasi silang derajat Culture Shock dengan data

penunjang………...47 Tabel 4.3 Tabulasi silang antara derajat Culture Shock

dengan komponen Culture Shock...52 Tabel 4.4 Tabulasi silang antara derajat Culture Shock

dengan aspek Culture Shock...56 Tabel 4.5 Tabulasi silang antara derajat Culture Shock

tinggi dengan indikator...60 Tabel 4.6 Tabulasi silang antara derajat Culture Shock

sedang dengan indikator...62 Tabel 4.7 Tabulasi silang antara derajat Culture Shock


(8)

1 Universitas Kristen Maranatha

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Jakarta adalah sebuah ibukota yang telah menjadi pusat perdagangan serta pelayanan jasa, tempat menuntut ilmu, pusat kegiatan sosial, ekonomi, dan politik. Jakarta memiliki ciri masyarakat dan kebudayaan yang heterogen serta memiliki kepadatan penduduk yang lebih tinggi (Suparlan; 2004). Selain itu Jakarta sebagai sebuah Ibu Kota menjadi pusat urbanisasi. Berdasarkan proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS), urbanisasi akan mencapai 68 persen pada 2025. Proyeksi itu mengacu kepada perbedaan laju pertumbuhan penduduk daerah perkotaan dan daerah perdesaan (urban rural growth difference/URGD). Dalam data itu sendiri, Jakarta merupakan provinsi yang memiliki tingkat urbanisasi yang tinggi (http://bataviase.co.id/node/162224).

Masyarakat kota Jakarta bukanlah masyarakat yang terasing atau terpencil, tetapi sebuah masyarakat yang anggota-anggotanya adalah warga setempat dan pendatang dari seluruh penjuru tanah air dan sari berbagai penjuru dunia. Masyarakat kota Jakarta juga bukan masyarakat desa, karena warga masyarakatnya tidak hidup dari pertanian. Jakarta sejak dahulu adalah kota, warga masyarakatnya hidup dari menjual jasa: perdagangan, administrasi pemerintahan, dan manufaktur serta berbagai bentuk pelayanan hiburan. Orang datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan di bidang jasa,


(9)

berdagang, bersekolah, menghibur diri, atau urusan dinas/bisnis (Suparlan; 2004).

Setiap tahunnya ratusan ribu orang meninggalkan daerahnya untuk datang ke Jakarta. Banyak orang yang tergiur dengan gemerlap kota Jakarta. Tidak sedikit juga orang dari berbagai daerah datang ke Jakarta untuk menuntut ilmu, hal tersebut dikarenakan banyaknya pilihan sekolah atau universitas yang sudah memiliki akreditasi yang sangat baik dan terletak di pusat kota yang memiliki beragam fasilitas seperti toko buku yang mudah untuk ditemui, tempat perbelanjaan yang lengkap dan banyak untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari serta kualitas yang terbaik dalam menuntut ilmu seperti universitas yang dapat melahirkan lulusan yang siap kerja setelah lulus kuliah dan sekolah atau universitas yang sudah terakreditasi A dan banyak diakui oleh orang banyak. Salah satunya adalah STT “X” Jakarta, yang sudah memiliki akreditasi A, yang menjadi pilihan banyak orang sebagai tempat untuk menuntut ilmu, terkhusus untuk disiplin ilmu teologi.

STT “X” Jakarta adalah sebuah perguruan tinggi teologi di Jakarta, Indonesia. Tiap tahunnya mahasiswa yang masuk atau menuntut ilmu di STT “X” Jakarta lebih dari 50 % berasal dari luar Jakarta. Berdasarkan hasil data mahasiswa baru selama tiga tahun terakhir yang diperoleh dari STT Jakarta, didapati bahwa pada tahun 2008, dari 40 mahasiswa baru, 60% mahasiswa yang masuk berasal dari luar Jakarta (5% dari kupang, 2,5% dari Sulawesi, 7,5% dari Jawa Barat, 5% dari Papua, 12,5% dari Sumatra, 5%


(10)

Universitas Kristen Maranatha dari Banten, 5% dari Depok, 2,5% dari Kepulauan Maluku, 10% dari Bekasi, 2,5% dari Jawa Timur, 2,5% dari Nias); tahun 2009, dari 31 mahasiswa baru, 70,9% mahasiswa yang masuk berasal dari luar Jakarta (6,4% dari Bogor, 9,6% dari Sulawesi, 6,4% dari Jawa Barat, 22,5% dari Sumatra, 9,6% dari Banten, 3,2% dari Depok, 3,2% dari Kepulauan Maluku, 6,4% dari Bekasi, 3,2% dari Jawa Timur); .dan tahun 2010, dari 41 mahasiswa baru, 73% mahasiswa yang masuk berasal dari luar Jakarta (10% dari Banten, 10% dari Jawa tengah, 7% dari kepulauan Sulawesi, 40% dari kepulauan Sumatra, 20% dari kepulauan Maluku, 7% dari Jawa barat, dan 6% dari Bekasi).

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa tiap tahunnya lebih dari 50% mahasiswa yang masuk berasal dari berbagai daerah di luar Jakarta, mulai dari daerah yang tidak begitu jauh dengan kota Jakarta sendiri (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), hingga daerah-daerah yang berada di luar pulau Jawa. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa terdapat berbagai macam budaya yang dimiliki oleh mahasiswa STT Jakarta.

Berdasarkan dari data yang telah diperoleh, 76% dari 30 mahasiswa yang berasal dari luar daerah di STT “X” Jakarta menuturkan bahwa alasan mereka masuk ke STT “X” Jakarta adalah karena menurut mereka (atau menurut informasi yang mereka peroleh), STT “X” Jakarta memiliki kualitas yang baik seperti akan melahirkan lulusan yang siap kerja di berbagai gereja (berdasarkan data yang didapat dari STT “X” Jakarta, seluruh lulusannya akan langsung bekerja di gereja-gereja), terakreditasi A dan dosen-dosen yang berkualitas, memiliki banyak pengalaman dan


(11)

terkenal seperti (alm) Prof. Eka Darmaputera Ph.D, Dr. Andar Ismail, dll yang juga dikenal sebagai penulis buku-buku teologia. Selain itu, didukung pula oleh fasilitas yang dapat diunggulkan yaitu terdapat pusat pembelajaran warga gereja (PPWG), perpustakaan, kapel, laboratorium bahasa, wisma STT (guest house), pusat kegiatan mahasiswa (PKM), aula yg besar (lantai 1 sampai lantai 5), bengkel pendidikan kristiani, kantin, fasilitas olahraga (lapangan bulutangkis, tenis meja), ruang multimedia, serta pusat dokumentasi sejarah gereja Indonesia (PDSGI). Maka dari itu mereka memilih STT “X” Jakarta walaupun mereka berasal dari daerah yang jauh dari kota Jakarta seperti dari Kepulauan Maluku, Sumatra, Sulawesi, dll.

Ketika menjadi mahasiswa di STT “X” Jakarta, berarti para mahasiswa baru yang berasal dari luar Jakarta (Maluku, Banten, Sulawesi, Medan, Jawa tengah, Bekasi, dan Jawa barat) tentunya akan memasuki budaya yang berbeda dengan budaya asal daerahnya. Para mahasiswa tersebut akan mengalami interaksi dengan budaya di Jakarta, misalnya bertemu dengan tempat-tempat hiburan di Jakarta, bertemu dengan angkutan-angkutan umum di Jakarta, dll. Pada interaksi dengan budaya Jakarta, akan terjadi pertemuan nilai-nilai, pandangan dan gaya hidup para mahasiswa baru yang berasal dari luar Jakarta dengan masyarakat di Jakarta. Ketika memasuki budaya Jakarta sebagai budaya baru, pada saat yang bersamaan mahasiswa baru yang berasal dari luar Jakarta (Maluku, Banten, Sulawesi, Medan, Jawa tengah, Bekasi, dan Jawa barat) juga dituntut untuk beradaptasi secara kultural dengan kondisi budaya setempat. Oleh


(12)

Universitas Kristen Maranatha karenanya muncul berbagai dampak yang terjadi pada mahasiswa yang berasal dari luar Jakarta tersebut seperti tekanan-tekanan emosional, masalah-masalah komunikasi, kegagalan dalam pencapaian tugas atau menurunnya prestasi, serta mengalami kesulitan dalam beradaptasi karena munculnya kejutan budaya, fenomena ini dikenal dengan nama culture shock (Oberg dalam Ward, Bochner, & furnham; 2001).

Oberg (dalam Ward, Bochner, & furnham; 2001) menyatakan bahwa istilah culture shock digunakan untuk menggambarkan suatu keadaan negatif yang berhubungan dengan aksi yang diderita oleh individu yang secara tiba-tiba harus berpindah ke suatu lingkungan yang baru yang berbeda dengan lingkungan selama ini. Pada umumnya culture shock dialami oleh pendatang selama 6 bulan sampai 1 tahun. Culture shock bisa disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain makanan, tipe pakaian, tingkat ekonomi, tipe perilaku, bahasa, kesempatan untuk melakukan kontak sosial, sikap terhadap agama yang di anut, standar kehidupan yang umum, topik-topik percakapan, jumlah orang yang di kenal.

Culture shock menjadi suatu gambaran keadaan negatif yang menimbulkan kecemasan karena kehilangan tanda-tanda seperti kebiasaan-kebiasaan dan tata cara bersikap yang sudah biasa dilakukan dalam pergaulan sosial sebelumnya. Tanda-tanda tersebut meliputi kebiasaan-kebiasaan kita lakukan sehari-hari seperti; kapan berjabat tangan dan apa yang harus kita katakan bila bertemu dengan orang lain, bagaimana berbelanja, kapan menerima dan kapan menolak undangan, ucapan apa yang


(13)

harus dikatakan jika ingin turun dari angkutan kota, dan lain-lain. Perbedaan petunjuk-petunjuk ini mungkin dalam bentuk kata-kata, isyarat-isyarat, ekspresi wajah, kebiasaan-kebiasaan, norma-norma, dan bahkan makanan (Oberg dalam Ward, Bochner, & furnham; 2001).

Berdasarkan hasil wawancara dengan 30 mahasiswa baru sekolah tinggi teologia Jakarta, 60% mahasiswa tersebut mengalami kesulitan beradaptasi ketika mereka masuk ke dalam sebuah asrama dan tinggal di kota Jakarta. Kesulitan yang mereka rasakan pun beragam, mulai dari penyesuaian terhadap teman tidur di dalam asrama, yang dimana satu tahun pertama mahasiswa diwajibkan untuk tinggal di asrama dan penempatan kamarnya pun ditentukan oleh tim dari STT “X” Jakarta sendiri. Maka dari itu, dalam satu kamar tidak menutup kemungkinan terdapat mahasiswa yang berbeda budaya, dan mahasiswa pun dituntut untuk dapat menyesuaikan dirinya dengan teman-teman sekamarnya yang berbeda budaya. Pada saat itu mahasiswa juga mengalami perubahan dalam kebiasaan, sewaktu tinggal dirumah atau tempat tinggal asalnya, mahasiswa tersebut terbiasa tidur sendiri atau dengan keluarganya, sedangkan di asrama mahasiswa harus tidur sekamar dengan teman-temannya yang baru ia kenal dan memiliki budaya yang berbeda dengannya.

Selain itu terdapat juga kesulitan dalam penyesuaian waktu atau pembagian waktu seperti waktu bangun dan tidur; penyesuaian makanan seperti rasa makanan yang pada saat berada di daerah asal mereka sering memakan makanan yang manis, tetapi ketika tinggal di Jakarta mereka


(14)

Universitas Kristen Maranatha mengalami kesulitan ketika mencari makanan yang memiliki rasa manis sama seperti di daerah asalnya; mengatur keuangan yang biasanya keuangan mereka diatur oleh orang tua, tetapi semenjak tinggal di Jakarta mereka harus dapat memanage uangnya sendiri; kesulitan dalam menggunakan bahasa dalam berkomunikasi dengan teman-temannya, 75% dari 30 mahasiswa yang berasal dari luar Jakarta mengatakan bahwa mereka mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan teman-temannya karena mereka sudah terbiasa dengan menggunakan bahasa daerahnya masing-masing; waktu tidur, selama tinggal di asrama 85% dari 30 mahasiswa baru yang berasal dari luar Jakarta mengalami perubahan dalam waktu tidur dan bangun, seperti menjadi tidur lebih malam atau bahkan sulit tidur dan bangun lebih cepat; serta penyesuaian terhadap iklim di Jakarta, yang dimana kita ketahui cuaca atau iklim di Jakarta sangatlah panas dan berpolusi.

Dalam hal ini, 40% mahasiswa dapat menghadapinya dengan tanpa mengalami kesulitan, yang dimana mereka dapat menyesuaikan dirinya dengan baik sehingga tidak mengalami kecemasan dalam beradaptasi dan ada juga orang yang merespon hal tersebut sebagai beban yang dapat membuatnya menjadi stres hingga berdampak pada kesehatannya seperti demam, gangguan pernafasan, maag, migrain, dll. Ada juga yang berdampak pada prestasinya seperti nilai-nilai tugas yang menurun atau buruk akibat tidak dapat berkonsentrasi dengan baik karena mengalami culture shock. Mereka tidak dapat berkonsentrasi karena mengalami


(15)

kesulitan dalam beradaptasi di lingkungan barunya. Simptom-simptom tersebut dapat mengganggu cara belajar mereka. Dari 30 orang yang diwawancarai, hanya 20% yang mengalami hal di atas.

Berdasarkan fakta di atas, penulis melihat bahwa culture shock dapat dialami secara psikis (seperti merasa kesepian, merasa kehilangan, sedih) maupun fisik (seperti sakit demam, pusing), oleh karena itu peneliti memiliki ketertarikan untuk mengetahui lebih lanjut mengenai gambaran derajat culture shock yang dialami oleh mahasiswa baru STT “X” Jakarta yang berasal dari luar Jakarta.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukan di atas, maka masalah dalam penelitian ini adalah seberapa tinggi derajat

culture shock pada mahasiswa baru di STT “X” Jakarta yang Berasal dari

luar Jakarta.

1.3 Maksud dan Tujuan 1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai culture shock yang dialami oleh mahasiswa baru di STT “X” Jakarta yang berasal dari luar Jakarta.


(16)

Universitas Kristen Maranatha 1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan penjelasan lebih rinci mengenai derajat culture shock yang dialami oleh mahasiswa baru yang berasal dari luar Jakarta di STT “X” Jakarta dalam hal komponen, aspek, dan indikatornya serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis

 Memberikan pengetahuan bagi ilmu psikologi lintas budaya mengenai culture shock pada mahasiswa baru yang berasal dari luar Jakarta dan baru pindah ke Jakarta.

 Memberikan informasi bagi peneliti lain yang hendak melakukan penelitian mengenai culture shock.

1.4.2 Kegunaan Praktis

 Memberikan masukan kepada bagian pembantu umum ketua 1 STT “X” Jakarta mengenai culture shock yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan dalam membuat program seperti pengenalan budaya Jakarta kepada mahasiswa baru khususnya yang berasal dari luar Jakarta.

 Sebagai masukan bagi mahasiswa baru di STT “X” Jakarta yang berasal dari luar kota Jakarta mengenai gambaran


(17)

sumber-sumber culture shock, dengan harapan akan mengurangi dampak negatif dari culture shock yang dialami oleh mahasiswa yang akan melanjutkan pendidikannya di STT “X” Jakarta.

1.5 Kerangka Pikir

Masa dewasa adalah suatu fase dimana individu mengatur pemikiran formal operasionalnya. Individu mungkin merencanakan dan membuat hipotesis tentang masalah-masalah seperti layaknya remaja, tetapi mereka menjadi lebih sistematis ketika mendekati atau menghadapi suatu masalah sebagai seorang dewasa. Sementara beberapa orang dewasa lebih mampu menyusun hipotesis daripada remaja dan menurunkan suatu pemecahan masalah dari suatu permasalahan, banyak orang dewasa yang tidak berpikir dengan cara formal operasional sama sekali. Ada dua faktor yang dimiliki individu yang dapat membuat individu tersebut mengalami culture shock ketika dalam proses akulturasi, diantaranya ialah bagaimana perkembangan kognitifnya dan perkembangan sosial emosionalnya ketika individu tersebut mengalami proses akulturasi (Keating, dalam Santrock ; 2003). Mahasiswa baru tersebut diharapkan dapat berpikir secara formal operasional dan mampu menyusun hipotesis daripada remaja dan menurunkan suatu pemecahan masalah dari suatu permasalahan. Ketika mahasiswa tidak mampu untuk menyusun hipotesis dan memecahkan suatu masalah maka individu tersebut akan terus menganggap masalah-masalah tersebut sebagai


(18)

Universitas Kristen Maranatha beban dalam dirinya, sehingga hal tersebut dapat menjadi pemicu pada diri seseorang untuk mengalami culture shock.

Transisi sosial ke perguruan tinggi adalah waktu ketika kesepian mungkin terbentuk ketika individu meninggalkan dunia tempat tinggal dan keluarga yang dikenal. Banyak mahasiswa baru yang merasa cemas bertemu dengan orang baru dan membangun kehidupan sosial yang baru. Pada umumnya kita tertarik dengan individu yang memiliki karakteristik yang sama daripada karakteristik yang berbeda (Berndt & Perry dalam Santrock; 1990).

Menurut Oberg (dalam Furnham, Bochner; 1986) terdapat beberapa tahap ketika seseorang memasuki lingkungan yang baru. Tahap pertama ialah honeymoon stage, yaitu seseorang akan merasakan suatu kebahagiaan, kesenangan, kekaguman, antusiasme, dan ketertarikan terhadap lingkungan barunya. Tahap kedua ialah crisis, yaitu individu mulai merasakan perbedaan-perbedaan awal dan mulai membandingkan dengan daerah asalnya, seperti perbedaan bahasa, nilai-nilai, gaya hidup, cuaca, dan lain-lain, sehingga membuat individu menjadi cemas atau bahkan frustasi. Tahap ketiga ialah recovery, yaitu individu mulai mencoba mencari cara untuk mengatasi hal-hal yang membuatnya menjadi cemas atau frustasi seperti contohnya dengan cara mempelajari bahasa yang digunakan di lingkungan sekitar, memahami nilai-nilai masyarakat sekitar, dan mencari cara untuk mengatasi iklim di lingkungan sekitar yang berbeda dengan daerah asalnya. Tahap yang keempat ialah adjustment, yaitu individu mulai dapat


(19)

beradaptasi dengan perbedaan-perbedaan yang ada di lingkungan barunya meskipun terkadang rasa cemas masih suka muncul, namun invidu mulai mencoba untuk menikmati lingkungan barunya.

Seseorang dikatakan mengalami culture shock jika orang tersebut tidak dapat mengatasi dengan baik masa crisis nya ketika memasuki lingkungan yang baru (Oberg dalam Furnham, Bochner; 1986). Begitu juga halnya dengan mahasiswa baru STT “X” Jakarta yang berasal dari luar Jakarta yang mengalami tahap crisis ketika menemukan perbedaan-perbedaan yang ada di Jakarta dengan daerah asalnya. Ketika mahasiswa baru tersebut berada di lingkungan barunya yaitu STT “X” Jakarta, mahasiswa tersebut akan menemukan berbagai perbedaan dengan daerah asalnya. Perbedaan-perbedan tersebut dapat memicu suatu kekhawatiran atau kecemasan pada diri mahasiswa. Mahasiswa baru tersebut dapat dikatakan mengalami culture shock jika mereka tidak dapat mengatasi rasa cemas atau frustasi mereka di karenakan perbedaan-perbedaan dalam segala hal yang mereka temui ketika berada di Jakarta.

Mahasiswa baru yang berasal dari luar Jakarta akan cenderung mencari teman yang memiliki karakteristik yang sama dengannya ketika datang ke STT “X” Jakarta. Ketika mahasiswa baru tersebut tidak menemukan teman yang memiliki karakteristik yang serupa, hal tersebut dapat memicu mahasiswa tersebut merasa kesepian. Pada tahap masa dewasa awal, cara yang yang paling cepat untuk mengurangi rasa kesepian ialah dengan memperbaiki hubungan sosialnya, seperti contohnya


(20)

Universitas Kristen Maranatha membentuk hubungan yang baru dengan menggunakan jaringan sosial yang sudah secara lebih baik atau dengan menciptakan hubungan pengganti dengan binatang peliharaan dan sejenisnya (Rokach dalam Santrock; 1990).

Hal-hal negatif seperti meminum minuman keras dan sejenisnya juga dapat dialami oleh mahasiswa baru yang berasal dari luar Jakarta untuk dapat melarikan diri dari perasaan yang menyakitkan atau tidak diinginkannya. Hal tersebut dapat terjadi jika mereka tidak dapat mengelola perasaannya ketika berada dalam suatu situasi yang tidak menyenangkan baginya. Beberapa akibat negatif kesepian pada kesehatan mungkin merupakan hasil dari strategi penyelesaian masalah yang menyimpang ( Mc Whirter dalam Santrock; 1990).

Dengan beragamnya mahasiswa yang masuk ke STT “X” Jakarta, maka secara langsung mahasiswa tersebut mengalami kontak budaya dengan budaya yang ada di STT “X” Jakarta. Menurut Bochner (Dalam Ward, Bochner, Furnham; 2001), kontak antar kebudayaan yang berbeda terjadi ketika seseorang dari suatu daerah atau komunitas tertentu mengunjungi daerah lain dengan berbagai tujuan, seperti bekerja, bermain, atau menuntut ilmu. Dengan adanya perpindahan dari daerah asal para mahasiswa yang berasal dari luar Jakarta ke kota Jakarta untuk menempuh pendidikan di STT “X” Jakarta selanjutnya akan menciptakan kontak antara dua budaya atau lebih di tempat yang baru. Mahasiswa yang berasal dari luar Jakarta ini disebut sebagai Sojourner, yaitu individu yang tinggal


(21)

sementara waktu dengan tujuan untuk menempuh pendidikan di Jakarta dalam periode tertentu (Ward, Bochner, Furnham; 2001).

Kontak sosial dengan budaya lain yang tentunya berbeda dengan budaya asal, seringkali membuat individu mengalami tekanan dan hambatan (Ward, Bochner, Furnham; 2001). Keadaan ini disebut sebagai culture shock, yaitu keadaan negatif yang berhubungan dengan aksi yang diderita oleh mahasiswa yang berasal dari luar Jakarta yang harus pindah ke lingkungan kota Jakarta yang dapat dikatakan berbeda dengan lingkungan daerah asalnya selama ini. Dalam hal ini, respon yang diberikan oleh mahasiswa yang berasal dari luar Jakarta terhadap budaya di Jakarta merupakan suatu proses yang berlangsung terus menerus sehubungan dengan perubahan budaya yang terjadi (Oberg, dalam Ward, Bochner, Furnham; 2001).

Frekuensi interaksi dengan orang-orang berasal dari budaya setempat (Jakarta) juga dapat mempengaruhi individu dalam mengalami culture shock. Semakin sering mahasiswa baru tersebut berinteraksi dengan orang-orang yang berasal dari daerah setempat (Jakarta), maka semakin kecil juga kemungkinan mahasiswa tersebut untuk mengalami culture shock. Semakin sering mahasiswa tersebut berinteraksi dengan orang-orang yang berasal dari budaya setempat, maka mahasiswa tersebut akan semakin banyak belajar dan dapat lebih mudah untuk menyesuaikan dirinya di lingkungan tersebut.


(22)

Universitas Kristen Maranatha Hal-hal yang menimbulkan terjadinya culture shock pada mahasiswa baru adalah makanan, tipe pakaian, tingkat ekonomi, tipe perilaku, bahasa, kesempatan untuk melakukan kontak sosial, standar kehidupan yang umum, topik-topik percakapan, jumlah orang yang dikenal (J.P. Spradley and M. Philips, dalam Ward, Bochner, Furnham; 2001). Selain itu culture shock juga dapat disebabkan oleh perpisahan dengan orang-orang yang dianggap penting dalam hidup, seperti contohnya perpisahan dengan keluarga, teman, guru (orang yang biasanya bergaul, memberi dukungan dan bimbingan. Aspek yang lainnya adalah bahasa yang digunakan, kondisi cuaca atau iklim, hukum dan peraturan, sistem politik, perkembangan perekonomian, serta sistem pendidikan dan pengajaran (www.edu.oulu.fi.culture.htm).

Selain itu terdapat pula faktor-faktor situasional seperti dukungan sosial, mengerahkan baik langsung maupun moderator pengaruh pada penyesuaian lintas-budaya. Dukungan sosial mungkin timbul dari sumber suatu varietas, termasuk keluarga, teman, dan orang-orang yang dikenalnya. Beberapa peneliti telah menekankan pentingnya keluarga dan berkonsentrasi pada hubungan perkawinan sebagai sumber utama dukungan sosial (Ward, Bochner, Furnham, 2001).

Faktor pemicu culture shock juga dapat disebabkan dari pengalaman-pengalaman yang dimiliki individu. Pengalaman-pengalaman yang sesuai atau sama dengan kehidupannya di tempat yang baru akan membuat individu tersebut tidak memiliki kesulitan dalam menyesuaikan dirinya di tempat yang baru. Sebaliknya, ketidaksesuaian pengalaman yang


(23)

dimiliki oleh individu tersebut malah akan membuat individu tersebut mengalami kesulitan dalam menyesuaikan dirinya di tempat yang baru.

Proses yang terjadi selama mempelajari budaya yang baru melibatkan 3 komponen dalam diri individu, yaitu affect (afeksi), behavior (perilaku), dan cognition (kognisi), yaitu bagaimana seseorang merasakan, bertingkah laku, berpikir dan memaknakan sesuatu ketika berhadapan dengan pengaruh budaya lain (Oberg dalam Ward, Bochner, Furnham; 2001). Komponen afeksi adalah bagaimana mahasiswa baru yang berasal dari luar Jakarta tersebut merasakan dan menghayati suatu keadaan negatif yang berhubungan dengan aksi yang diderita oleh individu yang secara tiba-tiba harus berpindah ke suatu lingkungan yang baru yang berbeda dengan lingkungannya selama ini. Dalam komponen afektif ini terdapat beberapa aspek yang dapat dirasakan oleh mahasiswa baru yang berasal dari luar Jakarta, yaitu merasakan ketegangan karena adanya usaha untuk beradaptasi secara psikis, merasa kehilangan dan kekurangan keluarga dan teman, serta merasa dirinya tidak berdaya karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan linghkungan di Jakarta.

Komponen kognitif adalah bagaimana mahasiswa baru yang berasal dari luar Jakarta tersebut menginterpretasikan orang lain, institusi, maupun peristiwa-peristiwa baik spiritual maupun eksistensial di lingkungan dengan budaya yang baru. Komponen ini meliputi adanya kebingungan mengenai peran, harapan terhadap peran tersebut, nilai yang dianut, perasaan, dan identitas diri. Komponen kognitif memiliki aspek yang dapat di alami oleh


(24)

Universitas Kristen Maranatha mahasiswa, yaitu tidak memahami adanya perbedaan bahasa, kebiasaan, nilai/norma, sopan santun.

Komponen behavioral berhubungan dengan proses pembelajaran budaya yang merupakan perluasan dari pendekatan kemampuan sosial meliputi bagaimana ia menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang berlaku, relasi sosial, termasuk komunikasi verbal non verbal yang ditampilkan saat berinteraksi dengan lingkungan (Oberg dalam Ward, Bochner, Furnham; 2001). Komponen behavioral ini memiliki dua aspek, yang pertama yaitu penolakan terhadap dan dari orang-orang dilingkungan baru, yang kedua ialah tidak menerima adanya perbedaan peran, harapan terhadap peran tersebut, nilai yang di anut, perasaan, dan identitas diri.

Ketika individu memulai kontak dengan budaya baru, komponen dalam diri yang pertama kali dialami adalah komponen afeksi. Individu tersebut mulai merasakan berbagai macam hal (seperti cuaca, jenis makanan, transportasi, dll) di lingkungan barunya. Individu yang mengalami culture shock ialah individu yang merasakan hal tersebut sebagai keadaan negatif yang berhubungan dengan aksi yang diderita oleh individu yang secara tiba-tiba harus berpindah ke suatu lingkungan yang baru yang berbeda dengan lingkungannya selama ini. Setelah merasakan hal tersebut, maka individu tersebut akan berfikir negatif mengenai keberadaannya di lingkungan yang baru, seperti contohnya berfikir bahwa ia tidak cocok berada dilingkungan tersebut. Hingga pada akhirnya individu tersebut melakukan suatu tindakan


(25)

untuk menghindari atau mengurangi keadaan negatif yang dirasakannya tersebut (behavioral) (Oberg dalam Ward, Bochner, Furnham; 2001).

Semakin besar perbedaan antara budaya para mahasiswa baru yang berasal dari luar Jakarta dengan budaya yang ada di Jakarta, maka akan semakin sulit bagi mahasiswa baru tersebut untuk melakukan penyesuaian dirinya. Begitu juga dengan jarak, semakin jauh jarak antara kota asal mereka dengan Jakarta, maka akan semakin besar juga kecenderungan mahasiswa baru tersebut mengalami culture shock. Hal tersebut di karenakan perbedaan budaya yang jauh berbeda, seperti contohnya budaya antara kota Jakarta dengan Ambon. Perbedaan bahasa yang sangat berbeda dapat memicu culture shock secara cepat pada mahasiswa baru tersebut.

Individu dapat dikatakan mengalami culture shock yang tinggi jika individu tersebut merasakan simptom-simptom yang dialaminya menjadi beban, membuatnya merasa tertekan, memiliki kesulitan dalam beradaptasi atau menyesuaikan dirinya di lingkungan yang baru, dan individu tersebut pun tidak dapat mengatasinya. Sedangakan individu yang dikatakan mengalami culture shock yang sedang, jika individu tersebut mengalami simptom-simptom culture shock dan merasa bahwa simptom tersebut membuat dirinya kesulitan dalam menyesuaikan dirinya di tempat yang baru, akan tetapi dalam hal ini individu tersebut masih dapat mengatasinya. Individu dapat dikatakan memiliki culture shock yang rendah jika individu tersebut mengalami simptom-simptom culture shock yang tidak begitu banyak atau signifikan dan tidak menjadikannya masalah yang berarti, serta


(26)

Universitas Kristen Maranatha tidak mempengaruhi subjek dalam menyesuaikan dirinya di tempat yang baru.

Culture shock yang dialami mahasiswa baru tergantung dari seberapa banyak simptom-simptom yang dialaminya dan bagaimana respon mahasiswa baru STT “X” Jakarta yang berasal dari luar Jakarta dalam mengalami serta mengatasi crisis nya yaitu simptom-simptom culture shock yang di karenakan oleh perbedaan-perbedaan antara lingkungan barunya saat ini dengan daerah asalnya.


(27)

(28)

Universitas Kristen Maranatha 1.6 Asumsi

Berdasarkan uraian di atas, dapat diasumsikan bahwa :

1. Ketika mahasiswa baru yang berasal dari Luar Jakarta menjadi mahasiswa STT “X” Jakarta, maka akan mengalami kontak dengan budaya urbanisasi (Jakarta) dan multikulturalnya.

2. Dalam masa Crossing Culture ke budaya baru, mahasiswa baru yang berasal dari luar Jakarta akan mengalami akulturatif stres yang dipicu oleh beberapa faktor yaitu faktor situasional dan faktor dari karakteristik individu itu sendiri.

3. Mahasiswa baru STT “X” Jakarta yang berasal dari luar Jakarta akan mengalami culture shock ketika tinggal di Jakarta, namun derajat culture shock yang dialaminya akan berbeda-beda.

4. Proses terbentuknya culture shock pada mahasiswa STT “X” Jakarta meliputi komponen afektif, kognitif, dan behavioral.


(29)

5.1 Kesimpulan

Berdasar hasil yang diperoleh dari pengolahan data dan pembahasan terhadap 30 mahasiswa baru yang berasal dari luar Jakarta di STT “X” Jakarta, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. 50 % mahasiswa baru yang berasal dari luar Jakarta di STT “X” Jakarta memiliki derajat culture shock rendah.

2. Mahasiswa yang memiliki derajat culture shock sedang cenderung lebih besar dalam komponen afektif yaitu merasakan dan menghayati keadaan negatif yang dialaminya ketika berada di Jakarta

3. Mahasiswa yang memiliki derajat culture shock tinggi cenderung lebih besar dalam komponen afektif yaitu merasakan dan menghayati keadaan negatif yang dialaminya ketika berada di Jakarta serta dalam komponen kognitif yaitu menginterpretasikan orang lain, institusi, maupun peristiwa-peristiwa baik spiritual maupun eksistensial di lingkungan dengan budaya yang baru (Jakarta).

4. Mahasiswa yang memiliki derajat culture shock tinggi juga sering berpikir untuk mengembangkan stereotype negatif tentang budaya yang baru, kurang memahami nilai-nilai yang diyakini masyarakat Jakarta, dan menganggap bahwa mempelajari bahasa yang digunakan di Jakarta bukanlah hal yang penting


(30)

Universitas Kristen Maranatha 5. Faktor teman yang bersuku bangsa lain dapat mempengaruhi derajat

culture shock pada mahasiswa baru yang berasal dari luar Jakarta di STT “X” Jakarta.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diajukan beberapa saran yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan:

5.2.1 Saran Teoritis

1. Disarankan kepada peneliti dalam bidang ilmu psikologi lintas budaya untuk meneliti lebih lanjut mengenai dampak culture shock terhadap prestasi akademik pada mahasiswa baru di Jakarta yang berasal dari luar Jakarta.

2. Disarankan bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini dapat di jadikan masukan jika ingin melakukan penelitian korelasional antara derajat culture shock dengan strategi akulturasi pada mahasiswa tahun pertama yang berasal dari luar Jakarta di STT “X” Jakarta.

5.2.2 Saran Praktis

1. Bagi pihak STT “X” Jakarta khususnya pembantu umum ketua 1 STT “X” Jakarta, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam menyusun


(31)

program studi yang dapat membantu para mahasiswa baru (seperti penyuluhan dalam pengenalan kota Jakarta) khususnya yang berasal dari luar Jakarta dalam beradaptasi dengan lingkungan barunya.

2. Bagi calon mahasiswa baru di STT “X” Jakarta yang berasal dari luar Jakarta, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan dan bahan pertimbangan untuk dapat mempersiapkan diri dalam memasuki lingkungan yang baru.


(32)

80 Universitas Kristen Maranatha Furnham, Bochner. 1986 . Culture Shock, 1st Ed . London & New York :

Methuen

Koentjaraningrat. 1993. Manusia dan kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Djambatan.

Lazarus S, Folkman. Stress, Appraisal, and Coping . New York : Springer Publishing Company

Nazir M. 1988 . Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Santrock W. 2003. Life-Span Development, 5 th Ed. Dallas : Mc Graw – Hill. Suparlan. 2004. Masyarakat & Kebudayaan Perkotaan: Perspektif antropologi

perkotaan. Jakarta : YPKIK

Siegel. 1997. Statistik Nonparametrik Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta : PT Grasindo pustaka pusat

Sudjana. 2005 . Metoda Statistika . Bandung : PT. Tarsito

Ward, Bochner, & Furnham. 2001. The Psychology of Culture Shock, 2 nd Ed. Canada : Routledge & Kegan Paul.


(33)

DAFTAR RUJUKAN

Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. 2007. Panduan Penulisan Skripsi Sarjana. Bandung.

http://bataviase.co.id/node/162224 www.youth.dnaberita.com

www.edu.oulu.fi.culture.htm www.google.cultureshock.com www.google.transisidewasaawal.com www.sttjakarta.com


(1)

1.6 Asumsi

Berdasarkan uraian di atas, dapat diasumsikan bahwa :

1. Ketika mahasiswa baru yang berasal dari Luar Jakarta menjadi mahasiswa STT “X” Jakarta, maka akan mengalami kontak dengan budaya urbanisasi (Jakarta) dan multikulturalnya.

2. Dalam masa Crossing Culture ke budaya baru, mahasiswa baru yang berasal dari luar Jakarta akan mengalami akulturatif stres yang dipicu oleh beberapa faktor yaitu faktor situasional dan faktor dari karakteristik individu itu sendiri.

3. Mahasiswa baru STT “X” Jakarta yang berasal dari luar Jakarta akan mengalami culture shock ketika tinggal di Jakarta, namun derajat culture shock yang dialaminya akan berbeda-beda.

4. Proses terbentuknya culture shock pada mahasiswa STT “X” Jakarta meliputi komponen afektif, kognitif, dan behavioral.


(2)

77 Universitas Kristen Maranatha BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasar hasil yang diperoleh dari pengolahan data dan pembahasan terhadap 30 mahasiswa baru yang berasal dari luar Jakarta di STT “X” Jakarta, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. 50 % mahasiswa baru yang berasal dari luar Jakarta di STT “X” Jakarta memiliki derajat culture shock rendah.

2. Mahasiswa yang memiliki derajat culture shock sedang cenderung lebih besar dalam komponen afektif yaitu merasakan dan menghayati keadaan negatif yang dialaminya ketika berada di Jakarta

3. Mahasiswa yang memiliki derajat culture shock tinggi cenderung lebih besar dalam komponen afektif yaitu merasakan dan menghayati keadaan negatif yang dialaminya ketika berada di Jakarta serta dalam komponen kognitif yaitu menginterpretasikan orang lain, institusi, maupun peristiwa-peristiwa baik spiritual maupun eksistensial di lingkungan dengan budaya yang baru (Jakarta).

4. Mahasiswa yang memiliki derajat culture shock tinggi juga sering berpikir untuk mengembangkan stereotype negatif tentang budaya yang baru, kurang memahami nilai-nilai yang diyakini masyarakat Jakarta, dan menganggap bahwa mempelajari bahasa yang digunakan di Jakarta bukanlah hal yang penting


(3)

5. Faktor teman yang bersuku bangsa lain dapat mempengaruhi derajat culture shock pada mahasiswa baru yang berasal dari luar Jakarta di STT “X” Jakarta.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diajukan beberapa saran yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan:

5.2.1 Saran Teoritis

1. Disarankan kepada peneliti dalam bidang ilmu psikologi lintas budaya untuk meneliti lebih lanjut mengenai dampak culture shock terhadap prestasi akademik pada mahasiswa baru di Jakarta yang berasal dari luar Jakarta.

2. Disarankan bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini dapat di jadikan masukan jika ingin melakukan penelitian korelasional antara derajat culture shock dengan strategi akulturasi pada mahasiswa tahun pertama yang berasal dari luar Jakarta di STT “X” Jakarta.

5.2.2 Saran Praktis

1. Bagi pihak STT “X” Jakarta khususnya pembantu umum ketua 1 STT “X” Jakarta, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam menyusun


(4)

79

Universitas Kristen Maranatha program studi yang dapat membantu para mahasiswa baru (seperti penyuluhan dalam pengenalan kota Jakarta) khususnya yang berasal dari luar Jakarta dalam beradaptasi dengan lingkungan barunya.

2. Bagi calon mahasiswa baru di STT “X” Jakarta yang berasal dari luar Jakarta, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan dan bahan pertimbangan untuk dapat mempersiapkan diri dalam memasuki lingkungan yang baru.


(5)

Furnham, Bochner. 1986 . Culture Shock, 1st Ed . London & New York : Methuen

Koentjaraningrat. 1993. Manusia dan kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Djambatan.

Lazarus S, Folkman. Stress, Appraisal, and Coping . New York : Springer Publishing Company

Nazir M. 1988 . Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Santrock W. 2003. Life-Span Development, 5 th Ed. Dallas : Mc Graw – Hill. Suparlan. 2004. Masyarakat & Kebudayaan Perkotaan: Perspektif antropologi

perkotaan. Jakarta : YPKIK

Siegel. 1997. Statistik Nonparametrik Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta : PT Grasindo pustaka pusat

Sudjana. 2005 . Metoda Statistika . Bandung : PT. Tarsito

Ward, Bochner, & Furnham. 2001. The Psychology of Culture Shock, 2 nd Ed. Canada : Routledge & Kegan Paul.


(6)

81

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. 2007. Panduan Penulisan Skripsi Sarjana. Bandung.

http://bataviase.co.id/node/162224 www.youth.dnaberita.com

www.edu.oulu.fi.culture.htm www.google.cultureshock.com www.google.transisidewasaawal.com www.sttjakarta.com