Studi Deskriptif Mengenai Derajat Culture Shock pada Mahasiswa yang Berasal dari Papua di Universitas X Bandung.

(1)

v Universitas Kristen Maranatha Abstrak

Menjadi mahasiswa pendatang dari daerah lain tentulah menyebabkan beberapa perubahan dalam dirinya, baik dalam berperilaku, pola hidup keseharian, kontak dengan budaya daerah yang masih terasa asing, serta bagaimana berinteraksi dengan lingkungan kampus dan tempat tinggalnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memeroleh gambaran mengenai derajat culture shock yang dialami mahasiswa tahun pertama kuliah yang berasal dari Papua di Universitas ‘X’ Bandung berdasarkan areanya.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu suatu metode dalam meneliti suatu kelompok manusia, suatu objek, suatu setting kondisi untuk membuat deskripsi, gambaran secara sistematis dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Teknik yang digunakan adalah teknik survey yang terdiri atas pernyataan-pernyataan tentang derajat Culture Shock pada mahasiswa yang berasal dari Papua di universitas ‘X’ Bandung.

Berdasarkan hasil pengambilan data pada 21 orang mahasiswa asal Papua di Universitas “X” Bandung, sebanyak 52.3% memiliki derajat culture shock yang tinggi dan 47.6% mahasiswa yang berasal dari Papua memiliki derajat culture shock rendah. Terdapat kecenderungan keterkaitan antara usia, lama tinggal di Bandung, serta banyaknya teman akrab, dengan derajat culture shock.

Disarankan bagi mahasiswa Papua untuk belajar lebih banyak mengenai budaya Bandung, memerluas relasi dengan orang di Bandung serta membuka diri pada budaya Bandung. Bagi komunitas daerah yang ada di universitas “X” Bandung khusunya komunitas mahasiswa Papua agar menyusun program yang menyangkut dengan kegiatan sosial dengan masyarakat setempat agar mahasiswa Papua dapat lebih cepat dan lebih baik dalam menyesuaikan diri saat tinggal di Bandung.


(2)

vi Universitas Kristen Maranatha Abstract

Being a student migrants from other regions certainly lead to some changes in him/her, both in behavior, patterns of daily life, contact with local culture that still feels strange, as well as how to interact with the campus and residence. The purpose of this study was to obtain an overview of the degree of culture shock experienced by first-year students from the college from Papua at Bandung 'X' University by area.

This research uses descriptive method, a method in researching a group of people, an object, a set of conditions, a system of thought, or a class of events in the present to create a description, picture of systematic and accurate information on the facts, properties as well as the relationship between the phenomenon investigated. The technique used is the technique of the survey, the inquiry held to obtain the facts of the symptoms and work out the particulars in fact, both of the social institutions, economics or politics of a group or an area. Types of measuring instruments used in this study is self administrated quistionare, namely the self-completion questionnaire by the respondent.

Based on the results of data collection 21 Papuan students at the University "X" Bandung, as much as 52.3% have a high degree of culture shock and 47.6% of the students who came from Papua has a low degree of culture shock. There is a tendency linkage between age, length of stay in Bandung, as well as many friends, with a degree of culture shock.

It is advisable for Papua students to learn more about the culture of Bandung, to widen relationships with people in Bandung as well as opening up the culture of Bandung. For the community in the area of Bandung "X" University especially the student community in Papua in order to develop programs relating to social activities with local communities to support Papuan students can be faster and better adjust to while living in Bandung.


(3)

ix Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN ... iii

PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 10

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 10

1.3.1 Maksud Penelitian ... 10

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Kegunaan Penelitian ... 11

1.4.1 Kegunaan Teoretis... 11

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 11

1.5 Kerangka Pemikiran ... 12


(4)

x

Universitas Kristen Maranatha

1.7 Hipotesis Penelitian ... 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Culture Shock ... 21

2.1.1 Definisi Culture Shock ... 21

2.1.2 Hal-hal yang Menimbulkan Culture Shock ... 22

2.1.3 Simptom-simptom dari Culture Shock ... 23

2.1.4 Faktor yang Memengaruhi Cluture Shock ... 24

2.1.5 Tahap Cultur Shock ... 26

2.1.6 Culture Shock pada Sojounner ... 28

2.1.7 Dampak yang Dihasilkan Culture Shock ... 29

2.2 Stress ... 30

2.2.1 The Stress and Coping Frameworks ... 30

2.2.2 Factors Affecting Stress, Coping, and Adjustment ... 31

2.2.3 Life Changes ... 32

2.2.4 Appraisal and Coping Styles ... 32

2.2.5 Personality ... 32

2.2.6 Social Support ... 33

2.2.7 Gejala Stres ... 33

2.3 Sojounner ... 35

2.3.1 Pengertian Sojounner ... 35

2.3.2 Masalah yang Dihadapi Mahasiswa Sebagai Sojounner ... 36

2.4 Kebudayaan ... 36

2.4.1 Definisi Kebudayaan ... 36


(5)

xi

Universitas Kristen Maranatha

2.4.3 Difusi Budaya (Penyebaran) ... 37

2.4.4 Akulturasi (Percampuran) ... 40

2.4.5 Pembauran (Asimilasi) ... 43

2.4.6 Budaya Sunda ... 45

2.4.7 Budaya Papua ... 46

2.5 Perkembangan Masa Dewasa Awal ... 48

2.5.1 Transisi Dari Sekolah Menengah Atas Menuju Perguruann Tinggi ... 48

2.5.2 Perkembangan Kognitif ... 49

2.5.3 Perkembangan Psikososial ... 50

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 52

3.2 Bagan Prosedur Penelitian ... 52

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 52

3.3.1 Variabel Operasional ... 52

3.3.2 Definisi Operasional ... 53

3.4 Alat Ukur ... 54

3.4.1 Gambaran dan Prosedur Pengerjaan Alat Ukur ... 54

3.4.2 Kisi-kisi Alat Ukur ... 55

3.4.3 Penilaian Alat Ukur ... 57

3.4.4 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 58

3.4.5 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 59

3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ... 59


(6)

xii

Universitas Kristen Maranatha

3.5.2 Karakteristik Sampel ... 59

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel ... 59

3.6 Teknik Analisis Data ... 60

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 61

4.2 Gambaran Responde Berdasarkan Usia ... 61

4.3 Hasil Penelitian ... 62

4.3.1 Gambaran Culture Shock ... 62

4.3.2 Gambaran Derajat Culture Shock Setiap Area ... 62

4.3.2.1 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal Perbedaan Perlakuan pada Orang Yang Lebih Tua ... 62

4.3.2.2 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal Penerimaan Hubungan Interpersonal di muka Umum ... 63

4.3.2.3 Gambaran Area Culture Shock Dalam Pemikiran Masyarakat Setempat Mengenai Pendatang Baru ... 63

4.3.2.4 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal Perbedaan Kegiatan Pemanfaatan Waktu Luang ... 64

4.3.2.5 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal Perbedaan Perlakuan pada Orang Yang Kebih Tua ... 64

4.3.2.6 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal Perbedaan Penggunaan Body Contact ... 65

4.3.2.7 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal Perbedaan Jumlah Orang Terdekat ... 65 4.3.2.8 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal


(7)

xiii

Universitas Kristen Maranatha

Perbedaan Makanan ... 66 4.3.2.9 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal

Perbedaan Kesenjangan Ekonomi ... 66 4.3.2.10 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal

Kesempatan Melakukan Kontak Sosial atau Sikap

Peduli ... 67 4.3.2.11 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal

Perbedaan Ketepatan Waktu ... 67 4.3.2.12 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal

Mengekspresikan Kemarahan ... 68 4.3.2.13 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal Perbedaan

Berpakaian ... 68 4.3.2.14 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal Perbedaan

Pandangan Mengenai Kebersihan ... 69 4.3.2.15 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal Kesulitan

Menjalin Pertemanan Di Daerah Baru ... 69 4.3.2.16 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal Perbedaan

Kualitas Pendidikan ... 70 4.3.2.17 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal Pembicaraan

Sensitif Yang Berkaitan Dengan Daerah Asal ... 70 4.3.2.18 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal Perbedaan

Bahasa ... 71 4.3.2.19 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal Perbedaan

Peraturan Umum Yang Membatasi Bagaimana Privasi Yang Dimiliki Seseorang ... 71


(8)

xiv

Universitas Kristen Maranatha

4.3.2.20 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal

Berkurangnya Waktu Untuk Istrahat ... 72

4.4 Pembahasan ... 72

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 79

5.2 Saran ... 80

5.2.1 Saran Teoritis ... 80

5.2.2 Saran Praktis ... 80

DAFTAR PUSTAKA... 82

DAFTAR RUJUKAN... 83 LAMPIRAN


(9)

xv Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Kisi-kisi Alat Ukur ... 55

Tabel 3.2 Penilaian Alat Ukur ... 57

Tabel 4.1 Deskripsi Populasi Berdasarkan Jenis Kelamin ... 61

Tabel 4.2 Deskripsi Populasi Berdasarkan Usia ... 61

Tabel 4.3 Hasil Gambaran Derajat Culture Shock ... 62

Tabel 4.4 Gambaran Area Culture Shock dalam Hal Adanya Kedekatan yang Sangat Dekat Dengan Keluarga dan Terpaksa Harus Keluarga Ke Lingkungan yang Baru ... 62

Tabel 4.5 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal Penerimaan Hubungan Interpersonal di Muka Umum ... 63

Tabel 4.6 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal Pemikiran Masyarakat Setempat Mengenai Pendatang Baru ... 63

Tabel 4.7 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal Perbedaan Kegiatan Pemanfaatan Waktu Luang ... 64

Tabel 4.8 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal Perbedaan Perlakuan pada Orang yang Kebih Tua ... 64

Tabel 4.9 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal Perbedaan Penggunaan Body Contact ... 65

Tabel 4.10 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal Perbedaan Jumlah Orang Terdekat ... 65

Tabel 4.11 Gambaran Culture Shock pada Area Adanya Perbedaan Makanan ... 66 Tabel 4.12 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal Perbedaan


(10)

xvi Universitas Kristen Maranatha

Peraturan Umum Yang Membatasi Bagaimana Privasi yang

Dimiliki Seseorang ... 66 Tabel 4.13 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal Kesempatan

Melakukan Kontak Sosial atau Sikap Peduli ... 67 Tabel 4.14 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal Perbedaan

Ketepatan Waktu ... 67 Tabel 4.15 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal Mengekspresikan

Kemarahan ... 68 Tabel 4.16 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal Perbedaan

Berpakaian ... 68 Tabel 4.17 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal Perbedaan

Pandangan Mengenai Kebersihan ... 69 Tabel 4.18 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal Kesulitan

Menjalin Pertemanan ... 69 Tabel 4.19 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal Perbedaan

Kualitas Pendidikan ... 70 Tabel 4.20 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal Pembicaraan

Sensitif Yang Berkaitan Dengan Daerah Asal ... 70 Tabel 4.21 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal Perbedaan

Bahasa ... 71 Tabel 4.22 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal Perbedaan

Peraturan Umum yang Membatasi Bagaimana Privasi yang

Dimiliki Seseorang ... 71 Tabel 4.23 Gambaran Area Culture Shock Dalam Hal Berkurangnya


(11)

xvii Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1.1 Bagan Kerangka Pikir ... 19 Gambar 2.1 W-curve Intercultural Sojouring ... 28 Gambar 3.1 Bagan Rancangan Penelitian ... 52


(12)

xviii Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Surat Persetujuan Pengisian Kuisioner ... L-1 Lampiran 2 Data Pribadi dan Penunjang ... L-2 Lampiran 3 Petunjuk Pengisian ... L-3 Lampiran 4 Kuisioner Culture shock ... L-4 Lampiran 5 Output SPSS ... L-12 Lampiran 6 Data Mentah Responden ... L-16


(13)

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Di Indonesia terdapat berbagai macam suku, bahasa, kebiasaan serta nilai moral yang berbeda-beda, dan memiliki banyak daerah, salah satunya adalah Papua. Papua merupakan bagian dari Indonesia yang memiliki daerah yang luas serta hasil alam yang melimpah. Luasnya daerah Papua juga beraneka ragamnya suku yang mengakibatkan tingkah laku serta kebiasaan yang berbeda, namun luasnya daerah Papua membuat pembangunan Papua kurang merata. Hal tersebut mengakibatkan kurangnya perkembangan pada sektor pendidikan yang menjadi masa depan bagi bangsa. Kurang berkembangnya sektor pendidikan di daerah Papua menyebabkan orang-orang yang hidup di daerah Papua pun berusaha untuk mengembangkan dirinya dengan berusaha memeroleh pendidikan yang setinggi-tingginya. Warga Papua mencoba memeroleh pendidikan dengan merantau ke Pulau lain yang dianggap memiliki kualitas pendidikan yang lebih baik dibanding Papua, Mahasiswa yang datang dari luar daerah dan menetap pada suatu daerah sebagai pelajar disebut dengan sojouner.

Di Indonesia terdapat beberapa daerah yang memiliki kualitas dalam bidang pendidikannya yaitu Jogjakarta, Malang, Surabaya, Jakarta dan Bandung. Di kota Bandung terdapat banyak Universitas yang memiliki reputasi yang tinggi dalam bidang pendidikan, salah satunya adalah Universitas ‘X’. Universitas ‘X’ merupakan Universitas yang berdiri sejak tahun 1965 hingga sekarang. Universitas ‘X’ pun terkenal dengan prestasi-prestasi yang baik dalam bidang akademis, olahraga maupun bidang unit kegiatan mahasiswanya (news.universitas’X’.edu).


(14)

Mahasiswa-2

Universitas Kristen Maranatha

mahasiswa yang ada di Universitas ‘X’ sangat bervariasi dari suku dan budaya. Menurut data yang diperoleh dari kantor BAA (biro administrasi akademik) universitas ‘X’ Bandung, saat ini mahasiswa yang aktif kuliah dari angkatan 2011 hingga angkatan 2015 berjumlah 8.362 mahasiswa, dimana mahasiswa-mahasiswa tersebut berasal dari 36 daerah yang berbeda di seluruh Indonesia. Dari 36 daerah yang ada, salah satunya adalah daerah Papua, mahasiswa yang berasal dari Papua yang sedang menuntut ilmu saat ini di universitas ‘X’ Bandung dengan status aktif kuliah berjumlah 69 orang.

Bandung merupakan kota besar dengan penghuni asli suku Sunda. Budaya Sunda terkenal dengan keramahannya atau yang biasa disebut dalam bahasa Sunda yaitu “someah”. Kota Bandung sendiri terkenal dengan julukan“Paris van Java” karena kotanya yang indah serta penduduk kota Bandung yang terkenal modis. Gaya hidup orang-orang yang hidup di Bandung berbeda dengan gaya hidup orang yang berada di daerah lain. Saat mahasiswa dari Papua datang ke Bandung untuk menuntut ilmu maka mahasiswa tersebut wajib melakukan kontak dengan budaya setempat yaitu budaya Sunda. Jika individu dapat melakukan kontak dengan baik dan dapat berinteraksi dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan Bandung, maka mahasiswa tersebut akan terhindar dari culture shock (Ward, Bochmer dan Furnham, 2001).

Terdapat tahap-tahap dimana seseorang mencapai penyesuaian diri di daerah baru (adjustmen) yaitu tahap honeymoon, krisis, recovery dan yang terakhir adjustment. Di dalam proses seseorang mencapai adjustment terdapat satu tahap yang disebut tahap krisis, pada tahap inilah seseorang mengalami culture shock. Bagi mahasiswa Papua yang tidak dapat melakukan sosisalisasi dan komunikasi, dapat dikatakan bahwa mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan budaya baru yang ada,


(15)

3

Universitas Kristen Maranatha

atau dapat mengakibatkan culture shock. Culture shock menurut Oberg (1960) adalah hasil dari hilangnya atau bergantinya kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan dalam pergaulan sosial atau dengan kata lain kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, dimana di dalamnya mahasiswa dari Papua akan merasa kehilangan dan akan mengalami frustasi, ketakutan (fear) dan kecemasan (anxiety) karena terdapat perbedaan yang signifikan antara kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan di budaya yang lama dengan kebiasaan yang baru yang terdapat di budaya yang baru. Individu yang mengalami culture shock biasanya mengalami keadaan stress yang menyebabkan individu merasa sedih dan merasa sendiri, Individu merasakan perasaan tidak berdaya, Penolakan untuk belajar bahasa atau belajar budaya lokal, Individu mengalami kecemasan berlebihan tinggal dan tidur di suatu tempat yang baru, kecemasan berlebihan dalam mengkonsumsi makanan dan minuman karena adanya perbedaan makanan dan minuman antara daerah asal dan daerah baru, ketakutan berlebihan akan dicurangi, dicuri atau dilukai, terkadang disertai masalah kesehatan, seperti demam, flu dan diare, Sering merasa marah, kesal dan tidak mau berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya atau mudah mengalami perubahan dalam emosinya dan suka mengkait-kaitkan dengan kebudayaan di daerah asal dan bahkan menganggap daerah asal lebih baik.

Selain itu terdapat juga faktor yang memengaruhi culture shock pada seseorang, yaitu lamanya kontak budaya, kualitas kontak inter-group dan intra-group, serta Dukungan social yang di peroleh dari orang-orang disekitarnya.

Berdasarkan survey awal yang dilakukan pada 10 orang mahasiswa yang berasal dari Papua, terdapat beberapa perbedaan yang membuat mahasiswa merasa asing dengan tempat tinggalnya dan merasa kehilangan kebiasaan yang biasanya dilakukan di daerah asal. Perbedaan-perbedaan tersebut dalam hal makanan dengan


(16)

4

Universitas Kristen Maranatha

presentase sebanyak 90% mahasiswa dari 10 orang menyatakan adanya perbedaan antara makanan di daerah asal dengan makanan di daerah baru dalam hal rasa makanan yang terkadang terlalu manis dan terkadang juga terlalu asin saat di Bandung, sedangkan di Papua rasa makanan yang ada menurutnya sangat seimbang, kesegaran bahan makanan laut yang ada di Bandung pun kurang segar dibandingkan bahan makanan laut yang ada di Papua. Perbedaan juga terdapat pada menu makanan yang berbeda antara makanan di Papua dan makanan di Bandung, dimana makanan di Bandung lebih banyak menyediakan makanan khas seperti pecel yang berbahan dasar nasi, sedangkan makanan khas di Papua berbahan dasar sagu, dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut ternyata terdapat 40% mahasiswa merasa kesulitan dalam memilih makanan yang sesuai dengan keinginannya, sedangkan 60% lainnya merasa biasa saja terhadap perbedaan makanan dan berusaha menyesuaikan diri.

Perbedaan juga terdapat dalam hal berpakaian sebesar 90%, dimana perbedaan yang ada adalah dalam hal cara berpakaian yang lebih modern, sedangkan di Papua lebih sederhana dalam bergaya, kepantasan menggunakan pakaianpun berbeda, di Bandung orang menggunakan pakaian terkadang kurang sesuai dengan tempat yang dikunjungi, seperti mengunjungi tempat ibadah, orang di Bandung menggunakan pakaian yang terbuka dan berani, sedangkan di Papua lebih menggunakan pakaian yang tertutup dan sopan. Dengan adayanya perbedaan-perbedaan tersebut, terdapat 30% mahasiswa yang berasal dari Papua merasa risih dengan adanya perbedaan dalam hal berpakaian, sedangkan 70% lainnya lebih suka dengan cara berpakaian di Bandung dan mulai menyesuaikan dirinya. Perbedaan berikutnya terdapat dalam hal ketepatan waktu sebesar 80% dimana saat di Papua orang cenderung terlambat dalam menghadiri suatu acara ataupun hadir dalam suatu janji yang sudah ditetapkan, sedangkan di Bandung pada umumnya merupakan orang yang tepat waktu. Dari perbedaan yang ada


(17)

5

Universitas Kristen Maranatha

terdapat 70% mahasiswa merasa merasa sulit untuk menyesuaikan diri dengan ketepatan waktu yang dimiliki orang-orang di Bandung, sedangkan 30% lainnya merasa sudah dapat menyesuaikan diri dengan baik.

Terdapat juga perbedaan pemikiran yang mengganggu masyarakat setempat mengenai sojouner sebesar 50% dimana saat di Papua orang akan cenderung memiliki pemikiran negatif pada orang yang baru saja tinggal di tempat baru. Penduduk setempat berpandangan bahwa orang yang berpindah kontrakan dari satu kontrakan ke kontrakan yang lain biasanya terdapat masalah sebelum berpindah ke kontrakan yang baru, sedangkan di Bandung orang-orang cenderung tidak peduli. Dengan adanya perbedaan tersebut justru membuat 100% mahasiswa merasa senang dan nyaman untuk tinggal di Bandung.

Terdapat juga perbedaan penggunaan bahasa sebesar 90% dimana di Papua menggunakan bahasa Indonesia dengan logat Papua, dan orang Bandung menggunakan bahasa Sunda yang dicampur dengan bahasa Indonesia. Hal tersebut membuat 30% mahasiswa terkadang merasa kesal dan juga merasa bingung karena tidak paham dengan apa yang sedang dibicarakan orang-orang dari Bandung, sedangkatn 70% lainnya merasa tidak perduli dan juga mulai belajar menggunakan bahasa sunda. Perbedaan juga terdapat pada pandangan mengenai kebersihan sebesar 80%, dimana di Papua orang cenderung kurang mementingkan kebersihan diri dan lingkungan, sedangkan di Bandung orang-orang sangat memerhatikan kebersihan diri dan lingkungannya. Hal tersebut membuat mahasiswa merasa nyaman tinggal di Bandung dengan lingkungan yang bersih dan mahasiswapun merasa terpaksa harus berusaha berubah dengan memerhatikan kebersihan. Dengan adanya perbedaan kebersihan tersebut, ternayata terdapat 50% mahasiswa yang merasa kesulitan menyesuaikan diri dengan kebersihan yang ada di Bandung, sedangkan 50%


(18)

6

Universitas Kristen Maranatha

mahasiswa lainnya merasa mudah untuk menyesuaikan diri dengan kebersihan di Bandung.

Perbedaan juga terdapat pada peraturan umum yang membatasi privasi orang lain sebesar 70% dimana orang-orang di Papua lebih bebas untuk melakukan sesuatu saat sudah saling mengenal, sedangkan di Bandung tetap terdapat batasan yang tetap sehingga privasi satu orang dengan yang lainnya tetap terjaga. Dengan adanya perbedaan tersebut menyebabkan 50% mahasiswa merasa risih dan tidak nyaman dengan batasan yang ada, sedangkan 50% mahasiswa lainnya merasa tidak ada yang mengganggu dengan adanya perbedaan tersebut. Perbedaan berikutnya dalam hal kesenjangan ekonomi sebesar 90% dimana di Papua tidak terlihat orang yang kekurangan makanan dan tidak memiliki tempat tinggal sehingga harus mengemis di pinggir jalan, sedangkan di Bandung sangat banyak orang yang kekurangan makanan dan tidak memiliki tempat tinggal sehingga harus mengemis di pinggir jalan. Hal tersebut membuat 50%mahasiswa merasa sedih dan kasihan terhadap orang-orang yang berkekurangan di Bandung, sedangkan 50% lainnya merasa tidak ada yang aneh dengan hal tersebut.

Perbedaan juga terdapat dalam memanfaatkan kegiatan waktu luang sebesar 90% dimana saat di Papua lebih banyak dihabiskan dengan berpiknik ke pantai dan mencari hiburan di luar dumah dengan melakukan wisata alam, sedangkan di Bandung mahasiswa hanya menggunakan waktu luang untuk beristirahat, jalan-jalan ke mall, menonton televisi dan menonton bioskop, hal tersebut menyebabkan 90%mahasiswa dari Papua merasa bosan, jenuh dan stress saat tinggal di Bandung, sedangkan 10% mahasiswa merasa lebih banyak hiburan yang bisa diperoleh saat berada di Bandung. Presentase perbedaan bagaimana berperilaku pada orang yang lebih tua sebesar 90% dimana saat di Papua banyak anak muda yang kurang menghargai orangtua saat


(19)

7

Universitas Kristen Maranatha

berkomunikasi, sedangkan di Bandung pada umumnya lebih menghargai orang yang lebih tua, hal tersebut membuat 70% mahasiswa merasa lebih nyaman untuk tinggal di Bandung, tetapi juga terdapat 30% mahasiswa merasa risih karena menurut mahasiswa hal tersebut secara tidak langsung menciptakan batasan untuk bisa lebih akrab dengan orang yang lebih tua saat di Bandung. Terdapat juga perbedaan pada kedekatan dengan keluarga saat tinggal di bandung sebesar 90%, dimana saat di Papua mahasiswa sangat dekat dengan keluarga dan sekarang harus tinggal sendiri, hal tersebut menyebabkan 50% mahasiswa merasa kesepian, kangen dan merasa sendiri saat di Bandung, sednagkan 50% mahasiswa lainnya lebih suka untuk tinggal sendiri dan merasa bebas dengan tidak adanya keluarga di dekatnya meskipun terkadang merasa rindu.

Adanya perbedaan dalam bagaimana menggunakan body contact sebesar 100% dimana saat di Papua semua orang menggunkan body contact yang akrab antara satu orang dengan yang lainnya, sedangkan di Bandung hanya menggunakan bahasa verbal saat berkomunikasi. Hal tersebut membuat 20% mahasiswa merasa risih dan berhati-hati dalam berkomunikasi dengan orang lain, sedangkan 80% mahasiswa lainnya lebih menyesuaikan diri dengan keadaan di Bandung dan tidak merasa adanya kesulitan untuk berkomunikasi. Selain itu terdapat juga perbedaan pada hal-hal yang di bicarakan terutama yang sensitif dengan daerah asal sebesar 80% dimana saat di Papua,baik orang pendatang maupun penduduk asli daerah hampir tidak pernah membicarakan mengenai hal-hal yang sensitif, sedangkan saat di Bandung orang-orang membicarakan hal-hal yang sensitif mengenai orang Papua, seperti fisik, ketersedian fasilitas, cara berpakaian dan kondisi ekonomi di Papua, hal tersebut membuat 80% mahasiswa merasa marah, kesal dan kecewa dengan apa yang dikatakan


(20)

8

Universitas Kristen Maranatha

oleh orang-orang di Bandung, namun juga terdapat 20% mahasiswa yang merasa tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh orang-orang di Bandung,

Perbedaan jumlah orang terdekat sebesar 100% dimana saat di Papua para sojourner memiliki jumlah orang terdekat yang lebih banyak dibandingkan dengan di Bandung, hal tersebut membuat 70% mahasiswa merasa kesepian dan rindu dengan orang-orang terdekatnya saat berada di Papua, sebaliknya 30% mahasiswa lainnya merasa tidak terganggu dengan hal tersebut. Bukan hanya itu terdapat juga perbedaan pada kedekatan dalam menjalin hubungan sebesar 80%, dimana saat di Papua kedekatan yang terjalin satu sama lainnya sangat dekat, sedangkan di Bandung banyak orang lebih menjaga jarak antara satu orang dengan yang lainnya, hal tersebut membuat 40% mahasiswa merasa kurang nyaman dengan pergaulan di Bandung, sedangkan 60% merasa tidak ada perbedaan dalam kedekatan dalam menjalin hubungan antara Bandung dan di Papua.

Terdapat juga perbedaan pada waktu untuk berstirahat dengan presentase sebesar 80% dimana saat di Papua mahasiswa lebih banyak memiliki waktu untuk beristrahat, sedangkan saat di Bandung sojourner harus mengerjakan tugas-tugas kuliahnya serta belajar untuk kuliah keesokan harinya, hal tersebut membuat 50% mahasiswa merasa tertekan dan merasa stress, sebaliknya 50% mahasiswa lainnya merasa memiliki lebih banyak waktu untuk istrahat saat di Bandung dibandingkan saat di Papua. Perbedaan juga terdapat dalam tingkat kesulitan menjalin pertemanan di budaya baru sebesar 60% dimana saat berada di Papua dominan mahasiswa mengatakan lebih mudah menjalin pertemanan, karena menurut mahasiswa, di Papua orang-orang tidak melihat latar belakang apapun untuk berteman dengan orang lain, sedangkan di Bandung banyak orang melihat latar belakang untuk menjalin pertemanan, hal tersebut menyebabkan 20% mahasiswa merasakan kekecewaan dan


(21)

9

Universitas Kristen Maranatha

kekesalan dengan orang-orang di Bandung, serta merasa kesepian dan kesendirian. Sedangkan 80% mahasiswa lainnya merasa tidak ada kesulitan dan perbedaan dalam menjalin pertemanan di Papua maupun di Bandung.

Terdapat juga perbedaan dalam kesempatan melakukan sikap peduli yang presentasenya sebesar 50%, dimana saat di Papua orang lain kurang peduli satu sama lain, sebaliknya di Bandung teman-teman lebih peduli satu sama lain dan bukan hanya itu mahasiswa juga merasa memiliki kesempatan untuk melakukan sikap peduli melalui memberikan sedekah pada pengemis. Dengan adanya perbedaan tersebut justru membuat 100% mahasiswa merasa perbedaan yang ada membuatnya merasa lebih nyaman untuk tinggal di Bandung karena seorang dan yang lainnya saling peduli satu sama lain. Kemudian mengenai bagaimana perbedaan dalam mengekspresikan kemarahannya sebesar 100%, hal ini dikatakan sangat berbeda, menurut sojourner saat di Papua, cara orang mengekspresikan kemarahannya dengan langsung melakukan kontak fisik yang disertai dengan serangan verbal, sedangkan di Bandung, orang-orang hanya mengekspresikan kemarahannya lewat verbal saja, hal tersebut membuat 100% mahasiswa lebih merasa nyaman dengan kehidupan di Bandung yang jarang melakukan kekerasan fisik.

Selain itu terdapat juga perbedaan sebesar 50% pada penerimaan masyarakat setempat terhadap hubungan interpersonal yang ditunjukan di muka umum, dimana saat di Papua penduduk setempat cenderung melakukan pembicaraan yang negatif (gosip) pada hubungan interpersonal orang lain, sedangkan penduduk setempat Bandung tidak begitu memerdulikan hubungan orang lain, hal tersebut membuat 100% merasa lebih nyaman tinggal di Bandung. Yang terakhir terdapat adanya perbedaan sebesar 100% pada kualitas pendidikan, dimana saat di Papua mahasiswa merasakan adanya perbedaan dari segi fasilitas dan kualitas pengajar yang sangat berbeda,


(22)

10

Universitas Kristen Maranatha

karenanya 80 mahasiswa merasa nyaman dan bersyukur dapat kuliah di Bandung dengan fasilitas dan kualitas pengajar yang mendukung, namun juga merasa kesulitan menyesuaikan diri dengan proses belajar mengajar yang berbeda saat di Papua, sedangkan 20% lainnya merasa tidak ada yang mengganggu dan sudah dapat menyesuaikan diri dengan proses belajar mengajar di bandung.

Diperoleh juga data bahwa terdapat 3 orang mahasiswa yang memiliki IPK dibawah 2,0 dikarenakan adanya kesulitan baginya uuntuk menyesuaikan diri dengan lingkungan perkuliahan di universitas ‘X’ Bandung. Bukan hanya mengalami penurunan dalam IPK, ditemukan juga bahwa terdapat 4 orang mahasiswa yang berasal dari Papua telah berhenti mengikuti program studi di universitas X Bandung (berhenti kuliah) dikarenakan tidak dapat bertahan dalam menghadapi perkuliahan di universitas ‘X’ Bandung. Selain itu juga terdapat 11 mahasiswa yang mengalami keterlambatan lulus dikarenakan lambatnya penyesuaian diri yang dilakukan di Bandung, baik dilingkungan sosial maupun pendidikan.

Berdasarkan uraian dan presentase di atas dapat terlihat perbedaan yang mengganggu yang dialami oleh mahasiswa Papua pada area yang menyebabkan culture shock. Biasanya setiap orang yang datang ke daerah baru, akan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya sehingga dapat terjalin hubungan yang baik dengan orang yang hidup di daerah sekitarnya, namun ada juga mahasiswa dari Papua di universitas ‘X’ Bandung yang mengalami kesenjangan, dimana mahasiswa merasa perbedaan-perbedaan yang ada menyulitkan dan mengganggunya dalam hal menyesuaikan diri selama tinggal di Bandung. Berdasarkan uraian fenomena di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang studi deskriptif mengenai derajat culture shock pada mahasiswa yang berasal dari Papua di Universitas ‘X’ Bandung.


(23)

11

Universitas Kristen Maranatha

1.2 Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui bagaimana derajat culture shock pada mahasiswa mahasiswa Papua tahun pertama kuliah di Universitas ‘X’ Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk memeroleh gambaran mengenai derajat culture shock pada mahasiswa Papua tahun pertama kuliah di Universitas ‘X’ Banudng.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memeroleh gambaran mengenai derajat culture shock yang dialami mahasiswa tahun pertama kuliah yang berasal dari Papua di Universitas ‘X’ Bandung berdasarkan areanya.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis

1. Memberikan informasi mengenai culture shock, yang diharapkan dapat memerkaya ilmu psikologi khususnya psikologi lintas budaya.

2. Memberikan masukan bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai Culture shock.


(24)

12

Universitas Kristen Maranatha

1. Agar bagian kemahasiswaan serta para dosen wali di Universitas ‘X’ Bandung dapat turut membantu mahasiswa dari luar daerah dengan cara memberikan bimbingan dan pengenalan budaya setempat pada mahasiswa Papua, agar dapat melewati tahap culture shock dengan baik .

2. Agar bagian kemahasiswaan di Universitas ‘X’ Bandung dapat menyusun program bimbingan bagi mahasiswa yang berasal dari luar daerah untuk bisa beradaptasi di Bandung.

3. Membantu komunitas-komunitas daerah setempat untuk menyusun program kerja dengan harapan agar komunitas memerhatikan mahasiswa yang baru datang dari luar daerah dengan menyusun program yang efektif seperti melakukan kegiatan sosial dengan masyarakat setempat, agar mahasiswa Papua dapat berinteraksi lebih banyak dengan masyarakat setempat sehingga kegiatan tersebut dapat membantu mahasiswa baru yang datang dari Papua untuk dapat menyesuaikan diri dengan budaya setempat (melewati culture shock).

1.5 Kerangka Pikir

Kehidupan manusia saat ini sangat ditentukan oleh pendidikan atau pengetahuan yang dimiliki, karena itulah sangat banyak orang mengambil pendidikan pada sekolah dan universitas yang memiliki reputasi yang baik dan juga kualitas yang tinggi. Para mahasiswa yang menempuh pendidikan diluar daerah di suatu tempat disebut dengan sojounner, dalam hal ini sojounner adalah masyarakat Papua yang kuliah di Bandung. Papua terkenal dengan budaya serta kondisi geografis yang beragam, hanya saja pendidikan pada daerah Papua dapat terbilang masih kurang,


(25)

13

Universitas Kristen Maranatha

karenanya para pelajar dari Papua keluar dari daerahnya demi menempuh pendidikan yang layak dan setinggi-tingginya, salah satu tempat menempuh pendidikan bagi mahasiswa Papua adalah Bandung.

Saat individu berpindah dari daerah Papua ke daerah Bandung maka akan terjadi kontak antara budaya mahasiswa dari Papua dengan individu dari budaya Sunda, hal ini dapat menyebabkan individu mengalami bergantinya dan bahkan hilangnya kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan dalam pergaulan sosial pada mahasiswa dari Papua atau dengan kata lain kesulitan yang terjadi pada mahasiswa dari Papua dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan baru yaitu budaya yang ada di Bandung, hal ini disebut dengan culture shock (Oberg, 1960), culture shock ini di alami pada tahap krisis dalam tahapan culture shock, dimana mahasiswa dari Papua benar-benar merasa adanya perbedaan dan merasakan semua hal menjadi tidak menyenangkan. Kebiasaan yang dimaksudkan seperti kapan mahasiswa dari Papua harus berjabat tangan dengan penduduk di daerah Sunda dan kapan tidak, kemudian hal-hal apa saja yang harus diucapkan ketika mahasiswa dari Papua bertemu dengan orang yang baru dikenalnya di daerah Bandung, kapan mahasiswa dari Papua harus menerima dan menolak ajakan atau undangan dari penduduk Bandung, kemudian mahasiswa dari Papua dapat membedakan kapan suatu ucapan dianggap serius dan kapan suatu ucapan di anggap tidak. Petunjuk-petunjuk tersebut dapat berupa kata-kata, gesture, ekspresi wajah, ataupun norma-norma dimana individu telah terbiasa sejak kecil.

Terdapat beberapa tahap dalam adjustment, yaitu yang pertama sojounner yang berasal dari Papua akan masuk pada tahap honeymoon, dimana pada tahap ini sojounner yang berasal dari Papua akan merasa semua yang ada di daerah Bandung akan terasa menyenangkan dan menarik bagi sojounner yang berasal dari Papua,


(26)

hal-14

Universitas Kristen Maranatha

hal ini seperti bagaimana kota yang menjadi tempat tinggal memiliki banyak hiburan, keramahan yang ditunjukkan oleh orang Sunda yang tentu saja sangat berbeda dengan budaya Papua yang kurang ramah terhadap orang lain serta pendidikan yang sangat berbeda antara di Papua dan di Bandung baik dari segi teknologi untuk belajar maupun tenaga pengajar. Meskipun pada tahap ini sojounner yang berasal dari Papua mungkin sudah muncul beberapa gejala seperti tidak bisa tidur atau perasaan gelisah, tetapi rasa penasaran keingintahuan dan antusiasmenya menyebabkan sojounner yang berasal dari Papua dapat mengatasi perasaan tersebut dengan cepat. Tahap ini dapat berlangsung selama enam bulan tergantung situasinya. Jika sojounner yang berasal dari Papua kembali ke daerah Papua saat masih berada pada tahap ini, mereka mungkin akan memuji-muji pengalaman mereka selama berada di Bandung.

Kemudian pada tahap yang kedua sojounner yang berasal dari Papua akan masuk pada tahap crisis, pada tahap ini perbedaan yang ada mulai memunculkan kebingungan pada diri sojounner yang berasal dari Papua sehingga membuat sojounner yang berasal dari Papua merasa tidak nyaman dan terisolasi karena sojounner yang berasal dari Papua tidak lagi merasakan dukungan secara langsung dari orang-orang terdekat, segala sesuatu mulai dirasakan tidak menyenangkan, cara belajar yang dirasakan berbeda juga mulai dirasakan mengganggu bagi mahasiswa yang berasal dari Papua sehingga menyebabkan kesulitan dalam menjalani perkuliahan. Setelah beberapa lama akan muncul rasa ketidakpuasan, ketidaksabaran, kegelisahan mulai terasa. Pada tahap ini sojounner yang berasal dari Papua mulai sulit berkomunikasi dengan penduduk atau orang-orang di Bandung dan ia merasa asing dengan lingkungannya. Selain itu sojouner dari Papua juga akan merasa segala hal yang berhubungan dengan perkuliahan serta lingkungan sekitar di Bandung tidak menyenangkan dan mengganggu baginya sehingga menimbulkan perasaan ingin


(27)

15

Universitas Kristen Maranatha

kembali ke daerah Papua kembali. Jika sojounner yang berasal dari Papua berhasil melewati tahap ini, maka sojounner yang berasal dari Papua akan tetap tinggal dan bertahan di budaya Sunda atau kota Bandung, jika tidak individu akan pergi dan pulang ke Papua.

Ketika sojourner yang berasal dari Papua mengalami culture shock maka akan timbul keadaan psikologi yang negatif yaitu kecemasan, frustasi, dan ketakutan pada diri mahasiswa yang berasal dari Papua, kebanyakan sojourner yang berasal dari Papua akan berespon dengan cara yang sama yaitu dengan menolak lingkungan yang menyebabkan ketidaknyamanan dan menganggap daerah asalnya lebih baik daripada daerah tempatnya berada sekarang.

Menurut Oberg (1960) terdapat beberapa area yang dapat menimbulkan culture shock, yaitu sojouner merasakan adanya perbedaan yang mengganggu, mengganggu dalam hal rasa pada makanan dan cara untuk memakan makanan antara budaya yang lama dan budaya yang baru. Terdapat perbedaan yang mengganggu dalam hal berpakaian antara budaya yang lama dengan budaya yang baru. Seberapa tepat waktu masyarakat yang ada di budaya baru dibandingkan dengan masyarakat di budaya lama. Pemikiran yang dapat mengganggu masyarakat setempat mengenai individu yang baru saja datang ke tempat tinggal masyarakat sekitar.

Adanya perbedaan yang mengganggu dalam hal penggunaan bahasa yang digunakan antara budaya yang lama dengan budaya yang baru. Pandangan mengenai kebersihan bagi sebagian besar masyarakat. Adanya perbedaan yang mengganggu dalam hal peraturan yang umum yang membatasi bagaimana privasi yang dimiliki. Perbedaan yang mengganggu dalam hal kesenjangan antara tingkat ekonomi individu dengan masyarakat sekitar. Perbedaan yang mengganggu dalam hal kegiatan dalam pemanfaatan di waktu luang. Terdapat perbedaan yang mengganggu dalam hal


(28)

16

Universitas Kristen Maranatha

bagaimana perlakuan pada orang yang lebih tua di daerah asal dengan bagaimana perilaku pada orang yang lebih tua didaerah yang baru. Adanya perbedaan yang mengganggu dalam hal kedekatan yang sangat dekat dengan keluarga dan terpaksa harus meninggalkan keluarga ke lingkungan yang baru. Perbedaan yang mengganggu dalam hal antara bagaimana body contact yang biasa digunakan pada daerah asal dengan Body contact yang ada di daerah yang baru.

Pembicaraan yang seharusnya tidak dibicarakan mengenai hal-hal yang sensitif yang berhubungan dengan daerah asal. Perbedaan yang mengganggu dalam hal jumlah orang-orang terdekat antara orang di daerah asal dengan daerah yang baru. Kedekatan dalam menjalin hubungan. Berkurangnya waktu untuk beristrhat karena tuntutan yang diberikan oleh budaya baru. Kemudian perbedaan yang mengganggu dalam hal kesulitan menjalin pertemanan di budaya yang baru. Perbedaan yang mengganggu dalam hal kesempatan untuk melakukan kontak sosial sikap peduli satu sama lain. Perbedaan yang mengganggu dalam hal bagaimana orang-orang di budaya lama mengekspresikan kemarahannya dengan bagaimana orang-orang pada budaya baru mengekspresikan kemarahannya dan bagaimana penerimaan masyarakat terhadap hubungan interpersonal yang ditunjukan di muka umum dan yang terakhir adalah perbedaan kualitas pendidikan yang mengganggu bagi Sojouner.

Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi seseorang dalam mengalami culture shock, yaitu faktor eksternal dan faktor internal, pada faktor eksternal dapat dilihat dari beberapa hal, yaitu lamanya kontak budaya, saat berada di lingkungan baru dan sojounner dari Papua berinteraksi dengan masyarakat didaerah Bandung, dapat dikatakan bahwa sojounner yang berasal dari Papua tersebut melakukan kontak dengan budaya didaerah Sunda, lamanya kontak budaya ini akan memberikan pengaruh terhadap proses pengenalan budaya Sunda yang berbeda dengan budaya


(29)

17

Universitas Kristen Maranatha

Papua. Semakin lama kontak budaya yang dilakukan, sojounner yang berasal dari Papua tersebut akan banyak mengetahui dan mengenal budaya di tempat barunya, sebaliknya jika sojounner dari Papua memiliki kontak yang singkat maka sojounner dari Papua akan memeroleh informasi yang sedikit sehingga membuatnya tidak dapat mengenal budaya Sunda dengan lebih baik. Hal ini dapat berakibat sojounner menutup diri dengan penduduk Bandung karena tidak adanya rasa percaya pada penduduk Bandung

Kemudian kualitas kontak baik inter-group maupun intra-group juga menjadi faktor eksternal yang memengaruhi seseorang dalam mengalami culture shock, Semakin tinggi kualitas kontak inter-group yaitu kontak dengan sojounner yang berasal dari Papua yang berkaitan dengan budaya Sunda, maka sojounner yang berasal dari Papua akan semakin kaya akan pengetahuan dan pengalaman mengenai budaya Sunda. Sebaliknya jika kualitas kontaknya rendah maka pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki mengenai budaya Sunda pun akan sedikit dan ini dapat memengaruhi bagaimana mahasiswa dapat menyesuaikan diri dengan budaya Sunda. Selain kualitas kontak inter-group, kualitas kontak sojounner yang berasal dari Papua dengan budaya Papua, atau yang disebut kontak intra-group juga ikut memengaruhi. Semakin tinggi kualitas kontak intra-group, maka sojounner yang berasal dari Papua akan semakin sulit melepaskan diri dari budaya Papua dan sulit untuk bisa berbaur dengan masyarakat didaerah Bandung atau suku Sunda. Hal ini dikarenakan semakin terbiasa dengan budaya Papua sedangkan sojounner dari Papua tersebut sedang berada di daerah yang baru yaitu daerah Bandung.

Yang terakhir adalah dukungan sosial. Dukungan sosial dapat diperoleh dari berbagai sumber, termasuk keluarga dan teman. Dukungan sosial dipandang sebagai faktor yang signifikan dalam mencapai penyesuaian dirinya secara psikologis


(30)

18

Universitas Kristen Maranatha

(Adelman, 1988; Fountaine 1986) maupun kesehatan fisik individu selama transisi budaya. Relasi co-national juga turut berperan sebagai dukungan sosial dalam membantu sojounner yang berasal dari Papua menyesuaikan diri dengan budaya di lingkungan Bandung. Relasi co-national dapat diartikan sebagai hubungan dengan orang lain yang memiliki pengalaman yang serupa, yang dapat memberikan pengetahuan dan berbagi informasi kepada sojounner yang berasal dari Papua mengenai cara menghadapi budaya yang berbeda dengan budaya Papua. Dalam hal ini bisa senior atau mahasiswa dari Papua yang sudah menempuh kuliah lebih lama atau lebih dahulu dibandingkan dengan sojounner dari Papua yang lebih muda. Rekan co-national juga dapat memberikan manfaat secara emosional dengan mendorong sojounner yang berasal dari Papua untuk melepaskan frustrasi atau keadaan yang menekan pada mahasiswa dari Papua yang dialami di lingkungan yang baru mereka masuki yaitu lingkungan Bandung (Ward, Bochmer Dan Furnham, 2001). Hal yang menekan tersebut bisa seperti beban dalam memikirkan tugas, memecahkan suatu masalah dalam kuliah maupun hubungan sosial antara mahasiswa dari Papua dengan mahasiswa dari Bandung.

Faktor penentu yang kedua adalah faktor internal. Faktor internal yang memengaruhi sojounner yang berasal dari Papua sehingga tejadinya culture shock pada diri sojounner yang berasal dari Papua tersebut adalah karena adanya perubahan nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang sudah di miliki sejak dulu dari daerah Papua dan kemudian secara mendadak dihadapkan pada situasi dan lingkungan Bandung atau budaya Sunda yang sangat berbeda dengan budaya Papua, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan psikologis pada individu tersebut. Di dalamnya terdapat kesenjangan dalam persepsi sojounner yang berasal dari Papua mengenai budaya


(31)

19

Universitas Kristen Maranatha

Sunda dengan budaya Papua dan perubahan emosi yang dapat merubah tingkah laku sojounner yang berasal dari Papua dalam berinteraksi dengan budaya Sunda.

Dengan adanya area dan faktor dalam menentukan derajat culture shock, maka akan diperoleh derajat culture shock yang dimiliki oleh mahasiswa Papua, yaitu tinggi dan rendah. Culture shock yang tinggi berarti bahwa mahasiswa Papua merasa bahwa budaya yang ada di Bandung terasa berbeda dan mengganggunya dalam beraktivitas saat tinggal di Bandung, mahasiswa Papua juga mengalami kesulitan penyesuaian diri dengan lingkungan pendidikan, dan bagaimana cara belajar yang ada di Bandung, hal ini dapat berakibat kecilnya IPK yang dimiliki oleh mahasiswa Papua, terlambat menyelesaikan perkuliahan, serta berhenti berkuliah karena dirasakan tidak mampu menyelesaikan perkuliahan.. Selain itu juga terdapat derajat Culture shock yang rendah. Culture shock yang rendah ini berarti bahwa mahasiswa Papua cenderung mulai dapat menyesuaikam diri dengan budaya di Bandung, dimana budaya yang ada di Bandung sudah dapat diterima oleh mahasiswa Papua, serta lingkungan pendidikan yang dirasakan nyaman bagi mahasiswa Papua, sehingga mahasiswa Papua dapat berkuliah dengan baik dan dapat menyelesaikan perkuliahannya tepat waktu, serta memiliki IPK yang memuaskan.


(32)

20

Universitas Kristen Maranatha

Gambar 1.1 Bagan Kerangka Pikir

Faktor yang memengaruhi:

- Lamanya kontak budaya

- Kualitas kontak inter-group dan intra-group

- Dukungan sosial Budaya asal,

Budaya Papua

Mahasiswa yang berasal dari Papua tingkat I dan II di

Universitas ‘X’

Bandung

Kontak dengan budaya setempat (tahap-tahap

culture shock:

Honeymoon, Crisis,

Recovery dan

Adjustment)

Culture shock

(tahap krisis)

Rendah Tinggi

Area yang dapat menyebabkan cultur shock:

 Adanya perbedaan yang mengganggu dalam hal makanan

 Adanya perbedaan pemikiran yang mengganggu masyarakat setempat mengenai sojouner

 Adanya perbedaan yang mengganggu dalam hal penggunaan bahasa

 Adanya perbedaan yang mengganggu dalam hal pandangan mengenai kebersihan

 Adanya perbedaan yang mengganggu dalam hal peraturan umum yang membatasi bagaimana privasi yang dimiliki

 Adanya perbedaan yang mengganggu dalam hal kesenjangan ekonomi

 Adanya perbedaan yang mengganggu dalam hal perbedaan kualitas pendidikan

 Adanya perbedaan yang mengganggu dalam hal perasaan kehilangan keluarga

 Adanya perbedaan yang mengganggu dalam hal jumlah orang terdekat

 Adanya perbedaan yang mengganggu dalam hal kesulitan menjalin pertemanan di budaya baru

 Adanya perbedaan yang mengganggu dalam hal penggunaan body contact

 Adanya perbedaan yang mengganggu dalam hal mengekspresikan kemarahan

 Adanya perbedaan yang mengganggu dalam hal penerimaan hubungan interpersonal dimuka umum

 Adanya perbedaan yang mengganggu dalam hal berpakaian

 Adanya perbedaan yang mengganggu dalam hal ketepatan waktu

 Adanya perbedaan yang mengganggu dalam hal pemanfaatan waktu luang

 Adanya perbedaan yang mengganggu dalam hal perlakuan pada orang yang kebih tua

 Adanya perbedaan yang mengganggu dalam hal pembicaraan sensitif yang berkaitan dengan daerah asal

 Adanya perbedaan yang mengganggu dalam hal berkurangnya waktu untuk istrahat

 Adanya perbedaan yang mengganggu dalam hal kesempatan melakukan kontak sosial atau sikap peduli


(33)

21

Universitas Kristen Maranatha

1.6 Asumsi

1. Mahasiswa Papua di universitas ‘X’ Bandung mengalami kontak dengan budaya yang ada di Bandung, sehingga timbul situasi yang disebut akulturasi.

2. Adanya perubahan keibasaan-kebiasaan yang dialami mahasiswa Papua ketika berinteraksi dengan masyarakat di Bandung dapat menyebabkan suatu keadaan yang tidak menyenangkan yang disebut dengan culture shock.

3. Saat mahasiswa Papua mengalami culture shock, maka proses tersebut melibatkan area dalam kehidupannya, dalam hal ini merupakan area yang dapat menyebabkan mahasiswa dari Papua mengalami culture shock.

4. Mahasiswa dari Papua mengalami culture shock dengan derajat yang berbeda, yaitu rendah dan tinggi.


(34)

79 Universitas Kristen Maranatha

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Hasil penelitian mengenai derajat culture shock pada mahasiswa Papua di

Universitas “X” Bandung, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Sebagian besar mahasiswa Papua yang kuliah di Universitas “X” Bandung memiliki derajat culture shock yang tinggi

2. Terdapat kecenderungan keterkaitan antara usia dengan derajat culture shock. Usia mahasiswa Papua yang lebih muda ternyata memiliki derajat culture shock yang tinggi. Sebaliknya mahasiswa Papua yang memiliki umur relatif lebih tua, lebih banyak memiliki derajat culture shock yang lebih rendah dibandingkan mahasiswa Papua yang berumur lebih muda.

3. Terdapat kecenderungan keterkaitan antara lama tinggal di Bandung dengan derajat culture shock. Mahasiswa yang tinggal di Bandung selama 6 bulan lebih banyak memiliki derajat culture shock yang tinggi. Sebaliknya mahasiswa yang memiliki masa tinggal di Bandung selama 18 bulan, lebih banyak memiliki derajat culture shock yang rendah

4. Terdapat kecenderungan keterkaitan antara banyaknya teman akrab di Bandung dengan derajat culture shock. Mahasiswa Papua yang memiliki banyak teman akrab di Bandung lebih banyak memiliki kecendrungan keterkaitan mengalami derajat culture shock yang lebih tinggi. Sedangkan mahasiswa yang memilki jumlah teman sedang cenderung memiliki derajat culture shock yang rendah.

5. dan lama menghabiskan waktu dengan teman di Bandung dengan derajat culture shock pada mahasiswa Papua di Universitas X Bandung.


(35)

80

Universitas Kristen Maranatha

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian tentang studi deskriptif mengenai derajat culture shock

pada mahasiswa Papua yang kuliah di universitas “X” Bandung, peneliti memberikan

saran sebagai berikut:

5.2.1 Saran Teoritis

1. Peneliti selanjutnya yang ingin meneliti mengenai derajat culture shock disarankan mengambil data dengan teknik wawancara sebagai tambahan data dalam melakukan penelitian agar dapat lebih menjelaskan secara rinci apa saja yang dirasakan oleh responden.

2. Peneliti yang ingin melakukan penelitian mengenai derajat culture shock disarankan mengkaitkan variabel derajat culture shock dengan variabel motivasi berprestasi.

5.2.1 Saran Praktis

1. Kepada mahasiswa Papua di universitas “X” Bandung disarankan belajar lebih banyak mengenai budaya Bandung, memerluas relasi dengan orang di Bandung serta membuka diri untuk berinteraksi dengan orang-orang yang ada di budaya Bandung sehingga dapat lebih memahami budaya yang ada di Bandung, agar menyesuaikan diri dengan lebih cepat dan lebih baik saat tinggal di Bandung. 2. Kepada komunitas daerah yang ada di universitas “X” Bandung khusunya

komunitas mahasiswa Papua agar menyusun program yang menyangkut dengan kegiatan sosial dengan masyarakat setempat agar mahasiswa Papua dapat lebih cepat dan lebih baik dalam menyesuaikan diri saat tinggal di Bandung.


(36)

81

Universitas Kristen Maranatha

3. Kepada bagian kemahasiswaan dan juga para dosen wali di universitas ‘X’ Bandung untuk turut membantu mahasiswa yang berasal dari Papua dengan cara memberikan bimbingan serta pengenalan kepada mahasiswa yang berasal dari Papua, agar lebih dalam mengenal tentang budaya yang ada di Bandung sehingga dapat membantu mahasiswa dalam penyesuaian dirinya di Bandung.

4. Kepada mahasiswa Papua di unversitas ‘X’ Bandung untuk lebih banyak mengeskplorasi budaya di Bandung, baik dari segi makanan, interaksi sosial, bagaimana pendidikan di Bandung dan bagaimana memanfaatkan waktu ketika sendiri saat tinggal di Bandung.

5. Merencanakan dan melaksanakan acara sosial yang berhubungan dengan interaksi sosial mahasiswa Papua dan orang di Bandung melalui komunitas-komunitas mahasiswa Papua yang ada di universitas X Bandung, seperti melakukan penyuluhan mengenai budaya yang ada di Bandung, membuat acara sosial bersama komunitas orang Bandung setempat..


(37)

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI DERAJAT CULTURE

SHOCK PADA MAHASISWA YANG BERASAL DARI PAPUA

DI UNIVERSITAS X BANDUNG

SKRIPSI

Diajukan untuk menempuh sidang sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung

Oleh:

MICHE WILNATA GASPERSZ NRP: 1130209

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BANDUNG


(38)

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan tugas akhir mata kuliah Skripsi ini di fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung.

Selama menyusun rancangan penelitian dengan judul “Studi Deskriptif Mengenai Derajat Culture Shock Pada Mahasiswa yang berasal daru Papua di Universitas ‘X’ Bandung”, peneliti banyak menemukan kesulitan, baik dalam persiapan, penyusunan, maupun penyelesaiannya. Tetapi berjat bantuan dari berbagai pihak, kesulitan-kesulitan tersebut dapat penulis atasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Yuspendi, M.Psi., M.Pd., Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung.

2. Drs. Paulus H. Prasetya, M.Si, Psikolog Selaku dosen pembimbing utama, yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing, membagikan pengetahuan yang diperlukan ,saran dan kritik yang membangun outline penelitian ini.

3. Windu Wulan Sari, S.Psi., Psikolog Selaku dosen pembimbing pendamping, yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dengan sabar, memberikan saran dan kritik yang membangun outline penelitian ini.

4. Kantor BAA (Biro Administrasi Akademik) universitas’X’ Bandung yang banyak membantu dengan memberikan data mahasiswa.

5. Staff tata usaha Universitas Kristen Maranatha yang banyak membantu dengan surat menyurat serta hal lainnnya yang di perlukan untuk kelangsungan penelitian ini.


(39)

viii 6. Untuk Mama, Papa, Kakak Ongen dan Ade Lily yang selalu mendukung saya, baik dalam hal moril maupun materil, serta selalu membimbing saya dalam doa-doa mereka serta menjadi motivasi saya yang sangat tinggi untuk menyelesaikan penelitian ini.

7. Jimmy Ryan Kappa yang sangat banyak membantu dalam mengartikan atau mentranslate teori dalam bahasa Inggris ke bahasa Indonesia untuk dapat mengerjakan penelitian ini.

8. Catur Octowibowo yang banyak membantu dalam memberikan pendapat dalam pengerjaan penelitian ini.

9. Tania Ayu, Abraham Billy, Christian Ryota dan Ita Situmorang yang banyak memberikan dukungan dan membantu dalam mengerjakan penelitian ini.

10. Maranatha Papua Student Community yang selalu memberikan support satu salam lain agar dapat menyelesaikan pendidikan bagi mahasiswa yang berasal dari Papua.

11. Stenly Mesak Rumetna, Kristian Paulus Tampubolon, Ramot Manalu, dan Bernard Situmeang sebagai senior yang banyak menghibur pada saat-saat stress dalam mengerjakan penelitian ini.

12. Shanty Octarie Nababan, Edgardo taurus Sirait, Natasya, Rizkia Fajar, Andriyani Putri Tamba, Immanuel Zaluchu, Anandita Ratna dan Mathew Philip, yang selalu menjadi motivasi saya dalam mengerjakan penelitian ini.

13. Maria Kurniati Gedi Raya yang sudah menjadi moodbooster dalam penyelesaian skripsi saya.

Bandung, Desember 2016


(40)

82 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

Furnham, Adrian & Stephen Bochner. (1986). Culture Shock: Psychological Reactions To Unfamiliar Environment. New york, USA: Mathuen & Co. Gulo, W. (2002). Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Grasindo.

Nazir, Mohammad. (1998). Metodologi Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Panduan Penulisan Skripsi Sarjana Edisi Revisi II. (2015). Februari, Bandung.

Fakultas Psikologi. Universitas Kristen Maranatha.

Ward, Colleen., Stephen Bochner, & Adrian Furnham. (2001). The Psychology Of Culture Shock. Philadelphia, USA: Taylor and Francis Inc.

Koentjaraningrat. (1990). Pengantar ilmu antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Ekadjati, Edi S. (1995) Pendidikan di Tatar Sunda (I). Pikiran Rakyat.


(41)

83 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

BAPPEDA. Online. Diambil dari https://www.papua.go.id/view-detail-page-147/geografi.html. Diunduh pada tanggal 23 September2015.

Dallpang, Trianti. (2011). Studi Deskriptif Tentang Derajat Culture Shock Pada Mahasiswa Toraja Semester 1 di Organisasi ‘X’ Bandung. Skripsi. Bandung: Universitas Kristen Maranatha.

Kennedy, Kevin. (2011). Kebudayaan Papua. Diambil dari http://kevin-kenedy.blogspot.co.id/ diunduh pada tanggal 23 September 2015.

Nasaruddin, Kanabaraf. (2012). Migran Dalam Bingkai Orang Papua. Diuduh dari http://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB %20V.pdf. Diunduh pada tanggal 11 Agustus 2015.

Pemerintah provinsi Papua. (Online). Diambil dari https://papua.go.id/view-detail-page254/SekilasPapua-.html di unduh pada tanggal 23 September 2015.

Universitas Kristen Maranatha. (Online). Diambil dari http://news.maranatha.edu/?cat=13; diunduh pada tanggal 19 September 2015.


(1)

Universitas Kristen Maranatha dapat membantu mahasiswa dalam penyesuaian dirinya di Bandung.

4. Kepada mahasiswa Papua di unversitas ‘X’ Bandung untuk lebih banyak mengeskplorasi budaya di Bandung, baik dari segi makanan, interaksi sosial, bagaimana pendidikan di Bandung dan bagaimana memanfaatkan waktu ketika sendiri saat tinggal di Bandung.

5. Merencanakan dan melaksanakan acara sosial yang berhubungan dengan interaksi sosial mahasiswa Papua dan orang di Bandung melalui komunitas-komunitas mahasiswa Papua yang ada di universitas X Bandung, seperti melakukan penyuluhan mengenai budaya yang ada di Bandung, membuat acara sosial bersama komunitas orang Bandung setempat..


(2)

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI DERAJAT CULTURE

SHOCK PADA MAHASISWA YANG BERASAL DARI PAPUA

DI UNIVERSITAS X BANDUNG

SKRIPSI

Diajukan untuk menempuh sidang sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung

Oleh:

MICHE WILNATA GASPERSZ NRP: 1130209

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BANDUNG


(3)

vii Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung.

Selama menyusun rancangan penelitian dengan judul “Studi Deskriptif

Mengenai Derajat Culture Shock Pada Mahasiswa yang berasal daru Papua di Universitas ‘X’ Bandung”, peneliti banyak menemukan kesulitan, baik dalam persiapan, penyusunan, maupun penyelesaiannya. Tetapi berjat bantuan dari berbagai pihak, kesulitan-kesulitan tersebut dapat penulis atasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Yuspendi, M.Psi., M.Pd., Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung.

2. Drs. Paulus H. Prasetya, M.Si, Psikolog Selaku dosen pembimbing utama, yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing, membagikan pengetahuan yang diperlukan ,saran dan kritik yang membangun outline penelitian ini.

3. Windu Wulan Sari, S.Psi., Psikolog Selaku dosen pembimbing pendamping, yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dengan sabar, memberikan saran dan kritik yang membangun outline penelitian ini.

4. Kantor BAA (Biro Administrasi Akademik) universitas’X’ Bandung yang banyak membantu dengan memberikan data mahasiswa.

5. Staff tata usaha Universitas Kristen Maranatha yang banyak membantu dengan surat menyurat serta hal lainnnya yang di perlukan untuk kelangsungan penelitian ini.


(4)

viii 6. Untuk Mama, Papa, Kakak Ongen dan Ade Lily yang selalu mendukung saya, baik dalam hal moril maupun materil, serta selalu membimbing saya dalam doa-doa mereka serta menjadi motivasi saya yang sangat tinggi untuk menyelesaikan penelitian ini.

7. Jimmy Ryan Kappa yang sangat banyak membantu dalam mengartikan atau mentranslate teori dalam bahasa Inggris ke bahasa Indonesia untuk dapat mengerjakan penelitian ini.

8. Catur Octowibowo yang banyak membantu dalam memberikan pendapat dalam pengerjaan penelitian ini.

9. Tania Ayu, Abraham Billy, Christian Ryota dan Ita Situmorang yang banyak memberikan dukungan dan membantu dalam mengerjakan penelitian ini.

10. Maranatha Papua Student Community yang selalu memberikan support satu salam lain agar dapat menyelesaikan pendidikan bagi mahasiswa yang berasal dari Papua.

11. Stenly Mesak Rumetna, Kristian Paulus Tampubolon, Ramot Manalu, dan Bernard Situmeang sebagai senior yang banyak menghibur pada saat-saat stress dalam mengerjakan penelitian ini.

12. Shanty Octarie Nababan, Edgardo taurus Sirait, Natasya, Rizkia Fajar, Andriyani Putri Tamba, Immanuel Zaluchu, Anandita Ratna dan Mathew Philip, yang selalu menjadi motivasi saya dalam mengerjakan penelitian ini.

13. Maria Kurniati Gedi Raya yang sudah menjadi moodbooster dalam penyelesaian skripsi saya.

Bandung, Desember 2016


(5)

82 Universitas Kristen Maranatha Nazir, Mohammad. (1998). Metodologi Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Panduan Penulisan Skripsi Sarjana Edisi Revisi II. (2015). Februari, Bandung.

Fakultas Psikologi. Universitas Kristen Maranatha.

Ward, Colleen., Stephen Bochner, & Adrian Furnham. (2001). The Psychology Of

Culture Shock. Philadelphia, USA: Taylor and Francis Inc.

Koentjaraningrat. (1990). Pengantar ilmu antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Ekadjati, Edi S. (1995) Pendidikan di Tatar Sunda (I). Pikiran Rakyat.


(6)

83 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

BAPPEDA. Online. Diambil dari https://www.papua.go.id/view-detail-page-147/geografi.html. Diunduh pada tanggal 23 September2015.

Dallpang, Trianti. (2011). Studi Deskriptif Tentang Derajat Culture Shock Pada Mahasiswa Toraja Semester 1 di Organisasi ‘X’ Bandung. Skripsi. Bandung: Universitas Kristen Maranatha.

Kennedy, Kevin. (2011). Kebudayaan Papua. Diambil dari http://kevin-kenedy.blogspot.co.id/ diunduh pada tanggal 23 September 2015.

Nasaruddin, Kanabaraf. (2012). Migran Dalam Bingkai Orang Papua. Diuduh dari http://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5387/6/T2_092011007_BAB %20V.pdf. Diunduh pada tanggal 11 Agustus 2015.

Pemerintah provinsi Papua. (Online). Diambil dari https://papua.go.id/view-detail-page254/SekilasPapua-.html di unduh pada tanggal 23 September 2015.

Universitas Kristen Maranatha. (Online). Diambil dari http://news.maranatha.edu/?cat=13; diunduh pada tanggal 19 September 2015.