Negara dan Masa Depan Perlindungan Layanan Publik bagi Kalangan Difabel.

NEGARA DAN MASA DEPAN PERLINDUNGAN LAYANAN PUBLIK
BAGI KALANGAN DIFABEL
Oleh : Tedi Erviantono, Dosen FISIP Universitas Udayana, Bali
Disampaikan dalam KIPNAS LIPI
A. Pendahuluan
Bulan Desember tercatat setidaknya ada dua peringatan penting, yaitu 3 Desember sebagai
hari peyandang cacat (disabilitas/kaum difabel) sedunia dan 10 Desember sebagai hari Hak
Asasi Manusia (HAM) internasional. Pada momen ini perlu kiranya merefleksikan sejauh
mana perlakuan negara memberikan fasilitas publik bagi penyandang disabilitas sebagai salah
satu konsistensi perlindungan kesetaraan HAM.
Penegakan HAM dalam koridor pelaksanaan demokrasi adalah agenda mendesak
yang harus diwujudkan pihak negara (baca : pemerintah). Negara secara ideal harus mampu
menjaga inter-relasi harmoni dengan segenap komponen masyarakat, terutama pada aras
civil society. Salah satu inter-relasi yang diberikan negara adalah aktualiasi pelayanan publik
secara optimal kepada semua kalangan, tanpa ada satu pihak-pun yang terdiskriminasikan.
Seperti prinsip berjalannya demokrasi yang mengedepankan kesempatan dan kesamaan
peluang yang berkeadilan bagi semua pihak, HAM memberi aksen partisipasi kewargaan
yang juga tak membedakan satu sama lain.
Reformasi telah menyertakan perubahan fundamen bagi regulasi nasional maupun
lokal. Regulasi yang sebelumnya dianggap tak pro HAM dan meniadakan partisipasi civil
society, harus tunduk pada arus reformasi regulasi yang membuka ruang perlindungan hukum

bagi pelaksanaan HAM dan pemberdayaan civil society. Salah satu regulasi yang terlahir
adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Konsepsi HAM pada UU ini dipandang sebagai seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan anugerah yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang, demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Dari konsepsi ini komitmen
yang dipertegas adalah kesetaraan hak sesama umat manusia dengan tuntutan perlakuan atas
hak sama tanpa membedakan kekurangan fisik maupun mental.
B. Pembahasan
Pada rentang waktu lebih satu dasawarsa sejak masa pengabsahannya, implementasi
UU ini seharusnya mampu menjamin kesetaraan hak bagi kalangan kekurangan fisik
maupun mental. Kalangan difabel secara ideal harus dinaungi oleh regulasi HAM, terutama
pada amanat TAP MPR No. XVII / MPR / 1998 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya Bab
VIII pasal 30 ditegaskan bahwa “Setiap orang berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan
khusus di masa kanak- kanak, di hari tua, ...termasuk penyandang cacat”.
Ditinjau dari sisi normatif, Negara kita memang telah merealisasikan regulasi pro
HAM dan perlindungan civil society. Hanya saja persoalannya, implementasi atas takaran
perlindungan kesetaraan HAM seperti yang diporsikan pada regulasi tersebut sulit
diterjemahkan dalam realitas keseharian. Perangkat regulasi HAM baru “berbunyi” atau bisa
bermakna apabila terdapat tuntutan hukum, upaya advokasi dan bukan sebagai sebuah

tindakan perlindungan HAM yang sifatnya memberdayakan atau mengakomodasi penyediaan
fasilitas layanan publik pro HAM.
Negara sebenarnya sudah memberikan ruang gerak perlindungan penyandang
disabilitas, namun tarafnya sebatas penetapan regulasi/landasan hukum. Beberapa regulasi
tersebut antara lain, Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Peraturan
Pemerintah RI No. 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial
Penyandang Cacat, Keputusan Menteri Perhubungan No 71 Tahun 1999 dan Keputusan

Menteri Pekerjaan Umum RI No. 468/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas
pada Bangunan Umum dan Lingkungan.
Beberapa gerakan atas implementasi regulasi ini tercatat pernah digagas mantan
Presiden Abdurrahman Wahid melalui Gerakan Aksesbilitas Umum Nasional (GAUN).
Gerakan ini adalah upaya penyediaan sarana yang aksesibel bagi kalangan difabel khususnya
pada sarana transportasi publik. Gagasan ini hanya bergaung sesaat sebab tersandera saat
terjadi pergantian kepemimpinan nasional. Komitmen serupa ditunjukkan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono lewat instruksi pada para gubernur untuk menyediakan fasilitas
memadai bagi kalangan difabel. Komitmen ini juga tak terlalu membawa perubahan
signifikan dan hanya terjawab oleh tetesan air mata haru Wakil Presiden Budiono saat
berhadapan dengan kalangan difabel pada peringatan hari penyandang cacat Tahun 2009 .
Hal inilah yang menyiratkan kesan pesimisme banyak kalangan atas realisasi negara

terhadap aksesibilitas kalangan difabel atas layanan publik secara inklusif. Perhatian negara
dinilai sebatas seremonial belaka. Kesan ini makin menguat dengan ketiadaan respon
pemerintah lokal, dimana banyak yang belum merumuskan secara tegas perlindungan kaum
difabel. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sempat merumuskan regulasi terkait kaum difabel,
antara lain Perda No 7 Tahun 1991 tentang Bangunan dalam Wilayah DKI Jakarta yang
mempertegas ketersediaan akses bagi kalangan difabel sebagai salah satu persyaratan
memperoleh IMB. Pemda DKI sempat mengancam mempersulit ijin pembangunan gedung
pemerintah maupun swasta yang tidak memiliki akses bagi difabel.
Hanya saja pemerhati HAM mencatat implementasi regulasi lokal tersebut jauh dari
harapan. Struktur bangunan fasilitas publik di kota besar dinilai masih belum mengakomodir
kalangan difabel, seperti ketiadaan jalan landai antara jalan dan trotoar, bentuk tangga yang
terlampau tinggi, lift yang tak ramah bagi difabel, dll. Banyak komitmen kepala daerah yang
dilanggar demi kepentingan kota yang bias kepentingan hegemoni kapitalis. Kehadiran wujud
fisik kota cenderung jauh mempertimbangkan aspek humanisme yang beraroma HAM dan
perancangannya lebih diorentasikan pada aspek antroposentris manusia normal.
Pendekatan kebijakan negara yang sifatnya sektoral juga kurang mengakomodasikan
kepentingan kaum difabel. Termasuk lembaga instansi vertikal penyedia layanan publik di
daerah. Kementerian agama misalnya, dinilai kurang memperhatikan sarana tempat
peribadatan yang ramah bagi difabel. Kementerian Perhubungan khususnya UPTD
penyelenggara terminal penumpang umum yang minim mengakomodasikan kepentingan

difabel, seperti trotoar yang landai, toilet hingga loket pembayaran peron yang terpisah
dengan penumpang umum lainnya.
Pemarginalan ini bila ditelisik diakibatkan masih minimnya anggaran rehabilitasi
sosial dan aksesibilitas difabel di Indonesia yang besarannya tak sampai setengah persen total
anggaran nasional setiap tahun. Pihak legislatif dan eksekutif nampak masih kurang punya
kepekaan memahami realitas kaum difabel sebenarnya turut memberikan akses suara pada
mereka sebagai wakil sekaligus pemimpin nasional saat pemilu.
Paradigma affirmatif state dalam konteks negara welfarian (kesejahteraan) yang
menegaskan layanan publik adalah hak dasar warga dan tanggungjawab negara memenuhinya
atas dasar kesetaraan HAM, masih belum berjalan baik. Perangkat regulasi yang menjamin
hak kaum difabel hanya pemanis tatkala negara ingin dipuji sebagai insitusi yang
berkomitmen pada kesetaraan HAM. Pasal-pasal normatif yang memberi jaminan pelayanan
kepada para difabel, belum berdampak pada penyedia layanan di tingkat daerah. Alasannya,
pemerintah lokal belum mengakrabi standar layanan yang seharusnya diporsikan bagi para
warga penyandang disabilitas.
C. Saran dan Rekomendasi
Negara yang terepresentasi melalui pihak penyedia layanan publik harusnya lebih
memperhatikan standar perlakuan yang baik bagi penyandang disabilitas, baik dari sisi

kualitas maupun kuantitasnya. Sebaliknya, bagi penyandang disabilitas, sebaiknya tidak

perlu minder saat mereka berada di layanan fasilitas umum. Bagaimanapun fasilitas publik
adalah milik mereka sebagai warga negara yang kedudukannya sama dengan lainnya. Dengan
demikian, konsekuensinya pihak penyedia layanan publik, harus memperhatikan kesetaraan
layanan khususnya para penyandang disabilitas.
Negara sudah saatnya menjamin perencanaan pembangunan yang menyangkut
layanan publik, misalnya konstruksi maupun desain fisik, menyertakan pertimbangan
aksesbilitas penyandang disabilitas. Perencana pembangunan negeri ini harus arif memahami
kebijakan pembangunan fisik yang ramah terhadap penyandang disabilitas. Praktisnya, sudah
saatnyalah penyandang disabilitas harus dilibatkan dalam setiap proses konsultasi
perencanaan pembangunan, baik pada tingkat pusat maupun lokal (daerah). /*

FOTO-FOTO KEIKUTSERTAAN DALAM KIPNAS LIPI