ANALISIS SWASEMBADA DAN KEBUTUHAN BERAS DI KECAMATAN GEBANG KABUPATEN LANGKAT.

(1)

GEBANG KABUPATEN LANGKAT

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Memperolah Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh :

JUANDA ADITIA NIM. 309431012

JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2014


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

v

Kecamatan Gebang Kabupaten Langkat,. Skripsi, Jurusan Pendidikan Geografi Fakultas Ilmu Sosial 2014 Universitas Negeri Medan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) produksi beras melalui pengelolaan faktor produksi (faktor produksi lahan/tanah, modal, tenaga kerja dan teknologi) di Kecamatan Gebang, (2) pola konsumsi dan kebutuhan beras di Kecamatan Gebang, dan (3) mampu atau tidaknya Kecamatan Gebang berswasembada beras.

Penelitian dilakukan di Kecamatan Gebang pada tahun 2013. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 5947 orang petani padi dengan sampel yang didapat menggunakan rumus slovin dengan taraf kelonggaran 10% yang berjumlah 98 orang. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah komunikasi langsung, dan studi dokumenter. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Produksi beras melalui pengelolaan faktor produksi di Kecamatan Gebang dari tahun 2000-2010 sangat berfluktuasi, produksi beras tertinggi tahun 2001 yakni 27.086 ton, dan terendah pada tahun 2002 yakni 16.048 ton, sedangkan hasil proyeksi menunjukkan produksi beras Kecamatan Gebang tahun 2011-2020 terus turun sebesar 1,213% per tahun dengan rata-rata produksi 2,734 ton/hektar, (2) Pola konsumsi penduduk Kecamatan Gebang yang dominan adalah beras dengan konsumsi mencapai 130 kg/kapita/tahun atau lebih tinggi 29,6 kg dari PPH (Pola Pangan Harapan), yakni 100,4 kg/kapita/tahun, sementara kebutuhan beras pada tahun 2020 akan mencapai angka 11.397,49 ton atau lebih tinggi 2.595,121 ton dari PPH, dan (3) Kecamatan Gebang pada tahun 2000 hingga 2010 ternyata mampu berswasembada bahkan mencapai surplus, bahkan hasil proyeksi menunjukkan pada tahun 2020 Kecamatan Gebang juga tidak hanya mampu berswasembada tetapi juga mengalami surplus dengan indeks rasio antara produksi dan konsumsi sebesar 1,49, namun demikian, indeks rasionya cenderung menurun.


(7)

vii

Hal

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...i

LEMBAR PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN ...ii

KATA PENGANTAR ... iii

LEMBAR KEASLIAN TULISAN ... v

ABSTRAK ...vi

DAFTAR ISI ...vii

DAFTAR TABEL ...ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah...6

C. Pembatasan Masalah... 7

D. Perumusan Masalah... 8

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

A. Kerangka Teoritis ... 10

B. Penelitian Yang Relevan ...17

C. Kerangka Berpikir ... 19

BAB III METODE PENELITIAN ... 20

A. Lokasi Penelitian ...20

B. Populasi dan Sampel... 20

C. Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional... 21


(8)

viii

A. Keadaan Fisik ... 23

B. Keadaan Non Fisik ... 33

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...40

A. Hasil Penelitian... 40

B. Pembahasan ...44

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ...61

A. Kesimpulan ... 61

B. Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ...64


(9)

No Uraian Hal

1. Luas wilayah menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan

Gebang Tahun 2011... 24 2. Luas wilayah menurut jenis penggunaan tanah dan

Desa/Kelurahan tahun 2011... 26 3. Luas panen, produksi dan rata-rata produksi padi sawah

dirinci Menurut Desa/Kelurahan Tahun 2011... 27 4. Luas sawah menurut dirinci menurut jenis irigasi dan

Desa/Kelurahan Tahun 2011... 28 5. Luas tanam tanaman keras perkebunan rakyat dirinci

menurut jenis tanaman dan Desa/Kelurahan tahun 2011... 29 6. Produksi tanaman keras perkebunan rakyat dirinci menurut

Jenis tanaman dan Desa/Kelurahan Tahun 2011... 30 7. Banyaknya sekolah SD, SMP, SMA Negeri dan Swasta

Dirinci menurut Desa/Kelurahan Tahun 2011... 31 8. Banyak sarana kesehatan dirinci menurut Desa/Kelurahan

di kecamatan Gebang Tahun 2011... 32 9. Banyaknya sarana Ibadah dirinci menurut Desa/Kelurahan

di Kecamatan Gebang 2011... 33 10. Luas, jumlah penduduk dan Kepadatan Penduduk

dirinci menurut Desa/Kelurahan Tahun 2011... 34 11. Banyak penduduk dirinci menurut jenis kelamin dan

Desa/Kelurahan Tahun 2011... 35 12. Banyak penduduk dirinci menurut kelompok umur


(10)

1. Skema kerangka berpikir 20

2. Peta Kabupaten langkat 38

3. Peta Kecamatan Gebang 39

4. Sawah padi penghasil pangan beras Kecamatan Gebang 72 5. Pengelolaan pertanian penghasil pangan beras dan hasil panennya 72


(11)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia dalam segala sisi kehidupannya memiliki tingkat kebutuhan yang berbeda-beda baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Namun, untuk masalah kebutuhan yang esensial dan harus dipenuhi untuk dapat hidup yang layak dan semestinya, jenis kebutuhan yang diinginkan manusia umumnya sama, yaitu kebutuhan pangan (makan dan minum), sandang (pakaian), dan papan (tempat berteduh). Diantara beberapa kebutuhan yang esensial tersebut, pangan adalah salah satu kebutuhan yang harus dipenuhi dalam takaran tertentu agar seseorang dapat hidup secara layak.

Pangan merupakan segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan (BAPPENAS, 2011). Salah satu sumber pangan hayati penduduk yang utama, khususnya di Indonesa adalah beras. beras masih merupakan komoditi

yang terus menjadi pangan pokok yang berada pada urutan teratas dalam menu konsumsi penduduk Indonesia secara umum. Konsumsi faktual rata-rata beras di Indonesia masih terbilang sangat tinggi daripada konsumsi normatif yang dianjurkan. Konsumsi rata-rata beras nasional yakni 139 kilogram per kapita per


(12)

tahun melebihi negara tetangga, yaitu Thailand yang hanya mencapai 65 kilogram per kapita per tahun dan Malaysia yang hanya mencapai 75 kilogram per kapita per tahun (Wiryawan, 2011). Tingginya rata-rata konsumsi beras penduduk Indonesia tersebut mengakibatkan Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki tingkat kerawanan pangan beras yang cukup tinggi dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia. Ditambah lagi 95% dari total penduduk Indonesia masih mengutamakan beras sebagai pemuncak menu makanan sehari-hari (Nurmala, 2012).

Sumber pangan hayati berupa beras diperoleh dari pertanian padi. Pengelolaan pertanian padi oleh petani sebagai penyokong utama ketersediaan pangan beras harus tetap diupayakan pada kondisi produktifitas yang tinggi agar dapat memberikan hasil produksi beras yang mampu mendukung kebutuhan beras penduduk. Produksi bahan pangan terutama bahan makanan pokok seperti beras memiliki peran yang sangat penting dalam memenuhi kebutuhan hidup penduduk yang masih membutuhkan beras sebagai konsumsi penghasil karbohidrat sehari-hari. Oleh karena itu, perencanaan peningkatan kualitas dan kuantitas produksi bahan makanan pokok seperti beras merupakan suatu hal yang sangat perlu diperhatikan dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat akan pangan pokok beras tersebut. Perencanaan peningkatan produksi beras tersebut tidaklah semata-mata untuk memenuhi konsumsi penduduk yang sudah terkontaminasi dengan perilaku konsumsi yang boros beras (konsumsi faktual), namun peningkatan produksi beras harus lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan padi-padian masyarakat sesuai dengan nilai normatif yang disarankan untuk dapat hidup


(13)

secara layak sesuai dengan Misi Ketahanan Pangan Nasional 2015, yakni sebesar 275 gram per kapita per hari atau 100,4 kilogram per kapita per tahun.

Sebagai negara agraria yang masih memiliki banyak kegiatan pertanian khususnya pertanian padi, Indonesia masih sangat mungkin untuk mencapai swasembada kembali tetapi yang menjadi masalah adalah masih terjadinya tingkat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap beras. Achmad (dalam Triyanto, 2006) menjelaskan ada empat masalah yang berkaitan dengan kondisi perberasan di Indonesia, (1) rata-rata luas garapan petani hanya 0,3 ha, (2) sekitar tujuh puluh persen petani padi termasuk golongan masyarakat miskin dan berpendapatan rendah, (3) hampir seluruh petani padi adalah net konsumer beras dan (4) rata-rata pendapatan dari usaha tani padi hanya sebesar tiga puluh persen dari total pendapatan keluarga. Dengan kondisi ini pemerintah selalu dihadapkan pada posisi sulit, satu sisi pemerintah harus menyediakan beras dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat, dan disisi lain pemerintah harus melindungi petani produsen dan menjaga ketersediaan secara cukup.

Kebutuhan masyarakat akan beras seseharusnya diimbangi dengan peningkatan hasil produksi beras melalui optimalisasi pengelolaan faktor-faktor produksi termasuk teknologi pertanian padi sebagai penghasil beras. Namun dilain pihak, upaya peningkatan hasil produksi saat ini terganjal oleh berbagai kendala, seperti konversi/alih fungsi lahan sawah subur yang masih terus berjalan, penyimpangan iklim (anomali iklim), gejala kelelahan teknologi (technology fatique), penurunan kualitas sumberdaya lahan (soil sickness) yang berdampak terhadap penurunan dan atau pelandaian produktifitas.


(14)

Salah satu wilayah di Indonesia yang memiiki potensi untuk meningkatkan produksi bahan pangan berupa beras adalah Kabupaten Langkat di Sumatera Utara. Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Langkat 2010 mencatat pada tahun 2009, pada tahun 2006 produksi padi sawah meningkat dari 432.451 ton menjadi 468.322 ton, sama halnya dengan luas panen pada tahun 2006 dari 80.167 ha menjadi 85.227 ha pada tahun 2009, sedangkan padi ladang pada tahun 2009 juga mengalami peningkatan dari produksi 810 ton pada tahun 2006 menjadi 1.460 ton pada tahun 2009 dan begitu juga dengan luas panen dari 296 ha pada tahun 2006 menjadi 524 ha pada tahun 2009 (Langkat Dalam Angka 2011). Namun, Kondisi pertumbuhan produksi padi tahun 2011 mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tahun 2010, yakni sebesar 14,54 persen (Statistik Daerah Langkat 2012).

Salah satu Kecamatan di Kabupaten Langkat yang menjadi basis pertanian padi adalah Kecamatan Gebang. Kecamatan Gebang merupakan Kecamatan yang secara administratif berada dalam naungan pemerintah Kabupaten Langkat. Kecamatan Gebang secara astronomis terletak pada 03 4’ 11”- 0 53’55” pada lintang Utara dan 98 26’00”- 98 12’ 37" pada bujur Timur dengan ketinggian rata-rata 5 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Gebang yang memiliki luas 178,4 km2 adalah Kecamatan yang memiliki potensi pertanian terutama pertanian bahan pangan beras di Kabupaten Langkat. Potensi pangan beras dari padi pada tahun 2011 di Kecamatan Gebang mencapai 33.519 ton (24.922 ton beras) dengan luas lahan panen seluas 6.086 ha atau masa panen pertama (antarasumut.com). Dengan jumlah panen tersebut diharapkan hasil produksi padi di Gebang dapat


(15)

mendukung pemenuhan kebutuhan beras penduduk di Kecamatan Gebang pada tahun 2010 tercatat sebanyak 51.829 jiwa (Gebang Dalam Angka 2011).

Meningkatkan produksi beras melalui optimalisasi pengelolaan faktor-faktor produksi termasuk teknologi dalam pertanian padi oleh petani merupakan salah satu langkah yang harus tetap diupayakan untuk menjaga hasil produksi terlebih lagi dengan kondisi alihfungsi yang masih terus berjalan akibat pertumbuhan dan pertambahan penduduk yang memberikan dampak ganda. Satu sisi peningkatan jumlah penduduk mengakibatkan peningkatan jumlah kebutuhan pangan termasuk beras, di sisi lain peningkatan jumlah penduduk juga akan berdampak pada besarnya permintaan lahan yang akan digunakan untuk keperluan non pertanian yang pada akhirnya mengakibatkan berkurangnya luas lahan pertanian. Tidak akan terbantahkan lagi jika luas lahan pertanian berkurang maka produksi juga akan berkurang terlebih jika pengelolaan faktor produksi belum optimal.

Dalam konteks swasembada beras, hal yang menjadi patokan utama bagi Kecamatan Gebang adalah bagaimana perimbangan antara hasil produksi dan konsumsi. Satu sisi pengelolaan produksi oleh petani meliputi semua faktornya termasuk teknologi akan berpengaruh terhadap hasil produksi beras yang dihasilkan Kecamatan Gebang untuk memposisikan diri sebagai suatu wilayah yang memiliki potensi produksi beras yang mencukupi. Di sisi lain, tingkat kebutuhan beras penduduk juga merupakan hal yang sangat mempengaruhi apakah suatu daerah masih dapat dikatakan sebagai daerah yang berpotensi untuk berswasembada atau bahkan masuk dalam zona defisit bahan pangan beras


(16)

sehingga pada akhirnya menjadi daerah yang bergantung pada ketersediaan pasokan dari daerah lain.

Bukan mudah bagi Kecamatan Gebang untuk tetap menjadi daerah yang mandiri dalam pemenuhan kebutuhan domestik sesuai dengan peraturan menteri pertanian yang menetapkan kondisi swasembada apabila skor dari rasio antara kebutuhan dan ketersediaan berkisar antara > 1.00 – 1.14. Artinya dalam mencapai status swasembada pangan di suatu daerah khususnya swasembada beras, maka daerah tersebut harus memenuhi kebutuhan beras masyarakat dari hasil produksi lokal setidaknya seimbang dengan kebutuhan beras masyarakat atau 1,14 kali lebih banyak ketersediaannya dibandingkan dengan kebutuhan beras penduduk. Peningkatan produksi melalui optimalisasi faktor-faktor produksi termasuk teknologi oleh petani dan pemenuhan kebutuhan beras penduduk berdasarkan pola konsumsi dan kebutuhan normatif berdasarkan pola pangan harapan yang dianjurkan untuk hidup layak merupakan sebuah tantangan bagi Kecamatan Gebang. Komparasi keduanya akan menunjukkan suatu rasio keberimbangan antara hasil produksi dan konsumsi yang pada akhirnya akan menggambarkan apakah Kecamatan Gebang merupakan daerah yang sebenarnya mampu untuk berswasembada beras atau tidak.

B. Identifikasi Masalah

Sesuai dengan latar belakang masalah yang dikemukakan sebelumnya, maka beberapa masalah yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut: (1) produksi pangan belum cukup untuk membentuk cadangan pangan yang


(17)

memenuhi persyaratan status ketahahan pangan yang mantap, (2) pola konsumsi pangan pokok sangat terfokus pada beras, diversifikasi ke arah pangan lokal kurang berkembang, dan perbaikan pola konsumsi ke arah pola pangan harapan berlangsung lambat serta tingginya konsumsi faktual beras (3) rata-rata luas garapan petani hanya 0,3 ha, (4) sekitar 70% petani padi termasuk golongan masyarakat miskin dan berpendapatan rendah, (5) hampir seluruh petani padi adalah net konsumer beras (6) rata-rata pendapatan dari usaha tani padi hanya sebesar 30% dari total pendapatan keluarga, (7) upaya peningkatan produksi beras saat ini terganjal oleh berbagai kendala, seperti konversi/alih fungsi lahan sawah subur yang masih terus berjalan, penyimpangan iklim (anomali iklim), gejala kelelahan teknologi (technology fatique), penurunan kualitas sumberdaya lahan (soil sickness) yang berdampak terhadap penurunan dan atau pelandaian produktifitas, (8) rendahnya produktifitas karena belum optimalnya pengelolaan produksi meliputi faktor produksi lahan/tanah, modal, tenaga kerja, serta teknologi sehingga berdampak pada kondisi hasil produksi (9) pertumbuhan dan pertambahan penduduk di Gebang yang meningkat akan berdampak langsung pada peningkatan kebutuhan akan pangan beras dan swasembada kewilayah lainnya .

C. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan masalah yang ada dalam penelitian ini yang telah diuraikan sebelumnya pada latar belakang masalah dan identifikasi masalah, dengan berbagai pertimbangan dan keterbatasan juga agar permasalahan yang


(18)

akan diteliti menjadi jelas dan terarah, maka masalah dalam penelitian ini dibatasi hanya menyangkut: (1) produksi beras melalui optimalisasi pengelolaan faktor produksi (faktor produksi lahan/tanah, modal, tenaga kerja dan teknologi) di Kecamatan Gebang, (2) pola konsumsi dan kebutuhan beras penduduk di Kecamatan Gebang, dan (3) mampukah Kecamatan Gebang berswasembada beras.

D. Rumusan Masalah

Sesuai dengan pembatasan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana produksi beras melalui pengelolaan faktor produksi (faktor produksi lahan/tanah, modal, tenaga kerja dan teknologi) di Kecamatan Gebang?

2. Bagaimana konsumsi dan kebutuhan beras penduduk di Kecamatan gebang?

3. Apakah Kecamatan Gebang mampu berswasembada ?

E. Tujuan Penelitian

Adapun penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

1. Produksi beras melalui pengelolaan faktor produksi (faktor produksi lahan/tanah, modal, tenaga kerja dan teknologi) di Kecamatan Gebang; 2. Pola konsumsi dan kebutuhan beras di Kecamatan Gebang; dan


(19)

F. Manfaat Penelitian

Adapun penelitian ini nantinya diharapkan memberikan manfaat sebagai

berikut:

1. Bagi mahasiswa

Sebagai media untuk menerapkan ilmu pengetahuan yang didapatkan selama perkuliahan dan dalam rangka memperkaya wawasan ilmiah

2. Bagi Daerah Penelitian

Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah penelitian dalam hal pembangunan pertanian mengenai hasil produksi pertanian yang dipengaruhi oleh luasan lahan dan pengelolaan yang menggambarkan produktifitasnya, kemudian sebagai masukan untuk ketahanan pangan terkait dengan pertumbuhan pola konsumsi penduduk agar menjadi bahan dalam kebijakan

di masa yang akan datang menuju swasembada.

3. Bagi Pembaca

Sebagai bahan referensi bagi seluruh pembaca mengenai pertanian khusunya dalam hal swasembada dan kebutuhan beras penduduk dan sebagai referensi bagi peneliti yang ingin melakukan kegiatan penelitian lanjutan pada lokasi dan waktu yang berbeda.


(20)

40 A. Hasil Penelitian

1. Hasil Produksi Beras Berdasarkan Pengelolaan Faktor Produksi

Banyaknya produksi padi tidak terlepas dari beberapa faktor, yakni faktor luas panen dan produktifitas tiap hektar luas panen tersebut yang mempengaruhi kuantitas produksi di suatu daerah termasuk Kecamatan Gebang yang pada akhirnya akan menentukan pula kuantitas produksi berasnya, kemudian faktor yang tidak kalah penting yang akan diuraikan pada hasil penelitian ini adalah faktor tenaga kerja, lahan, modal, dan teknologi. Berikut banyaknya produksi beras yang diketahui dari banyaknya produksi padi di Kecamatan Gebang selama kurun waktu sepuluh tahun, yakni dari tahun 2000 hingga 2010 yang didapatkan dari studi dokumenter.

Tabel 14: Produksi Padi dan Beras di Kecamatan Gebang Tahun 2000-2010

No. Tahun Luas Panen (Ha) Produktifitas (Ton GKP/Ha) Produksi (Ton) Padi (GKP) Padi (GKG)* Beras*

1 2000 9.311 4,943 46.026 39.592 24.840 2 2001 10.730 4,700 50.189 43.173 27.086 3 2002 6.004 4,922 29.736 25.579 16.048 4 2003 6.864 5,400 38.395 33.027 20.721 5 2004 6.051 5,285 33.200 28.559 17.918 6 2005 7.025 5,399 37.933 32.629 20.472 7 2006 7.420 5,431 40.157 34.543 21.672 8 2007 6.168 5,480 33.805 29.272 18.500 9 2008 8.257 5,481 45.254 39.178 24.760 10 2009 8.543 5,481 46.824 40.545 25.624 11 2010 7.619 5,680 43.276 37.473 23.683

Total 83.992 58,202 444.795 383.570 241.324 Rata-rata/Thn 7.635,64 5,291 40.435,9 34.870 21.938,5 Rata-rata produksi (Ton/Ha) 5,295 4,567 2,873

Sumber: Data primer diolah,2000-2010

*) angka yang dihasilkan melalui perkalian angka rendemen padi GKP ke GKG sebesar 86,02% dan GKG ke Beras sebesar 62,74%


(21)

Dari tabel 14, dapat disimpulkan bahwa, jumlah atau kuantitas produksi beras di Kecamatan Gebang sangat berfluktuasi, produksi beras tertinggi berada pada tahun 2001, namun pada selanjutnya mengalami penurunan pada tahun berikutnya dan sempat mengalami peningkatan pada tahun 2003, 2005, 2006 lalu turun kembali pada tahun 2007, kemudian meningkat lagi pada 2008 dan 2009 sampai pada akhirnya 2010 mengalami trendpenurunan kembali. Produksi beras rata-rata dalam kurun waktu tahun 2000-2010 mencapai 2,873 ton/Ha.

Gambar 4: Grafik Perkembangan Luas Panen Padi Gebang tahun 2000-2010

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dengan teknik komunikasi langsung yang melibatkan 98 orang petani yang melakukan kegiatan pertanian padi, dengan frekuensi tanam sebanyak 2 kali dalam 1 tahun dan rata-rata lahan garapan 0,58 hektar tiap petani, didapatkan hasil rata-rata produksi (produktifitas) padi sebanyak 5,06 ton/hektar pada masa tanam pertama dan 5,07 ton/hektar pada masa tanam kedua sehingga dirata-ratakan produksi tanaman pangan beras mencapai 5.065 ton/hektar atau di bawah standar rata-rata produksi padi nasional yakni sekitar 5,1 ton/Ha (antaranews.com). Jika dikonversikan ke beras, maka tiap hektar lahan di Kecamatan Gebang akan menghasilkan 2,734 ton beras tiap masa panen atau di bawah rata-rata produksi beras nasional yakni 2,752 ton/Ha.


(22)

2. Pola Konsumsi dan Kebutuhan Beras di Kecamatan Gebang

Sangat tidak bisa disangkal bahwa semakin bertambah jumlah penduduk semakin bertambah pula kebutuhannya akan barang dan jasa, sesuai dengan teori Malthus mengenai pertumbuhan populasi yang mengikuti deret ukur dan pertumbuhan pangan yang sesuai dengan deret hitung, sampai sekarang dibeberapa wilayah tertentu masih dapat terterapkan dengan nyata.

Terkait masalah konsumsi dan kebutuhan pangan beras di suatu wilayah, maka selain tingkat konsumsi per kapitanya, jumlah atau kuantitas penduduk menjadi indikator yang sangat menentukan berapa jumlah atau kuantitas pangan yang dibutuhkan dan yang dikonsumsi termasuk pangan beras di Kecamatan Gebang.

Tabel 15: Perkembangan Jumlah Penduduk Serta Konsumsi dan Kebutuhan Beras Penduduk Kecamatan Gebang Tahun 2000-2010

No. Tahun Jumlah Penduduk (jiwa) Kebutuhan Beras (Ton)

1 2000 52.663 6.656,603

2 2001 54.322 6.866,301

3 2002 54.424 6.879,194

4 2003 57.829 7.309,586

5 2004 58.489 7.393,010

6 2005 59.413 7.509,803

7 2006 62.071 7.845,774

8 2007 62.905 8.177,650

9 2008 63.830 8.297,900

10 2009 64.764 8.419,320

11 2010 56.456 7.339,280

Sumber: Data primer diolah,2000-2010

Data pada tabel 15, tampak bahwa jumlah penduduk Kecamatan Gebang mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Namun karena berkurangnya wilayah administratif pada tahun 2010, mengakibatkan berkurang pula jumlah penduduk Gebang. Namun, secara keseluruhan penduduk Gebang mengalami tren peningkatan. Selanjutnya dalam hal konsumsi beras penduduk menurut data instansi, ternyata konsumsi beras penduduk mencapai


(23)

126,4-130 kg/kapita/tahun, yang diakibatkan oleh pola konsumsi masyarakat yang monoton kepada beras, nasi masih diidentikkan dengan beras padi.

Hasil penelitian dari masyarakat sebagai sumber data dan instansi lain didapatkan bahwa pola konsumsi penduduk Kecamatan Gebang sangat bergantung pada beras. Nasi beras dari padi dianggap sebagai makanan pokok yang tak tergantikan. Program diversifikasi pangan di Kecamatan Gebang dapat dikatakan gagal, dikarenakan nasi ubi dan nasi jagung tidak dikonsumsi lagi oleh penduduk. Masyarakat menganggap nasi ubi dan nasi jagung adalah nasi yang tidak pantas lagi dikonsumsi pada zaman kemerdekaan sekarang. Persepsi masyarakat terhadap nasi ubi dan nasi jagung bukan pada letak keragaman penghasil karbohidrat tetapi pada sisi sosial yang salah.

3. Kemampuan Swasembada Beras Kecamatan Gebang

Berdasarkan hasil penelitian, kondisi Kecamatan Gebang pada waktu sepuluh tahun terakhir dalam konteks swasembada, dapat dilihat pada tabel 16 di bawah ini.


(24)

Tabel 16: Perimbangan Produksi dan Konsumsi Beras Kecamatan Gebang Tahun 2000-2010 No Tahun Jlh. Penduduk (jiwa) Konsumsi Beras (Ton) Produksi (Ton) Rasio Perimbangan Ket.

1 2000 52.663 6.656,603 24.840 3,73 Surplus 2 2001 54.322 6.866,301 27.086 3,94 Surplus 3 2002 54.424 6.879,194 16.048 2,33 Surplus 4 2003 57.829 7.309,586 20.721 2,83 Surplus 5 2004 58.489 7.393,010 17.918 2,42 Surplus 6 2005 59.413 7.509,803 20.472 2,73 Surplus 7 2006 62.071 7.845,774 21.672 2,76 Surplus 8 2007 62.905 8.177,650 18.500 2,26 Surplus 9 2008 63.830 8.297,900 24.760 2,98 Surplus 10 2009- 64.764 8.419,320 25.624 3,04 Surplus 11 2010 56.456 7.339,280 23.683 3,23 Surplus Sumber: Data primer Diolah,2000-2010

Dari tabel 16, dapat dilihat bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir (2000-2010) Kecamatan Gebang merupakan Kecamatan yang tidak hanya swasembada, tetapi lebih dari itu ternyata mengalami surplus ketersediaan beras jika dilihat pada rasio ketersediaannya. Namun, jika diperhatikan secara seksama, selain rasio yang fluktuatif, dari tahun 2000 hingga 2010 ternyata rasio ketersediaan mengalami tren penurunan sebesar 13,4%.

B. Pembahasan

1. Hasil Produksi Beras Berdasarkan Pengelolaan Faktor Produksi

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa hasil produksi beras merupakan hasil produksi dari tanaman pangan beras yang dihasilkan oleh pertanian padi yang ada di Kecamatan Gebang. Produksi tidak lain merupakan hasil akhir atau keluaran (output) dari sebuah proses pemasukan (input) yang menghasilkan suatu barang.

Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (tahun 2000-2010) produksi beras di Kecamatan Gebang cenderung berfluktuasi. Naik turunnya jumlah produksi ini tidak lain merupakan dampak dari naik turunnya produksi padi di kalangan petani lokal. Fluktuatifnya


(25)

jumlah produksi padi petani juga sangat terkait dengan fluktuatifnya luas lahan panen dan produktifitas tanaman padi tersebut sebagai hasil dari pengelolaan yang dilakukan petani. Tercatat dari hasil penelitian jumlah atau kuantitas produksi beras di Kecamatan Gebang sangat berfluktuasi, produksi beras tertinggi berada pada tahun 2001, dan terendah pada tahun 2002. Namun pada selanjutnya mengalami peningkatan pada tahun 2003, 2005, 2006 lalu turun kembali pada tahun 2007, kemudian meningkat lagi pada 2008 dan 2009 sampai pada akhirnya 2010 mengalami trend penurunan kembali. Begitu juga dengan luas panen dan produktifitas rata-rata di Kecamatan Gebang, sangat memiliki keterkaitan dalam menentukan jumlah produksi beras di Gebang. Penurunan drastis yang terjadi pada rentang tahun 2000-2001 pada luas panen di Kecamatan Gebang lebih diakibatkan oleh terjadinya alihfungsi lahan sawah untuk pertanian padi ke lahan perkebunan kelapa sawit yang terjadi secara besar-besaran. Memasuki medio tahun 2002 sudah banyak terjadi konversi lahan sawah ke perkebunan kelapa sawit dikarenakan oleh masalah profit atau keuntungan yang dirasakan petani sangat minim jika mengolah padi dibandingkan dengan kelapa sawit. Pada tahun-tahun berikutnya terjadi peningkatan luas panen dikarenakan adanya pembukaan lahan tanam baru untuk lahan pertanian padi.

Untuk meningkatkan produksi dapat dilakukan dengan cara menambah jumlah salah satu dari input yang digunakan dan menambah beberapa input atau lebih dari input yang digunakan (Soekartawi, dalam Triyanto, 2006). Oleh karena itu, sebagai langkah awal untuk mencapai peningkatan produksi beras di Kecamatan Gebang, seyogyanya Kecamatan Gebang menambah beberapa input pada pertanian penghasil beras, misalnya penambahan luas lahan sawah untuk meningkatkan luas panen, meningkatkan modal dan menigkatkan penggunaan teknologi pertanian untuk mendukung peningkatan produktifitas.

Dengan frekuensi tanam sebanyak 2 kali dalam 1 tahun dan rata-rata lahan garapan 0,58 hektar tiap petani, didapatkan hasil rata-rata produksi (produktifitas) padi sebanyak 5,06


(26)

ton/hektar pada masa tanam pertama dan 5,07 ton/hektar pada masa tanam kedua sehingga dirata-ratakan produksi tanaman pangan beras mencapai 5.065 ton/hektar. Jika dikonversikan ke beras, maka tiap hektar lahan panen di Kecamatan Gebang akan menghasilkan 2,734 ton beras tiap masa tanam. Hal ini menunjukkan bahwa produksi padi dan beras di Kecamatan Gebang sudah cukup tinggi, namun masalah nasional tetap merambat dalam ranah pertanian lokal, yakni masih tetap kecilnya luas lahan garapan rata-rata petani yang masih sangat kecil dibandingkan dengan luas lahan garapan petani di negara-negara seperti India dan Thailand yang umumnya memiliki luas lahan garapan yang cenderung lebih luas begitu juga dengan hasil produksi dan produktifitasnya.

a. Tenaga Kerja

Tenaga kerja yang melakukan kegiatan pertanian pertanian tanaman pangan beras (padi) di Kecamatan Gebang, melalui penelitian yang di lakukan terhadap sampel penelitian yang berjumlah 98 jiwa petani, didapatkan hasil sebagai berikut:

1. Petani yang melakukan pertanian di bidang pertanian tanaman pangan beras (padi) berada pada rentang usia 23-80 tahun, hal ini berarti usia termuda angkatan kerja yang berkerja pada bidang pertanian tanaman pangan beras (padi) adalah dengan usia 23 tahun, dan yang tertua 80 tahun.

2. Dari sisi curahan tenaga kerja berdasarkan jenis kelamin, kegiatan pertanian masih didominasi oleh laki-laki dengan persentase mencapai 73,47% dan 26,53% sisanya adalah petani perempuan. Untuk beberapa jenis pekerjaan seperti membajak tanah, mananam, dan memanen hasil (mengarit), curahan tenaga kerja yang digunakan adalah curahan tenaga kerja diluar keluarga penggarap, setidaknya dibutuhkan 6-8 orang tiap hektar mulai dari membajak dan merumput, menanam, merawat, dan memanen hasil. Setidaknya 46,44% dari biaya total produksi digunakan untuk biaya curahan tenaga kerja diluar keluarga dan 53,56% sisanya untuk membeli bibit, pupuk, pestisida, dan herbisida.


(27)

3. Dari jenjang pendidikan, reponden yang memiliki pendidikan SD sederajat berjumlah 48% dari total populasi, 19% memiliki pendidikan setingkat SMP, 25,5% memmiliki pendidikan SMA sederajat, 5% berpendidikan D1 sampai S1, sedangkan sisanya 2.5% tidak pernah menempuh jenjang pendidikan apapun.

4. Pengalaman bertani para petani berkisar dari 2-67 tahun, jika dirata-ratakan pengalaman bertani para petani sekitar 18 tahun tiap orang.

b. Lahan/Tanah

Dari hasil penelitian dengan teknik komunikasi langsung yang melibatkan 98 orang responden yaitu petani yang melakukan kegiatan bertani padi, diketahui bahwa lahan yang diolah untuk melakukan pertanian tanaman padi memiliki luas dan pengelolaan tertentu yang sangat bervariasi, yakni sebagai berikut:

1. Masing-masing petani memiliki luas lahan garapan pertanian tanaman pangan beras (padi) yang berbeda-beda, yang paling sedikit memiliki luas lahan garapan hanya seluas 0,08 Ha, dan yang paling banyak memiliki luas garapan seluas 4 Ha.

2. Rata-rata luas lahan garapan petani pertanian tanaman pangan beras (padi) di Kecamatan Gebang hanya mencapai 0.581 hektar atau sekitar 14.5 rantai dalam satuan luas yang umum digunakan penduduk.

3. 30% dari lahan garapan petani berstatus sewaan, sedangkan 70% lainnya merupakan lahan garapan milik petani sendiri.

4. Rata-rata tanah atau lahan garapan petani diolah sebanyak 1 sampai 2 kali dalam setiap masa tanam, atau lebih jelasnya sebanyak 89% petani melakukan pengolahan tanah sebanyak 2 kali tiap masa tanam, dan 11% melakukannya hanya dengan frekuensi 1 kali tiap masa tanam.

5. Seluruh petani mengolah tanah dengan menggunakan jetor untuk seluruh lahan dengan jetor dengan frekuensi penggunaan jetor kali sekitar 11,22% dan 88,78% sisanya


(28)

frekuensi pemakaian sebanyak 2 kali. Sedangkan untuk pengolahan menggunakan cangkul untuk mengolah tanah dan tapak semaian sebanyak 56,12% melakkukan pencangkulan sebanyak sekali dan sisanya 43,88% sebanyak 2 kali.

c. Modal

Modal merupakan faktor yang sangat penting dalam melakukan suatu kegiatan usaha, dan tidak terkecuali usaha pertanian tanaman pangan beras (padi) yang memerlukan modal material untuk pengadaan saprodi (sarana dan alat produksi padi) dan untuk pengelolaan lahan maupun tanaman. Dari hasil penelitian yang melibatkan 98 orang responden, didapati modal yang dikeluarkan untuk pertanian padi oleh petani sebagai berikut;

1. Modal untuk bibit, dari sekitar 4296 kg bibit yang ditaburkan oleh seluruh reponden di atas lahan garapan yang totalnya 56.94 Ha, keseluruhannya menelan biaya mencapai Rp 33.507.000,- yang berarti untuk tiap kilogram bibit yang dipakai memiliki harga sekitar Rp 7800/Kg dan jika dirata-ratakan tiap hektar lahan garapan memerlukan modal sekitar Rp 588.500,- untuk penyediaan bibitnya.

2. Modal untuk Pupuk, dengan rata luas garapan mencapai 0,58 Ha tiap petani, rata-rata petani menghabiskan Rp 581.400,- untuk penyediaan pupuk.

3. Untuk pestisida, para petani bisa menghabiskan modal dari Rp 10.000,- hingga Rp 300.000,-. Namun jika dirata-ratakan, tiap orang petani menghabiskan modal sekitar Rp 154.900/Ha untuk menyediakan pestisida. Sementara untuk herbisida sendiri, para petani mengeluarkan modal rata-rata Rp 164.400/Ha untuk menyediakan herbisida.

4. Petani pada umumnya mengolah tanah dengan mesin jetor hingga tanah siap untuk ditanami tanaman pangan penghasil beras (padi), pada umumnya modal yang disiapkan oleh petani adalah rata-rata Rp 30.000,-/Rantai atau dibutuhkan modal untuk membajak tanah sekitar Rp 750.000,-/Ha, begitu juga dengan upah tanam padi, umumya petani tidak menanam sendiri melainkan mengupahkan dengan buruh tanah yakni sebesar Rp


(29)

30.000.00,-/rantai atau modal yang dibutuhkan untuk menanam padi pada lahan seluas 1 Ha adalah sebesar Rp 750.000. Hampir sama dengan kedua jenis pengeluaran tersebut, untuk memanen hasil padi juga dikeluarkan biaya sekitar Rp 750.000,00/Ha panen,-, 5. Untuk petani yang menyewa lahan/tanah garapan biasanya dikenakan bayaran tidak

hanya berbentuk unag, tetapi umumnya dalam bentuk gabah kering, untuk modal sewa dibutuhkan 3 kaleng padi (setara 30 kg padi) yang jika dirupiahkan menjadi sekitar 80.000-90.000, maka modal untuk sewa tanah/lahan berkisar antara Rp 2-2,25 juta/Ha. 6. Total biaya yang dikeluarkan untuk tiap hektar lahan pertanian padi di kecamatan Gebang

mulai dari mengolah tanah, menanam, merawat, hingga panen rata-rata Rp 4.220.570,00/Ha.

d. Teknologi

Dalam penelitian ini, teknologi merupakan teknik atau cara petani dalam mengelola pertanian tanaman pangan beras (padi) meliputi pemilihan bibit, pemupukan, pemberantasan hama dan gulma, masa tanam, dan pengairan.

1. Dalam pemilihan bibit, seluruh bibit yang ditanam oleh petani adalah bibit unggul yang 59% bibit yang digunakan tersebut adalah bibit jenis Ciherang, 26% bibit jenis Mekongga, 10% jenis Invari 13, dan 5% lainnya dari jenis bibit padi unggul lain. Rata-rata bibit yang ditabur sebanyak 75 kg/Ha dan 99% memakai sistem tanam tanam pindah (tapin).

2. Untuk pemupukan yang dilakukan oleh Petani, jenis pupuk yang umumnya dipakai adalah pupuk jenis Urea, NPK jenis Phonska dan Mutiara, TSP, SP, ZA dan KCL. Sebagian besar petani melakukan pemupukan yang tidak begitu sesuai dengan takaran seharusnya. Selain itu pemupukan dilakukan 2 sampai 3 tahap.

3. Hama yang sering menyerang padi petani adalah hama tikus, walangsangit, ulat, wereng dan penggerek, keong mas, dan hama cekik leher. Semua petani menggunakan insektisida


(30)

untuk memberantas hama insek. Untuk hama gulma, seluruh petani melakukan penyemprotan pada saat persiapan tanam dan pada saat setelah tanam dengan herbisida berbagai jenis dan merk.

4. Dalam hal masa tanam, petani padi masih melakukan dengan frekuensi tanam 2 kali dalam 1 tahun.

5. Pengairan untuk pertanian umumnya 100% masih mengandalkan hujan (tadah hujan), namun sebagian kecil atau sekitar 7% juga mendapat aliran air pasang surut sungai karena berada di tepian sungai. Untuk kecukupan ketersediaan air sendiri, 17% petani mengaku air yang didapatkan cukup untuk pertanian dan 83% sisanya mengaku kurang atau belum cukup. Diantara 83% petani yang mengalami ketidakcukupan air, 31% diantaranya melakukan usaha pemompaan air dan 69% lainnya tidak melakukan usaha apa-apa.

e. Tenaga Kerja

Dalam ilmu ekonomi, yang dimaksud tenaga kerja adalah suatu alat kekuatan fisik dan kekuatan manusia, yang tidak dapat dipisahkan dari manusia dan ditujukan pada usaha produksi. Tenaga kerja manusia yang tidak ditujukan pada suatu usaha produksi, misalnya sport, disebut langkah bebas (vrije actie). Tenaga kerja ternak atau traktor bukan termasuk faktor tenaga kerja, tetapi masuk kepada modal yang menggantikan tenaga kerja. Penggunaan tenaga kerja dapat dinyatakan sebagai curahan tenaga kerja. Curahan tenaga kerja adalah besarnya tenaga kerja efektif yang dipakai (Evaliza, 2005). Menurut beberapa pakar ekonomi pertanian, tenaga kerja (man power) adalah penduduk yang berada dalam usia kerja, yaitu penduduk yang berada pada rentang umur antara 15-64 tahun (Daniel, 2004).

Dalam konteks pertanian tanaman pangan di Kecamatan Gebang, tenaga kerja yang dimaksud adalah penduduk yang melakukan kegiatan pertanian atau yang lebih dikenal denga


(31)

petani padi. Petani merupakan faktor yang sangat vital dalam menentukan arah dan hasil akhir dalam pertanian, termasuk produksinya. Semakin baik kualitas sumberdaya manusia petani maka makin baik pula penngelolaan pertaniannya, semakin baik pengelolaan pertaniannya maka makin baik pula hasil pertaniannya. Dari sisi curahan tenaga kerja berdasarkan jenis kelamin, kegiatan pertanian masih didominasi oleh laki-laki dengan persentase mencapai 73,47% dan 26,53% sisanya adalah petani perempuan. Untuk beberapa jenis pekerjaan seperti membajak tanah, mananam, dan memanen hasil (mengarit), curahan tenaga kerja yang digunakan adalah curahan tenaga kerja diluar keluarga penggarap, setidaknya dibutuhkan 6-8 orang tiap hektar mulai dari membajak dan merumput, menanam, merawat, dan memanen hasil. Setidaknya 46,44% dari biaya total produksi digunakan untuk biaya curahan tenaga kerja diluar keluarga dan 53,56% sisanya untuk membeli bibit, pupuk, pestisida, dan herbisida.

Hal yang pertama dilihat dari produktif atau tidaknya seorang tenaga kerja (petani) adalah dari sisi umur. Daniel (2004) mengungkapkan umur yang ditetapkan untuk seseorang dikatakan pada jenjang usia produktif atau tidak berkisar antara 15-64 tahun. Di Kecamatan gebang ada sekitar 7 % petani dengan rentang usia yang sudah tidak produktif serta 15% petani akan menjadi petani dengan usia tidak produksi dalam kurun waktu 10 tahun mendatang. Hal yang perlu diketahui dalam hal ini adalah bukan bagaimana agar para petani itu bisa mengerjakan pertanian untuk menghasilkan beras dengan usianya, namun yang paling esensial adalah bagaimana melakukan regenerasi untuk melanjutkan kegiatan pertanian padi penghasil beras pada waktu ini dan untuk beberapa puluh tahun mendatang karena kebutuhan akan beras tidak hanya harus dipenuhi untuk saat ini tetapi juga untuk masa-masa mendatang dan oleh karenanya ketersediaan/regenerasi petani yang mampu melakukan kegiatan pertanian yang menghasilkan beras juga wajib diadakan untuk saat ini dan pada waktu-waktu mendatang. Kecenderungan anak muda pada saat sekarang untuk terjun dalam usaha


(32)

pertanian masih sangat minim sehingga besar tantangannya untuk dapat melakukan produksi pertanian yang optimal di masa mendatang

.

f.Lahan/Tanah

Lahan merupakan faktor yang sangat penting dan sangat vital fungsinya dalam produksi pertanian, khususnya pertanian tanaman pangan. Mustopa (2011) menyebutkan bahwa tanah sebagai lahan pertanian merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting perannya dalam pertanian jika dibandingkan dengan faktor produksi yang lain. Jika tidak ada lahan, maka tidak akan ada pertanian. Hal ini dikarenakan lahan tersebut merupakan tempat dimana pertanian tersebut dapat berjalan.

Kecamatan Gebang kian waktu kian memiliki lahan pertanian sawah yang mengalami stagnasi bahkan mengalami penyusutan sehingga akan berpengaruh pada stagnasi atau penyusutan luas panen dan hasil panen sehingga pada akhirnya akan mengalami penyusutan ketersediaan produksi beras. ditambah lagi dengan luas garapan rata-rata yang cenderung relatif semakinl kecil. Kecenderungan pengalihfungsian lahan swah ke lahan non sawah akan semakin besar di Kecamatan Gebang tatkala 30% lahan merupakan lahan sewaan. Lahan sewaan ini sangat berpotensi besar untuk dijual oleh pemiliknya, dengan demikian semakin terbuka peluang untuk lahan tersebut dibeli dan diolah untuk keperluan di luar keperluan pertanian. Apabila hal ini terjadi, maka kemungkinan penurunan luas panen dan hasil produksi di masa yang akan datang semakin tidak terelakkan lagi.

Memang tidak bisa disangkal selain faktor tanaman dan fisik lahan, faktor alihfungsi lahan sangat kuat pengaruhnya terhadap luas lahan panen. Di Kecamatan Gebang masih terdapat alihfungsi lahan pertanian ke arah non pertanian seperti perkebunan dan perumahan. Karena yang paling menentukan kuantitas produksi selain luas sawah adalah luas panen. Luas


(33)

panenlah yang akan menentukan berapa besar produksi beras di suatu daerah. Karena luas panen di Kecamatan Gebang cenderung berfluktuasi bahkan menurun, maka pada hasil proyeksi juga tampak luas lahan panen yang berfluktuasi dengan tendensi menurun tiap tahun sepanjang tahun 2011-2020. Pada hasil proyeksi dengan menggunakan persamaan regresi linier sederhana didapatkan hasil luas lahan panen di Kecamatan Gebang semakin tahun semakin mengalami penyusutan hingga 95,2 ha per tahunnya. Dengan berkaca pada hasil tahun 2000-2010, didapatkanlah luas panen pada tahun 2011 hingga 2020 secara berturut-turut, yakni 7.064,40 Ha, 6.969,20 ha, 6.874,00 Ha, 6.778,80 Ha, 6.683,60 Ha, 6.588,40 Ha, 6.493,20 Ha, 6.398,00 Ha, 6.302,80 Ha, dan 6.207,60 Ha. Rata-rata tiap tahun Gebang memiliki 6.638 Ha luas panen padi sawah. Dengan produksi rata-rata beras sebesar 2,734 ton per hektar, maka produksi beras Kecamatan Gebang pada tahun 2011 hingga tahun 2020 secara berturut-turut, yakni 19.314,070 ton, 19.053,793 ton, 18.793,516 ton, 18.535,951 ton, 18.272,962 ton, 18.012,686 ton, 17.752,409 ton, 17.492,132 ton, 17.231,855 ton, dan 16.971,578 ton.

Jumlah produksi beras tiap hektar yang digunakan untuk perhitungan adalah jumlah produksi rata-rata, yakni 2,734 ton/Ha luas panen. Jadi, berdasarkan proyeksi luas lahan panen dengan analisis regresi liner sederhana yang dilakukan jelas bahwa luas lahan panen tanaman pangan beras di Kecamatan Gebang mengalami penurunan atau pengurangan karena pengaruh negatif dari alihfungsi lahan yang masih kerap terjadi. Hal ini boleh jadi disebabkan oleh luas lahan sawah yang ada juga mengalami penyusutan sehingga berpengaruh pada luas panen padi. Seperti diketahui bahwa luas panen akan sangat berpengaruh terhadap jumlah produksi suatu daerah, maka apabila luas panen Kecamatan Gebang berkurang secara otomatis di masa yang akan datang yakni hingga tahun 2020 akan terjadi penyusutan produksi beras di Kecamatan Gebang terus terjadi sebesar 12,13% sampai pada tahun 2020 atau tiap tahun selama kurun waktu 2011 hingga 2020 tejadi penurunan produksi sebanyak


(34)

1,213% per tahun. Pada grafik di bawah juga dapat dilihat bahwa berkurangnya luas panen linier terhadap hasil produksi padi dan beras. Dalam usaha tani misalnya pemilikan atau penguasaan lahan sempit sudah pasti kurang efisien dibanding lahan yang lebih luas (Daniel, 2004). Kasus yang terjadi pada Kecamatan Gebang merupakan kasus yang harus mendapatkan perhatian, terkait dengan lahan sebagai objek vital untuk memproduksi padi sebagai penghasil utama beras yang digunakan oleh penduduk untuk dikonsumsi. Jika terus terjadi pengalihfungsian lahan dan penyusutan luas lahan terutama luas panen, maka pertanian akan kurang efisien dan produksi beras juga tidak akan efisien untuk dapat mendukung konsumsi dan mencapai swasembada.

a. Modal

Modal merupakan faktor yang sangat penting dalam melakukan suatu kegiatan usaha, dan tidak terkecuali usaha pertanian tanaman pangan beras (padi) yang memerlukan modal material untuk pengadaan saprodi (sarana dan alat produksi padi) dan untuk pengelolaan lahan maupun tanaman. Daniel (2004) menjelaskan dalam pertanian dikenal ada dua jenis modal, yakni modal fisik dan modal manusiawi. Modal fisik atau modal material, yaitu berupa alat-alat pertanian bibit, pupuk, ternak, dan lain-lain. Sedangkan modal manusiawi adalah biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan, latihan, kesehatan, dan lain-lain. Modal manusiawi dampaknya tidak kelihatan atau tidak berdampak langsung, dampaknya akan kelihatan pada masa yang akan datang dengan meningkatnya kualitas dan produktifitas sumberdaya manusia pengelolanya.

Petani di Kecamatan Gebang umumnya mengeluarkan seluruh modal dengan biaya sendiri. Sebagian besar modal fisik yang dikeluarkan oleh petani adalah modal untuk bibit, modal untuk pupuk, utuk pestisida, mengolah tanah dengan mesin jetor hingga tanah siap untuk ditanami tanaman pangan penghasil beras (padi), dan modal untuk upah tanam padi. Selain itu, untuk petani yang menyewa lahan/tanah garapan biasanya dikenakan bayaran tidak


(35)

hanya berbentuk uang, tetapi umumnya dalam bentuk Gabah Kering, untuk modal sewa dibutuhkan 3 kaleng.

Modal yang diperlukan untuk biaya produksi umumnya cenderung tinggi. Dengan modal-modal yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dikatakan modal adalah faktor penggerak usahatani yang akan menentuka besarnya produksi. Triyanto (2006) menyatakan bahwa sekitar 70% petani adalah miskin. Sama halnya seperti Kecamatan Gebang, banyak petani yang mengeluhkan minimnya modal untuk melakukan kegiatan pertanian tanaman pangan beras (padi) sehingga tidak sedikit yang membeli pupuk dan keperluan produksi seadanya sehingga berpengaruh terhadap hasil produksi yang didapatkan. Ketersediaan modal yang terbatas akan membuka peluang untuk memperkecil input dalam malakukan kegiatan produksi, padahal seyogyanya dalam peningkatan produksi dibutuhkan penambahan input

sehingga yang terjadi adalah menurunnya hasil karena berkurangnya input sebagai konsekuensi logis dari kekurangan modal oleh petani. Jika modal sebagai input penting produksi kurang, maka berkurangnya hasil produksi beras di masa mendatang adalah mutlak. b. Teknologi

Dalam proses produksi pertanian dalam rangka mempersiapkan ketersediaan bahan pangan untuk kebutuhan penduduk, masing-masing komoditas pertanian tersebut membutuhkan faktor produksi sesuai dengan sifat genetiknya. Misalnya untuk usaha tanaman padi seluas satu hektar, supaya produksi maksimum bisa dicapai maka masukan yang diberikan (modal) seperti jumlah bibit, pupuk, dan obat-obatan harus sesuai dengan keinginan. Tidak hanya itu, cara pemberian, waktu pemberian, dan dosis atau takaran tiap pemberian juga harus tepat. Semuanya itu ditambah dengan pemilihan bibit, penyemaian, pengolahan tanah, penyiangan, pemupukan, dan lain-lainnya yang lebih lazim disebut dengan teknologi. Dengan kata lain teknologi dalam pertanian merupakan cara-cara atau teknik dalam pengelolaan faktor produksi untuk menghasilkan hasil yang maksimal (Daniel, 2004).


(36)

Dalam penelitian ini, teknologi merupakan teknik atau cara petani dalam mengelola pertanian tanaman pangan beras (padi) meliputi pemilihan bibit, pemupukan, pemberantasan hama dan gulma, masa tanam, dan pengairan.

Banyak atau tidaknya produksi yang dihasilkan tanaman sebagian besar tergantung dari varietas yang ditanam (Sembiring, 2006). Petani di Kecamatan Gebang umumnya sudah malakukan pemilihan bibit yang unggul, penanaman bibit lokal tidak lagi dilakukan. Ekspektasi petani terhadap hasil dan jangka waktu panen ternyata sudah sangat diperhitungkan oleh sebagian besar petani di Kecamatan Gebang. Petani sudah memiliki orientasi peningkatan hasil panen dengan menanam bibit unggul walaupun dalam satu sisi terkendala masalah modal. Tetapi usaha petani setidaknya telah membantu meningkatkan produksi beras lokal dengan menanam bibit unggul yang berkualitas tinggi.

Selain pemilihan varietas unggul, bibit varietas unggul tersebut agar dapat menghasilkan produksi yang maksimal harus dilakukan perawatan dan pemupukan yang tepat. Penggunaan pupuk yang tepat sangat berpengaruh pada produksi, ketepatan dalam memilih jenis pupuk saat pemupukan dan jumlah kebutuhan pokok dalam melakukan budidaya padi dapat menjadi tolok ukur keberhasilan peningkatan produksi. Pemupukan yang merata, intensif serta berimbang merupakan langkah yang tepat. Adapun tujuan pemupukan adalah untuk melengkapi makanan atau hara tumbuhan. Namun, pemupukan yang dilakukan petani di Kecamatan Gebang tidak semuanya sesuai dengan aturan dan takaran karena masalah yang lagi-lagi berputar pada kendala modal yang kurang untuk penyediaan pupuk yang sesuai dengan dosis yang telah ditetapkan. Selain itu masalah hama juga menjadi momok yang menakutkan bagi petani dalam usaha peningkatan produksi tanaman pangan beras, meskipun demikian, seluruh petani telah melakukan upaya untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan hama dengan melakukan penyemprotan pestisida dan herbisida penggagu tanaman. Penyemrotan herbisida dan pestisida yang dilakukan petani pada


(37)

umumnya telah sesuai dengan anjuran dosis penggunaan meskipun masih ada petani yang juga mengira-ngira takaran.

2. Pola Konsumsi dan Kebutuhan Beras di Kecamatan Gebang

Sangat tidak bisa disangkal bahwa semakin bertambah jumlah penduduk semakin bertambah pula kebutuhannya akan barang dan jasa, sesuai dengan teori Malthus mengenai pertumbuhan populasi yang mengikuti deret ukur dan pertumbuhan pangan yang sesuai dengan deret hitung, sampai sekarang dibeberapa wilayah tertentu masih dapat terterapkan dengan nyata. Terkait masalah konsumsi dan kebutuhan pangan beras di suatu wilayah, maka selain tingkat konsumsi per kapitanya, jumlah atau kuantitas penduduk menjadi indikator yang sangat menentukan berapa jumlah atau kuantitas pangan yang dibutuhkan dan yang dikonsumsi termasuk pangan beras di Kecamatan Gebang.

Penduduk adalah faktor penting dalam perencanaan pembangunan. Berdasarkan proyeksi pada tahun 2011 hingga 2012 jumlah penduduk kecamatan Gebang terus bertambah sekitar 4% per tahun, secara berturut-turut jumlah penduduk dari tahun 2011 hingga 2020, yakni 58996 jiwa, 61.651 jiwa, 64425 jiwa, 67324 jiwa, 70354 jiwa, 73520 jiwa, 76828 jiwa, 80285 jiwa, 83898 jiwa, dan 87673 jiwa. Seiring pertambahan jumlah penduduk, jumlah konsumsi juga bertambah sesuai dengan besaran konsumsi per kapita, dalam hal ini sesuai dengan konsumsi penduduk Gebang. Sesuai dengan pernyataan Tarigan (2010) yang mengatakan bahwa jumlah penduduk adalah faktor utama untuk menentukan banyaknya permintaan bahan konsumsi yang perlu disediakan.

Konsumsi beras penduduk mencapai 130 kg / kapita/tahun atau lebih tinggi 29,6 kg dari Pola Pangan Harapan (PPH) yang dianjurkan. Tingginya konsumsi penduduk terhadap beras diakibatkan oleh pola konsumsi masyarakat yang monoton kepada beras, nasi masih diidentikkan dengan beras padi. Secara umum terjadi peningkatan konsumsi dan kebutuhan terhadap beras. Hal ini tidak lain yang pertama disebabkan oleh pertambahan penduduk


(38)

Gebang yang terjadi tiap tahunnya berdasarkan proyeksi yang telah dilakukan. Namun, selain jumlah penduduk yang mendeterminasi jumlah atau kuantitas konsumsi serta kebutuhan beras, hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah pola konsumsi. Sementara angka kebutuhan beras penduduk yang semestinya atau kebutuhan yang dianjurkan sesuai dengan PPH berdasarkan ketetapan Menteri BAPPENAS untuk mendukung program Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi tahun 2011-2015 dan Lampiran Menteri Pertanian digunakan standar PPH baru untuk kebutuhan padi-padian yakni sebesar 275 gram/kapita/hari atau sebesar 100,4 kg/kapita/tahun. Kebutuhan beras pada tahun 2020 lebih tinggi 2.595,121 ton dari PPH.

3. Kemampuan Swasembada Beras Di Kecamatan Gebang

Swasembada pangan berarti kemampuan untuk mengadakan sendiri kebutuhan pangan dengan bermacam-macam kegiatan yang dapat menghasilkan kebutuhan yang sesuai diperlukan masyarakat Indonesia dengan kemampuan yang dimilki dan pengetahuan lebih yang dapat menjalankan kegiatan ekonomi tersebut terutama di bidang kebutuhan pangan (Ekaputri, 2011). Yogi (2007) menyatakan bahwa swasembada dapat tercapai jika peningkatan produksi beras melebihi konsumsi beras. Jika dikaitkan dengan daerah Kecamatan Gebang dalam konteks ingin mencapai swasembada pangan khususnya beras, maka sesuai dengan defenisi yang ada bahwa Kecamatan Gebang dapat dikatakan swasembada apabila secara umum mampu memenuhi kebutuhan pangan beras penduduk.

Kemampuan swasembada ditentukan oleh perbbandingan produksi dan konsumsi beras penduduk. Komparasi keduanya akan menghasilkan angka indeks rasio perimbangan yang menunjukkan mampu atau tidaknya suatu daerah untuk berswasembada. Pada hasil proyeksi, indeks rasio perimbangan produksi dan konsumsi di Gebang menunjukkan rasio di atas angka 1,14 atau dengan kata lain mengalami surplus. Secara berturut-turut indeks rasio


(39)

perimbangan produksi dan konsumsi di kecamatan Gebang tahun 2011 hingga 2020 sebesar 2,52, 2,38, 2,24, 2,12, 1,99, 1,88, 1,78, 1,68, 1,58, dan 1,49.

Sesuai dengan proyeksi yang dilakukan, tercatat untuk waktu sepuluh tahun yang akan datang, yakni dari tahun 2011 hingga tahun 2020 Kecamatan Gebang masih merupakan Kecamatan yang memiliki rasio ketersediaan beras dengan status surplus. Swasembada ataupun surplusnya wilayah Kecamatan Gebang sesuai dengan isi Lampiran Peraturan Menteri Pertanian No.5 /Permentan/OT.140 /12/2010 mengenai Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota, untuk mengetahui apakah kondisi suatu daerah apakah surplus, swasembada, cukup atau defisit beras digunakan perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan beras yang dirumuskan dalam bentuk rasio perimbangan dengan skor dan klasifikasi, yaitu:

a. Skor 1 : apabila rasio > 1.14 (surplus)

b. Skor 2 : apabila rasio > 1.00 – 1.14 (swasembada) c. Skor 3 : apabila rasio > 0.95 – 1.00 (cukup)

d. Skor 4 : apabila rasio lebih kecil atau sama dengan 0.95 (defisit). (Permentan, 2010). Walaupun Kecamatan gebang pada tahun 2020 masih mampu untuk surplus beras berdasarkan proyeksi yang dilakukan, tetapi langkah untuk mempertahankan kondisi surplus di Kecamatan Gebang amatlah berat. Hal tersebut didasari oleh faktor pengelolaan produksi pertanian tanaman pangan beras memiliki banyak kendala dan memungkinkan memberi pengaruh terhadap kuantitas produksi beras seperti alihfungsi lahan, kekurangan modal, pengairan yang belum optimal, dan pengelolaan lahan dan tanaman yang masih memiliki kekurangan. Selain itu, pola konsumsi penduduk yang sangt monoton untuk makan sehari-hari menjadi suatu hal yang sangat penting diperhatikan oleh Kecamatan Gebang. Tingginya konsumsi beras akan membuat permintaan dimasa mendatang akan semakin tinggi pula sesuai dengan pernyataan Tarigan (2010) yang mengatakan bahwa Jumlah penduduk


(40)

misalnya, adalah faktor utama untuk menentukan banyaknya permintaan bahan konsumsi yang perlu disediakan. Jika hal-hal yang menghambat ini tetap dibiarkan, tidak menutup kemungkinan pada tahun 2030, 2040 dan seterusnya Kecamatan Gebang mengalami defisit ketersediaan beras. Namun, apabila program diversifikasi pangan berjalan baik, dan pemenuhan kebutuhan beras penduduk sesuai dengan Pola Pangan Harapan 2011-2015, maka Gebang akan tetap bisa menjadi wilayah surplus dan swasembada beras di Kabupaten Langkat.


(41)

64

Afrianto, Denny. 2010. Analisis Pengaruh Stok Beras, Luas Panen, Rata-Rata Produksi, Harga Beras, dan Jumlah Konsumsi Beras Terhadap Ketahanan Pangan di Jawa Tengah. Skripsi. Semarang: Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro (Online) diakses pada laman : http://eprints.undip.ac.id/22602/1/Skripsi Denny afrianto.pdf

Ariani, Mewa. 2010. Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Mendukung

Swasembada Beras. Prosiding Pekan Serealia Nasional tahun 2010.

Banten: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten.

Aritonang, Evawany, dkk. 2004. Pola Konsumsi Pangan, Hubungannya Dengan Statys Gizi Dan Prestasi Belajar Pada Pelajar SD Di Daerah Endemik Gaki Desa Kuta Dame Kecamatan Kerajaan Kabupaten Dairi Propinsi Sumatera Utara. Skripsi. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Badan Pusat Statistik. 2011. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi RI Edisi

Maret 2011. Republik Indonesia: Badan Pusat Statistik Nasional.

Badan Pusat Statistik . 2011. Statistik Daerah Langkat. Stabat: BPS Langkat. _________________. Langkat Dalam Angka 2011,2010, 2009, 2008, 2007, 2006,

2005, 2004, 2003, 2002, 2001, 2000. Stabat: BPS Langkat.

_________________________. Gebang Dalam Angka 2011, 2010, 2009, 2008, 2007, 2006, 2005, 2004, 2003, 2002, 2001, 2000. Stabat: BPS Langkat.

Badan Pusat Statistik dan Departemen Pertanian. 2007. Buku Pedoman

Pengumpulan dan Pengolahan Data Tanaman Pangan. Jakarta: BPS dan

Deptan.

BAPPENAS (Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional). 2011. Rencana

Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015. (Online) diunduh pada

laman:

http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=pola%20pangan%20harapan %20menurut%20bps%20pusat%202011&source=web&cd=6&ved=0CD sQFjAF&url=http%3A%2F%2Fwww.bappenas.go.id%2Fget-file-server%2Fnode%2F10655%2F&ei=saVhT5HlBMjQrQenz5yWCA&usg =AFQjCNGic5abh0qnfhGwKAp9xsAft6Yf9A&cad=rja pada tanggal 15 Maret 2013 pukul 15.20 WIB.

Daniel, Moehar. 2004. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: Bumi Aksara. Departemen Pertanian. 2006. Satuan Kegiatan Usaha (SKU) Budidaya Tanaman


(42)

Learning). Jakarta: Pusat Pengembangan Pendidikan Pertanian Badan Pengembangan SDM Pertanian (online). (Diunduh pada laman http://www.deptan.go.id/bpsdm/Webdiktan08/Pusat07/Kurikulum07/SK U_jagung/SKU%20Jagung%20book.pdf pada Tanggal 5 April 2013 pukul 11.27 WIB).

Ekaputri, Yuliana. 2011. Swasembada Pangan. Online: diakses pada laman: http://yuliana-ekaputri.blogspot.com/2011/04/swasembada-pangan.html pada pukul 17.21 WIB.

Hehamahua, Hayati. 2009. Produksi Beras di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan

bisnis Islam. Maluku: Universitas Iqra-Buru.

Hessie, Rethna. 2009. Analisis Produksi dan Konsumsi Beras Dalam Negeri serta Implikasinya Terhadap Swasembada Beras di Indonesia. Skripsi. Bogor: IPB.

Irawan. 2005. Analisis Ketersediaan Beras Nasional: Suatu Kajian Simulasi Pendekatan Sistem Dinamis. (Online) Jurnal Prosiding Multifungsi

Pertanian Balai Penelitian Tanah, Bogor (diakses pada:

http://pdfsb.com/readonline/59464e4465513138563378394358706a5641 3d3d-1298634pada tanggal 31 Januari 2013, pukul 11.16 WIB).

Laba, I Wayan. 2010. Analisis Empiris penggunaan Insektisida Menuju Pertanian Berkelanjutan. Jurnal Pengembangan Inovasi Volume 3, No. 2, Tahun

2010: halaman 120-137. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan

Perkebunan.

Maleha, dkk. 2006. Kajian Konsep Ketahanan Pangan. Jurnal Protein

Vol.13.No.2.Th.2006. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.

Manahanto, dkk. 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi, studi Kasus di Kecamatan Nogosari, Boyolali, Jawa Tengah. Jurnal Wacana

Volume. 12 No.1 Januari 2009 ISSN. 1411-0199. Malang: PPSUB.

Mantra, Ida Bagoes. 2009. Demografi Umum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mubyarto. 1984. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: LP3ES.

Mustopa, Zaenil. 2011. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alihfungsi lahan Pertanian di Kabupaten Demak. Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro.

Notarianto, Dipo. 2011. Analisis Efesiensi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Pada Usahatani Padi Organik dan Padi Anorganik (studi Kasus: Kecamatan Sambirejo, Kabupaten Sragen). Skripsi. Semarang: Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.


(43)

Nurmalina, Rita. 2008. Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan Sistem Ketersediaan Beras Di Beberapa Wilayah Indonesia. Jurnal Agro

Ekonomi (Online), Volume 26 No.1, Mei 2008: halaman 47-79 ( diakses

pada:

http://pdfsb.com/readonline/5a564e416551683058585a3141586c6b-3496946, tanggal 31 Januari 2013 pukul 11.22 WIB).

Peraturan Menteri Pertanian No. 65/Permentan/OT.140/12/2010 Tentang Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota.

________________________ No. 45/Permentan/OT.140/8/2011 Mengenai Tata Hubungan Kerja Antar Kelembagaan Teknis, Penelitian, dan Pengembangan, dan Penyuluhan Pertanian Dalam Mendukung Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN).

Simatupang, Pantjar. 2007. Analisis Kritis Terhadap Paradigma dan Kerangka Dasar Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional. Bogor: Prosiding Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.

Suhari, Iswadi. 2011. Konversi Gabah Menjadi Beras 62,74 Persen, Tahukah

Anda Darimana Angka Itu Berasal?. (Online) Artikel Kompas. Diakses

pada laman :

http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2011/09/08/konversi-gabah-menjadi-beras-6274-persen-tahukah-anda-darimana-angka-itu-berasal/) pada tanggal 25 Februari 2013 pukul 13.38 WIB.

Sumaryanto. 2009. Diversifikasi Sebagai Salah Satu Pilar Ketahanan Pangan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Jakarta: Makalah disajikan dalam Memperingati Hari Pangan Sedunia tanggal 1

Oktober 2009 (online), diakses pada laman:

http:pdfsb.com/readonline/5a6c424364514630583331374148706d56413 d3d-3694626 pada pukul 11.50 WIB.

Sumodiningrat, Gunawan. 2001. Menuju Swasembada Pangan, Revolusi Hijau II:

Introduksi Manajemen Dalam Pertanian. Jakarta: RBI.

Suparyono, dkk. 1997. Padi. Jakarta: Penebar Swadaya.

Tarigan, Robinson. 2010. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Bumi Aksara.

Taufiq. 2007. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Konsumsi Pangan

Masyarakat di Kabupaten Tuban. Surabaya: Fak. Ekonomi UPN

“Veteran” (Online). Diakses pada laman:

http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/5307379384.pdf. Tanggal 17 Maret Pada Pukul 12.12 WIB.


(44)

Triyanto, Joko. 2006. Analisis Produksi Padi Di Jawa Tengah. Tesis. Semarang: Pasca Sarjana Program Studi Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Diponegoro Semarang.(online) Diakses pada:http://pdfsb.com/readonline/594646486541463957484a364448356a 56413d3d-3434435 (31 januari 2013, pukul 09.51 WIB).

Yogi. 2007. Harga Beras dan Dampaknya Pada Swasembada Beras. Jurnal Ekono

Insentif Kopwil4 (online), Vol. 2 No. 1, April 2007. Diakses pada laman:

http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=jurnal%20swasembada%20b eras&source=web&cd=25&ved=0CDgQFjAEOBQ&url=http%3A%2F%

2Fisjd.pdii.lipi.go.id%2Fadmin%2Fjurnal%2F21071923_1907-0640.pdf&ei=bKdpT6nBJLG5iAeVgbXDCg&usg=AFQjCNHC_Y5SFD FiVqRDyVfeDUOszLUzbA&cad=rja pada pukul 17.05 WIB.

http://www.antarasumut.com/berita-sumut/Kecamatan-gebang-sumut-tanam-4-229-hektare-padi/ (diakses pada tanggal 2 Februari 2013 pukul 13.25 WIB).


(1)

perimbangan produksi dan konsumsi di kecamatan Gebang tahun 2011 hingga 2020 sebesar 2,52, 2,38, 2,24, 2,12, 1,99, 1,88, 1,78, 1,68, 1,58, dan 1,49.

Sesuai dengan proyeksi yang dilakukan, tercatat untuk waktu sepuluh tahun yang akan datang, yakni dari tahun 2011 hingga tahun 2020 Kecamatan Gebang masih merupakan Kecamatan yang memiliki rasio ketersediaan beras dengan status surplus. Swasembada ataupun surplusnya wilayah Kecamatan Gebang sesuai dengan isi Lampiran Peraturan Menteri Pertanian No.5 /Permentan/OT.140 /12/2010 mengenai Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota, untuk mengetahui apakah kondisi suatu daerah apakah surplus, swasembada, cukup atau defisit beras digunakan perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan beras yang dirumuskan dalam bentuk rasio perimbangan dengan skor dan klasifikasi, yaitu:

a. Skor 1 : apabila rasio > 1.14 (surplus)

b. Skor 2 : apabila rasio > 1.00 – 1.14 (swasembada) c. Skor 3 : apabila rasio > 0.95 – 1.00 (cukup)

d. Skor 4 : apabila rasio lebih kecil atau sama dengan 0.95 (defisit). (Permentan, 2010). Walaupun Kecamatan gebang pada tahun 2020 masih mampu untuk surplus beras berdasarkan proyeksi yang dilakukan, tetapi langkah untuk mempertahankan kondisi surplus di Kecamatan Gebang amatlah berat. Hal tersebut didasari oleh faktor pengelolaan produksi pertanian tanaman pangan beras memiliki banyak kendala dan memungkinkan memberi pengaruh terhadap kuantitas produksi beras seperti alihfungsi lahan, kekurangan modal, pengairan yang belum optimal, dan pengelolaan lahan dan tanaman yang masih memiliki kekurangan. Selain itu, pola konsumsi penduduk yang sangt monoton untuk makan sehari-hari menjadi suatu hal yang sangat penting diperhatikan oleh Kecamatan Gebang. Tingginya konsumsi beras akan membuat permintaan dimasa mendatang akan semakin tinggi pula sesuai dengan pernyataan Tarigan (2010) yang mengatakan bahwa Jumlah penduduk


(2)

60

misalnya, adalah faktor utama untuk menentukan banyaknya permintaan bahan konsumsi yang perlu disediakan. Jika hal-hal yang menghambat ini tetap dibiarkan, tidak menutup kemungkinan pada tahun 2030, 2040 dan seterusnya Kecamatan Gebang mengalami defisit ketersediaan beras. Namun, apabila program diversifikasi pangan berjalan baik, dan pemenuhan kebutuhan beras penduduk sesuai dengan Pola Pangan Harapan 2011-2015, maka Gebang akan tetap bisa menjadi wilayah surplus dan swasembada beras di Kabupaten Langkat.


(3)

64

Afrianto, Denny. 2010. Analisis Pengaruh Stok Beras, Luas Panen, Rata-Rata Produksi, Harga Beras, dan Jumlah Konsumsi Beras Terhadap Ketahanan Pangan di Jawa Tengah. Skripsi. Semarang: Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro (Online) diakses pada laman : http://eprints.undip.ac.id/22602/1/Skripsi Denny afrianto.pdf

Ariani, Mewa. 2010. Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Mendukung Swasembada Beras. Prosiding Pekan Serealia Nasional tahun 2010. Banten: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten.

Aritonang, Evawany, dkk. 2004. Pola Konsumsi Pangan, Hubungannya Dengan Statys Gizi Dan Prestasi Belajar Pada Pelajar SD Di Daerah Endemik Gaki Desa Kuta Dame Kecamatan Kerajaan Kabupaten Dairi Propinsi Sumatera Utara. Skripsi. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Badan Pusat Statistik. 2011. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi RI Edisi Maret 2011. Republik Indonesia: Badan Pusat Statistik Nasional.

Badan Pusat Statistik . 2011. Statistik Daerah Langkat. Stabat: BPS Langkat. _________________. Langkat Dalam Angka 2011,2010, 2009, 2008, 2007, 2006,

2005, 2004, 2003, 2002, 2001, 2000. Stabat: BPS Langkat.

_________________________. Gebang Dalam Angka 2011, 2010, 2009, 2008, 2007, 2006, 2005, 2004, 2003, 2002, 2001, 2000. Stabat: BPS Langkat. Badan Pusat Statistik dan Departemen Pertanian. 2007. Buku Pedoman

Pengumpulan dan Pengolahan Data Tanaman Pangan. Jakarta: BPS dan Deptan.

BAPPENAS (Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional). 2011. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015. (Online) diunduh pada laman:

http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=pola%20pangan%20harapan %20menurut%20bps%20pusat%202011&source=web&cd=6&ved=0CD sQFjAF&url=http%3A%2F%2Fwww.bappenas.go.id%2Fget-file-server%2Fnode%2F10655%2F&ei=saVhT5HlBMjQrQenz5yWCA&usg =AFQjCNGic5abh0qnfhGwKAp9xsAft6Yf9A&cad=rja pada tanggal 15 Maret 2013 pukul 15.20 WIB.

Daniel, Moehar. 2004. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: Bumi Aksara. Departemen Pertanian. 2006. Satuan Kegiatan Usaha (SKU) Budidaya Tanaman


(4)

65

Learning). Jakarta: Pusat Pengembangan Pendidikan Pertanian Badan Pengembangan SDM Pertanian (online). (Diunduh pada laman http://www.deptan.go.id/bpsdm/Webdiktan08/Pusat07/Kurikulum07/SK U_jagung/SKU%20Jagung%20book.pdf pada Tanggal 5 April 2013 pukul 11.27 WIB).

Ekaputri, Yuliana. 2011. Swasembada Pangan. Online: diakses pada laman: http://yuliana-ekaputri.blogspot.com/2011/04/swasembada-pangan.html pada pukul 17.21 WIB.

Hehamahua, Hayati. 2009. Produksi Beras di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan bisnis Islam. Maluku: Universitas Iqra-Buru.

Hessie, Rethna. 2009. Analisis Produksi dan Konsumsi Beras Dalam Negeri serta Implikasinya Terhadap Swasembada Beras di Indonesia. Skripsi. Bogor: IPB.

Irawan. 2005. Analisis Ketersediaan Beras Nasional: Suatu Kajian Simulasi Pendekatan Sistem Dinamis. (Online) Jurnal Prosiding Multifungsi Pertanian Balai Penelitian Tanah, Bogor (diakses pada: http://pdfsb.com/readonline/59464e4465513138563378394358706a5641 3d3d-1298634pada tanggal 31 Januari 2013, pukul 11.16 WIB).

Laba, I Wayan. 2010. Analisis Empiris penggunaan Insektisida Menuju Pertanian Berkelanjutan. Jurnal Pengembangan Inovasi Volume 3, No. 2, Tahun 2010: halaman 120-137. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan.

Maleha, dkk. 2006. Kajian Konsep Ketahanan Pangan. Jurnal Protein Vol.13.No.2.Th.2006. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. Manahanto, dkk. 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi, studi

Kasus di Kecamatan Nogosari, Boyolali, Jawa Tengah. Jurnal Wacana Volume. 12 No.1 Januari 2009 ISSN. 1411-0199. Malang: PPSUB.

Mantra, Ida Bagoes. 2009. Demografi Umum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mubyarto. 1984. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: LP3ES.

Mustopa, Zaenil. 2011. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alihfungsi lahan Pertanian di Kabupaten Demak. Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro.

Notarianto, Dipo. 2011. Analisis Efesiensi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Pada Usahatani Padi Organik dan Padi Anorganik (studi Kasus: Kecamatan Sambirejo, Kabupaten Sragen). Skripsi. Semarang: Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.


(5)

Nurmalina, Rita. 2008. Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan Sistem Ketersediaan Beras Di Beberapa Wilayah Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi (Online), Volume 26 No.1, Mei 2008: halaman 47-79 ( diakses pada:

http://pdfsb.com/readonline/5a564e416551683058585a3141586c6b-3496946, tanggal 31 Januari 2013 pukul 11.22 WIB).

Peraturan Menteri Pertanian No. 65/Permentan/OT.140/12/2010 Tentang Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota.

________________________ No. 45/Permentan/OT.140/8/2011 Mengenai Tata Hubungan Kerja Antar Kelembagaan Teknis, Penelitian, dan Pengembangan, dan Penyuluhan Pertanian Dalam Mendukung Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN).

Simatupang, Pantjar. 2007. Analisis Kritis Terhadap Paradigma dan Kerangka Dasar Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional. Bogor: Prosiding Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.

Suhari, Iswadi. 2011. Konversi Gabah Menjadi Beras 62,74 Persen, Tahukah Anda Darimana Angka Itu Berasal?. (Online) Artikel Kompas. Diakses

pada laman :

http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2011/09/08/konversi-gabah-menjadi-beras-6274-persen-tahukah-anda-darimana-angka-itu-berasal/) pada tanggal 25 Februari 2013 pukul 13.38 WIB.

Sumaryanto. 2009. Diversifikasi Sebagai Salah Satu Pilar Ketahanan Pangan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Jakarta: Makalah disajikan dalam Memperingati Hari Pangan Sedunia tanggal 1 Oktober 2009 (online), diakses pada laman: http:pdfsb.com/readonline/5a6c424364514630583331374148706d56413 d3d-3694626 pada pukul 11.50 WIB.

Sumodiningrat, Gunawan. 2001. Menuju Swasembada Pangan, Revolusi Hijau II: Introduksi Manajemen Dalam Pertanian. Jakarta: RBI.

Suparyono, dkk. 1997. Padi. Jakarta: Penebar Swadaya.

Tarigan, Robinson. 2010. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Bumi Aksara.

Taufiq. 2007. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Konsumsi Pangan Masyarakat di Kabupaten Tuban. Surabaya: Fak. Ekonomi UPN “Veteran” (Online). Diakses pada laman: http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/5307379384.pdf. Tanggal 17 Maret Pada Pukul 12.12 WIB.


(6)

67

Triyanto, Joko. 2006. Analisis Produksi Padi Di Jawa Tengah. Tesis. Semarang: Pasca Sarjana Program Studi Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Diponegoro Semarang.(online) Diakses pada:http://pdfsb.com/readonline/594646486541463957484a364448356a 56413d3d-3434435 (31 januari 2013, pukul 09.51 WIB).

Yogi. 2007. Harga Beras dan Dampaknya Pada Swasembada Beras. Jurnal Ekono Insentif Kopwil4 (online), Vol. 2 No. 1, April 2007. Diakses pada laman: http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=jurnal%20swasembada%20b eras&source=web&cd=25&ved=0CDgQFjAEOBQ&url=http%3A%2F%

2Fisjd.pdii.lipi.go.id%2Fadmin%2Fjurnal%2F21071923_1907-0640.pdf&ei=bKdpT6nBJLG5iAeVgbXDCg&usg=AFQjCNHC_Y5SFD FiVqRDyVfeDUOszLUzbA&cad=rja pada pukul 17.05 WIB.

http://www.antarasumut.com/berita-sumut/Kecamatan-gebang-sumut-tanam-4-229-hektare-padi/ (diakses pada tanggal 2 Februari 2013 pukul 13.25 WIB).