Makna Strategis Kerjasama Militer Ri - Cina.
M AK N A ST RAT EGI S K ERJASAM A M I LI T ER RI - CI N A
Oleh:
DR. Yanyan Mochamad Yani, Drs., M.A.
Hubungan Indonesia dengan Cina kini makin erat. Beberapa waktu lalu kedua negara
sepakat untuk menandatangani perjanjian kesepakatan kerjasama di bidang pertahanan dan
keamanan yang merupakan ejawantah dari Deklarasi Bersama yang telah dilakukan
Pemerintah Indonesia dan Cina pada tanggal 25 April 2005 dalam rangka membangun
kemitraan strategis.
Secara khusus, nota kesepakatan kerjasama militer Indonesia dan Cina antara lain meliputi
pembinaan sumber daya manusia dan pengembangan ilmu pengetahuan dan industri di bidang
militer. Dengan kata lain, payung kerjasama ini sepakat untuk melakukan pendidikan dan
latihan militer bersama; pengembangan industri militer dan intelijen; pertukaran teknologi dan
bantuan teknis; serta produksi peralatan militer bersama.
Pertanyaannya kini adalah apa makna strategis dari upaya peningkatan kerjasama militer
Indonesia dan Cina?. Faktor-faktor apa yang diperhitungkan dalam pengambilan kebijakan
tersebut? Tulisan ini mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan membatasi
diri dari perspektif faktor strategis Cina di kawasan Asia-Pasifik dan implikasinya bagi
Indonesia.
*****
Cina di Asia-Pasifik
Kawasan Asia-Pasifik menempati prioritas tertinggi sebab negara-negara kunci yang
terlibat langsung dengan kepentingan Cina yakni Rusia, Amerika Serikat, dan Jepang, secara
geografis terletak di kawasan ini. Dalam kancah politik internasional Cina sudah eksis sebagai
salah satu negara besar (major power) yang sangat berpengaruh dalam menyuarakan
kepentingan Dunia Ketiga di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di bidang
ekonomi dengan program modernisasi “lompatan jauh ke depan” yang dirintis oleh Deng
Xiapoing sejak awal tahun 1980-an, Cina telah menunjukkan sebagai kekuatan ekonomi dunia
yang diproyeksikan akan mengalahkan Amerika Serikat di tahun 2020.
Sedangkan di bidang pembangunan militer Cina masih terus berupaya untuk dapat sejajar
dengan AS dan Rusia. Dewasa ini Cina sudah dapat membuktikan bahwa kekuatan militernya
sudah meningkat lagi melalui keberhasilan uji coba senjata anti satelit baru-baru ini. Itu berarti
penguasaan teknologi perang ruang angkasa Cina sudah sejajar dengan AS dan Rusia.
1
Perkembangan ini menunjukkan bahwa Cina memiliki potensi besar dalam pembangunan
sistem keamanan di Asia-Pasifik yang tidak hanya memainkan peran penting dalam
menentukan pola-pola realiansi di kawasan, tetapi juga memiliki insentif kuat untuk
memainkan politik perimbangan kekuatan di kawasan. Perilaku Cina sebagai sebuah entitas
negara bangsa di Asia-Pasifik sangat ditentukan oleh faktor-faktor eksternal terutama sikap dan
kebijakan Amerika Serikat dan Jepang baik secara individu maupun gabungan. Dengan kata
lain secara hipotetis faktor Cina dalam hubungan segitiga AS-Jepang-Cina akan menentukan
lingkungan politik, keamanan dan ekonomi kawasan Asia-Pasifik.
Misalnya, menjelang abad ke-21 Cina merasa gerah dengan ditandatanganinya Deklarasi
Aliansi Keamanan untuk abad ke-21 antara AS dan Jepang. Bulan November 2004 AS dan
Singapura menjalin kerjasama keamanan dalam bentuk pakta pertahanan, yang salah satu
tujuan utamanya untuk pengamanan Selat Malaka dari berbagai kemungkinan ancaman militer.
Kemudian akhir tahun 2006 AS menjalin kerjasama nuklir dengan India, hal yang selama tiga
puluh tahun tertutup untuk dibahas. Terakhir bulan Maret 2007 Jepang dan Australia
menandatangani pakta pertahanan. Sudah barang tentu Cina merasa tergangggu karena aliansialiansi keamanan itu tampaknya ditujukan untuk mengekang bangkitnya kekuatan militer Cina
yang sedang memasuki tahap akhir strategi besarnya.
Lebih lanjut, Cina berpendapat bahwa dewasa ini aliansi keamanan AS-Jepang-SingapurIndia-Australia bersifat anachronistic yang bermental era Perang Dingin. Kondisi strategis ini
sangat mungkin memperkuat pendapat globalis Roger Cohen (dalam International Herald
Tribune, 22/11/2006) bahwa unipolar itu telah mati, digantikan dengan bipolar baru, yakni
Cina versus Amerika. Untuk meminimalisir dan bahkan meniadakan keberadaan aliansi-aliansi
keamanan ini Cina menjalankan strategi diplomatik mendukung penuh rezim keamanan
multilateral di kawasan Asia-Pasifik yakni ASEAN Regional Forum (ARF). Kemudian, di
bidang ekonomi Cina juga secara maksimal menjalin Kesepakatan Perdagangan Bebas
Bilateral (Bilateral Free trade Agreement) dengan beberapa negara anggota ASEAN.
Sebagai salah satu komponen penting dalam rancang bangun keamanan Asia-Pasifik,
ASEAN tidak dapat menghindar dari akibat-akibat perubahan yang terjadi di lingkungan
strategisnya. Maka itu, kerjasama di bidang pertahanan dan keamanan antara Indonesia dan
Cina kali ini bisa menjadi pilar bagi upaya yang sama dalam membangun hubungan antara
Cina dan ASEAN yang lebih erat. Paling tidak, Cina sedang mengimplementasikan upaya
pembendungan pengaruh AS dan sekutunya di Asia-Pasifik.
2
Implikasi bagi Indonesia
Kalkulasi kondisi lingkungan strategis di atas dikaji jeli oleh elit militer Indonesia. Hal itu
terlihat hanya dalam hitungan kurang lebih satu tahun setelah Deklarasi Bersama Indonesia dan
Cina untuk membangun kemitraan strategis, kedua negara sepakat meningkatkan kerjasama
militer di bidang pembinaan sumber daya manusia serta pengembangan ilmu pengetahuan dan
industri di bidang militer. Peluang ini oleh Indonesia tampaknya dimanfaatkan untuk
meningkatkan kapabilitas militer Indonesia.
Kita mafhum bahwa sejak tahun 1990an AS menerapkan embargo militer terhadap
Indonesia. Akibatnya, kapabilitas persenjataan Indonesia menurun karena faktor usia peralatan,
suku cadang yang kian menipis serta sudah jauh ketinggalan jaman dan teknologi. Jika
merujuk pada pendapat pakar Barry Buzan dalam bukunya An Introduction to Strategic
Studies, pelaksanaan embargo militer AS tersebut mengakibatkan adanya technological
imperative bagi Indonesia.
Artinya, kemajuan teknologi khususnya di bidang militer juga
dapat menjadi faktor independen mendasar yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan
dalam kebijakan suatu negara.
Maka itu tidak mengherankan apabila Indonesia berupaya keras untuk lebih instensif
membangun bentuk hubungan yang lebih kokoh dengan negara selain AS, dan meninggalkan
pola ketergantungan Indonesia pada AS khususnya dalam bidang pertahanan-keamanan.
Akhirnya, sejak awal era reformasi untuk memenuhi kebutuhan vital peralatan militernya,
Indonesia secara tegas berpaling ke negara lain, termasuk Cina.
Cina telah menawarkan sejumlah pemecahan masalah yang dihadapi oleh Indonesia yakni
terpenuhinya kebutuhan akan teknologi militer yang lebih baik untuk tujuan pertahanan. Cina
sebagai pesaing AS, memiliki teknologi militer sendiri yang bebeda dan tak kalah moderen
dengan teknologi yang dimiliki oleh AS. Yang paling penting, dapat dipastikan Cina tidak
akan mengembargo Indonesia. Kesediaan Cina ini telah menegakkan kembali independensi
dan kebebasaktifan bangsa Indonesia, yang selama hampir dua dasawarsa terakhir jadi bulanbulanan pemasok dominan tertentu.
Namun, di lain pihak Indonesia perlu memperhitungkan dua tataran strategi (mikro dan
makro) dalam melakoni kerjasama militer yang makin erat dengan Cina. Pada tataran mikro
strategi kerjasama militer ini akan berkaitan erat dengan
kondisi anggaran pertahanan
Indonesia. Fakta menunjukkan bahwa selama ini pembelian persenjataan militer Indonesia
dengan berhutang akan mengakibatkan alokasi kredit ekspor yang sangat signifikan sehingga
presentasi terhadap anggaran pertahanan terus meningkat. Misalnya saja pada tahun 2003
kurang lebih 18-20% dari hutang negara adalah hutang pembelian senjata.
3
Lalu, bagaimana dengan peluang yang akan diperoleh Indonesia dari kesepakatan
kerjasama militer dengan Cina yang ditandatangani beberapa waktu lalu?. Kini dengan adanya
peluang “membangun industri militer bersama beserta alih teknologinya” yang ditawarkan
Cina ke Indonesia membuka peluang untuk memaksimalkan potensi industri militer di tanah
air. Itu berarti bahwa kondisi perekonomian Indonesia saat ini bukanlah suatu halangan buat
Indonesia untuk membangun sistem pertahanan melalui kemandirian. Beberapa negara telah
membuktikannya, misalnya Pakistan dan Iran dengan karakter kondisi ekonominya masingmasing, memiliki kekuatan militer nasional yang mumpuni setelah sekian lama menjalin
kerjasama militer dengan Cina.
Di tingkat makro strategi, Indonesia perlu memperhitungkan “kegeraman AS” yang selama
ini mendominasi pasokan persenjataan militer ke Indonesia. Pengalaman menunjukkan bahwa
AS sangat “gerah” dengan makin mesranya hubungan Indonesia dan Cina. Pada saat
pertemuan KTT Cina-ASEAN tahun lalu AS juga risau akan kesungguhan Cina untuk menjalin
kerjasama militer dengan negara-negara ASEAN, khususnya Indonesia.
Lalu, apa yang bisa dilakukan Indonesia
untuk mengantisipasi makin menguatnya
“kekesalan” AS?. Indonesia perlu memperkuat format diplomasi multilateralis bukan
unilateralis, misalnya melalui forum Asean Regional Forum (ARF) dimana beberapa negara
besar lainnya juga terlibat seperti Cina dan Rusia. Dalam pertemuan multilateral ini dapat
diasumsikan bahwa bargaining positions Indonesia dalam bersiasat diplomasi berhadapan
dengan
kepentingan
AS
akan
lebih
leluasa. Paling
tidak,
Indonesia
tetap harus
mempertahankan multilateralisme keamanan di Asia-Pasifik yang dapat mengekang ambisi
hegemoni dari negara-negara besar di luar ASEAN.
Maka itu pemberdayaan dan pemaksimalan kerjasama militer Indonesia dengan China
merupakan pilihan cerdas yang perlu disinambungkan terus oleh elit militer Indonesia. Tinggal
kini satu hal krusial yang perlu dilakukan adalah koordinasi sinergis antar institusi pemerintah
yang bekaitan dengan upaya pembangunan kekuatan militer Indonesia, terutama Departemen
Pertahanan, Markas Besar TNI, Departemen Luar Negeri, Departemen Dalam Negeri, yang
dibarengi oleh dukungan politis penuh dari pihak institusi legislatif.
Dukungan domestik yang kuat dan solid bagi peningkatan kekuatan militer Indonesia
adalah mutlak diperlukan oleh Tentara Nasional Indonesia. Diharapkan pada akhirnya nanti
peningkatan kekuatan militer Indonesia secara signifikan akan mengubah posisi strategis
Indonesia serta menentukan pola hubungan antar negara di kawasan Asia-Pasifik.***
==================================================================
Penulis adalah Staf Pengajar Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Padjadjaran.
4
Oleh:
DR. Yanyan Mochamad Yani, Drs., M.A.
Hubungan Indonesia dengan Cina kini makin erat. Beberapa waktu lalu kedua negara
sepakat untuk menandatangani perjanjian kesepakatan kerjasama di bidang pertahanan dan
keamanan yang merupakan ejawantah dari Deklarasi Bersama yang telah dilakukan
Pemerintah Indonesia dan Cina pada tanggal 25 April 2005 dalam rangka membangun
kemitraan strategis.
Secara khusus, nota kesepakatan kerjasama militer Indonesia dan Cina antara lain meliputi
pembinaan sumber daya manusia dan pengembangan ilmu pengetahuan dan industri di bidang
militer. Dengan kata lain, payung kerjasama ini sepakat untuk melakukan pendidikan dan
latihan militer bersama; pengembangan industri militer dan intelijen; pertukaran teknologi dan
bantuan teknis; serta produksi peralatan militer bersama.
Pertanyaannya kini adalah apa makna strategis dari upaya peningkatan kerjasama militer
Indonesia dan Cina?. Faktor-faktor apa yang diperhitungkan dalam pengambilan kebijakan
tersebut? Tulisan ini mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan membatasi
diri dari perspektif faktor strategis Cina di kawasan Asia-Pasifik dan implikasinya bagi
Indonesia.
*****
Cina di Asia-Pasifik
Kawasan Asia-Pasifik menempati prioritas tertinggi sebab negara-negara kunci yang
terlibat langsung dengan kepentingan Cina yakni Rusia, Amerika Serikat, dan Jepang, secara
geografis terletak di kawasan ini. Dalam kancah politik internasional Cina sudah eksis sebagai
salah satu negara besar (major power) yang sangat berpengaruh dalam menyuarakan
kepentingan Dunia Ketiga di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di bidang
ekonomi dengan program modernisasi “lompatan jauh ke depan” yang dirintis oleh Deng
Xiapoing sejak awal tahun 1980-an, Cina telah menunjukkan sebagai kekuatan ekonomi dunia
yang diproyeksikan akan mengalahkan Amerika Serikat di tahun 2020.
Sedangkan di bidang pembangunan militer Cina masih terus berupaya untuk dapat sejajar
dengan AS dan Rusia. Dewasa ini Cina sudah dapat membuktikan bahwa kekuatan militernya
sudah meningkat lagi melalui keberhasilan uji coba senjata anti satelit baru-baru ini. Itu berarti
penguasaan teknologi perang ruang angkasa Cina sudah sejajar dengan AS dan Rusia.
1
Perkembangan ini menunjukkan bahwa Cina memiliki potensi besar dalam pembangunan
sistem keamanan di Asia-Pasifik yang tidak hanya memainkan peran penting dalam
menentukan pola-pola realiansi di kawasan, tetapi juga memiliki insentif kuat untuk
memainkan politik perimbangan kekuatan di kawasan. Perilaku Cina sebagai sebuah entitas
negara bangsa di Asia-Pasifik sangat ditentukan oleh faktor-faktor eksternal terutama sikap dan
kebijakan Amerika Serikat dan Jepang baik secara individu maupun gabungan. Dengan kata
lain secara hipotetis faktor Cina dalam hubungan segitiga AS-Jepang-Cina akan menentukan
lingkungan politik, keamanan dan ekonomi kawasan Asia-Pasifik.
Misalnya, menjelang abad ke-21 Cina merasa gerah dengan ditandatanganinya Deklarasi
Aliansi Keamanan untuk abad ke-21 antara AS dan Jepang. Bulan November 2004 AS dan
Singapura menjalin kerjasama keamanan dalam bentuk pakta pertahanan, yang salah satu
tujuan utamanya untuk pengamanan Selat Malaka dari berbagai kemungkinan ancaman militer.
Kemudian akhir tahun 2006 AS menjalin kerjasama nuklir dengan India, hal yang selama tiga
puluh tahun tertutup untuk dibahas. Terakhir bulan Maret 2007 Jepang dan Australia
menandatangani pakta pertahanan. Sudah barang tentu Cina merasa tergangggu karena aliansialiansi keamanan itu tampaknya ditujukan untuk mengekang bangkitnya kekuatan militer Cina
yang sedang memasuki tahap akhir strategi besarnya.
Lebih lanjut, Cina berpendapat bahwa dewasa ini aliansi keamanan AS-Jepang-SingapurIndia-Australia bersifat anachronistic yang bermental era Perang Dingin. Kondisi strategis ini
sangat mungkin memperkuat pendapat globalis Roger Cohen (dalam International Herald
Tribune, 22/11/2006) bahwa unipolar itu telah mati, digantikan dengan bipolar baru, yakni
Cina versus Amerika. Untuk meminimalisir dan bahkan meniadakan keberadaan aliansi-aliansi
keamanan ini Cina menjalankan strategi diplomatik mendukung penuh rezim keamanan
multilateral di kawasan Asia-Pasifik yakni ASEAN Regional Forum (ARF). Kemudian, di
bidang ekonomi Cina juga secara maksimal menjalin Kesepakatan Perdagangan Bebas
Bilateral (Bilateral Free trade Agreement) dengan beberapa negara anggota ASEAN.
Sebagai salah satu komponen penting dalam rancang bangun keamanan Asia-Pasifik,
ASEAN tidak dapat menghindar dari akibat-akibat perubahan yang terjadi di lingkungan
strategisnya. Maka itu, kerjasama di bidang pertahanan dan keamanan antara Indonesia dan
Cina kali ini bisa menjadi pilar bagi upaya yang sama dalam membangun hubungan antara
Cina dan ASEAN yang lebih erat. Paling tidak, Cina sedang mengimplementasikan upaya
pembendungan pengaruh AS dan sekutunya di Asia-Pasifik.
2
Implikasi bagi Indonesia
Kalkulasi kondisi lingkungan strategis di atas dikaji jeli oleh elit militer Indonesia. Hal itu
terlihat hanya dalam hitungan kurang lebih satu tahun setelah Deklarasi Bersama Indonesia dan
Cina untuk membangun kemitraan strategis, kedua negara sepakat meningkatkan kerjasama
militer di bidang pembinaan sumber daya manusia serta pengembangan ilmu pengetahuan dan
industri di bidang militer. Peluang ini oleh Indonesia tampaknya dimanfaatkan untuk
meningkatkan kapabilitas militer Indonesia.
Kita mafhum bahwa sejak tahun 1990an AS menerapkan embargo militer terhadap
Indonesia. Akibatnya, kapabilitas persenjataan Indonesia menurun karena faktor usia peralatan,
suku cadang yang kian menipis serta sudah jauh ketinggalan jaman dan teknologi. Jika
merujuk pada pendapat pakar Barry Buzan dalam bukunya An Introduction to Strategic
Studies, pelaksanaan embargo militer AS tersebut mengakibatkan adanya technological
imperative bagi Indonesia.
Artinya, kemajuan teknologi khususnya di bidang militer juga
dapat menjadi faktor independen mendasar yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan
dalam kebijakan suatu negara.
Maka itu tidak mengherankan apabila Indonesia berupaya keras untuk lebih instensif
membangun bentuk hubungan yang lebih kokoh dengan negara selain AS, dan meninggalkan
pola ketergantungan Indonesia pada AS khususnya dalam bidang pertahanan-keamanan.
Akhirnya, sejak awal era reformasi untuk memenuhi kebutuhan vital peralatan militernya,
Indonesia secara tegas berpaling ke negara lain, termasuk Cina.
Cina telah menawarkan sejumlah pemecahan masalah yang dihadapi oleh Indonesia yakni
terpenuhinya kebutuhan akan teknologi militer yang lebih baik untuk tujuan pertahanan. Cina
sebagai pesaing AS, memiliki teknologi militer sendiri yang bebeda dan tak kalah moderen
dengan teknologi yang dimiliki oleh AS. Yang paling penting, dapat dipastikan Cina tidak
akan mengembargo Indonesia. Kesediaan Cina ini telah menegakkan kembali independensi
dan kebebasaktifan bangsa Indonesia, yang selama hampir dua dasawarsa terakhir jadi bulanbulanan pemasok dominan tertentu.
Namun, di lain pihak Indonesia perlu memperhitungkan dua tataran strategi (mikro dan
makro) dalam melakoni kerjasama militer yang makin erat dengan Cina. Pada tataran mikro
strategi kerjasama militer ini akan berkaitan erat dengan
kondisi anggaran pertahanan
Indonesia. Fakta menunjukkan bahwa selama ini pembelian persenjataan militer Indonesia
dengan berhutang akan mengakibatkan alokasi kredit ekspor yang sangat signifikan sehingga
presentasi terhadap anggaran pertahanan terus meningkat. Misalnya saja pada tahun 2003
kurang lebih 18-20% dari hutang negara adalah hutang pembelian senjata.
3
Lalu, bagaimana dengan peluang yang akan diperoleh Indonesia dari kesepakatan
kerjasama militer dengan Cina yang ditandatangani beberapa waktu lalu?. Kini dengan adanya
peluang “membangun industri militer bersama beserta alih teknologinya” yang ditawarkan
Cina ke Indonesia membuka peluang untuk memaksimalkan potensi industri militer di tanah
air. Itu berarti bahwa kondisi perekonomian Indonesia saat ini bukanlah suatu halangan buat
Indonesia untuk membangun sistem pertahanan melalui kemandirian. Beberapa negara telah
membuktikannya, misalnya Pakistan dan Iran dengan karakter kondisi ekonominya masingmasing, memiliki kekuatan militer nasional yang mumpuni setelah sekian lama menjalin
kerjasama militer dengan Cina.
Di tingkat makro strategi, Indonesia perlu memperhitungkan “kegeraman AS” yang selama
ini mendominasi pasokan persenjataan militer ke Indonesia. Pengalaman menunjukkan bahwa
AS sangat “gerah” dengan makin mesranya hubungan Indonesia dan Cina. Pada saat
pertemuan KTT Cina-ASEAN tahun lalu AS juga risau akan kesungguhan Cina untuk menjalin
kerjasama militer dengan negara-negara ASEAN, khususnya Indonesia.
Lalu, apa yang bisa dilakukan Indonesia
untuk mengantisipasi makin menguatnya
“kekesalan” AS?. Indonesia perlu memperkuat format diplomasi multilateralis bukan
unilateralis, misalnya melalui forum Asean Regional Forum (ARF) dimana beberapa negara
besar lainnya juga terlibat seperti Cina dan Rusia. Dalam pertemuan multilateral ini dapat
diasumsikan bahwa bargaining positions Indonesia dalam bersiasat diplomasi berhadapan
dengan
kepentingan
AS
akan
lebih
leluasa. Paling
tidak,
Indonesia
tetap harus
mempertahankan multilateralisme keamanan di Asia-Pasifik yang dapat mengekang ambisi
hegemoni dari negara-negara besar di luar ASEAN.
Maka itu pemberdayaan dan pemaksimalan kerjasama militer Indonesia dengan China
merupakan pilihan cerdas yang perlu disinambungkan terus oleh elit militer Indonesia. Tinggal
kini satu hal krusial yang perlu dilakukan adalah koordinasi sinergis antar institusi pemerintah
yang bekaitan dengan upaya pembangunan kekuatan militer Indonesia, terutama Departemen
Pertahanan, Markas Besar TNI, Departemen Luar Negeri, Departemen Dalam Negeri, yang
dibarengi oleh dukungan politis penuh dari pihak institusi legislatif.
Dukungan domestik yang kuat dan solid bagi peningkatan kekuatan militer Indonesia
adalah mutlak diperlukan oleh Tentara Nasional Indonesia. Diharapkan pada akhirnya nanti
peningkatan kekuatan militer Indonesia secara signifikan akan mengubah posisi strategis
Indonesia serta menentukan pola hubungan antar negara di kawasan Asia-Pasifik.***
==================================================================
Penulis adalah Staf Pengajar Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Padjadjaran.
4